Anda di halaman 1dari 42

LAPORAN PENDAHULUAN DAN RENCANA ASUHAN

KEPERAWATAN KLIEN DENGAN CONGESTIVE HEART


FAILURE (CHF)

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Daring Profesi Ners Stase Keperawatan Dewasa

Pembimbing: Estriana Murni S, S. Kep., Ns., M.NS

Disusun Oleh kelompok E4:


Bety Rinda Setyowati 2010206075
Agustinus Sinaga 2010206098
Aprilia Malahayati 2010206104
Arum Isranda Ningsih 2010206120

PROGRAM STUDI PPROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA
2020
TINJAUAN TEORI

A. Jantung
Jantung merupakan suatu organ yang berfungsi memompa darah ke
seluruh tubuh, jantung berada di pusat sistem peredaran darah yang terdiri dari
jaringan pembuluh darah arteri, pembuluh darah vena, dan pembuluh darah
kapiler. Aliran darah mengalir melalui jantung dengan memasuki atrium kanan
jantung dari vena kava superior dan inferior. Dari atrium kanan, darah dipompa
ke ventrikel kanan kemudian dipompa menuju paru-paru. Darah dari paru-paru
merupakan darah yang kaya akan oksigen yang selanjutnya akan masuk ke atrium
kiri lalu dipompa ke ventrikel kiri setelah itu akan dipompa ke seluruh tubuh.
Setiap ruangan memiliki katup yang berfungsi agar darah tidak mengalir kembali
ke ruangan sebelumnya.
B. Definisi gagal jantung
Gagal jantung adalah keadaan dimana jantung tidak lagi mampu memompa
darah ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh, walaupun darah
balik masih normal. Dengan perkataan lain, gagal jantung adalah ketidakmampuan
jantung untuk memompakan darah dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi
kebutuhan metabolic tubuh (forward failure) atau kemampuan tersebut hanya dapat
terjadi dengan tekanan pengisian jantung yang tinggi (backward failure), atau kedua-
duanya.
Sebagai pompa, jantung bekerja tidak hanya atas kemauan sendiri tetapi
tergantung pula pada berbagai faktor, sehingga jantung dapat bekerja secara optimal.
Faktor-faktor tersebut adalah kontraktilitas miokard, denyut jantung (irama dan
kecepatan/menit), beban awal dan beban akhir.
Gagal jantung adalah sindrom klinis progresif yang disebabkan oleh
ketidakmampuan jantung dalam memompa darah yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan metabolisme tubuh. Gagal jantung dapat berasal dari gangguan apapun yang
mengurangi pengisian ventrikel (disfungsi diastolik) dan atau miokard kontraktilitas
(disfungsi sistolik).
C. Etiologi penyakit gagal jantung
1. Penyakit Jantung Koroner
timbunan kolesterol dan lemak terbentuk di arteri jantung, yang dikenal sebagai
aterosklerosis. Aterosklerosis ini menyebabkan kekurangan darah yang mencapai
otot jantung, sehingga akan menimbulkan nyeri dada (angina). Jika aliran darah
benar-benar terhambat akan terjadi gagal jantung.
2. Hipertensi
Hipertensi yang tidak terkendali meningkatkan resiko gagal jantung dengan
2-3 kali. Ketika tekanan dalam pembuluh darah terlalu tinggi, jantung harus
memompa lebih keras dari biasanya untuk menjaga sirkulasi darah dan
mengakibatkan ruang pada jantung menjadi lebih besar dan lelah.
3. Penyakit Katup Jantung
Penyakit katup jantung dapat terjadi akibat penyakit, infeksi (endokarditis)
atau cacat saat lahir. Ketika katup tidak terbuka atau tertutup sepenuhnya setiap
siklus jantung, otot jantung harus memompa lebih keras untuk menjaga sirkulasi
darah. Jika beban terlalu keras makan akan menyebabkan gagal jantung.
4. Penyakit Otot Jantung
Penyakit otot jantung seperti kardiomipati, miokarditis dan setiap kerusakan
pada otot jantung akibat alcohol, infeksi virus atau alasan yang tidak diketahui
meningkatkan resiko gagal jantung.
5. Penyakit jantung bawaan
Jika jantung dan ruang tidak terbentuk dengan sempurna, bagian yang
sempurna harus bekerja lebih keras untuk mempertahankan sirkulasi darah.
6. Penyakit paru-pari berat
Ketika paru-paru tidak bekerja dengan baik, jantung harus bekerja lebih keras
untuk menyuplai oksigen ke seluruh tubuh
D. Manifestasi klinis gagal jantung
Sebagai kompensasi dari berkurangnya kekuatan pompa jantung, ventrikel akan
membesar untuk meningkatkan regangan dan kontraksi sehingga dapat memompa
darah lebih banyak. Akibatnya, otot jantung akan menebal untuk membantu
meningkatkan kekuatan pompa. Hal tersebut membutuhkan semakin banyak suplai
darah dari arteri koronaria yang menyebabkan jantung juga akan berdenyut lebih cepat
untuk memompa lebih sering lagi. Pada keadaan ini, kadar hormon yang menstimulasi
jantung akan meningkat. Manifestasi klinis yang timbul menunjukkan adanya tanda-
tanda kegagalan jantung kongestif yaitu dispnoe dan fatique yang dapat menghambat
toleransi latihan dan retensi cairan yang dapat menimbulkan kongesti paru dan edema
perifer. Kedua abnormalitas tersebut akan mengurangi kapasitas fungsional dan kualitas
hidup.
1. Tabel manifestasi klinis gagal jantung

Gejala Tanda
Tipikal Spesifik
- Sesak nafas - Peningkatan JVP
- Ortopneu - Refluks hepatojugular
- Paroxysmal nocturnal - Suara jantung S3 (gallop)
dyspnoe
- Apex jantung bergeser ke
- Toleransi aktifitas yang lateral
berkurang
- Bising jantung
- Cepat lelah
- Begkak di pergelangan
kaki

Kurang tipikal Kurang tipikal


- Batuk di malam / dini hari - Edema perifer
- Mengi - Krepitasi pulmonal
- Berat badan bertambah > - Sura pekak di basal paru
pada perkusi
2 kg/minggu
- Takikardia
- Berat badan turun (gagal
jantung stadium lanjut) - Nadi ireguler
- Perasaan kembung/ begah - Nafas cepat
- Nafsu makan menurun - Heaptomegali
- Perasaan bingung - Asites
(terutama pasien usia
lanjut) - Kaheksia

- Depresi
- Berdebar
- Pingsan

E. Klasifikasi gagal jantung


1. Klasifikasi Berdasarkan Manifestasi Klinis
a. Gagal Jantung Kiri dan Gagal Jantung Kanan
Jantung memompa darah kaya oksigen dari paru-paru ke atrium kiri
kemudian ke ventrikel kiri, yang memompa darah ke seluruh tubuh. ventrikel
kirim memang memiliki kekuatan yang paling besar untuk memompa darah ke
seluruh jaringan tubuh, namun pada gagal jantung kiri, bagian kiri jantung harus
bekerja lebih keras lagi dari yang normal untuk curah jantung yang sama. Ada
dua tipe gagal jantung kiri, dengan pengobatan yang berbeda, yaitu gagal
jantung sistolik dan gagal jantung diastolik. Gagal jantung sistolik terjadi ketika
ventrikel kiri kehilangan kemampuan kontraksi secara normal. Jantung tidak
dapat berkontrak. dengan tekanan yang cukup untuk memompa darah secara
normal. Sedangkan gagal jantung diastolik (disfungsi diastolik) terjadi jika
ventrikel kiri kehilangan kemampuannya untuk berelaksasi secara normal
(karena otot jantung menjadi kaku) sehingga jantung tidak dapat terisi dalam
jumlah yang tepat saat periode akhir diastol. Jantung memompa darah untuk
mengembalikan darah ke jantung melalui vena ke atrium kanan lalu ke ventrikel
kanan. Kemudian ventrikel kanan memompa darah kembali ke jantung melalui
paru-paru untuk diisi dengan oksigen. Gagal jantung kanan biasanya terjadi
karena efek gagal jantung kiri. Ketika terjadi gagal jantung kiri, tekanan cairan
meningkat, dan hasilnya, kembali ke paru, yang pada akhirnya mengganggu
bagian kiri jantung. Ketika bagian kanan jantung kehilangan kemampuan untuk
memompa, darah kembali ke pembuluh darah tubuh dan biasanya menyebabkan
pembengkakan pada pergelangan kaki.
b. Gagal Jantung Akut dan Gagal Jantung Kronik
Gagal jantung akut terjadi dengan cepat, sehingga mekanisme
kompensasi menjadi tidak efektif, terjadi perubahan gejala secara cepat sehingga
membutuhkan penanganan yang cepat pula. Gagal jantung akut dapat terjadi
sebagai serangan pertama gagal jantung, namun dapat pula terjadi akibat
gagal jantung kronik sebelumnya. Gambaran klinis pada gagal jantung akut
yaitu adanya kongesti paru, penurunan curah jantung, dan hipoperfusi jaringan.
Gagal jantung kronik adalah sindrom klinik yang komplek disertai
keluhan sesak, rasa lelah baik pada saat istirahat maupun beraktivitas. Gagal
jantung kronik berlangsung dalam waktu relatif cukup lama dan biasanya
merupakan hasil akhir dari peningkatan ketidakmampuan mekanisme
kompensasi jantung yang efektif.
c. Gagal Jantung Backward dan Gagal Jantung Forward
Gagal jantung backward terjadi akibat ventrikel tidak mampu memompa
darah keluar, sehingga darah terakumulasi dan meningkatkan tekanan dalam
ventrikel, atrium, dan sistem vena baik pada bagian kanan maupun bagian kiri
jantung. Sedangkan gagal jantung forward terjadi akibat ketidakmampuan
jantung mempertahankan curah jantung yang kemudian menurunkan perfusi
jaringan. Karena jantung merupakan sistem jaringan tertutup, gagal jantung
backward dan gagal jantung forward selalu berhubungan satu sama lain
d. Gagal Jantung Low-output dan Gagal Jantung High-output

Gagal jantung low-output terjadi jika jantung gagal sebagai pompa, yang
mengakibatkan gangguan sirkulasi perifer dan vasokonstriksi perifer sehingga
curah jantung menjadi di bawah normal. Bila curah jantung tetap normal atau di
atas normal namun tidak dapat mencukupi kebutuhan metabolik tubuh, maka
terjadi gagal jantung high-output.

2. Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Kemampuan Fungsional


Gagal jantung menurut New York Heart Association (NYHA)
diklasifikasikan menjadi:
a. Kelas I
Tanpa limitasi aktivitas fisik. Aktifitas fisik sehari-hati tidak
menimbulkan
kelelahan, palpitasi, dan dyspnoe.
b. Kelas II
Adanya sedikit limitasi dari aktivitas fiisk. Saat istirahat tidak ada
keluhan. Aktifitas fisik sehari-hari menimbulkan kelelahan, palpitasi, dan
dyspnoe.
c. Kelas III
Adanya limitasi aktivitas fisik yang nyata. Saat istirahat tidak ada keluhan.
Aktivitas fiisk yang lebih ringan dari aktivitas sehari-hari sudah menimbulkan
kelelahan, palpitasi, dan dyspnoe.

d. Kelas IV
Tak mampu melakukan setiap aktivitas fisik tanpa menimbulkan keluhan.
Gejala-gejala gagal jantung bahkan mungkin sudah nampak saat istirahat.
Setiap aktivitas fisik akan menambah beratnya keluhan.
F. Patofisiologi Gagal Jantung
Penyebab tersering terjadinya gagal jantung adalah gangguan/kerusakan
fungsi miokard ventrikel kiri disamping adanya penyakit pada pericardium,
miokardium, endokardium ataupun pembuluh darah besar. Penurunan fungsi ventrikel
kiri mengakibatkan terjadinya penurunan curah jantung yang selanjutnya menyebabkan
teraktivasinya mekanisme kompensasi neurohormonal yang bertujuan mengembalikan
kinerja jantung dalam memenuhi kebutuhan jaringan. Aktivasi sistim simpatis
menimbulkan peningkatan denyut jantung dan vasokonstriksi perifer sehingga curah
jantung dapat meningkat kembali. Aktivasi Renin-Angiotensin-Aldosterone system
(RAAS) menyebabkan vasokonstriksi (angiotensin) dan peningkatan volume darah
melalui retensi air dan natrium (aldosterone). Mekanisme kompensasi yang terus
berlangsung ini akan menyebabkan stress pada miokardium sehingga menyebabkan
terjadinya remodeling yang progresif dan pada akhirnya dengan mekanisme
kompensasipun jantung tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan jaringan (dekompensasi).

a. Mekanisme Frank Starling


Gagal jantung akibat penurunan kontraktilitas ventrikel kiri menyebabkan isi
sekuncup menurun dibandingkan normal dan setiap isi sekuncup pada gagal jantung
menuntut kenaikan volume akhir diastolik lebih tinggi dibandingkan normal.
Penurunan isi sekuncup mengakibatkan pengosongan ruang yang tidak sempurna
sewaktu jantung berkontraksi, sehingga volume darah yang menumpuk dalam
ventrikel semasa diastol lebih tinggi dibandingkan normal. Hal ini bekerja sebagai
kompensasi untuk membantu mengosongkan ventrikel kiri yang membesar.
b. Hipertrofi Ventrikel
Pada gagal jantung, stress pada dinding ventrikel bisa meningkat, baik akibat
dilatasi atau beban akhir (after load) yang tinggi. Peninggian stress terhadap ventrikel
yang terus menerus merangsang pertumbuhan hipertrofi ventrikel dan kenaikan massa
ventrikel. Hal ini bekerja sebagai kompensasi untuk mengurangi stress dinding,dan
peningkatan massa serabut otot membantu memelihara kekuatan kontraksi ventrikel.
c. Aktivasi Neurohormonal
Perangsangan neurohormonal merupakan mekanisme kompensasi akibat
adanya penurunan curah jantung. Mekanisme ini berguna untuk meningkatkan
tahanan pembuluh sistemik, sehingga mengurangi setiap penurunan tekanan darah.
Mekanisme kompensasi yang mencakup aktivasi neurohormonal adalah:
1) sistem syaraf adrenergic
Penurunan curah jantung menyebabkan penurunan perfusi pada aorta
sehingga arus simpatis ke jantung meningkat dan menghasilkan peningkatan
denyut jantung, peningkatan kontraktilitas ventrikel, vasokonstriksi vena
dan arteri. Peningkatan denyut jantung dan kontraktilitas ventrikel secara
langsung meningkatkan curah jantung. Vasokonstriksi vena mengakibatkan
peningkatan aliran balik darah ke jantung, sehingga meningkatkan beban
awal (preload) dan meningkatkan isi sekuncup.Vasokonstriksi arteri
menyebabkan peningkatan tahanan pembuluh perifer sehingga membantu
memelihara tekanan darah
2) sistem Renin Angiotensin
Penurunan curah jantung menyebabkan penurunan perfusi pada arteri renalis
sehingga terjadi rangsangan untuk mensekresi renin. Renin bekerja pada
angiotensinogen dalam sirkulasi, menjadi angiotensin I, yang kemudian diubah
dengan cepat oleh enzim ACE menjadi angiotensin II, suatu vasokonstriktor kuat.
3) hormon antidiuretik
Sekresi hormon ini meningkat akibat adanya rangsang terhadap baroreseptor di
arteri dan atrium kiri, serta oleh kadar angiotensin II yang meningkat dalam
sirkulasi. Hormon antidiuretik berperan meningkatkan volume intravaskuler
karena meningkatkan retensi cairan melalui nefron distal sehingga meningkatkan
beban awal (preload) dan curah jantung.
G. Diagnosa dan Pemeriksaan Klinis Gagal Jantung
Diagnosis gagal jantung umumnya dilakukan berdasarkan pada gejala
(misalnya, ortopnea dan sesak nafas saat beraktivitas) dan tanda-tanda (misalnya,
edema dan suara bising pernapasan). Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengevaluasi
perfusi sistemik dan adanya kemacetan (dingin atau hangat, basah atau kering).
Pengujian laboratorium, elektrokardiogram (EKG), x-ray dada, dan echocardiogram
semuanya penting untuk pemeriksaan penunjang pada gagal jantung. Seperti pada
gambar dibawah:

1. Elektrokardiografi (EKG)
Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) harus dikerjakan pada semua pasien yang
diduga mengalami penyakit gagal jantung. Abnormalitas EKG sering dijumpai pada
kondisi gagal jantung. Abnormalitas EKG memiliki nilai prediktif yang kecil dalam
mendiagnosis gagal jantung, jika nilai EKG normal, maka diagnosis gagal jantung
khususnya dengan disfungsi sistolik sangat kecil (< 10%) (Siswanto, et al., 2015).
Alat ini dapat mendeteksi terjadinya aritmia, gangguan konduksi dan iskemik
miokard serta temuan lain terkait dengan gangguan metabolik yang mengancam jiwa
seperti adanya hiperkalemia dan peningkatan kemungkinan terjadinya kematian
jantung secara mendadak

Abnormalitas Penyebab Implikasi klinis

Sinus takikardia Gagal jantung Penilaian klinis


dekompensasi, anemia, Pemeriksaan
demam, hipertroidisme laboratorium

Sinus Bradikardia Obat penyekat β, anti Evaluasi terapi obat


Pemeriksaan
aritmia, laboratorium
hipotiroidisme,
sindroma sinus sakit
Atrial takikardia / Hipertiroidisme, infeksi, Perlambat konduksi AV,

futer / fbrilasi gagal jantung konversi medik,


dekompensasi, infark elektroversi, ablasi
miokard kateter, antikoagulasi
Aritmia ventrikel Iskemia, infark, Pemeriksaan
kardiomiopati, laboratorium, tes latihan
miokardits, beban, pemeriksaan
perfusi, angiografi
hipokalemia, koroner, ICD
hipomagnesemia,
overdosis digitalis
Iskemia / Infark Penyakit jantung Ekokardiografi, troponin,

koroner Angiografiikoroner,

2. Foto Toraks
Foto toraks merupakan komponen penting dalam melaksanakan diagnosis gagal jantung.
Foto toraks dapat mendeteksi terjadinya kardiomegali, kongesti paru, efusi pleura dan
dapat mendeteksi adanya penyakit atau infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat
sesak nafas. Kardiomegali dapat tidak ditemukan pada gagal jantung akut dan kronik
3. Pemeriksaan Echocardiography (ECHO)
Echocardiography (ECHO) adalah salah satu prosedur terbaik untuk mengevaluasi
fungsi jantung, termasuk kemampuan memompa jantung dan fungsi katup jantung.
Echocardiography dapat membantu menentukan apakah gagal jantung yang disebbakan
karena disfungsi sistolik atau diastolik dengan memungkinkan dokter untuk
memperkirakan ketebalan dan kekakuan dari dinding jantung dan fraksi ejeksi. Scan lain
dapat dilakukan dengan menggunakan suntikan pelacak radioaktif untuk mencari
penyebab gagal jantung
4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI atau Magnetic Resonance Imaging berguna dalam mengevaluasi ukuran ruang dan
massa dari ventrikel, fungsi jantung, dan gerakan dinding; menggambarkan keadaan
bawaan dan kelainan katup; serta menunjukkan adanya penyakit perikardial. MRI
menjadi sangat berguna untuk mengevaluasi kelainan pada gerakan dinding dan
kelayakan miokardium, dan hasil dari MRI dapat membantu memprediksi keberhasilan
revaskularisasi pasien dengan fraksi ejeksi yang rendah pada gagal jantung.

5. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium pada pasien yang diduga menderita gagal jantung adalah
darah perifer lengkap (hemoglobin, leukosit, dan trombosit), elektrolit, kreatinin, laju
filtrasi glomerulus (GFR), glukosa, tes fungsi hati dan urinalisis. Pemeriksaan tambahan
dapat dipertimbangkan sesuai tampilan klinis pasien

a. Pemeriksaan BNP (B-type Natriuretic Peptide)


B-type natriuretic peptide (BNP) atau tingkat N-terminal proBNP (NT- proBNP)
dapat membantu dalam membedakan antara penyebab terjadinya gagal jantung dan
noncardiac dispnea (Lindenfeld, et al., 2010). BNP merupakan prediktor independen
dari tekanan akhir diastolik yang tinggi di ventrikel kiri dan lebih berguna daripada
peptida atrial natriuretic (ANP) atau tingkat norepinefrin untuk menilai risiko
kematian pada pasien dengan gagal jantung (Fisher, et al., 2003). Pemeriksaan
laboratorium BNP dapat dilakukan dengan pengambilan sampel urin atau darah.
Kadar BNP normal adalah ≤ 100 pg/mL, bila kadar 100- 300 pg/mL merupakan tanda
dari gagal jantung dan > 300 pg/Ml berarti pasein telah berada pada posisi gagal
jantung
b. Troponin I atau T
Pemeriksaan troponin dilakukan pada pasien penderita gagal jantung jika
gambaran klinisnya disertai dengan dugaan sindroma koroner akut. Peningkatan kadar
troponin kardiak yang ringan sering terjadi pada kondisi gagal jantung berat atau
selama episode dekompensasi gagal jantung pada penderita tanpa iskemia miokard
Troponin T memiliki tingkat sensitivitas sebesar 84% untuk infark miokard selama 8
jam setelah onset gejala dengan spesifisitas sebesar 81%, tetapi spesifisitas rendah
untuk angina tidak stabil yaitu sebesar 22%. Sedangkan troponin I memiliki tingkat
sensitivitas yang lebih besar yaitu sebesar 90% untuk infark miokard selama 8 jam
setelah onset gejala dengan spesivisitas sebesar 95%, tetapi spesifisitas rendah untuk
angina tidak stabil yaitu sebesar 36%
c. CK-MB
Kadar serum creatinine kinase (CK) dan fraksi MB merupakan indikator penting
dari terjadinya nekrosis miokard. Keterbatasan utama dari kedua pertanda tersebut
adalah relatif rendahnya spesifikasi dan sensitivitas saat awal (<6 jam) setelah
terjadi onset serangan. Risiko yang lebih buruk terjadi pada pasien tanpa segment
ST elevasi lebih besar pada pasien dengan peningkatan nilai CK-MB. Jika
dibandingkan dengan troponin, CK-MB lebih cepat, efisiensi biaya dan tepat,
serta dapat mendeteksi awal terjadinya infark

d. Kolesterol
Kadar kolesterol pada keadaan normal adalah <200 mg/dL. Jenis kolesterol yang
diperiksa pada pemeriksaan kardiovaskular adalah low density lipoprotein (LDL),
high density lipoprotein (HDL), dan trigliserida. Kadar LDL normal adalah 130
mg/dL, kadar HDL normal adalah ≥ 60 mg/dL, dan kadar trgliserida normal adalah
<150 mg/dL. Pengukuran kadar lemak dalam darah dapat dilakukan dengan uji
kolesterol yang hasilnya dapat menunjukkan ada atau tidaknya resiko terhadap
terjadinya serangan jantung atau penyakit jantung lainnya.
H. Terapi penyakit gagal jantung
1. Terapi farmakologi
Beberapa terapi farmakologis yang dapat dilakukan untuk pasien dengan gagal
jantung adalah sebagai berikut:
a. Diuretik
Diuretik meningkatkan pengeluaran cairan melalui ginjal dengan mengurangi
reabsorpsi air. Terapi ini menyebabkan tubuh membersihkan diri dari cairan dan
natrium melalui urin yang juga membantu kerja jantung. Selain itu juga
mengurangi penumpukan cairan di paru dan di bagian tubuh lainnya, seperti kaki
dan pergelangan kaki. Setiap diuretik memiliki cara kerja yang berbeda dalam
mengeliminasi cairan. Terapi ini juga berguna untuk membantu menurunkan
tekanan darah.
b. Penghambat Angiotensin-converting Enzyme (ACE)
Penghambat Angiotensin-converting Enzyme (ACE) bekerja
dengan menghambat sistem renin-angiotensin-aldosteron yang pada awalnya
berperan penting dalam mekanisme neurohormonal perkembangan gagal
jantung. Terapi ini menurunkan jumlah angiotensin II sehingga darah dapat
mengalir lebih mudah dan kerja jantung menjadi lebih ringan dan efisien dengan
cara mengurangi resistensi pembuluh darah perifer. Hal ini mengurangi
konsumsi oksigen miokardium sehingga memperbaiki curah jantung yang
selanjutnya meminimalkan pembuluh darah dan hipertrofi vascular
c. Beta Blocker
Beta blocker bekerja dengan memblok kerja kompensasi sistem saraf
simpatis sehingga menurunkan ukuran dan massa ventrikel kiri. Perubahan ini
menurunkan denyut jantung dan curah jantung. Terapi ini digunakan untuk
menurunkan tekanan darah dan digunakan juga untuk terapi aritmia dan angina
serta dapat mencegah serangan jantung di kemudian hari pada pasien penyakit
jantung. Sejumlah uji klinis menunjukkan jika beta blocker diresepkan dan
dimulai dengan tepat, penanganan jangka panjang dengan beta blocker dapat
mengurangi gagal antung kronis, meningkatkan status klinis pasien,
meningkatkan perasaan sehat, mengurangi angka masuk rumah sakit, dan
menurunkan mortalitas
d. Glikosida Digitalis
Terapi ini dikenal pula sebagai digoksin yang bekerja dengan
menghambat pompa natrium sehingga meningkatkan kadar natrium intraseluler
yang memfasilitasi pertukaran natrium. Kondisi ini akan meningkatkan kalsium
sitosolik yang pada akhirnya meningkatkan kontraktilitas miokard sehingga
denyut jantung dapat berfungsi teratur. Terapi ini biasanya digunakan pada
pasien yang tidak menunjukkan kemajuan meskipun telah diberi diuretik dan
penghambat ACE.
e. Vasodilator
Prinsip kerja obat vasodilator merupakan antagonis neurohormonal,
terutama ACE. Obat ini bekerja dengan mendilatasi otot arteri sehingga dapat
mengurangi afterload ventrikel kiri. Vasodilator dapat berupa pil yang ditelan,
tablet kunyah, maupun krim.
f. Penghambat Kanal Kalsium
Penghambat kanal kalsium bekerja dengan cara menghambat kalsium
menuju sel jantung dan pembuluh darah sehingga dapat menurunkan kekuatan
memompa jantung dan meregangkan pembuluh darah
g. Antikoagulan
Antikoagulan digunakan untuk mengurangi koagulasi darah, terutama
pada pasien dengan emboli arterial sistemik sehingga peredahan darah
menjadi lebih lancar.
2. Terapi non farmakologi
a. Ketaatan pasien berobat
Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan
kualitas hidup pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20 - 60% pasien yang taat
pada terapi farmakologi maupun non-farmakologi
b. Pemantauan berat badan mandiri
Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat
kenaikan berat badan > 2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis
diuretik atas pertmbangan dokter.
c. Asupan cairan
Restriksi cairan 1,5 - 2 Liter/hari dipertimbangkan terutama pada pasien
dengan gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada
semua pasien dengan gejala ringan sampai sedang tidak memberikan
keuntungan klinis
d. Pengurangan berat badan
Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT > 30 kg/m2) dengan
gagal jantung dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung,
mengurangi gejala dan meningkatkan kualitas hidup
e. Kehilangan berat badan tanpa rencana
Malnutrisi klinis atau subklinis umum dijumpai pada gagal jantung
berat.Kaheksia jantung (cardiac cachexia) merupakan prediktor penurunan
angka kelangsungan hidup.Jika selama 6 bulan terakhir berat badan > 6 % dari
berat badan stabil sebelumnya tanpa disertai retensi cairan, pasien
didefinisikan sebagai kaheksia. Status nutrisi pasien harus dihitung dengan
hati-hati.
f. Latihan fisik
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung
kronik stabil. Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik
dikerjakan di rumah sakit atau di rumah.
MIND MAPPING
PENGERTIAN

Gagal jantung kongestif merupakan suatu kondisi


dimana organ jantung tidak mampu memompa ETIOLOGI MANIFESTASI KLINIS
darah keseluruh tubuh secara adekuat . gagal Kelainan otot jantung, Aterosklerosis
jantung merupakan kumpulan gejala klinis yang Gejala : Sesak nafas, ortopnea, cepat lelah,
koroner, Hipertensi sistemik atau
diakibatkan kelainan fungsional maupun struktural bengkak dipergelangan kaki, nafas
pulmonal, Peradangan dan penyakit
jantung yang menyebabkan ketidakmampuan mengi,batuk dimalam hari, beratbadan
pengisian ventrikel serta ejeksi darah keseluruh
miokardium degeneratif dan terdapat
faktor sistemik (Rahmawati, 2019). bertambah,
tubuh (sulistyo,2018)
Tanda : peningkatan JVP, bising jantung,
suara jantung s3, refluks hepatojugular ,
edema perifer ,krepitasi pulmonal,
PEMERIKSAAN PENUNJANG hepatomegali, nafas cepat , nadi ireguler

EKG, Scan Jantung, Sonogram, CHF


Kateterisasi Jantung, Rontgent dada, PATOFISIOLOGI &
PATWAYS TERLAMPIR
Oksimetri Nadi (Khasanah, Susanto,
& Rudianti, 2020)

KOMPLIKASI Klasifikasi :
PENATALAKSANAAN 1. Berdasarkan manifestasi klinis (Gagal jantung kiri dan
Syok kardiogenik,
kanan, Gagal jantung akut & kronis, Gagal jantung
edema perifer, episode
Non Farmakologi :Dukung istirahat, Diet backward dan poward)
trombolik, aritmia, 2. Berdasarkan tingka kemampuan fungsional (Kelas I,
rendah garam, oksigenasi efusi perikardial dan Kelas II, Kelas III, Kelas IV)
Farmakologi : Glikosida jantung, terapi tamponade jantung.
deuritic, terapi vasodilator. (Rahmawati M. ,
2020)
1. PATHWAYS CHF

Beban sistole Beban volume


Disfungsi Beban tekanan
berlebihan berlebihan
miokardium berlebihan

Kontaktilitas
vv Beban sistole Perioad CHF kanan
berkurang meningkat
Hambatan
pengosongan
ventrikel

Hipertrofi Peningkatan
Beban jantung
CHF ventrikel pengisian
LVEP

Gagal pompa ventrikel kiri


Aliran
darah ke
Foward failure Backward failure jantung
&otak
LVED (Left Ventrikular End tidak
Cardiac output adekuat
Disaster)

Suplay darah ke Renal flow Tekanan vena pulmonalis


Penurun
jaringan
an curah
Tekanan kapiler paru
jantung

Suplay o2 ke otak Oedema paru

Glomerular
Cairan masuk
nutrisi filtration rate
Metabolis alveoli
m

Ketidakefektifan
Metabolism sel Retensi pola nafas
Timbunan
Na +
asam laktat H20
lemah
Pelepasan
mediator kimia Kelebihan
volume
Persepsi nyeri di cairan
hipotalamus

Nyeri akut
DAFTAR PUSTAKA

Sulistyo, E. (2018). Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kualitas Hidup Pasien Gagal
Jantung Kongestif Di Poliklinik Jantung Rsud Kabupaten Sukoharjo. Jurnal
Keperawatan .

Rahmawati. (2019). Gambaran Asuhan Keperawatan Pada Pasien Gagal Jantung Kongestif
Dengan Penurunan Curah Jantung Di Ruang Oleg Rsud Mangusada Badung . Jurnal
Keperawatan .

Khaerunnisa, T., & Eka Putri, Y. S. (2017). Penerapan Asuhan Keperawatan Ansietas Pada
Pasien Gagaljantung Kongestif. Jurnal keperawatan , volume 4 No. 2, hal 74-82.

Khasanah, S., Susanto, A., & Rudianti. (2020). AnalisisFaktor Yang Berhubungan Dengan
Kejadian Rehospitalisasi Pasien Gagal Jantung Kongestif. Jurnal Keperawatan,
Volume 17 No. 2.

Rahmawati, M. (2020). Asuhan Keperawatan Pada Gagal Jantung Kongestif Dengan Fokus
Studi Pengelolaan Kelebihan Volume Cairan Di Rsud Djojonegoro Kabupaten
Temanggung. Jurnal Keperawatan .
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN CONGESTIVE
HEART FAILURE (CHF)

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Daring Profesi Ners Stase Keperawatan Dewasa

Pembimbing: Estriana Murni S, S. Kep., Ns., M.NS

Disusun Oleh kelompok E4:


Bety Rinda Setyowati 2010206075
Agustinus Sinaga 2010206098
Aprilia Malahayati 2010206104
Arum Isranda Ningsih 2010206120

PROGRAM STUDI PPROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA
2020
B. analisa data
C. intervensi keperawatan
ANALISIS JURNAL
1. JURNAL A
A. Judul jurnal
Effectiveness of Metoprolol in Improving Cardiac and motor Function in Patients with
Chronic Heart Failure: A Prospective Study
B. Identitas jurnal

Nama Peneliti : XiaLiang Cheng, Min Zhu, Qing Liu, Zhenxia


feng, Yong Meng
Judul Penelitian : Effectiveness of Metoprolol in Improving
Cardiac and motor Function in Patients with
Chronic Heart Failure: A Prospective Study
Tempat dan Waktu Penelitian: Hospital of Kunmang 2020
Tujuan Penelitian : Mengetahui pengaruh dosis metoprolol pada
fungsi jantung, jenis kelamin, fungsi motorik,
kualitas hidup dan status mental pada pasien
gagal jantung (CHF)
Metode Penelitian : Studi prospektif
Hasil Penelitian : Pengaruh dosis metoprolol pada fungsi
jantung, jenis kelamin, fungsi motorik, kualitas
hidup dan status mental menunjukkan hasil
p<0,05. Dosis yang digunakan untuk mencapai
target adalah 99,75 mg. Sebanyak 101 laki-laki
dan 53 perempuan pasien CHF dengan usia
rata-rata 39-66 tahun, 38 pasien masing-
masing berusia >60 tahun dan <60 tahun
mengalami penurunan tekanan darah sistolik
pada perempuan dibandingkan dengan laki-
laki. HR meningkat dengan peningkatan fraksi
ejeksi (EF) dari 1 bulan pengobatan diantara
kedua jenis kelamin. Indeks jantung (CI) dan
fungsi motorik telah meningkat seiring dengan
kualitas hidup lebih baik setelah pengobatan
metoprolol.
Kesimpulan Penelitian : Penelitian ini menunjukkan hasil efek
metoprolol meningkatkan perubahan fungsi
jantung, fungsi motorik, kualitas hidup lebih
tinggi dan status mental pasien CHF dengan
jenis kelamin maupun usia.
Saran Penelitian : Diharapakan studi intervensi ini dapat
diaplikasikan dengan kolaborasi dokter,
perawat terkait asuhan keperawatan pada
pasien CHF.

C. Analisis jurnal metode PICO

Kriteria Critical thinking


P Dalam jurnal ini, populasi atau problem yang ditemukan yaitu pasien
Chronic heart failure (CHF) di Rumah sakit Kunmang Cina.

I Penelitian dilakukan dengan intervensi memberikan medikasi


metoprolol dengan dosis 99,75 mg (47.5-142.5 mg) selama 12 bulan
intervensi.
C Dalam jurnal penelitian ini perbandingan yang di lakukan oleh
peneliti hanya pada dosis pemberian pengobatan metoprolol tidak
membandingkan dengan obat golongan jenis lainnya. Jurnal ini tidak
menjelaskan terkait perbandingan dengan teori sebelumnya dan
belum pernah melakukan intevensi lain.
O Didalam jurnal menunjukkan secara komprehensif yang melibatkan
pengaruh jenis kelamin, usia dan dosis metoprolol pada jantung,
motorik, kualitas hidup dan status mental dalam intervensi jangka
panjang dapat meningkatkan fungsi jantung, fungsi motorik dan
kualitas hidup serta efek samping yang muncul peningkatan
kecemasan pasien pada pasien CHF.

D. Kelebihan dan kekurangan


1. Kelebihan:
a. Peneliti menampilkan hasil data analisis dalam bentuk tabel sehingga pembaca
dapat memahami dengan mudah hasil penelitian tersebut
2. Kekurangan
a. Harus melakukan pemantauan yang signifikan apabila ada pasien yang terjadi
komplikasi

b. Pelaksanaan penelitian membutuhkan waktu yang tidak singkat


c. Intervensi yang dijelaskan tidak membahas terkait rute pemberian medikasi
metoprolol.

E. Implikasi keperawatan
Pemberian terapi metoprolol dapat diterapkan sebagai bentuk kolaborasi antara perawat
dengan dokter yang bertujuan meningkatkan fungsi jantung, fungsi motorik, status mental
dan kualitas hidup pada pasien gagal jantung. Efek samping pada metoprolol tidak
memiliki efek yang fatal tetapi pada pasien akan terjadi kecemasan.

2. JURNAL B

A. Judul Jurnal

The effect of inspiratory muscle training on fatigue and dyspnea in patients with heart
failure: A randomized, controlled trial.

B. Identitas Jurnal Dan Penulis

Japan journal of nursing science wiley 2019


Amir Hossein Hossein Pour, Mohammad Gholami, Mandana Saki and Mehdi Birjandi

C. Abstrak
Tujuan : Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi efek latihan otot inspirasi (IMT) pada
dispnea, kelelahan dan klasifikasi fungsional New York Heart Association (NYHA) pada pasien
gagal jantung.

Metode : Dalam uji coba prospektif, acak, terkontrol ini, 84 pasien dengan gagal jantung (NYHA
kelas II-III / IV) dengan usia rata-rata 56,62 ± 9,56 tahun secara acak ditugaskan untuk IMT 6
minggu intervensi ( n = 42) atau IMT kontrol ( n = 42) program. IMT dilakukan pada kelompok
intervensi 40% dari tekanan inspirasi maksimal (MIP) pada kelompok IMT dan pada 10% pada
kelompok kontrol. Hasil utama dinilai pada awal dan setelah intervensi dan termasuk skala
keparahan dispnea (Dewan Riset Medis Modifikasi [MMRC], Skala Keparahan Kelelahan [FSS]
dan klasifikasi fungsional NYHA (berdasarkan gejala yang muncul).

Hasil : Analisis antar kelompok menunjukkan peningkatan signifikan pada dispnea,


kelelahan danklasifikasi fungsional NYHA pada kelompok IMT dibandingkan dengan
kelompok kontrol ( P <. 05). Analisis dalam kelompok menunjukkan peningkatan
signifikan pada dispnea (dari 2,63 ± 0,79 menjadi 1,38 ± 0,66, P <. 001), kelelahan (dari
43,36 ± 8,5 hingga 28,95 ± 9,11, P <. 001) dan klasifikasi fungsional NYHA (dari 2,73 ±
0,5 hingga 2,1 ± 0,6, P =. 001) pada kelompok IMT, sedangkan kelelahan dan dispnea
meningkat secara signifikan pada kelompok kontrol.

Kesimpulan : IMT selama 6 minggu ditemukan sebagai alat yang efektif dan aman
untuk mengurangi dispnea dan kelelahan serta meningkatkan klasifikasi fungsional
NYHA.
D. Analisis Metode Pico

1. Problem
Desain penelitian menggunakan studi percobaan prospektif, acak, terkontrol
dengan jumlah keseluruhan responden 84 pasien dengan gagal jantung kemudian
peneliti membagi menjadi 2 kelompok intrvensi dan kelompok kontrol dengan
masing-masing sampel 42 responden.
Kriteria inklusi terdiri dari mengalami gagal jantung akibat kardiomiopati iskemik
atau dilatasi, usia 18 tahun ke atas, fraksi ejeksi ventrikel kiri (LVEF). ≤ 40%,
NYHA fungsional kelas II, III atau IV, kestabilan klinis hemodinamik dan tidak ada
perubahan pada pengobatan jantung setidaknya selama 2 bulan terakhir dan selama
penelitian. Para pasien dengan alat pacu jantung dapat mengikuti penelitian 6 minggu
setelah pemasangan alat pacu jantung.
Kriteria eksklusi terdiri dari angina tidak stabil, aritmia kompleks, infark miokard
akut atau operasi jantung selama 3 bulan terakhir, hipertensi yang tidak terkontrol,
penyakit metabolik kronis, ortopedi-reumatologi atau infeksi, pengobatan dengan
hormon dan kemoterapi, riwayat asma akibat olah raga. atau penyakit ginjal kronis,
sedang menjalani hemodialisis, penyalahgunaan zat dan gangguan kognitif, yang
sebelumnya mendapat kardiopulmoner rehabilitasi dan masalah non-jantung utama
yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup selama penelitian.
2. Intervensi
MIP diukur menggunakan pengukur tekanan genggaman mulut pernapasan
(Digital Manometer, ELKA, PM 15). Setelah menutup hidung dengan penjepit hidung,
pasien dilatih untuk melakukannya bernapas melalui corong hanya selama inspirasi.
Nilai MIP diukur dalam posisi berdiri dengan inspirasi yang dalam dari volume sisa,
dan diekspresikan dalam cmH 2 O. Pada setiap sesi yang diawasi, pengukuran MIP
diulangi setidaknya dalam interval 1 menit, sampai tiga teknologi pengukuran yang
memuaskan secara alami diperoleh. Nilai tertinggi dari ketiga pengukuran (dengan
perbedaan kurang dari 5%) digunakan untuk menentukan MIP. Pengukuran dilakukan
setiap minggu selama pengobatan oleh peneliti yang buta. MIP diukur seperti yang
direkomendasikan oleh American Thoracic Society / European Respiratory Society.
Pelatihan dilakukan dengan menggunakan alat pemuatan ambang batas tekanan
(POWER bernafas Classic, IMT Technologies Ltd, Birmingham, UK). Tekanan
perangkat disesuaikan dengan MIP dan keandalannya juga ditunjukkan (Karadall saya
dkk., 2016). Sebelum memulai IMT, pasien dibiasakan dengan perangkat ambang
batas dan menerima instruksi praktis tentang pernapasan diafragma yang efisien.
Beban kerja pelatihan kemudian disesuaikan dengan beban yang lebih rendah, dan
pasien diinstruksikan tentang cara mempertahankan inspirasi dan ekspirasi yang
memadai saat menggunakan perangkat IMT ambang. IMT dimulai setelah pasien
mempelajari cara mempertahankan beban kerja. Kelompok perlakuan menerima IMT
sebesar 40% dari MIP dan beban pelatihannya disesuaikan untuk mempertahankan
40% dari MIP mingguan. MIP diukur setiap minggu dalam sesi yang diawasi, dan 40%
dari nilai yang diukur dianggap sebagai beban kerja pelatihan baru. Grup kontrol palsu
menerima IMT dengan beban kerja tetap sebesar 10% dari MIP. Kedua kelompok
berlatih 30 menit per hari (sekali sehari), 7 hari seminggu, selama 6 minggu. Setiap
sesi 30 menit per hari termasuk set pelatihan 3 menit, diikuti dengan interval pendek
istirahat 1 menit di antara set. Enam sesi pelatihan dilakukan di rumah pada kedua
kelompok, dan satu sesi diawasi oleh perawat jantung di pusat rehabilitasi (satu
perawat jantung di setiap pusat). Untuk memastikan keamanan pelatihan, HR pasien,
tekanan darah, saturasi oksigen, dan RR dipantau selama sesi pengawasan di pusat
rehabilitasi, dan beban kerja baru disesuaikan untuk kelompok perlakuan

3. Comparison
Penelitian yang dilakukan hanya menggunakan 1 intervensi yaitu latihan otot
inspirasi tanpa intervensi pembanding dalam penelitian tersebut akan tetapi peneliti
hanya membandingkan penelitianya dengan penelitian sebelumnya yang
menggunakan terapi yang berbeda ataupun terapi kombinasi latihan oto inspirasi.
4. Outcome
Hasil dari penelitian ini mengenai Latihan otot inspirasi dapat memperbaiki tingkat
kelelahan dan sesak nafas pada pasien dengan gagal jantung.

E. Pembahasan

1) Pengertian inspiratory muscle training ( IMT )


Inspiratory muscle training ( IMT ) merupakan latihan pernafasan otot inspirasi secara
perlahan dan dalam menggunakan otot utama dan tambahan seperti otot diafragma,
Musculus sternocleidomastoideus, Musculus intercostalis externa, Musculus
intercartilaginus parasternal sehingga memungkinkan abdomen terangkat perlahan dan
dada mengembang penuh.

2) Efek latihan inspiratory muscle training ( IMT ) terhadap otot pernafasan


Efek IMT yang lebih besar pada hasil pada pasien dengan kelemahan otot pernapasan
dapat dijelaskan dengan mencatat bahwa melatih otot-otot ini melalui IMT dapat
menurunkan metabolisme anaerobik, yang memperlambat kelelahan otot pernapasan
dan metabo-reflex dan meningkatkan ventilasi menit dan konsumsi oksigen maksimal.
Kelemahan otot pernapasan diafragma yang diinduksi oleh aliran keluar simpatis dan
kelelahan meningkatkan tekanan darah dan mengurangi aliran darah arteri ke
ekstremitas. Namun demikian, satu penelitian menemukan bahwa IMT dapat
menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik pada pasien hipertensi dengan cara
menurunkan aktivitas simpatis perifer. Sambil menyarankan perlunya penilaian otot
pernafasan kelemahan dan kelelahan sebagai faktor prognostik potensial pada pasien
gagal jantung. hasil ini juga dapat digunakan dalam manajemen kelelahan dan tekanan
darah menggunakan IMT pada pasien gagal jantung.

3) pengaruh besaran tekanan pada latihan inspiratory muscle training ( IMT )

besaran tekanan IMT pada 40% dari MIP, dapat menurunkan kelelahan parah dan
persepsi dispnea dalam penelitian jurnal ini. Tampaknya efek IMT bergantung pada
beban MIP yang disesuaikan, frekuensi, dan durasi intervensi atau karakteristik pasien.
Sebuah studi menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh signifikan terhadap HR,
kapasitas latihan dan dispnea yang diamati pada kelompok kontrol (15% MIP).
Tinjauan sistematis dan meta-analisis menunjukkan bahwa IMT intensitas tinggi pada
60% MIP, enam kali per minggu dan selama 12 minggu, dapat menghasilkan
peningkatan signifikan pada dispnea, jarak berjalan kaki, dan kekuatan otot inspirasi.
Efek menguntungkan dari IMT intensitas tinggi mungkin disebabkan oleh perbaikan
yang lebih besar pada fungsi endotel, meningkatkan pernafasan massa otot, dan
meningkatkan metabolisme oksigen.

F. Implikasi Keperawatan
Penelitian ini menunjukkan bahwa IMT intensitas sedang dapat membantu pengelolaan
gejala seperti kelelahan dan dispnea serta meningkatkan fungsional NYHA kelas II, III dan
IV HF pasien. Dengan mengajarkan IMT, perawat rehabilitasi jantung dapat membantu
pasien gagal jantung dengan manajemen gejala yang aman dan efektif, di rumah. Namun,
pelatihan IMT berbasis rumah tersebut mungkin sepenuhnya efektif jika diawasi langsung
oleh perawat atau dipandu oleh telemonitoring. Mengingat bahwa penelitian ini tidak
menilai pasien dalam fase akut penyakit, penelitian di masa mendatang direkomendasikan
untuk dilakukan.
3. JURNAL C

Nama : Mus’ab ridho syafii, beti kristinawati


Judul penelitian :
2. Heart score sebagai assesment pada pasien dengan chest pain di
instalasi gawat darurat

Tempat dan waktu : Intalasi Gawat Darurat (Maret 2020)


penelitian
Tujuan penelitian : Evidence Based Nursing bertujuan untuk mengetahui
efektivitaspenggunaan heart score pada pasien dengan chest
pain di Instalasi Gawat Darurat.
Metode penelitian : Pencarian literature digunakan untuk menyusun matrix jurnal
yang akanditerapkan sesuai topik Heart score sebagai tools
pengkajian pada pasien denganchest pain. Intervensi
assessment dilakukan pada pasien yang datang ke IGD
RSUD Ir. Soekarno Sukoharjo. Sampel diambil menggunakan
metode purposivesampling, kemudian hasil diinterpretasikan
klasifikasi skor.
Hasil penelitian : Hasil menunjukkan 2 pasien (25%) diklasifikasikan skor 0-3
denganresiko rendah. Terdapat 5 pasien (62.5.%)
diklasifikasikan skor 4-6 dengan resiko sedang. Sedangkan
pada 1 pasien (12.5%) dengan resiko tinggi, pasien langsung
mendapatkan perawatan intensive dan dikonsultasikan ke
bagian kardiologi.

Kesimpulan penelitian : Hasil yang didapatkan pada penerapan Heart score


menunjukkan hasil interpretasi yang baik sesuai dengan
klasifikasi pasien. Pasien yang memiliki nilai resiko rendah
dapat dilakukan rawat jalan, pasien dengan resiko sedang
mendapatkan monitoring dan pemeriksaan lebih lanjut,
sedangkan pasien dengan resiko tinggi mendapatkan
perawatan intensive serta dikonsultasikan dengan kardiologi.
Penggunaan Heart score memberikan manfaat dalam
membantu mengkalsifikasikan pasien berdasarkan resiko
sehingga dapat membantu keputusan klinis yang tepat sesuai
indikasi. (Penggunaan Heart score memberikan manfaat dalam
membantu mengklasifikasikan pasien berdasarkan resiko
sehingga dapat membantu keputusan klinis yang tepat sesuai
indikasi.)

Saran penelitian : Bagi tenaga medis khususnya perawat dan dokter yang bekerja
di Instalasi Gawat Darurat dari hasil penerapan penggunaan
heart score ini diharapkan dapat meningkatkan akurasi
pengkajian pada pasien dengan nyeri dada yang tak terdefinisi.
Nyeri dada yang teridentifikasi sejak dini dapat membantu
dalammembuat keputusan klinis pada pasien sehingga dapat
segera diberikan terapi sesuai dengan kondisi klinis pasien.
4. JURNAL D
A. Identitas Jurnal
1. Judul : Effect of Implementing an Educational program on Health Status

Outcomes for Patients Congestive Heart Failure

Nama 1. Prof. Sanna Mohammed Alaa El- Din;

peneliti 2. Prof . Ahmed El-Hawary,

3. Asist Prof. Eman Saleh Shanin,

4. Sherin Ebrahim El-Tahry

2. Tempat : Penelitian ini dilakukan di 3 rumah sakit pemerintah kota Port Said

penelitian 1. RS El Nasr

2. RS Said

3. RS Asuransi kesehatan Al- Tadamon

3. Waktu : Pada tahun 2017

penelitian

4. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh implementasi

penelitian program edukasi terhadap outcome status kesehatan pasien gagal

jantung congestif.

B. Analisa PICO
1. Problem
pasien gagal jantung kongestif perlu memiliki informasi mengenai perawatan diri
sendiri. Informasi ini harus mencakup semua aspek penyakit mereka dan
pengobatannya. Bahkan, Weber & Kelley (2014), menunjukkan bahwa kebutuhan
informasi global pasien gagal jantung kongestif membantu pasien mencapai tingkat
kesehatan yang tinggi. informasi yang perlu diterima pasien harus berkaitan dengan
gejala, pengobatan, pemantauan berat badan, diet, terapi oksigen, aktivitas dan
manajemen stres

2. Intervention
Kuisioner pasien gagal jantung kongestif dibagi menjadi dua bagian. Bagian 1): Bagian
ini mencakup penilaian praktik mengenai gagal jantung kongestif dan kuesioner data
klinis sebagai data sosio-demografi dan riwayat pasien serta data klinis. Bagian 2):
Bagian ini termasuk program edukasi bagi pasien gagal jantung kongestif. Pasien
diberikan edukasi informasi mengenai gejala, pengobatan, pemantauan berat badan,
diet, terapi oksigen, aktivitas dan manajemen stress.
Responden dalam penelitian ini terdiri dari 108 pasien terdiri dari kelompok belajar
maupun kelompok kontrol mengisi kuesioner melalui wawancara terstruktur yang
terdiri dari tiga penilaian sebelum melaksanakan program sebagai pre-test dan langsung
di akhir program sebagai post 1 kemudian setelah tiga bulan sebagai follow up test.
Kemudian program edukasi dilakukan hanya untuk kelompok belajar sesuai dengan
stadium penyakitnya, tingkat pendidikan dan waktu luangnya untuk sebagian besar
pasien sesi pengajaran dijadwalkan pada sore hari yang terdiri dari empat sesi. Setiap
sesi dilakukan setiap minggu selama satu bulan dan berlangsung selama 30-45 menit
tergantung pada keadaan tertentu seperti tingkat atau kedalaman
diskusi pasien.

3. Comparation
intervensi program, persepsi di antara kelompok belajar meningkat yang sejalan
dengan itu Wang (2011), yang menyatakan bahwa penderita gagal jantung kongestif
mengalami kurangnya pengetahuan tentang penyakit, pola makan yang tepat, aktivitas
dan perawatan diri serta gangguan kualitas hidup. Mayoritas kelompok studi dan
kontrol melaporkan penurunan diet berlemak, diikuti dengan asupan natrium yang
rendah. Hasil ini sesuai dengan Clevenger (2012) yang menemukan bahwa setiap
kesempatan untuk memberikan edukasi dan konseling harus diupayakan baik itu
selama rawat inap di rumah sakit / atau kunjungan klinik rawat jalan. Kunjungan pasien
harus selalu mencakup pendidikan diet tentang pembatasan asupan lemak dan natrium,
risiko konsumsi alkohol, dan pembatasan asupan cairan. (Lakdizaji et al., 2013).
Pengenalan dan pengobatan masalah merupakan prioritas perawatan bagi pasien
dengan penyakit kronis seperti gagal jantung kongestif ( Richman, 2010). Knopp
(2009); Delaney dkk. (2011) menyebutkan bahwa perawat dapat memberikan bantuan
dan informasi kepada pasien dan keluarganya selama berada di rumah sakit dengan
berdiskusi dengan mereka beberapa masalah umum yang mungkin dialami pasien
setelah mereka kembali ke rumah. Penting juga bagi perawat untuk menyadari perasaan
dan kebutuhan pasangan atau karier. Berdasarkan Thompson (2010), pentingnya
individualisasi rencana perawatan sebelum pulang harus mencakup perawatan di
rumah untuk penyediaan pendidikan dan konseling jangka panjang.
4. Output
Hasil dari penelitian ini adalah Pengetahuan tentang diagnosis lebih banyak ditemui
di antara kelompok kontrol dibandingkan dengan kelompok studi (P = 0,001).
Pengetahuan tentang gagal jantung lebih jelas di antara kelompok studi. Selain itu,
penyebab gagal jantung diketahui (37%) pada kelompok studi dibandingkan dengan
(14,8%) pada kelompok kontrol (P = 0,008). dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Perbedaan antara kelompok studi dan kontrol signifikan secara statistik sedangkan
perbedaan dalam setiap kelompok sebelum dan sesudah program tidak signifikan.
Jumlah makan sehari-hari berbeda nyata antara kelompok belajar dan kelompok
kontrol pada semua waktu, kelompok belajar yang mengkonsumsi tiga kali sehari
meningkat setelah program (P = 0,001) sedangkan kelompok kontrol menurun secara
signifikan (P = 0,003). Subjek dari kelompok studi yang lebih suka makan makanan
yang jarang dalam jumlah besar meningkat secara signifikan setelah program (P =
0,001). Di sisi lain, kelompok kontrol tidak menunjukkan perbedaan setelah program
karena sebagian besar lebih memilih untuk jarang makan. Perbedaan antara kelompok
studi dan kontrol signifikan secara statistik pada semua waktu (P = 0,001).
C. Pembahasan
Dalam jurnal tersebut menjelaskan mengenai penelitian dimana intervensi edukasi
diberikan kepada pasien dan keluarga mengenai diberikan edukasi informasi mengenai
gejala, pengobatan, pemantauan berat badan, diet, terapi oksigen, aktivitas dan manajemen
stress. Intervensi tersebut mendukung intervensi dalam kasus ini pada diagnosa kelebihan
volume cairan dimana dalam manajemen cairan terdapat intervensi dimana memberikan
edukasi dan dukungan terhadap pasien dan keluarga mengenai pemberian diet dengan baik
untuk mendukung penyembuhan pasien CHF.

Anda mungkin juga menyukai