Anda di halaman 1dari 29

PENYULIT DAN KOMPLIKASI PADA NEONATUS

DENGAN JEJAS PERSALINAN


Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Askeb Neonatus Bayi
dan Balita Semester 3 Tahun Pelajaran 2021/2022
Dosen Pembimbing : Hj. Efrida,S.Pd, SST

Oleh

Nama : Salsa Billah Zahra

NIM : 204210424

Prodi : DIII Kebidanan Bukittinggi

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN


KESEHATAN PADANG
2021
KATA PENGANTAR

Terlebih dahulu marilah kita mengucapkan puji dan syukur kehadirat

Allah SWT. Atas rahmat dan karunia-Nya penulis telah dapat menyelesaikan

makalah yang berjudul “Penyulit dan Komplikasi pada Neonatus dengan Jejas

Persalinan”. Adapun tujuan makalah tersebut diajukan untuk memenuhi tugas

mata kuliah Askeb Neonatus Bayi dan Balita tahun pelajaran 2021/2022.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.

Ikhwal ini tidak terlepas dari keterbatasan penulis sebagai manusia biasa yang

tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan. Untuk itu penulis sangat mengharapkan

kritik dan saran yang sifatnya meembangun demi kesempurnaan tugas-tugas yang

akan datang. Terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan,

baik secara langsung maupun tidak langsung .

Bukittinggi, 10 November 2021

Penulis

DAFTAR ISI

ii
Kata Pengantar ............................................................................................. ii

Daftar Isi ......................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ..................................................................................1

B. Rumusan Masalah ..............................................................................2

C. Tujuan ..............................................................................................2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Caput Suksedanium ..........................................................................3

B. Chepal Hematoma..............................................................................7

C. Pendarahan Intrakranial....................................................................10

D. Pendarahan pada Mata......................................................................15

E. Fraktur Anggota Gerak.....................................................................18

F. Perlukaan Saraf ................................................................................20

G. Tindakan untuk Trauma Jalan Lahir.................................................23

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .....................................................................................25

B. Saran ............................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kelahiran seorang bayi merupakan saat yang membahagiakan orang tua,
terutama bayi yang lahir sehat. Bayi yang nantinya tumbuh menjadi anak dewasa
melalui proses yang panjang, dengan tidak mengesampingkan faktor lingkungan
keluarga. Terpenuhinya kebutuhan dasar anak (asah-asih-asuh) oleh keluarga akan
memberikan lingkungan yang terbaik bagi anak, sehingga tumbuh kembang anak
menjadi seoptimal mungkin. Tetapi tidak semua bayi lahir dalam keadaan
sehat.Beberapa bayi lahir dengan gangguan pada masa prenatal, natal dan
pascanatal. Keadaan ini akan memberikan pengaruh bagi tumbuh kembang anak
selanjutnya.(Saiffudin, 2006)
Masalah-masalah yang terjadi pada bayi baru lahir yang diakibatkan oleh
tindakantindakan yang dilakukan pada saat persalinan sangatlah beragam. Trauma
akibat tindakan, cara persalinan atau gangguan kelainan fisiologik persalinan yang
sering kita sebut sebagai cedera atau trauma lahir. Partus yang lama akan
menyebabkan adanya tekanan tulang pelvis. Kebanyakan cedera lahir ini akan
menghilang sendiri dengan perawatan yang baik dan adekuat. Cedera lahir adalah
kelainan bayi baru lahir yang terjadi karena trauma lahir akibat tindakan, cara
persalinan atau gangguan persalinan yang diakibatkan kelainan fisiologis
persalinan. Sebagian besar cedera lahir terjadi selama persalinan lama dan
berlarut-larut atau kesulitan lahir.Cedera lahir dapat terjadi apabila janin besar
atau presentasi atau posisi janin abnormal. Trauma lahir adalah trauma pada bayi
yang diterima dalam atau karena proses kelahiran. Istilah trauma lahir digunakan
untuk menunjukkan trauma mekanik dan anoksik, baik yang dapat dihindarkan
maupun yang tidak dapat dihindarkan, yang didapat bayi pada masa persalinan
dan kelahiran. Trauma dapat terjadi sebagai akibat ketrampilan atau perhatian
medik yang tidak pantas atau yang tidak memadai sama sekali, atau dapat terjadi
meskipun telah mendapat perawatan medis yang terampil dan kompeten dan sama
sekali tidak ada kaitannya dengan tindakan atau sikap orang tua yang acuh tak

1
acuh. Pembatasan trauma lahir tidak meliputi trauma akibat amniosentesis,
tranfusi intrauteri, pengambilan contoh darah vena kulit kepala atau resusitasi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa dan bagaimana trauma jalan lahir caput suksedenium ?
2. Apa dan bagaimana trauma jalan lahir cephal hematoma?
3. Apa dan bagaimana trauma jalan lahir perdarahan pada intracranial?
4. Apa dan bagaimana trauma jalan lahir perdarahan pada mata?
5. Apa dan bagaimana trauma jalan lahir fraktur anggota gerak?
6. Apa dan bagaimana trauma jalan lahir perlukaan syaraf?
7. Apa jenis tindakan untuk trauma jalan lahir?
C. Tujuan
1. Mengetahui apa dan bagaimana trauma jalan lahir caput suksedenium
2. Mengetahui apa dan bagaimana trauma jalan lahir cephal hematoma
3. Mengetahui apa dan bagaimana trauma jalan lahir perdarahan pada
intracranial
4. Mengetahui apa dan bagaimana trauma jalan lahir perdarahan pada mata
5. Mengetahui apa dan bagaimana trauma jalan lahir fraktur anggota gerak
6. Mengetahui apa dan bagaimana trauma jalan lahir perlukaan syaraf
7. Mengetahui apa jenis tindakan untuk trauma jalan lahir

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Caput Suksedanium
1. Pengertian
Cedera kepala merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak
yang di sertai atau tanpa disertai perdarahan instertil dalam substansi otak
tanpa diikuti terputusnya kontiunitas otak (Bouma, 2003). Cedera kepala
yaitu adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan
garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi-
descelerasi) yang merupakan perubahan bentuk yang di pengaruhi oleh
perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan percepatan,
serta rotasi yaitu pergerakan pada kepala di rasakan juga oleh otak sebagai
akibat perputaran pada tindakan pencegahan. Cedera kepala pada dasarnya
dikenal dua macam mekanisme trauma yang mengenai kepala yakni benturan
dan goncangan
Trauma lahir adalah cedera fisik yang terjadi selama persalinan, secara
teoritis sebagian besar cidera dapat dihindari dengan pengkajian dan
perencanaan yang cermat.Namun demikian beberapa cidera tidak dapat
dihindarkan meskipun dengan pengkajian dan perencanaan yang cermat
tersebut karena beberapa cidera tidak dapat di antisipasi sampai terjadi
peristiwa tertentu selama persalinan. Trauma lain dapat diobati nanti atau
akan hilang dengan sendirinya dalam 1-2 hari.
a) Menurut pendapat Diane dan Margaret
mengemukakan jika presentasi bayi adalah kepala, kemungkinan
terdapat bengkak oedema di bawah kulit kepala dan di atas periosteum
yang disebut dengan caput succedaneum. Pada posisi oksipitoanterior,
mungkin terdapat satu caput succedaneum, pada posisi ini caput dapat
terbentuk tetapi kemudian jika oksiput berotasi kearah anterior dapat
terbentuk caput succedaneum kedua. Caput succedaneum kedua juga
dapat terbentuk jika selama kala dua persalinan lahirnya kepala terlambat
dan perineum berfungsi sebagai ‘lingkaran kontak’ lain. Caput

3
succedaneum yang dibuat juga dapat terjadi jika menggunakan mangkuk
ekstraktor vacum, karena bentuknya tersebut dikenal dengan ‘chignon’.
b) menurut Reeder dan Koniak-Griffin
Caput succedaneum adalah pembengkakan atau oedema pada atau
dibawah kulit kepala janin. Pembengkakan edematosa lunak pada kulit
kepala ini sering terjadi pada bagian terendah janin. Tekanan dari uterus
atau jalan lahir dapat mencetuskan penumpukan serum atau darah di atas
periosteum. Ekstraksi vacum juga dapat menyebabkan caput, caput dapat
bervariasi dari area yang kecil hingga kepala menjadi sangat panjang.
Pembengkakan dapat melintasi garis sutura. Tidak ada pengobatan yang
diindikasikan, caput succedaneum biasanya hilang dengan sendirinya
dalam 12 jam atau 1-2 hari setelah lahir.
c) Menurut pendapat Prawirohardjo
Caput succedaneum merupakan penumpukan cairan
serosanguineous, subkutan dan ekstra periostal dengan batas yang tidak
jelas.Kelainan ini biasanya pada presentasi kepala, sesuai dengan posisi
bagian yang bersangkutan.Pada bagian tersebut terjadi oedema sebagai
akibat pengeluaran serum dari pembuluh darah.Kelainan ini disebabkan
oleh tekanan bagian terbawah janin saat melawan dilatasi servix.Caput
succedaneum menyebar melewati garis tengah dan sutura serta
berhubungan dengan moulding tulang kepala. Caput succedaneum
biasanya tidak menimbulkan komplikasi dan akan menghilang dalam
beberapa hari setelah kelahiran.

4
2. Etiologi
Menurut Prawirohardjo (2009:720) faktor predisposisi yang terjadi pada
lahir antara lain :
a) Persalinan yang di akhiri dengan alat ( vacum ekstraksi dan forceps)
b) Persalinan lama
c) Kelahiran sungsang
d) Distosia
e) Macrosomia
f) Presentasi muka
g) Disproporsi sefalopelvic
3. Tanda dan gejala
Tanda dan gejala pada bayi baru lahir dengan caput succedaneum
(Prawirohardjo, 2009:723) yaitu :
a) Oedema di kepala
b) Oedema melampui tulang tengkorak
c) Terasa lembut dan lunak pada perabaan
d) Benjolan berisi serum dan kadang bercampur dengan darah
e) Batasnya tidak jelas
4. Patofisiologi
Caput succedaneum terjadi karena tekanan keras pada kepala
ketika memasuki jalan lahir sehingga terjadi bendungan sirkulasi kapiler dan
limfe di sertai pengeluaran cairan tubuh ke jaringan ekstravakuler, benjolan
pada caput berisi cairan serum dan sedikit bercampur dengan darah, benjolan
tersebut dapat terjadi sebagai akibat tumpang tindihnya (molage) tulang
kepala di daerah sutura pada saat proses kelahiran sebagai upaya bayi untuk
mengecilkan lingkaran kepala agar dapat melewati jalan lahir, pada umumnya
molase ini di temukan pada sutura sagitalis dan terlihat setelah bayi lahir dan
akan menghilang dengan sendirinya dalam waktu 1-2 hari.
5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk bayi baru lahir dengan caput succedaneum
(Reeder dan martin, 2011:683) antara lain :

5
a) Pengawasan keadaan umum bayi
b) Tahan angkat, agar benjolan tidak meluas karena tekanannya meningkat
dan serebrospinalis meningkat keluar
c) Berikan ruangan yang ada ventilasinya dan mendapatkan sinar matahari
yang cukup
d) Berikan ASI yang adekuat
e) Pencegahan infeksi untuk menghindari adanya infeksi pada benjolan
f) Berikan konseling pada orangtua bayi tentang :
1) Keadaan yang di alami oleh bayi
2) Menjelaskan bahwa benjolan akan menghilang dengan sendirinya
3) setelah 1-4 hari tanpa pengobatan
4) Perawatan bayi sehari-hari
5) Manfaat dan teknik pemberian ASI
6. Perbedaan caput Succedabeum dan Chepal Hematoma

N Caput Succedaneum Chepal Hematoma


O
1 Muncul ketika lahir dan Ada waktu lahir atau
akan mengecil setelah sesudah lahir dan akan
lahir membesar setelah lahir
2 Lunak dan tidak Teraba fluktuasi
berfrekuensi
3 Melewati batas sutura Batas tidak melewati
dan teraba moulase sutura
4 Bisa hilang dalam Hilang dalam waktu yang
beberapa jam atau hari lama ( beberapa minggu
atau bulan )
5 Berisi cairan getah Berisi darah
bening

B. Chepal Hematoma

6
1. Pengertian
Cephalohematoma adalah pendarahan yang terjadi pada lapisan di selaput
otak yang menyebabkan terperangkapnya darah pada lapisan tersebut.
Cephalohematoma menimbulkan pembengkakan akibat darah menumpuk di
periosteum. Kondisi ini terjadi pada bayi akibat terganggunya jalan lahir.
Cephalohematoma terjadi pada 2% dari kelahiran. Cephalohematoma
terjadi di lapisan otak bayi yaitu periosteum. Periosteum merupakan lapisan
tebal yang mencakup seluruh permukaan lapisan otak. Periosteum terdiri dari
dua lapisan antara lain:
a) Lapisan fibrosa Luar: Lapisan fibrosa luar terdiri sel kolagen yang
memproduksi fibroblas dan serat saraf. Lapisan luar juga mengandung
banyak pembuluh darah yang memasok osteosit.
b) Lapisan Dalam: Lapisan peiosteum bagian dalam terdiri dari sel
progenitor osteoblas sebagai sel pembuatan tulang.
Fungsi periosteum adalah untuk menjaga perkembangan tulang baru
selama kehidupan janin hingga anak-anak. Membran padat tersebut
menutupi permukaan tulang juga bersatu dengan dura meter pada bagian
tertentu dan melindungi otak.

2. Etiologi
Kondisi utama hematoma adalah disebabkan oleh adanya trauma pada
bagian kepala. Penyebab utama dari munculnya pembengkakan tersebut
antara lain:
a) Persalinan cunam

7
Persalinan cunam atau ekstraksi cunam adalah cara dalam membantu
persalinan dengan alat cunam. Penarikan yang kuat dapat memicu
terjadinya cephalohematoma pada pembuluh darah di lapisan otak bayi
baru lahir.
b) Persalinan Vacum
Persalinan vacum dilakukan pada proses persalinan yang sulit pada posisi
kepala sehingga diperlukan alat vacum untuk menarik bayi keluar.
c) Persalinan pertama
Persalinan pertama juga berdampak pada terjadinya cephalohematoma
karena trauma jalan lahir antara kepala dan tulang pelvis.
d) Persalinan Lama
Persalinan yang berlangsung lama di luar waktu persalinan dapat
beresiko cephalohematoma.
e) Kepala Bayi yang besar
Ukuran lingkar kepala bayi yang besar atau macrocephaly juga dapat
beresiko meningkatkan terjadinya cephalohematoma karena adanya
penekanan saat memasuki lingkar pelvis.
f) Bayi Besar
Ukuran bayi dengan berat badan lahir yang besar juga memicu terjadinya
cephalohematoma akibat penekanan selama jalan lahir.
3. Gejala
Gejala cephalohematoma menimbulkan kelainan pada bentuk kepala bayi.
Gejala mulai muncul sekitar 6 hingga 8 jam setelah lahir dan biasanya hilang
sebelum 24 jam atau minggu berikutnya. Gejala yang ditemukan antara lain:
a) Adanya fluktuasi atau pelunakan pada daerah kepala saat palpasi
b) Adanya pembengkakan yang terbatas tidak sampai melewati sutura
c) Lokasi pembengkakan menetap dan batas yang jelas
d) Kulit kepala tampak berwarna kemerahan akibat terisi darah
e) Benjolan dapat membesar hingga hari ketiga
4. Komplikasi

8
Cephalohematoma dapat menimbulkan komplikasi apabila tidak
diperhatikan dengan segera meskipun dapat hilang dengan sendirinya.
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi antara lain: Infeksi, Ikterusm, dan
Fraktur tulang tengkorak.
Perbedaan cephalohematoma dengan kaput suksedaneum adalah lain
halnya dengan cephalohematoma, kaput suksedanum juga merupakan
pembengkakan atau benjolan, tetapi ini terjadi akibat adanya penumpukan
getah bening akibat tekanan pada bagian kepala saat jalan lahir. Pada kaput
suksedaneum, pembengkakan dapat melewati sutura dengan batas yang tidak
jelas. Benjolan akan menghilang perlahan selama 3 minggu.
5. Penatalaksanaan
Tatalaksana cepahlohematoma dapat dilakukan melalui konsultasi dokter
sehingga ibu dapat mengenai tata cara terbaik pada bayi. Sebenarnya
cephalohematoma tidak memerlukan penanganan khusus karena kondisi ini
dapat menghilang sekitar 2 hingga 6 minggu bergantung ukuran benjolan.
Intinya ibu perlu mengetahui perbedaan antara cepahlohematoma dan kaput
suksedaneum melalui diagnosa dokter.
Cephalohematoma tanpa fraktur hanya perlu menunggu penurunan ukuran
benjolan, pemberian vitamin K juga perlu. Pada daerah benjolan perlu dijaga
higienitas dan kebersihannya guna mencegah infeksi berulang.
Apabila ditemukan adanya fraktur yang menimbulkan cephalohematoma,
maka kondisi ini perlu ditangani di rumah sakit untuk mencegah komplikasi
lebih serius. Pemeriksaan laboratorium seperti hematokrit, X-ray kepala, foto
toraks, dan observasi ketat perlu dilakukan agar mencegah perburukan
kondisi.
Selama penanganan tersebut dimohon kepada ibu untuk selalu menjaga
kebersihan baik diri sendiri atau lingkungan agar mencegah infeksi pada bayi.
Selama proses penyembuhan dianjurkan untuk konsultasi kembali ke dokter
untuk memeriksa kondisi kesehatan bayi.

9
C. Pendarahan Intrakranial
1. Pengertian
Perdarahan intrakranial merupakan perdarahan atau akumulasi darah
dalam rongga intrakranium yang dapat terjadi pada parenkim otak dan pada
ruang meninges sekitarnya.Perdarahan intrakranial dapat disebabkan oleh
kejadian traumatik maupun nontraumatik.Perdarahan yang terjadi pada ruang
meninges dapat berupa perdarahan epidural, perdarahan subdural, dan
perdarahan subaraknoid.Perdarahan pada parenkim otak dapat meluas hingga
ke ventrikel otak, disebut sebagai perdarahan intraventrikular. Perdarahan
pada parenkim otak ini akan menyebabkan terjadinya stroke hemorrhagik
pada pasien
Penyebab traumatik perdarahan intrakranial berupa cedera otak traumatik
yang mengakibatkan pecahnya pembuluh darah otak dan
perdarahan.Penyebab nontraumatik di antaranya adalah peningkatan tekanan
darah, misalnya akibat eklampsia atau hipertensi. Risiko perdarahan akan
meningkat pada pasien yang menggunakan antikoagulan seperti warfarin dan
heparin.
Perdarahan intrakranial dapat didiagnosis dengan anamnesis berupa
adanya penurunan kesadaran dan riwayat cedera kepala serta dilanjutkan
dengan pemeriksaan fisik untuk memeriksa adanya trauma pada kepala dan
pemeriksaan fungsi neurologis. Diagnosis perdarahan intrakranial
dikonfirmasi dengan pencitraan otak menggunakan CT Scan kepala atau MRI
otak.
Prinsip penatalaksanaan perdarahan intrakranial adalah pencegahan dan
penanganan segera hipertensi intrakranial dan cedera otak sekunder, serta
menjaga tekanan perfusi serebral. Hal ini akan memastikan oksigenasi
adekuat ke jaringan otak yang cedera. Penatalaksanaan perdarahan
intrakranial dilakukan dengan medikamentosa dan intervensi pembedahan.

10
2. Patofisiologi
Patofisiologi perdarahan intrakranial bergantung dari penyebab terjadinya,
dapat berupa traumatik dan nontraumatik. Perdarahan intrakranial traumatik
terjadi akibat proses trauma yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah
otak. Pada perdarahan intrakranial nontraumatik, perdarahan disebabkan oleh
penyakit yang menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah.
a) Perdarahan Intrakranial Traumatik
Perdarahan intrakranial traumatik disebabkan oleh cedera otak traumatik
yang selanjutnya menyebabkan pecahnya pembuluh darah otak dan
perdarahan. Perdarahan akibat trauma ini dapat berhubungan dengan fraktur
tengkorak, misalnya pada perdarahan ekstradural, atau akibat gaya geser
(shearing force), misalnya pada diffuse axonal injury. [1,3,4]
b) Perdarahan Intrakranial Nontraumatik
Perdarahan intrakranial nontraumatik biasanya disebabkan oleh penyakit
pembuluh darah kecil.Diawali dengan perubahan degeneratif pada dinding
pembuluh darah yang disebabkan vaskulopati.akibat hipertensi jangka
panjang. Hal ini disebut sebagai lipohialinosis. Selain itu, jika perdarahan
disebabkan oleh angiopati amiloid serebral, maka proses perdarahan diawali
dengan deposisi peptida amiloid-beta pada dinding pembuluh darah kecil
leptomeningeal dan korteks. Akhirnya, akan terjadi perubahan degeneratif
yang ditandai dengan matinya sel-sel otot polos, penebalan dinding,
penyempitan lumen pembuluh darah, pembentukan aneurisma mikro dan
perdarahan-perdarahan mikro yang disebabkan oleh akumulasi amiloid.
[1,3,4]
c) Cedera Otak Sekunder

11
Pecahnya pembuluh darah dan perdarahan yang terjadi selanjutnya akan
menyebabkan penekanan atau kerusakan mekanik pada parenkim otak.
Dilanjutkan dengan edema perihematoma yang terjadi dalam waktu 3 jam
setelah onset gejala. Puncak edema ini diperkirakan adalah sekitar 10-20 hari
setelah onset. Selanjutnya, proses kerusakan sekunder akan terjadi yang
dimediasi oleh sel-sel darah dan plasma. Kemudian, akan terjadi proses
peradangan yang ditandai dengan aktivasi kaskade koagulasi dan deposisi
besi hasil degradasi hemoglobin. P ada akhirnya, hematoma akan membesar
dalam 24 jam pertama (hal ini terjadi pada 38% pasien).
3. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan perdarahan intrakranial diawali dengan
minimalisasi kerusakan dan stabilisasi pasien di unit gawat darurat (UGD),
penatalaksanaan lanjutan misalnya dengan menjaga kondisi euvolemia dan
memperbaiki kondisi koagulopati, serta reduksi tekanan intrakranial baik
dengan medikamentosa maupun tindakan operasi.
a) Penatalaksanaan Awal di UGD
Beberapa langkah awal yang dilakukan pada pasien dengan perdarahan
intrakranial, antara lain:
- Melakukan intubasi untuk memastikan jalan nafas pasien, terutama
pada pasien dengan penurunan kesadaran. Lakukan pemeriksaan
neurologis sebelum memberikan agen sedasi dan paralisis
- Menurunkan tekanan darah dengan perlahan hingga target mean
arterial pressure (MAP) < 130 mmHg. Tekanan darah tinggi
berhubungan dengan ekspansi hematoma dan prognosis yang buruk
- Stabilisasi tanda vital
b) CT Scan Emergensi
Pada pasien dengan perdarahan intrakranial, terutama yang
mengalami penurunan kesadaran, CT Scan kepala perlu dilakukan segera
untuk menentukan perlu tidaknya merujuk pasien ke bedah saraf, lokasi
dan volume perdarahan, serta risiko cedera otak sekunder.
c) Penatalaksanaan Lanjutan

12
Setelah kondisi pasien dan tanda vital sudah stabil, lakukan reduksi
tekanan intrakranial untuk menjaga cerebral perfussion pressure (CPP),
koreksi koagulopati, penanganan kejang, serta menjaga homeostasis
pasien.
d) Reduksi Tekanan Intrakranial
Reduksi tekanan intrakranial dilakukan dengan langkah-langkah berikut
ini:
- Elevasi kepala 15-30 derajat. Walau demikian, studi terkini
menunjukkan kontroversi antara posisi supinasi dan elevasi kepala
- Hiperventilasi pada pasien yang sudah diintubasi untuk mencapai
target pCO2 30-35 mmHg
- Pemberian cairan saline hipertonik hingga target serum natrium
155-160 mEq/L. Cairan hipertonik terbukti lebih efektif
dibandingkan mannitol dalam menurunkan tekanan intrakranial.
Mannitol dapat digunakan sebagai alternatif dengan dosis 0,25-1
gram/kgBB
- Intervensi pembedahan berupa pemasangan monitor tekanan darah
intrakranial, drainase ventrikular eksternal, kraniotomi, evakuasi
bekuan darah pada perdarahan epidural, serta kraniektomi
dekompresi
e) Koreksi Koagulopati
Pasien end-stage liver disease atau pasien yang mendapat warfarin
dapat ditangani dengan pemberian vitamin K sedangkan pasien yang
mendapat heparin dapat diberikan protamine.Pada koagulopati terkait
trauma, pasien dapat diberikan platelet dan fresh frozen plasma (FFP).
f) Penanganan Kejang
Profilaksis kejang tidak lagi disarankan pada perdarahan
intrakranial.Pasien perdarahan intrakranial yang mengalami kejang perlu
diberikan benzodiazepines seperti diazepam, serta antikonvulsan seperti
phenytoin.
g) Menjaga Homeostasis

13
Pasien harus dipantau suhu, status cairan dan gula darahnya untuk
memastikan kondisi pasien tidak mengalami hipertermia, dan terjaga
tetap euglikemia dan euvolemia.
4. Penatalaksanaan Definitif: Pembedahan
Pembedahan pada perdarahan intrakranial tidak diperlukan pada pasien
dengan defisit neurologis yang minimal atau volume perdarahan<10
mL.Tindakan pembedahan pada pasien perdarahan intrakranial perlu
dilakukan pada pasien berikut :
- Ukuran perdarahan > 3 cm
- Perdarahan intrakranial yang berhubungan dengan kerusakan
struktural pembuluh darah
- Pasien usia muda dengan perdarahan bagian lobar
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebelum pembedahan, antara lain :
- Perjalanan penyakit dan timing: pembedahan optimal dilakukan
dalam 48-72 jam awal, namun dapat dilakukan hingga 2 minggu
setelah onset jika memang harus menunggu kondisi pasien stabil
- Usia pasien dan kondisi komorbid pasien: pada orang tua dengan
kondisi komorbid yang banyak, tindakan operatif dapat memperburuk
kondisi pasien
- Penyebab perdarahan: penyebab perdarahan perlu diketahui agar
tindakan operatif dapat dengan tepat dilakukan dan luaran pasien
maksimal
- Lokasi hematoma: lokasi hematoma yang sulit dijangkau mungkin
memerlukan teknik operatif yang berbeda
- Efek massa (mass effect) dan pola drainase. Efek massa adalah
fenomena adanya lesi fokal ataupun kontusio yang menyebabkan
jaringan dan struktur otak mengalami penekanan dan kerusakan
- Kemungkinan pasien untuk dapat kembali pulih setelah tindakan
pembedahan

14
Tindakan pembedahan yang dapat dilakukan, antara lain adalah
perbaikan aneurisma, penanganan malformasi arteriovenosa, serta
kraniotomi dekompresi.
- Perbaikan Aneurisma
Perbaikan aneurisma dilakukan dengan memasang clamp pada dasar
aneurisma untuk mencegah perdarahan. Perbaikan aneurisma juga
dapat dilakukan dengan embolisasi coil yang dimasukkan
menggunakan kateter.
- Penanganan Malformasi Arteriovenosa
Malformasi arteriovenosa dapat diatasi menggunakan pembedahan,
radiologi intervensi (digital substraction angiography), maupun
embolisasi.Pertimbangan pemilihan modalitas didasarkan pada usia
pasien, lokasi, dan ukuran malformasi.
- Kraniektomi Dekompresi
Tindakan ini dilakukan ketika nyawa pasien terancam oleh
peningkatan tekanan intrakranial, tindakan ini bergantung pada
lokasi perdarahan, usia dan kondisi medis pasien.

D. PENDARAHAN PADA MATA


1. Perdarahan Subkonjungtiva
Perdarahan subkonjungtiva adalah pecahnya pembuluh darah kecil
di bawah konjungtiva.Kondisi ini ditandai dengan bercak merah terang di
bagian putih mata.Meski gejalanya terlihat serius, perdarahan
subkonjungtiva umumnya tidak berbahaya. Konjungtiva adalah
permukaan bening yang melapisi mata dan mengandung banyak
pembuluh darah kecil halus.Perdarahan subkonjungtiva terjadi ketika
pembuluh darah kecil di bawah konjungtiva pecah.Ketika pembuluh
darah tersebut pecah, darah akan memenuhi area antara konjungtiva dan
sklera (bagian putih mata). Akibatnya, bagian putih mata akan terlihat
kemerahan.

15
2. Etiologi
Penyebab perdarahan subkonjungtiva tidak selalu diketahui secara
pasti.Namun, pembuluh darah pada bagian ini memang cenderung lebih
rapuh. Pada sebagian penderita, pembuluh darah ini bisa pecah akibat
aktivitas atau kondisi yang meningkatkan tekanan di mata, misalnya:
a) Muntah-muntah
b) Mengejan
c) Mengangkat benda berat
d) Mengucek mata terlalu keras
e) Batuk atau bersin yang terlalu kuat
Ada beberapa faktor yang bisa meningkatkan risiko seseorang terkena
perdarahan subkonjungtiva, yaitu:
a) Lanjut usia
b) Menderita diabetes
c) Menderita tekanan darah tinggi (hipertensi)
d) Menderita gangguan pembekuan darah
e) Mengonsumsi obat pengencer darah, seperti aspirin atau warfarin
3. Gejala
Gejala perdarahan subkonjungtiva adalah bercak merah terang di satu
bagian atau beberapa bagian putih mata.Umumnya, penderita tidak
merasakan gejala selain itu.Namun, ada sebagian penderita yang juga
mengalami iritasi ringan pada mata.
4. Diagnosis Perdarahan Subkonjungtiva
Untuk mendiagnosis, dokter mata akan menanyakan keluhan pasien,
riwayat cedera mata, riwayat perdarahan atau memar, serta riwayat kesehatan

16
pasien secara keseluruhan, termasuk pekerjaan dan gaya hidup. Setelah itu,
dokter akan mengukur tekanan darah pasien dan melakukan pemeriksaan fisik
pada mata. Pada pasien yang mengalami perdarahan subkonjungtiva berulang
kali, dokter mungkin akan melakukan tes darah untuk memastikan apakah
pasien menderita gangguan pembekuan darah.
5. Penatalaksanaan
Perdarahan subkonjungtiva tidak memerlukan pengobatan khusus.
Umumnya, kondisi ini akan sembuh dengan sendirinya dalam 7–14 hari. Jika
pasien merasakan iritasi, dokter dapat memberikan obat tetes air mata buatan
untuk meredakannya. Jika dokter menduga perdarahan subkonjungtiva
disebabkan oleh hipertensi atau gangguan pembekuan darah, dokter akan
meresepkan obat-obatan untuk mengatasi penyebab tersebut. Pasien juga
mungkin akan dirujuk ke dokter spesialis penyakit dalam untuk mendapatkan
pemeriksaan dan pengobatan lebih lanjut.
6. Komplikasi
Perdarahan subkonjungtiva umumnya tidak menyebabkan komplikasi.
Namun, jika perdarahan subkonjungtiva disebabkan oleh cedera mata, dokter
akan melakukan pemeriksaan mata untuk memastikan agar tidak ada
komplikasi akibat kondisi tersebut.
7. Pencegahan
Perdarahan subkonjungtiva dapat dicegah dengan cara-cara berikut:
a) Mengucek mata dengan perlahan bila mata sedang gatal
b) Membersihkan lensa kontak secara berkala
c) Memakai pelindung mata ketika sedang berolahraga atau melakukan
aktivitas yang berisiko menyebabkan cedera mata
d) Berkonsultasi dengan dokter jika sedang mengonsumsi obat pengencer
darah

17
E. FRAKTUR PADA ANGGOTA GERAK
1. Trauma pleksus brakialis
Trauma pleksus brakialis menyebabkan paralisis bagian lengan atas
dengan atau tanpa paralisis lengan bawah atau tangan, atau di bagian
keseluruhan lengan. Jejas pleksus brakialis kerap dialami oleh bayi
makrosomik dan pada penarikan lateral dipaksakan pada kepala dan leher
selama persalinan bahu pada presentasi vertex atau bila lengan diekstensikan
berlebihan diatas kepala pada presentasi bokong sertaadanya penarikan
berlebihan pada bahu.
Pengobatan pada trauma pleksus brakialis dapat dilakukan dengan
imobilisasi parsial dan penempatan posisi secara tepat untuk mencegah
perkembangan kontraktur.

Temuan Klinis

a. Bayi yang terkena biasanya besar dan mengalami asfiksia


b. Lengan yang terkena biasanya mengalami aduksi, rotasi internal,
memanjang di bagian siku, pronasi lengan, dan fleksi di bagian
pergelangan tangan

Tatalaksana

a. Imobilisasi parsial ekstremitas yang terkena selama 1-2 minggu pada


posisi yang berseberangan
b. Masase lembut dan latihan pasif setelah 1-2 minggu dan teruskan
hingga 3 bulan

18
c. Jika tidak ada peningkatan, rujuk ke dokter bedah untuk mencari
kemungkinan dilakukannya intervens
2. Fraktur klavikula
Ada beberapa gejala dan tanda yang dapat menggolongkan fraktur
klavikula yang dialami oleh bayi. Gejala dan tandanya antara lain bayi
kesulitan atau tidak sama sekali menggerakkan lengan secara bebas pada sisi
yang terkena, krepitasi dan ketidakteraturan tulang, kadang-kadang disertai
perubahan warna pada sisi fraktur, tidak adanya refleks moro pada sisi yang
terkena, adanya spasme otot sternokleidomastoideus yang disertai dengan
hilangnya depresi supraklavikular pada daerah fraktur.
Klavikula adalah tulang yang paling sering fraktur saat proses
kelahiran. Sebagian besar kasus fraktur klavikula adalah tipe greenstick,
tapi beberapa kasus lainnya fraktur lengkap.2,4 Penyebab utama fraktur
klavikula adalah distosia bahu saat kelahiran di keadaan vertex dan
penarikan lengan saat kelahiran sungsang. Fraktur klavikula juga dapat
terjadi pada bayi dengan persalinan normal, terkait dengan gerakan
abnormal, anatomi panggul ibu dan posisi janin dalam kandungan. Fraktur
klavikula biasanya terjadi unilateral, sedangkan fraktur klavikula bilateral
sangat jarang ditemukan..
Presentasi Klinis
a. Menurunnya gerakan lengan ipsilateral
b. Nyeri saat pergerakan pasif
c. Nyeri, krepitasi pada klavikula
d. Tidak adanya refleks Moro pada bagian yang terkena
e. Kalus bisa dipalpasi pada usia  7-10 hari
f. Hasil X-Ray memastikan diagnosis

Penatalaksanaan

Lengan dan bahu yang terkena tidak dimobilisasi selama 7-10 hari.

3. Fraktur humerus

19
Pada fraktur dapat diidentifikasi jika memiliki tanda-tanda berikut ini yaitu
spontan dan tidak adanya reflek moro. Penanganan pada fraktur humerus
yaitu melalui imobilisasi tungkai yang mengalami fraktur dengan jangka
waktu 2-4 minggu.
4. Fraktur tulang tengkorak
Pada umumnya fraktur tulang tengkorak timbul karena konsekuensi dari
simfisis, pubis, penggunaan forceps atau cunam atau promontorium, atau
frekuensi pernapasan, spina ischiadica yang dialami ibu ketika persalinan
dengan menggunakan disproporsi sefalopelvik Salah satu kondisi yang sering
terjadi pada fraktur tulang tengkorak adalah fraktur linier yang tidak memiliki
gejala serta mekanisme pengobatan yang khusus. Ada juga yang disebut
dengan fraktur depresi karena terlihat kalvarium menyerupai lekukan.Semua
jenis fraktur tulang tengkorak ini wajib untuk direposisi agar dapat
menghindari cedera, korteks yang diakibatkan tekanan yang terjadi secara
kontinu dengan menggunakan anestesi lokal local dalam minggu pertama
terutama ketika kondisi bayi stabil pasca melahirkan.
5. Fraktur dan dislokasi tulang belakang
Kondisi ini tergolong jarang ditemukan sehari hari karena adanya traksi
kuat untuk melahirkan kepala janin pada presentasi sungsang atau untuk
melahirkan bahu pada presentasi kepala.Fraktur atau dislokasi pada umumnya
kerap dialami oleh tulang belakang servikal bagian bawah dan torakal bagian
atas. Tipe lesinya berkisar dari pendarahan setempat hingga destruksi total
medula spinalis pada satu atau lebih leval cerebral. Jika tidak ditangani
dengan baik, kondisi bayi bisa mengalami penurunan yang signifikan disertai
depresi pernafasan, syok dan hipotermia.Jika keadaannya semakin parah,
maka kondisi ini dapat mengantarkan bayi kepada kematian.Jika bayi
selamat, maka diperlukan pengobatan yang suportif agar dapat mencegah
terjadinya cedera secara permanen.

20
F. PERLUKAAN SYARAF
1. Paralisis nervus fasialis
Kondisi ini terjadi ketika perifer pada nervus facialis saat
kelahiran.Kondisi ini melahirkan bayi dengan kondisi ekstraksi cunam.
Kelumpuhan perifer ini bersifat flaksid, dan bila kelumpuhan terjadi total,
akan mengenai seluruh sisi wajah termasuk dahi. Jika bayi menangis, maka
perlu untuk melakukan pengamatan pada gerak muka untuk mengetahui ada
atau tidaknya kelumpuhan.Ada beberapa kondisi yang dapat mengindikasikan
bayi tersebut mengalami kelumpuhan misalnya mulut tertarik ke salah satu
sisi. Pada sisi yang terkena gangguan, dahinya akan terlihat licin, mata tidak
dapat ditutup karena kehilangan sensor mata dan kehilangan refleks, lipatan
nasolabial tidak ada dan sudut mulut kelihatan jatuh.Kelainan biasanya terjadi
dapat hilang dengan sendirinya tanpa tindakan yang khusus.
2. Paralisis nervus frenikus
Kondisi ini pada umumnya terjadi pada bagian kanan dan konsekuensinya
menyebabkan paralisis diafragma. Gangguan ini kerap hadir karena kelahiran
sungsang. Kondisi ini bisanya diikuti dengan paralisis Duchenne-Erb dan
diafragma kanan yang terkena gangguan ketika mengalami kondisi ini. Ketika
terjadi paralisis berat bayi dapat memperlihatkan sindrom gangguan
pernafasan dengan dispnea dan sianosis. Diagnosis ditegakkan dengan
pemeriksaan rontgen foto torak atau fluoroskopi yang dapat menganalisis
diafragma sebelah mana yang terganggu. Biasanya diafragma yang terganggu
posisinya lebih tinggi dibandingkan diafragma Pengobatan yang dilakukan
pada kondisi ini merupakan jenis pengobatan simptomatik. Bayi dalam
pengobatan ini diletakkan pada sisi yang terkena gangguan dan kalau perlu
diberi oksigen. Infeksi paru dapat diartikan sebagai komplikasi yang berat.
Penyembuhan memerlukan waktu yang biasanya terjadi secara spontan 1
sampai 3 bulan.
3. Paralisis plexus brachialis
Pada kondisi paralisis plexus brachialis dapat dibagi menjadi beberapa
jenis.

21
a) Paralisis Duchenne-Erb
Dapat didefinisikan sebagai sebuah bentuk kelumpuhan bagian dari
tubuh tertentu yang disarafi oleh C5 dan C6 dari plexus brachialis. Dalam
kondisi ini juga dapat ditemukan beberapa kelemahan dari segi abduksi
atau fleksi, serta gerakan memutar keluar yang juga ditandai dengan
hilangnya refleks biseps dan Moro.
b) Paralisis Klumpke
Kondisi ini terjadi karena adanya kelumpuhan pada bagian tubuh
yang disarafi oleh C8-Th 1 dari plexus brachialis. Dalam hal ini terjadi
kelemahan yang dapat dilihat dari fleksor pergelangan yang ditandai
dengan kesulitan bayi dalam melakukan penggegaman.Kondisi ini
diakibatkan karena adanya tarikan yang kuat di daerah leher ketika
persalinan.Tindakan tersebut berimplikasi pada kerusakan plexus
brachialis.Biasanya tindakan ini banyak terjadi pada persalinan sungsang
apabila dilakukan traksi yang kuat dalam usaha melahirkan kepala
bayi.Pada persalinan presentasi kepala, kelainan dapat terjadi pada janin
yaitu bahu yang lebar.Penanggulangannya dapat dilakukan dengan
melakukan gerakan abduksi 90° pada lengan dan juga putaran ke luar.
Siku berada dalam fleksi 90° dilakukan juga dengan supinasi lengan
bawah dengan ekstensi pergelangan dan telapak tangan menghadap ke
depan. Tahan posisi ini dalam beberapa hitungan waktu.Penyembuhan
biasanya setelah beberapa hari, namun juga ada 3-6 bulan.
4. Paralisis pita suara
Gangguan timbul karena traksi yang kuat terutama di bagian leher ketika
proses persalinan. Trauma jenis ini juga menyasar cabang ke laring dari
nervus vagus, yang mengakibatkan munculnya gangguan pita suara (afonia),
stridor pada inspirasi, atau sindrom gangguan pernafasan.Gangguan ini
memerlukan waktu 4-6 minggu atau terkadang memerlukan tindakan
trakeostomi pada kasus–kasustertentu untuk menghilang secara alami.
5. Kerusakan medulla spinalis

22
Gangguan ini kerap ditemukan pada persalinan letak sungsang, presentasi
dahi dan presentasi muka.Gangguan ini diakibatkan oleh peregangan
longitudinal tulang belakang karena hiperfleksi, tarikan atau hiperekstensi
pada kelahiran.Gejala yang ditemukan sangat dipengaruhi oleh bagian medula
spinalis yang terkena dan dapat menunjukan paralisis kedua tungkai, sindrom
gangguan pernafasan, retensi urine, dan sebagainya.Jika kerusakan yang
terjadi secara ringan maka tidak memerlukan tindakan apapun yang spesifik,
namun dalam beberapa kasus diperlukan tindakan pembedahan.

G. JENIS TINDAKAN UNTUK TRAUMA LAHIR


Jejas lahir merupakan istilah untuk menunjukkan trauma mekanik yang dapat
dihindari atau tidak dapat dihindari, serta trauma anoksia yang dialami bayi
selama kelahiran dan persalinan. Beberapa macam jejas persalinan yang akan
dibahas, antara lain :
1. Caput Suksadenum
Caput suksadenum adalah pembengkakan yang edematosa atau kadang-
kadang ekimotik dan difus dari jaringan lunak kulit kepala yang mengenai
bagian yang telah dilahirkan selama persalinan verteks.Edema pada caput
suksadenum dapat hilang pada hari pertama, sehingga tidak diperlukan
terapi.Tetapi jika terjadi ekimosis yang luas, dapat diberikan indikasi
fototerapi untuk kecenderungan hiperbilirubin.Kadang-kadang caput
suksadenum disertai dengan molding atau penumpangan tulang parietalis,
tetapi tanda tersebut dapat hilang setelah satu minggu.
2. Sefalhematoma
Sefalhematoma merupakan perdarahan subperiosteum.Sefalhematoma
terjadi sangat lambat, sehingga tidak nampak adanya edema dan eritema pada
kulit kepala.Sefalhematoma dapat sembuh dalam waktu 2 minggu hingga 3
bulan, tergantung pada ukuran perdarahannya.Pada neonatus dengan
sefalhematoma tidak diperlukan pengobatan, namun perlu dilakukan
fototerapi untuk mengatasi hiperbilirubinemia.Tindakan insisi dan drainase
merupakan kontraindikasi karena dimungkinkan adanya risiko

23
infeksi.Kejadian sefalhematoma dapat disertai fraktur tengkorak, koagulopati
dan perdarahan intrakranial.
3. Trauma pleksus brakialis
Jejas pada pleksus brakialis dapat menyebabkan paralisis lengan atas
dengan atau tanpa paralisis lengan bawah atau tangan, atau lebih lazim
paralisis dapat terjadi pada seluruh lengan. Jejas pleksus brakialis sering
terjadi pada bayi makrosomik dan pada penarikan lateral dipaksakan pada
kepala dan leher selama persalinan bahu pada presentasi verteks atau bila
lengan diekstensikan berlebihan diatas kepala pada presentasi bokong serta
adanya penarikan berlebihan pada bahu.
Trauma pleksus brakialis dapat mengakibatkan paralisis Erb-Duchenne
dan paralisis Klumpke.Bentuk paralisis tersebut tergantung pada saraf
servikalis yang mengalami trauma.Pengobatan pada trauma pleksus brakialis
terdiri atas imobilisasi parsial dan penempatan posisi secara tepat untuk
mencegah perkembangan kontraktur.
4. Fraktur klavikula
Tanda dan gejala yang tampak pada bayi yang mengalami fraktur
klavikula antara lain : bayi tidak dapat menggerakkan lengan secara bebas
pada sisi yang terkena, krepitasi dan ketidakteraturan tulang, kadang-kadang
disertai perubahan warna pada sisi fraktur, tidak adanya refleks moro pada
sisi yang terkena, adanya spasme otot sternokleidomastoideus yang disertai
dengan hilangnya depresi supraklavikular pada daerah fraktur.
5. Fraktur humerus
Pada fraktur humerus ditandai dengan tidak adanya gerakan tungkai
spontan, tidak adanya reflek moro.Penangan pada fraktur humerus dapat
optimal jika dilakukan pada 2-4 minggu dengan imobilisasi tungkai yang
mengalami fraktur.

24
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Trauma kelahiran adalah kelahiran pada bayi baru lahir yang terjadi karena
trauma kelainan akibat tindakan, cara persalinan / gangguan yang diakibatkan oleh
kelainan fisiologik persalinan (Sarwono Prawirohardjo, 2001 :229) Caput
succedaneum adalah pembengkakan yang edematosa atau kadang-kadang
ekimotik dan difus dari jaringan lunak kulit kepala yang mengenai bagian yang
telah dilahirkan selama persalinan verteks. Edema pada caput suksadenum dapat
hilang pada hari pertama, sehingga tidak diperlukan terapi. Tetapi jika terjadi
ekimosis yang luas, dapat diberikan indikasi fototerapi untuk kecenderungan
hiperbilirubin. Kadang-kadang caput suksadenum disertai dengan molding atau
penumpangan tulang parietalis, tetapi tanda tersebut dapat hilang setelah satu
minggu
Trauma dapat terjadi sebagai akibat ketrampilan atau perhatian medik
yang tidak pantas atau yang tidak memadai sama sekali, atau dapat terjadi
meskipun telah mendapat perawatan kebidanan yang terampil dan kompeten dan
sama sekali tidak ada kaitannya dengan tindakan atau sikap orang tua yang acuh
tak acuh
B. Saran
Demikian yang dapat penulis paparkan mengenai materi yang menjadi
pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahan karena terbatasnya pengetahuan dan kekurangan rujukan atau referensi
yang ada hubungannya dengan judul makalah yang penulis susun tersebut. Penulis
berharap para pembaca sudi  memberikan kritik dan saran yang tentunya
membangun kepada penulis.

25
DAFTAR PUSTAKA
https://id.scribd.com/doc/287828345/Caput-Suksadenum
https://kulon2.undip.ac.id/mod/book/tool/print/index.php?
id=117169&chapterid=913
https://nurma.staff.uns.ac.id/wp-content/blogs.dir/389/files/2009/09/asuhan-
neonatus-dengan-jejas-persalinan.doc
https://www.honestdocs.id/cephalohematoma
https://id.scribd.com/document/403172897/cephal-hematoma-pada-neonatus-pdf
https://www.alodokter.com/komunitas/topic/mata-bayi-baru-lahir-ada-bercak-
darah
https://kulon2.undip.ac.id/mod/book/tool/print/index.php?
id=117169&chapterid=914

26

Anda mungkin juga menyukai