Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

“ASUHAN PADA NEONATUS DENGAN JEJAS PERSALINAN”

DI SUSUN OLEH:

KELOMPOK 4

ADRIZANI NELLA

AMELIANA NURHIKMA

ELFINA PERTIWI NUN AINI

LADYA SYAFRIANI RAHMADANA

DIII KEBIDANAN
TAHUN AKADEMIK 2022/ 2023
STIKES BINA BANGSA MAJENE
1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat-Nya penulis
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan Pada Neonatus dengan Jejas
Persalinan”.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas perkuliahan Asuhan Kebidanan I
yang dibina oleh Ibu Hasmidar
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan
untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Akhir kata semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat kepada kita sekalian.

Majene, 26 Februari 2023


Penulis

2
DAFTAR ISI
Halaman
Kata pengantar 1
Daftar Isi 2
BAB I PENDAHULUAN 3
A. Latar Belakang 3
B. Tujuan 3
BAB II PEMBAHASAN 4
A. Penyebab Jejas Kelahiran 4
B. Jenis Jejas Kelahiran 10
BAB III PENUTUP 36
DAFTAR KEPUSTAKAAN 37

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Trauma lahir merupakan perlakuan pada bayi baru lahir yang terjadi dalam proses
persalinan atau kelahiran. Luka yang terjadi pada saat melahirkan amniosentesis, transfusi,
intrauterin, akibat pengambilan darah vena kulit kepala fetus, dan luka yang terjadi pada
waktu melakukan resusitasi aktif tidak termasuk dalam pengertian perlakukan persalinan atau
trauma lahir.Pengertian perlakuan persalinan sendiri dapat berarti luas, yaitu sebagai trauma
mekanis atau sering disebut trauma lahir dan trauma hipoksik yang disebut sebagai
asfiksia.Trauma lahir mungkin masih dapat dihindari atau dicegah, tetapi ada kalanya
keadaan ini sukar untuk dicegah lagi sekalipun telah ditangani oleh seorang ahli yang terlatih.
Angka kejadian trauma lahir pada beberapa tahun terakhir ini menunjukkan kecenderungan
menurun.Hal ini disebabkan banyak kemajuan dalam bidang obstetri, khususnya
pertimbangan seksio sesarea atau indikasi adanya kemungkinan kesulitan melahirkan
bayi.Cara kelahiran bayi sangat erat hubungannya dengan angka kejadian trauma lahir.
Angka kejadian trauma lahir yang mempunyai arti secara klinis berkisar antara 2 sampai 7
per seribu kelahiran hidup.

B. Tujuan
Tujuan dari makalah ini yaitu :
a. memahami tentang Penyebab Jejas Persalinan
b. memahami tentang Jenis Jejas Persalinan

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Penyebab Jejas Persalinan


Jejas atau trauma persalinan adalah kelahiran pada bayi baru lahir yang terjadi karena
trauma kelainan akibat tindakan, cara persalinan / gangguan yang diakibatkan oleh kelainan
fisiologik persalinan (Sarwono Prawirohardjo, 2001 :229). Menurut A.H. Markum dkk
(1991 : 266) etiologi/penyebabnya antara lain :
1. Makrosomia
2. Mal presentasi (bagian terendah janin yang tidak sesuai)
3. Presentasi ganda (bagian terendah janin lebih dari 1 bagian)
4. Disproporsi sephalo pelvik (ketidak sesuaian panggul dan kepala janin)
5. Kelahiran dan tindakan (proses persalinan yang tidak spontan tapi dengan menggunakan
alat)
6. Persalinan lama (persalinan yang lebih dari 24 jam)
7. Persalinan presipitatus (persalinan dimana gejala Kala I tidak dirasakan sakit dan berakhir
dengan lahirnya bayi)
8. Bayi kurang bulan (bayi lahir dengan usia kehamilan 22 – 26 minggu)
9. Distosia bahu (kemacetan bahu)
Lokasi atau tempat trauma lahir sangat erat hubungannya dengan cara lahir bayi tersebut
atau phantom yang dilakukan penolong persalinan waktu melahirkan bayi. Dengan demikian
cara lahir tertentu umumnya mempunyai predisposisi lokasi trauma lahir tertentu pula. Secara
klinis trauma lahir dapat bersifat ringan yang akan sembuh sendiri atau bersifat laten yang
dapat meninggalkan gejala sisa.
Selain trauma lahir yang disebabkan oleh faktor mekanis dikenal pula trauma lahir yang
bersifat hipoksik. Pada bayi kurang bulan khususnya terdapat hubungan antara hipoksik
selama proses persalinan dengan bertambahnya perdarahan per intraventrikuler dalam otak.

B. Jenis Jejas Persalinan


1. Kaput Suksedanium
Caput suksadenum adalah pembengkakan yang edematosa atau kadang-kadang ekimotik
dan difus dari jaringan lunak kulit kepala yang mengenai bagian yang telah dilahirkan selama
persalinan verteks. Edema pada caput suksadenum dapat hilang pada hari pertama, sehingga

5
tidak diperlukan terapi. Tetapi jika terjadi ekimosis yang luas, dapat diberikan indikasi
fototerapi untuk kecenderungan hiperbilirubin.
Kadang-kadang caput suksadenum disertai dengan molding atau penumpangan tulang
parietalis, tetapi tanda tersebut dapat hilang setelah satu minggu.

Perbedaan caput succedaneum dan cephalhematoma


Caput succedaneum Cephalhematoma
Muncul waktu lahir, mengecil setelah Muncul waktu lahir atau setelah lahir, dapat
lahir. membesar sesudah lahir.
Lunak, tidak berfluktuasi. Teraba fluktuasi.
Melewati batas sutura, teraba Batas tidak melampaui sutura.
moulase.
Bisa hilang dalam beberapa jam atau Hilang lama (beberapa minggu atau bulan).
2-4 hari
Berisi cairan getah bening Berisi darah
                         Sumber : Kosim, 200
2. Penyebab
Kaput succedaneum terjadi karena adanya tekanan yang kuat pada kepala pada saat
memasuki jalan lahir sehingga terjadi bendungan sirkulasi perifer dan limfe yang disertai
dengan pengeluaran cairan tubuh ke jaringan ekstravaskuler.Keadaan ini bisa terjadi pada
partus lama atau persalinan dengan Vaccum ektrasi. (Dewi, 2010)
Caput succedaneum juga bisa timbul karena tekanan yang keras pada kepala ketika
memasuki jalan lahir sehingga terjadi bendungan sirkulasi kapiler dan limfe disertai
pengeluaran cairan tubuh ke jaringan extravasa.Benjolan caput ini berisi cairan serum dan
sering bercampur dengan sedikit darah. Benjolan dapat terjadi sebagai akibat bertumpang
tindihnya tulang kepala di daerah sutura pada suatu proses kelahiran sebagai salah satu upaya
bayi untuk mengecilkan lingkaran kepalanya agar dapat melalui jalan lahir. Umumnya
moulage ini ditemukan pada sutura sagitalis dan terlihat segera setelah bayi lahir. Moulage ini
umumnya jelas terlihat pada bayi premature dan akan hilang sendiri dalam satu sampai dua
hari. (Markum, 1991)
Menurut Sarwono Prawiraharjo dalam Ilmu Kebidanan 2002, proses perjalanan penyakit
caput succedaneum adalah Pembengkakan yang terjadi pada kasus caput succadeneum
merupakan pembengkakan difus jaringan otak, yang dapat melampaui sutura garis tengah 

6
Adanya edema dikepala terjadi akibat pembendungan sirkulasi kapiler dan limfe disertai
pengeluaran cairan tubuh. Benjolan biasanya ditemukan didaerah presentasi lahir dan terletak
periosteum hingga dapat melampaui sutura.

3. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya trauma lahir antara lain :
a. Makrosomia
b. Prematuritas
c. Disproporsi sefalopelvik
d. Distosia
e. Persalinan lama
f. Persalinan yang diakhiri dengan alat (ekstraksi vakum dan forceps)
g. Persalinan dengan sectio caesaria
h. Kelahiran sungsang
i. Presentasi bokong
j. Presentasi muka
k. Kelainan bayi letak lintang

4. Gejala
a. Udema di kepala
b. Terasa lembut dan lunak pada perabaan
c. Benjolan berisi serum dan kadang bercampur dengan darah
d. Udema melampaui tulang tengkorak
e. Batas yang tidak jelas
f. Permukaan kulit pada benjolan berwarna ungu atau kemerahan
g. Benjolan akan menghilang sekitar 2-3 minggu tanpa pengobatan
(Dewi, 2010)

5. Patofisiologis
Kelainan ini timbul karena tekanan yang keras pada kepala ketika memasuki jalan lahir
sehingga terjadi bendungan sirkulasi kapiler dan limfe disertai pengeluaran cairan tubuh ke
jaringan extravasa.Benjolan caput ini berisi cairan serum dan sering bercampur dengan
sedikit darah. Benjolan dapat terjadi sebagai akibat bertumpang tindihnya tulang kepala di
daerah sutura pada suatu proses kelahiran sebagai salah satu upaya bayi untuk mengecilkan

7
lingkaran kepalanya agar dapat melalui jalan lahir. Umumnya moulage ini ditemukan pada
sutura sagitalis dan terlihat segera setelah bayi lahir. Moulage ini umumnya jelas terlihat pada
bayi premature dan akan hilang sendiri dalam satu sampai dua hari. (Markum, 1991)

6. Komplikasi
a. Infeksi
Infeksi pada caput succedaneum bisa terjadi karena kulit kepala terluka. (kosim, 2003)

b. Ikterus
Pada bayi yang terkena caput succedanieum dapat menyebabkan ikterus karena
inkompatibilitas faktor Rh atau golongan darah A, B, O antara ibu dan bayi. (Kosim, 2003)

c. Anemia
Anemia bisa terjadi pada bayi yang terkena caput succedanieum karena pada benjolan
terjadi perdarahan yang hebat atau perdarahan yang banyak.

7. Penatalaksanaan
a. Perawatan bayi sama dengan  perawatan bayi normal.
b. Pengawasan keadaan umum bayi.
c. Berikan lingkungan yang baik, adanya ventilasi dan sinar matahari yang cukup.
d. Pemberian ASI yang adekuat, bidan harus mengajarkan pada ibu teknik menyusui dengan
benar.
e. Pencegahan infeksi harus dilakukan untuk menghindari adanya infeksi pada benjolan.
f. Berikan konseling pada orang tua, tentang:
1) Keadaan trauma yang dialami oleh bayi
2) Jelaskan bahwa benjolan akan menghilang dengan sendirinya setelah sampai 3
minggu tanpa pengobatan.
3) Perawatan bayi sehari-hari
4) Manfaat dan teknik pemberian ASI.

8. Pengobatan Caput Succadaneum


Tidak memerlukan pengobatan, dan ini biasanya hilang sendiri antara 5-7 hari. Bila perlu
dapat diberi Lasonil ointment yang mengandung heparinoid dan hyaluronidase, akan

8
mempercepat resorpsi, dan rambut kepala dapat sembuh kembali dengan garis bentuk normal
nya.
Pembengkakan pada caput succadeneum dapat meluas menyeberangi garis tengah atau
garis sutura. Dan edema akan menghilang sendiri dalam beberapa hari. Pembengkakan dan
perubahan warna yang anolog dan distorsi wajah dapat terlihat pada kelahiran dengan
persentasi wajah. Dan tidak di perlukan pengobatan yang spesifik,tetapi bila terdapat
ekimosis yang ektensif mungkin ada indikasi melakukan fisioterapi dini untuk
hiperbilirubinemia.
Moulase kepala dan tulang parietal yang tumpang tindih sering berhubngan dengan
adanya caput succadeneum dan semakin menjadi nyata setelah caput mulai mereda, kadang-
kadang caput hemoragik dapat mengakibatkan syok dan di perlukan transfuse darah.
Tindak lanjut yang harus dilakukan adalah saat mandi, kompres bagian yang bengkak
dengan handuk yang lembut dan sudah dicelupkan dengan air hangat. Kepala akan kembali
ke bentuk normal dalam 2 minggu.Manajemen terdiri dari pengamatan saja lengkap dan cepat
pemulihan biasanya akan terjadi dengan caput succedaneum. Jika kulit kepala bayi kontur
telah berubah, kontur normal harus kembali.

2. Perdarahan Intra Kranial


a. Pengertian
Perdarahan intrakranial pada neonatus (PIN) tidak jarang
dijumpai. PIN mempunyai arti penting karena dapat menyebabkan kematian atau cacat
jasmani dan mental. PIN ialah perdarahan dalam rongga kranium dan isinya pada bayi sejak
lahir sampai umur 4 minggu. Sering
PIN tak dikenal/dipikirkan karena gejala gejalanya tidak khas. PIN meliputi perdarahan
epidural, subdural, subaraknoid, intraserebral/parenkim dan intraventrikuler.
Penatalaksanaan dan penanggulangan PIN masih kurang memuaskan. Untuk
menurunkan angka kejadian PIN, usaha yang lebih penting ialah profilaksis seperti perawatan
prenatal, pertolongan persalinan dan perawatan postnatal yang sebaik-baiknya. Pada
umumnya prognosis PIN tidak terlalu menggembirakan.

b. Insidensi
Dilaporkan angka berbeda-beda tentang insidensi PIN. Holt 3 menemukan pada otopsi
bayi-bayi lahir mati dan yang meninggal dalam 2 minggu pertama, 30% PI. Menurut Saxena
4 13,1% kematian perinatal oleh PI. Angka kematian PI pada bayi prematur 5x lebih tinggi

9
daripada bayi cukup bulan (BCB). Laki-laki : perempuan = 5 : 2,7 (Saxena), 1,9 : 1
(Banerjee) 4 , 6

c. Etiologi
1) Trauma kelahiran
a) Partus biasa.
(1) Pemutaran/penarikan kepala yang berlebihan.
(2) Disproporsi antara kepala anak dan jalan lahir sehingga terjadi mulase 6
b) Partus buatan (ekstraksi vakum, cunam).
c) Partus presipitatus.

d. Patogenesis
Pada trauma kelahiran, perdarahan terjadi oleh kerusakan/ robekan pembuluh-pembuluh
darah intrakranial secara langsung. Pada perdarahan yang bukan karena trauma kelahiran,
faktor dasar ialah prematuritas; pada bayi-bayi tersebut, pembuluh darah otak masih
embrional dengan dinding tipis, jaringan penunjang sangat kurang dan pada beberapa tempat
tertentu jalannya berkelok kelok, kadang-kadang membentuk huruf U sehingga mudah sekali
terjadi kerusakan bila ada faktor-faktor pencetus (hipoksia/iskemia). Keadaan ini ter- utama
terjadi pada perdarahan intraventrikuler/periventrikuler. Perdarahan epidural/ ekstradural
terjadi oleh robekan arteri atau vena meningika media antara tulang tengkorak dan duramater.
Keadaan ini jarang ditemukan pada neonatus. Tetapi perdarahan subdural merupakan jenis
PIN yang banyak dijumpai pada BCB. Di sini perdarahan terjadi akibat pecahnya vena-vena
kortikal yang menghubungkan rongga subdural dengan sinus-sinus pada duramater.
Perdarahan subdural lebih sering pada BCB daripada BKB sebab pada BKB vena-vena
superfisial belum berkembang baik dan mulase tulang tengkorak sangat jarang terjadi 6 .
Perdarahan dapat berlangsung perlahan-lahan dan membentuk hematoma subdural. Pada
robekan tentorium serebeli atau vena galena dapat terjadi hematoma retroserebeler. Gejala-
gejala dapat timbul segera dapat sampai berminggu-minggu, memberikan gejala – gejala
kenaikan tekanan intrakranial. Dengan kemajuan dalam bidang obstetri, insidensi perdarahan
subdural sudah sangat menurun. Cermin Dunia Kedokteran No. 41, 1986 43 .
Pada perdarahan subaraknoid, perdarahan terjadi di rongga subaraknoid yang biasanya
ditemukan pada persalinan sulit. Adanya perdarahan subaraknoid dapat dibuktikan dengan
fungsi likuor. Pada perdarahan intraserebral/intraserebeler, perdarahan terjadi dalam
parenkim otak, jarang pada neonatus karena hanya terdapat pada trauma kepala yang sangat

10
hebat (ke-
celakaan). Dari semua jenis PIN, perdarahan periventrikuler memegang peranan penting,
karena frekuensi dan mortalitasnya tinggi pada bayi prematur. Sekitar 75–90% perdarahan
periventrikuler berasal dari jaringan subependimal germinal matriks/jaringan embrional di
sekitar ventrikel lateral. Pada perdarahan intraventrikuler, yang berperanan penting ialah
hipoksia yang menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah otak dan kongesti vena.
Bertambahnya aliran darah ini, meninggikan tekanan pembuluh darah otak yang diteruskan
ke daerah anyaman kapiler sehingga mudah ruptur. Selain hipoksia, hiperosmolaritas pula
dapat menyebabkan perdarahan intraventrikuler 1 Hiperosmolaritas antara lain terjadi karena
hipernatremia akibat pemberian natrium bikarbonat yang berlebihan/plasma ekspander.
Keadaan ini dapat meninggikantekanan darah otak yang diteruskan ke kapiler sehingga dapat
pecah.

e. Gambaran Klinik
Gejala-gejala PIN tidak khas, dan umumnya sukar didiagnosis jika tidak didukung, oleh
riwayat persalinan yang jelas. Gejala-gejala berikut dapat ditemukan :
1) Fontanel tegang dan menonjol oleh kenaikan tekanan intrakranial, misalnya pada
perdarahan subaraknoid.
2) Iritasi korteks serebri berupa kejang-kejang, irritable, twitching, opistotonus. Gejala-
gejala ini baru timbul beberapa jam setelah lahir dan menunjukkan adanya perdarahan
subdural , kadang-kadang juga perdarahan subaraknoid oleh robekan tentorium yang luas.
3) Mata terbuka dan hanya memandang ke satu arah tanpa reaksi. Pupil melebar, refleks
cahaya lambat sampai negatif. Kadang-kadang ada perdarahan retina, nistagmus dan
eksoftalmus.
4) Apnea: berat dan lamanya apnea bergantung pada derajat perdarahan dan kerusakan
susunan saraf pusat. Apnea dapat berupa serangan diselingi pernapasan normal/takipnea
dan sianosis intermiten.
5) Gejala gerakan lidah yang menjulur ke luar di sekitar bibir seperti lidah ular menunjukkan
perdarahan yang luas dengan kerusakan pada korteks 9.
6) Tonus otot lemah atau spastis umum. Hipotonia dapat berakhir dengan kematian bila
perdarahan hebat dan luas. Jika perdarahan dan asfiksia tidak berlangsung lama, tonus
otot akan segera pulih kembali. Tetapi bila perdarahan berlangsung lebih lama, flaksiditas
akan berubah menjadi spastis yang menetap. Kelumpuhan lokal dapat terjadi misalnya

11
kelumpuhan otot-otot pergerakan mata, otot-otot muka/anggota gerak
(monoplegi/hemiplegi) menunjukkan perdarahan subdural/ parenkim.

f. Diagnosis
Diagnosis PIN sangat sukar, terutama bila tidak ada hubungan dengan trauma kelahiran
karena gejala-gejalanya tidak khas. Khusus pada neonatussekitar 20% kasus dengan gejala-
gejala yang diduga PIN, ternyata bukan. Oleh karena itu, PIN harus didiagnosis banding
dengan beberapa penyakit pada neonatus yang memberikan gejala – gejala yang hampir
sama, misalnya
1) Infeksi pada bayi baru lahir/neonatus yang dapat memberikan gejala – gejala kesukaran
bernapas (apnea, takipnea, siano- sis), lemah (letargi), kejang-kejang, muntah dan lain-
lain. Untuk membedakan dengan PIN yaitu riwayat persalinan seperti ketuban pecah dini,
infeksi perinatal pada ibu, ketuban keruh/berbau. Yang agak khas pada infeksi ialah
hepato splenomegali, ikterus, pneumoni
2) Tetanus neonatorum dengan kejang-kejang, dibedakan dengan PIN karena partus tetanus
neonatorum umumnya oleh dukun. TN hampir selalu terjadi pada akhir minggu pertama,
bayi mula-mula minum baik dan tiba-tiba sukar minum karena trismus dan gejala lain.
3) Penyakit metabolisme (hipoglikemi) yang dapat memberikan kejang letargi. Ibunya
penderita DM dan perlu pemeriksaan kadar glukosa darah bayi.

g. Penatalaksanaan
1) Bayi dirawat dalam inkubator yang memudahkan observasi
kontinu dan pemberian
2) Perlu diobservasi secara cermat: suhu tubuh, derajat kesadaran, besarnya dan reaksi
pupil, aktivitas motorik, frekuensi pernapasan, frekuensi jantung
(bradikardi/takikardi), denyut nadi dan diuresis. Diuresis kurang dari 1 ml/kgBB/jam
berarti perfusi ke ginjal berkurang, diuresis lebih dari 1 ml/kgBB/jam menunjukkan
fungsi ginjal baik
3) Menjaga jalan napas tetap bebas, apalagi kalau penderita dalam koma diberikan 02.
Bayi letak dalam posisi miring untuk mencegah aspirasi serta penyumbatan larings
oleh lidah dan kepala agak ditinggikan untuk mengurangi tekanan vena serebral.
4) Tindakan bedah darurat: bila perdarahan/hematoma epidural walaupun jarang
dilakukan explorative burrhole dan bila positif dilanjutkan dengan kraniotomi,
evakuasi hematoma dan hemostasis yang cermat 8. Pada perdarahan/hematoma

12
subdural, tindakan explorative burrhole dilanjutkan dengan kraniotomi, pembukaan
duramater, evakuasi hematoma dengan irigasi menggunakan cairan garam fisiologik.
Pada perdarahan intraventrikuler karena sering terdapat obstruksi
aliran likuor, dilakukan shunt antara ventrikel lateral dan atrium kanan.

h. Pencegahan
Untuk mengurangi terjadinya PIN, yang paling penting ialah pencegahan, yang meliputi
pemeriksaan ibu-ibu hamil secara teratur, memberikan pertolongan dan perawatan yang
sebaik-baiknya, baik waktu persalinan maupun sesudah anak lahir. Perhatian khusus harus
diberikan kepada bayi-bayi prematur yaitu mencegah episode asfiksia sebelum dan sesudah
persalinan. Dalam hal ini perlu monitoring keadaan bayi intrapartum, resusitasi segera
sesudah lahir dan mencegah kemungkinan hipoksia oleh sebab-sebab lain.

3. Perdarahan subkonjungtiva
Keadaan ini sering ditemukan pada bayi, baik pada persalinan biasa maupun pada yang
sulit. Darah yang tampak di bawah konjungtiva biasanya diabsorpsi lagi setelah 1-2 minggu
tanpa diperlukan pengobatan apa-apa.

4. Fraktur Anggota Gerak


a. Trauma pleksus brakialis
Jejas pada pleksus brakialis dapat menyebabkan paralisis lengan atas dengan atau tanpa
paralisis lengan bawah atau tangan, atau lebih lazim paralisis dapat terjadi pada seluruh
lengan. Jejas pleksus brakialis sering terjadi pada bayi makrosomik dan pada penarikan
lateral dipaksakan pada kepala dan leher selama persalinan bahu pada presentasi verteks atau
bila lengan diekstensikan berlebihan diatas kepala pada presentasi bokong serta adanya
penarikan berlebihan pada bahu.
Pengobatan pada trauma pleksus brakialis terdiri atas imobilisasi parsial dan penempatan
posisi secara tepat untuk mencegah perkembangan kontraktur.

b. Fraktur klavikula
Tanda dan gejala yang tampak pada bayi yang mengalami fraktur klavikula antara lain :
bayi tidak dapat menggerakkan lengan secara bebas pada sisi yang terkena, krepitasi dan
ketidakteraturan tulang, kadang-kadang disertai perubahan warna pada sisi fraktur, tidak

13
adanya refleks moro pada sisi yang terkena, adanya spasme otot sternokleidomastoideus yang
disertai dengan hilangnya depresi supraklavikular pada daerah fraktur.

c. Fraktur humerus
Pada fraktur humerus ditandai dengan tidak adanya gerakan tungkai spontan, tidak
adanya reflek moro.Penangan pada fraktur humerus dapat optimal jika dilakukan pada 2-4
minggu dengan imobilisasi tungkai yang mengalami fraktur.

d. Fraktur tulang tengkorak


Kebanyakan fraktur tulang tengkorak terjadi akibat kelahiran pervaginam sebagai akibat
penggunaan cunam atau forceps yang salah, atau dari simpisis pubis, promontorium, atau
spina ischiadica ibu pada persalinan dengan diproporsi sefalopelvik. Yang paling sering
adalah fraktur linier yang tidak menimbulkan gejala dan tidak memerlukan pengobatan, serta
fraktur depresi yang biasanya kelihatan sebagai lekukan pada kalvarium yang mirip lekukan
pada bola pingpong. Semua fraktur ini harus direposisi untuk menghindari cedera korteks
akibat tekanan yang terus-menerus dengan menggunakan anesthesi lokal dalam minggu
pertama dan segera setelah kondisi bayinya stabil.

e. Fraktur dan dislokasi tulang belakang


Kelainan ini jarang ditemukan dan biasanya terjadi jika dilakukan traksi kuat untuk
melahirkan kepala janin pada presentasi sungsang atau untuk melahirkan bahu pada
presentasi kepala. Fraktur atau dislokasi lebih sering pada tulang belakang servikal bagian
bawah dan torakal bagian atas. Tipe lesinya berkisar dari perdarahan setempat hingga
destruksi total medulla spinalis pada satu atau lebih aras (level) cerebral. Keadaan bayi
mungkin buruk sejak kelahirannya, disertai depresi pernafasan, syok dan hipotermia. Kalau
keadaannya parah dapat memburuk dengan cepat sampai menimbulkan kematian dalam
beberapa jam. Pada bayi yang selamat, pengobatan yang dilakukan bersifat suportif dan
sering terdapat cedera permanen.

5. Perlukaan Saraf
a. Paralisis nervus facialis
Kelainan ini terjadi akibat tekanan perifer pada nervus facialis saat kelahiran. Hal ini
sering tampak pada bayi yang lahir dengan ekstraksi cunam Kelumpuhan perifer ini bersifat
flasid, dan bila kelumpuhan terjadi total, akan mengenai seluruh sisi wajah termasuk dahi.

14
Kalau bayi menangis, hanya dapat dilihat adanya pergerakan pada sisi wajah yang tidak
mengalami kelumpuhan dan mulut tertarik ke sisi itu. Pada sisi yang terkena gangguan,
dahinya licin, mata tidak dapat ditutup, lipatan nasolabial tidak ada dan sudut mulut kelihatan
jatuh. Kelainan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa tindakan-tindakan khusus.

b. Paralisis nervus frenikus


Gangguan ini biasanya terjadi di sebelah kanan dan menyebabkan terjadinya paralisis
diafragma. Kelainan sering ditemukan pada kelahiran sungsang. Kelainan ini biasanya
menyertai paralisis Duchenne – Erb dan diafragma yang terkena biasanya diafragma kanan.
Pada paralisis berat bayi dapat memperlihatkan sindroma gangguan pernafasan dengan
dispneu dan sianosis. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan röntgen foto torak atau
fluoroskopi dimana diafragma yang terganggu posisinya lebih tinggi. Pengobatan biasanya
simptomatik. Bayi harus diletakkan pada sisi yang terkena gangguan dan kalau perlu diberi
oksigen. Infeksi paru merupakan komplikasi yang berat. Penyembuhan biasnya terjadi
spontan pada bulan ke-1 samapi ke-3.

c. Paralisis plexus brachialis


Kelainan ini dibagi atas :
1) Paralisis Duchenne – Erb, yaitu kelumpuhan bagian-bagian tubuh yang disarafi oleh
cabang-cabang C5 dan C6 dari plexus brachialis. Pada keadaan ini ditemukan kelemahan
untuk fleksi, abduksi, serta memutar ke luar disertai hilangnya refleks biseps dan Moro.
2) Paralisis Klumpke, yaitu kelumpuhan bagian-bagian tubuh yang disarafi oleh cabang C8-
Th 1 dari plexus brachialis. Disini terdapat kelemahan oto-otot fleksor pergelangan,
sehingga bayi kehilangan refleks mengepal.
Kelainan ini timbul akibat tarikan yang kuat di daerah leher pada saat lahirnya bayi,
sehingga terjadi kerusakan pada plexus brachialis. Hal ini ditemukan pada persalinan
sungsang apabila dilakukan traksi yang kuat dalam usaha melahirkan kepala bayi. Pada
persalinan presentasi kepala, kelainan dapat terjadi pada janin dengan bahu lebar.
Penanggulangannya dengan jalan meletakkan lengan atas dalam posisi abduksi 90° dan
putaran ke luar. Siku berada dalam fleksi 90° disertai supinasi lengan bawah dengan ekstensi
pergelangan dan telapak tangan menghadap ke depan. Posisi ini dipertahankan untuk
beberapa waktu. Penyembuhan biasanya setelah beberapa hari, kadang-kadang 3-6 bulan.

d. Paralisis pita suara

15
Kelainan ini mungkin timbul pada setiap persalinan dengan traksi kuat di daerah leher.
Trauma tersebut dapat mengenai cabang ke laring dari nervus vagus, sehingga terjadi
gangguan pita suara (afonia), stridor pada inspirasi, atau sindroma gangguan pernafasan.
Kelainan ini dapat menghilang dengan sendirinya dalam waktu 4-6 minggu dan kadang-
kadang diperlukan tindakan trakeotomi pada kasus yang berat.

e. Kerusakan medulla spinalis


Kelainan ini ditemukan pada kelahiran letak sungsang, presentasi muka atau presentasi
dahi. Hal ini terjadi akibat regangan longitudinal tulang belakang karena tarikan, hiperfleksi,
atau hiperekstensi pada kelahiran. Gejala yang ditemukan tergantung dari bagian medulla
spinalis yang terkena dan dapat memperlihatkan sindroma gangguan pernafasan, paralisis
kedua tungkai, retensio urine, dan lain-lain. Kerusakan yang ringan kadang-kadang tidak
memerlukan tindakan apa-apa, tetapi pada beberapa keadaan perlu dilakukan tindakan bedah
atau bedah saraf.

6. Tindakan Persalinan dan Kelainan yang Mungkin Timbul


Ada dua cara yang biasanya dilakukan oleh dokter untuk melakukan induksi, yaitu kimia
dan mekanik. Namun pada dasarnya, kedua cara ini dilakukan untuk mengeluarkan hormon
prostaglandin yang berfungsi sebagai zat penyebab otot rahim berkontraksi.Secara kimia,
biasanya ibu akan diberikan obat-obatan khusus. Ada yang diberikan dengan cara diminum,
dimasukkan ke dalam vagina, diinfuskan. Bisanya, tak lama setelah salah satu cara kimia itu
dilakukan, ibu akan merasakan datangnya kontraksi. Secara mekanik, biasanya dilakukan
dengan sejumlah cara, seperti pemasangan balon keteter, (foley chateter) dimulut rahim, serta
memecahkan ketuban saat persalinan sedang berlangsung.

a. Resiko Induksi
Resiko induksi persalinan adalah :
1) Adanya kontraksi rahim yang berlebihan. Itu sebabnya induksi harus dilakukan dalam
pengawasan yang ketat dari dokter yang menangani.
2) Janin akan merasa tidak nyaman, sehingga dapat membuat bayi mengalami gawat janin
(fetal disterss). Itu sebabnya selama proses induksi berlangsung, dokter akan memantau
gerak janin melalui CTG/kardiotopografi. Bila dianggap terlalu berisiko menimbulkan
gawat janin, proses induksi akan dihentikan.

16
3) Dapat merobek bekas jahitan operasi caesar. Hal ini bisi terjadi pada yang sebelumnya
pernah dioprasi caesar, lalu menginginkan kelahiran normal.
4) Emboli Meski kemungkinannya sangat kecil sekali, namun tetap harus
diwaspadai.Emboli terjadi apabila air ketuban yang pecah masuk ke pembuluh darah dan
menyangkut di otak ibu atau paru-paru. Bila terjadi dapat merenggut nyawa ibu seketika.
Umumnya, meski tak ada catatan medis yang membuat suatu kehamilan diinduksi,
menunggu janin lahir spontan adalah hal terbaik. Karena kita tidak tahu keadaan janin, mulut
rahim berada pada fase apa, apakah ada kemungkinan terjadi perubahan posisi pada janin
atau tidak, maka melakukan induksi adalah hal yang beresiko. Kita hanya mengganggu
proses alami suatu persalinan. Sebagai akibatnya, bayi mungkin belum berada pada posisinya
dan tubuh ibu ternyata belum siap untuk melahirkan.Dua keadaan itu meningkatkan
dilakukannya operasi caesar pada kehamilan yang diinduksi.

17
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Materi ini sangat penting karena sudah sangat jelas bagi kita sebagai bidan untuk
mengetahui tentang apa itu Asuhan Pada Neonatus dengan Jejas Persalinan? dan bagaimana
menerapkannya dalam praktik kebidanan sehingga seorang bidan dapat mengetahui apa saja
trauma persalinan yang bisa dialami seorang ibu pada saat persalinan berlangsung karena
adakalanya indikasi kemungkinan sulit melahirkan terjadi pada ibu, tetapi trauma persalinan
mungkin dapat dihindari atau dicegah agar pasien merasa nyaman dan aman ketika bersalin.

2. SARAN
Semoga kejadian trauma persalinan ini bisa lebih berkurang khusunya bagaimana
upaya kita menangani pasien agar tidak terjadi lagi angka kejadian trauma persalinan dan bisa
menunjukkan kecenderungan penurunan.

18
DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/6470345/Asuhan_pada_neonatus_dengan_jejas_persalinan
Ilmu Kebidanan (Sarwono Prawirohardjo, 2001 :229).
Cermin Dunia Kedokteran, 1986.

19

Anda mungkin juga menyukai