Anda di halaman 1dari 22

Laporan Kasus

OTOMIKOSIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik dan
Syarat-Syarat Mengikuti Ujian pada Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas
Kedokteran Unsyiah/ RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Disusun oleh:

Yunniar Syafarlina : 2007501010012


Cut Putri Rahma junita : 2007501010006
Aulia Dirma : 2007501010003

Pembimbing 1: dr. Ikbal Ismail, M, Kes Sp. T.H.T.K.L


Pembimbing 2: dr. Trisa Gustania

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN THT-KL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH
2021

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, kasih sayang, dan karunia
kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “OTOMIKOSIS”.
Laporan kasus ini disusun sebagai salah satu tugas menjalani kepaniteraan klinik senior pada
Bagian/Ilmu Kesehatan THTKL,Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/ RSUD dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh.
Selama penyelesaian laporan kasus ini penulis mendapatkan bimbingan, pengarahan, dan
bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada dr.
Ikbal Ismail, M,Kes., Sp. THT-KL dan dr. Trisa Gustania yang telah banyak meluangkan waktu
untuk memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan laporan kasus
ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada keluarga, sahabat, dan rekan-rekan yang telah
memberikan motivasi dan doa dalam menyelesaikan laporan kasus ini. Penulis menyadari bahwa
masih banyak kekurangan dalam laporan kasus ini. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik
dan saran yang konstruktif dari pembaca sekalian demi kesempurnaan laporan kasus ini. Harapan
penulis semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan
umumnya dan profesi kedokteran khususnya. Semoga Allah selalu memberikan Rahmat dan
Hikmah- Nya kepada kita semua.

Banda Aceh, 25 Agustus 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................... ii


DAFTAR ISI............................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
1.1 Latar Belakang............................................................................. 1
1.2 Tujuan Laporan Kasus................................................................. 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................ 4


2.1 Anatomi Telinga.......................................................................... 4
2.2 Definisi........................................................................................ 5
2.3 Epidemiologi............................................................................... 5
2.4 Etiologi........................................................................................ 6
2.5 Faktor Risiko............................................................................... 6
2.6 Patofisiologi................................................................................. 6
2.7 Manifestasi Klinis........................................................................ 8
2.8 Diagnosis..................................................................................... 9
2.9 Diagnosis Banding....................................................................... 9
2.10 Tatalaksana.................................................................................. 9
2.11 Komplikasi.................................................................................. 11
2.12 Prognosis..................................................................................... 11

BAB III LAPORAN KASUS..................................................................... 12


BAB IV ANALISA KASUS....................................................................... 15
BAB V KESIMPULAN............................................................................. 17

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 18

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Otomikosis adalah infeksi pada saluran pendengaran eksternl yang disebabkan oleh jamur.
Otomikosis adalah infeksi jamur kronik atau subakut yang banyak terjadi di daerah beriklim
subtropics dan tropis. Kelembapan yang tinggi yaitu sekitar 70 – 80% dan suhu sekitar 15 – 30oC
dapat meningkatkan risiko timbulnya jamur pada CAE. Indonesia merupakan negara dengan
iklim tropis, pada beberapa daerah di Indonesia memiliki suhu dan kelembapan yang tinggi.
Penyakit ini dapat menyerang laki-laki maupun perempuan dengan usia rata-rata 20 – 30 tahun.
Sekitar 15 – 20% pasien dengan otomikosis merupakan penderita otitis eksterna.[1][2]
Berdasarkan penelitian yag dilakukan oleh Tambora, frekuensi otomikosis di Poliklinik
THT RS Dustira Cimahi pada Desember 2017 – Januari 2018 terdapat 2,58% pasien otomikosis
dari 929 pasien. Otomikosis disebabkan oleh jamur saprofit seperti Aspergillus, Allescheria
boydii, Scopulariopsis, Penicillium, Rhizopus, Absidia, dan Candida. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Kulal pada 150 pasien yang diduga terkena otomikosis ditemukan fungal yang
paling banyak menginfeksi yaitu Aspergillus niger dan Candida spp. Aspergillus dapat
menginfeksi manusia melalui transmisi inhalasi. Infeksi jamur terjadi apabila terdapat faktor
predisposisi yaitu menurunnya sistem imun, infeksi telinga kronis, penggunaan minyak, obat
tetes telinga, steroid jangka panjang, penyakit dermatologi, penggunaan antibiotik spektrum luas,
alat bantu dengar, dan berenang atau telinga basah sehingga menghasilkan lingkungan yang
lembap dan menyebabkan otomikosis.[3][4]
Otomikosis terjadi pada pinna, dan canalis auditorius eksternus (CAE) dengan inflamasi
disertai rasa gatal, rasa penuh, rasa tidak nyaman, namun dengan adanya perforasi membrane
timpani, juga dapat mengenai telinga tengah. Otomikosis biasa ditandai dengan telinga eritem,
ditutupi skuama halus dan mengeluarkan sekret (otore). Penderita otomikosis juga akan
mengalami gangguan pendengaran dan tinnitus (telinga berdengung). Diagnosis otomikosis
dapat dilakukan dengan melakukan anamnesis mengenai gejala yang dialami pasien, faktor
risiko, dan riwayat kesehatan pasien. Selain itu juga dapat dilakukan pemeriksaan fisik dengan
mengguanakan otoskopi. Pada pemeriksaan otoskopi akan terlihat edema, hiperemis kulit CAE,
dan debris jamur. Debris berwarna putih, kehitaman, atau membrane abu-abu yang berbintik-

1
bintik pada liang telinga. Aspergillus niger umumnya memiliki bercak warna gelap kehitaman,
Aspergillus fumigatus berwarna kecoklatan, dan Candida albicans berwarna putih. Pemeriksaan
penunjang dapat dilakukan secara mikroskopis dengan menggunakan KOH 10% akan terlihat
hifa yang lebar, berseptum, dan spora-spora kecil berdiameter 2 – 3 u.[3][5][6]
Banyak orang yang berpikir bahwa mebersihkan telinga bertujuan untuk menghilangkan
kotoran telinga. alasan lainnya yaitu untuk menghilangkan perasaan tidak nyaman atau gatal
pada telinga. Sehingga banyak orang yang sering membersihkan telinga dengan benda-benda
yang ada di sekitar mereka seperti cotton buds, penutup pulpen, ujung kunci, bulu, dan lain-lain.
Padahal telinga memiliki mekanisme self-cleaning yaitu dengan bantuan gerakan rahang saat
berbicara atau mengunyah, kotoran telinga dan partikel-partikel lain seperti debu dapat keluar
dengan sendirinya.[7][8]
Kebiasaan membersihkan telinga berhubungan dengan terjadinya otomikosis seperti yang
dilaporkan pada penelitian yang dilakukan oleh Fasunla, terdapat 6,74% pasien yang menderita
otomikosis, sebanyak 82,54% pasien memiliki riwayat kebiasaan mengorek telinga bagian luar.
Penelitian yang dilakukan oleh Fuldya pada anak SD didapatkan prevalensi otomikosis sebesar
76,32% dan penderita yang membersihkan telinga seminggu sekali didapatkan lebih banyak
dibandingkan yang membersihkan setiap hari. Berdasarkan penelitian yang sama juga diketahui
bahwa cotton bud merupakan alat yang tersering digunakan untuk membersihkan telinga.[9]
Banyak masyarakat yang memiliki kebiasaan membersihkan telinga sejak kecil yang
diajarkan oleh orang tua atau saudara. Kebiasaan tersebut terus dilakukan hingga sekarang.
Terlalu sering membersihkan telinga atau cara membersihkan telinga yang salah dapat
menyebabkan trauma dan merusak epitel telinga sehingga produksi serumen menjadi terganggu.
Hilang atau menurunnya jumlah serumen menyebabkan penurunan proteksi telinga. Otomikosis
juga ditemukan pada perenang, pengguna alat bantu dengar, penggunaan kortikosteroid,
immunocompromised yaitu pasien diabetes, keganasan, HIV/AIDS, dan pasien yang pernah
melakukan transplantasi organ. Normalnya pada telinga terdapat serumen yang memiliki pH 4 –
5 yang berfungsi untuk mencegah pertumbuhan jamur. Berkurangnya serumen pada telinga
menyebabkan hilangnya perlindungan pada telinga, sehingga jamur yang terdapat bebas di
atmosfer dapat dengan mudah masuk ke telinga dan menyebabkan terjadinya infeksi. Meskipun
otomikosis jarang mengancam nyawa, tetapi menjadi tantangan untuk pasien dan dokter karena

2
membutuhkan perawatan jangka panjang dan tindak lanjut, serta kendala tingkat kekambuhan
yang tinggi.[10]

1.2 Tujuan Laporan Kasus


1.2.1 Tujuan Umum
Mampu menegakkan diagnosis Otomikosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
serta dapat menangani kasus tersebut mandiri dan tuntas.

1.2.2 Tujuan Khusus


Tahapan laporan kasus diharapkan mendapatkan pengetahuan, keterampilan dan perilaku
yang terkait dengan pencapaian kompetensi dan keterampilan yang diperlukan dalam mengenali
dan mentatalaksana Otomikosis yaitu:
1. Menguasai anatomi dan fisiologi telinga
2. Mampu melakukan pemeriksaan telinga
3. Mampu menegakkan diagnosis Otomikosis
4. Mampu melakukan penatalaksanaan Otomikosis secara komprehensif dengan memberikan
terapi medikamentosa maksimal

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Telinga


2.1.1 Anatomi Telinga

Telinga terbagi menjadi telinga luar, tengah dan dalam. Telinga luar terdiri dari daun
telinga dan liang telinga sampai membran timpani. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin
dan kulit. Liang telinga berbentuk huruf S, dan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar,
sedangkan dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang, dengan panjang 2,5–3 cm.
Sepertiga luar kanalis akustikus eksternus tersusun atas kartilago yang mengandung folikel
rambut dan kelenjar seruminosa, sedangkan dua per tiga bagian dalam merupakan bagian tulang
yang dilapisi oleh epitel.[11]
Pada sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar serumen yang
merupakan modifikasi kelenjar keringat dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh
kulit liang telinga. Pada dua pertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen.
Serumen memiliki sifat antijamur dan bakteriostatik dan juga berfungsi menolak serangga.
Serumen terdiri dari lemak yaitu sekitar 46-73%, kemudian protein, asam amino, ion-ion
mineral, dan juga mengandung lisozim, immunoglobulin, serta asam lemak tak jenuh rantai
ganda. Asam lemak ini menyebabkan kulit menjadi tidak mudah rapuh sehingga menhambat
masuknya bakteri. Oleh karena komposisi hidrofobiknya, serumen dapat membuat permukaan
kanal menjadi intak dan terlindung dari air sehingga mencegah terjadinya maserasi dan
kerusakan epitel.[11]

4
2.1.2 Fisiologi Telinga

Getaran suara yang ditangkap oleh daun telinga, akan dialirkan ke liang telinga dan
mengenai membran timpani, sehingga membran timpani bergetar, kemudian getaran diteruskan
ke tulang-tulang pendengaran yang berhubungan satu sama lain, maleus-inkus-stapes. Kemudian
stapes menggerakkan foramen ovale yang juga menggerakkan perilimfe dalam skala vestibuli,
getaran diteruskan melalui membran reissner yang mendorong endolimfe, sehingga
menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria, proses ini
mennyebabkan rangsangan mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi streosilia sel-sel
rambut sehingga kanal ion terbuka dan terjadi pelepasan ion bermuatan listrik dibadan sel.
Keadaan ini menimbulkan depolarisasi sel rambut sehingga melepaskan neurotransmiter ke
dalam sinaps yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius sampai ke korteks
pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis.[12]

2.2 Definisi Otomikosis

Otomikosis adalah peradangan pada kanalis auditorius eksternus yang disebabkan oleh
jamur. Otomikosis merupakan salah satu jenis infeksi jamur superfisialis, yang merupakan
infeksi jamur yang terbatas pada lapisan terluar kulit, rambut dan kuku serta membran mukosa.
[13]

2.3 Epidemiologi

Distribusi penyakit ini merata di seluruh dunia, tetapi lebih sering pada daerah dengan
kelembaban yang tinggi seperti daerah tropis dan sub tropis. Lingkungan yang lembab dan
hangat menunjang pertumbuhan jamur sehingga infeksi lebih sering terjadi. Selain itu kanalis
akustikus eksternus merupakan tempat yang ideal untuk pertumbuhan jamur. Sembilan puluh
persen infeksi jamur pada telinga disebabkan oleh Aspergillus sp. Berbagai spesies jamur
Aspergillus seperti Aspergillus fumigates, Aspergillus niger, Aspergillus niddulans dan
Aspergillus flavus. Pada daerah tropis dan subtropis Aspergillus niger paling sering
menyebabkan faktor penyebab infeksi. Infeksi campuran oleh bakteri dan jamur terjadi pada
50% kultur otomikosis. Otomikosis yang disebabkan oleh Aspergillus sp dapat mengenai semua
usia mulai dari 15 tahun hingga 80 tahun. Berdasarkan data penelitian yang dilakukan oleh
Satish, otomikosis yang disebabkan Aspergillus sp terjadi rata-rata usia 20-30 tahun. Penyakit ini

5
dapat mengenai laki laki dan perempuan pada semua umur namun tidak terlalu sering pada anak-
anak. Kondisi ini bukan merupakan penyakit yang menular. Penyakit ini juga sering terjadi pada
individu dengan infeksi kulit telinga yang patogen seperti dermatitis seboroik atau psoriasis.
Infeksi bakteri pada kulit kanalis akustikus eksternus dan penggunaan antibiotik steroid steroid
topikal yang lama merupakan faktor risiko infeksi jamur.[14]

2.4 Etiologi

Otomikosis dapat disebabkan oleh berbagai jenis jamur, namun yang paling umum adalah
jenis jamur candida dan aspergillus. Infeksi terjadi ketika jamur masuk ke dalam telinga.
Berenang atau berselancar serta berkeringat mempermudah jamur masuk ke dalam telinga,
karena kotoran telinga yang berfungsi menghalangi jamur akan berkurang akibat terkikis air.
Jamur umumnya dapat berkembang biak lebih cepat dilingkungan tropis atau hangat.[13]

2.5 Faktor Risiko


a. Tinggal didaerah tropis
b. Berkeringat
c. Sering berenang atau berselancar
d. Memiliki masalah kesehatan yang berkaita dengan telinga, seperti dermatitis seboroik
atau dermatitis atopic
e. Pemakaian alat bantu dengar
f. Sering menorek telinga dengan cotton buds
g. Cedera telinga
h. Sistem imun yang lemah

2.6 Patofisiologi

Berbagai faktor mempengaruhi perubahan jamur saprotik menjadi jamur patogenik, namun
hal ini masih belum dipahami dengan jelas. Pada umumnya para peneliti berpendapat bahwa dari
sekian banyak faktor yang berperan dalam timbulnya otomikosis yang terpenting ialah suhu dan
kelembaban udara yang meninggi serta bentuk anatomis dari liang telinga, dimana liang telinga
sebenarnya mempunyai lapisan kulit yang sama dengan lapisan kulit yang menutupi bagian-
bagian badan lainnya. Meskipun demikian dalam beberapa hal terdapat perbedaan yang penting

6
untuk diperhatikan. Liang telinga dihubungkan dengan udara luar oleh orifisium yang sempit
sehingga dapat berfungsi sebagai suatu tabung biakan yang diliputi kulit yang merupakan
medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman dan jamur.
Pada kelembaban yang relatif di atas 80%, lapisan tanduk epitel dapat mengabsorpsi air
dari udara dalam jumlah banyak. Pertambahan isi cairan keratin di dalam dan sekitar unit
pilosebaseus menyebabkan pembengkakan dan obstruksi orifisium dengan demikian mengurangi
pengeluaran zat lipoid ke permukaan kulit yang mengakibatkan hilangnya atau berkurangnya
pembentukan serumen. Pada suhu yang meninggi, produksi keringat menjadi berlebihan dan
menyebabkan reaksi bergeser kearah alkalis sehingga pembentukan serumen yang memerlukan
pH antara 4,7 sampai 7,5 terganggu. Tidak adanya serumen yang bersifat bakterisid dan fungisid
berarti hilangnya proteksi kulit meatus terhadap kuman dan jamur. Aspergillus memiliki rentang
pH optimum 5,7 dan tingkat pertumbuhan maksimum pada suhu 37°C dan ini adalah cocok
untuk semua jenis Aspergillus. Jamur tidak mendapatkan asupan makanan yang banyak di luar
KAE, hal inilah yang membuat kecenderungan otomikosis terjadi pada sepertiga dalam KAE.
[13,15]

Adanya perubahan dari tiga komponen yaitu inang, agen dan lingkungan dapat mendukung
terjadinya suatu penyakit. Aspergillus adalah jamur patogen dapat menyebabkan infeksi saat
mekanisme pertahanan tubuh inang menurun. Keratin dan epidermis kulit merupakan mekanisme
pertahanan terhadap spesies Aspergillus. Jika kulit dan adneksanya rusak seperti pada kondisi
yang disebabkan kebiasaan mengorek telinga dan masuknya air yang mengubah struktur kulit
dan kondisi kelembaban liang telinga maka otomikosis dapat terjadi Adanya konidiospora pada
kanalis akustikus eksternus sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa cairan mukus
berfungsi sebagai nutrien jamur. Pembilasan liang telinga dengan air sering terjadi waktu
berenang dan menyelam dapat mengangkat lapisan pelindung dari liang telinga secara mekanis,
ini akan mempermudah timbulnya infeksi oleh bermacam-macam mikroorganisme. Mencuci
liang telinga dengan air dan sabun dapat menyebabkan tertinggalnya selapis tipis zat alkalis pada
liang telinga yang sudah menimbulkan kontaminasi oleh jamur, apabila spora jamur terdapat
bebas di atmosir dan dapat masuk kedalam liang telinga dan tetap tinggal disini. Pemberian
antibiotika sistemik atau lokal pada liang telinga dalam keadaan tertentu menyebabkan
perubahan pada permukaan liang telinga sedemikian rupa sehingga jamur segera tumbuh pada
daerah tersebut.[13,16]

7
2.7 Manifestasi Klinis

Tiap penderita otomikosis dapat merasakan gejala yang berbeda. Beberapa gejala pada
telinga yang umum dialami oleh penderita otomikosis adalah liang telinga kemerahan, rasa gatal
pada telinga. nyeri telinga, pembengkakan disekitar liang telinga, telinga berdengung.

Gambar 2.1 Otomycosis with Aspergillus niger

Gambar 2.2 Otomycosis with Candida

8
2.8 Diagnosis

Gejala dari otitis eksterna bakteri dan otomikosis sering sulit dibedakan. Bagaimanapun
pruritus merupakan karakteristik paling sering dari infeksi mikosis dan juga tidak nyaman di
telinga, otalgia (nyeri telinga), rasa penuh di liang telinga, rasa terbakar pada telinga, hilangnya
pendengaran, tinnitus, keluarnya cairan tetapi sering juga tanpa keluhan. Pytirosporum
menyebabkan terbentuknya sisik yang menyebabkan terbentuknya sisik yang menyerupai
ketombe dan merupakan perdisposisi otitis eksterna bakterialis maupun furunkel. Demikian pula
dengan jamur Aspergillus. Jamur ini terkadang didapatkan di liang telinga tanpa adanya gejala
apapun kecuali rasa tersumbat dalam telinga, atau dapat berupa peradangan yang menyerang
epitel kanalis atau gendang telinga dan menimbulkan gejala-gejala akut. Kadang-kadang
didapatkan pula Candida albicans.
Pada otoskopi sering ditemukan mycelia yang dapat menegakkan diagnosis. Kanalis
akustikus eksternus menjadi eritem dan debris jamur tampak putih, abu-abu, atau hitam. Pasien
biasanya tidak ada perbaikan signifikan dengan pengobatan antibiotik. Diagnosis dapat
dikonfirmasi dengan preparasi KOH atau positifnya kultur jamur. Karakteristik pemeriksaan fisik
dari infeksi jamur pada umumnya terlihat hifa halus dan spora (conidiophores) dengan
karakteristik putih ketika bercampur dengan serumen menjadi kekuningan. Infeksi Candida dapat
lebih sulit dideteksi secara klinis karena kurangnya penampakan karakteristik layaknya
Aspergillus. Otomikosis oleh Candida biasanya diidentifikasi oleh data kultur.[17,18]

2.9 Diagnosis Banding

Otomikosis terkadang sulit dibedakan dari otitis eksterna terutama otitis eksterna difusa.
Infeksi campuran kadang terjadi. Biasanya isolasi bakteri terdiri dari negatif koagulase
Staphylococci, Pseudomonas sp, Staphylococcus aureus, E. coli, dan Klebsialla sp. Infeksi jamur
dapat juga berkembang dari OMSK.[19]

2.10 Tatalaksana

Sediaan anti jamur dapat dibagi menjadi non spesifik dan spesifik.
A. Non-spesifik
1. Boric acid adalah medium asam dan sering digunakan sebagai antiseptik dan insektisida.
Dapat diberikan bila penyebabnya adalah Candida Albicans.

9
2. Gentian Violet adalah sediaan solusio yang memiliki konsentrasi air yang rendah (1%).
Sering digunakan untuk mengobati otomikosis dengan keefektifan yang dilaporkan
mencapai 80%.
3. Castellani’s paint (acetone, alkohol, fenol, fuchsin, resocinol)
4. Cresylate (merthiolate, M-cresyl acetate, propyleneglycol, bric acid, dan alkohol)
B. Spesifik
1. Nystatin adalah antibiotik makrolid polyene yang dapat menghambat sintesis sterol di
membran sitoplasma. Keuntungan dari nistatin adalah tidak diserap oleh kulit yang intak.
Dapat diresepkan dalam bentuk krim, salep, atau bedak. Efektif hingga 50-80%.
2. Azole adalah agen sintetis yang mengurangi konsentrasi ergosterol, sterol esensial pada
membrane sitoplasma normal.
3. Clotrimazole digunakan secara luas sebagai topikal azole. Obat ini merupakan salah satu
agen ayang paling efektif untuk tatalaksana otomikosis, dengan tingkat efektifitas
mencapai 95-100%. Clotrimazole memiliki efek bakterial dan ini adalah keuntungan
untuk mengobati infeksi campuran bakteri-jamur. Clotrimazole tersedia dalam bentuk
bubuk, lotion, dan solusio dan telah dinyatakan bebas dari efek ototoksik.
4. Ketokonazole memiliki spektrum luas dengan tingkat efektifitas mencapai 95-100%
dalam menangani infeksi oleh spesies Aspergillus dan Candida. Tersedia dalam bentuk
krim 2%.
5. Flukonazole merupakan anti jamur topikal yang telah dilaporkan efektif dalam 90%
kasus.
6. Miconazole (2% krim) adalah imidazole yang telah dipercaya kegunaannya selama lebih
dari 30 tahun untuk pengobatan penyakit superfisial dan kulit. Agen ini dibedakan dari
azole yang lainnya dengan memiliki dua mekanisme dalam aksinya. Mekanisme pertama
adalah inhibisi dari sintesis ergosterol. Mekanisme kedua dengan inhibisi dari peroksida,
dimana dihasilkan oleh akumulasi peroksida pada sel dan menyebabkan kematian sel.
Efektif hingga 90%.
7. Bifonazole dengan sediaan solusio 1% memiliki potensi yang sama dengan Clotrimazole
dan miconazole. Obat ini sangat efektif dalam menghambat pertumbuhan jamur hingga
100%.
8. Itraconazole memiliki efek in vitro dan in vivo melawan spesies Aspergillus.

10
Bentuk salep lebih memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan formula tetes
telinga karena dapat bertahan di kulit untuk waktu yang lama. Salep lebih aman pada kasus
perforasi membran timpani karena akses ke telinga tengah sedikit diakibatkan tingginya
viskositas. Penggunaan cresylate dan gentian violet harus dihindari pada pasien dengan perforasi
MT karena memiliki efek iritasi pada mukosa telinga tengah. Pada pasien immunocompromised,
pengobatan otomikosis harus lebih kuat untuk mencegah komplikasi seperti hilangnya
pendengaran dan infeksi invasif ke tulang temporal. Otomikosis terkadang sulit diatasi walaupun
telah diobati dengan pengobatan yang sesuai. Maka dari itu perlu ditentukan apakah kondisi ini
akibat penyakit otomikosis itu sendiri atau berhubungan dengan gangguan sistemik lainnya atau
hasil dari gangguan immunodefisiensi yang mendasari. Pengobatan lain selain medikamentosa
yaitu menjaga telinga tetap kering dan mengarahkan pada kembalinya kondisi fisiologis dengan
mencegah gangguan pada kanalis akustikus eksternus.[20]

2.11 Komplikasi

Perforasi membran dapat terjadi sebagai komplikasi dari otomikosis yang bermula pada
telinga dengan membran timpani intak. Insidens perforasi timpani pada mikosis ditemukan
menjadi 11%. Perforasi lebih sering terjadi pada otomikosis yang disebabkan oleh Candida
Albicans. Kebanyakan perforasi terjadi pada bagian malleus yang melekat pada membran
timpani. Mekanisme dari perforasi dihubungkan dengan thrombosis mikotik dari pembuluh
darah membran timpani, menyebabkan nekrosis avaskuler dari membran timpani. Perforasi kecil
dan terjadi pada kuadran posterior dari membran timpani. Biasanya akan sembuh secara spontan
dengan pengobatan medis. Dalam kondisi jarang, infeksi jamur dapat menyebabkan otitis
eksterna invasif, terutama pada pasien immunocompromised. Terapi antifungal sistemik yang
adekuat sangat diperlukan pada pasien ini.[21]

2.12 Prognosis

Prognosis otomikosis umumnya baik bila diobati dengan pengobatan yang adekuat. Pada
saat terapi dengan anti jamur dimulai, maka akan dimulai suatu proses resolusi (penyembuhan)
yang baik secara imunologi. Bagaimanapun juga, resiko kekambuhan sangat tinggi, jika faktor
yang menyebabkan infeksi sebenarnya tidak dikoreksi, dan fisiologi lingkungan normal dari
kanalis akustikus eksternus masih terganggu.([21]

11
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : Ny LF
Usia : 36 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Kuta Alam
Tanggal Pemeriksaan : 20 Agustus 2021

3.2 Anamnesis
3.2.1 Keluhan Utama

Gatal pada kedua telinga

3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien mengeluhkan gatal, dan terasa penuh pada telinga kiri sejak beberapa hari yang lalu.
Pasien mengatakan keluhan ini sudah dirasakan sejak 1 tahun yang lalu. Keluhan dirasakan
hilang timbul dengan pengobatan. Kemudian 3 minggu yang lalu, pasien mengeluhkan keluar
cairan dari telinga sebelah kiri, cairan yang keluar tidak banyak, dan saat bersin, pasien
merasakan seperti ada angin dari dalam telinga sebelah kiri. Pasien kemudian berobat ke dokter
spesialis, dan dokter mengatakan bahwa telinga sebelah kiri pasien sedikit berlubang seperti titik.
Pasien mendapatkan pengobatan berupa antibiotik dan antijamur. Pengobatan dilakukan selama
2 minggu dan keluhan membaik. Namun, 2 atau 3 hari kemudian pasien kembali mengeluhkan
telinga terasa penuh dan gatal yang parah. Pasien memiliki riwayat kebiasaan mengorek telinga
yang terlalu sering.

3.2.3 Riwayat Penyakit dahulu

Alergi debu

3.2.4 Riwayat Penggunaan Obat


- Cetirizine
- Azitromicin
- Pirotop

12
- Otopain eardrop
- Natacen
- Itraconazole
- Natrium diclofenax
- Ciprofloxacin
- Ketokonazole
- Cefadroxil
3.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga pasien tidak ada yang mengalami gejala serupa.

3.2.6 Riwayat Kebiasaan Sosial

Pasein memiliki kebiasaan mengorek telinga.

3.3 Pemeriksaan Fisik


3.3.1 Status Pasien
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Composmentis
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Suhu : 36,5oC
Pernapasan : 20x/menit
Tinggi Badan : 160 cm
Berat Badan : 55 kg
3.3.2 Status Lokalisata
Ar Auris : Bentuk Pinna (normotia/normotia), Auricular sign (-/-), Tragus
sign (-/-), CAE (lapang/lapang), serumen (+/+), sekret (-/tampak
hifa berwarna putih), warna epidermis (warna menyerupai
kulit/warna menyerupai kulit), membran timpani (tidak terlihat)
Ar Nasal : Cavum nasi (lapang/lapang), konka inferior (eutrofi/eutrofi),
sekret (-/-), deviasi septum (-/-), pasase udara (+/+)

13
Ar Orofaring : Arcus faring (simetris ), uvula di tengah, tonsil berada di fossa
tonsilaris (T1/T1), kripta normal, detritus (-/-), mukosa tonsil
merah muda
Ar Colli : Tidak ada pembesaran getah bening
Ar Maksilo Fasial : Simetris, tidak dijumpai parese N. VII

Gambar 3.1 Gambaran Telinga Kiri Paien

3.4 Diagnosa kerja


Otomikosis Auris Sinistra
3.5 Diagnosis Banding
Otitis Eksterna Difusa
3.6 Tatalaksana
1. Membersihkan telinga dengan larutan normal saline
2. Clotrimazol 10 gr salep, dua kali sehari
3. Cetirizine tab 10 mg satu kali sehari saat gatal
3.7 Prognosis
Que ad vitam : Dubia ad bonam
Que ad functionam : Dubia ad bonam
Que ad sanactionam : Dubia ad bonam

14
BAB IV
ANALISA KASUS

Pada kasus diatas pasien berusia 36 tahun datang dengan keluhan telinga terasa gatal, dan
terasa penuh pada telinga kiri sejak beberapa hari yang lalu. Keluhan gatal pada telinga, terasa
penuh merupakan keluhan yang sering sekali dijumpai pada kasus bidang THT. Penyebabnya
bervariasi dapat disebabkan oleh bakteri, jamur, penumpukan serumen, dan lainnya. Salah satu
yang penyebabnya adalah jamur adalah otomikosis.
Otomikosis dapat disebabkan oleh berbagai jenis jamur, namun yang paling umum adalah
jenis jamur candida dan aspergillus. Gejala utama otomikosis berupa rasa gatal dan rasa penuh di
liang telinga, tetapi sering pula tanpa keluhan. Rasa sakit pada telinga bisa bervariasi mulai dari
hanya berupa perasaan tidak enak pada telinga, perasaan penuh dalam telinga, perasaan seperti
terbakar hingga berdenyut diikuti nyeri yang hebat. Derajat rasa sakit belum bisa
menggambarkan derajat peradangan yang terjadi. Hal ini dijelaskan bahwasannya kulit dari liang
telinga luar langsung berhubungan dengan periosteum dan peri kondrium, sehingga edema
dermis akan menekan serabut saraf yang mengakibatkan rasa nyeri. Selain itu, kulit dan tulang
rawan 1/3 luar liang telinga bersambung dengan kulit dan tulang rawan daun telinga, sehngga
gerakan dari daun telinga akan mengakibatkan rasa sakit yang hebat pada kulit dan tulang rawan
di liang telinga luar
Faktor risiko terjadinya otomikosis adalah kelembapan. Kandungan air pada lapisan
permukaan luar kulit diduga memegang peranan penting terhadap mudahnya terjadi infeksi
telinga luar. Stratum korneum menyerap kelembapan yang tinggi. Peningkatan kelembapan dari
keratin didalam serta disekitar unit-unit pilosebasea dapat menunjang terjadinya pembengkakan
dan penyumbatan folikel sehingga dengan demikian menyebabkan berkurangnya aliran sekret ke
permukaan kulit. Hal ini dapat dikaitkan dengan peningkatan insiden otomikosis akibat
meningkatnya produksi keringat dan tingginya kelembapan lingkungan. Selain itu trauma juga
dapat memicu terjadinya otomikosis. Dalam kasus ini pasien memiliki kebiasaan membersihkan
telinga menggunakan cutton bud yang terlalu sering, terlebih ketika telinga dalam keadaan basah
stelah mandi.

15
Pasien mengatakan keluhan ini sudah dirasakan sejak 1 tahun yang lalu. Keluhan dirasakan
hilang timbul dengan pengobatan. Bagaimanapun juga, resiko kekambuhan sangat tinggi, jika
faktor yang menyebabkan infeksi sebenarnya tidak dikoreksi, dan fisiologi lingkungan normal
dari kanalis akustikus eksternus masih terganggu. Pada pasien immunocompromised, pengobatan
otomikosis harus lebih kuat untuk mencegah komplikasi seperti hilangnya pendengaran dan
infeksi invasif ke tulang temporal. Otomikosis terkadang sulit diatasi walaupun telah diobati
dengan pengobatan yang sesuai. Maka dari itu perlu ditentukan apakah kondisi ini akibat
penyakit otomikosis itu sendiri atau berhubungan dengan gangguan sistemik lainnya atau hasil
dari gangguan immunodefisiensi yang mendasari. Pengobatan lain selain medikamentosa yaitu
menjaga telinga tetap kering dan mengarahkan pada kembalinya kondisi fisiologis dengan
mencegah gangguan pada kanalis akustikus eksternus.
Kemudian 3 minggu yang lalu, pasien mengeluhkan keluar cairan dari telinga sebelah kiri,
cairan yang keluar tidak banyak, dan saat bersin, pasien merasakan seperti ada angin dari dalam
telinga sebelah kiri. Pasien kemudian berobat ke dokter spesialis, dan dokter mengatakan bahwa
telinga sebelah kiri pasien sedikit berlubang seperti titik. Pengobatan dilakukan selama 2 minggu
dan keluhan membaik. Namun, 2 atau 3 hari kemudian pasien kembali mengeluhkan telinga
terasa penuh dan gatal yang parah. Perforasi membran dapat terjadi sebagai komplikasi dari
otomikosis yang bermula pada telinga dengan membran timpani intak. Insidens perforasi timpani
pada mikosis ditemukan menjadi 11%. Perforasi lebih sering terjadi pada otomikosis yang
disebabkan oleh Candida Albicans. Kebanyakan perforasi terjadi pada bagian malleus yang
melekat pada membran timpani. Mekanisme dari perforasi dihubungkan dengan thrombosis
mikotik dari pembuluh darah membran timpani, menyebabkan nekrosis avaskuler dari membran
timpani. Perforasi kecil dan terjadi pada kuadran posterior dari membran timpani. Biasanya akan
sembuh secara spontan dengan pengobatan medis. Infeksi jamur yang terjadi pada pasien dalam
hal ini juga bisa berkembang dengan perforasi membrane timpani yang terjadi sebelumnya.

16
BAB V
KESIMPULAN

Otomikosis merupakan infeksi telinga yang disebabkan oleh jamur. Otomikosis dapat
terjadi pada pinna dan CAE. Jamur yang sering menyebabkan otomikosis adalah Aspergillus dan
Candida. Perkembangan jamur pada otomikosis sangat dipengaruhi oleh kelembapan dan suhu,
selain itu factor risiko otomikosis adalah kebiasaan membersihkan telinga yang salah, berenang,
penggunaan obat kortikosteroid dalam jangka panjang, penderita immunocompromise, dan lain
sebagainya. Diagnosis otomikosis ditegakkan berdasarkan temuan gejala klinis dari anamnesis
dan pemeriksaan otoskopi. Gejala klinis yang dapat timbul berupa rasa gatal, rasa penuh pada
telinga, serta nyeri. Sementara pada pemeriksaan otoskopi dapat ditemukan gambaran berupa
CAE eritem, edema, dan ditemukan debris yang berbentuk hifa. Pemeriksaan penunjang juga
diperlukan untuk menegakkan diagnosis otomikosis. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan
adalah pemeriksaan dengan larutan KOH 10% untuk melihat elemen jamur dan kultur jamur
penyebab otomikosis. Tatalaksana pada pasien dengan otomikosis adalah dnegan membersihkan
jamur dari CAE, menjaga CAE agar tetap kering serta bernuansa asam, pemberian obat-obatan
seperti antijamur. Tindakan membersihkan liang telinga bisa dilakukan dengan berbagai cara
antar lain dengan lidi kapas/kapas yang dililitkan pada aplikator, pengait serumen, atau suction.
Edukasi yang harus disampaikan oleh dokter berupa pemahaman tentang penyakit pada pasien,
apa saja factor risiko dari otomikosis dan bagaimana cara menjaga ataupun meningkatkan
higienitas pasien.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Nemati S, Hassanzadeh R, Khajeh Jahromi S, Delkhosh Nasrollah Abadi A. Otomycosis in the north
of Iran: Common pathogens and resistance to antifungal agents. Eur Arch Oto-Rhino-Laryngology
2014;

2. Marlinda L, Aprilia E. Otomikosis Auris Dekstra pada Perenang. 2016

3. Tambora D, Nurrokhmawati Y, Waluyo A. Angka Kejadian dan Faktor Risiko Penderita Otomikosis
di Poliklinik THT RS Dustira Cimahi Periode Desember 2017- Januari 2018. Fak Kedokt Univ
Jendral Achmad Yani 2018;

4. Kulal B, Bhat, Meundi M, Kotigadde S. A microbiological study of otomycosis. Indian J Microbiol


Res 2017;

5. Barati B, Okhovvat S, Goljanian A, Omrani M. Otomycosis in central Iran: A clinical and


mycological study. Iran Red Crescent Med J 2011;

6. Vennewald I, Klemm E. Otomycosis: Diagnosis and treatment. Clin Dermatol 2010;

7. Adegbiji W, ToyeOlajide G, Aluko, Olubi O, Adebayo A. A Study Profile Of Self Ear Cleaning In
Nigerian Rural Community. 2018;

8. Oladeji S, Babatunde O, Babatunde L, Sogebi O. Knowledge of Cerumen and Effect of Ear Self-
Cleaning Among Health Workers in a Tertiary Hospital. J West African Coll Surg 2015;

9. Awaliyah M. Faktor-Faktor Predisposisi Kolonisasi Jamur Candida dan Aspergillus Penyebab


Otomikosis. 2013;

10. Khan N, Thaver S, Govender S. Self-ear cleaning practices and the associated risk of ear injuries and
ear-related symptoms in a group of university students. 2017;

11. Snell S. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2015.

12. Sulaiman E, Purwanto B, Lasminingrum L, Dewi Y, Mahdiani S. Potency of Vinegar Therapy in


Otomycosis Patients. J Med Heal 2015;

18
13 Edward Y, Irfandy D. Laporan Kasus Otomycosis. J Kesehat andalas 2012;1(2) : 101–6.

14 Marlinda L, Sapto H, Aprilia E, Shara Y. Otomikosis Auris Dekstra pada Perenang Otomycosis of
Right Ear Canal on A Swimmer. J Medula Unila 2016;6(1):67–71

15 Sulaiman E, Purwanto B, Lasminingrum L, Dewi YA, Mahdiani S. Potency of Vinegar Therapy in


Otomycosis Patients. J Med Heal 2015;1(2).

16 Edward Y, Irfandy D. Laporan Kasus Otomycosis. J Kesehat andalas 2012;1(2) : 101–6.

17 Jackman A, Ward R, April M, Bent J. Topical antibiotik induced otomycosis. Int J Ped
Otorhinolaringol 2005; 69: 857-60.

18 Dorko E, Jenca A, Orensak M, et al. Otomycosis of candidal origin in eastern Slovakia. Folia
Microbial 2004; 49(5): 601-4.

19 Gutierrez P, Alvarez J, Sanudo E, et al. Presumed diagnosis: Otomycosis. A study of 451 patients.
Acta OtorrinolaringolEsp2005;56:181-6.

20 Probst R, Grevers G, Iro H. Ear: External ear. In: Probst R, Grevers G, Iro Heinrich editors. Basic
otorhinolaryngology: a step by step learning guide. Thieme New York, 2006. P:2007-26.

21 Pradhan B, Tuladhar N, Amatya R, et al. Prevalence of otomycosis In outpatient department of


otolaryngology in Tribhuvan University Teaching Hospital, Kathmandu, Nepal. Ann
OtolRhinolLaryngol 2003; 112: 384-387.

19

Anda mungkin juga menyukai