BORANG PORTOFOLIO Tifoid
BORANG PORTOFOLIO Tifoid
Obyektif Presentasi :
Tujuan : Penegakan diagnosis dan tatalaksana yang sesuai. Mengumpulkan referensi ilmiah
untuk menghadapi kasus yang didapatkan. Menyelesaikan kasus yang dihadapi dengan solusi
yang terbaik
Bahan Bahasan Tinjauan Pustaka O Riset Kasus O Audit
Presentasi dan
Cara Membahas O Diskusi O Email O Pos
Diskusi
3. Riwayat Kesehatan/Penyakit :
Riwayat alergi disangkal.
Riwayat keluhan serupa sebelumnya disangkal
4. Riwayat Keluarga :
Anggota keluarga yang memiliki keluhan serupa disangkal.
5. Riwayat Pekerjaan :
Turut Orang Tua
6. Lain-lain :
2
-
Daftar Pustaka :
1. Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi & pediatri tropis.
Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45.
2. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S, Ed.
Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba Medika,
2002:1-43.
3. Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa Indonesia: A
Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta: EGC ; 2000.
4. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics
Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : 2003. h. 2-20.
5. Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid pada anak.
Surabaya : FK UNAIR ; 2010. h. 1-10.
6. Hoffman SL.1991. Typhoid Fever. In : Strickland GT, Ed. Hunter’s Textbook of
Pediatrics, ed7. Philadelphia : WB Saunders, 344-58.
Hasil Pembelajaran
3
OBYEKTIF
Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
TTV:
- Tekanan darah : tidak diukur
- Nadi : 68x/ menit, reguler
- Pernapasan : 22x/ menit
- Suhu : 38.7˚ C (aksilar)
KEPALA
1. Ekspresi : normal
2. Simetris muka : simetris kiri = kanan
3. Deformitas : (-)
4. Hematom : (-)
5. Laserasi : (-)
6. Rambut : hitam, keriting, sukar dicabut
MATA
1. Eksoftalmus/ endoftalmus: (-)
4
2. Gerakan : normal ke segala arah
3. Kelopak mata : ptosis (-)
4. Konjungtiva : anemis (-)
5. Sklera : ikterus (-)
6. Kornea : refleks kornea +/+
7. Pupil : refleks cahaya +/+, isokor, 2,5 mm
TELINGA
1. Nyeri tekan di proc. Mastoideus : (-)
2. Pendengaran : baik, tinnitus (-), otore (-)
HIDUNG
1. Perdarahan : (-)
2. Sekret : (-)
MULUT
1. Bibir : kering (-), sianosis (-)
2. Gigi geligi : karies (-)
3. Gusi : perdarahan (-)
4. Tonsil : T1-T1, hiperemis (-)
5. Farings : hiperemis (-)
6. Lidah : typhoid tongue (+)
LEHER
1. Kelenjar getah bening : tidak ada pembesaran
2. Kelenjar gondok : tidak ada pembesaran
3. Massa tumor : (-)
4. Nyeri tekan : (-)
5. Deviasi trakea : (-)
6. Kaku kuduk : (-)
THORAKS
1. Inspeksi : simetris kiri = kanan, retraksi (-), luka (-), hematom (-)
5
2. Palpasi : NT(-)
3. Perkusi : sonor
4. Auskultasi : VBS kanan=kiri, Rh -/-, Wh -/-
COR
1. Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
2. Palpasi : ictus cordis tidak teraba
3. Perkusi : pekak, batas jantung dalam batas normal (batas jantung kanan
pada linea sternalis kanan, batas jantung kiri sesuai dengan ictus cordis terletak pada
sela iga 5-6 linea medioclavicularis kiri)
4. Auskultasi : BJ I/II murni reguler, bunyi tambahan : bising (-)
ABDOMEN
1. Inspeksi : datar, ikut gerak napas
2. Palpasi : NT(+) epigastrik, hepar dan lien tidak teraba membesar, turgor >
3 detik
3. Perkusi : timpani (+)
4. Auskultasi : Bising usus (+) normal
PUNGGUNG
1. Skoliosis : (-)
2. Palpasi : (-)
3. Nyeri ketok : (-)
EKSTREMITAS
1. Edema : (-)
2. Akral : hangat
3. CRT : < 2 detik
PEMERIKSAAN PENUNJANG
HEMATOLOGI LENGKAP
Hemoglobin : 13.6 g/dL
Leukosit : 23.2 x 103/uL
6
Eritrosit : 4.81 x 106/uL
Hematokrit : 39%
MCV : 82 fL
MCH : 28 pg
MCHC : 35 g/L
Trombosit : 296 x 103/uL
Hitung jenis : 0.1/0.7/89.8/5.1/4.3
PARASITOLOGI
Malaria : Negatif
IMUNOSEROLOGI
Salmonella typhi H : 1/80
Salmonella typhi O : 1/320
Salmonella paratyphi AH : 1/80
Salmonella paratyphi AO : 1/80
ASSESSMENT
Seorang anak laki-laki berusia 10 tahun dibawa ke RS Bukit Asam Medika Tanjung Enim
dengan keluhan utama demam sejak lima hari sebelum masuk rumah sakit. Demam naik turun
dan meningkat terutama pada malam hari. Demam tidak disertai menggigil, tidak berkeringat
malam hari, dan tidak disertai kejang. Dari anamnesis didapatkan keluhan tambahan berupa mual,
nafsu makan menurun, dan sulit BAB. Beberapa penyakit yang terkait dengan keluhan utama
demam pada anak antara lain adalah demam dengue, infeksi saluran nafas, infeksi saluran kemih,
morbili, varisela, otitis media, demam tifoid, meningitis, malaria, dan tuberkulosis, hepatitis,
keganasan.
Dari anamnesis pasien ini tidak didapatkan batuk, pilek, nyeri tenggorokan, nyeri menelan
sehingga diagnosis infeksi saluran nafas dapat disingkirkan. Dari anamnesis juga didapatkan
BAK normal sehingga diagnosis ISK dapat disingkirkan. Dari anamnesis dengan pasien ini
demam tidak disertai menggigil dan berkeringat pada malam hari, tidak ada riwayat batuk lama
dan kontak dengan orang dengan riwayat batuk lama, sehingga diagnosis TB dapat disingkirkan.
Dari anamnesis pada pasien ini tipe demam juga bukan merupakan demam intermitten dan tidak
ada riwayat bepergian ke daerah endemis sehingga diagnosis malaria dapat disingkirkan.
Pada pemeriksaan fisik pasien ini tidak didapatkan sklera ikterik dan hepatomegali
sehingga diagnosis hepatitis juga dapat disingkirkan. Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik
7
pasien ini juga tidak ditemukan adanya cairan keluar dari telinga sehingga diagnosis otitis media
dapat disingkirkan. Dari pemeriksaan fisik juga tidak ditemukan adanya GRM sehingga diagnosis
meningitis dapat disingkirkan. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya pembesaran KGB
dan massa, sehingga diagnosis keganasan dapat disingkirkan. Pada pemeriksaan fisik pada pasien
ini juga tidak ditemukan mata merah dan berair serta ruam kemerahan sehingga diagnosis morbili
dapat disingkirkan. Pada pemeriksaan fisik pasien ini didapatkan rumple leed test (-) sehingga
diagnosis demam dengue dapat disingkirkan.
Dari anamnesis pasien ini, tipe demam pada pasien ini lebih mengarah pada demam tifoid,
yaitu demam naik turun yang meningkat terutama pada malam hari dan tidak pernah mencapai
suhu normal, dengan gejala gastrointestinal berupa mual dan sulit BAB. Dari pemeriksaan fisik
didapatkan lidah kotor dengan tepi hiperemis yang sesuai dengan manifestasi klinis demam
tifoid. Untuk lebih menunjang diagnosis kerja dan menyingkirkan diagnosis banding pada pasien
ini maka dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan darah rutin, pemeriksaan malaria
(DDR), serta widal test. Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan peningkatan leukosit dan
eosinofilia. Dari pemeriksaan penunjang juga didaparkan pemeriksaan malaria (DDR) negatif
yang artinya pasien ini tidak menderita malaria. Pemeriksaan widal test didapatkan titer O
aglutinin sebesar 1/320, bila titer O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 sekali periksa atau pada titer
terjadi kenaikan 4 kali (dalam satu minggu), maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan
( positif ). Oleh karena itu, berdasarkan kesesuaian antara anamnesis dan pemeriksaan fisik pada
pasien ini, yang diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium, dapat disimpulkan bahwa diagnosis
pada pasien ini adalah demam typhoid.
Penatalaksanaan pada pasien ini meliputi penatalaksanaan supportif, simptomatik,
kausatif, dan edukatif. Karena invasi kuman pada plaque payeri ileum distal yang dapat
menimbulkan perforasi, maka penatalaksanaan supportif pada pasien ini meliputi tirah baring dan
diet yang dapat meringankan kerja usus. IVFD diperlukan karena pasien lemas dan anoreksia
sehingga tidak dapat makan per oral. Selain itu, IVFD juga diperlukan untuk memasukan obat
injeksi secara berulang sehingga tidak menyakiti pasien. Pada pasien ini diberikan IVFD RL gtt
XX. Terapi simptomatik meliputi antipiretik (bila suhu diatas 38,5 o C), pada pasien ini diberikan
paracetamol 3x500mg tab PO. Terapi kausatif meliputi antibiotik. Antibiotik yang dapat
diberikan berupa kloramfenikol, kotrimoksasol, ampisilin, dan sefalosporin generasi ketiga.
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime), merupakan pilihan ketiga
namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta
lebih sensitive terhadap Salmonella typhii. Pada pasien ini diberikan sefalosporin generasi ketiga
berupa ceftriaxon 1x2 gram iv. Edukasi juga sangat diperlukan pada kasus ini agar pasien tidak
8
terjangkit penyakit yang sama dan keluarga pasien juga dapat terhindar dari demam tifoid.
Edukasi meliputi hygiene perorangan dan lingkungan seperti tidak jajan di sembarang tempat,
mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, pengamanan pembuangan limbah feses (tinja),
pemberantasan lalat, penyediaan air minum yang memenuhi syarat.
PLANNING
1. Diagnosis : Gall culture
2. Medikamentosa:
IVFD RL 2 kolf kocor, dilanjutkan dengan maintenance RL gtt XX/min
Drip ceftriaxone 1x2g dalam D5% 100cc
Paracetamol tab 3x500mg
3. Pendidikan: mengedukasi pasien untuk menjaga hygiene perorangan dan lingkungan
seperti tidak jajan di sembarang tempat, mencuci tangan sebelum dan sesudah makan,
pengamanan pembuangan limbah feses (tinja), pemberantasan lalat, penyediaan air minum
yang memenuhi syarat.
4. Konsultasi: menjelaskan mengenai diagnosis demam tifoid berdasarkan hasil pemeriksaan,
terapi berupa pemberian cairan, antibiotik dan pemberian obat antipiretik.
TINJAUAN PUSTAKA
DEMAM TIFOID
I. Definisi
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever. Demam
tifoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan (usus
halus) disebabkan oleh Salmonella typhi dengan gejala demam satu minggu atau lebih
disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.1
II. Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena
penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data
World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta
kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 128.000 hingga 161.000 kasus
kematian tiap tahun.3 Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai
penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang
sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di
9
Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah
pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/
tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di
Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.2
Salmonella typhi dapat hidup didalam tubuh manusia (manusia sebagai natural
reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya melalui
sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi. Salmonella
typhi yang berada diluar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada
didalam air, es, debu, atau kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan tetapi S. Typhi
hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan mudah dimatikan dengan
klorinasi dan pasteurisasi (temp 63°C).1
Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui minuman/makanan
yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman, biasanya
keluar bersama – sama dengan tinja (melalui rute oral fekal = jalurr oro-fekal). Dapat juga
terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakteremia
kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-fekal dari seorang ibu pembawa
kuman pada saat proses kelahirannya kepada bayinya dan sumber kuman berasal dari
laboratorium penelitian.1
III. Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi.
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B
(S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S. Hirschfeldii).1
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif,
mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob.
Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang
terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri polisakarida. Mempunyai
makromolekular lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel da
dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang
berkaitan dengan resistensi terhadap multipel antibiotik.1
IV. Patogenesis
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti
organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2) bakteri bertahan
10
hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus limfatikus mesenterica, dan
organ- organ extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam
aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus
dan meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya
elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal. 1,3
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh
manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman
dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2) banyak yang mati
namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang biak dalam peyer patch dalam
usus. Untuk diketahui, jumlah kuman yang masuk dan dapat menyebabkan infeksi minimal
berjumlah 105 dan jumlah bisa saja meningkat bila keadaan lokal pada lambung yang
menurun seperti aklorhidria, post gastrektomi, penggunaan obat- obatan seperti antasida,
H2-bloker, dan Proton Pump Inhibitor. 1,3
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum dan ileum.
Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus
sel- sel epitel (sel-M merupakan sel epitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch,
merupakan port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria. Di lamina
propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag.
Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke
peyer patch di ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening mesenterika. 1,3
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag ini
masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnya
asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati dan
Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudian
berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi
sistemik yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala
infeksi sistemik. 1,3
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan
bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermitten” ke dalam lumen usus. Sebagian
kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah
menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi
dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan
mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik
seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai
11
gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anak- anak gangguan mental ini
biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut.1,3
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan (S.
typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan
dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah
sekitar peyer patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel-
sel mononuclear di dinding usus. 1,3
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa
usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel di reseptor sel
endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,
kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya. 1,3
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti
dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan
limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam
hepar, lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin
dan zat- zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis
seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang,
kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologis.1,3
12
Bagan 2.1. Patofisiologi Demam Tifoid
V. Manifestasi klinik
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih bervariasi bila
dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang pada gejala atau tanda klinis,
akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak, terutama pada
penderita yang lebih muda, seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi.
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 – 20 hari, dengan masa inkubasi terpendek
3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa inkubasi mempunyai korelasi dengan
jumlah kuman yang ditelan, keadaan umum/status gizi serta status imunologis penderita.1,3,4
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar gejala-
gejala yang timbul dapat dikelompokkan :
Demam satu minggu atau lebih.
13
Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada
umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi. Pada
pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Setelah minggu kedua,
gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid, dapat disertai
pembesaran hati dan limpa, nyeri ulu hati, perut kembung mungkin disertai ganguan
kesadaran dari yang ringan sampai berat.
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada orang
dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern, dapat pula
mendadak tinggi dan remiten (39 – 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada
bayi yang tifoid kongenital.
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan tanda-
tanda antara lain, lidah tampak kering, diolapisi selaput tebal, di bagian belakang tampak
lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila penyakit makin progresif, akan
terjadi deskuamasi epitel sehingga papila lebih prominen.
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu kedua.
Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 – 4 mm, berwarna merah
pucat serta hilang pada penekanan. Roseola ini merupakan emboli kuman yang didalamnya
mengandung kuman salmonella, dan terutama didapatkan di daerah perut, dada, kadang-
kadang di bokong, ataupun bagian fleksor lengan atas.
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu pertama dan
harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria. Pembesaran limpa pada demam tifoid
tidak progresif dengan konsistensi lebih lunak.
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 – 5 mm,
sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang
kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada
hari ke 7 – 10 dan bertahan selama 2 -3 hari.1,3,4
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK
Unair/RSU Dr.Soetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis
demam tifoid atas dasar ditemukannya S.typhi dalam darah dan 85% telah mendapatkan
terapi antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu
sakit penderita, didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut : panas
14
(100%), anoreksia (88%), nyeri perut (49%), muntah (46%), konstipasi (43%) dan diare
(31%). Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16%), somnolen (5%) dan
sopor (1%) serta lidah kotor (54%), meteorismus (66%), hepatomegali (67%) dan
splenomegali (7%).10 Hal ini sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare
(39,47%), sembelit (15,79%), sakit kepala (76,32%), nyeri perut (60,5%), muntah
(26,32%), mual (42,11%), gangguan kesadaran (34,21%), apatis (31,58%) dan delirium
(2,63%).9 Sedangkan tanda klinis yang lebih jarang dijumpai adalah disorientasi, bradikardi
relatif, ronki, sangat toksik, kaku kuduk, penurunan pendengaran, stupor dan kelainan
neurologis fokal.5
15
variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S.
typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik
yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji
(poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau
lanjut dalam perjalanan penyakit).5
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi :
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap
kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun 1896. Pada uji
Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang
disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum penderita dengan pengenceran
yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama. Jika pada serum
terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih
menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.6
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum
penderita tersangka demam tifoid yaitu;
1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2. Aglutinin H (flagel kuman)
3. Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga agglutinin
tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam
tifoid. Semakin tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.6
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi O.
Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa
tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh,
aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap
lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya
menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi
cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk menentukan
diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi.6
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi
(aglutinin). Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam serum
penderita demam tifoid, pada orang yang pernah tertular Salmonella typhi dan pada
orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid.6
16
Antigen yang digunakan pada uij Widal adlah suspensi Salmonella typhi yang
sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal adalah untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita demam
tifoid.6
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang
ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin
besar pula kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi
yang aktif, titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan
selangwaktu paling sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama
2 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid.6
Interpretasi hasil uji Widal adalah sebagai berikut:6
o Titer O yang tinggi ( 160) menunjukkan adanya infeksi akut.
o Titer H yang tinggi ( 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau
pernah menderita infeksi.
o Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.
b) Tes TUBEX
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang
sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang
berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada
Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena
hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam
waktu beberapa menit.5
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini,
beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim
dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. 14 Penelitian
lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%. Tes ini
dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara
rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.5
Ada 4 interpretasi hasil :
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid.
17
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari kemudian.
Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid
VII. Diagnosis
Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbul setelah
inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan, dan (3)
gangguan kesadaran. Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam
dan gejala konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan
kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental. Sembelit
dapat merupakan gangguan gastointestinal awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul
diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih
jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia,
penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi
mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi
pada anak dibandingkan dewasa. Rose spots (bercak makulopapular) ukuran 1-6 mm, dapat
22
timbul pada kulit dada dan abdomen, ditemukan pada 40-80% penderita dan berlangsung
singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis
menghilang namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan.
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya
ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam menegakkan
diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan
diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan.
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi
pemeriksaan darah tepi, serologis, dan bakteriologis.3,4
IX. Penatalaksanaan
IX.1. Non Medika Mentosa
a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien harus
diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai pemulihan.4
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat adalah yang
paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun tidak memperburuk kondisi
23
usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan
perforasi. Diet untuk penderita demam tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet cair,
bubur lunak, tim, dan nasi biasa.
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi, penurunan
kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang
optimal. Kebutuhan kalori anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya.
d) Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan suhu tubuh yaitu
dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke
hipotalamus melalui sumsum tulang belakang. Ketika reseptor yang peka terhadap
panas di hipotalamus dirangsang, sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai
berkeringat dan vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah diatur oleh
pusat vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai otak, dibawah pengaruh
hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini
menyebabkan pembuangan/ kehilangan energi/ panas melalui kulit meningkat
(berkeringat), diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali. Hal ini sependapat dengan teori yang dikemukakan oleh Aden
(2010) bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan suhu (thermoregulator) di hipotalamus.
Jika suhu tubuh meningkat, maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya
begitu juga sebaliknya.7
IX.2. Medikamentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik. Bila mungkin
peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal ini adalah Paracetamol dengan
dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya
karena mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang
masih rentan kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin. Bila tidak
mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral, obat yang masih dianjurkan adalah
yang mengandung Methamizole Na yaitu antrain atau Novalgin.
24
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah :1,3,4
Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi tifoid fever
terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak- anak 50-100 mg/kg/hari
dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari.
Diberikan selama 10-14 hari atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian Intra
Muskuler tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan
tempat suntikan terasa nyeri. Pada kasus malnutrisi atau didapatkan infeksi sekunder
pengobatan diperpanjang sampai 21 hari. Kelemahan dari antibiotik jenis ini adalah
mudahnya terjadi relaps atau kambuh, dan carier.
Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika trimetoprim dan
sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis Trimetoprim 10 mg/kg/hari dan
Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian secara syrup
dosis yang diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali selama 2
minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah terjadinya
gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik, Leukopenia, dan
granulositopenia. Dan pada beberapa Negara antibiotika golongan ini sudah
dilaporkan resisten.
Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan
dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun untuk anak- anak golongan obat
ini cenderung lebih aman dan cukup efektif. Dosis yang diberikan untuk anak 100-
200 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis selama 2 minggu. Penurunan demam biasanya
lebih lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol.
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime), merupakan pilihan
ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih dari Chloramphenicol dan
Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap Salmonella typhi. Ceftriaxone
merupakan prototipnya dengan dosis 100 mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2 dosis
(maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200
mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan per oral dapat
diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari.
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma sampai syok
dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg dalam 30 menit untuk dosis
awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam.
25
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang- kadang diperlukan
tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi harus segera dilakukan
laparotomi disertai penambahan antibiotika metronidazol.
X. Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :3
1. Komplikasi pada usus halus
a) Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin.
Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri perut dengan tanda –
tanda renjatan.
b) Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi pada bagian
distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila
terdapat udara dirongga peritoneum yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara
diantara hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan
tegak.
c) Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus. Ditemukan
gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen tegang, dan nyeri tekan.
2. Komplikasi diluar usus halus
a) Bronkitis dan bronkopneumonia
Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan disebabkan oleh
bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi sekunder dan dapat timbul pada awal
sakit atau fase akut lanjut. Komplikasi lain yang terjadi adalah abses paru, efusi,
dan empiema.
b) Kolesistitis
Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi minggu kedua dengan
gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi kolesistitis maka penderita
cenderung untuk menjadi seorang karier.
c) Typhoid ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa kesadaran
menurun, kejang – kejang, muntah, demam tinggi, pemeriksaan otak dalam batas
normal. Bila disertai kejang – kejang maka biasanya prognosisnya jelek dan bila
26
sembuh sering diikuti oleh gejala sesuai dengan lokasi yang terkena.
d) Meningitis
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering didapatkan pada
neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan gejala klinis tidak jelas sehingga
diagnosis sering terlambat. Ternyata peyebabnya adalah Salmonella havana dan
Salmonella oranemburg.
e) Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran klinis tidak khas.
Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun keatas serta sering terjadi pada
minggu kedua dan ketiga. Gambaran EKG dapat bervariasi antara lain : sinus
takikardi, depresi segmen ST, perubahan gelombangan I, AV blok tingkat I, aritmia,
supraventrikular takikardi.
f) Infeksi saluran kemih
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui urin
pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis maupun pilonefritis dapat juga
merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan
glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sidrom
nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.
g) Karier kronik
Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit demam tifoid,
tetapi mengandung kuman Salmonella typhosa di sekretnya. Karier temporer-
ekskresi S.typhi pada feces selama tiga bulan. Hal ini tampak pada 10% pasien
konvalesen. Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3 minggu setelah demam
mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki bentuk sensivitas yang
sama seperti semula. Faktor predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin
perempuan, pada kelompok usia dewasa, dan cholelithiasis. Pasien dengan traktus
urinarius yang abnormal, seperti schistosomiasis, mungkin memgeluarkan bakteri
pada urinya dalam waktu yang lama.
XI. Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang
adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%,
27
biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya
komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis,
endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.1
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser. Typhi ≥ 3
bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi karier pada anak –
anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien
demam tifoid.1
28