Anda di halaman 1dari 12

Nama : Mochamad Iqbal Fauzan

NIM : 332021142
Program Studi : Desain, Estetika dan Lingkungan
Fakultas : Fakultas Arsitektur dan Desain

1. PENDIDIKAN PADA MASA YUNANI KUNO DAN ROMAWI KUNO


a. Yunani Kuno
Yunani kuno terbagi menjadi dua, Sparta dan Athena. Penduduk Sparta disebut
bangsa Doria, sedangkan penduduk Athena disebut bangsa Lonia. Kedua negara
tersebut merupakan Polis atau negara kota. Sparta dengan ahli negaranya Lycurgus,
sedang Athena dengan ahli negaranya Solon. Pada kedua negara tersebut terdapat
perbedaan-perbedaan dalam dasar, tujuan, pelaksanaan pendidikan dan pengajaran.
Orang-orang Sparta mementingkan pembentukan jiwa patriotik yang kuat dan
gagah berani (Djumhur, 1976:24).
1. Sparta
Sparta adalah negara Aristokrasi-militeristis. Dasarnya Undang-undang
Lycurgus (± 900 SM). Ciri pendidikan: pendidikan diselenggarakan oleh negara
dan hanya untuk warga negara merdeka. Pendidikan di Sparta didasarkan atas
dua asas: Anak adalah milik negara; tujuan pendidikan adalah membentuk
serdadu-serdadu pembela negara serta warga negara.
Tujuan pendidikan Sparta adalah membentuk warga negara yang siap membela
negara (membentuk tentara yang gagah berani). Ciri-ciri pendidikannya adalah
• Pendidikan diperuntukkan hanya bagi warga negara yang merdeka
(bukan budak);
• Lebih mengutamakan pendidikan jasmani.
• Anak-anak yang telah mencapai umur 7 tahun diasramakan.
Pelaksanaan pendidikan : anak-anak dibiasakan menahan lapar, tidur di atas
bantal rumput, dan pada musim dingin hanya memakai mantel biasa saja. Sifat-
sifat yang harus dimiliki tentara, seperti keberanian, ketangkasan, kekuatan,
cinta tanah air, dan tunduk pada disiplin selalu mendapat perhatian. Sebaliknya,
pelajaran seperti kesenian dianggap tidak terlalu penting dan diabaikan. Musik
dan nyanyian hanya dijadikan alat untuk mempengaruhi jiwa dalam
melaksanakan dinas ketentaraan
2. Athena
Athena adalah negara demokrasi. Dasar yang dipakai adalah: Undang-undang
Solon (± 594 SM). Berbeda dengan Sparta, tujuan pendidikan Athena adalah:
membentuk warganegara dengan jalan pembentukan jasmani dan rohani yang
harmonis (selaras). Ciri-ciri pendidikan di Athena adalah:
a. Pendidikan diselenggarakan oleh keluarga dan sekolah;
b. Sekolah diperuntukkan bagi seluruh warga negara (bebas).
Materi atau bahan pelajaran terbagi atas dua bagian: gymnastis dan muzis.
Gymnastis untuk pembentukan jasmani, sedangkan muzis untuk pembentukan
rohani. Pendidikan jasmani diberikan di Palestra, tempat bergulat, lempar
cakram, melompat, lempar lembing (pentathlon atau pancalomba).
Pembentukan muzis meliputi: membaca, menulis, berhitung, nyanyian, dan
musik. Dalam perkembangannya dalam pembentukan muzis akan dipelajari
artes liberales atau “seni bebas”, yang terdiri dari:
• trivium (tiga ajaran), yaitu: grammatica; rhetorica (pidato); dan
dialektika yaitu ilmu mengenai cara berpikir secara logis dan bertukar
pikiran secara ilmiah;
• quadrivium (empat ajaran), yang terdiri dari: arithmetica (berhitung);
astronomia (ilmu bintang); geometria (ilmu bumi alam dan falak);
musica.
Dalam membaca, diberikan dengan metode mengeja (sintetis murni);
dan menulis dilakukan pada batu tulis yang dibuat dari lilin
Pendidikan warganegara sangat diutamakan di Yunani, terutama di Sparta.
Segala kepentingan negara diletakkan di atas kepentingan individu
(perseorangan). Dalam perkembangannya muncul keinginan untuk mendapat
kebebasan pribadi, terutama dari kaum sofist.
Kaum sofist adalah kelompok orang yang tidak mengakui kebenaran
mutlak dan berlaku umum. Mereka berpendapat, bahwa manusia adalah ukuran
segala sesuatu (anthroposentris, anthropos: manusia; sentris: pusat). Sesuatu
dianggap benar kalau itu menimbulkan keuntungan atau kemenangan.
Kebenaran bersifat relatif (tergantung kapan dan siapa yang melihat).
Akibat dari ajaran sofisme tersebut adalah, turunnya nilai-nilai
kebudayaan, merosotnya nilai-nilai kejiwaan, pembentukan harmonis antara
jiwa dan raga dikesampingkan dan sebagainya. Orang mencari pengetahuan
dengan tujuan untuk mencapai kebendaan semata (intelektual-materialistis).
Kepentingan negara harus tunduk kepada kepentingan perseorangan.
Pendidikan kecerdasan lebih penting daripada pendidikan agama dan
kesusilaan.

Gambar 1.1 Kondisi proses Pendidikan di Athena, Yunani

b. Romawi Kuno
Pendidikan Romawi tampak lebih sederhana dan lebih disesuaikan dengan
kebutuhan negara jika dibandingkan dengan pendidikan Yunani. Roma yang pada
awalnya adalah negara petani, mengalami dua masa yang masing-masing berbeda
baik tujuan maupun alat-alat pendidikannya, yaitu jaman Romawi lama dan jaman
Romawi baru (Hellenisme).
1. Jaman Romawi Lama
Pendidikan pada jaman ini bertujuan membentuk warganegara yang setia dan
berani, siap berkorban membela kepentingan tanah airnya. Diutamakan
pembentukan warganegara yang cakap sebagai tentara. Pendidikan
diselenggarakan oleh keluarga, dan merupakan pendidikan bangsawan bukan
pendidikan rakyat. Materi pelajarannya meliputi membaca, menulis, dan
berhitung. Pendidikan jasmani dan kesusilaan menjadi prioritas. Hasil
pendidikan dinilai baik, karena:
• Kebiasaan aturan dalam rumah tangga yang keras, ayah mempunyai
kekuasaan mutlak dan anak-anak patuh pada perintahnya;
• Kedudukan ibu hampir sama dengan kedudukan ayah, ia menjadi
pemelihara rumah tangga;
• Agama mempunyai pengaruh besar, orang romawi percaya dikelilingi
oleh dewa-dewanya;
• Anak-anak mempelajari undang-undang negaranya, menganggapnya
sakti dan tidak melanggar.
2. Jaman Romawi Baru (Helenisme)
Hellenisme adalah aliran kebudayaan yang diciptakan oleh ahli-ahli filsafat
Yunani (Hellas). Sejak saat itu bangsa Romawi mulai menyadari arti penting
ilmu pengetahuan. Dengan demikian maka tujuan pendidikan mengalami
perubahan: untuk pembentukan manusia yang harmonis. Pendidikan rasio dan
kemanusiaan (humanitas) menjadi prioritas. Organisasi sekolah yang dibentuk
meliputi:
• Sekolah rendah : pelajarannya membaca, menulis, dan berhitung. Musik
dan menyanyi tidak mendapat perhatian;
• Sekolah menengah : pelajarannya ilmu pasti, ilmu filsafat, dan
kesusasteraan klasik;
• Sekolah tinggi : diberikan keahlian pidato, hukum, dan undang-undang.
Pendidikan menjadi kehilangan sifat praktisnya dan rakyat Roma mulai
berpedoman kepada filsafat. Pada perkembangan selanjutnya Romawi terbawa
oleh arus aliran filsafat yang berdampak cukup besar bagi pendidikan Roma,
yaitu Epicurisme (dipelopori Epicurus 341-270 SM), dan aliran Stoa (dipelopori
Zeno 336-264 SM). Aliran Epicurisme berpendapat hahwa kebahagian akan
terwujud manakala manusia menyatu dengan alam. Aliran Stoa berpendapat
bahwa tujuan hidup adalah mencapai kebajikan. Kebajikan itu akan terwujud
apabila manusia dapat menyesuaikan diri dengan alamnya, karena manusia
adalah bagian dari alam. Sedangkan alam itu sendiri dikuasai oleh budi Ilahi.
Karena manusia merupakan bagian dari alam, maka di dalamnya terkandung
sebagian dari budi ilahi itu. Jadi tidak ada perbedaan antara alam dengan Tuhan,
dan alam adalah Tuhan dan Tuhan adalah alam, yang disebut juga panteisme
(pan: seluruh, semua; theos: Tuhan). Sehingga hidup sesuai dengan alam berarti
hidup sebagai manusia berakan dan berbudi.
Dengan munculnya dua faham tersebut cita-cita atu tujuan Romawi berubah
dari rnembentuk manusia sehat kuat untuk membela tanah air (kebajikan
kepahlawanan) menjadi membentuk manusia yang bijaksana dan berakal budi
(kebajikan kemanusian/humanitas).

Gambar 1.2 salah satu buukti Pendidikan di masa Romawi kuno itu nyata

2. PENDIDIKAN SEBAGAI PILAR PERADABAN


Pendidikan merupakan sebuah Langkah awal yang ditempuh manusia untuk
mendapatkan sesuatu yang tidak didapatkan makhluk hidup. Pendidikan inilah yang
menjadi pembatas antara manusia dengan hewan. Pendidikan merupakan salah satu
proses dimana akal dan pikiran dirangsang untuk berpikir baik dalam menciptakan
sesuatu, memecahkan masalah yang ada maupun memperbaiki kesalahan entah dari
cara berpikir ataupun cara berlaku. Seperti contoh pada saat pernyataan pertama kali
dari Galileo Galilei yang menyebutkan bahwa sebenarnya bumi itu bulat hingga ia
dikira gila dan dibunuh atas teorinya tersebut. Beberapa tahun kemudian terbukti bahwa
sebenarnya bumi itu memang bulat.
Gambar 2.1 Galileo Galilei, pencetus pertama bumi bulat

Dari situlah peran Pendidikan itu ada dengan memperbaiki kesalahan dimana
hendaknya meneliti sebuah teori terlebih dahulu untuk pengetahuan. Setelah
pengetahuan itu tercipta dari Pendidikan, maka perkembangan zaman pun semakin
pesat. Seperti contoh pada hari ini, dimana teknologi semakin pesat. Itu tidak lepas dari
peran Pendidikan dan pengetahuan. Tidak hanya seputar bumi, bahkan manusia sudah
bisa menjelajah dan mengamati lingkungan sekitar Tata Surya sekalipun.

Gambar 2.2 Roket merupakan salah satu


Bentuk perkembangan teknologi hasil dari
Pendidikan dan pengetahuan

3. RENAISSANCE ATAU EROPA MENUJU KEBANGKITAN


Renaissance terjadi pada abad ke 14 sampai abad ke 17. Setelah Eropa mengalami masa
kegelapan, para pemikir berusaha mencari ide-ide baru dengan cara mempelajari ilmu-
ilmu dari zaman Romawi kuno, Yunani kuno, atau kerajaan Ottoman untuk kemudian
dimodifikasi.
Renaissance secara harfiah berarti terlahir kembali. Hal ini sejalan dengan apa yang
dilakukan pemikir dan seniman Eropa. Mereka kembali melihat dan membuka ide-ide
lama yang ditinggalkan oleh bangsa Yunani dan Romawi, baik dalam bentuk
pemikiran, bangunan, atau karya seni.
Karya seni adalah salah satu sektor yang paling berpengaruh. Karya seni pada zaman
ini cenderung lebih realistis, humanis, romantis, dan sedikit lebay karena jika dilihat
dari patung dan lukisannya, pasti menampilkan sosok manusia yang dianggap ideal
(sixpact, kekar, maskulin, dan tampan kalau modelnya laki-laki).
Gambar 3.1 Salah satu patung dalam karya seni Rensans
Gerakan renaissance ini pertama lahir di Italia pada abad ke 14 kemudian
menyebar ke seluruh Eropa. Hal ini disebabkan karena kota-kota di Itali banyak yang
menjadi kota perdagangan yang kaya. Sehingga, mereka mampu membiayai para
pemikir dan seniman untuk menemukan pemikiran-pemikiran baru. Selain itu
peninggalan Romawi dan Yunani mudah dijumpai di Itali. Kemudian perdagangan
yang terjalin dengan kerajaan Ottoman yang notabenenya adalah kerajaan muslim, dan
saat itu sedang mengalami masa jaya dan dijadikan sebagai pusat pendidikan terkenal
pada zaman itu, maka Itali mempunyai modal untuk melakukan gerakan seperti ini.

Gambar 3.2 Da Vinci dan karyanya, Mona Lisa yang sangat populer
Sumber : https://www.ruangguru.com/blog/renaissance-eropa-menuju-masa-kebangkitan

4. ESTETIKA, ETIKA BUDAYA BANGSA BAHARI


Budaya atau kebudayaan merupakan hasil dari cipta, rasa dan karsa manusia.
Manusia dalam kegiatan berbudaya perlu mengetahui nilai etika. Nah dari kebudayaan
tersebut, lahirnya suatu rasa keindahan yang disebut dengan estetika.
Indonesia terkenal sebagai bangsa bahari, yaitu bangsa yang memiliki wilayah
laut yang luas, bahkan hampir menandingi atau melebihi wilayah daratannya. Pada
zaman dahulu, Indonesia juga sering dijadikan sebagai negara singgah bagi para
pelancong atau para penjelajah laut dari negri asing seperti Baghdad dan Arab. Mereka
menilai bahwa Indonesia merupakan negara yang strategis lokasinya sehingga mereka
memilih Indonesia sebagai negara singgah.
Tak hanya strategis dalam lokasi, Indonesia juga dinilai sebagai negri terkaya
yang memiliki beraneka ragam rempah-rempah yang melimpah, sumber daya alam
yang kaya dan potensi kekayaan lautnya pun dinilai sangat mahal harganya. Hal inilah
yang menjadi alasan utama juga Indonesia dijajah oleh Belanda selama 350 tahun lebih.
Karena wilayah daratnya yang banyak terhalang oleh lautan, sekelompok orang
di beberapa pulau di Indonesia mulai mempunya budaya masing-masing. Entah dari
faktor eksternal seperti pengaruh dari pedagang dan pelancong asing, maupun dair
faktor intermal seperti suhu, cuaca dan habitat. Tetapi mereka tetap memegang teguh
Indonesia sampai pada saat kemerdekaan 1945 yang menjadikan bahwa walaupun
budaya mereka berbeda, tetapi tetaplah satu “BHINNEKA TUNGGAL IKA.”
Sehingga Indonesia kaya akan budayanya.

Gambar 4.1 Indonesia sebagai negara kepulauan


5. KONSEP KEBUDAYAAN DAN APLIKASINYA DALAM KEILMUAN DESAIN
Rasa yang meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai-
nilai sosial yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan dalam arti
yang luas. Agama, ideologi, kebatinan, dan kesenian yang merupakan hasil ekspresi
jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat termasuk di dalamnya. Cipta
merupakan kemampuan mental, kemampuan berpikir orang-orang yang hidup
bermasyarakat yang antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan. Cipta
bisa berbentuk teori murni dan bisa juga telah disusun sehingga dapat langsung
diamalkan olehmasyarakat. Rasa dan cinta dinamakan pula kebudayaan rohaniah.
Semua karya, rasa, dan cipta, dikuasai oleh karsa orang-orang yang menentukan
keguanaannya agar sesuai dengan kepentingan sebagian besar atau seluruh masyarakat.
1. Pandangan Superorganis
Pandangan superorganis mempunyai implikasi terhadap pendidikan,
yaitu: pendidikan merupakan sebuah proses melalui mana kebudayaan
mengotrol orang dan membentuknya sesuai dengan tujuan kebudayaan.
Menurut L.White: Pendidikan merupakan alat yang digunakan masyarakat
melaksanakan kegiatannya sendiri dalam mengejar tujuannya.
Demikianlah, selama masa damai, masyarakat dididik untuk damai, tapi bila
bangsa sedang berperang, masyarakat mendidik anggotanya untuk perang.
Bukan masyarakat yang mengontrol kebudayaan melalui pendidikan. Malah
sebaliknya, pendidikan baik informal maupun formal adalah proses
membawa tiap-tiap generasi baru ke bawah pengontrolan sistem budaya.
2. Pandangan konseptualis
Karena mereka memandang kebudayaan sebagai kualitas perilaku
manusia dan bukan entitas yang berdiri sendiri, para pengikut konseptualis
setuju dengan pandangan bahwa anak-anak harus mempelajari warisan
budaya sesuai dengan perhatiannya. Anak-anak harus membangun
gambaran sendiri tentang kebudayaan berdasarkan pengalamannya sendiri
asal dia mengetes pengalaman belajar dengan pengalaman belajar orang lain
dan asal saja dia mencapai suatu gambaran yang objektif tentang
kebudayaan.
Walaupun begitu para konseptualis tidak menyokong pandangan
golongan subjektivis bahwa anak-anak harus belajar semata-mata hanya
kalau semangatnya mendorongnya. Kebudayaan yang seperti itu mungkin
bukan merupakan realitas yang absolut, tetapi kebudayaan tersebut terdiri
dari banyak pola perilaku terhadap mana individu-individu menyesuaikan
diri, sama seperti orang lain. Karena itu dia mesti mempelajari pola-pola ini,
bukan apa yang disukainya saja.
Pendidikan dapat menjadi alat dalam pembaruan sosial. Tidak
disangsikan, tidak ada kaum konseptualis yang mengharapkan sekolah
sebagai alat untuk perubahan sosial. Namun demikian, banyak kaum
konseptualis akan setuju, bahwa walaupun sekolah mungkin tidak sanggup
merubah kebudayaan, tetapi sekolah yang paling kurang dapat berbuat
banyak untuk menciptakan opini yang kondusif bagi perubahan, sebuah
iklim yang perlu jika individu-individu yang inovatif harus mendapat
pengikut-pengikut dan dengan demikian mengerakkan pola baru dan
permanen.

3. Pandangan golongan realis


Pandangan budaya realis terhadap pendidikan lebih dekat dengan
pandangan aliran-aliran pemikiran pendidikan yang terpercaya kepada
pemyesuaian anak-anak terhadap realita objektif, baik alamiah maupun
budaya, dengan menanamkan pengetahuan, nilai-nilai, dan ketrampilan-
ketrampilan tertentu yang telah dipilih oleh kebudayaan. Pandangan
golongan ini lebih berempati dibandingkan dengan kaum konseptualis,
kaum realis menginginkan sistem pendidikan yang akan melatih individu
untuk menimbang dan merubah kebudayaan mereka berdasarkan nilai-nilai
dasar mereka. Banyak pendidik tradisional untuk mencapai tujuan ini
dengan mendidik generasi muda tentang apa yang dianggap kebenaran dan
nilai yang permanen, dengan mengunakan nilai-nilai yang ini generasi muda
dapat mengatakan perubahan social apa yang harus mereka bantu, hindari
atau gerakkan. Golongan tradisional lain menganjurkan pendidikan ilmiah
yang pokok, yang berguna bagi orang-orang muda jika mereka harus
memilih tujuan-tujuan yang diizinkan oleh kebudayaan yang ada, dan jika
mereka akan menggunakan hukum-hukum kebudayaan yang diketahui
mereka untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. perubahan, dengan kata lain,
mesti bersifat evolusi, bukan revolusi. Perubahan tersebut mesti dibimbing
oleh asumsi-asumsi dasar kebudayaan itu.

Gambar 5.1 batik merupakan salah satu budaya yang


sering diaplikasikan dalam dunia Pendidikan desain

Anda mungkin juga menyukai