Anda di halaman 1dari 44

SEJARAH PENDIDIDIKAN DUNIA

A. PERKEMBANGAN PENDIDIKAN YUNANI


Pendidikan adalah usaha manusia untuk kepentingan manusia. Jadi pada saat manusia itu ada
dan masih ada, pendidikan itu telah dan masih ada pula. Pada kenyataannya dapat kita telaah
bahwa praktek pendidikan dari zaman ke zaman mempunyai garis persamaan. Garis
persamaan atau benang merah pendidikan itu ialah:
1. Pendidikan adalah bagian dari kebudayaan yang tidak dapat dipisahkan.
2. Pendidikan merupakan kegiatan yang bersifar universal.
3. Praktek pelaksanaan pendidikan memiliki segi-segi yang umum sekaligus memiliki
keunikan (ke-khasan) berkaitan dengan pandangan hidup masing-masing bangsa.
Yunani kuno terbagi menjadi dua, Sparta dan Athena. Penduduk Sparta disebut
bangsa Doria, sedangkan penduduk Athena disebut bangsa Lonia. Kedua negara tersebut
merupakan Polis atau negara kota. Sparta dengan ahli negaranya Lycurgus, sedang Athena
dengan ahli negaranya Solon. Pada kedua negara tersebut terdapat perbedaan-perbedaan
dalam dasar, tujuan, pelaksanaan pendidikan dan pengajaran. Orang-orang Sparta
mementingkan pembentukan jiwa patriotik yang kuat dan gagah berani (Djumhur, 1976:24).

1. Sparta
Sparta adalah negara Aristokrasi-militeristis. Dasarnya Undang-undang Lycurgus (±
900 SM). Ciri pendidikan: pendidikan diselenggarakan oleh negara dan hanya untuk warga
negara merdeka. Pendidikan di Sparta didasarkan atas dua asas:
a. anak adalah milik negara;
b. tujuan pendidikan adalah membentuk serdadu-serdadu pembela negara serta warga
negara.
Tujuan pendidikan Sparta adalah membentuk warga negara yang siap membela
negara (membentuk tentara yang gagah berani). Ciri-ciri pendidikannya adalah :
a. Pendidikan diperuntukkan hanya bagi warga negara yang merdeka (bukan budak);
b. Lebih mengutamakan pendidikan jasmani.
c. Anak-anak yang telah mencapai umur 7 tahun diasramakan.
Pelaksanaan pendidikan: anak-anak dibiasakan menahan lapar, tidur di atas bantal
rumput, dan pada musim dingin hanya memakai mantel biasa saja. Sifat-sifat yang harus
dimiliki tentara, seperti keberanian, ketangkasan, kekuatan, cinta tanah air, dan tunduk pada
disiplin selalu mendapat perhatian. Sebaliknya, pelajaran seperti kesenian dianggap tidak
terlalu penting dan diabaikan. Musik dan nyanyian hanya dijadikan alat untuk
mempengaruhi jiwa dalam melaksanakan dinas ketentaraan (A. Ahmadi, 1987:162).
2. Athena
Athena adalah negara demokrasi. Dasar yang dipakai adalah: Undang-undang Solon
(± 594 SM). Berbeda dengan Sparta, tujuan pendidikan Athena adalah: membentuk
warganegara dengan jalan pembentukan jasmani dan rohani yang harmonis (selaras). Ciri-
ciri pendidikan di Athena adalah:
a. Pendidikan diselenggarakan oleh keluarga dan sekolah;
b. Sekolah diperuntukkan bagi seluruh warga negara (bebas).
Materi atau bahan pelajaran terbagi atas dua bagian: gymnastis dan muzis.
Gymnastis untuk pembentukan jasmani, sedangkan muzis untuk pembentukan rohani.
Pendidikan jasmani diberikan di Palestra, tempat bergulat, lempar cakram, melompat,
lempar lembing (pentathlon atau pancalomba). Pembentukan muzis meliputi: membaca,
menulis, berhitung, nyanyian, dan musik. Dalam perkembangannya dalam pembentukan
muzis akan dipelajari artes liberales atau “seni bebas”, yang terdiri dari:
a. trivium (tiga ajaran), yaitu: grammatica; rhetorica (pidato); dan dialektika yaitu ilmu
mengenai cara berpikir secara logis dan bertukar pikiran secara ilmiah;
b. quadrivium (empat ajaran), yang terdiri dari: arithmetica (berhitung); astronomia (ilmu
bintang); geometria (ilmu bumi alam dan falak); musica.
Dalam membaca, diberikan dengan metode mengeja (sintetis murni); dan menulis dilakukan
pada batu tulis yang dibuat dari lilin (Djumhur: 1976).
Pendidikan warganegara sangat diutamakan di Yunani, terutama di Sparta. Segala
kepentingan negara diletakkan di atas kepentingan individu (perseorangan). Dalam
perkembangannya muncul keinginan untuk mendapat kebebasan pribadi, terutama dari
kaum sofist.
Kaum sofist adalah kelompok orang yang tidak mengakui kebenaran mutlak dan
berlaku umum. Mereka berpendapat, bahwa manusia adalah ukuran segala sesuatu
(anthroposentris, anthropos: manusia; sentris: pusat). Sesuatu dianggap benar kalau itu
menimbulkan keuntungan atau kemenangan. Kebenaran bersifat relatif (tergantung kapan
dan siapa yang melihat).
Akibat dari ajaran sofisme tersebut adalah, turunnya nilai-nilai kebudayaan,
merosotnya nilai-nilai kejiwaan, pembentukan harmonis antara jiwa dan raga
dikesampingkan dan sebagainya. Orang mencari pengetahuan dengan tujuan untuk
mencapai kebendaan semata (intelektual-materialistis). Kepentingan negara harus tunduk
kepada kepentingan perseorangan. Pendidikan kecerdasan lebih penting daripada
pendidikan agama dan kesusilaan.

3. Ahli-Ahli Pendidik Yunani


a. Pythagoras (580-500 SM)
Tujuan pendidikan: membentuk manusia susila dan beragama. Beberapa cita-cita yang
menjadi dasar pendidikannya:
1) hanya jiwa yang berharga, bukan badan;
2) jiwa berasal dari dewa-dewa dan hidup terus jika badan telah mati;
3) sejak kecil manusia mempunyai kecenderungan untuk berbuat jahat, pendidikan harus
membawa manusia ke arah kesempurnaan;
4) kesempurnaan adalah kebajikan, yaitu keselarasan antara jiwa dan raga, harmoni
dalam hubungan antara manusia, harmoni pula dalam negara.
Untuk melaksanakan cita-cita tersebut, ia mendirikan sebuah lembaga dengan nama
“Lembaga Pythagoras”. Anggotanya hidup bersama-sama dan patuh pada aturan-aturan
tertentu. Lembaga tersebut terdiri dari 3 bagian:
1) bagian 1: terdiri dari calon-calon anggota dalam masa percobaan 3 tahun. Selama itu
ia harus dapat mengatasi penderitaan-penderitaan dan harus membuktikan
kesanggupan dalam menempuh jalan hidup yang saleh;
2) bagian 2: merupakan lanjutan dari bagian 1, tetapi masih diasingkan dari anggota-
anggota penuh, dan mendapat ajaran dari Pythagoras sendiri;
3) bagian 3: terdiri dari anggota-anggota yang dianggap sudah cukup memenuhi syarat,
mendapat hak dan kepercayaan yang penuh, mereka mendapat ajaran dari Pythagoras
sendiri.
b. Socrates (469-399 SM)
Merupakan tokoh yang melawan ajaran sofisme. Ia berpendapat bahwa yang menjadi
ukuran segala-galanya bukan manusia melainkan ke-Tuhanan (theosentris, theo:
Tuhan). Berlawanan dengan Pythagoras, Socrates percaya bahwa manusia mempunyai
pembawaan untuk berbuat baik. Socrates berpendapat bahwa ilmu adalah sumber dari
kebajikan, oleh karena itu ia dianggap perintis kaum Philantropin: cinta pada sesama
manusia.
Dalam pelaksanaan pengajarannya, dia melakukan dialog, percakapan, dan tanya jawab
dengan masyarakat di jalan-jalan, di taman, dan pasar. Socrates selalu mengajarkan
bahwa manusia itu berpengetahuan hanya dalam sangkaannya saja, padahal yang
sebenarnya mereka tidak tahu apa-apa, dan mereka akhirnya sampai pada kesimpulan
bahwa mereka hanya mengetahui satu hal, yaitu bahwa mereka tidak tahu apa-apa.
Dengan begitu maka pada diri manusia itu tumbuh keinginan untuk mengetahui yang
sebenarnya. Dengan jalan induksi, mereka dibawa kepada ilmu yang sebenarnya
(menarik kesimpulan sendiri).
Beberapa jasa Socrates:
1) pelopor dari ilmu kesusilaan. Ia berpendapat bahwa filsafat merupakan alat untuk
mencapai kebajikan;
2) pelopor dari ilmu mengenai pengertian-pengertian. Ia berusaha selalu mencari
hakikat dari benda-benda, yakni pengertian-pengertian;
3) Pythagoras dan Socrates adalah peletak dasar paedagogik moral.
Pada akhir hidupnya, Socrates dijatuhi hukuman minum racun oleh hakim, apabila ia
tidak bersedia menarik kembali ajarannya. Socrates dianggap telah merusak akhlak
pemuda, dan difitnah oleh kaum sofis telah mengajarkan dewa-dewa baru dan
membelakangi dewa-dewa resmi.

c. Plato (427-347 SM)


Plato adalah murid Socrates. Ia adalah seorang bangsawan. Saat Socrates dijatuhi
hukuman minum racun Plato melarikan diri dan mendapat perlindungan dari
keluarganya.
Sistem pendidikan yang lengkap dan merupakan bagian dari ajaran ketatanegaraan
pertama disusun oleh Plato, ia adalah seorang pengarang pertama di Yunani. Tujuan
pendidikan menurut Plato adalah: membentuk warga negara secara teoritis dan praktis.
Setiap manusia bertugas untuk mengabdikan kepentingannya kepada kepentingan
negara. Oleh sebab itu pendidikan harus diselenggarakan oleh negara dan untuk negara.
Dengan prinsip tersebut Plato disebut sebagai pencipta Pendidikan Sosial. Ia
berpendapat bahwa kesulitan-kesulitan politis dapat diatasi apabila ada keadilan.
Keadilan akan terwujud bila setiap orang melaksanakan tugas sebaik-baiknya. Dengan
demikian tujuan pendidikan itu selanjutnya adalah untuk membentuk negara susila yang
berdasarkan keadilan (Lebih lanjut dapat dibaca dalam Achmadi, 1987).
Dalam pendidikan moral, Plato berpendapat bahwa anak-anak telah dapat melakukan
suatu perbuatan meskipun mereka belum sanggup menyadari atau memahaminya.
Sehingga pendidikan harus dimulai sejak kecil, yaitu dengan pembiasaan dan kemudian
pengajarannya.
Pengaruh plato sangat besar, misalnya dalam pemerintahan gereja abad pertengahan.
Meskipun dipengaruhi oleh bangsa Yahudi, namun pemerintahan gereja sangat platonis.

d. Aristoteles (384-322 SM)


Ia adalah murid dari Plato dan telah berguru selama 20 tahun. Bukunya yang terkenal
mengenai cita-cita pendidikan adalah: Politica dan Anima. Seperti halnya dengan Plato,
maka Aristoteles pun menghendaki pendidikan negara.
Cita-cita pendidikannya: kebajikan itu diperoleh dengan jalan aman, melalui
pengalaman, pembiasaan-pembiasaan, akal budi, dan pengertian. Pendidik harus
mempelajari dan memimpin pembawaan dan kecenderungan anak-anak. Dengan latihan
dan pembiasaan mereka diajar melakukan perbuatan yang baik dan meninggalkan yang
buruk. Menurutnya sumber pengetahuan adalah pengalaman, pengamatan, yang
menghasilkan bahan untuk berpikir. Dalam satu hal ia sefaham dengan J. Locke, bahwa
jiwa seseorang pada waktu dilahirkan tidak berisi apa-apa (tabula rasa).
Pendidikan formal menurutnya berakhir pada usia 21 tahun, dan periode ini terbagi
menjadi 4 bagian:
1) pendidikan sampai dengan usia 5 tahun;
2) pendidikan sampai dengan usia 7 tahun;
3) pendidikan sampai dengan usia pubertas;
4) pendidikan sampai dengan usia 21 tahun.
Dalam prinsipnya, sebelum usia 5 tahun, hendaknya pendidikan bersifat sewajarnya,
disesuaikan dengan keadaan anak. Membaca, menulis, ilmu hitung, gymnastic, dan
musik dianggap sebagai mata pelajaran untuk latihan kejiwaan. Gymnastic dan musik
adalah yang paling penting, sebab mempunyai akibat pembersihan jiwa, dan nafsu-nafsu
yang tidak baik dan mengembangkan perbuatan baik sesuai dengan tuntunan moral.
Menurut Aristoteles, karena pendidikan adalah soal universal, maka pendidikan
dilakukan oleh negara
B. PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ROMAWI
Pendidikan Romawi tampak lebih sederhana dan lebih disesuaikan dengan
kebutuhan negara jika dibandingkan dengan pendidikan Yunani. Roma yang pada awalnya
adalah negara petani, mengalami dua masa yang masing-masing berbeda baik tujuan
maupun alat-alat pendidikannya, yaitu jaman Romawi lama dan jaman Romawi baru
(Hellenisme).

1. Zaman Romawi Lama


Pendidikan pada jaman ini bertujuan membentuk warga negara yang setia dan berani,
siap berkorban membela kepentingan tanah airnya. Diutamakan pembentukan
warganegara yang cakap sebagai tentara. Pendidikan diselenggarakan oleh keluarga, dan
merupakan pendidikan bangsawan bukan pendidikan rakyat. Materi pelajarannya
meliputi membaca, menulis, dan berhitung. Pendidikan jasmani dan kesusilaan menjadi
prioritas.
Hasil pendidikan dinilai baik, karena:
a. kebiasaan aturan dalam rumah tangga yang keras, ayah mempunyai kekuasaan
mutlak dan anak-anak patuh pada perintahnya;
b. kedudukan ibu hampir sama dengan kedudukan ayah, ia menjadi pemelihara rumah
tangga;
c. agama mempunyai pengaruh besar, orang Romawi percaya dikelilingi oleh dewa-
dewanya;
d. anak-anak mempelajari Undang-Undang negaranya, menganggapnya sakti dan tidak
melanggar.

2. Jaman Romawi Baru (Helenisme)


Hellenisme adalah aliran kebudayaan yang diciptakan oleh ahli-ahli filsafat Yunani
(Hellas). Sejak saat itu bangsa Romawi mulai menyadari arti penting ilmu pengetahuan.
Dengan demikian maka tujuan pendidikan mengalami perubahan: untuk pembentukan
manusia yang harmonis. Pendidikan ratio dan kemanusiaan (humanitas) menjadi
prioritas.
Organisasi sekolah yang dibentuk meliputi:
a. sekolah rendah: pelajarannya membaca, menulis, dan berhitung. Musik dan
menyanyi tidak mendapat perhatian;
b. sekolah menengah: pelajarannya ilmu pasti, ilmu filsafat, dan kesusasteraan klasik;
c. sekolah tinggi: diberikan keahlian pidato, hkum, dan undang-undang.
Pendidikan menjadi kehilangan sifat praktisnya dan rakyat Roma mulai berpedoman
kepada filsafat. Pada perkembangan selanjutnya Romawi terbawa oleh arus aliran
filsafat yang berdampak cukup besar bagi pendidikan Roma, yaitu Epicurisme
(dipelopori Epicurus 341-270 SM), dan aliran Stoa (dipelopori Zeno 336-264 SM).
Aliran Epicurisme berpendapat hahwa kebahagian akan terwujud manakala manusia
menyatu dengan alam. Aliran Stoa berpendapat bahwa tujuan hidup adalah mencapai
kebajikan. Kebajikan itu akan terwujud apabila manusia dapat menyesuaikan diri
dengan alamnya, karena manusia adalah bagian dari alam. Sedangkan alam itu sendiri
dikuasai oleh budi Ilahi. Karena manusia merupakan bagian dari alam, maka di
dalamnya terkandung sebagian dari budi ilahi itu. Jadi tidak ada perbedaan antara alam
dengan Tuhan, dan alam adalah Tuhan dan Tuhan adalah alam, yang disebut juga
panteisme (pan: seluruh, semua; theos: Tuhan). Sehingga hidup sesuai dengan alam
berarti hidup sebagai manusia berakan dan berbudi.
Dengan munculnya dua faham tersebut cita-cita atu tujuan Romawi berubah dari
rnembentuk manusia sehat kuat untuk membela tanah air (kebajikan kepahlawanan)
menjadi membentuk manusia yang bijaksana dan berakal budi (kebajikan
kemanusian/humanitas).

3. Seneca (meninggal 65 SM)


Seneca merupakan tokoh pendidik lain di jaman Romawi baru. ia adalah seorang kaisar
Nero, juga seorang ahli filsafat dan moralis yang terkenal. Beberapa petunjuk tentang
pengajaran yang diberikan adalah:
a. kita mengajar tidak untuk sekolah, tetapi untuk kehidupan;
b. panjang jalan melalui perintah, singkat jalan melalui teladan;
c. dengan mengerjakan, kita menjadi paham.

4. Quintilanus
Adalah seorang profesor ilmu pidato yang terkenal. Ia adalah seorang Spanyol yang
tinggal di Roma. Ia menjadi terkenal karena menulis buku “Instituo Oratorio”
(pendidikan menjadi ahli pidato). Dia berpendapat bahwa jika suatu saat seorang anak
memperlihatkan kesalahan-kesalahannya, maka hal itu adalah akibat dari pendidikan
yang salah. Dalam hal ini ia sependapat dengan JJ. Rousseau, bahwa semua manusia itu
baik sejak lahir.
Pendapatnya tentang pendidikan:
a. pendidikan harus diberikan secepatnya, sejak dari keluarga. Harus dicari pengasuh
yang berbudi baik dan berilmu dan dapat menjadi contoh. Sebab kesan pertama yang
diterima oleh anak berpengaruh besar sekali bagi perkembangan selanjutnya;
b. kelak anak itu harus bersekolah, karena: di sana ia akan merasa lebih bebas, dapat
belajar banyak dari teman-temannya, dan ada suasana bersaing yang sehat.
c. Guru harus dapat mempelajari sifat-sifat dan pembawaan masing-masing anak, agar
dapat mengembangkannya dengan baik;
d. Mengajar hendaknya tidak terlalu cepat, anak ibarat botol yang kecil lehernya, jika
diisi terlalu banyak akan terbuang sia-sia;
e. Pelajaran hendaknya diselingi dengan permainan, supaya guru dapat memperoleh
pandangan yang lebih baik tentang budi pekerti anak-anak;
f. Gaya bahasa yang digunakan harus menarik perhatian anak-anak, lebih baik agak
berani dan banyak fantasi;
g. Teknik mengajar harus lunak, tidak terlalu keras, tidak banyak mencela, tapi jangan
pernah pula terlalu banyak memuji. Tidak boleh memberi hukuman fisik, sebab
dengan memukul, jiwa anak akan rusak karena merasa malu;
h. Pada pelajaran membaca, anak-anak diberi huruf dari gading, dan mereka disuruh
membuat bermacam kata dari huruf itu;
i. Pada pelajaran menulis, sebuah meja dipahat huruf timbul dan mereka disuruh
mengikuti huruf-huruf itu.
j. Pada pelajaran mengarang anak-anak harus mengarang seperti sedang bercakap-
cakap. Bahan dan bahasa dari pengalaman pribadi anak;
k. Quintillanus menganggap daya ingat itu sangat penting, oleh sebab itu harus dilatih
dengan baik. Setiap hari anak harus menghafal di luart kepala hal-hal yang menarik,
sesudah itu hal-hal yang kurang menarik, mula-mula mekanis, sesudah itu logis.
Dalam organisasi sekolah, sesudah sekolah permulaan yang memberikan pelajaran-
pelajaran pokok, anak kemudian mengunjungi sekolah menengah, di mana diajarkan
bahasa Yunani, baru kemudian bahasa Latin. Setelah itu pelajaran dilanjutkan ke
Sekolah Tinggi. Mata pelajaran yang diberikan adalah:
a. trivium: gramatika (bahasa), filosofi, dan retorika;
b. quadrivium: musik, geometri, arithmetika, dan astronomi. Ketujuh mata pelajaran
tersebut dinamai “Artes Liberalis yang tujuh”.
Teori pengajaran Quantilianus telah memberikan lukisan tentang seluruh praktek
pengajaran di Roma pada jaman kaisar. Banyak teknik dan paham modern yang
diselenggarakan oleh Quantilianus, seperti papan meja, menuruti huruf timbul dengan
jari, mengarang seperti menulis tentang hal-hal yang dialami sendiri dan sebagainya.

5. Jaman Agama Kristen


Agama Kristen menandai satu perubahan dengan membawa unsur-unsur baru:
a. tujuan hidup manusia tidak terletak di dunia fana ini seperti tujuan kebudayaan klasik
Yunani dan Romawi, tetapi di alam baqa kelak;
b. berbeda dengan kebudayaan klasik yang mengenal banyak dewa, agama kristen hanya
mengakui adanya satu Tuhan (monotheisme);
c. dalam pandangan agama ini, pendidikan tidak hanya untuk golongan tertentu saja,
melainkan untuk semua manusia (umum).
Pada jaman ini dapat dibedakan menjadi 2 golongan sekolah, yaitu:
a. sekolah-sekolah kristen;
b. sekolah kafir / jahiliyah.
Yang termasuk kategori sekolah kristen adalah:
a. sekolah catechumeen (sekolah pendengar). Tujuannya menarik dan mendidik orang-
orang yang masuk agama kristen. Sekolah ini terdiri dari tiga kelas. Kelas I untuk
pendengan (catechumeen), yang mendengarkan pelajaran agama dengan tidak
berbicara. Setelah tamat kelas I mereka dinaikkan ke kelas II, setelah menyatakan
bahwa ia telah meninggalkan takhayulnya. Untuk kelas III khusus bagi mereka yang
betul-betul ingin masuk agama nasrani. Guru-gurunya adalah Uskup (catechumeen
laki-laki), dan Diakones (catechumeen perempuan). Sekolah ini mengalami masa
keemasannya pada abad ke-3;
b. sekolah Episcopal, untuk pembinaan paderi. Pemuda-pemuda yang pandai dipilih oleh
uskup untuk dididik menjadi paderi. Pada sekolah ini diberikan pelajaran seperti:
theologi/gerejani dan pelajaran-pelajaran yang bersifat keduniawian (umum). Dengan
demikian mereka yang tidak lulus untuk menjadi paderi masih bisa mendapat
pengetahuan yang bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari;
c. sekolah catecheet (theolog). Tujuan sekolah ini untuk mendidik ahli
keagamaan/theolog, memberikan pengetahuan umum yang lebih, serta menjadi pusat
keagamaan agama kristen. Pengetahuan umum yang diajarkan seperti: kesusasteraan
Yunani, sejarah, ilmu ukur, ilmu alam, ilmu binatang, dan dialektika. Sekolah
catecheet yang terkenal bertempat di Iskandariah, yang di antaranya memberikan
kuliah: clemens (pembangunan etika kristen), dan origens (sarjana yang paling pandai
pada jaman itu).
Sedangkan yang dimaksud dengan sekolah-sekolah kafir adalah sekolah-sekolah yang
tidak mengajarkan mata pelajaran agama. Sekolah kafir yang terkenal antara lain: sekolah
Rethor di Karthago, Iskandariah dan Tambul. Sekolah kafir/jahiliyah ini mengajarkan 7
kesenian bebas (the seven liberal arts), pengetahuan hukum, dan filsafat.
Salah satu tokoh pendidik pada jaman kristen adalah Augustinus. Ia merupakan
seorang ahli pendidik kristen. Lahir di Tagaste Afrika tahun 354. Augustinus memperoleh
pendidikannya di sekolah Rethor di Karthago, sebuah sekolah tinggi ciptaan orang Roma.
Ia memberikan kuliah-kuliah di Karthago, Roma, dan Milan. Saat berusia 33 tahun ia
beralih menjadi pemeluk agama kristen. Tujuh tahun kemudian uskup di Hippo, dan
meninggal dunia tahun 430.
Tujuan pendidikan Augustinus hampir sama dengan Plato, yaitu kebajikan. Prinsip
Plato: kebajikan terletak dalam memeritah kehendak dengan intelek, membentuk manusia
berbudi, tujuan Plato untuk di dunia kini. Sedang Augustinus: kebajikan adalah cinta yang
sempurna terhadap Tuhan, tujuannya untuk hidup di dunia fana.

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ABAD PERTENGAHAN

A. MASA RENAISSANCE
Renaissance adalah gerakan maknawiyah, yang merupakan reaksi terhadap sikap
hidup abad pertengahan. Renaissance (kelahiran kembali) kebudayaan klasik. Orang
kembali mempelajari bahasa latin dan Yunani serta filsafatnya. Ciri dari masa ini adalah
manusia ingin bebas dari ikatan abad pertengahan dan berusaha mencari pedoman baru
dalam kebebasan individu. Cita-cita menjadi pendeta mulai ditinggalkan, mengarah pada
masa kejayaan Republik Romawi. Cita-cita tersebut mendorong dipelajarinya berbagai
pengetahuan. Berbagai aliran muncul pada masa ini, seperti: humanisme, reformasi, dan
kontra reformasi.

1. Humanisme
Lahir di Italia, pelopornya Petrarca dan Bocaccio. Dalam aliran humanisme, Tuhan
sebagai pusat norma tertinggi ditinggalkan, cita-cita manusia dicari pada diri manusia
sendiri. Ukuran kebenaran, kesusilaan, keindahan, dicari dan didapatkan pada manusia.
Dampak bagi pendidikan dan pengajaran: alat pendidikan yang terpenting adalah
mempelajari peradaban klasik.
Tujuan utama pengajaran mempelajari peradaban klasik, bahasa Yunani dan bahasa
Latin. Pendidikan jasmani juga mendapat tempat terhormat. Akibatnya, pendidikan intelek
mempunyai tempat yang terhormat dan menjadi maju, sedangkan pendidikan agama
menjadi terbelakang. Dasar pendidikan etika tidak lagi agama, tetapi etika alam.
Tujuan pendidikan diarahkan pada pembentukan manusia berani, bebas, dan
gembira. Berani diartikan sebagai percaya kepada diri sendiri, bukan taat kepada kekuasaan
Tuhan seperti jaman pertengahan. Berani pula untuk memperoleh kemashuran yang telah
dicita-citakan oleh ahli filsafat pada jaman Yunani dan Romawi. Bebas diartikan lepas dari
ikatan gereja dan tradisi, berkembang selaras, individualistis, bukan manusia kolektifistis
seperti pada abad pertengahan. Gembira berarti menunjukkan dirinya kepada kenikmatan
duniawi, bukan kepada keakhiratan seperti abad pertengahan.
Pengaruh humanisme dalam organisasi sekolah: orang berpendapat bahwa negara
harus turut campur dalam pengelolaannya. Pengaruh dalam penetapan bahan pelajaran:
terdiri dari artes liberalis yang 7, dengan ditambah ilmu alam, menggambar, dan puisi.

2. Reformasi
Awalnya muncul di Jerman, dipelopori oleh Luther dan Calvijn. Reformasi
merupakan reaksi terhadap tindakan gereja yang pada masa itu membebani rakyat dengan
bermacam pajak. Penagnut aliran ini ingin kembali pada ajaran nasrani, dan hanya
mengakui injil sebagai satu-satunya sumber kepercayaan. Mereka menyangkal kekuasaan
Paus dan konsili-konsili (permusyawaratan gereja), karena pertentangan itulah mereka
disebut kaum protestan.
Berbeda dengan humanisme yang bersifat aristokratis (tertuju hanya kepada lapisan
atas), dan membentuk sarjana; reformasi bersifat lebih demokratis, tertuju kepada seluruh
lapisan masyarakat. Dalam hal kepentingan, humanisme lebih tertuju pada kepentingan ilmu
pengetahuan, estetika dan filsafat, sedangkan dalam reformasi mengutamakan kepentingan
agama dan tidak setuju dengan filsafat Yunani. Bagi reformasi, bahasa latin dan Yunani
hanya untuk memahami injil. Beberapa tokoh reformasi:
1. Luther
Merupakan seorang reformator dari Jerman. Pemikirannya dalam pendidikan:
a. semua anak harus mengunjungi sekolah;
b. anak-anak belajar hanya beberapa jam sehari, selebihnya waktu digunakan untuk
mempelajari pekerjaan tangan;
c. anak perempuan belajar satu jam dalam sehari, selebihnya mereka mengerjakan
pekerjaan rumah tangga;
d. anak-anak miskin yang betul-betul pintar saja yang disuruh belajar;
e. posisi guru dihargai tinggi;
f. pelajaran agama dianggap sebagai pelajaran paling penting.
Dalam karyanya, luther menterjemahkan injil dalam bahasa Jerman dan memberikan
lagu-lagu agama. Dalam perjuangannya ia banyak mendapat bantuan dari raja-raja yang
ingin melepaskan diri dari kekuasaan Paus Roma. Dalam penyelenggaraan pendidikan,
negara ikut bertanggungjawab atas pengajaran, bukan lagi gereja seperti pada agama
Katolik.

2. Calvijn
Dalam buku-bukunya ia banyak mengungkapkan tentang pentingnya pendidikan, serta
pengaruhnya di dalam rumah tangga dan pendidikan agama. Dalam hal bahasa, Calvijn
lebih mementingkan pelajaran bahasa latin. Di Geneva didirikan sebuah gymnasium
yang juga memberikan pelajaran rendah dan satu sekolah tinggi.
3. Zwingli
Daerah yang dipengaruhi Zwingli lebih kecil dibandingkan Luther maupun Calvijn.
Dalam paham paedagogisnya, pelajaran bahasa klasik adalah penting. Ilmu pengetahuan
dan ilmu pasti harus diajarkan, tetapi tidak boleh mengambil waktu terlalu banyak.
Pendapatnya yang baru adalah bahwa setiap murid harus mempelajari satu pekerjaan
tangan. Ia mendirikan sekolah di Zurich, yang kemudian menjadi universitas.

3. Kontra Reformasi
Renaissance dialami pula oleh gereja katolik, yang disebut sebagai kontra reformasi. Hal ini
disebabkan oleh konsili di Trente (1543-1563) yang memutuskan akan memperbaiki
keadaan dan menjalankan disiplin yang keras terhadap peraturan-peraturan gereja serta
membela diri terhadap serangan-serangan kaum protestan. Dalam konsili itu dibicarakan
juga usaha-usaha untuk memperluas pendidikan dan pengajaran. Para uskup harus
mendirikan sekolah-sekolah seminari untuk memberi kesempatan anak-anak dari keluarga
kurang mampu bisa masuk dengan gratis, untuk mendidik calon pendeta, mengajarkan
agama kepada anak-anak dan orang dewasa dalam bahasa ibu.
Organisasinya disusun seperti susunan ketentaraan dengan paus sebagai “jenderalnya”.
Biara menjadi sumber semangat perang untuk memberantas keingkaran orang terhadap
agama serta memperluas pengaruh agama katolik dan memperkokoh kedudukan paus.
Sekolah-sekolah banyak didirikan, mulai dari sekolah rendah sampai dengan universitas.
Mazhab Yezuit di bawah pimpinan Ignatius de Loyola menjadi pelopor dalam dunia
pendidikan. rencana pendidikan kaum Yezuit tertera dalam “ratio studiorum”

B. PENDIDIKAN PADA MASA REALISME


Aliran realisme muncul dalam bidang pendidikan kurang lebih tahun 1600. Aliran ini
bertujuan untuk:
1. meninggalkan cara-cara pembentukan secara klasik, seperti yang dianjurkan oleh
humanisme;
2. mengarahkan perhatian kepada dunia nyata, kepada alam dan benda-benda yang
sebenarnya
aliran ini muncul disebabkan oleh:
1. munculnya ilmu-ilmu kealaman; dan
2. ambruknya sistim pengajaran yang bersifat humanistis.
Karena realisme inilah, dunia pengetahuan yang sampai saat itu masih terpengaruh oleh
ajaran Aristoteles mulai goyah.
Munculnya ilmu-ilmu kealaman disebabkan karena manusia berambisi membongkar
segala rahasia-rahasia alam. Manusia mulai mempergunakan fikirannya dengan lebih
mendalam. Segala peristiwa alam diselidiki dan diamati. Maka muncullah penemuan-
penemuan hebat, seperti penemuan Copernicus yang menyatakan bahwa dunia ini berputar
mengelilingi matahari (bertentangan dengan pendapat sebelumnya, yaitu Ptolomaeus bahwa
bumilah yang menjadi pusat semesta alam). Banyak musafir yang menjelajah ke segala
jurusan untuk menemukan benua-benua baru. ketidaksanggupan ilmu-ilmu klasik dalam
menerangkan kenyataan-kenyataan itulah, maka dicari jalan baru.
Tokoh yang berperan pada masa ini adalah:
1. Francis Bacon (1561-1626)
Idenya dalam pendidikan adalah:
a. usaha-usaha untuk mencari metode baru;
b. penggunaan metode induksi;
c. penghargaan besar terhadap matapelajaran-matapelajaran realita: ilmu bumi, ilmu
ayat, ilmu alam;
d. penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar, Bukan bahasa latin lagi.
2. Johan Amos Comenius (1592-1671)
Hasil karyanya yang terkenal adalah DIDACTICA MAGNA, yang menjelaskan tentang:
a. tujuan pendidikan: pendidikan hendaknya diarahkan pada kehidupan di alam baka,
dicapai dengan pembentukan ilmiah dan pendidikan budi pekerti serta kesalehan;
b. metode: pendidikan harus disesuaikan dengan alam;
c. hukum didaktik: kepastian; urutan yang tepat; kelancaran belajar; dan kecepatan
belajar;
d. pendidikan kesusilaan didasarkan pada ajaran-ajaran agama, bertujuan mencapai 4
kebajikan dari Plato (budi, kesederhanaan, keberanian, dan keadilan).

C. PENDIDIKAN MASA PENCERAHAN (AUFKLARUNG)


Gejala-gejala baru muncul pada abad ke-18, terutama pada pertengahan kedua dari abad itu.
Seluruh kegiatan manusia saat itu ditujukan kepada usaha mengadakan pencerahan terhadap
abad kegelapan. Abad kegelapan adalah ialah abad pertengahan, yang roh jamannya
dianggap berakhir setelah abad ke-18 tiba.
Pada masa ini manusia ingin bebas dari ikatan gereja dan tradisi, hasilnya gereja dan negara
terpisah. Dalam pendidikan, dituntut agar negara yang harus menyelenggarakan pengajaran,
terutama bagi rakyat umum, lepas sama sekali dari pengaruh gereja (tuntutan ini baru
berhasil pada akhir abad ke-19).
Seluruh gerakan rohaniah dalam pelbagai lapangan itulah yang disebut sebagai Pencerahan,
yang telah menguasai alam pikiran orang di Eropa Barat pada abad ke-18 dan ke-19. dua
aliran maknawiyah yang berkembang dan saling mempengaruhi saat itu adalah:
1. Empirisme
Aliran ini beranggapan bahwa sumber dari segala pengetahuan dan kebenaran adalah
empiri atau pengalaman. Segala sesuatu harus dicari dari bahan-bahan yang telah kita
peroleh dari pengalaman kita sendiri. Paham ini berasal dari Inggris, dipelopori oleh
Francis Bacon (1561-1626).
Dalam paham ini, barangsiapa yang menghendaki ilmu pengetahuan harus mengadakan
penyelidikan sendiri. Ia harus mencari gejala-gejalanya, kemudian menyusunnya dengan
teliti dan dengan menempuh jalan induksi sampai pada hukum-hukum yang umum.
Oleh karena itu empiri dan induksi merupakan satu-satunya jalan untuk memperoleh
pengetahuan. Dengan penyelidikan sendiri, pengamatan fakta-fakta dan pengalaman
adalah terbesar maknanya. Aliran ini kemudian lebih diperluas dan diuraikan oleh kaum
empiris bangsa Inggris lainnya, seperti John Locke, Berkeley, dan Hume.
2. Rationalisme
Aliran ini lahir di Prancis dan Descartes (1596-1650), berpendapat bahwa sesuatu itu
dianggap benar jika sesuai dengan akal fikiran. Fikiran manusia akan sanggup
memecahkan segala persoalan. Untuk menuju ke arah kemajuan dan kesempurnaan,
ditempuh jalan fikiran yang sehat.
Rationalisme merupakan kelanjutan dari perlawanan terhadap ajaran-ajaran yang
bersifat dogmatis dan tradisi, yang mulai tampak pada abad ke-15 dan ke-16. menurut
rationalisme, pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pengamatan alat dria (induksi)
masih diragukan kebenarannya. Yang jelas dapat dipercaya adalah kenyataan, bahwa
manusia itu berpikir. Ia berpikir dengan akalnya, maka akal budinya itulah yang
berkuasa dalam hidupnya.
Penyebab manusia berpikir tidak terletak pada manusia sendiri, tetapi pada Tuhan. Yang
mengatakan hal itu adalah budi atau akal kita. Budi itulah yang menetapkan norma-
norma hidup. Rationalisme menempatkan budi itu di atas wahyu Ilahi. Budi menetapkan
apa yang dapat kita terima dan apa yang tidak, juga di lapangan agama.
Beberapa ahli pendidikan besar yang menguasai paedagogik (ilmu mendidik) pada abad ke-
18 di antaranya adalah:
1. John Locke
Sistem pendidikannya sesuai dengan teori tabula-rasa, percaya bahwa pendidikan itu
maha kuasa. Jiwa seorang anak sama dengan sehelai kertas putih yang kosong, yang
dapat ditulisi sekehendak hati oleh pendidik, sehingga semua pengetahuan datang dari
luar karena pengaruh faktor-faktor lingkungan. Locke tidak mempermasalahkan sama
sekali pengaruh pembawaan si anak. Dalam paedagogik, aliran ini disebut Paedagogis
optimisme, sebagai lawan dari paedagogis pessimisme (nativisme) yang menganggap
bahwa perkembangan jiwa itu adalah hasil daripada faktor pembawaan belaka. Bagi
Locke bentuk pengajaran yang terbaik adalah belajar sambil bermain. Nilai formil lebih
penting daripada nilai materiil, oleh karena itu Locke lebih mengutamakan pembentukan
kesusilaan daripada pembentukan akal.
Dalam pendidikan kesusilaan, manusia itu harus selalu dapat menguasai diri sendiri dan
memiliki rasa harga diri. Sejak kecil anak harus dibiasakan berbuat baik, untuk itu
pendidik hendaknya memegang teguh kewibawaannya. Ia tidak setuju dengan hukuman
jasmani dan pemeberian hukuman.
Dalam pendidikan agama, Locke memperingatkan agar pelaksanaan pendidikan
keagamaan tidak berlebih-lebihan. Ia menganggap injil tidak tepat bagi anak-anak,
kecuali beberapa ceritera sebagai bahan bacaan anak-anak. Pengaruh Locke di Inggris
tampak di sekolah-sekolah bagi anak-anak bangsawan (public school). Ajaran dan cita-
citanya sebagian kita jumpai lagi pada Rousseau dan kaum Philanthropijn.

2. J.J. Rousseau (1712-1778)


Cita-cita pendidikan Rousseau kita jumpai dalam bukunya “Emile”, yang ditulisnya bagi
golongan bangsawan dan kaum terpelajar. Ketika itu anak-anak golongan tersebut mendapat
pendidikan dari gubernur-gubernur, yang tidak mengenal perkembangan anak yang
sewajarnya dan tidak memberikan kebebasan.
Tujuan pendidikan menurutnya adalah membentuk manusia yang bebas dan merdeka. Sifat
pendidikan yang dijalankan individualistis, anak harus dijauhkan dari pengaruh masyarakat,
bahkan dari pengaruh orang tuanya.
Dasar pendidikannya adalah pembawaan anak yang baik. Ia percaya bahwa anak sejak lahir
berpembawaan baik. Jika kelak anak itu berkelakuan buruk, hal itu disebabkan karena
adanya pengaruh-pengaruh jahat dari dunia sekitar/lingkungannya.
PERKEMBANGAN PENDIDIKAN PADA ABAD KE-19

Pada abad ini, pendidikan mengalami kemajuan yang sangat pesat. Beberapa
penyebab terjadinya kemajuan tersebut adalah:
1. Revolusi Prancis
Revolusi prancis yang terjadi sejak tahun 1789, berupa kebangkitan kasta ketiga
menimbulkan gelombang demokrasi hampir di seluruh Eropa. Kasta ini menuntut hak-
haknya di lapangan politik, diikuti pula adanya perlawanan terhadap kaum bangsawan
dan agama. Perlawanan ini muncul akibat meluasnya cita-cita pencerahan, yang
mengemukakan teori tentang manusia yang mempunyai derajat sama, tidak terpengaruh
oleh kelahiran, kasta, atau kepercayaan. Semboyan kebebasan, persamaan, dan
persaudaraan bergema di sluruh dunia Barat.
Pengaruhnya dalam bidang pendidikan, rakyat umum menuntut pula hak-haknya di
lapangan pendidikan dan pengajaran. Bahwa pengajaran jangan hanya dinikmati oleh
kaum bangsawan dan hartawan saja. Orang mulai menganggap bahwa sekolah sebagai
suatu lembaga penting yang dapat memelihara dan memajukan negara dan masyarakat.
Oleh karena itu pengajaran harus diperluas dan harus diselenggarakan oleh negara
(bukan gereja). Revolusi di bidang pendidikan mencapai puncaknya ketika Konvensi
Nasional berhasil memberikan pendidikan gratis kepada semua warga negara (1791).

2. Revolusi Industri
Perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu alam menyebabkan perubahan
besar di sektor industri. Perkembangan teknik menghasilkan penemuan-penemuan baru
dan memungkinkan munculnya berbagai industri, yang sebelumnya dikerjakan dengan
tangan, mulai dikerjakan dengan mesin. Pabrik-pabrik tumbuh di mana-mana. Revolusi
industri ini dimulai di Inggris, kemudian tersebarluas hingga pada abad ke-19
pengaruhnya tampak di hampir seluruh dunia.
Pengaruh revolusi industri di bidang pendidikan dan pengajaran cukup besar. Sejak itu
pengajaran harus diberikan pada jumlah murid yang besar (pengajaran massa). Sistem
pengajaran sekepala diganti dengan sistem pengajaran klasikal.

Di bawah ini beberapa tokoh pendidikan yang besar pengaruhnya pada abad ke-19, yaitu:
1. Johan Heinrich Pestalozzi (1746-1827)
Dilahirkan di Zurich (Swiss). Pestalozzi memulai usahanya di bidang pendidikan
dengan mendirikan sebuah rumah yang diberi nama “Neuhof”, yang dijadikannya rumah
pendidikan untuk 50 orang anak-anak terlantar. Anak-anak itu bekerja disitu, seperti
bercocok tanam, bertenun, dan beternak. Sesudah itu baru diajarkannya membaca,
menulis, dan berhitung. Walaupun usahanya ini pernah gagal karena kurangnya dana,
namun akhirnya mengalami jaman keemasannya juga. Muridnya banyak dan memiliki
staf guru-guru yang kuat. Ia banyak mendapat kunjungan dari berbagai negara yang
bermaksud untuk mempelajari metode mengajarnya.
Cita-cita pendidikannya, Pestalozzi menghendaki pendidikan yang disesuaikan dengan
perkembangan jiwa anak. Bakat yang dibawa anak sejak lahir harus dikembangkan,
sehingga anak dapat mencapai kepribadian yang sejati. Tugas pendidik adalah menolong
anak dalam pembentukan diri sendiri. Pestalozzi menghendaki perbaikan masyarakat
melalui pendidikan individu dengan pertolongan keluarga, terutama oleh ibu.
Dalam didaktiknya, semua pengajaran harus berpangkal pada pengamatan benda-benda
yang sebenarnya. Pestalozzi membedakan tiga unsur yang harus dikembangkan oleh
pengajaran, yaitu: Bunyi (kata); Bentuk; dan Bilangan.

2. Johann Friedrich Herbart (1776-1841)


Lahir di Oldenburg (Jerman). Setelah belajar pada ilmu filsafat di Universitas di Yena,
ia menjadi Gubernur dan kemudian Mahaguru dalam ilmu filsafat pada beberapa
universitas di Jerman. Herbart adalah seorang pelopor yang terbesar dari
intelektualisme, yaitu sebuah paham bahwa kemajuan di bidang rohaniah hanya dapat
dicapai melalui akal dan pengetahuan saja.
Pada tahun 1806 ia menulis Allgemeine Paedagogik (paedagogik umum), yang
merupakan ilmu mendidik yang berdasarkan ilmu filsafat dan ilmu jiwa. Herbart adalah
seorang ahli fikir pertama yang melihat paedagogik sebagai ilmu pengetahuan praktis
yang berdasarkan pada:
a. ilmu filsafat, yang menentukan tujuan pendidikan;
b. ilmu jiwa, yang menentukan jalan dan alat-alat untuk sampai pada tujuan itu.
Tujuan pendidikan menurut Herbart adalah kebajikan, dan untuk mendapatkannya
diperlukan pengetahuan. Maka pendidikan dan pengetahuan berfungsi memberikan
pengetahuan itu.
Pengertian dari pengetahuan dan bagaimana cara mencapainya diuraikan dalam ilmu
jiwanya, yang terkenal dengan nama “teori tanggapan” atau “ilmu jiwa tanggapan”. Ia
menentang teori daya dari Aristoteles, bahwa perasaan dan kehendak dianggap sebagai
daya-daya jiwa yang berdiri sendiri dan terpisah dari tanggapan-tanggapan. Menurutnya
semua gejala jiwa berdasarkan pada tanggapan-tanggapan. Perasaan, hasrat, dan
kemauan adalah keadaan-keadaan khusus yang timbul karena asosiasi tanggapan yang
silih berganti muncul dalam kesadaran. mEmiliki tanggapan-tanggapan berarti memiliki
pengetahuan.
Bila tidak ada tanggapan-tanggapan, tidak akan mungkin timbul kemauan. Kemauan
adalah kelanjutan dari sejumlah tanggapan. Oleh karenanya, pengajaran berfungsi
memberikan tanggapan-tanggapan yang sebanyak-banyaknya, sehingga dapat
mempengaruhi dan mengatur kemauan (juga kesusilaan). Itulah inti dari
“intelektualisme” menurut Herbart. Dengan demikian, kesusilaan dapat dikuasai atau
dipengaruhi melalui intelektual (akal), yang penuh dengan tanggapan-tanggapan. Oleh
karena itu, seharusnya tanggapan-tanggapan itu jelas dan terang.
Dalam mencapai tujuan pendidikan, dibutuhkan 3 alat pendidikan, yaitu:
a. pemerintahan, untuk membiasakan anak agar taat kepada kehendak pendidik. Dalam
hal ini diperlukan: pengawasan, memberikan perintah, larangan, ancaman, dan
hukuman. Jadi merupakan tindakan preventip;
b. siasat menuju pembentukan kesusilaan dan ke arah pemberian pimpinan untuk
sampai pada keteguhan watak, pada kesusilaan yang sebenarnya. Untuk itu, dijaga
agar anak tetap setia pada kehendak berbuat baik, dan;
c. pengajaran, yang bermaksud memberikan sejumlah besar tanggapan-tanggapan yang
jelas dan terang.
Syarat agar tujuan pengajaran dapat tercapai adalah:
a. pengajaran harus menarik perhatian;
b. tanggapan-tanggapan baru diberikan berdasarkan hal-hal yang telah dikenal,
berdasarkan tanggapan-tanggapan yang telah ada (apersepsi);
c. pengertian-pengertian yang jelas diberikan dengan mempergunakan metode
mengajar yang teratur;
d. bahan pelajaran harus sebanyak mungkin berhubungan satu sama lain, sehingga
semua yang dipelajari merupakan suatu kesatuan yang bulat (asas konsentrasi).
3. Friedrich Frobel (1782-1852)
Dilahirkan di Thuringen (Jerman) pada 1782. Dia pertama kali mendirikan sebuah
sekolah bagi anak-anak kecil pada tahun 1837 di Blankenburg, yang dinamakannya
“kindergarten” (Taman Kanak-kanak). Di sekolah tersebut diutamakan bermain,
menyanyi dan pekerjaan tangan.
Dalam bukunya Menschenerziehung Frobel mencoba memberikan dasar filsafat pada
sistim pendidikannya. Pokok ajarannya adalah sebagai berikut: “segala sesuatu
merupakan satu kesatuan yang dikuasai oleh satu hukum yang sama dan sumber yang
sama, yaitu Tuhan. Tuhan ada pada segenap isi alam semesta. Tuhan menciptakan
manusia menurut contohnya. Oleh karena itu, manusia harus bekerja dan berkarya
menurut contoh Tuhan. Dorongan untuk mencipta ini ada pada setiap manusia, juga
pada anak. Dorongan mencipta pada anak harus dikembangkan dengan seksama, karena
anak harus dibentuk menjadi manusia yang berbudi baik dan dapat menciptakan serta
memajukan kebudayaan.”
Frobel menghendaki agar pengajaran disesuaikan dengan kebutuhan dan alam anak-
anak. Anak-anak harus dibawa ke arah ketertiban, penguasaan diri, dan keaktifan. Hal
itu dapat dicapai dengan jalan pekerjaan, karena pada setiap anak selalu ada dorongan
untuk bekerja. usaha Frobel untuk memuaskan dorongan ini pada anak adalah dengan
jalan menyuruhnya bekerja di kebun dan mengikuti kegiatan permainan yang
dipimpinnya sendiri. “suruhlah anak itu bermain, tidak ada yang lain selain bermain,
sampai ia berumur 7 tahun.” Setiap anak mempunyai kebunnya sendiri di sekolah.
dengan demikian dapat terlatih daya kerja anak dan mereka belajar bergaul dengan
teman-temannya.
Pada permainan Frobel banyak mempergunakan imajinasi anak, dengan jalan menyuruh
anak sambil bermain membuat dan menyusun bermacam-macam benda. Ia berpedoman
pada suatu prinsip, bahwa saat memberikan alat-alat permainan hendaknya diperhatikan
urutan yang teratur, mulai dari benda-benda yang sederhana, meningkat sampai pada
benda yang paling rumit.
Karya Frobel yang terkenal dengan nama Spielgaben, terdiri dari 5 jenis alat permainan,
yaitu:
a. terdiri dari sebuah kotak berisi 6 bola dari wol. Warnanya bermacam-macam
seperti warna pelangi. Anak-anak harus bermain dengan bola itu. Dengan itu
mereka mendapatkan pengertian seperti: ke kiri- ke kanan, ke muka – ke
belakang, dan sebagainya;
b. terdiri dari sebuah bola kayu, sebuah kubus kayu, dan sebuah silinder kayu. Bola
dan kubus merupakan suatu pertentangan, yakni dari gerak dan istirahat. Silinder
adalah bentuk peralihan;
c. terdiri dari sebuah kubus yang dapat dibagi menjadi 8 kubus kecil. Anak-anak
harus menyusun kubus-kubus tersebut sampai timbul “bentuk kehidupan” (misal,
2 kubus disusun ke atas menjadi meja), dan “bentuk keindahan” (misal, 4 kubus
merupakan sebuah bujur sangkar);
d. sebuah kubus yang dapat dibagi menjadi 8 prisma;
e. sebuah kubus yang dibagi atas 27 kubus-kubus kecil.
Dengan alat permainan yang keempat dan kelima anak-anak harus menyusun bentuk-
bentuk yang lebih pelik. Disamping bahan-bahan tersebut, ia juga memberikan alat-
alat lain seperti: bilah-bilah untuk disusun, kertas-kertas anyaman, manik-manik.
Semua alat tersebut berfungsi sama , yaitu mengembangkan kegiatan sendiri.
Selain itu anak-anak diberi pula kesempatan untuk mempelajari pelajaran seperti:
menggambar, bercerita, syair, mengamati binatang dan tumbuh-tumbuhan. Pada
prinsipnya, dengan permainan yang dapat mengembangkan imajinasi anak, maka
berkembanglah dorongan mencipta pada anak. Dengan demikian Frobel mengubah
prinsip sekolah, dari sekolah dengar menjadi sekolah kerja.
Tujuan pendidikan bagi Frobel adalah “memperkuat daya mencipta pada manusia
dengan mempergunakan semua alat, dan dimulai sejak kecil”.
SEJARAH PENDIDIKAN DI INDONESIA

Zaman Purba

Kebudayaan yang berkembang pada penduduk asli disebut Paleolitis (kebudayaan


lama/tua), sedangkan kebudayaan moyang bangsa Indonesia disebut neolitis (kebudayaan
baru) yang menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Tata masyarakatnya bersifat
egaliter, tidak ada stratifikasi yang jelas. Masyarakatnya dipimpin oleh pemuka adat.
Tujuan pendidikan saat itu adalah agar generasi muda dapat mencari nafkah, membela
diri dan hidup bermasyarakat. Belum ada pendidikan formal, maka kurikulum pendidikannya
meliputi pengetahuan, sikap, dan ketrampilan mengenai agama

Sejarah Pendidikan pada Zaman Hindu-Budha


Masuknya kebudayaan Hindu di beberapa daerah di pulau Jawa menjadi titik awal
zaman sejarah tulis menulis di Indonesia. Tulisan dengan huruf Pallawa yang berisi sastra,
agama, sejarah, etika menjadi sumber pendidikan golongan raja-raja dan bangsawan.
Pendidikan mengharuskan anak-anak, pemuda dan orang dewasa mempelajari huruf Pallawa.
Zaman pemerintahan Erlangga (990-1049) banyak buku-buku bahasa, sastra, hukum, filsafat
diterjemahkan ke bahasa Jawa kuno (Kawi) sehingga lahirlah guru-guru profesional pada
zamannya. Seorang guru profesional harus lahir dari kasta Brahmana sedang muridnya bisa
terdiri dari kasta Brahmana sendiri sandar 2 kasta di bawahnya, sebab kasta sudra tidak
diperkenankan menjadi murid.
56 Puncak pendidikan Budha dicapai pada zaman Sriwijaya. Guru terkenal pada zaman
Sriwijaya ialah Darmapala dari Nalanda. Tahun 685, I Tsing (seorang Budhis Cina) yang
pulang dari India singgah di Sriwijaya menerjemahkan 100 buku agama Budha ke dalam
bahasa Cina. Bermula dari hal ini, agama Budha banyak dipelajari orang-orang sehingga
akhirnya Budha berkembang di pulau Jawa.
Sejarah Pendididkan Pada Zaman Kerajaan Islam
Pada abad ke-13 Islam masuk ke Indonesia. Kerajaan Islam pertama di Jawa ialah
Demak, di Aceh Samudra Pasai, di Sulawesi kerajaan Goa dengan Raja Goa Alaudin dan di
daerah Maluku Kesultanan Ternate. Dari kerajaan-kerajaan itulah menjadi pusat penyebaran
agama Islam sehingga Islam tersebar ke seluruh nusantara. Bermula dari penyebaran Islam di
dalamnya inklusif pendidikan bercorak Islam tradisional dikembangkan. Sebagai pusat
perkembangan Islam, para kiai mendirikan pondok pesantren. Dalam pondok pesantren itu
para kiai hidup bersama santri memperdalam agama Islam.
Penyelenggaraan pendidikan agama Islam masih bersifat perorangan. Para kiai
membina umat Islam di daerahnya masing-masing dengan mendirikan pondok pesantren.
Terkenallah peran Walisanga di Jawa, para syeh Minangkabau dan pada akhirnya berdiri
kesultanan-kesultanan sebagai pusat pemerintahan dan pusat penyebaran Islam.
Tujuan pendidikan Islam pada saat itu adalah mengabdi sepenuhnya kepada Allah
sesuai dengan tuntunan rasul Muhammad SAW ( Al Qur’an dan Sunah). Materi pendidikan
yang diberikan para kiai adalah keimanan, ketaqwaan, dan akhlaq. Untuk memperdalam ilmu
tauhid diberikan juga Arkanul Iman.
Untuk mencapai tujuan tersebut diberikan program belajar yang meliputi:
1. Membaca Al Qur’an;
2. Ibadat (berwudlu, shalat);
3. Keimanan;
4. Akhlaq.
Cara belajar saat itu adalah dengan model sorogan dan klasikal. Model sorogan atau
individual dilakukan dengan anak santri duduk bersila berhadapan dengan guru gaji untuk
membaca Al Qur’an, secara bergantian satu persatu sesuai dengan kemajuannya masing-
masing. Demikian pula dalam hal belajar berwudlu, salat seorang santri dibimbing langsung
oleh guru. Pendidikan akhlaq diberikan secara klasikal, guru bercerita tentang tarikh nabi,
Sahabat nabi, sifat-sifat terpuji atau yang tercela dengan materi para tokoh pada zamannya.
Lama belajar tidak ditentukan, sangat bergantung pada kemampuan, kerajinan dan kemauan
anak. Karena itu belajar tidak dipungut biaya. Hal ini berlangsung sampai masuknya
kebudayaan barat.
PENDIDIKAN PADA MASA PORTUGIS

Seorang penguasa dari portugis di Maluku bernama Antonio Galvano mendirikan sebuah
sekolahan Missionaris untuk anak-anak pemuka pribumi adapun sekolahan mengajarkan
beberapa pelajaran seperti :
1. Membaca
2. Menulis
3. berhitung dan agama
Metode yang di pergunakan berupa: Ceramah, Menghapal, Mengkaji ulang pekerjaan
Adapun ciri-ciri pendididkan pada masa Portugis yaitu:
1.Yang memberikan pelajaran biasanya di panggil pastur atau pendeta
2.Metode yang diajarkan bersifat ceramah,menghafal,mengkaji ulang pekerjaan
3.Waktu belajar pada hari minggu
4. bersifat klasikal

Pendidikan pada Masa Kolonial Belanda


Pendidikan selama penjajahan Belanda dapat dipetakan ke dalam 2 (dua) periode besar,
yaitu pada masa VOC (Vereenigde Oost-indische Compagnie) dan masa pemerintah Hindia
Belanda (Nederlands Indie). Pada masa VOC yang merupakan sebuah kongsi (perusahaan)
dagang, kondisi pendidikan di Indonesia dapat dikatakan tidak lepas dari maksud dan
kepentingan komersial.
A. Zaman VOC (Kompeni)
Orang Belanda datang ke Indonesia bukan untuk menjajah melainkan untuk
berdagang. Mereka dimotivasi oleh hasrat untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-
besarnya, sekalipun harus mengarungi laut yang berbahaya sejauh ribuan kilometer dalam
kapal layar kecil untuk mengambil rempah-rempah dari Indonesia. Namun pedagang itu
merasa perlunya memiliki tempat yang permanen di daratan dari pada berdagang dari kapal
yang berlabuh di laut. Kantor dagang itu kemudian mereka perkuat dan persenjatai dan
menjadi benteng yang akhirnya menjadi landasan untuk menguasai daerah di sekitarnya.
Lambat laun kantor dagang itu beralih dari pusat komersial menjadi basis politik dan
teritorial. Setelah peperangan kolonial yang banyak akhirnya Indonesia jatuh seluruhnya di
bawah pemerintahan Belanda. Namun penguasaan daerah jajahan ini baru selesai pada
permulaan abad ke 20.
Metode kolonialisasi Belanda sangat sederhana. Mereka mempertahankan raja-raja
yang berkuasa dan menjalankan pemerintahan melalui raja-raja itu akan, tetapi menuntut
monopoli hak berdagang dan eksploitasi sumber-sumber alam. Adat istiadat dan kebudayaan
asli dibiarkan tanpa perubahan aristokrasi tradisional digunakan oleh Belanda untuk
memerintah negri ini dengan cara efisien dan murah. Oleh sebab Belanda tidak mencampuri
kehidupan orang Indonesia secara langsung, maka sangat sedikit yang mereka perbuat untuk
pendidikan bangsa. Kecuali usaha menyebarkan agama mereka di beberapa pulau di bagian
timur Indonesia. Kegian pendidikan pertama yang dilakukan VOC.
Pada permulaan abad ke-16 hampir seabad sebelum kedatangan Belanda, pedagang
Portugis menetap di bagian timur Indonesia tempat rempah-rempah itu dihasilkan. Biasanya
mereka didampingi oleh misionaris yang memasukkan penduduk ke dalam agama katolik
yang paling berhasil diantara mereka adalah Ordo Jesuit di bawah pimpinan Feranciscus
Xaverius. Xaverius memandang pendidikan sebagai alat yang ampuh untuk penyebaran
agama.
Seminari dibuka di Ternate, kemudian di Solo dan pendidikan agama yang lebih
tinggi dapat diperoleh di Goa, India, pusat kekuasaan Portugis saat itu. Bahasa Portugis
hampir sama populernya dengan bahasa Melayu, kedudukan yang tak kunjung dicapai oleh
bahasa Belanda dalam waktu 350 tahun penjajahan kekuasaan portugis melemah akibat
peperangan dengan raja-raja Indonesia dan akhirnya dilenyapkan oleh Belanda pada tahun
1605.
B. Zaman Pemerintahan Belanda Setelah VOC
Setelah VOC dibubarkan, para Gubernur/Komisaris Jendral harus memulai sistem
pendidikan dari dasarnya, karena pendidikan zaman VOC berakhir dengan kegagalan total.
Pemerintahan baru yang diresapi oleh ide-ide liberal aliran aufklarung atau Enlightenment
menaruh kepercayaan akan pendidikan sebagai alat untuk mencapai kemajuan ekonomi dan
social. Pada tahun 1808 Deandels seorang Gubernur Belanda mendapat perintah Raja
Lodewijk untuk meringankan nasib rakyat jelata dan orang-orang pribumi poetra, serta
melenyapkan perdagangan budak. Usaha Deandels tersebut tidak berhasil, bahkan menambah
penderitaan rakyat, karena ia mengadakan dan mewajibkan kerja paksa (rodi).
Di dalam lapangan pendidikan Deandels memerintahkan kepada Bupati-bupati di
pulau Jawa agar mendirikan sekolah atas usaha biaya sendiri untuk mendidik anak-anak
mematuhi adat dan kebiasaan sendiri. Kemiduan Deandels mendirikan sekolah Bidan di
Jakarta dan sekolah ronggeng di Cirebon. Kemudian pada masa (interregnum Inggris)
pemerintahan Inggris (1811-1816) tidak membawa perubahan dalam masalah pendidikan
walaupun Sir Stamford Raffles seorang ahli negara yang cemerlang. Ia lebih memperhatikan
perkembanagan ilmu pengetahuan, sedangkan pengajaran rakyat dibiarkan sama sekali. Ia
menulis buku History of Java.
Gubernur Jendral Van der Capellen (1819-1823) menganjurkan pendidikan rakyat dan
pada tahun 1820 kembali regen-regen diinstruksikan untuk menyediakan sekolah bagi
penduduk untk mengajar anak-anak membaca dan menulis serta mengenal budi pekerti yang
baik. Anjuran Gubernur Jendral itu tidak berhasil untuk mengembangkan pendidikan oleh
regen yang aktif.
Tahun 1826 lapangan pendidikan dan pengajaran terganganggu oleh adanyan usaha-
usaha penghematan. Sekolah-sekolah yang ada hanya bagi anak-anak Indonesia yang
memeluk agama Nasrani. Alsannya adalah karena adanya kesulitan financial yang berat yang
dihadapi orang Belanda sebagai akibat perang Diponegoro (1825-1830) yang mahal dan
menelan banyak korban seerta peperangan antara Belanda dan Belgia (1830-1839).
Kesulitan keuangan ini menyebabkan raja Belanda untuk meninggalkan prinsip-
prinsip liberal dan menerima rencana yang dianjurkan Van den Bosch, bekas Gubernur di
Guyana, jajahan Belanda di Amerika Selatan, untuk memanfaatkan pekerjaan budak menjadi
dasar eksploitasi colonial. Ia membawa ide penggunaan kerja paksa(rodi) sebagai cara yang
ampuh untuk memperoleh cara usaha maksimal, yang kemudian terkenal dengan cultuur
stelsel atau tanam paksa yang memaksa penduduk untuk menghasilkan tanaman yang
diperlukan dipasaran Eropa.
Pada tahun 1893 timbullah differensiasi pengajaran bumi putera. Hal ini disebabkan
oleh:
1. Hasil sekolah-sekolah bumi putra kurang memuaskan pemerintah colonial. Hal ini terutama
sekali desebabkan karena isi rencana pelaksanaannya terlalu padat.
2. Dikalangan pemerintah mulai timbul perhatian pada rakyat jelata. Mereka insyaf bahwa yang
harus mendapat pengajaran itu bukan hanya lapisan atas saja.
3. Adanya kenyataan bahwa masyarakat Indonesia mempunyai kedua kebutuhan dilapangan
pendidikan, yaitu lapisan atas dan lapisan bawah. Untuk mengatur dasar-dasar baru bagi
pengajaran bumi putra, keluarlah indisch staatsblad 1893 nomor 125 yang membagi sekolah
bumi putra menjadi dua bagian :
a. Sekolah-sekolah kelas I untuk anak-anak priyai dan kaum terkemuka.
b. Sekolah-sekolah kelas II untuk rakyat jelata
Perbedaan sekolah kelas I dan kelas II antara lain:
1. Kelas I
 Tujuan: memenuhi kebutuhan pegawai pemerintah, perdagangan dan perusahaan.
 Lama bersekolah: 5 tahun
 Mata pelajarannya: membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, sejarah, pengetahuan alam,
menggambar, dan ilmu ukur.
 Guru-guru: keluaran Kweekschool
 Bahasa pengantar: Bahasa Daerah/Melayu
2. Kelas II
 Tujuan: Memenuhi kebutuhan pengajaran di kalangan rakyat umum
 Lama bersekolah: 3 tahun
 Mata paelajaran: Membaca, menulis dan berhitung.
 Guru-guru: persyaratannya longgar
 Bahasa pengantar: Bahasa Daerah/Melayu
Pada tahun 1914 sekolah kelas I diubah mejadi HIS (Hollands Inlandse School)
dengan bahasa pengantar bahasa Belanda sedangkan sekolah kelas II tetap atau disebut juga
sekolah vervolg (sekolah sambungan) dan merupakan sekolah lanjutan dari sekolah desa
yang mulai didirikan sejak tahun 1907.
C. Politik Etika dan pengajaran
Indonesia yang kaya raya ini di keruk terus menerus oleh penjajah Belanda.
Keuntungan mengalir terus ke negeri Belanda. Rakyat Indonesia tetap miskin. Keadaan ini
sangat menggelisahkan kaum Importir Belanda yang membawa barang hasil industry dari
Eropa ke Indonesia. Mereka tidak dapat menjual barangnya karena daya beli masyarakat
sangat rendah, sedangkan industri di negeri Belanda sedang pesat. Mereka menginginkan
agar Indonesia yang banyak penduduknya itu menjadi pasar bagi industry Belanda.
Sedangkan para eksportir mendapat laba besar dengan membawa barang mentah dari
Indonesia. Untuk memenuhi kaum importir tidak ada jalan lain yang harus segera ditempuh
selain memperbaiki dan membuat ekonomi rakyat Indonesia yang sudah rusak.
Selain itu pada tahun 1899 terbit sebuah artikel oleh Van Devender berjudul “Hutang
Kehormatan” dalam majalah De Gids. Disitu ia mengemukakan bahwa keuntungan yang
diperoleh oleh Indonesia selama ini hendaknya dibayar kembali dari perbendaharaan Negara.
Peristiwa itu dapat dipandang sebagai ekspresi ide yang baru kemudian dikenal dengan
politik etika. Van Devender menganjurkan program ini untuk memajukan kesejahteraan
rakyat dengan memperbaiki irigasi agar memprodusi pertanian, menganjurkan trasmigrasi
dan perbaikan dalam lapangan pendidikan. Ia juga mengembangkan pengajaran bahasa
Belanda secara cultural lebih maju dan dapat menjadi pelopor bagi bangsanya.
Factor lain yang menyebabkan berlangsungnya politik etika ini ialah kebangkitan
Nasional dengan berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908, serikat islam partai politik pertama
di Indonesia yang didasarkan atas organisai Barat didirikan tahun 1919, adanya volksraad
tahun 1918 yang merupakan saluran bagi orang Indonesia untuk menyatakan pendapatnya.
Sejak dilaksanakannya politik etika tampak sekali kemajuan dalam pendidikan dengan
diperbanyaknya sekolah rendah, sekolah yang berorientasi Barat untuk orang Cina dan
Indonesia didirikan .Demikian juga pendidikan dikembangkan secara vertical dengam
didirikannya MULO dan AMS yang terbuka bagi anak Indonesia untuk melanjutkan ke
tingkat universitas.
Dalam rangka memperbaiki pengajaran rendah bagi kaum bumi putra, maka pada
tahun 1907 diambil dua tindakan penting yaitu:
1) Memberi corak dan sifat kebelandaan-belandaan pada sekolah kelas I, misalnya:
a. Bahasa Belanda dijadikan mata pelajaran sejak kelas 3
b. Di kelas 6 bahasa Belanda dijadikan bahasa pengantar
c. Lama belajar menjadi 7 tahun
d. Tahun 1914 dijadikan KIS dan menjadi bagian pengajaran rendah barat
e. Murid-muridnya anak-anak bangsawan dan terkemuka
2) Mendirikan sekolah desa
Maksud pemerintah untuk memperhatikan kepentingan rakyat Indonesia tidak
tercapai, karena sekolah-sekolah bumi putra kelas II merupakan lembaga yang mahal dan
memerlukan anggaran yang besar. Maka atas perintah Gubernur Jendral Van Heutsz tahun
1907 didirikan sekolah-sekolah desa. Bangunannya didirikan oleh desa dan guru-gurunya
juga diangkat oleh desa pula, jadi bukan pegawai negeri.
Jadi susunan pengajaran bagi anak-anak Indonesia untuk sekolah rendah ada tiga,
yaitu:
 Sekolah Desa, bagi anak-anak biasa
 Sekolah kelas II, yang kemudian diubah menjadi sekolah Vervolg
 Sekolah kelas I, yang sejak tahun 1914 dijadikan HIS bagi anak-anak bangsawan dan
aristocrat
D. Sistem persekolahan pada zaman pemerintahan Hindia Belanda
Secara umum sistem pendidikan khususnya system persekolahan didasarkan kepada
golongan penduduk menurut keturunan atau lapisan (kelas) social yang ada dan menurut
golongan kebangsaan yang berlaku waktu itu.
1. Pendidikan rendah (Lager Onderwijs)
Pada hakikatnya pendidikan dasar untuk tingkatan sekolah dasar mempergunakan system
pokok yaitu: Sekolah rendah dengan bahasa pengantar bahasa Belanda.
a) Sekolah rendah Eropa, yaitu ELS (Europese Lagere school), yaitu sekolah rendah untuk
anak-anak keturunan Eropa atau anak-anak turunan Timur asing atau Bumi putra dari tokoh-
tokoh terkemuka. Lamanya sekolah tujuh tahun 1818.
b) Sekolah Cina Belanda, yaitu HCS (Hollands Chinese school), suatu sekolah rendah untuk
anak-anak keturunan tmur asing, khususnya keturunan Cina. Pertama didirikan pada tahun
1908 lama sekolah tujuh tahun.
c) Sekolah Bumi putra Belanda HIS (Hollands inlandse school), yaitu sekolah rendah untuk
golongan penduduk Indonesia asli. Pada umumnya disediakan untuk anak-anak golongan
bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka atau pegawai negeri. Lamanya sekolah tujuh tahun dan
pertama didirikan pada tahun 1914.
Sekolah rendah dengan bahasa pengantar bahasa daerah
 Sekolah Bumi Putra kelas II (Tweede klasee). Sekolah ini disediakan untuk golongan bumi
putra. Lamanya sekolah tujuh tahun, pertama didirikan tahun 1892.
 Sekolah Desa (Volksschool). Disediakan bagi anak-anak golongan bumi putra. Lamanya
sekolah tiga tahun yang pertama kali didirikan pada tahun 1907.
 Sekolah Lanjutan (Vorvolgschool). Lamanya dua tahun merupakn kelanjutan dari sekolah
desa, juga diperuntukan bagi anak-anak golongan bumi putra. Pertama kali didirikan pada
tahun 1914.
2. Sekolah Peralihan (Schakelschool)
Merupakan sekolah peralihan dari sekolah desa (tiga tahun) ke sekolah dasar dengan
bahasa pengantar bahasa Belanda. Lama belajarnya lima tahun dan diperuntukan bagi anak-
anak golongan bumi putra. Disamping sekolah dasar tersebut diatas masih terdapat sekolah
khusus untuk orang Ambon seperti Ambonsche Burgerschool yang pada tahun 1922
dijadikan HIS. Untuk anak dari golongan bangsawan disediakan sekolah dasar khusus yang
disebut sekolah Raja (Hoofdensschool). Sekolah ini mula-mula didirikan di Tondano pada
tahun 1865 dan 1872, tetapi kemudian diintegrasi ke ELS atau HIS.
3. Pendidikan lanjutan = Pendidikan Menengah
a) MULO (Meer Uit gebreid lager school),
MULO (Meer Uit gebreid lager school), sekolah tersebut adalah kelanjutan dari sekolah
dasar yang berbahasa pengantar bahasa Belanda. Lama belajarnya tiga sampai empat tahun.
Yang pertama didirikan pada tahun 1914 dan diperuntukan bagi golongan bumi putra dan
timur asing. Sejak zaman jepang hingga sampai sekarang bernama SMP. Sebenarnya sejak
tahun 1903 telah didirikan kursus MULO untuk anak-anak Belanda, lamanya dua tahun.
b) AMS (Algemene Middelbare School)
AMS (Algemene Middelbare School) adalah sekolah menengah umum kelanjutan dari
MULO berbahasa belanda dan diperuntukan golongan bumi putra dan Timur asing. Lama
belajarnya tiga tahun dan yang petama didirikan tahun 1915. AMS ini terdiri dari dua jurusan
(afdeling= bagian), Bagian A (pengetahuan kebudayaan) dan Bagian B (pengetahuan alam )
pada zaman jepang disebut sekolah menengah tinggi, dan sejak kemerdekaan disebut SMA.
c) HBS (Hoobere Burger School)
HBS (Hoobere Burger School) atau sekolah warga Negara tinggi adalah sekolah
menengeh kelanjutan dari ELS yang disediakan untuk golongan Eropa, bangsawan golongan
bumi putra atau tokoh-tokoh terkemuka. Bahasa pengantarnya adalah bahasa belanda dan
berorentasi ke Eropa Barat, khususnyairikan pada belanda. Lama sekolahnya tiga tahun dan
lima tahun. Didirikan pada tahun 1860
4. Pendidikan Kejuruan (vokonderwijs )
Sebagai pelaksanaan politik etika pemerintah belanda banyak mencurahkan perhatian
pada pendidikan kejuruan. Jenis sekolah kejuruan yang ada adalah sebagai berikut:
a. Sekolah pertukangan (Amachts leergang) yaitu sekolah berbahasa daerah dan menerima
sekolah lulusan bumi putra kelas III (lima tahun) atau sekolah lanjutan (vervolgschool).
Sekolah ini didirikan bertujuan untuk mendidik tukang-tukang. didirikan pada tahun 1881
b. Sekolah pertukangan (Ambachtsschool) adalah sekolah pertukangan berbahasa pengantar
Belanda dan lamanya sekolah tiga tahun menerima lulusan HIS, HCS atau schakel.
Bertujuan untuk mendidik dan mencetak mandor jurusanya antara lain montir mobil, mesin,
listrik, kayu dan piñata batu
c. Sekolah teknik (Technish Onderwijs) adalah kelanjutan dari Ambachtsschool, berbahasa
Belanda, lamanya sekolah 3 tahun. Sekolah tersebut bertujuan untuk mendidik tenaga-tenaga
Indonesia untuk menjadi pengawas, semacam tenaga teknik menengah dibawah insinyur.
d. Pendidikan Dagang (Handels Onderwijs). Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan perusahaan
Eropa yang berkembang dengan pesat.
e. Pendidikan pertanian (landbouw Onderwijs) pada tahun 1903 didirikan sekolah pertaian
Yang menerima lulusan sekolah dasra yang berbahasa penganatar belanda. Pada tahun 1911
mulai didirikan sekolah pertanian (cultuurschool) yang terdiri dari dua jurusan, pertanian dan
kehutanan. Lama belajaranya sekitar 3-4 tahun, dan bertujuan untuk menghasilkan pengawas-
pengawas pertanian dan kehutanan. Pada rtahun 1911 didirikan pula sekolah pertanian
menengah atas (Middelbare Landbouwschool) yang menerima lulusan MULO atau HBS
yang lamanya belajar 3 tahun.
5. Pendidikan kejuruan kewanitaan (Meisjes Vakonderwijs).
Pendidikan ini merupakan kejuruan yang termuda. Kemudian sekolah yang sejenis
yang didirikn oleh swasta dinamakan Sekolah Rumah Tangga (Huishoudschool). Lama
belajarnya tiga tahun.
Pendidikan keguruan (Kweekschool). Lembaga keguruan ini adalah lembaga yang
tertua dan sudah ada sejak permulaan abad ke-19. Sekolah guru negeri yang pertama
didirikan pada tahun 1852 di Surakarta. Sebelum itu pemerintah telah menyelenggarakan
kursus-kursus guru yang diberi nama Normal Cursus yang dipersiapkan untuk menghasilkan
guru-guru sekolah desa. Pada abad ke-20 terdapat tiga macam pendidikan guru, yaitu:
Normalschool,sekolah guru dengan masa pendidikan empat tahun dan menerima
lulusan sekolah dasar lima tahun, berbahasa pengantar bahasa dearah.
Kweekschool, sekolah guru empat tahun yang menerima lulusan berbahasa belanda.
Hollandschool Indlandschool kweekschool, sekolah guru 6 tahun berbahasa pengantar
Belanda dan bertujuan menghasilkan guru HIS-HCS.
6. Pendidikan Tinggi (Hooger Onderwijs)
Karena terdesak oleh tenaga ahli, maka didirikanlah:
a) Sekolah Tehnik Tinggi (Technische Hoge School).
Sekolah Tehnik Tinggi ini yang diberi nama THS didirikan atas usaha yayasan pada
tahun 1920 di Bandung. THS adalah sekolah Tinggi yang pertama di Indonesia, lama
belajarnya lima tahun. Sekolah ini kemudian menjelma menjadi ITB.
b) Sekolah Hakim Tinggi (Rechskundige Hoge school).
RHS didirikan pada tahun 1924 di Jakarta. Lama belajarnya 5 tahun, yang tama AMS
dapat diterima di RHS. Tamatan ini dijadikan jaksa atau hakim pada pengadilan.
c) Pendidikan tinggi kedokteran.
Lembaga ini di Indonesia di mulai dari sekolah dasar lima tahun. Bahasa pengantarnya
bahasa melayu. pada tahun 1902 sekolah dokter Jawa diubah menjadi STOVIA (School Tot
Opleiding Voor Indische Artsen) yang menerima lulusan ELS, dan berbahasa pengantar
Belanda. Lama belajarnya 7 tahun. Kemudian syarat penerimaannya ditingkatkan menjadi
lulusan MULO. Pada tahun 1913 disamping STOVIA di Jakarta didirikan sekolah tinggi
kedokteran (Geneeskundige Hogeschool) Yang lama belajaranya 6 tahun dan menerima
lulusan AMS dan HBS.
E. Beberapa Ciri Umum Politik Pendidikan Belanda
Politik pendidikan colonial erat hubungannya dengan politik mereka pada umumnya,
suatu politik yang didominasi oleh golongan yang berkuasa dan tidak didorong oleh nilai-
nilai etis dengan maksud untuk membina kematangan politik dan kemerdekaan tanah
jajahannya. Berhubungan dengan sikap itu dapat kita lihat sejumlah ciri politik dan praktik
pendidikan tertentu.
 Menurut Tilaar (1995) dalam pandangannya menyebutkan ada lima ciri yang dapat ditemukan
pendidikan kita dimasa colonial belanda yaitu:
1) System Dualisme
Dalam system dualisme diadakan garis pemisahan antara system pendidikan untuk
golongan Eropa dan system pendidikan unutk golongan bumi putra. Jadi disini diadakan garis
pemisah sesuai dengan politik colonial yang membedakan antara bumi putra dan pihak
penjajah.
2) System Korkondasi
System ini berarti bahwa pendidikan didaerah penjajahan disesuaikan dengan pendidikan
yang terdapat di Belanda. System ini diasumsikan bahwa dengan System yang berkrkondasi
dengan system yang ada di negeri Belanda, maka mutu pendidikan terjamin setingkat
pendidikan di Negara Belanda.
3) Sentralisasi
Kebijakan pendidikan dizaman colonial diurus oleh departemen pengajaran. Departemen
ini yang mengatur segala sesuatu mengeani pendidikan dengan perwakilannya yang terdapat
dipropinsi-propinsi Besar.
4) Menghambat gerakan Nasional
Pendidikan pada masa itu sangat selektif karena bukan diperuntukan untuk masyarakat
pribumi putra untuk mendapatkan pendidikan dengan seluas-luasnya atau pendidikan yang
lebih tinggi. Didalam kurikulum pendidikan colonial pada waktu itu, misalnya sangat
dipentingkan penguasaan bahasa belanda dan hal-hal mengenai negeri belanda. Misalnya
dalam pengajaran ilmu bumi, anak-anak bumi putra harus menghapal kota-kota kecil yang
ada di negeri Belanda.
5) Perguruan swasta yang militer
Salah satu perguruan swasta yang gigih menentang kekuasaan colonial adalah seolah-olah
taman siswa yang didirikan oleh kihajar dewantara tanggal 3 juli 1922.
Tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis
Perkembangan pendidikan merupakan rangkaian kompromi antara usaha pemerintah
untuk memberikan pendidikan minimal bagi pribumi dan tuntutan yang terus menerus dari
pihak Indonesia untuk memperoleh pendidikan yang sama dengan orang Belanda.
Beberapa pendapat mengenai pendidikan di masa penjajahan Belanda, yaitu:
1) Menurut Kartodirdjo (1987) sistem pendidikan yang dualitas pada masa ini juga membuat
garis pemisah yang tajam antara dus subsistem: sistem sekolah Eropa dan sistem sekolah
pribumi. Tetapi pada tahun 1892 akhirnya dilakukan restrukturisasi terhadap persekolahan
karena kebutuhan yang sangat besar terhadap pegawai rendahan yang bisa berbahasa
Belanda, sebagaimana berikut:
a. Sekolah kelas satu atau eerste klasse untuk anak-anak golongan priyayi dengan pelajaran
bahasa Belanda;
b. Sekolah kelas dua atau tweede klasse untuk rakyat kebanyakan tanpa pelajaran bahasa
Belanda.
2) Menurut Soemanto dan Sooyarno dalam Rifa’i (2011: 59) konteks pendidikan dan
pengajaran ini pada prinsipnya adalah untuk memenuhi kebutuhan pegawai rendahan di
kantor-kantor pamong praja atau kantor-kantor yang lain.
Di zaman pemerintahan Hindia-Belanda ini, terdapat tiga jenis tingkatan pendidikan,
yaitu pendidikan rendah, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (Rifa’i, 2011: 59).
Pendidikan lebih dikhususkan pada anak-anak golongan priyayi. Dengan kebijakan tersebut,
diharapkan penduduk yang lebih rendah status sosialnya dapat mudah ditundukkan karena
pemerintah Belanda telah memegang golongan priyayi yang merupakan kaum elit (Ricklefs,
2001).
3) Menurut Ary Gunawan dalam Rifa’i (2011: 67), prinsip kebijakan pendidikan kolonial yaitu:
a. Pemerintah kolonial berusaha tidak memihak salah satu agama tertentu.
b. Pendidikan diarahkan agar para lulusannya menjadi pencari kerja, terutama demi
kepentingan kaum penjajah.
c. Sistem persekolahan disusun berdasarkan stratifikasi sosial yang ada dalam masyarakat.
d. Pendidikan diarahkan untuk membentuk golongan elite sosial (penjilat penjajah) Belanda.
e. Dasar pendidikannya adalah dasar pendidikan Barat dan berorientasi pada pengetahuan dan
kebudayaan barat.
Kesempatan mendapatkan pendidikan diutamakan kepada anak-anak bengsawan
bumiputera serta tokoh-tokoh terkemuka dan pegawai kolonial yang diharapkan kelak akan
menjadi kader pemimpin yang berjiwa kebarat-baratan atau condong ke Belanda dan
merupakan kelompok elite yang terpisah dengan masyarakatnya sendiri. Mereka akan
menjadi penyambung tangan-tangan penjajah sebagai upaya Belanda untuk memerintah
secara tidak langsung kepada masyarakat dan bangsa Indonesia (Rifa’i, 2011: 67-68).
Dengan adanya Politik Etis, terjadi perubahan penyelenggaraan pendidikan di
Indonesia. Bahasa Belanda mulai diberikan pula di sekolah Kelas I dan sekolah-sekolah guru.
Mr. JH. Abendanon menginginkan kursus/sekolah kejuruan (vak), termasuk juga sekolah bagi
kaum wanita (bersama dengan Van Deventer, Abendanon, menaruh perhatian pada usaha
R.A. Kartini). Sekolah teknik pertama kali dibuka pada 1909. Untuk membuka kesempatan
yang lebih luas bagi anak-anak bumiputera ke sekolah-sekolah atau melanjutkan sekolah, di
antaranya dibuka sekolah voorklas di MULO (kelas persiapan ke MULO). Sekolah-sekolah
desa diperbanyak. Namun demikian, masih ada perbedaan pelayanan bagi anak-anak
bumiputera dengan anak-anak Belanda, yaitu diturunkannya uang sekolah (hanya) untuk
sekolah Belanda. Anak-anak Indonesia diterima di sekolah Belanda masih dengan ragu-ragu
sehingga dengan dalih yang dibuat-buat akhirnya anak-anak Indonesia banyak yang tidak
diterima di sekolah-sekolah Belanda (Rifa’i, 2011: 73-74).
Secara tegas, tujuan pendidikan selama periode kolonial Belanda memang tidak pernah
dinyatakan, tetapi dari uraian-uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan
pendidikan antara lain adalah untuk memenuhi keperluan tenaga buruh kasar kaum modal
Belanda, di samping ada sebagian yang dilatih dan dididik untuk menjadi tenaga-tenaga
administrasi, tenaga teknik, tenaga pertanian, dan lain-lain yang dianggap sebagai pekerja-
pekerja kelas dua atau kelas tiga (Rifa’i, 2011: 76-77).
Menurut Ki Hajar Dewantara dalam salah satu pidatonya mengatakan bahwa Politik
Etis penjajah sepertinya akan lunak dengan kemajuan pendidikan pribumi, tetapi tetap saja
pola kebijakan pendidikan kolonial tersebut menunjukkan sifat intelektualis, alitis,
individualis dan materialis (Rifa’i, 2011: 83).
Setelah 1870, tak ada lagi pusat-pusat karena pendidikan dan pengajaran semakin
diperluas. Pada 1871, keluarlah UU Pendidikan yang pertama, yaitu pendidikan dan
pengajaran makin diarahkan kepada kepentingan penduduk bumiputra. Secara tidak
langsung, pengaruh Politik Etis terutama bidang pendidikan memberikan dampak positif bagi
munculnya kaum pendidik dan pergerakan Indonesia. Kesadaran akan pentingnya pendidikan
dan kemajuan bagi rakyat Indonesia dapat ditengarai dengan kemunculan tokoh-tokoh
pergerakan dan tokoh yang memerhatikan pendidikan bagi rakyat (Rifa’i, 2011: 80).
Tahun 1596, di bawah pimpinan Cornelis Ed Houtman, Belanda pertama kalinya
datang ke Indonesia. Misi kedatangannya adalah berdagang. Dengan menyusuri pantai Jawa,
Belanda akhirnya mencapai daerah Timur (Ambon dan sekitarnya). Mereka kembali dengan
membawa rempah-rempah yang cukup banyak. Sejak saat itu pedagang Belanda yang datang
ke Indonesia semakin ramai. Untuk menghindari persaingan, tahun 1602 Belanda mendirikan
VOC (Persatuan Dagang Hindia Timur). Dengan dalih perdagangan inilah, VOC terus
memperkuat perdagangannya. Lewat politik yang dilakukannya dengan raja-raja Jawa, VOC
sebagai kepanjangan tangan Belanda akhirnya menjadikan Indonesia sebagai daerah jajahan
(koloni).
Untuk lebih memperkuat kedudukan, Belanda mendirikan sekolah-sekolah bagi anak-
anak Indonesia. Sekolah ini bertujuan menghasilkan pegawai-pegawai rendahan baik untuk
pegawai negeri maupun pegawai swasta. Pembukaan sekolah itu didorong oleh kebutuhan
praktis berkaitan dengan pekerjaan di berbagai bidang dan kejuruan.
Secara umum kecenderungan penyelenggaraan pendidikan kolonial adalah sebagai
berikut:
A. Membiarkan terselenggaranya pendidikan Islam tradisional serta membantu mendirikan
beberapa madrasah Islamiah di Nusantara misalnya: Melanjutkan sistem lama dalam bentuk
pengajian Al-qur’an dan Kitab Kuning.
B. Mendirikan pondok pesantren modern misalnya di Jombang Ponpes Tebuireng, di Ponorogo
Ponpes Gontor.
C. Mendirikan sekolah agama atau madrasah misalnya madrasah adabiah di Aceh, Madrasah
maktab Islamiah di Tapanuli medan.
D. Mendirikan sekolah Zending (misionaris) yang bertujuan menyebarkan agama Kristen untuk
orang-orang Belanda dan buni putra. Beberapa sekolah yang didirikan Belanda misalnya:
1. 1607 mendirikan sekolah di Ambon dengan bahasa Melayu dan Belanda.
2. 1622 mendirikan sekolah di Kepulauan Banda lengkap dengan asrama.
3. 1630 mendirikan sekolah Warga Masyarakat di Jakarta untuk tingkat sekolah dasar yang
mendidik budi pekerti.
4. 16422 mendirikan sekolah latin (tingkat SMP) di Jakarta.
5. 1745 mendirikan Seminari Theologika untuk mendidik calon pendeta.
6. 1817 mendirikan sekolah dasar Eropa, untuk penduduk Eropa (semua orang Belanda, semua
orang yang asalnya dari Eropa, semua orang Jepang). Sekolah dasar ini terus berkembang,
pada tahun 1902 menjadi 173 buah.
7. 1860 mendirikan Gymnasium (sekolah lanjutan) Willem III, merupakan sekolah lanjutan
tingkat pertama untuk orang Eropa di Batavia.
8. 1848 atas keputusan Raja mendirikan 20 sekolah dasar Bumiputera di setiap Karesidenan
Jawa.
9. 1892 sekolah dasar dibagti menjadi dua kategori, yaitu: sekolah dasar Kelas Pertama ( de
schoolen der eerste klasse) untuk golongan Bumiputera (bangsawan & penduduk yang kaya)
dan sekolah dasar Kelas Dua (de schoolen der tweede klasse) untuk Bumiputera umum.
10. 1856 mendirikan sekolah guru (kweeksschool) di Surakarta, 1874 di Ambon, 1875 di
Probolinggo, 1875 di Banjarmasin, 1876 di Makassar, 1879 di Padang Sidempuan.k. 1851
mendirikan sekolah dokter Jawa dengan lama pendidikan 2 tahun setelah sekolah rakyat 5
tahun.
Dari sekolah-sekolah yang didirikan Belanda dapat dilihat beberapa ciri khas, antara
lain:
a) dualistik diskriminatif, yaitu untuk membedakan pendidikan untuk orang Eropa dan
Bumiputera.
b) Sentralistik, yaitu pemerintah kolonial Belanda memiliki hak mengatur pendidikan di daerah
koloninya.
c) Tujuannya untuk dapat menghasilkan tamatan yang menjadi warga negara Belanda kelas
dua.

Pendidikan pada Masa Pergerakan Nasional


Pergerakan nasional lahir karena penderitaan rakyat. Bangsa Indonesia tertinggal di
berbagai bidang, termasuk pendidikan. Sebagian rakyat buta huruf, karena tidak semua orang
bisa masuk sekolah. Dalam keadaan seperti itu, golongan pelajar yang mendapat kesempatan
masuk ke jenjang sekolah yang lebih tinggi saat itu tampil untuk mempelopori dan
memimpin pergerakan nasional. Termasuk pendiri Taman Siswa, Raden Mas Soewardi
Soeryaningrat atau yang biasa dikenal dengan Ki Hajar Dewantara.
Taman Siswa berdiri pada 3 Juli 1922. Taman Siswa merupakan badan perjuangan
kebudayaan dan pembangunan masyarakat melalui pendidikan untuk mencapai tujuan
perjuangan, yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang merdeka lahir dan batinnya.
Pendidikan Taman Siswa dilaksanakan berdasarkan Sistem Tutwuri Handayani (jika di
belakang memberi dorongan), di mana sistem ini berorientasi pendidikan pada anak didik.
Artinya pelaksanaan pendidikan lebih didasarkan pada minat dan potensi apa yang perlu
dikembangkan pada anak didik. Dalam sistem ini berlaku sistem kekeluargaan, yang artinya
diharuskan bagi setiap pendidik untuk meluangkan waktu 24 jam setiap harinya untuk
memberikan pelayanan kepada anak didik, sebagaimana orang tua yang memberikan
pelayanan kepada anaknya.
Untuk mencapai tujuan pendidikannya, Taman Siswa menyelanggarakan kerja sama
yang selaras antar tiga pusat pendidikan yaitu lingkungan keluarga, lingkungan perguruan,
dan lingkungan masyarakat. Pusat pendidikan yang satu dengan yang lain hendaknya saling
berkoordinasi dan saling mengisi kekurangan yang ada. Penerapan sistem pendidikan seperti
ini yang dinamakan Sistem Trisentra Pendidikan atau Sistem Tripusat Pendidikan.
Pendidikan Taman Siswa berciri khas Pancadarma, yaitu:
a) Kodrat Alam (memperhatikan sunatullah)
b) Kebudayaan (menerapkan teori Trikon; Kontinyu, Konvergen, dan Konsentris)
c) Kemerdekaan (memperhatikan potensi dan minat maing-masing individu dan kelompok),
d) Kebangsaan (berorientasi pada keutuhan bangsa dengan berbagai ragam suku),
e) dan Kemanusiaan (menjunjung harkat dan martabat setiap orang).

Pendidikan pada Masa Pendudukan Jepang


Pendidikan zaman jepang disebut “Hakko Ichiu”, yakni mengajak bangsa Indonesia
bekerja sama dalam rangka mencapai kemakmuran bersama Asia Raya. Sistem pendidikan di
masa pendudukan Jepang sangat dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan militer
Jepang dalam peperangan Pasifik.
Jepang menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi
luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain:
a. Dijadikannya Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan menggantikan
Bahasa Belanda
b. Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan
kelas sosial di era penjajahan Belanda.
Adapun susunan pengajaran m
enjadi, pertama, Sekolah Rakyat enam tahun (termasuk sekolah pertama). Kedua, sekolah
menengah tiga tahun. Ketiga, sekolah menengah tinggi tiga tahun (SMA pada zaman Jepang).
Tujuan pendidikan pada zaman Jepang tidak hanya memenangkan peperangan. Secara
konkret tujuan yang ingin dicapai Jepang adalah menyediakan tenaga cuma-cuma (rumosha)
dan prajurit-prajurit yang membantu peperangan bagi kepentingan Jepang. Oleh karena itu,
para pelajar diharuskan mengikuti latihan fisik, kemiliteran dan indoktrinasi ketat. Sekolah-
sekolah yang bertipe akademis diganti dengan sekolah-sekolah yang bertipe vokasi. Jepang
juga melarang pihak swasta mendirikan sekolah lanjutan dan untuk kepentingan
kontrol.Kebijakan ini menyebabkan terjadinya kemunduran yang luar biasa bagi dunia
pendidikan dilihat dari aspek kelembagaan dan operasonalisasi pendidikan lainnya
Pada masa pendudukannya, Jepang tidak begitu menghiraukan kepentingan agama,
yang penting bagi mereka adalah keperluan untuk memenangkan perang. Ada satu hal
istimewa dalam pendidikan jepang sebagaimana telah dikemukakan, yaitu sekolah-sekolah
telah diseragamkan dan dinegerikan meskipun sekolah-sekolah swasta lain diizinkan terus
berkembang dengan pengaturan dan diselenggarakan oleh pendudukan Jepang.
Sementara itu perkembangan pendidikan Islam pada masa ini berkembang dengan
pesat. Pendidikan Islam mencoba memadukan antara pendidikan modern Belanda dengan
pendidikan tradisional sehingga melahirkan madrasah-madarasah berkelas yang tidak hanya
memberikan pengetahuan agama saja akan tetapi juga memberikan pengetahuan umum.
Untuk mempercepat usaha Jepang dalam mencapai tujuan mereka, segala cara
ditempuh dalam segala segi kehidupan. Salah satunya dengan mengubah sistem pendidikan.
Oleh sebab itu, Jepang menguasai kurikulum baru, yang berlaku secara umum untuk semua
sekolah. Dalam kurikulum ini bahasa Indonesia menjadi pelajaran utama, bahasa Jepang
menjadi pelajaran wajib. Para pelajar harus mempelajari adat istiadat Jepang, taiso,
melagukan lagu Jepang, melakukan penghormatan (selkerei) ke arah istana kaisar Tokyo.
Guru-guru juga harus dilatih agar dapat melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan Jepang.
Selain itu, diberikan pelajaran tentang dasar-dasar pertahanan dan kemiliteran.
Walaupun demikian, ada beberapa segi positif sistem pendidikan pada zaman
penjajahan Jepang bagi rakyat Indonesia, yaitu:
1. Jepang memberikan pendidikan militer kepada para pemuda Indonesia.
2. Menghapus dualisme pendidikan penjajahan belanda dan nenggantinya dengan dengan
pendidikan yang sama bagi setiap orang.
3. Pemakaian bahasa Indonesia secara luas diinstruksikan oleh penjajah Jepang

Sistem Persekolahan Di Indonesia Pada Masa Penjajahan Jepang


Sistem persekolahan pada masa penjajahan Jepang banyak mengalami perubahan
karena sestem penggolongan baik menurut golongan bangsa maupun status sosial dihapus.
Dengan demikian terdapat integrasi terhadap macam-macam sekolah yang sejenis. Sejak
masa Jepang bahasa dan istilah-istilah mulai dipergunakan di sekolah-sekolah dan lembaga
pendidikan. Sekolah Dasar, waktu itu dipergunakan istilah Sekolah Rakyat (Kokumin
Gakko), terbuka untuk semua golongan penduduk. Lama pendidikannya enam tahun.
Sebagai kelanjutannya adalah Sekolah Menengah Pertama (Shoto Chu Gakko)
dan selanjutnya Sekolah Menengah Tinggi (Koto Chu Gakko). Lama pendidikannya
tiga tahun untuk SMP dan tiga tahun untuk SMT.
Sekolah kejuruan menengah yang ada ialah Sekolah Pertukaran (Kogyo Gakko)
dan Sekolah Teknik Menengah (Kogyo Semmon Gakko). Sedangkan Sekolah Hukum
dan MOSVIA di tiadakan. Sebaliknya pada masa Jepang didirikan Sekolah Pelayaran
dan Sekolah Pelayaran Tinggi.
Untuk mandidik guru terdapat tiga jenis sekolah yaitu :
1. Sekolah Guru 2 tahun (Syoto Sihan Gakko)
2. Sekolah Guru 4 tahun (Gotu Sihan Gakko)
3. Sekolah Guru 6 tahun (Koto Sihan Gakko)
Di samping itu terdapat sekolah Pertanian (Nogyo Gakko) di Tasikmalaya dan Malang. Lama
belajarnya 3 tahun sesudah sekolah rakyat.
Hampir semua perguruan tinggi di tutup, tetapi yang masih ada ialah Sekolah Tinggi
Kedokteran (Ika Dai Gakko) di Jakarta dan Sekolah Teknik Tinggi ( Kogyo Dai Gakko) di
Bandung. Kalau MOSVIA di tutup, sebaliknya Jepang membuka sekolah Tinggi Pamonpraja
(Kenkoku Gakuin) di Jakarta dan Sekolah Tinggi Kedokteran Hewan di Bogor.
Kalau di gambarkan dalam satu bagan, sistem persekolahan masa pendudukan Jepang
tidak jauh menyimpang dan mirip dengan system persekolahan sesudah kemerdekaan. Yang
berbeda hanya nama sekolah, sedang jenis sekolah kejuruan, apalagi perguruan tinggi, sangat
terbatas.
Dengan disederhanakan system pendidikan dan persekolahan di masa pendudukan
Jepang maka kesempatan belajar terbuka lebar lagi bagi semua golongan semua penduduk d
Indonesia. Jalur-jalur sekolah dan pendidikan menurut penggolonganketurunan bangsa
ataupun status social sudah di hapus. Oleh karena itu semua mendapat kesempatan yang
sama.

Perkembangan pendidikan dan pengajaran Di Indonesia Pada Masa Penjajahan


Jepang
a. Pelatihan guru-guru:
Usaha penanaman Ideologi Hakko Ichiu melalui sekolah-sekolah dimulai dengan
mengadakan pelatihan guru-guru. Guru-guru diberi tugas sebagai penyebar ideologi tersebut.
Pelatihan tersebut dipusatkan di Jakarta. Setiap kabupaten diwajibkan mengirim wakilnya
untuk mendapat gemblengan langsung dari pimpinan Jepang. Gemblengan ini berlangsung
selama 3 bulan , jangka waktu tersebut dirasa cukup untuk menjepangkan para guru.
b. Perubahan penting
Kehadiran Jepang di Indonesia menanamkan jiwa berani pada bangsa Indonesia.
Tetapi semua itu untuk kepentingan Jepang. Kendatupun demikian, ada beberapa hal yang
perlu dicatat pada zaman Jepang ini, yaitu yang terjadi perubahan yang cukup mendasar di
bidang pendidikan, yang penting sekali artinya bagi bangsa Indonesia, ialah :

1. Dihapuskannya sistem dualisme dalam pendidikan


Pada masa Belanda pendidikan formal hanya dapat dinikmati oleh kalangan
menengah ke atas, sementara rakyat jelata sama sekali tidak memiliki kesempatan. Dengan
dihapausnya dualisme dalam pendidikan ini maka siapapun boleh mengenyam pendidikan
formal tanpa ada diskriminasi. Inilah tonggak sejarah demokratisasi pendidikan di Indonesia.
Sebagai gambaran diskriminasi yang dibuat Belanda, ada 3 golongan dalam masyarakat yaitu
kelompok kulit putih (Eropa), kelompok Timur Asing (Cina, India, dll) serta kelompok
pribumi. Pola seperti ini mulai dihilangkan oleh pemerintah Jepang. Rakyat dari lapisan
manapun berhak untuk mengenyam pendidikan formal.

2. Pemakaian Bahasa Indonesia


Pemakaian Bahasa Indonesia, baik sebagai bahasa resmi maupun sebagai bahasa
pengantar pada tiap-tiap jenis sekolah, telah dilaksanakan. Tetapi sekolah-sekolah itu
dipergunakan juga sebagai alat untuk mempekenalkan kebudayaan Jepang kepada rakyat.
Dan Bahasa indonesia dijadikan bahasa resmi dan bahasa pengantar bagi semua jenis Sekolah
. bahasa jepang dijadikan mata pelajaran wajib dan adat kebiasaan Jepang harus ditaati. Serta
murid-murid dibebankan kewajiban dan keharusan sebagai berikut :
a) Setiap pagi harus menyanyikan lagu kebangsaan Jepang.
b) Setiap pagi harus mengibarkan bendera Jepang (Hinomaru) dan menghormat kepada kaisar
Jepang (Tenno Heiko).
c) Setiap pagi harus bersumpah setia kepada cita-cita Indonesia dalam rangka “Asia Raya” (Dai
Toa).
d) Setiap pagi harus senam (Taiso) untuk memelihara semangat Jepang.
e) Melalukan latihan-latihan phisik dan militer.
f) Pelajar-pelajar pada waktu yang ditentukan melakukan kerja bakti (Kinrohosyi)
membersihkan asrama militer, jalan-jalan raya, menanam pohon jarak, mengumpulkan
bahan-bahan untuk keperluan militer, dan lain sebagainya.
g) Bahasa Indonesia dipergunakan sebagai bahasa pengantar dan bahasa Jepang merupakan
bahasa wajib. Bahasa daerah diberikan di sekolah-sekolah dasar di kelas 1 dan kelas 2.

Sejarah Pendidikan Setelah Merdeka

A. Kemerdekaan: Menata Pendidikan Nasional


Kemerdekaan nasional Indonesia sejatinya dimulai dengan diletakkannya konstitusi
sebagai pedoman dasar untuk melaksanakan kemerdekaan tersebut. Konstitusi kemerdekaan
kita, UUD 45, telah menjadi pedoman yang nyaris sempurna. Dalam konstitusi ini disebutkan
bahwa “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”.
Dalam kondisi pasca perang yang carut-marut, Indonesia pada saat itu berhasil
meningkatkan 2 kali lipat angka partisipasi sekolah dengan menggratiskan SR/SD, membuka
pendidikan untuk semua kalangan, memberantas buta huruf dan mendirikan beberapa
perguruan-perguruan tinggi negeri. Yang paling mendasar dalam pedoman pendidikan era
kemerdekaan adalah mengubah paham individualisme menjadi paham perikemanusiaan yang
tinggi. Disisi lain, metodologi pendidikan juga sudah banyak mengadopsi metodologi
dialogis-demokratis. Hal ini terlebih didukung dengan perkembangan demokrasi diluar
pendidikan.
B. Era Soeharto Sebagai Era Manusia Robot
Sangat rumit untuk mendefinisikan sistem pendidikan zaman Soeharto. Hal ini
terutama dikarenakan paradigma ganda yang diterapkannya pada Sistem Pendidikan. Disatu
sisi pemerintah ingin meniru sistem pendidikan ala Barat yang liberal, disisi lain
mempergunakannya untuk kepentingan kekuasaan.
Yang terlihat jelas dalam masa-masa pemerintahannya adalah bagaimana Soeharto
menggunakan Pendidikan untuk indoktrinasi Pancasila secara berlebihan. Semua kurikulum,
baik untuk peserta didik maupun untuk tenaga didik, selalu terselip materi P4 (Pedoman
Pengamalan Penghayatan Pancasila). Penanaman yang berlebihan ini sebenarnya disengaja
untuk menyebar pemahaman di masyarakat bahwa Pancasila adalah dasar negara, sehingga
apapun yang dijalankan negara/pemerintahan pastilah berdasar pada Pancasila, dan siapa
yang membangkang berarti melanggar pancasila. Apalagi penanaman ini sengaja tidak
disertai dengan uraian praktis dari sila ke 5 tentang Keadilan Sosial. Ditambah lagi paham
mengagung-agungkan militer yang dikembangkan dalam mata pelajaran seperti PSPB.
C. Era Reformasi: Liberalisasi Besar-besaran.
Zaman Reformasi telah menyediakan ruang yang luas untuk komersialisasi
pendidikan. Komersialisasi di era ini tercermin dari semakin banyaknya bisnis yang
melingkupi dunia pendidikan, dan mulai terimplementasinya niat buruk pemerintah untuk
melepaskan tanggung jawabnya pada dunia pendidikan. PP tentang BHMN misalnya, telah
nyata-nyata men-swasta-kan pendidikan negeri. Walau dinilai beberapa kalangan cacat
hukum karena belum ada UU yang mendasarinya (masih dalam bentuk RUU BHP,
sedangkan UU No.20), namun beberapa perguruan tinggi negeri telah sah dan meyakinkan
mengalihkan statusnya: UI, UGM, USU, dll.
Di era ini hanya ada dua kampanye yang terus-menerus dilakukan pemerintah. Yang
pertama kampanye tentang mahalnya pendidikan, dan yang kedua kampanye tentang ketidak-
sanggupan pemerintah dalam memberikan anggaran pendidikan sesuai amanat UUD, yakni
20% dari APBN. Tak heran, meski program BOS berjalan, namun rata-rata angka pertisipasi
sekolah SD sampai SMA masih berkisar 40% dari penduduk usia sekolah.

DAFTAR PUSTAKA

Djojonegoro, Wardiman. Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan Indonesia.


Jakarta : Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1996
Beeby, C.E. (1982). Pendidikan di Indonesia, Penilaian dan Pedoman Perencanaan.
Jakarta: LemLit Pendidikan&Penerangan Eko&Sos
S. Nasution. Sejarah Pendidikan Indonesia. Bumi Aksara, 2015
I. Djumhur. (1974). Sejarah Pendidikan. Bandung: CV Ilmu

Anda mungkin juga menyukai