Anda di halaman 1dari 24

ASKEB NEONATUS, BAYI DAN BALITA

"TRAUMA LAHIR"

Dosen Pengampu: Yosi Sefrina SST, M.Keb

Oleh:
Nadia Chandra Wijaya

Tri Hamzani Rizki

Zahra Tul Jannah

Sindi Aristi

Joya Utari

Eilsa Fuji Hasfani

Aulia Raudhatul Jannah

Tarmelia Afifa

Tk: 2

PRODI DIII KEBIDANAN BUKITTINGGI

POLTEKKES KEMENKES RI PADANG

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur selalu penyusun ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah
memberikan pengetahuan, kemampuan dan kesempatan kepada penyusun sehingga mampu
meyelesaikan makalah ini. Makalah ini ditulis sebagai tugas mata kuliah Etikolegal Dalam
Praktik Kebidanan.

Penyusun meyadari, dalam penulisan makalah ini masih ada kemungkinan


kekurangan-kekurangan karena keterbatasan kemampuan penyusun, untuk itu masukan yang
bersifat membangun akan sangat membantu penyusun untuk memperbaiki kekurangannya.

Ucapan terima kasih tidak lupa kami ucapkan kepada dosen pembimbing mata kuliah
ini untuk teman teman dan semua pihak yang telah membantu,semoga makalah ini dapat
berguna,sebagai karya dari tim penyusun.
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kelahiran seorang bayi merupakan saat yang membahagiakan orang tua, terutama
bayi yang lahir sehat. Bayi yang nantinya tumbuh menjadi anak dewasa melalui proses
yang panjang, dengan tidak mengesampingkan faktor lingkungan keluarga. Terpenuhinya
kebutuhan dasar anak (asah-asih-asuh) oleh keluarga akan memberikan lingkungan yang
terbaik bagi anak, sehingga tumbuh kembang anak menjadi seoptimal mungkin. Tetapi
tidak semua bayi lahir dalam keadaan sehat. Beberapa bayi lahir dengan gangguan pada
masa prenatal, natal dan pascanatal. Keadaan ini akan memberikan pengaruh bagi tumbuh
kembang anak selanjutnya. (Saiffudin, 2006)
Masalah-masalah yang terjadi pada bayi baru lahir yang diakibatkan oleh
tindakantindakan yang dilakukan pada saat persalinan sangatlah beragam. Trauma akibat
tindakan, cara persalinan atau gangguan kelainan fisiologik persalinan yang sering kita
sebut sebagai cedera atau trauma lahir. Partus yang lama akan menyebabkan adanya
tekanan tulang pelvis. Kebanyakan cedera lahir ini akan menghilang sendiri dengan
perawatan yang baik dan adekuat. Cedera lahir adalah kelainan bayi baru lahir yang
terjadi karena trauma lahir akibat tindakan, cara persalinan atau gangguan persalinan yang
diakibatkan kelainan fisiologis persalinan. Sebagian besar cedera lahir terjadi selama
persalinan lama dan berlarut-larut atau kesulitan lahir. Cedera lahir dapat terjadi apabila
janin besar atau presentasi atau posisi janin abnormal. Trauma lahir adalah trauma pada
bayi yang diterima dalam atau karena proses kelahiran. Istilah trauma lahir digunakan
untuk menunjukkan trauma mekanik dan anoksik, baik yang dapat dihindarkan maupun
yang tidak dapat dihindarkan, yang didapat bayi pada masa persalinan dan kelahiran.
Trauma dapat terjadi sebagai akibat ketrampilan atau perhatian medik yang tidak pantas
atau yang tidak memadai sama sekali, atau dapat terjadi meskipun telah mendapat
perawatan medis yang terampil dan kompeten dan sama sekali tidak ada kaitannya
dengan tindakan atau sikap orang tua yang acuh tak acuh. Pembatasan trauma lahir tidak
meliputi trauma akibat amniosentesis, tranfusi intrauteri, pengambilan contoh darah vena
kulit kepala atau resusitasi.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa dan bagaimana trauma jalan lahir caput?
2. Apa dan bagaimana trauma jalan lahir cephal hematoma?
3. Apa dan bagaimana trauma jalan lahir perdarahan pada intracranial?
4. Apa dan bagaimana trauma jalan lahir perdarahan pada mata?
5. Apa dan bagaimana trauma jalan lahir fraktur anggota gerak?
6. Apa dan bagaimana trauma jalan lahir perlukaan syaraf?
7. Apa jenis tindakan untuk trauma jalan lahir?

C. TUJUAN MAKALAH
1. Untuk mengetahui apa dan bagaimana trauma jalan lahir caput
2. Untuk mengetahui apa dan bagaimana trauma jalan lahir cephal hematoma
3. Untuk mengetahui apa dan bagaimana trauma jalan lahir perdarahan pada
intracranial
4. Untuk mengetahui apa dan bagaimana trauma jalan lahir perdarahan pada mata
5. Untuk mengetahui apa dan bagaimana trauma jalan lahir fraktur anggota gerak
6. Untuk mengetahui apa dan bagaimana trauma jalan lahir perlukaan syaraf
7. Untuk mengetahui apa jenis tindakan untuk trauma jalan lahir
BAB II
PEMBAHASAN

A. CAPUT SUCCEDANEUM
1. Pengertian
Cedera kepala merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang di
sertai atau tanpa disertai perdarahan instertil dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontiunitas otak (Bouma, 2003). Cedera kepala yaitu adanya
deformitas berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan garis pada tulang
tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi- descelerasi) yang merupakan
perubahan bentuk yang di pengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan
faktor dan penurunan percepatan, serta rotasi yaitu pergerakan pada kepala di
rasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan.
Cedera kepala pada dasarnya dikenal dua macam mekanisme trauma yang
mengenai kepala yakni benturan dan goncangan
Trauma lahir adalah cedera fisik yang terjadi selama persalinan, secara teoritis
sebagian besar cidera dapat dihindari dengan pengkajian dan perencanaan yang
cermat. Namun demikian beberapa cidera tidak dapat dihindarkan meskipun
dengan pengkajian dan perencanaan yang cermat tersebut karena beberapa cidera
tidak dapat di antisipasi sampai terjadi peristiwa tertentu selama persalinan.
Trauma lain dapat diobati nanti atau akan hilang dengan sendirinya dalam 1-2
hari.
a) Menurut pendapat Diane dan Margaret
mengemukakan jika presentasi bayi adalah kepala, kemungkinan
terdapat bengkak oedema di bawah kulit kepala dan di atas periosteum yang
disebut dengan caput succedaneum. Pada posisi oksipitoanterior, mungkin
terdapat satu caput succedaneum, pada posisi ini caput dapat terbentuk tetapi
kemudian jika oksiput berotasi kearah anterior dapat terbentuk caput
succedaneum kedua. Caput succedaneum kedua juga dapat terbentuk jika
selama kala dua persalinan lahirnya kepala terlambat dan perineum berfungsi
sebagai ‘lingkaran kontak’ lain. Caput succedaneum yang dibuat juga dapat
terjadi jika menggunakan mangkuk ekstraktor vacum, karena bentuknya
tersebut dikenal dengan ‘chignon’.
b) menurut Reeder dan Koniak-Griffin
Caput succedaneum adalah pembengkakan atau oedema pada atau
dibawah kulit kepala janin. Pembengkakan edematosa lunak pada kulit kepala
ini sering terjadi pada bagian terendah janin. Tekanan dari uterus atau jalan
lahir dapat mencetuskan penumpukan serum atau darah di atas periosteum.
Ekstraksi vacum juga dapat menyebabkan caput, caput dapat bervariasi dari
area yang kecil hingga kepala menjadi sangat panjang. Pembengkakan dapat
melintasi garis sutura. Tidak ada pengobatan yang diindikasikan, caput
succedaneum biasanya hilang dengan sendirinya dalam 12 jam atau 1-2 hari
setelah lahir.
c) Menurut pendapat Prawirohardjo
Caput succedaneum merupakan penumpukan cairan serosanguineous,
subkutan dan ekstra periostal dengan batas yang tidak jelas. Kelainan ini
biasanya pada presentasi kepala, sesuai dengan posisi bagian yang
bersangkutan. Pada bagian tersebut terjadi oedema sebagai akibat pengeluaran
serum dari pembuluh darah. Kelainan ini disebabkan oleh tekanan bagian
terbawah janin saat melawan dilatasi servix. Caput succedaneum menyebar
melewati garis tengah dan sutura serta berhubungan dengan moulding tulang
kepala. Caput succedaneum biasanya tidak menimbulkan komplikasi dan akan
menghilang dalam beberapa hari setelah kelahiran.
2. Faktor predisposisi
Menurut Prawirohardjo (2009:720) faktor predisposisi yang terjadi pada lahir
antara lain :
a) Persalinan yang di akhiri dengan alat ( vacum ekstraksi dan forceps)
b) Persalinan lama
c) Kelahiran sungsang
d) Distosia
e) Macrosomia
f) Presentasi muka
g) Disproporsi sefalopelvic
3. Tanda dan gejala
Tanda dan gejala pada bayi baru lahir dengan caput succedaneum
(Prawirohardjo, 2009:723) yaitu :
a) Oedema di kepala
b) Oedema melampui tulang tengkorak
c) Terasa lembut dan lunak pada perabaan
d) Benjolan berisi serum dan kadang bercampur dengan darah
e) Batasnya tidak jelas
4. Patofisiologi
Caput succedaneum terjadi karena tekanan keras pada kepala ketika memasuki
jalan lahir sehingga terjadi bendungan sirkulasi kapiler dan limfe di sertai
pengeluaran cairan tubuh ke jaringan ekstravakuler, benjolan pada caput berisi
cairan serum dan sedikit bercampur dengan darah, benjolan tersebut dapat terjadi
sebagai akibat tumpang tindihnya (molage) tulang kepala di daerah sutura pada
saat proses kelahiran sebagai upaya bayi untuk mengecilkan lingkaran kepala agar
dapat melewati jalan lahir, pada umumnya molase ini di temukan pada sutura
sagitalis dan terlihat setelah bayi lahir dan akan menghilang dengan sendirinya
dalam waktu 1-2 hari.
5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk bayi baru lahir dengan caput succedaneum (Reeder dan
martin, 2011:683) antara lain :
a) Pengawasan keadaan umum bayi
b) Tahan angkat, agar benjolan tidak meluas karena tekanannya meningkat dan
serebrospinalis meningkat keluar
c) Berikan ruangan yang ada ventilasinya dan mendapatkan sinar matahari yang
cukup
d) Berikan ASI yang adekuat
e) Pencegahan infeksi untuk menghindari adanya infeksi pada benjolan
f) Berikan konseling pada orangtua bayi tentang :
1) Keadaan yang di alami oleh bayi
2) Menjelaskan bahwa benjolan akan menghilang dengan sendirinya
3) setelah 1-4 hari tanpa pengobatan
4) Perawatan bayi sehari-hari
5) Manfaat dan teknik pemberian ASI
6. Perbedaan caput Succedabeum dan Chepal Hematoma

NO Caput Succedaneum Chepal Hematoma


1 Muncul ketika lahir dan akan Ada waktu lahir atau sesudah lahir dan
mengecil setelah lahir akan membesar setelah lahir
2 Lunak dan tidak berfrekuensi Teraba fluktuasi
3 Melewati batas sutura dan teraba Batas tidak melewati sutura
moulase
4 Bisa hilang dalam beberapa jam Hilang dalam waktu yang lama
atau hari ( beberapa minggu atau bulan )
5 Berisi cairan getah bening Berisi darah

B. CEPHAL HEMATOMA
1. Pengertian
Cephalohematoma adalah pendarahan yang terjadi pada lapisan di selaput otak
yang menyebabkan terperangkapnya darah pada lapisan tersebut.
Cephalohematoma menimbulkan pembengkakan akibat darah menumpuk di
periosteum. Kondisi ini terjadi pada bayi akibat terganggunya jalan lahir.
Cephalohematoma terjadi pada 2% dari kelahiran. Cephalohematoma terjadi
di lapisan otak bayi yaitu periosteum. Periosteum merupakan lapisan tebal yang
mencakup seluruh permukaan lapisan otak. Periosteum terdiri dari dua lapisan
antara lain:
a) Lapisan fibrosa Luar: Lapisan fibrosa luar terdiri sel kolagen yang
memproduksi fibroblas dan serat saraf. Lapisan luar juga mengandung banyak
pembuluh darah yang memasok osteosit.
b) Lapisan Dalam: Lapisan peiosteum bagian dalam terdiri dari sel progenitor
osteoblas sebagai sel pembuatan tulang.
Fungsi periosteum adalah untuk menjaga perkembangan tulang baru selama
kehidupan janin hingga anak-anak. Membran padat tersebut menutupi permukaan
tulang juga bersatu dengan dura meter pada bagian tertentu dan melindungi otak.
2. Penyebab Cephal hematoma
Kondisi utama hematoma adalah disebabkan oleh adanya trauma pada bagian
kepala. Penyebab utama dari munculnya pembengkakan tersebut antara lain:
a) Persalinan cunam
Persalinan cunam atau ekstraksi cunam adalah cara dalam membantu
persalinan dengan alat cunam. Penarikan yang kuat dapat memicu terjadinya
cephalohematoma pada pembuluh darah di lapisan otak bayi baru lahir.
b) Persalinan Vacum
Persalinan vacum dilakukan pada proses persalinan yang sulit pada posisi
kepala sehingga diperlukan alat vacum untuk menarik bayi keluar.
c) Persalinan pertama
Persalinan pertama juga berdampak pada terjadinya cephalohematoma karena
trauma jalan lahir antara kepala dan tulang pelvis.
d) Persalinan Lama
Persalinan yang berlangsung lama di luar waktu persalinan dapat beresiko
cephalohematoma.
e) Kepala Bayi yang besar
Ukuran lingkar kepala bayi yang besar atau macrocephaly juga dapat beresiko
meningkatkan terjadinya cephalohematoma karena adanya penekanan saat
memasuki lingkar pelvis.
f) Bayi Besar
Ukuran bayi dengan berat badan lahir yang besar juga memicu terjadinya
cephalohematoma akibat penekanan selama jalan lahir.
3. Gejala Cephalohematoma
Gejala cephalohematoma menimbulkan kelainan pada bentuk kepala bayi.
Gejala mulai muncul sekitar 6 hingga 8 jam setelah lahir dan biasanya hilang
sebelum 24 jam atau minggu berikutnya. Gejala yang ditemukan antara lain:
a) Adanya fluktuasi atau pelunakan pada daerah kepala saat palpasi
b) Adanya pembengkakan yang terbatas tidak sampai melewati sutura
c) Lokasi pembengkakan menetap dan batas yang jelas
d) Kulit kepala tampak berwarna kemerahan akibat terisi darah
e) Benjolan dapat membesar hingga hari ketiga
4. Komplikasi Cephalohematoma
Cephalohematoma dapat menimbulkan komplikasi apabila tidak diperhatikan
dengan segera meskipun dapat hilang dengan sendirinya. Beberapa komplikasi
yang dapat terjadi antara lain: Infeksi, Ikterusm, dan Fraktur tulang tengkorak.
Perbedaan cephalohematoma dengan kaput suksedaneum adalah lain halnya
dengan cephalohematoma, kaput suksedanum juga merupakan pembengkakan
atau benjolan, tetapi ini terjadi akibat adanya penumpukan getah bening akibat
tekanan pada bagian kepala saat jalan lahir. Pada kaput suksedaneum,
pembengkakan dapat melewati sutura dengan batas yang tidak jelas. Benjolan
akan menghilang perlahan selama 3 minggu.
5. Tatalaksana Cephalohematoma
Tatalaksana cepahlohematoma dapat dilakukan melalui konsultasi dokter
sehingga ibu dapat mengenai tata cara terbaik pada bayi. Sebenarnya
cephalohematoma tidak memerlukan penanganan khusus karena kondisi ini dapat
menghilang sekitar 2 hingga 6 minggu bergantung ukuran benjolan. Intinya ibu
perlu mengetahui perbedaan antara cepahlohematoma dan kaput suksedaneum
melalui diagnosa dokter.
Cephalohematoma tanpa fraktur hanya perlu menunggu penurunan ukuran
benjolan, pemberian vitamin K juga perlu. Pada daerah benjolan perlu dijaga
higienitas dan kebersihannya guna mencegah infeksi berulang.
Apabila ditemukan adanya fraktur yang menimbulkan cephalohematoma,
maka kondisi ini perlu ditangani di rumah sakit untuk mencegah komplikasi lebih
serius. Pemeriksaan laboratorium seperti hematokrit, X-ray kepala, foto toraks,
dan observasi ketat perlu dilakukan agar mencegah perburukan kondisi.
Selama penanganan tersebut dimohon kepada ibu untuk selalu menjaga
kebersihan baik diri sendiri atau lingkungan agar mencegah infeksi pada bayi.
Selama proses penyembuhan dianjurkan untuk konsultasi kembali ke dokter untuk
memeriksa kondisi kesehatan bayi.

C. PENDARAHAN INTRAKRANIAL
1. Pengertian
Perdarahan intrakranial merupakan perdarahan atau akumulasi darah dalam
rongga intrakranium yang dapat terjadi pada parenkim otak dan pada ruang
meninges sekitarnya. Perdarahan intrakranial dapat disebabkan oleh kejadian
traumatik maupun nontraumatik. Perdarahan yang terjadi pada ruang meninges
dapat berupa perdarahan epidural, perdarahan subdural, dan perdarahan
subaraknoid. Perdarahan pada parenkim otak dapat meluas hingga ke ventrikel
otak, disebut sebagai perdarahan intraventrikular. Perdarahan pada parenkim otak
ini akan menyebabkan terjadinya stroke hemorrhagik pada pasien
Penyebab traumatik perdarahan intrakranial berupa cedera otak traumatik yang
mengakibatkan pecahnya pembuluh darah otak dan perdarahan. Penyebab
nontraumatik di antaranya adalah peningkatan tekanan darah, misalnya akibat
eklampsia atau hipertensi. Risiko perdarahan akan meningkat pada pasien yang
menggunakan antikoagulan seperti warfarin dan heparin.
Perdarahan intrakranial dapat didiagnosis dengan anamnesis berupa adanya
penurunan kesadaran dan riwayat cedera kepala serta dilanjutkan dengan
pemeriksaan fisik untuk memeriksa adanya trauma pada kepala dan pemeriksaan
fungsi neurologis. Diagnosis perdarahan intrakranial dikonfirmasi dengan
pencitraan otak menggunakan CT Scan kepala atau MRI otak.
Prinsip penatalaksanaan perdarahan intrakranial adalah pencegahan dan
penanganan segera hipertensi intrakranial dan cedera otak sekunder, serta menjaga
tekanan perfusi serebral. Hal ini akan memastikan oksigenasi adekuat ke jaringan
otak yang cedera. Penatalaksanaan perdarahan intrakranial dilakukan dengan
medikamentosa dan intervensi pembedahan.
2. Patofisiologi
Patofisiologi perdarahan intrakranial bergantung dari penyebab terjadinya,
dapat berupa traumatik dan nontraumatik. Perdarahan intrakranial traumatik
terjadi akibat proses trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah otak.
Pada perdarahan intrakranial nontraumatik, perdarahan disebabkan oleh penyakit
yang menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah.
a) Perdarahan Intrakranial Traumatik
Perdarahan intrakranial traumatik disebabkan oleh cedera otak
traumatik yang selanjutnya menyebabkan pecahnya pembuluh darah otak dan
perdarahan. Perdarahan akibat trauma ini dapat berhubungan dengan fraktur
tengkorak, misalnya pada perdarahan ekstradural, atau akibat gaya geser
(shearing force), misalnya pada diffuse axonal injury. [1,3,4]
b) Perdarahan Intrakranial Nontraumatik
Perdarahan intrakranial nontraumatik biasanya disebabkan oleh
penyakit pembuluh darah kecil. Diawali dengan perubahan degeneratif pada
dinding pembuluh darah yang disebabkan vaskulopati. akibat hipertensi
jangka panjang. Hal ini disebut sebagai lipohialinosis. Selain itu, jika
perdarahan disebabkan oleh angiopati amiloid serebral, maka proses
perdarahan diawali dengan deposisi peptida amiloid-beta pada dinding
pembuluh darah kecil leptomeningeal dan korteks. Akhirnya, akan terjadi
perubahan degeneratif yang ditandai dengan matinya sel-sel otot polos,
penebalan dinding, penyempitan lumen pembuluh darah, pembentukan
aneurisma mikro dan perdarahan-perdarahan mikro yang disebabkan oleh
akumulasi amiloid.[1,3,4]
c) Cedera Otak Sekunder
Pecahnya pembuluh darah dan perdarahan yang terjadi selanjutnya
akan menyebabkan penekanan atau kerusakan mekanik pada parenkim otak.
Dilanjutkan dengan edema perihematoma yang terjadi dalam waktu 3 jam
setelah onset gejala. Puncak edema ini diperkirakan adalah sekitar 10-20 hari
setelah onset. Selanjutnya, proses kerusakan sekunder akan terjadi yang
dimediasi oleh sel-sel darah dan plasma. Kemudian, akan terjadi proses
peradangan yang ditandai dengan aktivasi kaskade koagulasi dan deposisi besi
hasil degradasi hemoglobin. P ada akhirnya, hematoma akan membesar dalam
24 jam pertama (hal ini terjadi pada 38% pasien).
3. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan perdarahan intrakranial diawali dengan minimalisasi
kerusakan dan stabilisasi pasien di unit gawat darurat (UGD), penatalaksanaan
lanjutan misalnya dengan menjaga kondisi euvolemia dan memperbaiki kondisi
koagulopati, serta reduksi tekanan intrakranial baik dengan medikamentosa
maupun tindakan operasi.
a) Penatalaksanaan Awal di UGD
Beberapa langkah awal yang dilakukan pada pasien dengan perdarahan
intrakranial, antara lain:
 Melakukan intubasi untuk memastikan jalan nafas pasien, terutama
pada pasien dengan penurunan kesadaran. Lakukan pemeriksaan
neurologis sebelum memberikan agen sedasi dan paralisis
 Menurunkan tekanan darah dengan perlahan hingga target mean
arterial pressure (MAP) < 130 mmHg. Tekanan darah tinggi
berhubungan dengan ekspansi hematoma dan prognosis yang buruk
 Stabilisasi tanda vital
b) CT Scan Emergensi
Pada pasien dengan perdarahan intrakranial, terutama yang mengalami
penurunan kesadaran, CT Scan kepala perlu dilakukan segera untuk
menentukan perlu tidaknya merujuk pasien ke bedah saraf, lokasi dan volume
perdarahan, serta risiko cedera otak sekunder.
c) Penatalaksanaan Lanjutan
Setelah kondisi pasien dan tanda vital sudah stabil, lakukan reduksi
tekanan intrakranial untuk menjaga cerebral perfussion pressure (CPP),
koreksi koagulopati, penanganan kejang, serta menjaga homeostasis pasien.
d) Reduksi Tekanan Intrakranial
Reduksi tekanan intrakranial dilakukan dengan langkah-langkah berikut ini:
 Elevasi kepala 15-30 derajat. Walau demikian, studi terkini
menunjukkan kontroversi antara posisi supinasi dan elevasi kepala
 Hiperventilasi pada pasien yang sudah diintubasi untuk mencapai
target pCO2 30-35 mmHg
 Pemberian cairan saline hipertonik hingga target serum natrium 155-
160 mEq/L. Cairan hipertonik terbukti lebih efektif dibandingkan
mannitol dalam menurunkan tekanan intrakranial. Mannitol dapat
digunakan sebagai alternatif dengan dosis 0,25-1 gram/kgBB
 Intervensi pembedahan berupa pemasangan monitor tekanan darah
intrakranial, drainase ventrikular eksternal, kraniotomi, evakuasi
bekuan darah pada perdarahan epidural, serta kraniektomi dekompresi
e) Koreksi Koagulopati
Pasien end-stage liver disease atau pasien yang mendapat warfarin
dapat ditangani dengan pemberian vitamin K sedangkan pasien yang
mendapat heparin dapat diberikan protamine. Pada koagulopati terkait trauma,
pasien dapat diberikan platelet dan fresh frozen plasma (FFP).
f) Penanganan Kejang
Profilaksis kejang tidak lagi disarankan pada perdarahan intrakranial.
Pasien perdarahan intrakranial yang mengalami kejang perlu diberikan
benzodiazepines seperti diazepam, serta antikonvulsan seperti phenytoin.
g) Menjaga Homeostasis
Pasien harus dipantau suhu, status cairan dan gula darahnya untuk
memastikan kondisi pasien tidak mengalami hipertermia, dan terjaga tetap
euglikemia dan euvolemia.
4. Penatalaksanaan Definitif: Pembedahan
Pembedahan pada perdarahan intrakranial tidak diperlukan pada pasien
dengan defisit neurologis yang minimal atau volume perdarahan<10 mL.
Tindakan pembedahan pada pasien perdarahan intrakranial perlu dilakukan pada
pasien berikut :
 Ukuran perdarahan > 3 cm
 Perdarahan intrakranial yang berhubungan dengan kerusakan struktural
pembuluh darah
 Pasien usia muda dengan perdarahan bagian lobar

Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebelum pembedahan, antara lain :


 Perjalanan penyakit dan timing: pembedahan optimal dilakukan dalam 48-
72 jam awal, namun dapat dilakukan hingga 2 minggu setelah onset jika
memang harus menunggu kondisi pasien stabil
 Usia pasien dan kondisi komorbid pasien: pada orang tua dengan kondisi
komorbid yang banyak, tindakan operatif dapat memperburuk kondisi
pasien
 Penyebab perdarahan: penyebab perdarahan perlu diketahui agar tindakan
operatif dapat dengan tepat dilakukan dan luaran pasien maksimal
 Lokasi hematoma: lokasi hematoma yang sulit dijangkau mungkin
memerlukan teknik operatif yang berbeda
 Efek massa (mass effect) dan pola drainase. Efek massa adalah fenomena
adanya lesi fokal ataupun kontusio yang menyebabkan jaringan dan
struktur otak mengalami penekanan dan kerusakan
 Kemungkinan pasien untuk dapat kembali pulih setelah tindakan
pembedahan

Tindakan pembedahan yang dapat dilakukan, antara lain adalah perbaikan


aneurisma, penanganan malformasi arteriovenosa, serta kraniotomi dekompresi.
 Perbaikan Aneurisma
Perbaikan aneurisma dilakukan dengan memasang clamp pada dasar
aneurisma untuk mencegah perdarahan. Perbaikan aneurisma juga dapat
dilakukan dengan embolisasi coil yang dimasukkan menggunakan kateter.
 Penanganan Malformasi Arteriovenosa
Malformasi arteriovenosa dapat diatasi menggunakan pembedahan,
radiologi intervensi (digital substraction angiography), maupun embolisasi.
Pertimbangan pemilihan modalitas didasarkan pada usia pasien, lokasi,
dan ukuran malformasi.
 Kraniektomi Dekompresi
Tindakan ini dilakukan ketika nyawa pasien terancam oleh
peningkatan tekanan intrakranial, tindakan ini bergantung pada lokasi
perdarahan, usia dan kondisi medis pasien.

D. PENDARAHAN PADA MATA


1. Perdarahan Subkonjungtiva
Perdarahan subkonjungtiva adalah pecahnya pembuluh darah kecil di bawah
konjungtiva. Kondisi ini ditandai dengan bercak merah terang di bagian putih
mata. Meski gejalanya terlihat serius, perdarahan subkonjungtiva umumnya tidak
berbahaya.
Konjungtiva adalah permukaan bening yang melapisi mata dan mengandung
banyak pembuluh darah kecil halus. Perdarahan subkonjungtiva terjadi ketika
pembuluh darah kecil di bawah konjungtiva pecah.
Ketika pembuluh darah tersebut pecah, darah akan memenuhi area antara
konjungtiva dan sklera (bagian putih mata). Akibatnya, bagian putih mata akan
terlihat kemerahan.
2. Penyebab Perdarahan Subkonjungtiva
Penyebab perdarahan subkonjungtiva tidak selalu diketahui secara pasti.
Namun, pembuluh darah pada bagian ini memang cenderung lebih rapuh. Pada
sebagian penderita, pembuluh darah ini bisa pecah akibat aktivitas atau kondisi
yang meningkatkan tekanan di mata, misalnya:
a) Muntah-muntah
b) Mengejan
c) Mengangkat benda berat
d) Mengucek mata terlalu keras
e) Batuk atau bersin yang terlalu kuat

Ada beberapa faktor yang bisa meningkatkan risiko seseorang terkena perdarahan
subkonjungtiva, yaitu:
a) Lanjut usia
b) Menderita diabetes
c) Menderita tekanan darah tinggi (hipertensi)
d) Menderita gangguan pembekuan darah
e) Mengonsumsi obat pengencer darah, seperti aspirin atau warfarin
3. Gejala Perdarahan Subkonjungtiva
Gejala perdarahan subkonjungtiva adalah bercak merah terang di satu bagian
atau beberapa bagian putih mata. Umumnya, penderita tidak merasakan gejala
selain itu. Namun, ada sebagian penderita yang juga mengalami iritasi ringan pada
mata.
4. Diagnosis Perdarahan Subkonjungtiva
Untuk mendiagnosis, dokter mata akan menanyakan keluhan pasien, riwayat
cedera mata, riwayat perdarahan atau memar, serta riwayat kesehatan pasien
secara keseluruhan, termasuk pekerjaan dan gaya hidup. Setelah itu, dokter akan
mengukur tekanan darah pasien dan melakukan pemeriksaan fisik pada mata.
Pada pasien yang mengalami perdarahan subkonjungtiva berulang kali, dokter
mungkin akan melakukan tes darah untuk memastikan apakah pasien menderita
gangguan pembekuan darah.
5. Pengobatan Perdarahan Subkonjungtiva
Perdarahan subkonjungtiva tidak memerlukan pengobatan khusus. Umumnya,
kondisi ini akan sembuh dengan sendirinya dalam 7–14 hari. Jika pasien
merasakan iritasi, dokter dapat memberikan obat tetes air mata buatan untuk
meredakannya.
Jika dokter menduga perdarahan subkonjungtiva disebabkan oleh hipertensi
atau gangguan pembekuan darah, dokter akan meresepkan obat-obatan untuk
mengatasi penyebab tersebut. Pasien juga mungkin akan dirujuk ke dokter
spesialis penyakit dalam untuk mendapatkan pemeriksaan dan pengobatan lebih
lanjut.
6. Komplikasi Perdarahan Subkonjungtiva
Perdarahan subkonjungtiva umumnya tidak menyebabkan komplikasi. Namun,
jika perdarahan subkonjungtiva disebabkan oleh cedera mata, dokter akan
melakukan pemeriksaan mata untuk memastikan agar tidak ada komplikasi akibat
kondisi tersebut.
7. Pencegahan Perdarahan Subkonjungtiva
Perdarahan subkonjungtiva dapat dicegah dengan cara-cara berikut:
a) Mengucek mata dengan perlahan bila mata sedang gatal
b) Membersihkan lensa kontak secara berkala
c) Memakai pelindung mata ketika sedang berolahraga atau melakukan aktivitas
yang berisiko menyebabkan cedera mata
d) Berkonsultasi dengan dokter jika sedang mengonsumsi obat pengencer darah

E. FRAKTUR PADA ANGGOTA GERAK


1. Trauma pleksus brakialis
Trauma pleksus brakialis menyebabkan paralisis bagian lengan atas dengan
atau tanpa paralisis lengan bawah atau tangan, atau di bagian keseluruhan lengan.
Jejas pleksus brakialis kerap dialami oleh bayi makrosomik dan pada penarikan
lateral dipaksakan pada kepala dan leher selama persalinan bahu pada presentasi
vertex atau bila lengan diekstensikan berlebihan diatas kepala pada presentasi
bokong sertaadanya penarikan berlebihan pada bahu.
Pengobatan pada trauma pleksus brakialis dapat dilakukan dengan imobilisasi
parsial dan penempatan posisi secara tepat untuk mencegah perkembangan
kontraktur.

2. Fraktur klavikula
Ada beberapa gejala dan tanda yang dapat menggolongkan fraktur klavikula
yang dialami oleh bayi. Gejala dan tandanya antara lain bayi kesulitan atau tidak
sama sekali menggerakkan lengan secara bebas pada sisi yang terkena, krepitasi
dan ketidakteraturan tulang, kadang-kadang disertai perubahan warna pada sisi
fraktur, tidak adanya refleks moro pada sisi yang terkena, adanya spasme otot
sternokleidomastoideus yang disertai dengan hilangnya depresi supraklavikular
pada daerah fraktur.
Klavikula adalah tulang yang paling sering fraktur saat proses kelahiran.
Sebagian besar kasus fraktur klavikula adalah tipe greenstick, tapi beberapa
kasus lainnya fraktur lengkap.2,4 Penyebab utama fraktur klavikula adalah
distosia bahu saat kelahiran di keadaan vertex dan penarikan lengan saat
kelahiran sungsang. Fraktur klavikula juga dapat terjadi pada bayi dengan
persalinan normal, terkait dengan gerakan abnormal, anatomi panggul ibu
dan posisi janin dalam kandungan. Fraktur klavikula biasanya terjadi unilateral,
sedangkan fraktur klavikula bilateral sangat jarang ditemukan.
3. Fraktur humerus
Pada fraktur dapat diidentifikasi jika memiliki tanda-tanda berikut ini yaitu
spontan dan tidak adanya reflek moro. Penanganan pada fraktur humerus yaitu
melalui imobilisasi tungkai yang mengalami fraktur dengan jangka waktu 2-4
minggu.
4. Fraktur tulang tengkorak
Pada umumnya fraktur tulang tengkorak timbul karena konsekuensi dari
simfisis, pubis, penggunaan forceps atau cunam atau promontorium, atau
frekuensi pernapasan, spina ischiadica yang dialami ibu ketika persalinan dengan
menggunakan disproporsi sefalopelvik Salah satu kondisi yang sering terjadi pada
fraktur tulang tengkorak adalah fraktur linier yang tidak memiliki gejala serta
mekanisme pengobatan yang khusus. Ada juga yang disebut dengan fraktur
depresi karena terlihat kalvarium menyerupai lekukan. Semua jenis fraktur tulang
tengkorak ini wajib untuk direposisi agar dapat menghindari cedera, korteks yang
diakibatkan tekanan yang terjadi secara kontinu dengan menggunakan anestesi
lokal local dalam minggu pertama terutama ketika kondisi bayi stabil pasca
melahirkan.
5. Fraktur dan dislokasi tulang belakang
Kondisi ini tergolong jarang ditemukan sehari hari karena adanya traksi kuat
untuk melahirkan kepala janin pada presentasi sungsang atau untuk melahirkan
bahu pada presentasi kepala.Fraktur atau dislokasi pada umumnya kerap dialami
oleh tulang belakang servikal bagian bawah dan torakal bagian atas. Tipe lesinya
berkisar dari pendarahan setempat hingga destruksi total medula spinalis pada satu
atau lebih leval cerebral. Jika tidak ditangani dengan baik, kondisi bayi bisa
mengalami penurunan yang signifikan disertai depresi pernafasan, syok dan
hipotermia. Jika keadaannya semakin parah, maka kondisi ini dapat mengantarkan
bayi kepada kematian. Jika bayi selamat, maka diperlukan pengobatan yang
suportif agar dapat mencegah terjadinya cedera secara permanen.
F. PERLUKAAN SYARAF
1. Paralisis nervus fasialis
Kondisi ini terjadi ketika perifer pada nervus facialis saat kelahiran. Kondisi
ini melahirkan bayi dengan kondisi ekstraksi cunam. Kelumpuhan perifer ini
bersifat flaksid, dan bila kelumpuhan terjadi total, akan mengenai seluruh sisi
wajah termasuk dahi. Jika bayi menangis, maka perlu untuk melakukan
pengamatan pada gerak muka untuk mengetahui ada atau tidaknya kelumpuhan.
Ada beberapa kondisi yang dapat mengindikasikan bayi tersebut mengalami
kelumpuhan misalnya mulut tertarik ke salah satu sisi. Pada sisi yang terkena
gangguan, dahinya akan terlihat licin, mata tidak dapat ditutup karena kehilangan
sensor mata dan kehilangan refleks, lipatan nasolabial tidak ada dan sudut mulut
kelihatan jatuh.Kelainan biasanya terjadi dapat hilang dengan sendirinya tanpa
tindakan yang khusus.
2. Paralisis nervus frenikus
Kondisi ini pada umumnya terjadi pada bagian kanan dan konsekuensinya
menyebabkan paralisis diafragma. Gangguan ini kerap hadir karena kelahiran
sungsang. Kondisi ini bisanya diikuti dengan paralisis Duchenne-Erb dan
diafragma kanan yang terkena gangguan ketika mengalami kondisi ini. Ketika
terjadi paralisis berat bayi dapat memperlihatkan sindrom gangguan pernafasan
dengan dispnea dan sianosis. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan rontgen
foto torak atau fluoroskopi yang dapat menganalisis diafragma sebelah mana yang
terganggu. Biasanya diafragma yang terganggu posisinya lebih tinggi
dibandingkan diafragma Pengobatan yang dilakukan pada kondisi ini merupakan
jenis pengobatan simptomatik. Bayi dalam pengobatan ini diletakkan pada sisi
yang terkena gangguan dan kalau perlu diberi oksigen. Infeksi paru dapat
diartikan sebagai komplikasi yang berat. Penyembuhan memerlukan waktu yang
biasanya terjadi secara spontan 1 sampai 3 bulan.
3. Paralisis plexus brachialis
Pada kondisi paralisis plexus brachialis dapat dibagi menjadi beberapa jenis.
a) Paralisis Duchenne-Erb
Dapat didefinisikan sebagai sebuah bentuk kelumpuhan bagian dari
tubuh tertentu yang disarafi oleh C5 dan C6 dari plexus brachialis. Dalam
kondisi ini juga dapat ditemukan beberapa kelemahan dari segi abduksi atau
fleksi, serta gerakan memutar keluar yang juga ditandai dengan hilangnya
refleks biseps dan Moro.
b) Paralisis Klumpke
Kondisi ini terjadi karena adanya kelumpuhan pada bagian tubuh yang
disarafi oleh C8-Th 1 dari plexus brachialis. Dalam hal ini terjadi kelemahan
yang dapat dilihat dari fleksor pergelangan yang ditandai dengan kesulitan
bayi dalam melakukan penggegaman. Kondisi ini diakibatkan karena adanya
tarikan yang kuat di daerah leher ketika persalinan. Tindakan tersebut
berimplikasi pada kerusakan plexus brachialis. Biasanya tindakan ini banyak
terjadi pada persalinan sungsang apabila dilakukan traksi yang kuat dalam
usaha melahirkan kepala bayi.Pada persalinan presentasi kepala, kelainan
dapat terjadi pada janin yaitu bahu yang lebar. Penanggulangannya dapat
dilakukan dengan melakukan gerakan abduksi 90° pada lengan dan juga
putaran ke luar. Siku berada dalam fleksi 90° dilakukan juga dengan supinasi
lengan bawah dengan ekstensi pergelangan dan telapak tangan menghadap ke
depan. Tahan posisi ini dalam beberapa hitungan waktu. Penyembuhan
biasanya setelah beberapa hari, namun juga ada 3-6 bulan.
4. Paralisis pita suara
Gangguan timbul karena traksi yang kuat terutama di bagian leher ketika
proses persalinan. Trauma jenis ini juga menyasar cabang ke laring dari nervus
vagus, yang mengakibatkan munculnya gangguan pita suara (afonia), stridor pada
inspirasi, atau sindrom gangguan pernafasan. Gangguan ini memerlukan waktu 4-
6 minggu atau terkadang memerlukan tindakan trakeostomi pada kasus–kasus
tertentu untuk menghilang secara alami.
5. Kerusakan medulla spinalis
Gangguan ini kerap ditemukan pada persalinan letak sungsang, presentasi dahi
dan presentasi muka. Gangguan ini diakibatkan oleh peregangan longitudinal
tulang belakang karena hiperfleksi, tarikan atau hiperekstensi pada kelahiran.
Gejala yang ditemukan sangat dipengaruhi oleh bagian medula spinalis yang
terkena dan dapat menunjukan paralisis kedua tungkai, sindrom gangguan
pernafasan, retensi urine, dan sebagainya. Jika kerusakan yang terjadi secara
ringan maka tidak memerlukan tindakan apapun yang spesifik, namun dalam
beberapa kasus diperlukan tindakan pembedahan.
G. JENIS TINDAKAN UNTUK TRAUMA LAHIR
Jejas lahir merupakan istilah untuk menunjukkan trauma mekanik yang dapat
dihindari atau tidak dapat dihindari, serta trauma anoksia yang dialami bayi selama
kelahiran dan persalinan. Beberapa macam jejas persalinan yang akan dibahas, antara
lain :
1. Caput Suksadenum
Caput suksadenum adalah pembengkakan yang edematosa atau kadang-
kadang ekimotik dan difus dari jaringan lunak kulit kepala yang mengenai bagian
yang telah dilahirkan selama persalinan verteks. Edema pada caput suksadenum
dapat hilang pada hari pertama, sehingga tidak diperlukan terapi. Tetapi jika
terjadi ekimosis yang luas, dapat diberikan indikasi fototerapi untuk
kecenderungan hiperbilirubin. Kadang-kadang caput suksadenum disertai dengan
molding atau penumpangan tulang parietalis, tetapi tanda tersebut dapat hilang
setelah satu minggu.
2. Sefalhematoma
Sefalhematoma merupakan perdarahan subperiosteum. Sefalhematoma terjadi
sangat lambat, sehingga tidak nampak adanya edema dan eritema pada kulit
kepala. Sefalhematoma dapat sembuh dalam waktu 2 minggu hingga 3 bulan,
tergantung pada ukuran perdarahannya. Pada neonatus dengan sefalhematoma
tidak diperlukan pengobatan, namun perlu dilakukan fototerapi untuk mengatasi
hiperbilirubinemia. Tindakan insisi dan drainase merupakan kontraindikasi karena
dimungkinkan adanya risiko infeksi. Kejadian sefalhematoma dapat disertai
fraktur tengkorak, koagulopati dan perdarahan intrakranial.
3. Trauma pleksus brakialis
Jejas pada pleksus brakialis dapat menyebabkan paralisis lengan atas dengan
atau tanpa paralisis lengan bawah atau tangan, atau lebih lazim paralisis dapat
terjadi pada seluruh lengan. Jejas pleksus brakialis sering terjadi pada bayi
makrosomik dan pada penarikan lateral dipaksakan pada kepala dan leher selama
persalinan bahu pada presentasi verteks atau bila lengan diekstensikan berlebihan
diatas kepala pada presentasi bokong serta adanya penarikan berlebihan pada
bahu.
Trauma pleksus brakialis dapat mengakibatkan paralisis Erb-Duchenne dan
paralisis Klumpke. Bentuk paralisis tersebut tergantung pada saraf servikalis yang
mengalami trauma. Pengobatan pada trauma pleksus brakialis terdiri atas
imobilisasi parsial dan penempatan posisi secara tepat untuk mencegah
perkembangan kontraktur.
4. Fraktur klavikula
Tanda dan gejala yang tampak pada bayi yang mengalami fraktur klavikula
antara lain : bayi tidak dapat menggerakkan lengan secara bebas pada sisi yang
terkena, krepitasi dan ketidakteraturan tulang, kadang-kadang disertai perubahan
warna pada sisi fraktur, tidak adanya refleks moro pada sisi yang terkena, adanya
spasme otot sternokleidomastoideus yang disertai dengan hilangnya depresi
supraklavikular pada daerah fraktur.
5. Fraktur humerus
Pada fraktur humerus ditandai dengan tidak adanya gerakan tungkai spontan,
tidak adanya reflek moro. Penangan pada fraktur humerus dapat optimal jika
dilakukan pada 2-4 minggu dengan imobilisasi tungkai yang mengalami fraktur.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Trauma kelahiran adalah kelahiran pada bayi baru lahir yang terjadi karena trauma kelainan
akibat tindakan, cara persalinan / gangguan yang diakibatkan oleh kelainan fisiologik
persalinan (Sarwono Prawirohardjo, 2001 :229) Caput succedaneum adalah pembengkakan
yang edematosa atau kadang-kadang ekimotik dan difus dari jaringan lunak kulit kepala yang
mengenai bagian yang telah dilahirkan selama persalinan verteks. Edema pada caput
suksadenum dapat hilang pada hari pertama, sehingga tidak diperlukan terapi. Tetapi jika
terjadi ekimosis yang luas, dapat diberikan indikasi fototerapi untuk kecenderungan
hiperbilirubin. Kadang-kadang caput suksadenum disertai dengan molding atau penumpangan
tulang parietalis, tetapi tanda tersebut dapat hilang setelah satu minggu

B. SARAN
1. Diharapkan kepada tenaga kesehatan agar selalu memantau keadaan pada bayi
2. Diharapkan untuk benar-benar mengerti tentang penatalaksanaan pada setiap
kelainan kepala yang mungkin terjadi pada neonatus.
3. Diharapkan kepada setiap orang tua untuk melakukan perawatan bayinya secara
rutin dirumah guna mencegah kemungkinan terjadinya infeksi dan iritasi.
DAFTAR PUSTAKA

Zulfiana NS. Asuhan Kebidanan pada Ibu Bersalin dengan Presentasi Bokong
pada Ny. K G2P1A0 Umur 27 Tahun Hamil 40 Minggu 5 Hari di Rumah Sakit
Umum Daerah Banjarnegara. Diploma Thesis. Purwokerto : Kebidanan DIII
Universitas Muhammadiyah Purwokerto;2011
Kusumawati Y. Faktor - Faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap Persalinan
dengan Tindakan. Tesis. Semarang : Pascasarjana Universitas Diponegoro;
2006.

Anda mungkin juga menyukai