Anda di halaman 1dari 7

A.

Teori Simpul Filariasis


Simpul 1 Simpul 2 Simpul 3 Simpul 4
Sumber Penyakit Media Transmisi Perilaku Pemajanan Kejadian Penyakit

1. Parasit 1. Nyamuk 1. Faktor Manusia 1. Sehat


a. Wuchereria a. Anopheles sp. a. Umur 2. Sakit
bancrofti b. Culex sp. b. Jenis kelamin
b. Brugia c. Aedes sp. c. Imunitas
malayi d. Pekerjaan
c. Brugia e. Kepadatan
timori penduduk
2. Penderita 2. Faktor Perilaku
Filariasis a. Kebiasaan
keluar rumah
b. Pemakaian
kelambu
c. Pemakaian
obat nyamuk
3. Faktor Nyamuk
a. Siklus
gonotrofik
b. Frekuensi
menggigit
manusia

Simpul 5
Variabel Supra Sistem
1. Iklim
a. Suhu udara
b. Kelembaban
2. Topografi
a. Tempat perkembangbiakan nyamuk (rawa-rawa, sawah, perairan
yang ditumbuhi tanaman air, dll.)
3. Kebijakan Politik/Program
a. POPM (Pemberian Obat Pencegahan Malaria)  Program
BELKAGA (Bulan Eliminasi Kaki Gajah)
b. TAS (Transmission Assessment Survey)  Pada usia anak sekolah
dengan pemeriksaan antigen/antibodi
c. Gerakan 3M
Gambar 2.1 Teori Simpul Penyakit Filariasis
1. Simpul 1: Sumber Penyakit Filariasis
Sumber penyakit adalah titik mengeluarkan atau mengemisikan agent penyakit.
Agent penyakit adalah komponen lingkungan yang dapat menimbulkan gangguan
penyakit melalui kontak secara langsung atau melalui media perantara (yang juga
komponen lingkungan). Teori simpul 1 disebut juga dengan sumber penyakit. Simpul
1 pada penyakit menular umumnya adalah penderita itu sendiri. Penyakit filariasis
adalah penyakit menular, oleh karena itu sumber penyakit filariasis ini adalah
penderita penyakit menular itu sendiri dan parasit nematoda jaringan.
2. Simpul 2: Media Transmisi Filariasis
Penyebaran penyakit filariasis melalui nyamuk Anopheles sp, Aedes aegypti, dan
Culex yang menggigit penderita penyakit filariasis, kemudian nyamuk tersebut
memindahkan penyakit filariasis ke orang sehat melalui gigitan nyamuk tersebut.
Proses penularan filariasis dapat terjadi apabila terdapat tiga unsur yaitu:
a. Adanya sumber penularan yakni manusia atau hospes reservoir yang mengandung
mikrofilaria dalam darahnya.
1) Manusia
Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila digigit oleh nyamuk
infektif (mengandung larva stadium 3). Nyamuk infektif mendapat
mikrofilaria dari pengidap, baik pengidap dengan gejala klinis maupun
pengidap yang tidak menunjukkan gejala klinis. Pada daerah endemis filariasis
tidak semua orang terinfeksi filariasis dan tidak semua orang yang terinfeksi
filariasis menunjukkan gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi
belum menunjukkan gejala klinis biasanya sudah terjadi perubahan-perubahan
patologis di dalam tubuhnya.
2) Hewan
Beberapa jenis hewan dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis
(hospes resevoir). Dari semua spesies cacing filaria yang menginfeksi manusia
di Indonesia, hanya Brugia malayi tipe sub periodik nokturnal dan non
periodik yang ditemukan pada lutung (Presbytis cristatus), kera (Macaca
fascicularis) dan kucing (Felis catus) (Depkes RI, 2008).
b. Adanya vektor, yakni nyamuk yang dapat menularkan filariasis seperti Anopheles
sp., Aedes sp., dan Culex sp.
c. Manusia yang rentan terhadap filariasis
Seseorang dapat tertular filariasis apabila orang tersebut mendapat gigitan
nyamuk infektif, yaitu nyamuk yang mengandung larva infektif (larva stadium
3=L3). Pada saat nyamuk infektif menggigit manusia, maka larva L3 akan keluar
dari proboscis dan tinggal di kulit sekitar lubang gigitan nyamuk. Pada saat
nyamuk menarik probosisnya, larva L3 akan masuk melalui luka bekas gigitan
nyamuk dan bergerak menuju ke sistem limfe. Cara penularan tersebut
menyebabkan tidak mudahnya penularan filariasis dari satu orang ke orang lain
pada suatu wilayah tertentu, sehingga dapat dikatakan bahwa seseorang dapat
terinfeksi filariasis apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk ribuan kali.
(Hasyim, 2008)
3. Simpul 3: Perilaku Pemajanan (Behavioral Exposure)
Agent penyakit dengan atau tanpa menunjang komponen lingkungan lain, masuk
ke dalam tubuh melalui suatu proses yang kita kenal sebagai proses hubungan
interaktif. Hubungan interaktif antara komponen lingkungan dengan penduduk berikut
perilakunya, dapat diukur dengan konsep yang disebut sebagai perilaku pemajanan
atau behavioral exposure (Achmadi, 1985). Perilaku pemajanan adalah jumlah kontak
antara manusia dengan komponen lingkungan yang mengandung potensi bahaya
penyakit (agent penyakit). Adapun perilaku pemajanan pada penyakit filariasis terdiri
dari beberapa faktor yaitu:
a. Manusia
1) Umur
Filariasis menyerang pada semua kelompok umur. Pada dasarnya setiap orang
dapat tertular filariasis apabila mendapat tusukan atau gigitan nyamuk infektif
(mengandung larva stadium 3 atau L-3) ribuan kali. (Depkes RI, 2006).
2) Jenis kelamin
Semua jenis kelamin dapat terinfeksi mikrofilari. Akan tetapi, insiden filariasis
pada laki-laki lebih tinggi daripada insiden filariasis pada perempuan, karena
umumnya laki-laki lebih sering kontak dengan vektor karena pekerjaannya
(Depkes RI, 2006).
3) Imunitas
Orang yang pernah terinfeksi filariasis sebelumnya tidak terbentuk imunitas
dalam tubuhnya terhadap filaria demikian juga yang tinggal di daerah endemis
biasanya tidak mempunyai imunitas alami terhadap penyakit filariasis. Pada
daerah endemis filariasis, tidak semua orang terinfeksi dan orang yang
terinfeksi menunjukkan gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi
belum menunjukkan gejala klinis biasanya terjadi perubahan-perubahan
patologis dalam tubuh (Depkes RI, 2006)
b. Nyamuk
Nyamuk termasuk serangga yang melangsungkan siklus kehidupan di air,
sehingga kelangsungan hidup nyamuk akan terputus apabila tidak ada air.
Nyamuk dewasa sekali bertelur sebanyak 100-300 butir, besar telur sekitar
0,5mm, setelah 1-2hari menetas menjadi jentik, 8-10hari menjadi kepompong
(pupa), dan 1-2hari menjadi nyamuk dewasa. (Depkes RI, 2007)
1) Siklus gonotrofik
Siklus gonotrofik merupakan waktu yang diperlukan untuk matangnya telur.
Waktu ini juga merupakan interval mengigit nyamuk.
2) Frekuensi menggigit manusia
Frekuensi membutuhkan atau menghisap darah tergantung spesiesnya dan
dipengaruhi oleh temepratur dan kelembaban yang disebut siklus gonotrofik.
Untuk iklim tropis biasanya ini berlangsung sekitar 48-96 jam. (Depkes RI,
2007)
3) Faktor yang penting
Umur nyamuk (longevity) semakin panjang umur nyamuk semakin besar
kemungkinannya untuk menjadi penular atau vektor. Umur nyamuk bervariasi
tergantung dari spesiesnya dan dipengaruhi oleh lingkungan. Kemampuan
nyamuk vektor untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah yang
mengandung mikrofilaria juga sangat terbatas, nyamuk yang menghisap
mikrofilaria terlalu banyak dapat mengalami kematian, tetapi jika yang
terhisap terlalu sedikit dapat memperkecil jumlah mikrofilaria stadium larva
L3 yang akan ditularkan. Periodisitas mikrofilaria dan perilaku menghisap
darah nyamuk vektor berpengaruh terhadap resiko penularan. Pengetahuan
kepadatan nyamuk vektor sangat penting untuk mengetahui musim penularan
dan dapat digunakan sebagai parameter untuk menilai keberhasilan program
pemberantasan vektor (Depkes RI, 2007)
4. Simpul 4: Kejadian Penyakit
Kejadian penyakit merupakan outcome hubungan interaktif antara penduduk
dengan lingkungan yang miliki potensi bahaya gangguan kesehatan. Penyakit
filariasis ini akan menghasilkan 2 kejadian yaitu sehat maupun sakit.
5. Simpul 5: Variabel Supra Sistem

B. Patogenesis Filariasis
Perkembangan klinis filariasis dipengaruhi oleh faktor kerentanan individu terhadap
parasit, seringnya mendapat gigitan nyamuk, banyaknya larva infektif yang masuk ke
dalam tubuh dan adanya infeksi sekunder oleh bakteri atau jamur. Secara umum
pekembangan klinis filariasis dapat dibagi menjadi fase dini dan fase lanjut. Pada fase
dini timbul gejala klinis akut karena infeksi cacing dewasa bersama-sama dengan infeksi
oleh bakteri dan jamur. Pada fase lanjut terjadi kerusakan saluran kelenjar limfe,
kerusakan katup saluran limfe, termasuk kerusakan saluran limfe kecil yang terdapat di
kulit.
Pada dasarnya perkembangan klinis filariasis tersebut disebabkan karena cacing
filaria dewasa yang tinggal dalam saluran limfe menimbulkan pelebaran (dilatasi) saluran
limfe bukan penyumbatan (obstruksi) sehingga terjadi gangguan fungsi sistem limfatik,
antara lain yaitu:
1. Penimbunan cairan limfe yang menyebabkan aliran limfe menjadi lambat dan tekanan
hidrostatiknya meningkat, sehingga cairan limfe masuk ke jaringan menimbulkan
edema jaringan. Adanya edema jaringan akan meningkatkan kerentanan kulit terhadap
infeksi bakteri dan jamur yang masuk melalui luka-luka kecil maupun besar. Keadaan
ini dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack).
2. Terganggunya pengangkutan bakteri dari kulit atau jaringan melalui saluran limfe ke
kelenjar limfe. Akibatnya bakteri tidak dapat dihancurkan (fagositosis) oleh sel
Reticulo Endothelial System (RES) bahkan mudah berkembang biak dan dapat
menimbulkan peradangan akut (acute attack).
3. Kelenjar limfe tidak dapat menyaring bakteri yang masuk dalam kulit. Sehingga
bakteri mudah berkembang biak yang dapat menimbulkan peradangan akut (acute
attack).
4. Infeksi bakteri berulang akan menyebabkan serangan akut berulang (recurrent acute
attack) sehingga dapat menimbulkan berbagai gejala klinis sebagai berikut:
a. Gejala peradangan lokal berupa peradangan oleh cacing dewasa bersama-sama
dengan bakteri, yaitu:
1) Limfangitis : peradangan di saluran limfe
2) Limfadenitis : peradangan di kelenjar limfe
3) Adeno limfangitis (ADL) : peradangan saluran dan kelenjar limfe.
4) Abses (lanjutan ADL), merupakan penumpukan nanah pada satu daerah tubuh,
meskipun dapat muncul juga pada daerah yang berbeda (misalnya, jerawat,
karena bakteri dapat menyebar ke seluruh kulit ketika mereka tertusuk). Di sisi
lain, nanah adalah cairan yang kaya dengan protein dan mengandung sel darah
putih yang telah mati.
5) Peradangan oleh spesies Wuchereria bancrofti di daerah genital (alat kelamin)
dapat menimbulkan epididimitis, funikulitis, dan orkitis.
b. Gejala peradangan umum berupa demam, sakit kepala, sakit otot, rasa lemah.
5. Kerusakan sistem limfatik, termasuk kerusakan saluran limfa kecil yang ada di kulit,
menyebabkan menurunnya kemampuan untuk mengalirkan cairan limfe dari kulit dan
jaringan ke kelenjar limfe sehingga dapat terjadi limfedema.
6. Pada penderita limfedema, serangan akut berulang oleh bakteri atau jamur akan
menyebabkan penebalan dan pengerasan kulit, hiperpigmentasi, hiperkeratosis, dan
peningkatan pembentukan jaringan ikat (fibrouse tissue formation) sehingga terjadi
peningkatan stadium limfedema, dimana pembengkakan yang semula terjadi hilang
timbul (pitting) akan menjadi pembengkakan menetap (non pitting) (Oemijati, 2006).
SUMBER

Arsin, A. Arsunan. (2016). Epidemiologi Filariasis di Indonesia. Makassar: Masagena Press.


Masrizal. (2013). “Penyakit Filariasis”. Jurnal Kesehatan Masyarakat 7. (1). 32-38.
Pulungan, Erwin Saleh. (2012). Hubungan Sanitasi Lingkungan Perumahan dan Perilaku
Masyarakat dengan Kejadian Filariasis di Kecamatan Kampung Rakyat Kabupaten
Labuhan Batu Selatan Tahun 2012. Skripsi FKM USU. USU Medan: Tidak diterbitkan.

Anda mungkin juga menyukai