Anda di halaman 1dari 3

Nama : Shania Athira Azra

NIM : 19103040089

Mata Kuliah : Hukum Agraria-C

1. a
a) Tim appraisal menentukan besarnya ganti kerugian atas tanah dalam pengadaan tanah
dengan cara menilai bidang per bidang tanah yang meliputi:
a. Tanah
b. Ruang atas tanah dan bawah tanah
c. Bangunan
d. Tanaman
e. Benda yang berkaitan dengan tanah
f. Kerugian lain yang dapat dinilai seperti kerugian non fisik.

Setelah besaran nilai kerugian didapatkan, maka pemilik tanah selanjutnya


dipertemukan dengan lembaga pertanahan untuk menetapkan besaran bentuk ganti
kerugian yang akan diberikan.

b) Hubungan UU No 2 Tahun 2012 dengan UU No 11 Tahun 2020 diantaranya yakni,


ditambahkannya kategori tanah untuk kepentingan umum, yang awalnya ada 18
kategori, ditambah dalam UU No 11 Tahun 2020 sebanyak 6 kategori lagi,
diantaranya:
1) Kawasan Industri Hulu dan Hilir Minyak dan Gas yang diprakarsai dan/atau
dikuasai oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, badan usaha milik
Negara, atau badan usaha milik daerah;
2) Kawasan Ekonomi Khusus yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau
Badan Usaha Milik Daerah;
3) Kawasan Industri yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat,
pemerintah daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik
Daerah;
4) Kawasan Pariwisata yang diprakarsai dan dikuasai oleh Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara,, atau Badan Usaha Milik
Daerah;
5) Kawasan Ketahanan Pangan yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau
Badan Usaha Milik Daerah;
6) Kawasan pengembangan teknologi yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau
Badan Usaha Milik Daerah
Selain itu, pengaturan soal ganti rugi yang diatur dalam Pasal 36, diubah oleh UU
Cipta Kerja, yaitu dari 3 pasal menjadi 5 pasal, yaitu:

1) Nilai Ganti Kerugian yang dinilai oleh Penilai sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 33 merupakan nilai pada saat pengumuman penetapan lokasi
pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal
26.
2) Besarnya nilai Ganti Kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Lembaga
Pertanahan disertai dengan berita acara.
3) Besarnya nilai Ganti Kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat final dan mengikat.
4) Besarnya nilai Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
dijadikan dasar untuk menetapkan bentuk Ganti Kerugian.
5) Musyawarah penetapan Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilaksanakan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah bersama dengan Penilai
dengan para Pihak yang Berhak.
c) Pengaturan terkait Konsultasi Publik adalah sesuatu yang sangat penting dalam
ketentuan pengadaan tanah, karenakan proses konsultasi publik adalah salah satu
langkah awal dalam pengadaan tanah dan juga merupakan suatu proses yang
menentukan apakah pengadaan tanah dapat dilakukan di lokasi yang telah didata
tersebut atau tidak. Konsultasi publik dilakukan untuk mendapatkan kesepakatan dari
pihak yang berhak, pengelola barang milik negara atau daerah, serta pengguna
barang milik negara atau daerah. Jika kesepakatan terjadi, maka gubernur akan
menetapkan lokasi pembangunan tersebut, namun apabila terdapat keberatan dan hal
tersebut diterima oleh tim pengkaji, maka gubernur akan memberitahukan pihak yang
memerlukan tanah itu untuk memilih lokasi pembangunan di tempat lain.
2. Lembaga rechtsverwerking dan acquisitive verjaring merupakan lembaga yang mengatur
tentang pendaftaran tanah. Namun lembaga rechtsverwerking dan acquisitive verjaring
memiliki perbedaan salah satunya yakni verjaring tidak dapat digunakan di Indonesia
dengan diterbitkannya UUPA. Sedangkan rechtsverwerking dalam beberapa literatur
diakui bahwa sebuah lembaga yang berasal dari hukum adat di Indonesia. Dalam hal
menguatkan keberadaan lembaga rechtsverwerking pada pasal 32 Ayat 2 PP No. 24
Tahun 1997 yaitu “Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara
sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad
baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas
tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5
(lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat itu tidak mengajukan keberatan secara tertulis
kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun
tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan
sertifikat tersebut”.
3. Daya tarik dalam makalah saya yakni makalah saya membahas tentang sertifikat sebagai
alat bukti hak atas tanah, dengan rumusan masalah diantaranya:
a. Apakah ada alat bukti otentik lainnya yang dapat digunakan dalam peradilan jika
tanah tersebut terdaftar dan belum memiliki sertifikat?
b. Apakah sertifikat tanah yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan tersebut merupajan
suatu alat bukti yang bersifat mutlak?

Dengan rumusan masalah diatas, kami mendapat kesimpulan diantaranya, Sertifikat


merupakan alat bukti hak atas tanah yang utama tetapi bukan satu-satunya alat bukti.
Ketiadaan sertifikat tidak dengan sendirinya ketiadaan hak seseorang atas suatu bidang
tanah. Untuk membuktikan hak kepemilikan atas suatu bidang tanah dapat dibuktikan
dengan alat-alat bukti lain sebagaimana halnya alat-alat bukti yang dapat digunakan
dalam proses peradilan perdata pada umumnya sebagaimana ditentukan dalam HIR/RBg
dan KUH Perdata.

Sertifikat tidak berkekuatan mutlak, karena sertifikat masih dapat dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum apabila dapat dibuktikan sebaliknya melalui proses
peradilan. Dalam UUPA dan PP 24/1997 disebutkan bahwa sertifikat mempunyai
kekuatan bukti yang kuat, harus diterima sebagai suatu yang benar selama tidak dapat
dibuktikan ketidakbenarannya dalam suatu proses peradilan. Gugatan pembatalan hak
atas tanah dan sertifikat hak atas tanah masih dapat diajukan oleh pihak yang
berkepentingan walaupun telah lewat waktu 5 (lima) tahun sejak terbitnya sertifikat,
asalkan dapat membuktikan adanya cacat hukum dalam proses penerbitan sertifikat,
perolehan hak atas tanahnya tidak dengan iktikad baik dan/atau tanah yang dimohonkan
hak tersebut tidak dikuasai secara nyata.

Terdapat dua macam sistem (stelsel) publikasi mengenai hak atas tanah, yaitu sistem
publikasi positif dan sistem publikasi negatif. Sistem publikasi positif kebenarannya
dijamin oleh Negara, sementara itu dalam sistem publikasi negatif Negara tidak
menjamin kebenaran data yang disajikan. Sertifikat tanah yang diterbitkan oleh kantor
pertanahan merupakan salah satu hasil daripada sistem (stelsel) publikasi tanah positif.

Anda mungkin juga menyukai