1. Setelah mempelajari Landasan Ilmu Pendidikan, jelaskan apa peran Pendidikan dalam
kebudayaan? Dapatkah sekolah mengerjakan keseluruhan kebudayaan? Jelaskan jawaban
sdr dari beberapa titik pandang. .
Jawaban
A. ARTI KEBUDAYAAN
Selo Soemardjan dan Soelaman Soemardi (1964: 113) menjelaskan bahwa
kebudayaaan adalah semua hasil karya. rasa, dan cipta masyarakat. Karya masyarakat
menghasilkan tekhnologi dan kebudayaan kebendaan (material culture) yang diperlukan oleh
manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabdikan
untuk keperluan masyarakat. Rasa yang meliputi jiwa manusia, mewujudkan segala kaidah-
kaidah dan nilai-nilai social yang perlu untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan
yang luas. Agama, ideology, kebatinan dan kesenian yang merupakan hasil ekspresi jiwa
manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat termasuk di dalamnya. Cipta merupakan
kemampuan mental, kemampuan berfikir orang-orang yang hidup bermasyarakat yang antara
lain menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan. Rasa dan cinta dinamakan pula
kebudayaan rohaniah (spiritual atau immaterial culture). Semua karya, rasa, dan cipta,
dikuasai oleh karsa orang-orang yang menentukan kegunaannya agar sesuai dengan
kepentingan sebagian besar atau seluruh masyarakat, sedangkan karsa yaitu mengasilkan
kaidah kepercayaan, kesusilaan, kesopanan dan hukum (Soerjono Soekanto, 1993: 189-90).
B. MAKNA PENDIDIKAN
Pendidikan bukan sesuatu yang hadir dengan sendirinya tanpa melalui diakektika
sejarah. Salah satu ilmu yang berkembang dari sejarah yaitu pedagogi atau yang sering
disebut juga dengan edukasi atau pendidikan. Perkembangan ilmu ini juga sebenarnya telah
ada sejak manusia memikirkan tentang dirinya di hadapan dirinya, alam, lingkungan dan
bahkan Tuhan. Tetapi secara perlahan, menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri atau otonom.
Nah dari penelusuran sejarah pedagogi tersebut akan diperoleh makna pendidikan dari waktu
ke waktu yang kian berubah. Namun kita sedikit akan menukilkan bagaimana sejarah
memaknai pendidikan mulai dari zaman peradaban kuno sampai masa republik Romawi.
Antara pendidikan dan kebudayaan terdapat hubungan yang sangat erat dalam arti
keduanya berkenaan dengan suatu hal yang sama yakni nilai-nilai. Dalam konteks
kebudayaan justru pendidikan memainkan peranan sebagai agen pengajaran nilai-nilai
budaya. Karena pada dasarnya pendidikan yang berlangsung adalah suatu proses
pembentukan kualitas manusia sesuai dengan kodrat budaya yang dimiliki. Oleh karena itu
kebudayaan diturunkan kepada generasi penerus lewat proses belajar tentang cara bertingkah
laku. Sehingga secara wujudnya, substansi kebudayaan itu telah mendara daging dalam
kepribadian anggota-anggotanya. Uraian tentang pendidikan dan kebudayaan akan
diterangkan dalam urutan pembahasan dibawah ini.
a. Kebudayaan memberikan kondisi yang disadari dan yang tidak disadari untuk belajar.
b. Kebudayaan mendorong secara sadar ataupun tidak sadar akan reaksi-reaksi perilaku
tertentu. Jadi selain kebudayaan meletakkan kondisi, yang terakhir ini kebudayaan
merupakan perangsang-perangsang untuk terbentuknya perilaku-perilaku tertentu.
c. Kebudayaan mempunyai sistem “reward and punishment” terhadap perilaku-perilaku
tertentu. Setiap kebudayaan akan mendorong suatu bentuk perilaku yang sesuai dengan
system nilai dalam kebudayaan tersebut dan sebaliknya memberikan hukuman terhadap
perilaku-perilaku yang bertentangan atau mengusik ketentraman hidup suatu masyarakat
budaya tertentu.
d. Kebudayaan cenderung mengulang bentuk-bentuk kelakuan tertentu melalui proses
belajar.
Apabila analisis Gillin di atas kita cermati, tampak betapa peranan kebudayaan dalam
pembentukan kepribadian manusia, maka pengaruh antropologi terhadap konsep
pembentukan kepribadian juga akan tampak dengan jelas. Terutama bagi para pakar aliran
behaviorisme, melihat adanya suatu rangsangan kebudayaan terhadap pengembangan
kepribadian manusia. Pada dasarnya pengaruh kebudayaan terhadap pembentukan
kepribadian tersebut sebagaimana dikutip Tilaar (1999) dapat dilukiskan sebagai berikut.
a. Kepribadian adalah suatu proses. Seperti yang telah kita lihat kebudayaan juga
merupakan suatu proses. Hal ini berarti antara pribadi dan kebudayaan terdapat suatu
dinamika. Tentunya dinamika tersebut bukanlah suatu dinamika yang otomatis tetapi
yang muncul dari aktor dan manipulator dari interaksi tersebut ialah manusia.
b. Kepribadian mempunyai keterarahan dalam perkembangan untuk mencapai suatu misi
tertentu. Keterarahan perkembangan tersebut tentunya tidak terjadi di dalam ruang
kosong tetapi dalam suatu masyarakat manusia yang berbudaya.
c. Dalam perkembangan kepribadian salah satu faktor penting ialah imajinasi. Imajinasi
seseorang akan dapat diperolehnya secara langsung dari lingkungankebudayaannya.
Manusia tanpa imajinasi tidak mungkin mengembangkan kepribadiannya. Hal ini
berarti apabila seseorang hidup terasing seorang diri dari nol di dalam perkembangan
kebudayaan bukanlah hanya sekadar dipindahkan dari satu bejana ke bejana berikut yaitu
kepada generasi mudanya, tetapi dalam proses interaksi antara pribadi dengan kebudayaan
betapa pribadi merupakan agen yang kreatif dan bukan pasif. Di dalam proses pembudayaan
terdapat pengertian seperti inovasi dan penemuan, difusi kebudayaan, akulturasi, asimilasi,
yang akan muncul pada milenium ketiga dengan demikian perlu diarahkan dengan
nilai-nilai moral yang telah terpelihara di dalam kebudayaan umat manusia karena
kalau tidak dapat saja manusia itu menuju kepada kehancurannya sendiri dengan alat-
alat pemusnah massal yang diciptakannya.
Sesuai apa yang terpahat dalam relief candi, maka pendidikan selain diberikan secara
tertulis ada juga secara lisan. Pendidikan lisan baik Hindu maupun Budha bisa berupa
dakwah pengajian pimpinan agama atau melalui dongeng, mythos, cerita, legenda secara
turun temurun. Indonesia pada tahun 1825 sudah dikenal prajurit putri yang terdidik dan
terlatih bernama Nyai Ageng Serang yang gagah berani memimpin pasukan Pangeran
Diponegoro. Materi pelajaran dalam pendidikan tradisi di Nusantara umumnya secara lisan
dan bersifat umum meliputi antara lain perihal kejiwaan, kefilsafahan, kesusasteraan,
kanuragan, kaprajuritan, pertanian, titi mongso, pananggalan, adat-istiadat, tata krama,
perbintangan (misal gubug penceng, panjer sore). Siswa diharuskan mondok/ngenger dalam
padepokan, sedang cara pemberian pelajaran kebanyakan dengan bahasa tutur dimana 1
siswa diasuh 1 guru.
Sebagai sistem pengetahuan dan gagasan, kebudayaan yang dimiliki suatu masyarakat
merupakan kekuatan yang tidak tampak (invisble power), yang mampu menggiring dan
mengarahkan manusia pendukung kebudayaan itu untuk bersikap dan berperilaku sesuai
dengan pengetahuan dan gagasan yang menjadi milik masyarakat tersebut, baik di bidang
ekonomi, sosial, politik, kesenian dan sebagainya. Sebagai suatu sistem, kebudayaan tidak
diperoleh manusia dengan begitu saja secara ascribed, tetapi melalui proses belajar yang
berlangsung tanpa henti, sejak dari manusia itu dilahirkan sampai dengan ajal menjemputnya.
Proses belajar dalam konteks kebudayaan bukan hanya dalam bentuk internalisasi dari system
“pengetahuan” yang diperoleh manusia melalui pewarisan atau transmisi dalam keluarga,
lewat sistem pendidikan formal di sekolah atau lembaga pendidikan formal lainnya,
melainkan juga diperoleh melalui proses belajar dari berinteraksi dengan lingkungan alam
dan sosialnya.
Dalam hal ini, pendidikan menjadi instrumen kekuatan social masyarakat untuk
mengembangkan suatu sistem pembinaan anggota masyarakat yang relevan dengan tuntutan
perubahan zaman. Abad globalisasi telah menyajikan nilai-nilai baru, pengertian-pengertian
baru serta perubahan-perubahan di seluruh ruang lingkup kehidupan manusia yang waktu
kedatangannya tidak bisa diduga-duga. Sehingga dunia pendidikan merasa perlu untuk
Pertama, ada yang berpendapat bahwa pada dasarnya makhluk manusia memang
diciptakan beraneka macam atau poligenesis; dan menganggap bahwa orang-orang di Eropa
yang berkulit putih merupakan makhluk manusia yang paling baik dan kuat. Oleh karena itu,
kebudayaan yang dimilikinya juga paling sempurna dan paling tinggi. Cara berpikir yang
kedua adalah yang meyakini bahwa sebenarnya makhluk manusia itu hanya pernah
diciptakan sekali saja atau monogenesis; yaitu dari satu makhluk induk dan bahwa semua
makhluk manusia di dunia ini merupakan keturunan Adam.
Sebagian dari mereka yang punya pandangan ini berpendapat bahwa keanekaragaman
makhluk manusia dan kebudayaannya, dari tinggi sampai rendah; sebagai akibat proses
kemunduran yang disebabkan oleh dosa abadi yang pernah dilakukan oleh Nabi Adam.
Sebaliknya, sebagian lain berpendapat bahwa sebenarnya makhluk manusia dan kebudayaan
tidak mengalami proses degenerasi. Akan tetapi apabila pada masa kini terdapat perbedaan,
lebih disebabkan oleh tingkat kemajuan mereka yang berbeda.
Berbagai bidang kajian banyak dilakukan, termasuk upaya untuk meneliti tentang
keanekaragaman makhluk manusia dan kebudayaannya di berbagai tempat di muka bumi.
Beraneka macam kajian anatomi komparatif yang dilakukan, lebih ditekan-kan atas dasar
keanekaragaman ciri-ciri fisik manusia. Selain itu, ada sebagai para ahli filsafat sosial di
Setiap kali mereka berupaya menyempurnakan dirinya, maka akan menyebabkan perubahan
kebudayaannya. Suatu perubahan kebudayaan dapat berasal dari luar lingkungan pendukung
kebudayaan tersebut. Gerak kebudayaan yang telah menimbulkan perubahan dan
perkembangan, akhirnya juga menyebabkan terjadinya pertumbuhan; sementara itu tidak
tertutup kemungkinan hilangnya unsur-unsur kebudayaan lama sebagai akibat ditemukannya
unsur-unsur kebudayaan baru. Sehingga keberadaan pendidikan sangat penting sebagai
mediator dalam dialektika kebudayaan lama dengan kebudayaan baru yang melahirkan
system kebudayaan yang memang berguna untuk masyarakat.
Hal ini dapat terbayang di dalam investasi pendidikan dari negara-negara tersebut.
Pendidikan telah dijadikan prioritas utama dan pertama dari banyak negara untuk dijadikan
sebagai pondasi membangun masyarakat yang lebih demokratis, terbuka bagi perubahan-
perubahan global dan menghadapi masyarakat digital. Boleh dikatakan semua negara
memberikan prioritas utama kepada pengembangan pendidikan yang tercermin di dalam
alokasi dana pemerintah. Sejalan dengan arah baru mengenai pendidikan di dalam
pengembangan suatu masyarakat, maka ilmu pendidikan juga mempunyai orientasi baru.
Pendidikan sebagai usaha manusia untuk membina, kepribadian sesuai dengan nilai –
nilai di dalam masyarakat hendaknya dilaksakan seumur hidup dan secara terpadu baik
didalam keluarga,sekolah,maupun masyarakat agar tujuannya tercapai. Ketiga – tiganya harus
seiring dan sejalan tidak bisa hanya ditumpukan pada salah satunya, pendidikan adalah upaya
membentuk suatu lingkungan untuk anak, yang dapat merangsang perkembangan potensi –
potensi yang dimiliki dan akan membawa perubahan yang dilebihkan dalam kebiasaan dan
sikapnya, jadi anak dibantu oleh guru,orangtua, dan orang yang lebih dewasa lainnya. Untuk
memanfaatkan potensi yang dibawa dalam mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang
diinginkan dalam upaya kepribadian yang luhur. Demikian oleh karena itu peserta didik
adalah subjek atau pribadi yang otonom, yang ingin diakui keberadaannya.
A. Nilai-Nilai Kebudayaan
E. B. Taylor (1871) dalam bukunya Primitive Culture mendefenisikan kebudayaan
sebagai keseluruhan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan seni, moral, hukum, adat
serta kemampuan dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota
masyarakat. Secara lebih terperinci, Kuntiaraningrat (1974) membagi kebudayaan menjadi
unsur-unsur yang terdiri dari sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi
kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian serta
sistem teknologi dan peralatan. Sedangkan menurut Astrley Montagu (1961), suatu
kebudayaan akan mencerminkan tanggapan manusia terhadap kebutuhan dasar hidupnya.
Karena dengan kebutuhan hidup inilah yang mendorong manusia untuk melahrkan
berbagai tindakan untuk menenuhi kebutuhan tersebut.
Nilai-nilai budaya adalah jiwa dari kebudayaan dan menjadi dasar dari segenap
wujud kebudayaan dalam bentuk tata hidup yang merupakan kegiatan manusia. Tata hidup
merupakan pencerminan yang konkret dari nilai budaya yang bersifat abstrak, yaitu: (1)
kegiatan manusia dapat ditangkap oleh panca indera sedangkan nilai budaya hanya
tertangguk oleh budi manusia, (2) nilai budaya dan tata hidup manusia ditopang oleh
perwujudan kebudayaan, dan (3) sarana kebudayaan yang bersifat fisik yang merupakan
produk dari kebudayaan atau alat yang memberikan kemudahan dalam berkehidupan.
Negara menurut struktur terdiri dari beberapa unsur, yaitu: ada rakyat yang
merupakan kesatuan sebagai bangsa atau sebagai warga, ada wilayah atau teritorial (tanah
air), ada pemerintahan yang melaksanakan kedaulatan atas nama rakyat (kekuasaan yang
berdaulat), dan ada dasar serta tujuan negara (filsafat negara). Berdasarkan cita-cita yang
menjadi dasar terbentuknya suatu negara, terdapat tiga teori yang mendukung lahirnya
suatu negara, antara lain.
Terdapat tiga aspek penting yang perlu mendapat sorotan dalam sistem pendidikan
suatu negara. Pertama adalah negara, yang menempati posisi sebagai regulator dalam
kehidupan berbangsa. Kedua adalah warga, yang menempati posisi sebagai pendukung
sustainabilitas pembangunan bangsa. Dengan berbagai karakteristik, kapabilitas dan
kepentingan (intest) yang dimiliki, warga negara menjadi modal dasar dalam
pembangunan bangsa. Ketiga adalah pendidikan itu sendiri sebagai instrumen
pembangunan bagi suatu bangsa untuk membangun kehidupan yang lebih baik yang
berbudaya dan beradab.
Secara ontologis, relasi negara dan warga negaranya merupakan kajian dari disiplin
ilmu politik dan ilmu administrasi negara. Salah satu teori negara yang umum adalah teori
hukum alam dari Thomas Hobbes atau/dan John Locke. Menurut teori hukum alam, bahwa
negara itu lahir karena adanya kesepakatan dari masing-masing individu, atau kelompok,
atau suku untuk membentuk suatu organisasi besar yang mengurusi kepentingan-
kepentingan bersama. Masing masing individu, dan kelompok, dan suku tersebut akan
menyerahkan sebahagian dari hak-hak dan kewenangannya (dibidang ekonomi,
pendidikan dan kebudayaan) kepada organisasi besar tersebut, dan sebagai
kompensasinya, maka individu, keluarga, kelompok, atau suku tersebut mendapat
perlindungan dari negara atau organisasi tersebut. Penyerahan sebahagian hak di bidang
pendidikan dan kebudayaan, membawa implikasi bahwa warga mesti patuh pada aturan
bersama (kontrak yang telah disepakati), dalam ikhtiarnya untuk belajar, mengembangkan
dan memajukan dirinya.
Dalam kehidupan modern sekarang, eksistensi negara telah menjadi fakta yang ada
di berbagai belahan bumi dengan berbagai macam bentuk kontrak atau hukum yang
mengatur warganya. Setiap orang sejak lahir dan selama hidupnya, telah membagi dan
menyerahkan sebagian hak dan hajatnya di bidang pendidikan (dan tidak hanya terbatas
pada urusan pendidikan) kepada negara. Dan pada sudut pandang lain, bahwa negara
secara an-sich telah menjadi suatu entitas yang bertanggung jawab dan memegang
wewenang untuk menyelenggarakan pendidikan kepada warganya dalam rangka
memenuhi hajat warganya di bidang pendidikan.
Ujian Akhir Semester 25
Beberapa alasan filosofis, mengapa negara mesti mengurusi urusan pendidikan
warganya, adalah sebagai berikut: Pertama, warga-negara, sebagian atau seluruhnya,
belum atau tidak dapat menyelenggarakan urusan pendidikan secara layak dan memadai.
Dalam konteks ini, negara diasumsikan sebagai organisasi yang besar dan kuat sehingga
mempunyai sumberdaya yang diperlukan bagi terselenggaranya pendidikan yang layak dan
memadai. Disisi lain, warga negara diasumsikan sebagai tidak berdaya karena sebab-sebab
tertentu. Contoh dari kondisi seperti ini adalah pada negara yang baru melepaskan diri dari
jajahan bangsa lain, sehingga kondisi ekonomi rakyatnya berada pada garis kemiskinan.
Dalam kondisi seperti ini, negara menyediakan pendidikan kepada seluruh rakyatnya
secara merata.
Frederich harbison dan Charles A Myers dalam bukunya yang berjudul “education
Manpower and Economic Growth Stategis of Human Resource Development”
mengemukakan beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi sistem pendidikan adalah
sebagai berikut:
1. Factor Historis
Menurut harbison dan mayer, faktor sejarah pertumbuhan masyarakat
ditentukan oleh tiga hal yang saling berkaitan, yaitu pendidikan, kemampuan manusia
dan pertumbuhan ekonomi. Atas pembagian di atas, harbison dan mayer membagi
negara-negara di dunia ini menjadi empat tingkat pertumbuhan sebagai berikut:
4. Politik Negara
Antara ekonomi dan politik hampir tak dapat dipisahkan, karena pembangunan
ekonomi memerlukan politik yang stabil, sedangkan stabilitas politik juga memerlukan
stabilitas ekonomi, satu sama lain saling mempengaruhi dan saling memperkokoh.
Bilamana dalam suatu negara kehidupan politiknya sedang kacau, mustahil dapat
diciptakan suatu keseimbangan yang serasi di dalam sistem pendidikan. Politik negara
merupakan kompas yang harus dijadikan pedoman dalam langkah-langkah
pengelolaanya.
6. Faktor Kesukuan
Pengaruh kesukuan di beberapa negara terhadap sistem pendidikan menyebabkan
timbulnya pemisahan dan perpecahan kehidupan masyarakat atau bangsa kedalam
golongan-golongan yang saling berkonfrontasi antara satu sama lain. Di beberapa
negara seperti Amerika perbedaan warna kulit menyebabkan pemisahan sistem
pendidikan yang dapat menimbulkan sentiment rasialis.
Dibawah ini menjelaskan bagaimana sistem pendidikan yang ada di setiap negara,
khusunya negara-negara maju dan berkembang.
1. Pendidikan di Indonesia
Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia bertujuan mencerdaskan kehidupan
bangsa dan mengembangkan manusia lndonesia seutuhnya, yaitu manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur,
memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian
yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Sistem Pendidikan Nasonal Indonesia berakar pada Bhineka TunggaL Ika yang harus
menyerap dan mengembangkan karakteristik geografi, demografis, sosial budaya,
sosial politik, dan sosial ekonomi daerah-daerah di seluruh wilayah Indonesia.
Pasal 31 ayat 2 berbunyi “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya.” Ayat ini secara khusus berbicara tentang pendidikan
dasar 9 tahun (tingkat SD dan SLTP), bahwa target yang dikehendaki adalah warga
negara yang berpendidikan minimal setingkat SLTP.
3) Karakteristik tujuan
Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dalam segala
sektor, politik, ekonomi, keamanan, kesehatan dan sebagainya. Yang makin menjadi
kuat dan berkembang dalam memberikan keadilan dan kemakmuran bagi setiap warga
negara dan negara sehingga mampu menghadapi gejolak apapun.
Pendidikan Nasional mengatur bahwa jalur pendidikan sekolah terdiri atas tiga jalur
utama yakni pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
Kurikulum, peserta didik, dan tenaga kependidikan tidak dapat dipisahkan dalam
kegiatan belajar mengajar.
1) Satuan Pendidikan
Satuan pendidikan (sekolah atau luar sekolah) menyelenggarakan kegiatan belajar-
mengajar yang dilaksanakan di sekolah atau di luar sekolah.
2) Jalur Pendidikan
Penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan melalui dua jalur yaitu jalur pendidikan
sekolah dan luar sekolah. Jalur pendidikan sekolah merupakan pendidikan yang
diselenggarakan di sekolah melalui kegiatan belajar mengajar secara berjenjang dan
berkesinambungan. Jalur pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang
diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar-mengajar yang tidak harus
berjenjang dan berkesinambungan. Pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur
pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga yang memberikan
keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan keterampilan.
4) Jenjang Pendidikan
Jenjang pendidikan yang termasuk jalur pendidikan sekolah terdiri atas: Pendidikan
Dasar; Pendidikan Menengah; dan Pendidikan Tinggi. Selain jenjang pendidikan di
atas, diselenggarakan pendidikan prasekolah. Jenjang pendidikan yang termasuk jalur
pendidikan luar sekolah adalah pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah baik
di lembaga pemerintah, nonpemerintah, maupun sektor swasta dan masyarakat.
2. Pendidikan di Australia
Australia tidak dapat menahan masuknya orang Asia sehingga dia tidak dapat menutup
ekonominya bagi bangsa-bangsa Asia dan Pasifik, karena karena imigran dari kedua benua
itu masuk dengan jumlah dan waktu yang sangat cepat. Akibatnya, Australia mengubah
kebijakannya dari White Australia Policy ke multicultural policy. Dampak dari perubahan
kebijakan itu membuat orang Aborigin meningkatkan kepercayaan dirinya.
Untuk negara bagian dan wilayah daratan New South Wales, Victoria,
Tasmania dan Australian Capital Territory, jenjang pendidikan dasar 6 tahun dan dan
pendidikan menengah 6 tahun, terdiri dari:
Untuk negara bagian dan wilayah daratan Queensland, Australia Selatan, Australia
Barat dan Northern Territory, jenjang pendidikan dasar 7 tahun dan dan pendidikan
menengah 5 tahun, terdiri dari:
Jenjang pada pendidikan tinggi, lama pendidikan untuk memperolah gelar sarjana
masing-masing perguruan tinggi atau universitas mungkin sedikit berbeda. Berikut
adalah lama pendidikan tinggi secara umum di Australia, adalah sebagai berikut :
Australia Indonesia
Lama pendidikan dasar 6 / 7 tahun 9 tahun
Jalur pendidikan SD ((Primary SD/MI – 6 tahun
School) SMP/MTs – 3 tahun
Jalur pendidikan yang bersifat Milik swasta Milik pemerintah/swasta
keagamaan
Australia Indonesia
Lama pendidikan menengah 6 / 5 tahun 3 tahun
Jalur pendidikan Junior Secondary SMA/MA/SMK/MA
K– 3
School – 4 / 3 tahun tahun
Senior High School
–2
tahun
Jalur pendidikan yang bersifat Milik swasta Milik pemerintah /
keagamaan
Swasta
Penjurusan untuk pendidikan umum Tidak ada Ada (tahun kedua)
Jenis pendidikan yang bersifat 2 tahun + 3 tahun
Untuk pendidikan karakter di Australia, misalnya kejujuran, bisa tercermin dari materi
pelajaran Sejarah (saat mempelajari Suku Aborigin). Dunia tahu bahwa suku Aborigine
adalah lembaran hitam sejarah Australia. Dalam materi yang diberikan, guru tidak
menyodorkan sejarah dalam satu versi saja. Materi diambil dari berbagai sumber yang
mewakili perjalanan sejarah, termasuk konflik dan pro-kontranya. Ada artikel di media
yang mengkritisi kebijakan pemerintah, cuplikan kebijakan pemerintah, produk budaya
berupa novel, film, dan lagu, yang menyuarakan jeritan suku Aborigine. Ada isu tentang
bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengintegrasikan anak-anak mixed blood
(Aborigin+white race) ke white culture mainstream sebelum tahun 1960an. Namun upaya
intergrasi ini dilihat sebagai upaya mencerabut anak-anak tersebut dari akar budayanya.
3. Pendidikan di USA
Negara Amerika Serikat merupakan penduduk nomor tiga terbanyak di dunia
yaitu berjumlah kira-kira 275 juta jiwa dan terdiri dari 50 negara bagian. Luas wilayahnya
kurang lebih 9,5 juta km persegi. Bangsa Amerika terdiri dari bangsa-bangsa emigran dari
berbagai kawasan dunia, terutama dari kawasan Eropa sebagai bagian dominannya.
Imigrasi tua berasal dari Eropa Utara dan Barat seperti Inggris, Scotlandia, Prancis,
Belanda, Jerman dan sebagainya yang kemudian diikuti oleh imigrasi yang muda berasal
dari Eropa Selatan dan timur seperti Italia, Rusia, Polandia, Austria, Hongaria dan lain
sebagainya. Setiap bangsa membawa kepercayaan, adat istiadat, bahasa dan segi-segi
kebudayaannya masing-masing ke Amerika sehingga Amerika menjadi periuk peleburan
bagi segala jenis kebudayaan asli dan pendatang dari benua hitam Afrika. Itulah yang
membentuk kebudayaan Amerika sekarang.
Pendidikan di AS pada mulanya hanya dibatasi pada imigran berkulit putih, sejak
didirikan sekolah rendah pertama tahun 1633 oleh imigran Belanda dan berdirinya
Universitas Harvard di Cambridge, Boston tahun 1636. Baru tahun 1934 dikeluarkan
Undang Undang Indian Reservation Reorganization Actdi daerah reservasi suku Indian.
Untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh tentang kelompok etnis di Amerika Serikat
berikut ini akan disajikan masing-masing kelompok etnis yang hidup di Amerika Serikat.
a. Tujuan Pendidikan
Karakteristik utama sistem pendidikan di AS adalah sangat menonjolnya
desentralisasi. Pemerintah federal AS tidak punya mandat untuk mengontrol atau
mengadakan pendidikan untuk masyarakat. AS tidak mempunyai sistem pendidikan
yang berpusat. Namun demikian, tidak berarti bahwa pemerintah federal tidak
memberikan arah dan pengaruh terhadap masalah pendidikan pemerintah federal juga
ikut menghilangkan sistem sekolah yang memisahkan sekolah berdasarkan ras,
khususnya antara orang kulit hitan dan kulit putih. Pemerintah federal menyamakan
alokasi pendanaan sekolah, menyediakan akses pendidikan bagi orang miskin dan
orang cacat.
1) pendidikan tinggi 2 tahun yang lazim disebut junior community atau technical
college memberikan sertifikat dan kadang kala memberikan gelar Associate of Arts
(AA)
2) pendidikan tinggi 4 tahun yang menyediakan pendidikan strata 1 (S-1) disamping
pendidikan profesional (program diploma) level ini lazim disebut undergraduate
tamatan program S-1 diberi gelar Bachelor of Arts (BA) atau Bachelor of Science
(BS)
3) universitas yang biasanya terdiri dari berbagai fakultas yang menyediakan
program-program diploma, S-1, pascasarjana S-2 (master) dan kebanyakan
menyediakan program doktor S-3. para lulusan program s-2 diberi gelar Master of
Arts (MA) atau Master of Science (MS). Lulusan program Doctor (S-3) diberi gelar
Doctor of Philosphy (Ph.d) atau Doctor of Education (Ed.D) dalam bidang-bidang
tertentu seperti kedokteran, hukum, teologi, bisnis. Pada level S-3 tersedia
program-program spesialis.
c. Kurikulum dan Metodologi Pengajaran
Kebiasaan otonomi yang sudah lama dan kuat serta keadaan masyarakat
sangat mempengaruhi bentuk kurikulum serta cara mengajar di AS. Disini tidak ada
kurikulum nasional yang resmi. Bagian pendidikan negara bagian menggariskan
kurikulum dengan tingkat variasi yang cukup besar dan memberi peluang pada daerah
setempat. Pada awalnya sekolah Amerika sangat dipengaruhi oleh agama dan fokus
pada keterampilan tulis baca. Semenjak abad ke 19 perhatian terhadap masalah sosial
semakin menonjol.
Sistem pendidikan di Amerika mempunyai sifat yang khas yang berbeda dari
sistem pendidikan di negara-negara lain. Hal ini terutama karena sistem
pemerintahannya yang mendelegasikan kebanyakan wewenang kepada negara bagian
dan pemerintahan lokal (distrik atau kota). Amerika tidak memiliki sistem pendidikan
nasional yang ada adalah sistem pendidikan dalam artian terbatas pada masing-masing
negara bagian. Hal ini berdasarkan pada filosofi bahwa pemerintah (federal/pusat)
harus dibatasi perannya, terutama dalam pengendalian kebanyakan fungsi-fungsi
publik seperti sekolah, pelayanan sosial dan lain-lain. Karena itu di Amerika dalam
pendidikan dasar dan menengah tidak ada kurikulum nasional bahkan tidak ada
kurikulum negara bagian. Apa yang ada hanyalah semacam standar-standar
kompetensi lulusan yang ditetapkan pemerintahan negara bagian ataupun
pemerintahan lokal.
4. Pendidikan di Jepang
Jepang merupakan suatu negara yang mengalami perkembangan sangat pesat
dalam bidang IPTEK. Meskipun pada awalnya pendidikan Jepang meniru AS, namun pada
bentuk akhir yang dipakai sampai saat ini ternyata berbeda. AS menerapkan sistem
pendidikan modern, sedangkan Jepang bersifat konservatif. Dalam hal ini Jepang
melakukan penyesuaian terhadap budaya bangsa sendiri. Pendidikan Jepang adalah
egalitarian (persamaan derajat dan kognitif), dimana Jepang mengabaikan perbedaan latar
belakang, semua dianggap sama dan tidak diskrimninasi antara keluarga kaya dengan
miskin, dalam memuji murid yang (dianggap) pandai dengan yang (dianggap) bodoh.
Semuanya adalah sama. Dalam hal biaya pendidikan, praktis tidak ada perbedaan biaya
yang dikeluarkan oleh setiap murid dalam jenjang yang sama, meskipun yang satu berada
dalam sekolah yang ada teknologi TV, LCD, komputer dan yang satu hanya menggunakan
papan tulis biasa.
Tahun ajaran di Jepang biasanya dimulai pada bulan April, yang dibagi
menjadi 3 semester yang dipisahkan oleh liburan singkat musim semi dan musim dingin,
serta liburan musim panas yang lebih panjang (tergantung pada iklim tempat sekolah
berada).
1) Preschool dan TK
a) PAUD dimulai dirumah oleh orang tua dengan berbagai media. Dirumah diajarkan
tata krama, perilaku sosial yang tepat, dan bermain terstruktur.
b) Kegiatan di TK (8.50 – 15.00): masuk kelas, meletakkan barang di loker, duduk di
bangku masing-masing, absen, salam, materi hari ini, istirahat (latihan kebersihan
sendiri), menyanyi, senam pagi, kembali ke kelas, melepas kaus kaki, bermain
(diluar/kebun/halaman sekolah), merapikan alat bermain, bersiap makan (cuci
tangan dan ugai), menggosok gigi, bermain di kelas (permainan
tradisional/modern), bersiap pulang, menyanyi lagu perpisahan, baris/kelas di
depan sekolah, pulang.
2) Sekolah Dasar
a) Semua anak memasuki kelas 1 pada usia 6 tahun dan hampir 99% terdaftar di
sekolah umum.
b) Di sekolah negeri tidak mewajibkan seragam, namun harus memakai name tag di
saku baju kiri dan badge di bahu kiri, yang warnanya disesuaikan dengan tingkatan
kelas. Tas anak SD dilengkapi pluit kecil yang berguna untuk memberi tanda
apabila bertemu dengan orang asing yang ingin mengganggu.
Dua hal yang menjadi inti pendidikan adalah pendidikan yang berfokus pada
minat anak-anak dan pentingnya belajar melalui pengalaman langsung. Di Jepang sendiri,
meskipun ada pelajaran moral (doutoku) dan ada kurikulumnya secara spesifik apa yang
harus diajarkan, namun apa definisi moral, baik-buruk, benar-salah, sama sekali tidak ada
batasannya. Penekanannya lebih kepada nilai-nilai yang dianggap baik secara universal,
seperti nilai-nilai kejujuran, kerja keras, menghormati hak orang lain, disiplin, rasa malu
ketika tidak memenuhi kewajiban, dan sebagainya. Di Jepang sendiri, dengan kualitas
guru-guru yang sangat baik, pendidikan moral yang didukung dengan sistem pendidikan,
serta undang-undang yang fokus pada pembentukan karakter di sekolah dasar dan
menengah, bisa sukses menanamkan nilai-nilai yang diajarkan tadi.
Jawaban
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk menjamin perkembangan dan
kelangsungan kehidupan bangsa. Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta
didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang
akan datang. Setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan pada tahap
manapun dalam perjalanan hidupnya. Pendidikan dapat diperoleh baik melalui jalur
pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah. Peningkatan dan pemerataan
pendidikan merupakan salah satu aspek pembangunan yang mendapat prioritas utama dari
Pemerintah Indonesia. Sistem Pendidikan Nasional yang sekarang berlaku diatur melalui
Undang-Undang Pendidikan Nasional.
Hasil inovasi pendidikan dan segala kementerengan laboratorium dan sarana belajar
jika tidak ada guru yang berkualitas akan sia-sia saja. Kesalahan serius bangsa yang
menyebabkan rakyat lapar dan kurang berpendidikan juga disebabkan dosa kita, karena
pendidikan bisa melahirkan pemimpin yang berjiwa guru.
Harus diakui bahwa guru merupakan faktor utama dalam proses pendidikan.
Meskipun fasilitas pendidikannya lengkap dan canggih, namun bila tidak ditunjang oleh
keberadaan guru yang berkualitas maka mustahil akan menimbulkan proses belajar mengajar
yang maksimal. Di sinilah masalah besar dunia pendidikan di Indonesia. Sudah fasilitas
pendidikannya sangat memprihatinkan, gurunya pun tidak berkualitas, apalagi profesional.
Bila berbicara tentang "kualitas" guru, beberapa ahli pendidikan berpendapat bahwa
ada lima faktor yang sangat mempengaruhinya, yaitu adanya kewenangan yang benar-benar
diserahkan kepada guru, kualitas atasan dalam mengawasi dan mengontrol perilaku guru,
kebebasan yang diberikan kepada guru (baik di dalam maupun di luar kelas), dan hubungan
guru dengan muridnya, pengetahuan guru (yang akan mempengaruhi kepercayaan dirinya).
Tentang kewenangan guru, jangankan untuk yang bersifat birokratif, untuk yang
bersifat edukatif saja, mereka tidak mempunyai kewenangan (atau keberanian?) untuk
memutuskan (apalagi menolak). Guru hanya berperan sebagai pelaksana.
Tentang kebebasan bagi guru, sangatlah minim. Hal ini tercermin dari keberadaan
kurikulum (sebagai acuan pencapaian materi pelajaran) yang berlaku nasional. Di satu sisi,
memang dapat mempersempit selisih kualitas antara murid yang di Jawa dan yang di luar
Jawa. Namun, di sisi lain membuat guru tidak berani berkreasi karena ada kemungkinan tidak
sesuai dengan kurikulum. Hal ini dianggap akan merugikan murid sebab akan memengaruhi
peluangnya dalam memperoleh nilai yang baik yang masih menjadi tujuan akhir dari sistem
pendidikan di tiap jenjang di negeri ini.
Selain itu, juga belum ada peraturan di bidang pendidikan yang secara tegas
mengharuskan guru untuk meningkatkan kualitas pengajarannya sesuai dengan standar yang
ditentukan, yang ada barulah berupa himbauan saja. Keberadaan peraturan seperti ini akan
memberikan konsekuensi bila seorang guru tidak mampu meningkatkan kualitas diri serta
anak didiknya. Bukannya seperti saat ini dengan cara guru memberikan les-les privat pada
segelintir murid yang selain menimbulkan kecemburuan, menambah beban/pengeluaran
orang tua, juga memperlihatkan tidak adanya rasa tanggung jawab moral dari guru terhadap
anak didiknya.
Kualitas pendidikan hanya dapat meningkat bila para pemakai jasa pendidikan (orang
tua murid) sudah berani mempertanyakan keprofesionalan para pendidik serta bila
penyelenggaraan pendidikan sudah dikelola oleh guru yang profesional, yitu guru yang
memiliki kompetensi tertentu sesuai dengan persyaratan yang dituntut oleh profesi keguruan.
Apa persyaratannya? Dalam bukunya Education and Theacher, BJ Chandler mengemukakan
beberapa hal yang harus ada apabila kegiatan mengajar ingin dianggap sebagai suatu profesi
yaitu lebih mementingkan layanan daripada kepentingan pribadi, mempunyai status yang
tinggi, memiliki pengetahuan yang khusus, memiliki kegiatan intelektual, memiliki hak untuk
memperoleh standar kualifikasi profesional, dan mempunyai etik profesi yang ditentukan
oleh organisasi profesi.
Jelaslah bahwa untuk menjadi seorang guru yang berkualitas dan profesional itu
tidaklah mudah. Apalagi bila tidak didukung oleh kondisi yang kondusif (tingkat
kesejahteraan yang memadai dan mekanisme kontrol proses pendidikan yang efektif). Karena
itu, marilah kita semua (pemerintah), orang tua, masyarakat, lembaga hukum, institusi
pendidikan, dan sebagainya) berupaya memperbaiki diri guna tercapainya tuntutan akan
kualitas dan profesionalisme guru.
Tetapi kalau profesionalisasi adalah konsep yang begitu dinamis, bagaimana kita
dapat mengamati atau menilai bahwa kita telah sampai pada tahap yang acceptable, dan yang
sekaligus improvable? Inilah sisi lain lagi dari masalah profesionalisasi di bidang
kependidikan. Profesionalisasi, sebagai sebuah proses, terjadi di dalam sebuah konteks yang
riil, bukan di dalam ruang hampa.
Profesionalisasi berkaitan dengan apa yang kita percayai sebagai tujuan yang
semestinya kita capai. Dengan serangkaian tujuan yang jelas, kita kemudian dapat
mengidentifikasi berbagai indikator keberhasilan. Dan dengan itu akan lebih mudah kita
memahami wujud profesionalisme yang dikehendaki. Tetapi profesionalisasi juga berkaitan
dengan living realisties yang berpengaruh terhadap keberhasilan kita mendidik tenaga-tenaga
profesional; sumber daya manusia, sarana, iklim politik, dan berbagai unsur di dalam
ecosystem pendidikan yang harusnya diperhitungkan di dalam mencapai tujuan.
Tidak dapat dinaifkan bahwa memang tidak mudah merumuskan dan menggambarkan
profil seorang guru profesional. Apakah mungkin karena itu, maka kita tidak dapat
menemukan guru yang memenuhi syarat profesionalisme? Tidak. Bukan karena itu, masih
banyak guru yang berhati guru dan berjiwa guru. Masih banyak guru yang hidup dan matinya
diberikan kepada tugasnya mendidik anak bangsa. Masih banyak guru yang berpotensi
profesional. Tetapi dunia sekeliling guru tidak memahami potensi itu. Dunia sekeliling guru
masih terlalu banyak berwatak anti profesionalisme. Watak birokrasi misalnya, masih terlalu
kental sebagai watak yang tidak menghormati karena tidak memahami hakikat
profesionalisme.
Ujian Akhir Semester 61
Keadaan yang anti profesionalisme itulah yang justru mencemari dan memudarkan
hasil usaha dan keberhasilan guru-guru yang menerima profesi pendidikan sebagai panggilan
hidup. Mereka ada di sekeliling kita. Dan kalau kita cermat, kita mungkin dapat mengenalnya
apabila kita bertemu dengan guru serupa itu. Perhatikanlah sekeliling Anda. Lihatlah guru itu,
yang telah menyelesaikan dengan baik pendidikan profesionalnya dari sebuah lembaga
pendidikan guru. Pada tahun-tahun awal sejak dia pertama kali menjadi guru, tidak banyak
yang istimewa yang tampak di dalam guru itu. Bahkan penampilan awalnya sama saja dengan
guru-guru yang lain. Bukan tidak kompeten, tetapi tidak ada keistimewaan apa pun yang
tampak dari luar.
2. Penghargaan Profesi
Pertama, lembaga pendidikan guru harus bisa merekrut calon guru dengan memberi beasiswa
dalam jumlah banyak, diasramakan dan dijamin pengangkatan status kepegawaiannya, sama
seperti perekrutan tentara. Untuk merealisasi hal itu, di negeri ini tidak perlu terlalu banyak
penyelenggara LPTK.
Kedua, pemerintah harus beritikad baik untuk meningkatkan anggaran pendidikan, khususnya
dalam memberi kesejahteraan guru dan penyediaan sarana belajar. Sebab, standar penggajian
guru selama ini lebih rendah dibandingkan dengan seorang cooker dan teller bank.
Bagaimana mungkin guru akan bisa membeli buku, berlangganan koran, memainkan
komputer, menelepon teman/siswa, naik motor ke sekolah, kalau tidak ada sarana
pemberdaya untuk mencapai keinginan itu.
Keempat, Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3) harus bisa mengupayakan sosial
ekonomi guru diberdayakan supaya mereka memiliki motivasi dalam mengajar. Kini perlu
bahwa guru berani menolak berbagai bentuk pemotongan yang tidak berkaitan dengan upaya
profesionalitas.
Dalam mengurai dan mencari pemecahan masalah itu, guru acap dituding sebagai
biang kerok. Kualitas guru yang rendah dan guru yang tidak profesional kerap dikaitkan
dengan keterpurukan pendidikan.
Di banyak negara, sosok guru merupakan sosok invisible yang dianggap diperlukan
tetapi selalu tersisih, tak terperhatikan, dan tersembunyi di balik tembok sekolah. Juga di
Indonesia, guru adalah sosok "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa", karena sebagai sebuah profesi,
jasa guru tidak mendapatkan penghargaan selayaknya. Itulah sekilas gambaran sosok guru
saat ini.
Citra guru demikian akan terasa kontradiktif jika dibanding citra guru pada masa
prakemerdekaan atau awal kemerdekaan. Pada masa itu, guru dipandang dan diperlakukan
bukan hanya sebagai pendidik yang pantas digugu lan ditiru, tetapi juga pemimpin
masyarakat yang dihormati dan disegani. Status ekonominya relatif tinggi. Hal itu tidak
terlepas dari imbal jasa yang memadai dan kredibilitas profesional guru di mata masyarakat
yang tinggi.
Secara politis guru juga dibutuhkan oleh pemerintah, baik pada masa penjajahan
maupun awal kemerdekaan. Demikian pula pada masa itu masih sedikit orang yang
berprofesi sebagai guru, sementara profesi-profesi lain belum banyak berkembang.
Di satu sisi mengakui peran penting pendidikan dalam pengembangan sumber daya manusia,
di sisi lain penghargaan terhadap profesi guru tidak sepadan dengan tugas dan tanggung
jawabnya. Gaji guru, meski sudah ada usaha dari pemerintah untuk menaikkannya, tetap saja
tergolong rendah.
Rendahnya kualitas dan kompetensi guru juga menjadi penyebab merosotnya citra
profesi guru. Status okupasional guru yang relatif rendah membuat profesi guru tidak lagi
menjadi pilihan utama, sehingga banyak generasi muda yang tidak berminat menjadikan guru
sebagai pilihan profesinya. Input yang dimiliki tenaga kependidikan relatif rendah tingkat
intelektualnya dibanding input nonkependidikan.Anak yang prestasi akademiknya baik,
hampir tidak ada yang mau menjadi guru. Akibatnya output yang dihasilkan juga rendah
kualitasnya.
Di sisi lain kompetensi guru, baik kompetensi personal, sosial, maupun profesional
masih belum memadai. Ini dapat dilihat dari kurangnya kematangan emosional dan
kemandirian berpikir, lemahnya motivasi dan dedikasi, serta lemahnya penguasaan bahan ajar
dan cara pengajaran yang kurang efektif. Sistem pendidikan guru yang kurang sistematis dan
semrawut yang ditunjukkan dengan kurang terkoordinasinya pengadaan, pemanfaatan, dan
pembinaaan profesi guru, secara tidak langsung ikut berperan menurunkan citra profesi guru.
Pengadaan guru secara massal yang kurang mempertimbangkan standar kualitas, tidak
berimbangnya antara jumlah guru yang dihasilkan dengan kebutuhan di lapangan, serta
minimnya pembinaan sebagai upaya peningkatan profesionalisme guru, mengakibatkan
profesi guru tidak dipandang sebagai profesi yang istimewa.
Profesi ini dianggap tidak menuntut keahlian yang khas, sehingga kurang memiliki
"nilai jual". Profesi guru dianggap sebagai profesi yang mudah dan murah. Kesannya setiap
orang bisa menjadi guru, asalkan mau. Pudarnya citra profesi guru juga disebabkan kurang
efektifnya organisasi profesi guru dalam melindungi dan mengembangkan profesionalisme
guru.
Untuk mengembalikan citra profesi guru yang kini merosot bukan perkara mudah.
Dibutuhkan komitmen dan konsistensi dari banyak pihak; guru sendiri, organisasi guru,
pemerintah, dan masyarakat. Usaha peningkatan kesejahteraan guru dengan kenaikan gaji
harus terus didesakkan. Bagaimanapun persoalan ekonomi yang dihadapi guru amat
mempengaruhi kinerja dan profesionalitas guru.
Hal ini menuntut peningkatan kualitas dan kompetensi dari para guru, dengan terus-
menerus memperbarui diri, mengupgrade dirinya sesuai tuntutan zaman. Juga untuk
memperbaiki kualitas output-nya, lembaga pendidikan guru harus membenahi strukturnya,
dengan membuat terobosan-terobosan baru yang secara tidak langsung akan membantu
meningkatkan citra profesi guru.
Profesionalisme Guru
Bertolak dari keharusan menjaga keseimbangan antara kedaulatan murid dan otoritas
guru, serta keserasian antara penumbuhan kemampuan mempertanyakan dan kesediaan
menerima nilai lingkungan, maka peranan kunci guru di dalam interaksi pendidikan adalah
melakukan pengendalian yang pada dasarnya dapat ditinjau dari tiga segi. Peranan kunci itu
adalah: (a) secara sistematis mengupayakan pembentukan kemandirian murid dengan
mengatur pemberian kesempatan untuk mengambil keputusan sesuai dengan perkembangan
kemampuannya, (b) pemupukan kemampuan murid dalam pengambilan keputusan dengan
meningkatkan pengetahuan serta keterampilan yang relevan, dan (c) penyediaan sistem
dukungan yang memungkinkan melaksanakan bergabai alternatif bentuk kegiatan belajar
yang mencerminkan kemandirian dan kemampuan mengambil keputusan yang semakin
meningkat dengan kata lain, guru memang harus mengerahkan segenap kemampuannya
untuk menyediakan kondisi belajar yang kondusif untuk terjadinya proses pembelajaran pada
murid.
Pengendalian di sini perlu diartikan secara khas, sejak awal tujuannya adalah
pemandirian murid, bukan penjinakannya. Oleh karena itu, harus kokoh terpatri dalam
kesadaran guru bahwa segala kelebihannya apabila dibandingkan dengan murid adalah
bersifat sementara dan bukan hakiki. Bila dikaji lebih jauh dari situasi yang telah
dikemukakan pada butir -butir di atas, jelas akan kita pertanyakan profil guru bagaimana kita
harapkan untuk dapat mengelola proses pembelajaran dalam rangka antisipasi generasi muda
kita untuk memasuki gerbang abad ke-21, yang penuh dengan gejolak kemajuan itu. Bila
Ujian Akhir Semester 67
untuk itu, seandainya kita menjawab bahwa guru kita harus profesional (yang dicirikan pada
proses kemampuan pembelajaran diri), tetap kita harus pertanyakan bagaimana ciri umum itu
dan dengan jalan bagaimana kita meningkatkan hal tersebut.
Pada dasarnya modernisasi merupakan suatu periode waktu dan dengan suatu lokasi
geografis, dimana karakteristik utama dari proses ini tidak terungkap. Pada mulanya,
terminologi ini muncul sebagai akibat upaya sekelompok ahli pembangunan di Amerika
Serikat untuk mengembangkan suatu alternatif terhadap pendekatan Marxis mengenai
pembangunan sosial. Dari sudut pandang sosiologi, teori modernisasi menjelaskan
modernisasi dengan merujuk pada awal mula dari proses yang disebutkan Talcott Parsons
sebagai differensiasi struktural. Ini adalah proses yang dapat didorong oleh berbagai cara,
namun yang sangat mungkin disebabkan oleh perkembangan teknologi atau nilai-nilai.
Sebagai akibat dari proses ini, lembaga/institusi berlipat ganda, struktur yang sederhana dari
masyarakat tradisional ditransformasikan ke dalam struktur yang kompleks dari masyarakat
modern, dan nilai-nilai berkembang.
Dalam alur berpikir ini, maka modernisasi dapat dilihat baik sebagai proses maupun
suatu keadaan. Dan lazimnya keadaan modern dilihat sebagai lawan dari keadaan tradisional.
Pendekatan ini banyak mempengaruhi pendekatan pembangunan yang diterapkan oleh
banyak negara, khususnya negara yang sedang berkembang seperti Indonesia dengan
pendekatan tinggal landasnya. Kalau kita mencermati karakteristik masyarakat modern, maka
nyatalah bahwa terdapat pula karakteristik tradisional di dalamnya, demikian pula sebaliknya.
Dengan demikian referensi waktu dan tempat tidaklah tepat untuk membedakan tradisional
dan modern; yang sesuai ialah pemahaman secara kontekstual.
Dengan demikian, untuk memahami hal-hal ini tidak cukup dengan sekedar
menciptakan terminologi baru seperti pasca modernisasi dan sebagainya, akan tetapi lebih
tepat kalau kita menelaah kembali hakikat dari modernisasi itu sendiri. Demikianlah dengan
perubahan dalam kehidupan masyarakat yang berkembang dengan sangat pesat, maka
muncullah pendapat bahwa era yang akan kita hadapi dalam abad mendatang adalah era
globalisasi, sebagai "... the compression of the world and the intensification of consciousness
of the world as a whole".
Sehubungan dengan itu, perlu disadari bahwa tamatan perguruan tinggi di Indonesia
tidak hanya cukup memiliki pengetahuan kognitif yang tinggi, akan tetapi perlu dilengkapi
dengan sikap dan perilaku inovatif. Terdapat kecenderungan bahwa hal-hal yang bersifat
konvensional dan tradisional tidak mendapat tempat lagi didalam era globalisasi. Teknologi
Persoalan yang muncul kemudian, bahwa guru yang diasumsikan telah memiliki
kompetensi yang hanya berlandaskan pada asumsi bahwa mereka telah tersertifikasi,
tampaknya dalam jangka panjang sulit untuk dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.
Bukti tersertifikasinya para guru adalah kondisi sekarang, yang secara umum merupakan
kualitas sumber daya guru sesaat setelah sertifikasi. Oleh karena sertifikasi erat kaitannya
dengan proses belajar, maka sertifikasi tidak bisa diasumsikan mencerminkan kompetensi
yang unggul sepanjang hayat. Pasca sertifikasi seyogyanya merupakan tonggak awal bagi
guru untuk selalu meningkatkan kompetensi dengan cara belajar sepanjang hayat. Untuk
memfasilitasi peningkatan kompetensi guru, diperlukan manajemen pengembangan
kompetensi guru. Hal ini perlu dipikirkan oleh berbagai pihak yang berkepentingan, karena
peningkatan kompetensi guru merupakan indikator peningkatan profesionalisme guru itu
sendiri.
Walaupun guru telah tersertifikasi, yang dapat diasumsikan mereka telah memiliki
kecakapan kognitif, afektif, dan unjuk kerja yang memadai, namun sebagai akibat
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tuntutan pembangunan pendidikan
kekinian, maka guru dituntut untuk terus menerus berupaya meningkatkan kompetensinya
secara dinamis. Mantja (2002) menyatakan bahwa peningkatan kompetensi tersebut tidak
hanya ditujukan pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotor, namun yang lebih penting
adalah kemamuan diri untuk terus menerus melakukan peningkatan kelayakan kompetensi.
Sergiovanni (dalam mantja, 2002) menegaskan bahwa teachers are axpected to put their
knowledge to work to demonstrate they can do the job. Finally, professional are expected to
engage in a life long commitment to self improvement. Self improvement is the will-grow
competency area. Pernyataan Sergiovanni tersebut memberikan petunjuk bahwa asumsi
profesionalisme guru pasca sertifikasi seyognya menjadi spring board bagi guru untuk terus
Manajemen pendidikan masa depan yang diimpikan oleh Depdiknas adalah sekolah
memiliki wewenang lebih besar dalam pengelolaan lembaganya. Pengambilan keputusan
akan dilakukan secara partisipatif dan partisipasi masyarakat semakin besar. Sekolah akan
lebih luwes dalam mengelola lembaganya, pendekatan profesionalisme akan lebih
diutamakan dari pada pendekatan birokratik, pengolalaan sekolah akan lebih desentralistik,
perubahan sekolah akan lebih didorong oleh motivasi diri sekolah dari pada diatur dari luar
Ujian Akhir Semester 72
sekolah, regulasi pendidikan lebih sederhana, peranan pusat bergeser dari mengontrol
menjadi mengelola risiko, meningkatkan manajemen yang lebih efisien, akan lebih
mengutamakan team work, informasi akan terbagi ke semua kelompok kepentingan sekolah
akan lebih mengutamakan pemberdayaan.
Proses pembelajaran di kelas selama ini telah memposisikan guru sebagai pihak yang
super (kuat), sedangkan siswa barada pada posisi under (lemah), tidak berdaya yang harus
menelan mentah-mentah apa yang diberikan guru. Kondisi seperti itu kurang memberikan
kesempatan pada siswa untuk mengembangkan dirinya secar optimal. Sebagai dampaknya
adalah siswa merasa tidak betah belajar dan tidak nikmat berada di lingkungan sekolah.
Pertama, pengembangan karier. Kesempatan untuk promosi terbuka disertai kejujuran dalam
pelaksanaannya akan merangsang motivasi guru melaksanakan tugasnya. Posisi yang dapat
dicapai oleh guru juga dikembangkan, khususnya untuk posisi yang diperebutkan dengan
persyaratan ketat, misalnya kepala sekolah, pengawas, guru inti (instruktur) dan sebagainya.
Kedua, peningkatan mutu guru. Para guru dituntut meningkatkan kemampuannya atas
prakarsa sendiri dan sekolah tempat mereka bertugas yang kemudian mendapat dukungan
dari pemerintah. Peningkatan mutu, pertama-tama dikaitkan dengan peningkatan kualifikasi
untuk memenuhi persyaratan sebagai guru, baik melalui penataran maupun studi lanjut.
Ketiga, mengatasi beban psikologis dengan cara merampingkan beban kurikulum tanpa
mengurangi target kurikulum untuk jenjang pendidikan yang sesuai. Para peserta didik harus
ditumbuhkan bahwa belajar proses yang menyenangkan, dan guru juga harus dikembangkan
keyakinan bahwa mengajar pekerjaan menyenangkan. Terhadap kurikulum yang
diberlakukan, guru diberi kesempatan mengembangkan prakarsanya sendiri untuk mencapai
target kurikulum.
a. Peralihan paradigma dari yang terlalu berorientasi ke masa lalu ke paradigma yang
berorientasi ke masa depan. Guru dengan karakteristik profesional yang demikian,
akan mengajar dengan lebih banyak menggunakan bahasa harapan masa depan, dan
bukan bahasa nostalgia masa lalu.
b. Peralihan dari paradigma pendidikan yang hanya mengawetkan kemajuan, ke
paradigma pendidikan yang merintis kemajuan. Guru dengan orientasi profesional
demikian, akan merangsang anak didiknya untuk mencari jawaban, untuk meneliti
Peralihan paradigma tersebut pasti memakan waktu; jauh lebih mudah membicarakan
dari pada merealisasikannya. Sektor pendidikan kita tergolong sebagai sektor yang sangat
tidak peka pada tuntutan perubahan. Tetapi, sebagai bagian reformasi, kita tidak dapat
menangguhkan terjadinya proses itu berlama-lama karena sudah terdapat banyak petunjuk
bahwa salah satu sebab utama keterbelakangan kita di dunia pendidikan sekarang adalah
karena pendidikan dikembangkan dengan "profesionalisme" yang berdasarkan paradigma
yang salah.
Kita harus menyadari, dan menyadarkan guru-guru pemula, bahwa kalau perhatian
kita terfokus hanya kepada sejuta masalah yang kebetulan ada di depan mata, kita sudah pasti
kalah perang sebelum turun bertanding! Sebagian besar dari sejuta masalah itu hanyalah
akibat, atau hanyalah gejala, atau periferi dari sesuatu yang sudah lebih dahulu wujud, jauh di
bawah permukaan.