Anda di halaman 1dari 169

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM

RSUD BANYUASIN

TAHUN 2018

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)

579 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

GAGAL JANTUNG KRONIK

1. Definisi Gagal jantung adalah suatu keadaan dimana jantung tidak


sanggup memompa darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolik, meskipun darah yang kembali dari vena (venous
return) adalah normal dan mekanisme kompensasi jantung
yang dipergunakan
2. Etiologi Penyakit jantung hipertensi
Penyakit jantung coroner
Penyakit jantung rematik atau kelainan katup
Penyakit jantung bawaan
Penyakit jantung anemik
Penyakit jantung tiroid
Kardiomiopati
Korpulmonal dan lain-lain

3. Bentuk Klinis Ditinjau dari sudut klinis secara simptomatologis, dikenal


gambaran klinis berupa :
Gagal jantung kiri :
 Badan lemah
 Cepat lelah
 Berdebar
 Sesak nafas
Batuk
Tanda objektif berupa takikardi, dyspnea (dispone d’effort,
ortopnoe, paroxysmal nocturnal dispnoe), ronkhi basah halus
di basal paru, gallop bunyi jantung tiga dll
Gagal jantung kanan:

 Udem tumit dan tungkai bawah


 Hepatomegali
 Asites
 Bendungan vena jugularis
Gagal jantung kongestif: gabungan dari kedua bentuk klinik
gagal jantung kiri dan kanan.

Berdasarkan dispnoe dan fatiq telah ditetapkan klasifikasi


gagal jantung berdasarkan New York Heart Association
(NYHA) sebagai berikut:

1. Kelas I : Tidak ada keluhan


2. Kelas II : simptom pada pekerjaan biasa
3. Kelas III : simptom pada pekerjaan ringan
4. Kelas IV : simptom pada waktu istirahat
4. Diagnosis 1. Anamnesa
2. Pemeriksaan fisik
3. Laboratorium
4. EKG
5. Foto dada
6. Ekhokardiografi

580 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
7. Angiografi
8. Dll

5. Penatalaksanaan Tujuan penatalaksaan gagal jantung adalah untuk:


 Menentukan dan menghilangkan penyebab penyakit
gagal jantung
 Memperbaiki daya pompa jantung
 Memperbaiki atau menghilangkan bendungan
Tindakan untuk mencapai tujuan tersebut adalah:
1. Menentukan derajat payah jantung
Berdasarkan keluhan dan tanda klinik, derajat payah
jantung dapat dibedakan:
 Ringan, sedang atau berat
 Akut atau kronik
 Gawat darurat atau tidak
2. Membatasi aktivitas
Gagal jantung kelas tiga atau empat, istirahat di
tempat tidur. Gagal jantung kelas satu dan dua tidak
perlu istirahat di tempat tidur, hindari tidur yang
lama.
3. Mengobati faktor pencetus dan sebab penyakit jantung
Faktor pencetus seperti anemia, infeksi dan
perdarahan harus diatasi, demikian juga dengan
penyebab/etiologi dari gagal jantung diperbaiki.
4. Diet rendah garam
 Mengurangi makanan yang asin
 Jika memakai diuretik, tidak perlu membatasi diet
garam yang ketat.
5. Pemberian obat-obatan
Obat-obatan yang dipakai untuk gagal jantung adalah:
 Diuretik
 Digoxin
 Vasodilator
Diuretika :
 Loop diuretik: furosemide 20-80 mg
 Gol. Tiazid: HCT 12,5-25 mg/hari
 Hemat kalium: Spironolakton 25-50 mg

Bila respon tidak baik (diuresis kurang dari 60 cc/


jam), dosis diuretik dapat dinaikkan, diberi diuretik
intravena, atau kombinasi loop diuretik dan tiazid atau
kombinasi loop diuretik dan spironolakton
Digoksin :
Digoksin diberikan pada gagal jantung sistolik
(disfungsi sistolik ventrikel kiri) dan terutama jika
disertai atrial fibrilasi. Loading dose 0,5-0,75 mg, bisa
diulang 0,25-0,50 mg tiap 8 jam. Maintenance dose
0,125-0,25 mg/hari
Vasodilator :

 Venodilator : Nitrogliserin, Isosorbide


dinitrate
 Arteridilator : Hidralazin, Minoksidil,
Phentalamin

581 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
 Balanced vasodilator : nitroprusside, prazosin,
doksazosin
 ACE Inhibitor : Captopril, enalapril,
lisinopril, dll
 ARB dapat digunakan jika terdapat kontraindikasi
penggunaan ACEI
 Penyekat beta : bisoprolol, metoprolol dan
carvedilol dapat digunakan pada keadaan yang
sudah stabil (NYHA II dan III). Dimulai dengan dosis
rendah dan dititrasi dalam beberapa minggu hingga
dosis optimal tercapai
Obat-obat lain :

 Antiaritmia: antiaritmia klas I tidak dianjurkan


pada gagal jantung. Penyekat beta (kelas II) terbukti
menurunkan angka kematian mendadak pada gagal
jantung. Amiodaron (kelas III) terbukti bermanfaat
untuk aritmia supraventrikel dan ventrikel.
Pemakaian rutin amiodaron pada gagal jantung
tidak dianjurkan.
 Antiplatelet dapat ditambahkan terutama untuk
gagal jantung yang disertai dengan atrial fibrilasi
dan disfungsi ventrikel kiri.
 Antikoagulan perlu diberikan pada gagal jantung
dengan atrial fibrilasi kronik maupun dengan
riwayat emboli, thrombosis dan transien iskemik
attack, thrombus intracardiak dan aneurisma
ventrikel.
 Jangan menggunakan antagonis kalsium untuk
mengobati angina atau hipertensi pada gagal
jantung
6. Prognosis
Cardiac status Prognosis
Uncompromised Baik
Slightly compromised Baik dengan pengobatan
Moderate compromised Gagal dengan pengobatan
Severe compromised Quarde derpite therapy

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

582 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

EDEMA PARU AKUT

1. Definisi Edema paru akut adalah akumulasi cairan di paru-paru


secara tiba-tiba akibat peningkatan tekanan intravaskuler
2. Anamnesis Pemeriksaan Fisik:
 Sianosis sentral
 Sesak nafas dengan bunyi nafas seperti mukus
berbuih
 Ronki basah nyaring di basal paru kemudian
memenuhi hamper seluruh lapangan paru, kadang-
kadang disertai dengan ronki kering dan ekspirasi
memanjang akibat bronkospasme, dahulu dikenal
dengan asma kardiale
 Takikardia dengan gallop S3
 Murmur bila ada kelainan katup

Elektrokardiografi
 Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri
atau fibrilasi atrium, tergantung penyebab gagal
jantung
 Gambaran infark, hipertrofi ventrikel kiri atau aritmia
bisa ditemukan

Laboratorium
 Darah rutin, urinalisis, ureum/kreatinin, elektrolit
 Analisa gas darah
 Enzim jantung (CPK, CKMB, troponin T) dapat
meningkat jika penyebabnya infark miokard

Foto Thoraks
Opasifikasi hilus di bagian basal paru kemudian dapat
meluas kea rah apeks paru. Kadang-kadang ditemukan
efusi pleura.

Ekokardiografi
Dapat menggambarkan penyebab gagal jantung: kelainan
katup, hipertrofi ventrikel kiri (hipertensi), segmental
motion abnormality (penyakit jantung koroner). Pada
umumnya ditemukan dilatasi ventrikel dan atrium kiri.

3. Diagnosis 1. Edema paru akut non kardiak


Banding 2. Emboli paru
3. Asma bronkial

4. Penatalaksanaan 1. Posisi setengah duduk


2. Oksigen (40-50%) sampai 8 liter/ menit, bila perlu
dengan mask. Jika memburuk: pasien semakin sesak,
takipnoe, ronki bertambah, atau tidak mampu
mengurangi cairan edema secara adekuat: dilakukan

583 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
intubasi endotrakeal suction dan ventilator/ bipep.
3. Infus emergensi
4. Monitor tekanan darah, EKG, oksimetri bila ada
5. Morfin sulfat 3-5 mg iv, dapat diulangi tiap 25 menit
sampai total dosis 15 mg
6. Diuretik: furosemide 40-80 mg iv bolus dapat diulangi
atau dosis ditingkatkan tiap 4 jam atau dilanjutkan drip
kontinyu sampai dicapai produksi urin 1 ml/kgBB/jam
7. Bila perlu (tekanan darah turun/ terdapat tanda-tanda
hipoperfusi): drip dopamine 2-5 µg/kgBB/menit atau
dobutamine 2-10 µg/kgBB/menit atau kombinasi
keduanya untuk menstabilkan hemodinamik
8. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark
miokard akut
9. Atasi aritmia atau gangguan konduksi

5. Komplikasi Gagal nafas

6. Prognosis Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respon terapi

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)

584 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

ENDOKARDITIS INFEKTIF

1. Definisi Endokarditis infektif adalah mikroorganisme pada endokard


atau katup jantung

2. Etiologi Penyakit ini biasanya terjadi:


 Pada penderita penyakit jantung organik
 Pada penderita yang rentan terhadap infeksi

Faktor Pencetus:
 Ekstraksi gigi
 Kateter kandung kemih
 Tindakan obstetric ginekologi
 Radang saluran nafas
 Dan lain-lain

Mikroorganisme penyebab:
 Subakut :
Yang terbanyak adalah Streptokokus viridans (50%),
Stafilokokus aureus dan Streptokokus atau Stafilokokus
yang lain, jamur, virus dan Candida
 Akut :
Terbanyak adalah Stafilokokus aureus

3. Bentuk Klinis 1. Subakut


Gejala umum: demam, lesu, lemah, keringat banyak,
anoreksia, BB menurun, hepatomegali
Gejala emboli/ vaskuler : splinter hemoragik, osler node,
petechial (roth’s spot) dan gejala organ lain
Gejala jantung : penyakit jantung yang mendasari,
terdapat perubahan murmur, dll.

2. Akut
Yang menonjol adalah gejala infeksi

4. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya gejala klinis


seperti di atas, laboratorium, ECG, foto thoraks dan
ekokardiografi
5. Penatalaksanaan Pemilihan obat sesuai dengan uji resistensi. Endokarditis
yang disebabkan oleh S.viridans sensitive terhadap penisilin
G 12-28 juta unit/hari iv kontinu atau 6 dosis terbagi selama
4 minggu, seftriakson 2 gram iv sekali sehari selama 4
minggu, kombinasi penisilin G dengan gentamisin sulfat 1
mg/kgBB iv tiap 8 jam selama 2 minggu, vancomisin HCL
30mg/ kgBB/24 jam iv dalam 2 dosis terbagi, tidak melebihi
2 gram/24 jam kecuali kadar serum dipantau selama 4
minggu. Jamur dapat diberikan Amfoterisin B 0,5-1,2
gram/kgBB/hari iv dan flusitosin 150 mg/kgBB/hari oral.
Selain mengobati infeksi, juga perlu diperhatikan penyakit
yang menyertai endocarditis seperti gagal jantung. Juga perlu
dijaga keseimbangan air dan elektrolit, diet yang cukup kalori

585 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
dan vitamin.

6. Komplikasi  Dapat menyebabkan gagal jantung


 Emboli dapat menyangkut di organ lain seperti otak,
ginjal, limfa, saluran cerna, anggota gerak, kulit dan paru
 Aneurisma nekrotik
 Gangguan neurologi
 Perikarditis
7. Prognosis Dengan adanya antibiotika, kematian karena penyakit ini
dapat diturunkan dari 100% menjadi 25%
Prognosis lebih buruk bilamana ada:
a. Payah jantung
b. Mikroorganisme yang resisten terhadap antibiotika
c. Pengobatan yang terlambat
d. Infeksi yang terjadi setelah pemasangan katub prostetik
e. Orang tua dan keadaan umum yang buruk
f. Adanya komplikasi seperti emboli otak, gagal ginjal dan
lain-lain.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM

586 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
RSUD BANYUASIN

ANGINA PECTORIS

1. Definisi Merupakan simptom kompleks yang secara klasik berupa


nyeri dada seperti dicekik atau diperas berlangsung satu
sampai sepuluh menit, biasanya timbul saat latihan dan
menghilang saat istirahat. Pada keadaan tertentu dapat
terjadi saat istirahat dan dapat dicetuskan oleh factor emosi.
Ada beberapa angina pektoris yang kita kenal seperti: angina
pektoris stabil, tidak stabil, varian yang penting dibedakan
oleh prosedur diagnosis, pengobatan dan prognosis yang
berbeda.

2. Etiologi  Aterosklerosis korener


 Stenosis aorta atau regurgitasi
 Spasme pembuluh coroner dengan atau tanpa kelainan
pembuluh coroner
 Kardiomiopati hipertropi dengan atau tanpa obstruksi
 Kardiomiopati dilatasi
 Gangguan reserve coroner pada hipertensi sistemik
 Mitral stenosis dengan hipertensi pulmonal berat
3. Bentuk Klinis 1. Rasa tidak enak seperti berat dan tekanan
2. Lokasi retrosternal, leher, lengan atau rahang
3. Dapat disertai dengan nafas pendek, keringat banyak,
cemas dan fatiq
4. Dicetuskan oleh latihan stress, stress, marah, dingin dan
meningkatnya kebutuhan metabolic
5. Berlangsung 3-10 menit, hilang pada istirahat atau
setelah pemberian nitrogliserin secara sublingual
6. Kadang-kadang terjadi episode iskemia tersembunyi
tanpa adanya keluhan angina
7. Diagnosis Pemeriksaan fisik:
Dapat saja normal atau tergantung adanya faktor resiko
seperti hipertensi, infark jantung atau kelainan jantung.

8. Pemeriksaan  Foto thorak biasanya normal, kecuali pada beberapa


Penunjang keadaan yang mendasari
 EKG, dapat normal pada 50% pasien. Perubahan EKG
dapat berupa depresi segmen ST atau elevasi pada
kejadian infark atau angina yang varian.
 Latihan dengan treadmill bila EKG istirahat tidak
menunjang
 Ekokardiografi, melihat gangguan gerakan secara
segmental, dapat dilakukan saat latihan.
 Skintigrafi Talium saat latihan
 Kateterisasi atau angiografi
9. Penatalaksanaan Angina Pektoris Stabil
 Nitrogliserin sublingual 0,4 mg dapat diulang 3 kali
bila diperlukan
 ISDN sublingual 5-20 mg beberapa kali sehari bila
diperlukan. Yang oral 10-40 mg 2-3 kali sehari
 Nitrogliserin topical, salep atau semprot

587 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
 Antagonis kalsium dapat berupa diltiazem atau
nifedipine
 Antagonis beta
 Antiplatelet

Angina Pektoris Tidak Stabil


 Dirawat sebagai infark di RS (ICCU)
 Pemakaian nitrat bila perlu intravena atau oral seperti
di atas
 Heparin dapat diberikan intravena
 Antagonis kalsium, antagonis beta dan antiplatelet
seperti pada angina stabil

Angina Pektoris Varian


 Nitrat dan antagonis kalsium dan sebaiknya tidak
diberikan penyekat beta
Pengobatan lain: angioplasti dengan balon, operasi lintas
coroner

10. Komplikasi  Aritmia


 Infark miokard
 Disfungsi ventrikel
11. Prognosis  Tergantung jumlah pembuluh coroner yang terlibat
 Adanya komplikasi
 Adanya faktor resiko
 Frekuensi serangan iskemia

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM

588 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
RSUD BANYUASIN

SINDROMA KORONER AKUT

1. Definisi Suatu keadaan gawat darurat jantung dengan manifestasi


klinis berupa perasaan tidak enak di dada atau gejala-gejala
lain sebagai akibat iskemia miokard

Sindroma coroner akut mencakup:


 Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (STEMI)
 Infark miokard akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI)
 Angina pektoris tak stabil (unstable angina pektoris, UAP)
2. Etiologi  Arterosklerosis pembuluh koroner
 Spasme pembuluh coroner
 Lain-lain
3. Bentuk Klinis  Riwayat angina yang tidak stabil
 Rasa tidak enak retrosternal bisa ringan sampai berat,
seperti tertekan, diperas, biasanya menyebar ke leher,
gigi, rahang, lengan dan tangan kiri. Dapat pula disertai
keadaan gelisah, lemah, sesak, diaphoresis, mual
muntah, rasa mau buang air besar. Keadaan ini
berlangsung mulai setengah sampai beberapa jam.
 Kejadian ini dapat tanpa faktor pencetus atau dengan
faktor pencetus seperti latihan, pembedahan, tidur,
marah, makan udara dingin atau anemia
4. Diagnosis Pemeriksaan fisik:
Dapat saja normal, kadang-kadang ditemui ransangan
simpatis berupa ansietas, gelisah, takikardia, hipertensi.
Dapat disertai tangan dingin, keringat banyak terutama pada
infark yang luas dan gangguan fungsi ventrikel kiri. Dapat
juga demam derajat rendah karena nekrosis miokard. Suara
jantung bisa melemah, S3, dapat terjadi murmur sistolik oleh
karena rupture korda atau septum, dan friksi perikard oleh
karena inflamasi perikard. Adanya gagal jantung kongestif
tanpa sakit dada dapat terjadi pada infark dengan penderita
diabetes melitus.

Pemeriksaan radiologis:
Foto toraks dapat membantu melihat adanya edema paru

Elektrokardiogram:
Berupa elevasi segmen ST yang diikuti dengan inversi
gelombang T dan terbentuknya gelombang Q. Dapat juga
disertai perubahan yang khas berupa depresi ST atau inversi
T tanpa adanya Q.

Laboratorium:
Adanya kenaikan enzim jantung serum, yaitu CKMB, LDH,
alfa HBDH dan SGOT.

5. Penatalaksanaan Umum:
 Tirah baring total (ICCU), monitor EKG, tekanan darah,

589 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
oksimetri
 Infus darurat
 Oksigen
 Bila sakit sekali morfin 2-5 mg IV dapat diulang 10
menit samapi rasa nyeri menghilang. Dapat pula
diberikan Meperidin HCL 25-50 mg IV setiap 15 menit
bila perlu.
 Diet: puasa hingga bebas nyeri, kemudian diberikan
diet jantung I-II dalam 24 jam
 Berikan pelunak feses, laktulosa (laxadin) 2x15 ml
 Dapat diberikan tranquilizer minor

Khusus:
 Aspirin 160-354 mg sehari
 Bila alergi aspirin, intoleransi atau tidak responsif
dapat diberikan tiklopidin atau klopidogrel
 Nitrogliserin/ isosorbide dinitrate sublingual, bila perlu
intravena dalam 1-2 hari
 Trombolisis: streptokinase 1,5 juta unit dalam 1 jam
jika elevasi segmen ST > 0,1 mV pada dua atau lebih
sadapan ekstremitas berdampingan atau > 0,2 mV
pada dua atau lebih sadapan precordial berdampingan,
waktu mulai nyeri dada < 12 jam, usia < 75 tahun.
 Penyekat beta dapat diberikan jika tidak ada
kontraindikasi
 Penghambat ACE diberikan bila keadaan mengizinkan
terutama pada infark miokard akut yang luas, atau
anterior, gagal jantung tanpa hipotensi
 Antagonis kalsium: verapamil untuk infark miokard
NSTEMI atau angina pektoris tidak stabil bila nyeri
tidak teratasi
 Antikoagulan
6. Komplikasi  Aritmia ringan sampai yang berat
 Rupture septum atau aneurisma, rupture korda
 Gagal jantung ringan sampai berat, syok kardiogenik
 Penyakit serebrovaskuler
 Pericarditis
 Dressler Syndrome
 Angina paska infark

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

590 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
ARITMIA

1. Definisi Aritmia adalah keadaan gangguan irama denyut jantung yang


ditimbulkan akibat gangguan sistem pacu (pacemaker) dan
konduksi listrik jantung, baik akibat ransangan ektopik
maupun reentry.

2. Etiologi Penyakit jantung koroner (iskemia miokard), penyakit jantung


katup, penyakit otot jantung, gangguan keseimbangan
elektrolit atau asam basa, degradasi sistem konduksi, gagal
jantung, gangguan hormone, hipoksia, perdarahan akut
massif, psikogen dan atau faktor konstitusi

3. Bentuk Klinis Dari asimptomatik, rasa berdebar-debar, denyut nadi tidak


teratur, chest discomfort, sinkop, gagal jantung, syok
kardiogenik sampai henti jantung. Gambaran laboratorium
sesuai etiologinya, tidak ada yang khas untuk aritmia.
Demikian pula gambaran radiologiknya.

4. Diagnosis a. Aritmia Supraventrikul: SVES < SVT < PAT < AF < Atrial
Flutter, Irama Nodal, Sindrom WPW
 Aritmia Ventrikel: VES, VT, VF, Ventricular Flutter,
Torsade des Pointes
b. Gangguan konduksi
 Tingkat Supraventrikel: sinus arrest, SA block, sinus
bradikardia, Sick Sinus Syndrome, asistol (dengan atau
tanpa escape beat/escape rhythm)
 Tingkat AV node: AV block (derajat I, derajat II= Mobitz I/
tipe Wenckebach, Mobitz II, 2:1 AV block, 3:1 AV block,
derajat III= total AV block)
 Tingkat Ventrikel (Berkas His): RBBB, LBBB, LAHB,
LPHB, bifascular/trifascular block, idioventricular rhythm.
5. Penatalaksanaan Prinsip pengobatan aritmia adalah hanya simptomatis,
sepanjang tidak ada keluhan atau komplikasi yang
membahayakan, aritmia tidak diterapi. Terapi terutama
ditujukan kepada penyebabnya, baru kemudian mengatasi
dampak/ komplikasi yang akan atau telah terjadi (syok
kardiogenik, gagal jantung dan sebagainya) untuk
penyelamatan hidup seseorang.
Berikut adalah beberapa patokan terapi standard untuk
beberapa jenis aritmia yang sering dijumpai:

a. Ekstrasistol Supraventrikel (SVES, Premature Atrial


Contraction)
SVES biasanya tidak diterpi kecuali simptomatis
misalnya dengan sedatif (diazepam) atau kalau perlu
dengan sulfaschinidin atau disopiramid.

b. Fibrilasi Atrium (AF)


Klinis ditandai dengan temuan khas yaitu pulsus
deficit. Indikasi perawatan adalah AF dengan respons
ventrikel yang cepat (lebih dari 100 kali per menit) atau

591 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
AF yang timbul baru berkenaan dengan SKA. Terapi AF
perlu dilihat dari dua sudut pandang, yaitu
mengembalikan ke irama sinus (konversi) dan
mencegah respons ventrikel yang cepat (perlambatan
respons ventrikel). Konversi hanya diusahakan untuk
mencegah terjadinya fenomena tromboemboli dan
biasanya dilakukan pada AF yang baru terjadi (6-8
minggu) misalnya pada SKA atau sesudah operasi/
koreksi katup mitral. Konversi dilakukan dengan
sulfas chinidin dari dosis awal 3-4 x 100 mg sampai
maksimum 2000 mg/hari. Alternatif lain dapat dipakai
disopiramid 3-4 x 100 mg/hari. Konversi per oral ini
dapat dilakukan secara rawat jalan, dilihat hasilnya
dalam dua minggu. Bila tidak berhasil dilakukan
defibrilasi (DC Shock) dengan dosis 75-100 Joule
beberapa kali. Bila AF sudah berlangsung lama tidak
perlu dikonversi namun perlu dicegah terjadinya
fenomena tromboemboli dengan anti agregasi trombosit
seperti asetosal dosis rendah. Perlambatan respons
ventrikel ditujukan untuk mencegah terjadinya gagal
jantung dilakukan dengan digitalis atau penyekat beta
(propranolol, atenolol atau metoprolol).

c. Takikardia Supraventrikel Paroksismal (PSVT)


Penderita biasanya dirawat. PSVT diobati untuk
mencegah gagal jantung dan segera dilakukan
penekanan bola mata (eye ball pressure) atau masase
sinus karotikus. Bila tidak berhasil dapat diberikan
verapamil injeksi bolus iv 10-20 mg. Obat lain yang
dapat dipakai: adenosin, digitalis, diltiazem atau
penyekat beta secara intavena. Bila obat-obatan tidak
berhasil mengembalikan ke irama sinus dan terdapat
gangguan hemodinamik, dapat dilakukan defibrilasi
100-150 Joule.

d. Sindrom WPW
Ditandai dengan adanya interval PR yang memendek,
gelombang delta dan melebarnya QRS. Bila terjadi AF
atau PSVT tidak boleh diberikan terapi seperti di atas
(verapamil, penyekat beta atau digitalis) melainkan
diberikan disopiramid atau defibrilasi. Ini disebabkan
karena dengan obat golongan tersebut impuls fisiologi
melalui AV node dapat ditekan tetapi sebagai
kompensasinya, impuls dapat melalui jalur asesoris
yang patologis sehingga sampai di ventrikel
menimbulkan takikardi ventrikel yang ganas. Penderita
dengan sindrom WPW yang tenang tidak dirawat.

e. Sick Sinus Syndrome


Sick Sinus Syndrome (SSS) dikarenakan degenerasi SA
node sehingga impuls tidak dapat diharapkan lagi
timbul secara adekuat, maka untuk membangkitkan
kontraksi ventrikel biasanya dicoba dengan pemberian

592 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
sulfas atropine dari dosis ringan 0,25-2 mg sesering
mungkin sampai respons denyut jantung yang wajar
(>50 kali per menit), bila gagal perlu dipasang pacu
jantung permanen. Penderita yang sering mengalami
sinkop perlu dirawat.

f. Ekstrasistol Ventrikel (VES, Premature Ventriculer


Contraction)
Ekstrasistol ventrikel merupakan kelainan irama
jantung yang paling sering ditemukan dan dapat
timbul pada jantung yang normal. VES yang ganas
dapat disebabkan oleh iskemi miokard, infark miokard
akut, gagal jantung, sindrom QT memanjang, prolapse
katup mitral, CVA, keracunan digitalis, hypokalemia,
miokarditis, kardiomiopati. Kriteria VES ganas: bila
VES > 10 kali per menit, jenisnya multifocal atau
unifocal tetapi berupa kuplet, triplet, salvo atau sudah
menjadi VT paroksisimal, unifocal tetapi tipe R on T,
trigemini atau bigemini dan VES yang berasal dari
ventrikel kiri. Pengobatan diperlukan segera untuk
mencegah perubahan VES menjadi VT atau VF yang
fatal. Penderita dengan VES ganas perlu dirawat. Obat
yang sering digunakan adalah xylokain iv dengan dosis
1-2 mg per menit. Dosis dapat dinaikkan sampai 4 mg
per menit. Obat lain yang dapat dipakai: amiodaron,
meksiletin, dilantin.

g. Takikardi Ventrikel (VT) dan Fibrilasi Ventrikel (VF)


VT dan VF harus cepat ditangani (gawat darurat)
karena dapat menghentikan henti jantung. Segera
diberikan bolus lidokain iv 50-100 mg dan drip dalam
dextrose 5% 2 mg/menit sampai minimal 2 hari
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan meksiletin
sampai maksimal 6 bulan. Bolus dan drip bisa juga
dilakukan dengan meksiletin atau disopramid. Untuk
pemeliharaan dapat juga dipakai obat golongan
penyekat beta seperti metoprolol (50-200 mg/hari) atau
atenolol sampai beberapa bulan. Bila dengan cara di
atas juga belum berhasil atau dalam keadaan umum
yang kritis segera harus dilakukan defibrilasi 200-300
Joule beberapa kali. Untuk VF disetel defibrilasi
unsynchronized. Bila terjadi komplikasi syok
kardiogenik maka diberikan drip dopamine 2-10
mikrogram/ kgBB/ menit.

h. Torsades de Pointes
Torsades de Pointes merupakan aritmia ventrikel yang
ganas yang justru tidak diobati dengan anti aritmia
dan harus segera diberantas dengan MgSO4 sedangkan
anti aritmia yang sedang diberikan harus dihentikan.

i. Blok AV Total
Pada blok AV total impuls dari simpul SA dan AV tidak

593 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
dapat diteruskan ke berkas His sehingga ventrikel
membuat otomatisasinya sendiri dengan akibat tidak
adekuatnya sistem kardiovaskular. Bila keadaan
hemodinamik masih dapat ditoleransi, masih
diusahakan peransangan simpul SA dengan sulfas
atropine 0,50-2,00 mg iv sesering mungkin sampai
dapat dipasang alat pacu jantung temporer kemudian
permanen. Penderitanya dirawat bila dalam konteks
IMA atau sering mengalami sinkop.

j. Henti Jantung
Henti jantung ditandai dengan hilangnya kesadaran,
tekanan darah/nadi tak terukur, tidak adanya
pernafasan. Bila tidak secepatnya dilakukan resusitasi
jantung paru di tempat kejadian maka dapat
meninggal dalam waktu singkat. Obat-obatan yang
diperlukan untuk resusitasi ini adalah antara lain
adrenalin (kalau perlu intrakardial), CaCl 2 atau Ca
glukonas, bikarbonas natrium, sulfas atropine yang
semuanya diberikan secara bolus iv sampai keadaan
hemodinamiknya teratasi. Defibrilasi diberikan sesuai
indikasi yang dinilai dari monitor EKGnya. Drip
dopamine diberikan langsung untuk mengatasi syok
kardiogenik yang sedang berlangsung. Seluruh
penderita aritmia yang dirawat baru dipulangkan
setelah keadaan hemodinamiknya cukup stabil.

6. Komplikasi Telah disebutkan di atas yaitu sinkop, fenomena


tromboemboli, gagal jantung, syok kardiogenik, henti jantung
dan mati mendadak.

7. Prognosis Dubia ad bonam bila ditangani secara tuntas.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

594 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
PENYAKIT JANTUNG KATUP

1. Definisi Penyakit jantung katup adalah kelompok penyakit pada


katup jantung yang berupa penyempitan (stenosis) atau
kebocoran (regurgitasi=insufisiensi) baik secraa anatomik
maupun fungsional.

2. Etiologi Biasanya disebabkan oleh sekuele demam reumatik,


degenerasi (proses penuaan). Penyebab lain sangat jarang
yaitu trauma at congenital.

3. Bentuk Klinis Biasanya keluhan penyakit jantung katup timbul


sehubungan dengan gagal jantung (lihat bab gagal jantung)
atau aritmia (lihat bab aritmia).

4. Penatalaksanaan Penyakit jantung katup diobati bila penderita dalam


fungsional NYHA kelas II ke atas. Pengobatan biasanya untuk
mencegah/ mengobati gagal jantung seperti diuretik, digitalis,
vasodilator, venodilator, dsb (lihat pengobatan gagal jantung).
Komplikasi aritmia diobati dengan anti aritmia (lihat
pengobatan aritmia). Pengobatan medikamentosa ini
diberikan seumur hidup sebelum pengobatan definitif dapat
diberikan. Untuk lebih memastikan jenis tindakan yang akan
diambil sebagai pengobatan definitif diperlukan pemeriksaan
final secara invasif yaitu kateterisasi jantung. Pengobatan
yang definitif ialah secara invasif dengan balloon valvuloplasty
atau operatif dengan valvuloplasty/ valvulotomy/ penggantian
katup dengan prostetik. Akan tetapi terapi definitif ini baru
dilakukan bila perjalanan penyakit masih belum terlambat.
Bila fungsi ventrikel kiri sudah sedemikian buruk dan
hipertensi pulmonal sudah sedemikian tingginya maka terapi
invasif atau bedah tidak perlu dilakukan lagi.

5. Komplikasi Telah disebutkan yaitu gagal jantung, aritmia, hipertensi


pulmonal, fenomena tromboemboli.

6. Prognosis Dubia ad bonam menurut tepatnya pengobatan dan


komplikasi yang terjadi.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

PNEUMONIA

1. Definisi Infeksi pada parenkimparu yang disebabkan oleh berbagai

595 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
mikroorganisme seperti bakteri, jamur, virus, parasit dan
basil lainnya. Termasuk kelompok penyakit ini adalah abses
paru dan piotorak (emfisema).

2. Etiologi Berbagai jenis mikroorganisme seperti bakteri aerob gram


positif, Streptococcus pneumonia (Pneumococcus),
Stafilococcus, bakteri aerob gram negative seperti:
Pseudomonas, Klebsiella, Proteus, Haemofilus, Branhamella,
bakteri anaerob, jamur, parasite, basil lainnnya terutama
Mikoplasma pneumonia, Clamidia dan Legionella.

3. Bentuk Klinis Pneumonia ada 2 jenis, yaitu:

1. Pneumonia Tipikal
Mempunyai gejala klinis yang klasik berupa panas
tinggi, serangan cepat dan akut, batuk dahak
purulent, nyeri dada dan sesak nafas, foto torakl lesi
konsolidasi. Etiologi pneumonia tipikal biasanya
bakteri aerob gram positif, gram negatif dan bakteri
anaerob.

2. Pneumonia Atipikal
Biasanya panas tidak terlalu tinggi, serangan lebih
lambat, batuk kering atau dahak mucoid, sesak nafas
tidak nyata, foto toraks lesi difus.Etiologi pneumonia
atipikal biasanya Mikoplasma, Chlamydia, dan
Legionella.

Pemeriksaan fisik bila ditemukan adanya infiltrate, stem


fremitus meningkat, perkusi redup, vesikuler meningkat,
ronkhi basah halus nyaring dan krepitasi.

4. Pemeriksaan Foto toraks akan terdapat lesi konsolidasi atau difus pada
Penunjang lapangan paru, lesi perselubungan untuk pleuropneumonia
dan piotoraks, lesi air fluid level untuk abses paru.
Ditemukan leukositosis, hitung jenis dominan PMN bergeser
ke kiri. Khusus: ditemukan mikroorganisme penyebab infeksi
melalui biakan darah, sputum, aspirasi trans trakeal,
transbronkial dan transtorakal.

5. Diagnosis Berdasarkan gejala klinik yang menyokong, pemeriksaan


fisik, laboratorium dan foto toraks. Diagnosis pasti bila
ditemukan adanya mikroorganisme penyebab infeksi.

6. Penatalaksanaan  Pemberian cairan intravena kira-kira 2-2,5 liter per hari


dalam bentuk kalori dan elektrolit.
 Oksigen 2-3 liter per menit.
 Diet dalam bentuk cairan atau bubur.
 Antibiotik:
- Bila tidak ada faktor komorbid, terapi: makrolid atau
doksisiklin
- Bila ada faktor komorbid, terapi: florokuinolon atau
betalaktam dengan makrolid atau amoksisilin klavulanat
- Bila dirawat di ruangan ICU, terapi beta laktam dengan
azitromisin atau florokuinolon.
 Pneumonia kronik perlu diberikan infus dexametason 4 x

596 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
8 mg
7. Komplikasi Berupa pneumonia toksik berupa gangguan kesadaran dan
sesak nafas hebat kemudian diikuti dengan adanya syok.
Pneumonia tipikal sering menimbulkan komplikasi berupa
pleuropneumonia, piotoraks dan abses paru.

8. Prognosis Umumnya baik kecuali pneumonia toksik atau keadaan


umum yang jelek (syok).

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)

1. Definisi PPOK adalah penyakit paru obstruksi kronik yang ditandai


oleh uji arus ekspirasi abnormal (perlambatan) dan tidak
mengalami perubahan dalam observasi selama beberapa

597 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
bulan dan terdiri dari emfisema paru, bronchitis kronis dan
penyakit saluran nafas perifer.

2. Etiologi Iritasi kronik pada saluran nafas seperti rokok (bronchitis


kronik), polusi debu dan defisiensi anti alfa 1 anti tripsin
(emfisema).

3. Bentuk Klinis Batuk kronik dengan dahak (pada bronchitis kronis).


Keadaan ini terjadi setiap hari selama 3 bulan dalam 1 tahun
pada sedikitnya 2 tahun berturut-turut, sesak nafas
terutama melakukan aktivitas. Perjalanan penyakit kronis
dan progresif selama hayat, sehingga makin lama keluhan
bertambah berat.

4. Pemeriksaan Ditemukan tanda hiperflasi paru berupa torak


Fisik emfisematikus, peningkatan kerja otot pernafasan, perkusi
hipersonor, batas paru hati menurun, batas jantung
mengecil, suara nafas vesikuler melemah. Dapat disertai
bising mengi dan ronkhi kering.

5. Pemeriksaan Foto torak PA dan lateral terdapat hiperlusensi regional dan


Penunjang gambaran bronkovaskuler kasar, gambaran jantung
mengecil, diafragma datar dan overinflasi.

Uji faal paru sangat berguna dan terdapat penurunan VEP1


dan penurunan VEP1/KVP. Kelainan ini biasanya menetap
(irreversibel). EKG sering ditemukan adanya P pulmonal dan
RV strain.

Rutin adanya peningkatan kadar Hb dan jumlah eritrosit


polisitemia sekunder. Khusus: defisiensi kadar alfa 1 anti
tripsin (kongenital).

6. Diagnosis Berdasarkan gejala klinis yang mendukung, pemeriksaan


fisik, pemeriksaan penunjang dan uji faal paru.

7. Penatalaksanaan 1. Motivasi dan pendidikan seperti penyakit tidak dapat


sembuh, iritasi kronik seperti rokok dan debu
dihindarkan.
2. Mobilisasi dahak dengan mukolitik dan ekspektoransia.
3. Mengatasi spasme bronkus dengan obat-obat
bronkodilator seperti aminofilin, agonis beta 2, kalau
perlu diberikan steroid.
4. Steroid digunakan prednisone 30 mg/hari selama 2-4
minggu, bila tidak ada respon hentikan
5. Mengobati infeksi sekunder dengan antibiotic seperti
amoksisilin, kotrimoksazol, eritromisin. Bila ada
komplikasi seperti pneumotorak, pasang WSD, kor
pulmonalberikan diuretic furosemide tablet atau
suntikan.
6. Kemoterapi sangat membantu terutama “abdominal
breathing” dan terapi inhalasi untuk mobilisasi dan
mengencerkan dahak.
7. Terapi oksigen jangka panjang bila PO2 lebih kecil dari 60
mmHg setelah pengobatan adekuat. Memberikan oksigen
dosis rendah 1-2 liter/ menit sangat dianjurkan.

598 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
8. Komplikasi  Pneumotoraks
 Infeksi sekunder (eksaserbasi akut)
 Kor pulmonal
 Kelelahan otot pernafasan

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

TUMOR GANAS PARU (CARCINOMA PARU)

1. Definisi Tumor ganas paru adalah tumor ganas dari saluran nafas
parenkim paru.

2. Etiologi Belum jelas, ada hubungan erat dengan kebiasaan merokok,


zat-zat yang dikeluarkan dari pabrik, industry yang
menggunakan isotop radioaktif.

599 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
3. Bentuk Klinis Batuk kronis tanpa dahak, dapat disertai dahak, nyeri dada,
nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise.

Pemeriksaan fisik: ditemukan bendungan vena, stem fremitus


melemah, perkusi redup dan bising pokok vesikuler melemah
bahkan menghilang, khas adanya wheezing local pada daerah
tumor, gejala-gejala yang khas tergantung pada lokasi tumor
dan ada atau tidaknya invasi ke organ sekitar dan
penyebaran limfogen serta hematogen (metastasis).

4. Pemeriksaan Foto toraks PA dan lateral, tomography, CT Scan terlihat


Penunjang adanya lesi padat tanpa klasifikasi. Patologi Anatomi (PA)
ditemukan adanya sel ganas dari bahan sputum, brochial
washing, biopsy. Bronkoskopi terlihat masaa tumor
berdungkul intratbronkial, rapuh mudah berdarah. Untuk
diagnosis dilakukan: bronkial washing, brushing, dan biopsy
(biopsy transtorakal, aspirasi jarum hilus transbronkial dan
transkranial).

Sputum sitologi pagi hari, 3 hari berturut-turut.

Darah rutin tidak ada yang khas, biasanya anemia hipokrom


mikrositer. Khusus: Alfa Feto Protein (AFP) dapat meningkat.

5. Diagnosis Berdasarkan hasil pemeriksaan patologi ditemukan sel-sel


ganas.
Klasifikasi:
 Small Cell Lung Ca (SCLC)
 Non Small Cell Lung Ca (NSCLC) yang meliputi
squamous cell Ca, adeno Ca, Large Cell Ca dan
Bronkioalveolar Ca.
6. Penatalaksanaan Pengobatan kanker paru adalah combined modality
therapy(multi modality terapi). Kenyataannya pada saat
pemilihan terapi, sering bukan hanya dihadapkan pada jenis
histologis, derajat dan tampilan penderita saja tetapi juga
kondisi non medis seperti fasilitas yang dimiliki rumah sakit
dan kemampuan ekonomis penderita juga merupakan faktor
yang amat menentukan.
a. Pembedahan
Indikasi pembedahan pada kanker paru adalah untuk
kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK)
stage I dan II. Pada penderita yang inoperable maka
radioterapi dan atau kemoterapi dapat diberikan.
Pembedahan juga merupakan bagian dari combined
modality therapy, misalnya didahului kemoterapi neo
adjuvant untuk KPKBSK stage IIIA. Indikasi lain
adalah bila ada kegawatan yang memerlukan
intervensi bedah seperti kanker paru dengan sindroma
vena kava superior bedah.

Prinsip pembedahan adalah sedapat mungkin tumor


direseksi lengkap berikut jaringan KGB intrapulmoner,
dengan lubektomi ataupun pneumektomi.
Segmentektomi atau reseksi baji hanya dikerjakan jika
faal paru tidak cukup untuk lubektomi. Tepi sayatan

600 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
diperiksa dengan potong beku untuk memastikan
bahwa batas sayatan bronkus bebas tumor. KGB
mediastinum diambil dengan diseksi sistematis, serta
diperiksa secara patologi anatomi.

Hal lain yang paling penting diingat sebelum


melakukan tindakan bedah adalah mengetahui
toleransi penderita terhadap jenis tindakan bedah yang
akan dilakukan. Toleransi penderita yang akan
dibedah dapat diukur dengan nilai uji faal paru dan
jika tidak memungkinkan dapat dinilai dari hasil
analisa gas darah (AGD).

Syarat untuk reseksi paru


 Resiko ringan untuk pneumomektomi, bila KVP paru
kontralateral baik dan VEP1 > 60%.
 Resiko sedang untuk pneumomektomi, bila KVP paru
kontralateral ≥ 35% dan VEP1 > 60%.

b. Radioterapi
Radioterapi pada kanker paru dapat bersifat kuratif
atau paliatif. Pada terapi kuratif, radioterapi menjadi
bagian dari kemoradioterapi neoadjuvant untuk
KPKBSK stage IIIA. Pada kondisi tertentu, radioterapi
saja tidak jarang menjadi pilihan terapi kuratif.

Radiasi sering merupakan tindakan darurat yang


harus dilakukan untuk meringankan keluhan
penderita, seperti sindroma vena kava superior, nyeri
tulang akibat invasi tumor ke dinding dada dan
metastasis tumor di tulang atau otak.

Penetapan kebijakan radiasi pada KPKBSK ditentukan


beberapa faktor, yakni:
 Stage penyakit
 Status tampilan
 Fungsi paru

Bila radiasi dilakukan setelah pembedahan, maka


harus diketahui:
 Jenis pembedahan termasuk diseksi kelenjar yang
dikerjakan
 Penilaian batas sayatan oleh dokter spesialis
patologi anatomi

Dosis radiasi yang diberikan secara umum adalah


5000-6000cGy, dengan cara pemberian 200 cGy/kali,
5 kali per minggu.

Syarat standar sebelum penderita diradiasi adalah:


 Hb > 10 g%
 Trombosit > 100.000/dl

601 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
 Leukosit > 3000/ dl

Radiasi paliatif diberikan pada unfavorable group,


yakni:
 Tampilan < 70
 Penurunan BB > 5% dalam 2 bulan
 Fungsi paru buruk

Efektivitas radioterapi meningkat jika dikombinasi


dengan kemoterapi. Pemberian radioterapi sampai
dosis penuh (full dose 5000-6000 cGy) sebelum
pemberian kemoterapi atau setelah siklus kemoterapi
selesai (4-5 siklus) diberikan disebut radioterapi
sekuensial. Pada pemberian radioterapi dilakukan
selang seling di antara siklus kemoterapi disebut
radioterapi alternating.

Hasil yang baik tetapi terkadang disertai efek samping


yang tinggi adalah pemberian radioterapi konkruen
yaitu pemberian radioterapi bersamaan dengan
pemberian kemoterapi yang mengandung sifat seperti
radiosensitizer, seperti sisplatin, karboplatin, golongan
paklitaksel, dosetaksel dan gemsitabin.

Untuk mengurangi efek samping pada radioterapi


konkruen dianjurkan menggunakan obat antikanker
golongan paklitaksel, dosetaksel, gemsitabin atau
dengan dosis kecil yang cukup untuk menimbulkan
efek radiosensitizernya saja. Pengalaman di RS
Persahabatan obat anti kanker dosis penuh dapat
diberikan jika menggunakan rejimen karboplatin
etoposid atau sisplatin etoposid.

c. Kemoterapi
Kemoterapi dapat diberikan pada semua kasus kanker
paru. Syarat utama harus ditentukan jenis histologis
tumor dan tampilan harus lebih dari 60 menurut skala
Karnofsky atau 2 menurut skala WHO. Kemoterapi
dilakukan dengan menggunakan beberapa obat anti
kanker dalam kombinasi regimen kemoterapi. Pada
keadaan tertentu, penggunaan satu jenis obat
antikanker dapat dilakukan.

Prinsip pemilihan jenis antikanker dan pemberian


sebuah regimen kemoterapi adalah:
 Platinum based therapy (sisplatin atau karboplatin)
 Respon objektif satu obat antikanker ≥ 15%.
 Toksisitas obat tidak melebihi grade 3 skala WHO
 Harus dihentikan atau diganti bila setelah
pemberian 3 siklus pada penilaian terjadi progresif
tumor

Rejimen untuk KPKBSK adalah:

602 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
 CAP II (sisplatin, adriamisin, siklofosfamid)
 PE (sisplatin atau karboplatin + etoposid)
 Paklitaksel + sisplatin atau karboplatin
 Gemsitabin + sisplatin atau karboplatin
 Doksetaksel + sisplatin atau karboplatin
 Gefitinib oral (digunakan sebagai terapi adjuvan)

Syarat standar yang harus dipenuhi sebelum


kemoterapi:
 Tampilan ≥ 70-80. Bila tampilan < 70 atau usia
lanjut, dapat diberikan obat anti kanker dengan
regimen tertentu dana tau jadwal tertentu.
 Hb ≥ 10 g%, pada penderita anemia ringan tanpa
perdarahan akut, meski Hb < 10 g% tidak perlu
transfuse darah segera, cukup diberikan terapi
sesuai dengan penyebab anemia
 Granulosit ≥ 1500/ mm3
 Trombosit ≥ 100.000/mm3
 Fungsi hati baik
 Fungsi ginjal baik (creatinine clearance> 70
ml/menit)

Dosis obat anti kanker dapat dihitung berdasarkan


ketentuan farmakologik masing-masing. Ada yang
menggunakan rumus antara lain, mg/kgBB, mg/ luas
permukaan tubuh (BSA), atau obat yang menggunakan
rumusan AUC (area under the curve) yang
menggunakan CCT untuk rumusnya.

Luas permukaan tubuh (BSA) diukur dengan


menggunakan parameter tinggi badan dan berat
badan, lalu dihitung dengan normogram.

LPB= BB x TB / √3600

Untuk obat anti kanker yang menggunakan AUC (misal


AUC 5), maka dosis dihitung dengan menggunakan
rumus atau normogram.

Dosis (mg) = (target AUC) x (GFR + 25)

Nilai GFR dihitung dari kadar kreatinin dan ureum


darah penderita

Evaluasi hasil pengobatan


Umumnya kemoterapi diberikan sampai 6 siklus/
sekuen, bila pasien menunjukkan respon yang
memadai. Evaluasi respon terapi dilakukan dengan
melihat perubahan ukuran tumor pada foto toraks PA
setelah pemberian (siklus) kemoterapi ke-2 dan kalau
memungkinkan menggunakan CT scan toraks setelah
4 kali pemberian.

603 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
Evaluasi dilakukan terhadap:
 Respons subjektif yaitu penurunan keluhan klinik
 Respons semisubjektif yaitu perbaikan tampilan
dan bertambahnya berat badan
 Respon objektif
 Efek samping obat

Respon objektif dibagi atas 4 golongan dengan


ketentuan:
 Respons komplit (complete response, CR): bila pada
evaluasi tumor hilang 100% dan keadaan ini
menetap lebih dari 4 minggu
 Respons sebagian (partial response, PR): bila
pengurangan ukuran tumor > 50% tetapi < 100%.
 Menetap (stable disease, SD): bila ukuran tumor
tidak berubah atau mengecil > 25% tetapi < 50%.
 Tumor progresif (progressive disease, PD): bila
terjadi pertambahan ukuran tumor > 25% atau
muncul tumor/ lesi baru di paru atau di tempat
lain.

d. Targeted Therapy
Beberapa jenis kemoterapi dengan target kerja yang
selektif atau targeted therapy mulai digunakan untuk
KPKBSK. Kelebihan dari obat-obat itu adalah
pemberian yang lebih sederhana yaitu per oral. Jenis
yang mulai digunakan adalah obat yang bekerja
sebagai inhibitor pada reseptor epidermal growth factor
(EGFR), antara lain gefitinib, erlotinib, cetuximab. Obat
golongan ini diindikasikan pemberiannya sebagai
adjuvant yaitu diberikan setelah pemberian terapi
definitive selesai diberikan.

e. Imunoterapi
Hasil penelitian menunjukkan adanya jejak imunologi
pada penderita kanker paru. Berdasarkan ini telah
beredar luas di pasaran beberapa teknik dan obat
komplemen (misalnya keladi tikus, buah merah,
ramuan cina, dll) yang diyakini dapat mengobati
kanker dengan cara memperbaiki atau meningkatkan
sistem imun tubuh, tetapi belum ada hasil penelitian
yang secara bermakna dapat menyokong manfaatnya.
Penggunaan IL-2 sebagai imunoterapi mulai
dikembangkan dalam uji klinik yang terbatas.

f. Hormonoterapi
Ada beberapa cara dan obat yang dapat digunakan
meskipun belum ada hasil penelitian di Indonesia yang
menyokong manfaatnya.

g. Terapi Gen
Teknik dan manfaat pengobatan ini masih dalam
penelitian. Protocol pemberian panduan obat

604 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
paklitaksel dan karboplatin tiap 3 minggu.

Dosis:
 Paklitaksel: 175 mg/m2
 Karboplatin: AUC-5

7. Komplikasi Metastasis ke berbagai organ tubuh lainnya antara lain: hati,


otak dan tulang.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

ASMA BRONKIAL

1. Definisi Penyakit inflamasi kronis saluran nafas yang melibatkan


berbagai sel inflamasi menyebabkan saluran nafas cenderung
untuk menyempit yang dapat sembuh spontan atau dengan
pengobatan dan adanya hiperaktivitas bronkus terhadap
berbagai ransangan.

2. Etiologi Tidak diketahui secara langsung penyebab asma, akan tetapi


peranan genetik dan faktor pencetus menyebabkan terjadinya
serangan asma bronkial. Etiologi asma adalah inflamasi
saluran nafas akibat proses igE mediated/ non igE mediated

605 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
menyebabkan bronkus menjadi hiperaktif. Faktor:
predisposisi genetic, pencetus dan agrevator menyebabkan
terjadinya serangan asma bronchial.

3. Bentuk Klinis Sesak nafas disertai nafas berbunyi secara akut maupun
berkala merupakan keluhan utama terjadinya serangan
asma. Serangan asma lebih sering terjadi pada malam hari.
Faktor pencetus dan aggravator sangat berperan terjadinya
serangan asma. Faktor pencetus seperti infeksi, allergen
inhalasi atau makanan, olahraga, polusi udara, iritan seperti
asap rokok, bau-bauan, obat-obatan dan emosi. Faktor
aggravator seperti rhinitis, sinusitis dan refleks asam
lambung.

Pemeriksaan fisik: nafas cepat dan dangkal, gelisah, fase


ekspirasi memanjang, bising mengi difus pada kedua
lapangan paru.

4. Pemeriksaan Uji faal paru ditemukan obstruksi yang reversibel setelah


Penunjang pengobatan atau menggunakan peak flow meter. Uji
provokasi bronkial untuk mengukur reaktivitas bronkus
dengan inhalasi metakolin, inhalasi histamin dengan dosis
yang makin tinggi atau melalui latihan jasmani.

Rutin : berupa hitung jenis eosinophil meningkat

Khusus : tes kulit (Prick test) dan kadar IgE spesifik


meningkat

5. Diagnosis Gejala klinik yang khas dan perubahan uji faal paru setelah
pengobatan dengan bronkodilator.

6. Penatalaksanaan 1. Oksigen 4-5 liter/ menit


2. Berikan nebulizer beta 2 agonis seperti salbutamol atau
fenoterol 2,5 mg tiap 20 menit maksimal sebanyak 3 kali
3. Steroid bila belum dapat diatasi. Hidrokortison 4 x 200
mg iv atau dexametason 4 x 10 mg atau prednisolone 40
mg/ hari dalam dosis terbagi.
4. Bila serangan akut dapat teratasi, ganti obat secara oral.
5. Suntikan aminofilin (240/10 mL) dengan dosis bila telah
mendapat aminofilin dalam 12 jam sebelum serangan,
berikan dosis awal 2-3 mg/kgBB intavena perlahan-
lahan, teruskan dengan dosis pemeliharaan 0,5-1
mg/kgBB/jam
6. Perbaikan hidrasi melalui cairan fisiologis intravena 2-3
liter/ 24 jam
7. Antibiotik bila ada infeksi sekunder
8. Komplikasi Serangan asma berat dapat menimbulkan kematian. Asma
kronik persisten dapat menyebabkan penyakit paru obstruksi
kronik (PPOK) dan penyakit jantung paru (kor pulmonal).

Pangkalan Balai, Januari 2018

606 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si
Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

TB PARU & TB EKSTRA PARU

1. Definisi TB paru dan TB ekstra paru adalah infeksi kronik pada paru
dan jaringan tubuh lain yang disebabkan oleh Mikobakterium
tuberculosis ditandai dengan pembentukkan granuloma dan
adanya reaksi hipersensitivitas tipe lambat.

2. Etiologi Mycobacterium tuberculosis

3. Bentuk Klinis Batuk kronik (lebih 3 minggu) dapat disertai darah, malaise
(badan lesu, lemah, tidak bersemangat), nafsu makan
menurun, berat badan menurun, demam tidak terlalu tinggi,
keringat pada sore menjelang malam, rasa flu yang tidak
sembuh.

607 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
4. Pemeriksaan Terutama ditemukan kelainan pada lapangan atas kedua
Fisik paru atau pada segmen apikobasalis, bila terdapat infiltrate
yang luas maka ditemukan stem fremitus meningkat, perkusi
redup, bunyi pokok vesikuler meningkat dan adanya bunyi
tambahan ronki halus nyaring dan krepitasi. Bila ada kavitas
dapat terdengar bunyi amforik.

5. Pemeriksaan 1. Foto toraks PA relevan untuk TB paru seperti adanya


Penunjang infiltrate, eksudat, kaseosa, kavitas dinding tipis
(sklerotik), milier
2. Untuk kasus lama perlu perbandingan serial foto.
3. Rutin berupa LED meningkat, hitung jenis dominan
limfosit
4. Sputum BTA 3 kali, dapat dahak setiap pagi atau dahak
SPS (sewaktu, pagi dan sewaktu). Dikatakan BTA positif
bila 2 dari 3 sediaan memberikan hasil positif.
5. Khusus: tes Mantoux (+), sputum BTA (+), biakan dari
M.TBC (+), pemeriksaan PCR, ELISA dll.
6. Penatalaksanaan 1. Motivasi dan Pendidikan meliputi TB paru, merupakan
peyakit menular, dapat disembuhkan, makan obat secara
teratur paling sedikit 6 bulan, adanya efek samping obat,
bahaya terjadinya batuk darah.
2. Istirahat kerja tergantung derajat lesi TB dari ringan
sampai lanjut, perlu istirahat 1-3 bulan
3. Diet tinggi kalori tinggi protein, kecuali ada penyakit
penyerta seperti diabetes dan lainnya. Konsistensi dari
bubur sampai nasi biasa
4. Tidak merokok
5. Obat anti tuberculosis tergantung kategori

Obat TB:
1. Streptomisin 1 gr (suntikan)
2. Rifampisin 450 mg dan 600 mg (oral)
3. INH 400 mg (oral)
4. Pirazinamid 500 mg (oral)
5. Etambutol 500 mg dan 250 mg (oral)
6. Vitamin B kompleks (oral)
7. Obat batuk hitam (oral)

7.Komplikasi Dapat terjadi batuk darah massif (lebih dari 500 ml/hari),
pleuritis eksudatif TB (pleura effusion), pneumotoraks TB,
empyema TB, TB ekstra paru lain seperti meningitis TB, dll.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a

608 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

REFLUKS ESOFAGITIS

1. Definisi Terjadinya peradangan mukosa esofagus akibat kontak


dengan asam lambung, pepsin dan empedu.

2. Etiologi a. Kelainan anatomis: sliding hernia


b. Kelainan fungsional: kelainan hormonal, kelainan
neurologis, obat-obatan, diet yang salah, rokok, alkohol,
dll.
3. Bentuk Klinis Nyeri retrosternal, heartburn, regurgitasi, nyeri sewaktu
menelan, hematemesis, melena.

4. Diagnosis 1. Gejala klinis


2. Pemeriksaan endoskopi
3. Pemeriksaan histopatologi
4. Foto barium esophagus
5. Pemeriksaan pH

609 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
6. Penatalaksanaan 1. Kurangi berat badan
2. Diet rendah lemak, pantang rokok, kopi alkohol, coklat
dan lain-lain.
3. Obat-obatan: antasida, H2RA, obat golongan prokinetik,
sitoprotektif, PPI
7. Komplikasi Striktura esophagus

8. Prognosis Baik

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

AKALASIA

1. Definisi Suatu keadaan tidak didapatkan peristaltik dari korpus


esofagus dan kegagalan spinkter esofagus bagian bawah
untuk relaksasi secara sempurna. Akibatnya terjadi statis
makanan dan terjadi pelebaran esofagus.

2. Etiologi a. Primer: tidak diketahui


b. Sekunder:
 Infeksi (penyakit Chagas)
 Tumor intra dan ekstra luminer
 Obat-obatan anti kolinergik
 Paska vagotomi
 Neurophatic chronic intestinal pseudo-obstruction
syndrome
3. Bentuk Klinis Disfagia yang makin lama makin berat, regurgitasi terutama
pada malam hari dan posisi berbaring, nyeri dada, nyeri
epigastrium (heartburn) dan berat badan turun.

610 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
4. Diagnosis  Esofagogram
 Endoskopi
 Manometri esofagus
5. Penatalaksanaan a. Medikamentosa:
 Nitrogliserin 0,3-0,6 mg SL
 ISDN 2,5 - 5 mg SL atau 10-20 mg per oral
 Nifedipin 10-20 mg per oral atau SL

b. Dilatasi mekanik
c. Operasi
6. Prognosis Umumnya baik

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

GASTRITIS EROSIF

1. Definisi Peradangan dan erosi akut dari mukosa lambung.

2. Etiologi a. Obat golongan salisilat dan OAINS lain


b. Alkohol
c. Zat kimia korosif
d. Infeksi bakteri stafilokokus
e. Infeksi virus, dll
3. Bentuk Klinis Nyeri akut epigastrium, mual, muntah, hematemesis, melena.

4. Diagnosis Endoskopi dan foto barium lambung


5. Penatalaksanaan Diet: cairan dan lunak
IVFD kalau perlu
Obat-obatan: antacid, transkuilizer, spasmolitik, H 2RA, obat
golongon sitoprotektif, antibiotik jika perlu, PPI

6. Komplikasi Anemia, ulkus dan perforasi jarang

611 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

TUKAK PEPTIK

1. Definisi Terjadi kerusakan lokal dari dinding lambung dapat terbatas


pada mukosa atau lebih dalam sampai lapisan otot akibat
pengaruh asam lambung, pepsin atau cairan empedu dengan
batas yang jelas dan bersifat jinak.

2. Etiologi Faktor genetik, makanan, obat-obatan, faktor lingkungan,


stress, kuman H. Pylori

3. Bentuk Klinis Rasa nyeri epigastrium, rasa terbakar, nyeri spontan tengah
malam, mual, muntah, berat badan menurun, hematemesis,
melena.
4. Diagnosis  Foto barium lambung dan duodenum’
 Endoskopi
5. Penatalaksanaan a. Non medikamentosa
 Istirahat
 Hindari stress
 Hindari merokok, minuman keras, kopi, makanan

612 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
meransang seperti cabe, merica, cuka dll
 Diet: makan lunak dengan porsi kecil-kecil dan sering,
makanan yang mengandung susu, biscuit dan lain-
lain
b. Medikamentosa
 Psikofarmaka
 Antasida, antikolinergik, H2RA, sitoprotektor, inhibitor
pompa proton, eradikasi kuman H.Pylori, dll.
6. Komplikasi Perdarahan, perforasi

7. Tindak Lanjut Operasi

8. Prognosis Sering relaps

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

KOLESISTITIS

1. Definisi Kolesistitis adalah peradangan dari saluran empedu dan


kantong empedu.

Ada 2 tipe yaitu akut dan kronik.

2. Etiologi Sebagian besar disebabkan adanya obstruksi pada duktus


sistikus oleh batu, sedangkan kurang dari 10% tanpa disertai
batu.

3. Bentuk Klinis Gejala klasik adalah nyeri hilang timbul abdomen kanan atas
terutama setelah makan makanan yang mengandung lemak.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri perabaan di daerah
kantong empedu, dapat disertai dengan peritonitis lokal.
Ikterus terjadi bila ada hambatan dari aliran empedu.

4. Diagnosis  Pemeriksaan USG


 Plain foto abdomen dan kolesistografi oral
 CT scan

613 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
 ERCP
5. Penatalaksanaan  Istirahat
 Pemberian makanan parenteral, diet ringan tanpa lemak
 Obat: penghilang rasa nyeri, antispasmodik, petidin,
antibiotic
 Bedah: kolesistektomi
6. Komplikasi  Perforasi saluran empedu
 Ikterus obstruksif
 Sepsis
7. Tindak Lanjut  Operasi
 Atasi sepsis
8. Prognosis Baik

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

PANKREATITIS

1. Definisi Pankreatitis adalah reaksi peradangan pankreas dimana


enzim pankreas melalui autodigesti pada kelenjar itu sendiri.
Pankreatitis bilier akut adalah pankreatitis akut yang
disebabkan oleh sumbatan batu di saluran empedu.

Mekanisme terjadinya obstruksi spinkter Oddi akibat batu


masih belum jelas, tetapi melibatkan peningkatan tekanan
saluran bilier.

2. Etiologi Pancreatitis dapat terjadi ketika faktor yang mempengaruhi


homeostasis seluler menjadi tidak seimbang. Hal yang
memulai proses tersebut dapat berupa apa saja yang
merusak sel asinar dan mempengaruhi sekresi granul
zimogen seperti pada penggunaan alkohol, batu dan berbagai
macam obat.

3. Bentuk Klinis Gejala dan Tanda Klinis:

 Nyeri perut atas biasanya di epigastrium, dapat juga di

614 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
sebelah kanan atau kiri, tergantung pada sisi pankreas
yang terkena. Nyeri bersifat memdadak yang
intensitasnya meningkat dan akhirnya menetap. Nyeri
dapat menyebar ke punggung, dada, pinggang
belakang dan abdomen bawah.
 Demam
 Takikardi
 Mual dan muntah
 Anoreksia
 Kebanyakan pasien disertai ikterus
 Distensi abdomen
 Bising usus menghilang
 Asites (karena ruptur pankreas)
 Dispnoe (terjadi karena iritasi diafragma, efusi pleura)
 Hemodinamik tidak stabil (syok)
 Tanda Cullen dapat positif (warna kebiruan di sekitar
umbilicus akibat hemoperitoneum)
 Tanda Grey-turnue dapat positif (warna merah
kecoklatan di daerah flank karena infiltrasi darah
retroperitoneal diantara jaringan).
 Dapat dijumpai nodul eritematosa pada kulit karena
nekrosis lemak subkutan. Biasanya ukurannya tidak
lebih dari 1 cm dan terletak dikulit bagian ekstensor.
 Dapat dijumpai poliarthritis.
4. Pemeriksaan  Amylase dan lipase serum sangat meningkat lebih dari
Penunjang 3x nilai normal.
 Pemeriksaan kadar SGOT, SGPT, bilirubin dan alkoholi
pesfatase untuk mendukung batu saluran empedu
sebagai etiologi pancreatitis.
 Kalsium serum (biasanya terjadi hiperkalsemia akibat
saponifikasi lemak di Retroperitoneum)
 Periksa kadar elektrolit, ureum, kreatinin, glukosa
 Adanya hemokonsentrasi merupakan pemeriksaan
yang sensitive, yang menunjukkan penyakit yang
berat.
 CRP dapat diperiksa 24-48 jam setelah omset gejala.
CRP 150 mg/dl menunjukkan pancreatitis berat.
 Analisis gas darah diperlukan bila pasien mengalami
dispneu
 USG Abdomen : edema pankreas, asites, batu/studge
saluran empedu, dilatasi saluran empedu (rutin
dikerjakan)
 CT Scan Abdomen : untuk membedakan antara
pancreatitis intertitia atau pancreatitis rekrotikans
( dilakukan pada kasus yang tidak jelas)
 Rontgen Thoraks : efusi pleura
 MRI – MRCP: untuk pasien yang terdapat
kontraindikasi pada pemeriksaan CT Scan dengan
kontras.
 Endosonografi : untuk mendapatkan gambaran
pankreas dan saluran bilier yang lebih jelas (bila
tersedia)
 ERCP : untuk evaluasi saluran bilier dan pankreas.
ERCP digunakan sebagai alat diagnosis sekaligus

615 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
terapi.
5. Diagnosis  Kolelitiasi
Banding  Ulkus yang mengalami perforasi
 Appendicitis akut
 Obstruksi usus
 Trauma
 Pancreatitis akibat obat, konsumsi alcohol akut
 Kelainan paru, jantung, ginjal.
 Hipertrigliseridemia
 Hiperkalsemia
 Porfiria akut
6. Penatalaksanaan a. Pankreas Ringan
 Rehidrasi agresif
 Penghilang rasa nyeri : golongan OAINS
 Asupan makanan oral jika nyeri membaik
 Pantau hasil laboratorium dan pemeriksaan
pencitraan
b. Pancreatitis Berat
 Dianjurkan perawatan intensif
 Terapi cairan agresif
 Terapi nutrisi
 Penghilang rasa nyeri (morfin bila perlu)
 Lakukan ERCP segera
 Identifikasi proses nekrosis
 Antibiotic bila terdapat infeksi

Catatan ;

1. Larutan IVFD NaCL 0,9% atau RL diberikan dengan


memperhatikan hemodinamik pasien. Setelah balance
cairan seimbang, cairan kristaloid diberikan 35
ml/kgbb/hari)
2. Bila kadar glukosa darah >250 g/dl diberikan insulin
3. Transfusi darah diperlukan bila kadar HT < 25%
4. Saturasi Oksigen arteri > 95%
5. Antibiotic diberikan bila ada tanda-tanda infeksi
6. Indikasi ERCP segera (dalam waktu 24 jam setelah
pasien masuk)

7. Komplikasi Pseudokista pankreas, abses pankreas, peradangan


hemorraghic, nekrosis organ sekitar, pembentukan fistula,
ulkus duodenum, interus obstruksi, asites, sepsis.

Pangkalan Balai, Januari 2018

616 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si
Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

HEPATITIS VIRUS AKUT

1. Definisi Hepatitis virus akut adalah peradangan hati yang disebabkan


oleh virus hepatotropik.

2. Etiologi Virus hepatitis A, B, Non A, Non B, D, E, G.

3. Bentuk Klinis a. Fase prodromal : panas, lesu, malaise, nyeri epigastrium,


muntah. Gejala ini timbul beberapa hari.
b. Fase ikterus : timbul ikterus bervariasi dari ringan
sampai berat terlihat pada mata, mukosa dan kulit. Pada
bberapa pasien terjadi kolestasis disertai gatal pada kulit
dan ikterus berlangsung lebih lama dapat mencapai
sampai 4 bulan. Setelah timbul ikterus gejala prodromal
menghilang, demam tidak ada lagi dan nafsu makan
kembali normal.
c. Fase penyembuhan : ikterus berangsur-angsur
menghilang. Lama ikterus lebih kurang 1-6 minggu,
pasien sembuh baik secara klinis maupun laboratorium.
Kurang dari 0,5% penderita dapat menjadi fulminan dan
fatal.
4. Diagnosis Ditegakkan dengan pemeriksaan serologis dari masing-

617 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
masing jenis virus, dan ditemukan kelainan LFT, dimana
kelainan SGOT dan SGPT lebih menonjol.

5. Penatalaksanaan a. Tirah baring sampai kadar bilirubin darah kurang dari


2%
b. Diet : selama ada mual, diet lunak, kurangi lemak,
lurangi protein, tinggi hidrat arang. Kalori 1500-2000
sehari. Setelah mual hilang, tinggi kalori dan tinggi
protein.
c. Makanan parenteral diberikan bila anoreksia berat dan
muntah-muntah
d. Penderita pulang bila kadar bilirubin kurang dari 2 mg%,
tetap istirahat sampai LFT normal kembali.
e. Pantang olahraga 3-6 bulan, pantang alcohol 6 bulan – 1
tahun.
6. Komplikasi Hepatitis fulminant, hepatitis Kronis

7. Prognosis Virus hepatitis A mempunyai prognosis baik, sembuh secara


sempurna, 10% virus hepatitis B, Non A Non B dapat menjadi
kronik dan menjadi sirosis hepatitis atau hepatoma.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

SIROSIS HEPATIS

1. Definisi Sirosis Hepatitis adalah penyakit hati menahun yang ditandai


dengan proses peradangan, nekrosis sel hati, usaha regrasi
dan penambahan jaringan ikat difus dengan terbentuknya
nodul yang mengganggu susunan lobules hati.

2. Etiologi a. Hepatitis virus B, Non A Non B.


b. Alkohol
c. Gangguan metabolic: DM, Hemokromatosis, penyakit
Wilson, galaktosemia, defisiensi alfa 1 anti tripsin.
d. Penyumbatan saluran empedu inta atau ekstra hepatic
yang lama
e. Bendungan vena hepatica
f. Gangguan imunitas seperti pada hepatitis lupoid.
g. Toksin obat-obatan seperti obat sitostatika.
h. Malnutrisi
i. Infeksi parasit kronis, seperti skistosomiasis
j. Dll

3. Bentuk Klinis Pada tingkat awal, gejala umumnya samr-samar dan tidak

618 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
khas, umumnya penderita merasakan tidak fit seperti
biasanya, penderita merasa lebih cepat letih.
Pada tingkat lanjut timbul ikterus, asites edema spider naevi,
palmar eritema, ginekomastia, atropi testis, varises
esophagus, koma hepatikum, dll.

4. Diagnosis a. Gejala klinis


b. Kelainan LFT
c. Ultrasonografi
d. Foto esophagus dan endoskopi untuk melihat varises
esophagus.

5. Penatalaksanaan a. Istirahat yang cukup.


b. Diit yang adekuat dan seimbang
c. Medikamentosa diberikan sesuai dengan gejala yang
timbul. Asites diberikan diuretic, spironolakton 100
mg/hari PO (selama maksimal 60 mg/hari), furosemid
40-80 mg/hari PO/IV (selama maksimal 240 mg/hari),
monitor BR urin output, NA.K. Creatinin

6. Komplikasi a. Pecahnya varises esofagus


b. Koma hepatikum

7. Tindak Lanjut a. Skleroterapi


b. Bedah pintas
8. Prognosis Tergantung derajat berat ringannya sirosis, serta gangguan
fungsi hati yang ditimbulkannya.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

619 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

HEPATITIS FULMINANT

1. Definisi Kegagalan faal hati akut yang diakibatkan oleh nekrosis


masif sel hati yang timbulnya mendadak.

2. Etiologi  Hepatitis viral


 Obat-obatan : halotan, MAO inhibitor, paracetamol
 Fatty liver
3. Bentuk Klinis  Badan panas, lemah, mual, yang disusul dengan
timbulnya ikterik.
 Ikterik prognosif dalam waktu relative singkat, yaitu 4-16
hari.
 Kesadaran menurun
 Gelisah, flapping tremor, fetor hepatikum
 Kekakuan ekstremitas, yaitu timbul hiperpronasi dan
ekstensi lengan, ekstensi tungkai
4. Pemeriksaan  Serologis hepatitis viral, cytomegalovirus, Ebstein barr,
Penunjang adenovirus
 Kadar bilirubin total 18,9 – 27,4 mg% dengan rata-rata
23,7 mg%
 Alkaliphospatase > 2 kali normal
 SGOT rerata 305,3 U/L
 SGPT rerata 351,4 U/L
5. Penatalaksanaan  Follow Up vital sign
 Follow Up Intake dan Out put cairan

620 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
 Evaluasi EKG, EEG dan foto thorak
 Pasang infuse dekstrose 10%, martos 10
6. Komplikasi Edema serebral, perdarahan, septicemia, hipoglikemia,
gangguan pernafasan dan gangguan faal ginjal.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

ENSELOPATI HEPATIKUM (EH)

1. Definisi Sindroma neuropsikiatri kompleks yang reversibel dan


merupakan komplikasi penyakit hati akut atau kronik,
berhubungan dengan gangguan fungsi hepatoseluler atau
akibat printisan portosistemik atau kombinasi keduanya.

2. Etiologi  Peningkatan suplai protein intestinal: diet tinggi protein,


perdarahan saluran cerna
 Peningkatan katabolisme protein: defisiensi albumin,
demam, operasi dan infeksi
 Mekanisme detoksifikasi: intoksifikasi alkohol, toksin,
endotoksin, infeksi obstipasi
 Peningkatan tumor faktor nekrosis
 Peningkatan ikatan ke reseptor GABA: benzodiazepine,
barbiturate, fenotiazim, sedatif, transquilizer’
 Gangguan metabolik: asidosis, azotemia, hipoglikemia
 Gangguan elektrolit: hipokalemia, hiponatremia,
hipomagnesemia
 Inhibisi sintesa area: diuretic, kadar zink yang rendah
 Hepatitis virus akut, perlemakan hati akut pada
kehamilan, kerusakan parenkim fulminan
3. Bentuk Klinis

4. Diagnosis Gambaran klinis sesuai derajat ensefalopati hepatikum (EH):

 Derajat 0 :
Tanpa gejala, tes psikometrik negative/ subklinis/

621 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
minimal: klinis atau status mental normal, terdapat
gangguan memori/ neuromuscular minimal, tes
psikometrik positif
 Derajat I :
Euphoria, cemas, bingung ringan, depresi, gangguan
bicara, gangguan siklus tidur
 Derajat II :
Letargi, bingung meningkat, mengantuk, perubahan
kepribadian nyata, perubahan perilaku, disorientasi
minimal waktu dan ruangan.
 Derajat III :
Bicara kacau, sangat bingung, rasa kantuk berat,
disorientasi berat waktu dan tempat, tidak dapat
melakukan aktivitas mental
 Derajat IV :
Koma

5. Penatalaksanaan  Atasi faktor pencetus


 Mengurangi produksi ammonia pada saluran cerna:
o Laktulosa enema : 200 ml laktulosa dengan 700 ml
air
o Laktulosa sirup : 3 x 10-30 ml/ hari
 Mengatur diet protein 1,5 gr/ kgBB/ hari, jumlah
kebutuhan kalori 1800-2500 kkal/hari
 Memperbaiki ketidakseimbangan asam amino BCAA
(Branched Chain Amino Acids) 0,5 g/ kgBB/ hari (3 x 10
gr/ hari)
 Memberikan antibiotika:
o Neomisin : 2-4 gr/hari
o Metronidazol : 3 x 400 mg/hari
o Vankomisin : 4 x 500 g/hari
 Meningkatkan detoksifikasi ammonia ekstra saluran
cerna: L-ormika, L-aspartat: 20 gr (4 ampul)/ hari untuk
keadaan prakoma, 40 gr (8 ampul)/ hari untuk keadaan
koma, LOLA oral diberikan 3 x 3-6 gr/ hari
 Memberikan antagonis reseptor benzodiazepam: flusiazenil
0,2-0,3 mg iv boleh diikuti dengan 5 mg iv per jam (infus).
6. Komplikasi  Edema serebri
 Herniasi otak
 Koma progresif yang ireversibel
 Kerusakan neurologic permanen (serebral kronik)
 Resiko sepsis, peritonitis bakterialis spontan, sindroma
hepatorenal, syok
7. Prognosis Prognosis tergantung pada keparahan ensefalopati hepatikum
(EH)/ gagal hati dan lamanya waktu dapat dilihat
berdasarkan MELD/ Child turcotte pugh pasien dengan gagal
hati berat 30% meninggal karena ensefalopati hepatikum.

Ensefalopati hepatikum akut dengan koma atau gagal hati


fulminan 80% akan berakhir dengan kematian.

622 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

ABSES HATI

1. Definisi Terbentuknya rongga patologis berisi jaringan nekrotik yang


timbul dalam jaringan hati akibat infeksi bakteri atau amoeba
histolitika.

2. Etiologi  Entamoeba histolitika berbentuk minuta, kista, vegetatif


(aktif)
 Bakteri piogenik
3. Gejala Klinis Bervariasi, dapat timbul mendadak atau perlahan-lahan.
Dapat timbul bersamaan dengan stadium akut amubiasis
intestinal atau berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun
setelah keluar intestinal sembuh.

Gejala subjektif :

 Nyeri perut kanan atas, nyeri bila ditekan atau waktu


bergerak, biasanya penderita miring ke sisi kanan
 Demam, menggigil
 Anoreksia
 Mual muntah
Gejala objektif :

 Pembesaran hati
 Nyeri tekan
 Fluktuasi
 Ikterik ringan
 Terjadi distensi abdomen
4. Diagnosis  Klinis

623 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
 USG
 Serologis
 Adanya pus pada punksi percobaan
 Kultur dan resistensi test
5. Penatalaksanaan  Istirahat
 Diet TKTP
 Antibiotik untuk amuba: metronidazol 4 x 500 mg
selama 5-10 hari
 Bila diameter abses lebih dari 7 cm, terapi diteruskan
dengan nivaquin 3x10 mg selama 3 minggu
 Antibiotik untuk bakteri:broad spektrum antibiotik
atau sesuai dengan hasil tes resistensi selama 2-4
minggu
 Kombinasi metronidazol dan antiobik bila disangka
abses campuran
 Tindakan:
Aspirasi cairan pus, terutama bila abses akan pecah
atau kurang respon dengan pengobatan

6. Komplikasi  Perforasi intratorakal


 Perforasi intraperitoneal

7. Prognosis Bila tanpa komplikasi umumnya baik

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

624 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

HIPERTENSI

1. Definisi Meningkatnya tekanan darah secara tetap di atas normal


(>140/90)

2. Pembagian a. Primer (esensial) : 90%


b. Sekunder : renal/renovaskular, feokromositoma,
hiperaldosteronisme, pil KB, dll

Derajat Hipertensi:

Sistolik and diastolic Tekanan Tekanan


BP Sistolik diastolik

<120 and < 80 Normal BP Normal BP

120-129 and < 80 Pre hipertensi Pre hipertensi

130-139 and 80-89 Pre hipertensi HT stg 1

140-159 and 90-99 HT stg I HT stg 2

≥160 and ≥100 HT stg 2 HT stg 2

3. Bentuk Klinis  Hipertensi krisis


 Hipertensi ensefalopati
 Hipertensi maligna
 Hipertensi dengan dekompensasi kordis

4. Diagnosis Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg pada 3 kali pengukuran


dalam interval waktu 1-2 minggu atau 2 hari berturut-turut
apabila penderita dirawat.

5. Pemeriksaan  Laboratorium
Penunjang

625 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
 Darah/ urin rutin
 Kimia darah: ureum, kreatinin, BSN/BSPP, profil
lipid, asam urat, Na+ K+
 Foto Thoraks
 ECG
 Fundoskopi mata
 Ekokardiografi kalau perlu
 USG ginjal/ saluran kemih

6. Penatalaksanaan a. Non Farmakologik


 Diet rendah garam
 Menurunkan berat badan
 Menghindari stress

b. Farmakologik
 Diuretik atau beta bloker, alfa bloker, ACEI, Ca-
antagonis, ARB
 Kombinasi dari diuretik dan salah satu pilihan
 Kombinasi dari diuretik atau 2 pilihan obat lain
 Pada krisis hipertensi dipilih obat yang bekerja cepat
dengan menggunakan obat-obat injeksi (nicardipin,
catapress, herbesser, isokat)
7. Komplikasi  CVD (Cerebro Vascular Disease)
 HHD (Hypertensive Heart Disease)
 PJK (Penyakit Jantung Koroner)

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

626 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

PENYAKIT GINJAL KRONIK

1. Definisi  Menurunnya faal ginjal secara progresif dan menahun


 Umumnya ireversibel
2. Pembagian 1. Insufisiensi ginjal : klirens kreatinin sampai > 90 ml/
menit
2. PGK ringan : klirens kreatinin sampai 60-89
ml/menit
3. PGK sedang : klirens kreatinin sampai 30-59
ml/menit
4. PGK berat : klirens kreatinin sampai 15-29
ml/menit
5. PGK terminal : klirens kreatinin sampai < 15
ml/menit
3. Etiologi a. Glomerulonefritis
b. Penyakit ginjal interstitial: pielonefritis kronik,
pemakaian obat-obat analgesik/NSAID
c. Penyakit ginjal obstruktif dan infektif
d. Penyakit metabolik: DM, gout
e. Hipertensi
f. Penyakit autoimun
g. Akibat radiasi dan penggunaan kontras
h. Penyakit ginjal herediter

627 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
4. Bentuk Klinis  Pada insufisiensi ginjal/ PGK ringan tidak dijumpai
adanya keluhan apa-apa
 Pada PGK sedang/ berat dapat dijumpai
Keluhan: rasa lemah, cepat, nafsu makan kurang,
mual/muntah, sukar tidur, gangguan konsentrasi,
kejang
Kelainan jasmani: pucat, kulit kering, hipertensi sampai
dekompensasi kordis, pernafasan Kussmaul, fetor
uremikum, kesadaran menurun sampai koma

5. Diagnosis  Berdasarkan adanya gejala-gejala klinik


 Laboratorium:
Darah rutin, kimia darah: ureum, kreatinin, asam urat,
kalsium, fosfor, gangguan elektrolit dan asam basa.
 Pemeriksaan Penunjang:
o Ro Foto: Thoraks, BNO
o USG ginjal/ saluran kemih
o EKG
o Ekokardiografi
o Klirens kreatinin

6. Penatalaksanaan a. Konservatif apabila klirens kreatinin lebih dari 10


ml/menit
Umum:
o Diet rendah protein 0,6-0,75 gr/ kgBB/ hari,
rendah fosfat cukup kalori
o Intake cairan: jumlah urin sehari sebelumnya
ditambah 500 cc
o Vitamin yang mnegandung B kompleks, B12,
B1, B6
o Usahakan untuk menemukan serta
memperbaiki faktor-faktor yang memperburuk
faal ginjal seperti infeksi obstruksi, gangguan
elektrolit, keseimbangan asam basa, dehidrasi,
kelainan kardiovaskular.
Bila ada komplikasi:
o GIT :
 Metoklopramid/procholoferazin bila mual
 Golongan PPI bila ada gastritis/ ulkus
o Anemia:
 Preparat Fe, B12, asam folat
 Eritropoetin
 Transfusi darah
o Hipertensi:
 Pembatasan cairan
 Obat antihipertensi (kalsium antagonis,
alfa bloker, beta bloker, klonidin)
o Gagal jantung:
 Batasi cairan
 Diuretik
 Dialisa

628 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
o Gangguan tulang:
 Diet rendah fosfat
 Kalsium kalsitral (1,25-dihidrasi Vit D)
o Metabolik asidosis:
 Natrium Bikarbonat tablet atau infus
o Hiperkalemia:
 Batasi intake kalium dengan pemberian
cairan exchange resin ba/K polysterene
sulfonat
 Jika terjadi aritmia: bikarbonat Na iv/ ca
glukonas 10% (10-20 cc) IV diberikan
secara drip
o Gatal:
 Diet rendah fosfat, antihistamin

b. Terapi substitusi apabila klirens kreatinin < 5


ml/menit atau < 10 ml/menit dengan adanya
komplikasi
o Hemodialisis, peritoneal dialysis, transplantasi
ginjal

7. Komplikasi  Kardiovaskular : hipertensi, dekompensasi kordis,


perikarditis

 Paru : edema paru/ uremic lung

 Gastropati : gastritis, ulkus peptikum,


perdarahan

 Hematologi : anemia, gangguan perdarahan

 Endokrin : hiperparatiroid sekunder,


resistensi insulin

 Elektrolit dan keseimbangan asam basa: hiponatremia,


hiperkalemia, asidosis metabolik

 Tulang : renal osteodistrofi

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

629 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

PENYAKIT GINJAL AKUT

1. Definisi Penurunan secara tiba-tiba dari fungsi ginjal sehingga


mengakibatkan kenaikan dari kadar ureum dan kreatinin
dalam darah dengan atau tanpa adanya oliguria.

2. Pembagian  PGA prerenal:


Dapat timbul pada keadaan perdarahan, kehilangan
cairan tubuh, diare, muntah-muntah, dehidrasi, sepsis,
dekompensasi kordis
 PGA renal:
Kelanjutan dari PGA prerenal, nekrosis tubuler akut
(NTA), zat nefrotik: preparat Hg, CCl4, aminoglikosida
 PGA postrenal:
Batu saluran kemih, hipertrofi prostat, tumor alat
kandungan

3. Gejala Klinis  Oliguria/ anuria


 Sindroma uremik: mual, muntah, penurunan kesadaran
sampai koma, kejang-kejang, pernafasan Kussmaul bila
terjadi asidosis
4. Diagnosis  Berdasarkan penemuan gejala-gejala klinik dan adanya
faktor penyebab dari terjadinya PGA pada anamneses
 Pemeriksaan laboratorium:
Urin : rutin, kadar Na+ urin jika ada fasilitas
Darah : rutin

630 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
Kimia : ureum, kreatinin, asam urat, Na+ K+
 Pemeriksaan penunjang: Ro BNO, USG ginjal/ saluran
kemih

5. Perjalanan  PGA prerenal dan post renal baik bila faktor etiologi
Penyakit dapat diatasi
 PGA renal terdapat 3 fase: fase oliguria, poliuria dan fase
konvalesens
6. Penatalaksanaan  Tentukan jenis PGA
 Atasi faktor etiologi
 PGA renal/ NTA
 Diet rendah protein 0,6-0,75 g/ kgBB/ hari
 Jumlah kalori secukupnya
 Garam dibatasi
 Monitor intake-output cairan tiap hari

Bila disertai komplikasi


 Hiperkalemia : Na Bic iv, Ca glukonas 10% iv
 RI 5-8 unit dalam dekstrose 40% 1 flash bolus pelan-
pelan
 Kation exchange resin
 Na/Ca polisterene sulfonat
 Dialysis
 Hipertensi:
- Batasi intake cairan
- Obat antihipertensi: beta bloker, alfa bloker, Ca
antagonis, klonidin, ACEI (hati-hati)/ dilantin
(difenil hidantoin)
- Kejang-kejang: valium 10 mg iv
- Infeksi: antibiotik ampisilin/ amoksisilin/
sefalosporin
- Gagal jantung: furosemid iv
- Hemodialisis bila konservatif gagal/ kondisi
memburuk
- Fase poliuria: jaga keseimbangan cairan dan
elektrolit

7. Komplikasi  Infeksi
 Hipertensi, dekompensasi kordis
 Asidosis metabolic
 Koma uremikum
 Gangguan elektrolit: hiperkalemia, hipokalemia,
hiponatremia.
8. Prognosis  PGA prerenal
 PGA renal/NTA bisa sembuh
 PGA post renal hilangkan penyebab

Pangkalan Balai, Januari 2018

631 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si
Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

PIELONEFRITIS AKUT

1. Definisi Infeksi akut dari jaringan ginjal

2. Etiologi  Escherichia coli (85%)


 Kuman-kuman lain: Klebsiella, Proteus mirabilis,
Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter
3. Gejala Klinis  Sakit di daerah pinggang
 Demam, sering disertai menggigil
 Palpasi abdomen: nyeri tekan di daerah lumbal, nyeri
ketok costovertebral
4. Diagnosis  Berdasarkan gejala klinis
 Laboratorium rutin: darah ditemukan leukositosis, urin
ditemukan sedimen leukosit banyak
 Khusus: biakan urin terdapat bakteriuri bermakna (>
100.000 kuman/cc)
5. Pemeriksaan Ro BNO, USG ginjal/ saluran kemih
Penunjang
6. Penatalaksanaan  Istirahat
 Minum banyak 2000-3000 cc/ 24 jam
 Bakteriologi urin/ kultur dan resistensi tes urin
 Antibiotik secara empiris
7. Prognosis Bisa sembuh sempurna

632 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

SINDROMA NEFRITIS AKUT

1. Definisi Suatu keadaan yang bersifat akut dan difus dari glomerulus
atas dasar terjadinya suatu reaksi imunologik.

2. Gejala Klinis  Edema pada kelopak mata terutama pada pagi hari, biasa
disertai dengan edema tungkai
 Buang air kecil sedikit, berwarna kemerah-merahan
seperti air cucian daging
 Kadang-kadang ada hipertensi
3. Pemeriksaan  Rutin :
Penunjang Darah: LED meningkat
Urin: proteinuria (+1 - +2), hematuria RBC 3/lpb,
selinder globular/ eritrosit
 Khusus: titer ASTO ≥ 160 IU, HbsAg positif
4. Diagnosis  Berdasarkan gejala klinis dan laboratorium rutin
 Pemeriksaan khusus titer ASTO, HbsAg dan adanya
riwayat penyakit parasit (malaria) pada masa lampau,
menunjang diagnosis
5. Penatalaksanaan  Istirahat (tidak total)
 Diet rendah garam III, cukup kalori protein dibatasi 0,8
g/kgBB/hari
 Diuretik: HCT/ furosemid bila ada edema
 Antihipertensi bila ada hipertensi
6. Komplikasi  Terjadi gagal ginjal akut

 Terjadi penurunan faal ginjal secara progresif (rapidly


progressive glomerulonephritis)

 Hipertensi krisis berupa hipertensi ensefalopati dan


hipertensi dengan gagal jantung

633 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
7. Prognosis Baik untuk sebagian besar penderita (> 90%)

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

SISTISIS

1. Definisi Infeksi kandung kemih oleh mikroorganisme

2. Etiologi  Escherichia coli (80-90%)

 Lain-lain: Klebsiella, Enterobacter, Proteus, Pseudomonas


aeruginosa, Staphylococcus epidermidis, Enterococci,
Candida albicans, Staphylococcus aureus.
3. Diagnosis  Berdasarkan gejala klinis
 Pemeriksaan laboratorium:
Urin: proteinuria, sedimen banyak leukosit
 Pemeriksaan penunjang: faktor urin
 Kultur urin
4. Penatalaksanaan  Minum banyak
 Antibiotik selama 3 hari:
Amoksisilin 3x500mg, kotrimoksazol 2x2 tablet, golongan
kuinolon (ciprofloksasin 2 x 500 mg, levofloksasin 1 x 500
mg)
 Antibiotik sesuai kultur
5. Prognosis  Baik
 Masih terjadi relaps

Pangkalan Balai, Januari 2018

634 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si
Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

SINDROMA NEFROTIK

1. Definisi Suatu kumpulan gejala yang terdiri atas proteinuria massif,


edema anasarka, hipoalbuminuria

2. Etiologi a. Primer (idiopati: 75-80%)


b. Sekunder
 Glomerulonefritis post infeksi
 Penyakit sistemik, DM, SLE
 Keganasan
 Toksin-toksin spesifik
3. Bentuk Klinis Edema anasarka

4. Diagnosis  Berdasarkan gejala klinis


 Laboratorium: urin – proteinuria +++/++++ (> 3 g/24 jam)
 Secara kuantitatif: darah (hipoalbuminemia/
hiperkolesterolemia)
5. Pemeriksaan  Elopsi ginjal
Penunjang  Laboratorium: elektrolit, lipid, protein urin Esbach
6. Penatalaksanaan o Bila edema berat penderita dirawat di RS
o Diet:
 Protein dibatasi 0,8 g/kgBB/ hari
 Kalori 35 kcal/ kgBB/ hari
 Garam dibatasi
o Obat:
 Diuretik: furosemid, spironolakton
 Kortikosteroid: prednisone/ metilprednisolon
 Sitostatik
 Endoksan bila steroid resisten atau sering relaps
 Mecofenolat

7. Komplikasi  Infeksi sekunder

635 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
 Ateroskerosis
 Penyakit ginjal kronis

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

DEMAM TIFOID

1. Definisi Demam tifoid merupakan penyakit sistemik akut yang


disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella typhi atau
Salmonella paratyphi.

2. Etiologi o Anamnesis

 Demam naik secara bertangga pada minggu pertama


lalu demam menetap (kontinu) atau remiten pada
minggu kedua. Demam terutama sore/malam hari.
 Sakit kepala
 Nyeri otot
 Anoreksia
 Mual muntah
 Obstipasi
 Diare
o Pemeriksaan Fisik
 Febris
 Kesadaran berkabut
 Bradikardi relatif (peningkatan suhu 1oC tidak diikuti
peningkatan denyut nadi 8x/menit)
 Lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepid an ujung
merah serta tremor)
 Hepatomegali
 Splenomegali
 Nyeri abdomen
 Roseolae (jarang pada orang Indonesia)
o Laboratorium
 Leukopeni/leukositosis/leukosit normal
 Aneosinofilia
 Limfopenia
 Peningkatan LED
 Anemia ringan
 Trombositopenia

636 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
 Gangguan fungsi hati
 Kultur darah (biakan empedu) positif atau peningkatan
kadar titer Widal > 4 kali lipat setelah 1 minggu
memastikan diagnosis. Kultur darah negatif tidak
menyingkirkan diagnosis. Uji widal tunggal dengan
titer antibody O 1/320 atau H 1/640 disertai dengan
gambaran klinis khas menyokong diagnosis.

3. Penatalaksanaan Nonfarmakologis
 Tirah baring, makanan lunak rendah serat

Farmakologis
 Simtomatis
 Antimikroba:
Pilihan utama: kloramfenikol 4x500mg sampai dengan 7 hari
bebas demam
Alternatif lain:
 Tiamfenikol 4x500 mg (komplikasi hematologi lebih
rendah dibandingkan kloramfenikol)
 Kotrimoksazol 2x2 tablet selama 2 minggu
 Ampisilin dan amoksisilin 50-150 mg/kgBB selama 2
minggu
 Sefalosporin generasi ke III: yang terbukti efektif
adalah seftriakson 3-4 gram dalam dekstrosa 100cc
selama ½ jam per infuse sekali sehari, selama 3-5 hari.
Dapat juga diberikan sefotaksim 2-3 x 1 gram,
sefoperazon 2x1 gram
 Fluorokuinolon (demam umumnya lisis pada hari ke-3
atau menjelang hari ke-4): norfloksasin 2x400 mg/hari
selama 14 hari
Siprofloksasin 2x500 mg/hari selama 6 hari
Ofloksasin 2x400 mg/hari selama 7 hari
Pefloksasin 400mg/hari selama 7 hari
Fleroksasin 400 mg/hari selama 7 hari
 Pada kasus toksik tofoid (demam tifoid disertai
gangguan kesadaran dengan atau tanpa kelainan
neurologis lainnya dan hasil pemeriksaan cairan otak
masih dalam batas normal langsung diberikan
kombinasi kloramfenikol 4x500mg dengan ampisilin 4
x 1 gram dan deksametason 3x5mg). Kombinasi
antibiotik hanya diindikasikan pada toksik tifoid,
peritonitis atau perforasi, renjatan septik.
 Steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau
demam tifoid yang mengalami renjatan septik dengan
dosis 3x5 mg.
Kasus Tifoid Karier
 Tanpa kolelitiasis => pilihan regimen terapi selama 3
bulan
 Ampisilin 100 mg/kgBB/hari + probenesid 30
mg/kgBB/hari
 Amoksisilin 100mg/kgBB/hari + Probenesid 30
mg/kgBB/hari

637 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
 Kotrimoksazol 2x2 tablet/ hari
 Dengan kolelitiasis => kolesistektomi + regimen
tersebut di atas selama 28 hari kolesistektomi + salah
satu regimen berikut:
 Siprofloksasin 2x750 mg/hari
 Norfloksasin 2x400 mg/hari
 Dengan infeksi Schistosoma haematobium pada traktus
urinarius
Eradikasi Schistosoma haematobium:
 Prazikuantel 40 mg/kgBB dosis tunggal, atau
 Metrifonat 7,5-10 mg/kgBB bila perlu diberikan 3
dosis, interval 2 minggu
Setelah eradikasi berhasil, diberikan regimen terapi untuk
tifoid karier seperti di atas.

Perhatian: pada kehamialan florokuinolon dan kotrimoksazol


tidak boleh digunakan. Kloramfenikol tidak dianjurkan pada
trimester III. Tiamfenikol tidak dianjurkan pada trimester I.
obat yang dianjurkan golongan beta laktam: ampisilin,
amoksisilin dan sefalosporin generasi III (seftriakson).

4. Komplikasi  Intestinal: perdarahan intestinal, perforasi usus, ileus


paralitik, pancreatitis.
 Ekstra intestinal: kardiovaskular (kegagalan sirkulasi
perifer, miokarditis, thrombosis,tromboflebitis),
hematologik (anemia hemolitik, trombositopenia, KID),
paru (pneumonia, empiema, pleuritis), hepatobilier
(hepatitis, kolesistitis), ginjal (glomerulonefritis,
pielonefritis, perinefritis), tulang (osteomielitis, periostitis,
spondilitis, artritis), neuropsikiatrik (toksik tifoid).
5. Prognosis Baik. Bila penyakit berat, pengobatan terlambat/ tidak
adekuat atau ada komplikasi berat, prognosa meragukan/
buruk.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

638 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

DEMAM BERDARAH DENGUE

1. Definisi Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit demam akut


yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui
gigitan nyamuk Aedes aegypty dan Aedes albopictus serta
memenuhi kriteria WHO untuk demam berdarah dengue
(DBD).

2. Pemeriksaan Hb, Ht, leukosit, trombosit, serologi dengue


Penunjang

3. Diagnosis Demam akut lain yang bermanifestasi trombositopenia


Banding

4. Diagnosis Kriteria diagnosis WHO 1997 untuk DBD harus


memenuhi:
 Demam atau riwayat demam akut antara 2-7 hari,
biasanya bifasik
 Terdapat minimal salah satu dari manifestasi
perdarahan berikut ini:
 Uji tourniquet positif (> 20 petekie dalam 2,54
cm2)
 Petekie, ekimosis atau purpura
 Perdarahan mukosa, saluran cerna, bekas
suntikan atau tempat lain
 Hematemesis atau melena
 Trombositopenia (< 100.000/mm3)
 Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma
leakage:
 Hematokrit meningkat > 20% dibandingkan
hematokrit rata-rata pada usia, jenis kelamin dan
populasi yang sama
 Hematokrit menurun hingga > 20% dari
hematokrit awal, setelah pemberian cairan
Terdapat efusi pleura, efusi perikard, asites dan
hipoproteinemia
Derajat DBD:

639 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
I : Demam disertai gejala konstitusional yang tidak khas
manifestasi perdarahan hanya berupa uji tourniquet positif dan/
atau mudah memar
II : Derajat I disertai perdarahan spontan
III : Terdapat kegagalan sirkulasi: nadi cepat dan lemah atau
hipotensi, disertai kulit dingin dan lembab serta gelisah
IV : Renjatan: tekanan darah dan nadi tidak teratur

DBD derajat III dan IV digolongkan dalam sindroma renjatan


dengue.

5. Penatalaksanaan Nonfarmakologis:
 Tirah baring
 Makanan lunak
Farmakologis:
 Simtomatis: antipiretik parasetamol bila demam
 Tatalaksana terinci dapat dilihat pada lampiran
protocol
 Tatalaksana DBD cairan intravena: RL atau Ringer
Asetat 4-6 jam/kolf, koloid/plasma ekspander pada
DBD stadium III dan IV bila diperlukan
 Tranfusi darah dan komponen darah sesuai dengan
indikasi
Pertimbangkan heparinisasi pada DBD stadium III atau IV
dengan koagulasi intravaskuler diseminata (KID)
6. Komplikasi Renjatan, perdarahan, KID

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

640 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

MALARIA

1. Definisi Malaria merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi


parasit Plasmodium falsiparum, Plasmodium vivax,
Plasmodium ovale atau Plasmodium malariae dan ditularkan
melalui gigitan nyamuk anopheles.

2. Diagnosis  Anamnesis:
 Riwayat demam intermiten atau terus menerus
 Riwayat dari atau pergi ke daerah endemik malaria
 Trias malaria (keadaan menggigil yang diikuti dengan
demam kemudian timbul keringat yang banyak).
Pada daerah endemik, trias malaria mungkin tidak
ada, diare dapat merupakan gejala utama

 Pemeriksaan Fisik
 Konjungtiva pucat
 Sclera ikterik
 Splenomegaly

 Laboratorium
 Sedian darah tebal dan tipis ditemukan Plasmodium
 Serologi malaria (+) sebagai penunjang

 Malaria berat: ditemukan P. falciparum dalam stadium


aseksual disertai satu atau lebih gejala berikut:
1. Malaria serebral: koma dalam yang tidak dapat/
sulit dibangunkan dan bukan disebabkan oleh
penyakit lain
2. Anemia berat (normositik) pada keadaan hitung
parasit > 10.000/µl (Hb<5 g/dl atau hematokrit <
15%)
3. Gagal ginjal akut (urin < 400 ml/24 jam pada orang
dewasa, atau 12 ml/kgBB pada anak-anak setelah
dilakukan rehidrasi disertai kreatinin> 3 mg/dl)
4. Edema paru/ Acute Respiratory Distress Syndrome
(ARDS)
5. Hipoglikemia (gula darah < 400 mg/dl)
6. Gagal sirkulasi atau syok (tekanan sistolik < 70

641 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
mmHg, disertai keringat dingin atau perbedaan
temperature kulit mukosa > 1oC)
7. Perdarahan spontan dari lubang hidung, gusi,
saluran cerna, dan/ atau disertai gangguan
koagulasi intravaskuler
8. Kejang berulang lebih dari 2 kali dalam 24 jam
setelah pendingin pada hipertermia
9. Asidemia (pH 7,25) atau asidosis (bikarbonat plasma
< 15 mEq/l)
10.Hemoglobulinuria makroskopik oleh karena infeksi
malaria akut (bukan karena efek samping obat
antimalaria pada pasien dengan defisiensi G6PD)
11.Diagnosis paska kematian dengan ditemukannya P.
falciparum yang padat pada pembuluh darah kapiler
jaringan otak

Beberapa keadaan yang juga digolongkan sebagai malaria


berat sesuai dengan gambaran klinis daerah setempat:
 Gangguan kesadaran
 Kelemahan otot tanpa kelainan neurologis (tidak bisa
duduk/jalan)
 Hiperparasitemia > 5% pada daerah hipoendemik atau
daerah tak stabil malaria
 Ikterus (bilirubin > 3 mg/dl)
 Hiperpireksia (suhu rectal > 40oC)

3. Diagnosis Infeksi virus, demam tifoid toksik, hepatitis fulminan,


Banding leptospirosis, ensefalitis.

4. Pemeriksaan Darah tebal dan tipis malaria, serologi malaria, DPL, tes
Penunjang fungsi ginjal, tes fungsi hati, gula darah, UL, AGD, elektrolit,
hemostatis, rontgen toraks dan EKG

5. Penatalaksanaan 1. Infeksi P. vivax atau P.ovale


 Daerah sensitif klorokuin
- Klorokuin basa 150 mg
Hari I : 4 tablet + 2 tablet (6 jam
kemudian)
Hari II dan III : 2 tablet
atau
Hari I dan II : 4 tablet
Hari III : 2 tablet
- Terapi radikal: ditambah primakuin 1x15 mg
selama 14 hari
- Bila gagal dengan terapi klorokuin, kina sulfat
3x400-600 mg/ hari selama 7 hari

 Daerah resisten klorokuin


- Kina 3 x 400-600 mg selama 7 hari
- Terapi radikal: ditambah primakuin 1x15 mg
selama 14 hari

2. Infeksi P. falciparum ringan/ sedang, infeksi campur P.


falciparum dan P.Vivax
- Artemisin

642 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
Hari I : 4 tablet (200 mg)
Hari II : 4 tablet (200 mg)
Hari III : 4 tablet (200 mg)
- Amodiaquin
Hari I : 4 tablet (600 mg)
Hari II : 4 tablet (600 mg)
Hari III : 2 tablet (600 mg)
- Klorokuin basa 150 mg
Hari I : 4 tablet + 2 tablet (6 jam
kemudian)
Hari II dan III : 2 tablet
atau
Hari I dan II : 4 tablet
Hari III : 2 tablet
- Bila perlu ditambahkan terapi radikal:
Ditambahkan primakuin 45 mg (3 tablet) (dosis
tunggal); infeksi campur: primakuin 1x15 mg
selama 14 hari => resisten dengan pengobatan
tersebut: SP 3 tablet (dosis tunggal) atau kina sulfat
3 x 400-600 mg/hari selama 7 hari

3. Malaria berat
 Artesunat iv/im 2,4 mg/kgBB diberikan pada jam
ke-0,12,24 dilanjutkan satu kali per hari
 Drip kina HCl 500 mg (10 mg/kgBB) dalam 250-500
ml D5% diberikan dalam 6-8 jam (maksimal
2000mg) dengan pemantauan EKG dan kadar gula
darah tiap 8-12 jam sampai pasien dapat minum
obat per oral atau sampai hitung parasit malaria
sesuai target (total pemberian parenteral dan per
oral 10 mg/kgBB/24 jam diberikan 3 kali per hari)
 Pengobatan dengan kina dapat dikombinasikan
dengan tetrasiklin 94 mg/kgBB diberikan 4 kali
sehari atau doksisiklin 3 mg/kgBB sekali sehari

Perhatian:
SP tidak boleh diberikan pada bayi dan ibu hamil. Primakuin
tidak boleh diberikan pada ibu hamil, bayi atau penderita
defisiensi G6PD. Klorokuin tidak boleh diberikan dalam
keadaan perut kosong. Pada pemberian kina parenteral, bila
obat sudah diterima selama 48 jam tetapi belum ada
perbaikan dan atau terdapat gangguan fungsi ginjal, maka
dosis selanjutnya diturunkan 30-50%. Kortikosteroid
merupakan kontraindikasi pada malaria serebral.

Pemantauan pengobatan:
Hitung parasit minimal tiap 24 jam, target hitung parasit
pad H1 50% H0 dan H3 < 25% H0. Pemeriksaan diulang
sampai dengan tidak ditemukan parasit malaria dalam 3 kali
pemeriksaan berturut-turut.

Pencegahan:
Klorokuin basa 5 mg/kgBB, maksimal 300 mg/ minggu
diminum tiap minggu sejak 1 minggu sebelum masuk daerah

643 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
endemic sampai dengan 4 minggu setelah meninggalkan
daerah endemik atau doksisiklin 1,5 mg/kgBB/hari dimulai
1 (satu) hari sebelum pergi ke daerah endemic malaria hingga
4 minggu setelah meninggal daerah endemis.

6. Komplikasi Malaria berat, renjatan, gagal nafas, gagal ginjal akut

7. Prognosis Malaria falsiparum ringan/ sedang, malaria vivax atau


malaria ovale: bonam
Malaria berat : dubia ad malam

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

644 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

SEPSIS DAN RENJATAN SEPTIK

1. Definisi Sepsis merupakan sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS)


yang disebabkan oleh infeksi.
Renjatan (syok) sepsis adalah sepsis dengan hipotensi,
ditandai dengan penurunan TDS< 90 mmHg atau penurunan
> 40 mmHg dari TD awal, tanpa adanya obat-obatan yang
dapat menurunkan TD.
Sepsis berat adalah gangguan fungsi organ atau kegagalan
fungsi organ termasuk gangguan kesadaran, gangguan fungsi
hati, ginjal, paru-paru dan asidosis metabolik.

2. Diagnosis SIRS ditandai dengan 2 gejala atau lebih berikut:

- Suhu badan > 38oC atau < 36oC


- Frekuensi denyut jantung > 90x/menit
- Frekuensi pernafasan > 24x/menit atau PaCO2 < 32
- Hitung leukosit > 12.000/mm3 atau < 4.000/mm3, atau
adanya > 10% sel batang
3. Diagnosis Renjatan kardiogenik, renjatan hipovolemik
Banding
4. Pemeriksaan DPL, tes fungsi hati, ureum, kreatinin, gula darah, AGD,
Penunjang elektrolit, kultur darah dan infeksi fokal (urin, pus,
sputum,dll) disertai uji kepekaan mikroorganisme terhadap
antimikroba, foto toraks.
5. Penatalaksanaan 1. Eradikasi fokus infeksi
2. Antimikroba empiric diberikan sesuai dengan tempat
infeksi, dugaan kuman penyebab, profil antimikroba
(farmakokinetik dan farmakodinamik), keadaan fungsi
ginjal dan fungsi hati
3. Antimikroba definitive diberikan bila hasil kultur
mikroorganisme telah diketahui, antimikroba dapat
diberikan sesuai hasil uji kepekaan mikroorganisme
Suportif:
- Resusitasi cairan
Hipovolemia pada sepsis segera diatasi dengan
pemberian cairan kristaloid atau koloid. Volume cairan
yang diberikan mengacu pada respons klinis (respons
terlihat dari peningkatan tekanan darah, penurunan
frekuensi jantung, kecukupan isi nadi, perabaan kulit

645 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
dan ekstremitas, produksi urin dan perbaikan
kesadaran) dan perlu diperhatikan ada tidaknya tanda
kelebihan cairan (peningkatan tekanan vena jugularis,
ronki, gallop S3, dan penurunan saturasi oksigen).
Sebaiknya dievaluasi dnegan CVP (dipertahankan 8-12
mmHg), dengan mempertimbangkan kebutuhan kalori
per hari
- Oksigenasi sesuai kebutuhan
Ventilator diindikasikan pada hipoksemia yang
progresif, hiperkapnia, gangguan neurologis, atau
kegagalan otot pernafasan.
- Bila hidrasi cukup tetapi pasien tetap hipotensi,
diberikan vasoaktif untuk mencapai tekanan darah
sistolik > 90 mmHg atau MAP 60 mmHg dan urin
dipertahankan > 30 mL/jam. Dapat digunakan
vasopressor seperti dopamine dengan dosis > 8
µg/kgBB/menit, norepinefrin 0,03-1,5 µg/kgBB/menit,
fenilefrin 0,5-8µg/kgBB/menit, atau epinefrin 0,1-0,5
µg/kgBB/menit. Bila terdapat disfungsi miokard, dapat
digunakan inotropik seperti dobutamin dengan dosis 2-
28 µg/kgBB/menit, dopamine 3-8 mcg/kgBB/menit,
epinefrin 0,1-0,5 mcg/kgBB/menit, atau fosfodiesterase
inhibitor (amrinon dan milrinon).
- Transfusi komponen darah sesuai indikasi
- Koreksi gangguan metabolik: elektrolit, gula darah dan
asidosis metabolic (secara empiris dapat diberikan bila
pH< 7,2 atau bikarbonat serum < 9 mEq/L, dengan
disertai upaya perbaikan hemodinamik)
- Nutrisi yang adekuat
- Terapi suportif terhadap gangguan fungsi ginjal
- Kortikosteroid bila ada kecurigaan insufisiensi adrenal
- Bila terdapat KID dan didapatkan bukti terjadinya
tromboemboli, dapat diberikan heparin dengan dosis
100 IU/kgBB bolus, dilanjutkan 15-25 IU/kgBB/jam
dengan infus kontinu, dosis lanjutan disesuaikan
untuk mencapai target aPTT 1,5-2 kali kontrol atau
antikoagulan lainnya
6. Komplikasi Gagal nafas, gagal ginjal, gagal hati, KID, renjatan septik
ireversibel

7. Prognosis Dubia ad malam

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

646 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

DIARE

1. Definisi Diare menurut WHO adalah buang air besar dengan


frekuensi yang meningkat dari biasanya atau lebih dari tiga
kali sehari dengan konsistensi lembek atau cair dan bersifat
mendadak datangnya serta berlangsung dalam waktu kurang
dari 2 minggu.
Ada 2 bentuk diare akut yaitu tipe disentriform dan
choleriform. Tipe disentriform biasanya disebabkan oleh
Shigella sp., sedangkan tipe choleriform disebabkan Vibrio
cholera.

2. Diagnosis  Anamnesis
 BAB encer
 mual muntah
 dengan atau tanpa demam
 nyeri perut
 rasa haus dan bibir kering
 Pemeriksaan Fisik
 Keadaan umum
 Tanda-tanda dehidrasi seperti rasa haus, mata cekung,
ubun-ubun besar cekung (pada anak), bibir kering,
turgor perut kurang, air mata kurang, asidosis
metabolik (pernafasan Kussmaul)
 Laboratorium
 Darah perifer lengkap
 Ureum kreatinin
 Elektrolit (Na+, K+ dan Cl-)
 Analisa gas darah
 Immunoassay (toksin bakteri, antigen virus dan antigen
protozoa) dan feses lengkap
 Biakan dan resistensi feses

Penyebab diare akut:


1. Diet yang tidak sesuai
2. Obat-obat laksatif
3. Keracunan makanan dalam 6-24 jam terakhir
4. Infeksi saluran cerna
5. Alergi
3. Penatalaksanaan 1. Rehidrasi sebagai pengobatan utama, tergantung pada:
 Jenis cairan yang digunakan

647 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
 Jumlah cairan yang diberikan
 Jalan masuk atau cara pemberian cairan
2. Memberikan terapi simtomatik
 Koreksi gangguan asam basa
 Antimikroba hanya diberikan bila disebabkan oleh
infeksi Vibrio cholera, tetrasiklin dosis 50 mg/kgBB
dibagi dalam 4 dosis selama 3 hari. Bila disebabkan
oleh Shigella diberikan kotrimoksozol 2 x 960mg/ hari
selama 3 hari
 Obat spasmolitik tidak dianjurkan pada diare yang
disebabkan infeksi.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

648 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

HIV/AIDS (SIDA)

1. Definisi Pasien dinyatakan terbukti terinfeksi HIV dari pemeriksaan


penunjang.

2. Diagnosis Adanya faktor resiko penularan


Diagnosis HIV: tes ELISA 3 kali reaktif dengan reagen yang
berbeda.
Stadium WHO:
a. Stadium I: asimtomatik, limfadenopati generalisata
b. Stadium II:
- Berat badan turun < 10%
- Manifestasi mukokutan minor (dermatitis seboroik,
prurigo, infeksi jamur kuku, ulkus oral rekuren,
cheilitis angularis)
- Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
- Infeksi saluran nafas rekuren
c. Stadium III:
- Berat badan turun > 10%
- Diare yang diketahui penyebab lebih dari 1 bulan
- Demam berkepanjangan (intermiten atau konstan)
lebih dari 1 bulan
- Kandidiasis oral
- Oral hairy leukoplakia
- Tuberculosis paru
- Infeksi bakteri berat (pneumonia, piomiositis)
d. Stadium IV:
- HIV wasting syndrome
- Pneumonia pneumocystis carinii
- Toksoplasma serebral
- Krioptosporidiasis dengan diare lebih dari 1 bulan
- Sitomegalovirus pada organ selain hati, limfa atau
KGB (misal: retinitis CMV)
- Infeksi herpes simpleks mukokutan (> 1 bulan) atau
visceral
- Progressive multifocal leucoencephalopathy
- Mikosis endemik diseminata
- Kandidiasis esophagus, trakea dan bronkus
- Mikobakteriosis atipik, diseminata atau paru
- Septicemia salmonella non tifosa
- Tuberculosis ekstrapulmoner
- Limfoma
- Sarcoma Kaposi
- Ensefalopati HIV
3. Diagnosis Penyakit imunodefisiensi primer

649 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
Banding

4. Pemeriksaan - Anti HIV ELISA


Penunjang - Anti HIV western blot
- Antigen P-24
- Hitung CD4 < 200 sel/mm3
- Jumlah virus HIV dengan RNA-PCR
- Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis infeksi
oportunistik
5. Penetalaksanaan - Konseling
- Terapi suportif
- Terapi infeksi oportunistik dan pencegahan infeksi
oportunistik
- Vaksinasi pada penderita HIV/AIDS
- Terapi pasca paparan HIV (post exposure prophylaxis)
- Terapi antiretrovirus kombinasi, yang paling sering dipakai
di Indonesia adalah kombinasi antara Zidovudin (ZDV) 300
mg/ Lamivudin (3TC) 2x 150mg (nama dagang Duvirzl)
dan Nevirapin (NVP) 1 x 200 mg (nama dangang Neviral)

Obat ARV (antiretroviral) direkomendasikan pada:

1. Semua pasien yang telah menunjukkan gejala sesuai


kriteria diagnosis AIDS atau menunjukkan gejala yang
berat tanpa melihat jumlah limfosit CD4.
2. Pasien asimtomatik dengan limfosit CD4 < 200 sel/mm 3.
3. Pasien asimtomatik dengan limfosit CD4 200-350
sel/mm3 ditawarkan untuk memulai terapi.
4. Pasien asimtomatik dengan CD4 > 350 sel/mm 3 dan
viral load ≥ 100.000 kopi/mL (dapat juga ditunda).
6. Komplikasi Infeksi oportunistik, kanker terkait HIV dan manifestasi HIV
pada organ lain.

7. Prognosis Tergantung stadium penyakit

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

650 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

HELMINTIASIS

1. Definisi Infeksi cacing yang disebabkan oleh nematode saluran cerna.


Penularan dapat terjadi melalui 2 cara yaitu infeksi langsung
atau larva yang menembus kulit. Infeksi cacing yang tersering
menyerang manusia adalah jenis Ascaris lumbricoides (cacing
tambang), Ancylostoma species (cacing gelang) dan Trichuris
trichiura.

2. Penatalaksanaan a. Terapi Umum


- Perbaikan gizi dengan pemberian nutrisi tinggi kalori
dan protein, multivitamin dan mineral
- Preparat besi (sulfas ferosus) 3 x 200 mg/hari dapat
diberikan untuk mengatasi anemia, bila Hb < 5 g/dl
dapat dikoreksi dengan transfusi darah
b. Terapi Spesifik
- Antihistamin untuk mengurangi keluhan gatal-gatal
- Obat-obat cacing:
 Pirantel pamoat dosis 10 mg/kgBB sebagai dosis
tunggal
 Mebendazol dosis tunggal 500 mg, diulang setelah
2 minggu
 Albendazol dosis tunggal 400 mg diulang setelah 2
minggu
 Piperazin sitrat dosis 2 x 1 gr selama 7 hari
berturut-turut, dapat diulang interval 7 hari
 Heksiresorsinol 0,2% 500 mL dalam bentuk enema
dalam waktu 1 jam
3. Prognosis Dalam pengobatan yang adekuat, prognosis baik

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

651 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

TETANUS

1. Definisi Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan


meningkatnya tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh
tetanospasmin, suatu eksotoksin protein yang kuat yang
dihasilkan oleh Clostridium tetani.

2. Diagnosis  Anamnesis:
Kejang setelah mengalami luka atau trauma yang
terkontaminasi dengan tanah, kotoran binatang atau
logam berkarat. Kaku kuduk, nyeri tenggorokan dan
kesulitan membuka mulut sering merupakan gejala awal
tetanus.
 Pemeriksaan Fisik:
Compos mentis, rigiditas, spasme otot dan disfungsi
otonomik, risus sardonicus.
Klasifikasi beratnya tetanus:

Derajat I (ringan) : Trismus ringan sampai sedang,


spastisitas generalisata, tanpa
gangguan pernafasan, tanpa
spame, sedikit atau tanpa
disfagia
Derajat II (sedang) : Trismus sedang, rigiditas yang
nampak jelas, spasme tingkat
ringan sampai sedang,
gangguan pernafasan sedang
dengan frekuensi nafa > 30 kali,
disfagia ringan
Derajat III (berat) : Trismus berat, spastisitas
generalisata, spasme reflex
berkepanjangan, frekuensi nafas
> 40 kali, serangan apnea,
disfagia berat dan takikardia >
120 kali/ menit
Derajat IV (sangat Derajat 3 dengan gangguan
berat): otonomik berat melibatkan
system kardiovaskuler

 Laboratorium:
Leukosit mungkin meningkat, perubahan non spesifik
dapat dijumpai pada EKG, enzim otot meningkat.

3. Diagnosis Mencakup kondisi lokal yang dapat menyebabkan trismus


Banding seperti abses alveolar, keracunan striknin, reaksi obat
distonik (fenotiazin dan metoklopramid), meningitis/
ensefalitis dan rabies.

4. Penatalaksanaan a. Isolasi (terhindar dari rangsangan cahaya dan suara)


b. Menghilangkan infeksi:
- Antibiotik (penisilin prokain 2 x 1,5 jt unit)
- Perawatan luka (wound toilet)
- Hiperbarik oksigenasi (kuman anaerob)

652 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
c. Menetralisir eksotoksin dengan ATS:
- Dosis awal ATS 20.000 IU im dan 20.000 IU iv
- Selanjutnya 10.000 IU im/hari sampai gejala hilang
d. Mengatasi kejang dapat diberikan diazepam 2 amp dalam
500cc D5% 20 tetes/ menit, dosis diazepam dapat
dinaikkan sampai 4 amp dalam 500 cc sesuai klinik
e. Mencegah terjadinya efek samping, misalnya pada otot
jantung dan otot pernafasan

Catatan:

- Matinya penderita tetanus sering karena miokardiotiksis


- Perawatan penderita dilakukan multidisiplin
- Sebaiknya dirawat di ICU, untuk mengantisipasi bila
terjadi gagal jantung atau gagal nafas

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

653 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
FILARIASIS

1. Definisi Suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing nematode


dari subfamily Filariodea, yang menyerang system getah
bening dan jaringan subkutan.

2. Diagnosa  Anamnesis:
Demam, menggigil dan berkeringat, nyeri kepala, mual,
muntah, fotofobia, nyeri otot, dan pembengkakan tungkai
 Pemeriksaan Fisik:
Fase akut radang saluran getah bening, orkhitis,
limfadenitis, splenomegali, infiltrate paru-paru milier
 Laboratorium: eosinofilia dan ditemukannya microfilaria
dalam darah

3. Pemeriksaan  Pemeriksaan sediaan tetes tebal darah dari cuping telinga


Penunjang pada malam hari (jam 21.00-02.00)
 Pemeriksaan serologis kurang bermanfaat tetapi dapat
membantu diagnosis, misal: IHA, bentonite flocculation,
tes IFA
4. Penatalaksanaan  Dietilkarbamzin merupakan satu-satunya obat pilihan,
dosis 2 mg/kgBB tiga kali sehari selama 3-4 minggu
 Reaksi alergi terhadap microfilaria yang mati yang
mengakibatkan gejala demam tinggi dapat ditanggulangi
dengan aspirin, antihistamin atau kortikosteroid.
5. Prognosis Prognosis elephantiasis tidak baik, karena tidak ada obatnya.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

654 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
MIKOSIS

1. Definisi Infeksi yang disebabkan oleh jamur pada manusia, dibagi


menjadi infeksi jamur endemik (histoplasmosis dan
koksidiodomikosis) dan infeksi jamur oportunistik seperti
kandidiasis yang merupakan infeksi jamur sistemik yang
paling sering.

2. Diagnosa  Anamnesis :
Panas, menggigil, kelelahan, batuk nonproduktif, rasa
tidak enak di dada depan, nyeri otot, dan kadang-kadang
reaksi hipersensitivitas, batuk kronis yang disertai
sputum dan darah. Pada kandidiasis kulit dan mukosa
ditemukan sebagai bercak berwarna putih yang konfluen
dan melekat pada mukosa.
 Pemeriksaan Penunjang :
Pada foto toraks tampak gambaran nodul lobar atau
multilobar infiltrate, efusi pleura dan kavitas. Dalam
darah tepi didapatkan eosinofilia ringan. Gambaran
pseudohifa di sediaan apus pada kultur kerokan dapat
menegakkan diagnosis kandidiasis superfisial.

Ada 4 pendekatan diagnosis laboratoris pada infeksi


jamur, yaitu:
1. Pemeriksaan mikrokopik langsung: bahan dari
sputum, biopsi paru, kulit, kuku dan feses
2. Biakan
3. DNA probe test
4. Pemeriksaan serologi
3. Penatalaksanaan  Amfoterisin B iv untuk koksidiodomikosis dan
kandidiasis sistemik dengan dosis 0,5-0,7 mg/kgBB per
hari selama 5-10 hari, bila perbaikan dilanjutkan
itrakonazol 200-400 mg/hari.
 Pada infeksi histoplasmosis: itrakonazol 200 mg/hari
selama 6-12 minggu.
 Terapi mutakhir anti jamur: golongan azole (ketokonazol,
itrakonazol, flukonazol dan varigonazol).

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

LEPTOSPIROSIS

655 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
1. Definisi Penyakit zoonosis yang disebabkan oleh spirokaeta patogen
dari famili Leptospiraceae.

2. Diagnosa  Anamneses: demam tinggi, menggigil, sakit kepala, nyeri


otot, mual, muntah, diare
 Pemeriksaan Fisik: injeksi konjungtiva, ikterik, fotofobia,
hepatomegali, splenomegali, penurunan kesadaran.
 Laboratorium: dapat ditemukan leukositosis,
peningkatan amylase, lipase, dan CK, gangguan fungsi
hati, gangguan fungsi ginjal, serologi leptospira positif
(titer > 1/100 atau terdapat peningkatan > 4 kali titer
ulangan)
3. Diagnosis Hepatitis tifosa, ikterus obstruktif, malaria, kolangitis, hepatis
Banding fulminan

4. Pemeriksaan DPL, tes fungsi hati, ureum, kreatinin, elektrolit, amilase,


Penunjang lipase, serologi leptospiras MAT (mikoaglutinasi test)

5. Penatalaksanaan  Non farmakologis


Tirah baring, makanan/cairan tergantung pada
komplikasi organ yang terlibat
 Farmakologis
o Simptomatis
o Antimikroba pilihan utama: Penisilin G 4 x 1,5 juta
unit selama 5-7 hari. Alternatifnya tetrasiklin,
eritromisin, doksisiklin, sefalosporin generasi III,
fluorokuinolon
6. Komplikasi Gagal ginjal, pankreatitis, miokarditis, perdarahan massif,
meningitis aseptic

7. Prognosis Bonam

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

INTOKSIKASI OPIAT

1. Definisi Intoksifikasi opiate merupakan intoksifikasi akibat


penggunaan obat golongan opiate yaitu morfin, petidin,

656 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
heroin, opium, pentaxokain, kodein, loperamid dan
dekstrometorfan.

2. Diagnosis  Anamnese: informasi mengenai seluruh obat yang


digunakan, sisa obat yang ada
 Pemeriksaan Fisik: pupil miosis (pin point pupil), depresi
nafas, penurunan kesadaran, nadi lemah, hipotensi,
tanda edema paru, needle track sign, sianosis spasme
saluran cerna dan bilier, kejang.
 Laboratorium: opiate urin positif atau kadar dalam darah
tinggi
3. Diagnosis Intoksifikasi obat sedative: barbiturate, benzodiazepine,
Banding etanol

4. Pemeriksaan Opiat urin/ darah, AGD, elektrolit, gula darah, rontgen


Penunjang toraks.

5. Penatalaksanaan Penanganan kegawatan: resusitasi A-B-C (airway, breathing,


circulation) dengan memperhatikan prinsip kewaspadaan
universal. Bebaskan jalan nafas, berikan oksigen sesuai
dengan kebutuhan, pemasangan infus dan pemberian cairan
sesuai dengan kebutuhan.
Pemberian antidote nalokson
1. Tanpa hipoventilasi: dosis awal diberikan 0,4 mg
intravena pelan-pelan atau diencerkan
2. Dengan hipoventilasi: dosis awal diberikan 1-2 mg
intavena pelan-pelan atau diencerkan
3. Bila tidak ada respon, diberikan nalokson 1-2 mg
intavena tiap 5-10 menit hingga timbul respons
(perbaikan kesadaran, hilangnya depresi pernafasan,
dilatasi pupil) atau telah mencapai dosis maksimal 10
mg. Bila tetap tidak ada respon, diagnosis intoksifikasi
dalam 20-40 menit dikaji ulang.
4. Efek nalokson berkurang dalam 20-40 menit dan pasien
jatuh ke dalam keadaan overdosis kembali, sehingga
perlu pemantauan ketat tanda vital, kesadaran dan
perubahan pupil selama 24 jam. Untuk pencegahan
dapat diberikan drip nalokson 1 ampul dalam 500 mL
D5% atau NaCl 0,9% diberikan selama 4-6 jam.
5. Simpan sampel urin untuk pemeriksaan opiate urin dan
lakukan foto toraks
6. Pertimbangkan pemasangan pipa endo trakeal bila
pernafasan tidak adekuat setelah pemberian nalokson
yang optimal, oksigenasi kurang meski ventilasi cukup,
atau hipoventilasi menetap setelah 3 jam pemberian
nalokson yang optimal
7. Pasien dipuasakan 6 jam untuk menghindari aspirasi
akibat spasme pilorik, bila diperlukan dapat dipasang
NGT untuk mencegah aspirasi atau bilas lambung pada
intoksifikasi opiate oral
8. Activated charcoal dapat diberikan pada intoksifikasi oral
dengan memberikan 240 mL cairan dengan 30 mg
charcoal, dapat diberikan sampai 100 mg.
9. Bila terjadi kejang dapat diberikan diazepam intravena 5-
10 mg dan dapat diulang bila perlu.
10.Pasien dirawat untuk penilaian keadaan klinis dan

657 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
rencana rehabilitasi

6. Komplikasi Aspirasi, gagal nafas, edema paru akut

7. Prognosis Dubia

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

CHIKUNGUNYA

1. Definisi Penyakit yang disebabkan oleh virus Chikungunya yang


disebarkan ke manusia melalui gigitan nyamuk Aedes
aegypti atau Aedes albopictus.

2. Diagnosis  Anamnesis :

658 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
Demam tinggi, menggigil, sakit kepala, mual, muntah,
sakit perut, nyeri sendi dan otot terutama sendi lutut,
pergelangan kaki dan persendian tangan dan kaki, serta
bintik-bintik merah di kulit terutama badan dan lengan.
 Pemeriksaan Fisik :
Suhu tinggi, tourniquet positif, petekie, hepatomegali,
makulopapular rash, limfadenopati.
 Laboratorium: leucopenia, trombositopenia
3. Diagnosis Demam dengue, demam berdarah dengue
Banding
4. Pemeriksaan Diagnosis pasti bila terdapat salah satu dari :
Penunjang a. Pemeriksaan titer antibody naik 4 kali lipat
b. Deteksi antibody IgM Chikungunya
c. Isolasi virus dalam serum
d. Deteksi virus dengan PCR
5. Penatalaksanaan  Tidak ada vaksin atau obat khusus
 Istirahat untuk mengurangi keluhan akut dan minum
banyak air
 Pengobatan berupa simtomatik dan suportif
 Non Steroid Anti Inflammation Drug (NSAID) untuk
atralgia, bila atralgia menetap dapat diberikan klorokuin
fosfat 250 mg.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

AVIAN INFLUENZA (FLU BURUNG)

1. Definisi Flu burung (Avian Influenza, AI) merupakan infeksi yang


disebabkan oleh virus influenza A subtipe H5N1 (H=
hemaglutinin; N= neuraminidase) yang pada umumnya
menyerang unggas (burung dan ayam). Virus avian influenza
termasuk genom RNA dari family Orthomixoviridae, ada 3 tipe
virus avian influenza yaitu A, B dan C, hanya tipe A yang
menyebabkan infeksi pada unggas peliharaan yang juga

659 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
potensial menyerang manusia. Potensi transmisi dari burung
ke burung dan dari burung/unggas ke manusia
dimungkinkan karena adanya kombinasi strain A1 dengan
tropisme yang sama.

2. Diagnosis  Anamnesis:
Riwayat demam yang tinggi dan timbul mendadak, terdapat
gejala influenza like illness (ILI) seperti batuk, pilek, sakit
tenggorokan dan suara serak. Bila berat terdapat tanda-
tanda radang paru-paru (pneumonia).
 Pemeriksaan Fisik:
 Suhu badan mencapai ≥ 38oC
 Bila berat: terdapat tanda-tanda radang paru-paru yaitu
ronkhi basah sedang/kasar.
Dalam mendiagnosis kasus flu burung ada 4 kriteria yang
ditetapkan yaitu:

a. Kasus dalam investigasi


Seseorang yang telah diputuskan oleh dokter setempat
untuk diinvestigasi terkait kemungkinan infeksi H5N1.
Kegiatan yang dilakukan berupa surveilans semua
kasus ILI dan Pneumonia di RS serta mereka yang
kontak dengan pasien flu burung di RS.

b. Kasus suspek H5N1


Seseorang yang menderita demam dengan suhu >38 oC
disertai satu atau lebih gejala di bawah ini:
 Batuk
 Sakit tenggorokan
 Pilek
 Sesak nafas

c. Kasus probable H5N1


Kriteria kasus suspek di tambah dengan 1 atau lebih
keadaan dibawah ini:
 Ditemukan kenaikan titer antibody terhadap H5
minimal 4x, dengan pemeriksaan uji H1
menggunakan eritrosit kuda atau uji ELISA .
 Hasil laboratorium terbatas untuk influenza H5
(terdeteksinya antibody spesifik H5 dalam specimen
serum tunggal) menggunakan uji netralisasi
(dikirim ke laboratorium rujukan). Atau seseorang
yang meninggal karena suatu penyakit saluran
nafas akut yang tidak bisa dijelaskan penyebabnya
yang secara epidemiologis berkaitan dengan aspek
waktu, tempat dan pajanan terhadap suatu kasus
probable atau suatu kasus H5N1 yang
terkonfirmasi.

d. Kasus H5N1 terkonfirmasi


Seseorang yang memenuhi kriteria kasus suspek atau
probable dan disertai 1 dari hasil positif berikut ini
yang dilaksanakan dalam suatu laboratorium influenza
nasional, regional atau internasional yang hasil

660 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
pemeriksaan H5N1 nya diterima oleh WHO sebagai
konfirmasi:
 Isolasi virus H5N1
 Hasil PCR H5N1 positif
 Peningkatan > 4x lipat titer antibody netralisasi
untuk H5N1 dari specimen konfalensens
dibandingkan dengan specimen akut (diambil < 7
hari setelah awitan gejalan penyakit), dan titer
antibody netralisasi konfalensens harus pula >
1/80.
 Titer antibody mikro netralisasi H5N1 > 1/80 pada
specimen serum yang diambil pada hari ke > 14
setelah awitan (onset penyakit) disertai hasil positif
uji serologi lain, misalnyan titer H1 sel darah merah
kuda >1/160 atau western blood spesifik H5 positif.

3. Pemerriksaan a. Pemeriksaan Laboratorium


Penunjang Setiap pasien yang datang dengan gejala klinis seperti
diatas dianjurkan untuk sesegera mungkin dilakukan
pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan darah
rutin (Hb, leukosit, trombosit, hitung jenis leukosit),
specimen serum, aspirasi nasopharyngeal, apus
hidung dan tenggorokan untuk konfirmasi diagnostic.
Diagnosis flu burung dibuktikan dengan :
 Uji RT-PCR (Reverse Transcription Polimerase
Chain Reaction) untuk H5.
 Biakan dan identifikasi virus influenza A subtype
H5N1.
 Uji serologi:
1. Peningkatan >4x lipat titer antibody netralisasi
untuk H5N1 dari specimen konfalensens
dibandingkan dengan specimen akut (diambil <
7 hari setelah awitan gejala penyakit), dan titer
antibody netralisasi konvalesens harus pula >
1/80.
2. Titer antibody mikro netralisasi H5N1 > 1/80
pada specimen serum yang diambil pada hari ke
> 14 setelah awitan (onset penyakit) disertai
hasil positif uji serologi lain, misalnyan titer H1
sel darah merah kuda >1/160 atau western
blood spesifik H5 positif.

b. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan foto thorak PA dan lateral harus
dilakukan pada setiap tersangka flu burung.
Gambaran infiltrate di paru menunjukkan bahwa
kasus ini adalah pneumonia. Pemeriksaan lain yang
dianjurkan adalah pemeriksaan CT Scan untuk kasus
dengan gejala klinis flu burung tetapi hasil foto thorak
normal sebagai langkah diagnosis dini.

c. Pemeriksaan Post Mortem


Pada pasien yang meninggal sebelum diagnosis flu
burung ditegakkan, dianjurkan untuk mengambil
sediaan post mortem dengan jalan biopsy pada mayat

661 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
(nekropsi), specimen dikirim untuk pemeriksaan
patologi anatomi dan PCR.

4. Diagnosis Demam dengue, infeksi paru yang disebabkan oleh virus lain,
Banding bakteri atau jamur, demam thypoid, HIV dengan infeksi
sekunder, TB Paru.

5. Penatalaksanaan Antiviral diberikan secepat mungkin (48 jam pertama):


 Dewasa atau anak ≥ 13 tahun: oseltamivir 2 x 75 mg
per hari selama 5 hari.
 Anak > 1 tahun: oseltamivir 2 mg/kgbb, 2 kali sehari
selama 5 hari
 Dosis oseltamivir dapat diberika sesuai dengan berat
badan sbb:
 40 kg : 75 mg 2x/hari
 23 – 40 kg : 60 mg 2x/hari
 15-23 kg : 45 mg 2x/hari
 ≤ 15 kg : 30 mg 2x/hari
6. Prognosis Flu burung ringan : bonam, flu burung dengan komplikasi
Flu burung berat : dubia

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

INFEKSI NOSOKOMIAL

1. Definisi Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat di rumah


sakit, infeksi yang timbul/terjadi sesudah 72 jam perawatan
pada pasien rawat inap dan infeksi yang terjadi pada pasien
yang dirawat lebih lama dari masa inkubasi suatu penyakit.

2. Diagnosis Infeksi nosokomial terutama disebabkan oleh infeksi dari


kateter urin, infeksi jarum infus, infeksi saluran nafas, infeksi
kulit, infeksi luka operasi dan septikemia.

662 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
3. Pemeriksaan Kultur darah, urin, pus, sputum, jaringan, tinja, rongga
Penunjang hidung dan orofaring.

4. Penatalaksanaan  Sementara menunggu hasil biakan kultur, diterapi sesuai


empiris
 Antibotik golongan beta laktam antara lain sefalosporin
 Beta laktam yang masih sensitif terhadap pseudomonas
adalah seftazidim dan sefoperazom
 Bila setelah 3 hari masih demam dan penyakit progresif
ditambahkan vankomisin
 Antifungal bila diduga kandidiasis sistemik
 Untuk pengobatan VAP (Ventilator Acquired Pneumonia)
kombinasi sefalosporin generasi ketiga dan aminoglikosid
atau aztreonam.
5. Prognosis Malam bila resisten terhadap antibiotik

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

FEVER OF UNKNOWN ORIGIN

1. Definisi  Fever of Unknown Origin (FUO) klasik adalah demam >


38,3oC selama lebih dari 3 minggu, sudah dilakukan
pemeriksaan insentif selama 3 hari bila pasien dirawat
atau minimal 3 kali kunjungan pasien rawat jalan tetapi
belum dapat ditentukan penyebab demam. Penyebab:
infeksi, neoplasma, penyakit kalogen dan vaskuler.
 FUO pada pasien HIV adalah demam > 38,3 oC selama 4
minggu atau lebih pada pasien rawat jalan atau minimal
4 hari pada pasien yang dirawat dengan hasil

663 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
pertumbuhan mikroorganisme negatif dari dugaan focus
infeksi. Penyebab: infeksi, obat, sarcoma, limfoma
 FUO pada pasien neutropenia (jumlah leukosit PMN <
500/mm3) adalah demam > 38,3 oC, dalam 3 hari
perawatan pertumbuhan mikroorganisme masih negatif
dari dugaan fokus infeksi. Penyebab: infeksi.
 FUO pada geriatri adalah demam > 38,3 oC, dalam 3 hari
perawatan atau minimal 3 kali kunjungan pasien rawat
jalan belum dapat ditentukan penyebab dari demam.
Penyebab: neoplasma, penyakit kolagen, infeksi
 FUO pada pasien pediatrik (usia < 18 tahun) adalah
demam > 38,3oC selama lebih dari 8 hari, sudah
dilakukan pemeriksaan insentif selama 3 hari bila pasien
dirawat atau minimal 3 kali kunjungan pasien rawat
jalan tetapi belum dapat ditentukan penyebab demam.
Penyebab: infeksi, penyakit kolagen, neoplasma
 FUO pada pasien nosokomial demam > 38,3 oC timbul
pada pasien yang dirawat di RS dan pada saat mulai
dirawat serta pada mulai dirawat serta pada masa
permulaan perawatan tidak terjangkit infeksi, penyebab
demam tak diketahui dalam waktu 3 hari termasuk hasil
pertumbuhan mikroorganisme negatif dari dugaan fokus
infeksi. Penyebab: infeksi.
 FUO iatrogenic adalah demam > 38,3oC akibat
penggunaan obat: penisilin, sefalosporin, sulfonamide,
atropin, fenitoin, prokainamid, amfoterisin, interferon,
interleukin, rifampisin, INH, makrolid, klindamisin,
vankomisin, aminoglikosida, alupurinol.
2. Diagnosis Anamnese dan pemeriksaan fisik:
 Riwayat penyakit secara terperinci: pola demam, ada
tidaknya infeksi saluran nafas atas, infeksi saluran nafas
bawah, kaku leher, nyeri perut, disuria atau sakit
pinggang, diare, abses atau radang tonsil dan otot, nyeri
dan pembengkakan sendi, atau tanpa kelainan spesifik
 Riwayat pekerjaan, perjalanan kontak dengan orang sakit
atau hewan, trauma fisik atau bedah, obat-obatan
(termasuk rokok, alkohol, narkoba), keadaan kulit
pasien, kelenjar getah bening, lubang orifices pasien.
 Laboratorium: sesuai mikroorganisme yang terkait

3. Diagnosis Infeksi, penyakit kolagen, neoplasma, efek samping obat


Banding
4. Pemeriksaan Pemeriksaan hematologi, kimia darah, UL, mikrobiologi,
Penunjang imunologi, EKG, biopsy jaringan tubuh, pencitraan, scanning,
endoskopi/perineoskopi, angiografi, limfografi, tindakan
bedah (laparotomi percobaan), uji pengobatan

5. Penatalaksanaan  Simtomatis
 Uji terapeutik dengan antibiotic, kortikosteroid atau obat
antiinflamasi non steroid tidak dianjurkan kecuali bila
penyakit progresif dan potensial fatal sehingga terapi
empiric diperlukan
6. Komplikasi Sepsis, renjatan sepsis

664 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
7. Prognosis Dubia

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

LIMFOMA NON HODGKIN

1. Definisi Limfoma non-hodgkin merupakan penyakit keganasan


primer jaringan limfoid padat.

Faktor resiko terjadinya LNH :


a. Adanya gangguan imun, antara lain: HIV, supresi
akibat obat, penyakit autoimun, defisiensi imun
kongenital
b. Infeksi, antara lain: gamma herpes virus, Epstein Barr

665 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
Virus, KSHV (The Kaposi’s Sarcoma associated Herpes
Virus), human retrovirus dan RNA virus
c. Paparan lingkungan/kerja: insektisida
2. Diagnosis  Riwayat pembesaran kelenjar getah bening/ massa tumor
di tempat lain (tulang, intra abdomen, hidung, lambung,
dsb)
 Riwayat demam tanpa sebab yang jelas
 Penurunan berat badan 10% dalam waktu 1 bulan
 Keringat malam banyak, tanpa sebab yang sesuai
 Pemeriksaan histopatologi tumor: sesuai dengan limfoma
non-hodgkin (LNH)
3. Diagnosis Limfoma hodgkin, limfadenitis, tuberculosis, toksoplasmosis,
Banding filariasis, tumor padat yang lain

4. Pemeriksaan  Pemeriksaan sitologi kelenjar/ massa tumor untuk


Penunjang mengetahui LNH tersebut serta keterlibatan kelenjar lain
yang membesar
 Laboratorium: darah tepi lengkap, gula darah, fungsi
hati, fungsi ginjal
 CT scan atau USG abdomen untuk mengetahui adanya
pembesaran kelenjar getah bening (KGB) paraaorta
abdominal atau KGB lainnya, massa tumor dalam
abdomen
 Foto toraks untuk mengetahui pembesaran KGB
mediastinum
 Pemeriksaan telinga hidung tenggorokan (THT) untuk
melihat keterlibatan cincin Waldeyer
 Gastroskopi bila perlu untuk melihat keterlibatan
lambung
 Bone scan atau foto bone survey bila perlu untuk melihat
keterlibatan tulang.
5. Penatalaksanaan  Derajat keganasan rendah
 Kemoterapi obat tunggal atau ganda, peroral
 Radioterapi paliatif

 Derajat keganasan menengah


 Stadium I s.d IIa: radioterapi atau kemoterapi
parenteral kombinasi
 Stadium IIb s.d IV: kemoterapi parenteral kombinasi,
radioterapi berperan untuk tujuan paliatif

 Derajat keganasan tinggi


 Selalu kemoterapi parenteral kombinasi (lebih agresif)
 Radioterapi hanya berperan untuk tujuan paliatif

Reevaluasi pengobatan:

- Setelah siklus kemoterapi kedua, keempat


- Setelah selesai pengobatan lengkap
6. Komplikasi Akibat langsung penyakitnya:
 Penekanan terhadap organ khususnya jalan nafas,
usus dan saraf
 Mudah terjadi infeksi, bisa fatal

666 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
Akibat efek samping pengobatan:
 Aplasia sumsum tulang
 Gagal jantung oleh obat golongan antrasiklin
 Gagal ginjal oleh obat sisplatin
 Neuritis oleh obat vinkristin
7. Prognosis Bergantung pada derajat keganasan, tingkat penyakit, bulky
mass, keadaan umum pasien dan ada tidaknya gangguan
organ yang mempengaruhi pengobatan

 Derajat keganasan rendah: tidak dapat sembuh namun


dapat hidup lama
 Derajat keganasan menengah: sebagian dapat
disembuhkan
 Derajat keganasan tinggi: dapat disembuhkan, cepat
meninggal apabila tidak diobati.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

ANEMIA HEMOLITIK

1. Definisi Anemia Hemolitik adalah anemia akibat destruksi sel-sel


darah merah yang berlebihan baik intravascular maupun
ekstravaskular.
2. Etiologi a. Herediter
 Kelainan membrane eritrosit : hereditary
spherocytosis, elliptocytosis, dll
 Defisiensi Enzim G6PD, Piruvat Kinase.

667 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
 Kelainan rantai globin : Thalassemia, Hb SS, dll

b. Di dapat (Acquired)
 Kelainan Imunitas
 Mikroangiopati dan trauma: katup jantung buatan,
DIC, Hemolytic Uremia Syndrome (HUS) dan TTP
(trombotik trombositopeni purpura).
 Infeksi: Clostridium, mycoplasma, Bartonella,
mononucleosis, malaria.
 Bahan Fisik : radiasi, panas
 Bahan Kimia : Bisa Ular, Bisa Serangga.
 PNH dan PCH
3. Pemeriksaan  Retikulosit meningkat, bilirubin indirect meningkat.
Penunjang  Comb test direct (+) dan indirect (+): Anemia Hemolitik
Autoimun.
 Enzim G6PD menurun : Anemia Defisiensi G6PD.
 Sumsum tulang: seri eritrosit hiperaktif
 Hb Elektroforese: terdapat kelainan pada thalassemia.
4. Penatalaksanaan a. Akut: awasi shock, sepsis dan akut tubular nekrosis, beri
kortikosteroid.
b. Kronis: tergantung etiologi, kortikosteroid,
immunoglobulin, antibiotic, kadang-kadang diperlukan
transfusi darah.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

ANEMIA DEFISIENSI BESI (Fe)

1. Definisi Anemia karena kekurangan zat besi didalam serum dan atau
sumsum tulang.
Klasifikasi derajat defisiensi besi:

 Kekurangan besi (Iron depletion): cadangan besi


menurun tetapi penyediaan besi atau hematopoesis
cukup.

 Defisiensi besi (iron deficiency): cadangan besi kosong,

668 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
eritropoeisis tetapi belum timbul anemia secara
laboratorik.

 Anemia defisiensi besi (iron deficiency anemia)


2. Etiologi 1. Intake Fe Kurang
 Diet Kurang
 Absorbs Fe kurang: absorbsi Fe kurang:
malabsorbsi zat besi, pasca gastrektomi, dll.

2. Kehilangan Fe Meningkat
 Perdarahan G.I.T : haemorrhoid, ulkus,
ankilostomiasis, dll
 Menstruasi berlebihan
 Donor darah
 Haemoglobin
 Kelainan Haemostasis, dll

3. Penggunaan Besi Meningkat


 Kehamilan
 Dalam masa pertumbuhan
3. Gambaran Klinis  Pucat
 Atrofi papil lidah
 Cheilosis angularis (stomatitis angularis)
 Disfagia : karena rusaknya epitel.
 Gastritis atrofi, sekresi asam menurun.
 Koilonikia (kuku sendok)
 Pica
4. Diagnosa a. Anemia hipokrom mikrositik e.c penyakit kronik
Banding Fe normal, TIBC -, Ferritin serum normal, ferritin SST
normal
b. Thalassemia
Fe Normal, TIBC -, Ferritin serum normal, Ferritin SST
normal, elektroforese Hb terdapat kelainan
c. Anemia Sideroblastik
Fe meningkat, TIBC normal, Ferritin serum normal,
Ferritin SST dan ditemukan cincin sideroblast

5. Penatalaksanaan  Terapi penyakit dasar


 Transfuse : bila secara klinis terdapat gangguan
hemodinamik
 Obat: Preparat besi 3-6 bulan.
 Oral: sulfas ferosus, glukonas, fumaras, dll

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a

669 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

ANEMIA PADA PENYAKIT KRONIK

1. Definisi Anemia yang umumnya terjadi pada penderita infeksi kronis,


penyakit inflamasi, trauma dan keganasan.

2. Etiologi a. Infeksi Kronis


 Paru : TBC
 Subakut Bakterial Endokarditis
 Osteomielitis
 Infeksi di Pelvis, dll
b. Non Infeksi

670 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
 Rheumatoid Artritis
 Rheumatoid Fever
 SLE
 Trauma
 Akut Miokard Infark, dll
c. Keganasan
 Karsinoma
 Limfoma
 Leukemia, dll
3. Gambaran Klinis Tergantung pada penyakit dasar dan beratnya anemia,
biasanya anemianya ringan dan tidak progresif.
Gambaran Laboratorium
 Biasanya anemianya normositer normokrom, sebagian
dengan hipokrom mikrositer (Lebih kurang 30%)
 Retikulosit rendah, trombosit dan leukosit normal
 Besi serum normal, kadang-kadang rendah, saturasi
transferin rendah, TIBC menurun, ferritin serum normal
atau meningkat.
 Sumsum tulang : Normoseluler, Ferritin normal
4. Diagnosis 1. Anemia Defisiensi Fe
Banding 2. Thalassemia
5. Penatalaksanaan  Obati penyakit dasarnya, anemianya akan membaik
dengan perbaikan dari penyakit yang mendasarinya.
 Recombination Human EPO

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

ANEMIA APLASTIK

1. Definisi Anemia aplastik adalah anemia akibat aplasia sumsum


tulang dimana jaringan hemopoeisis diganti oleh jaringan
lemak, dibagi menjadi 2 orang :
a. Anemia Aplastik Berat
Selularitas sumsum tulang < 25% dan terdapat 2 dari 3
gejala berikut:
 Granulosit < 500/ul

671 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
 Trombosit < 20.000/ul
 Retikulosit < 10%
b. Anemia Aplastik
 Sumsum tulang hipoplastik
 Pansitopenia dengan satu dari tiga pemeriksaan darah
seperti pada anemia aplastik berat
2. Etiologi  Idiopatik
 Sekunder: obat (Kloramfenikol), kimia (benzene), infeksi
(Epstein Barr Virus, hepatitis), kehamilan, radiasi.
 Herediter Syndrom Fancony.
 Obat-Obatan lain: NSAID, Sulfonamid, antityroid,
furosemid, kortikosteroid, penicillamine, allopurinol,
senyawa Mas.
3. Diagnosis Anamnesis :
 Riwayat paparan terhadap zat toksik (obat, lingkungan
kerja, hobi), menderita infeksi virus 6 bulan terakhir
(hepatitis, parvovirus), pernah mendapat transfusi darah.
 Gejala anemia: rasa lemas/ lemah, pucat, pusing, sesak
nafas/gagal jantung, berkunang-kunang
 Tanda-tanda infeksi: sering demam
 Akibat trobositopenia: perdarahan (menstruasi lama,
epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan di bawah kulit,
hematuria, buang air besar campur darah, muntah
darah)

Pemeriksaan Fisik :
 Konjungtiva palpebra pucat
 Takikardi
 Tanda perdarahan

Pemeriksaan Penunjang :
Darah tepi lengkap ditemukan pansitopenia, serologi virus
(hepatitis, parvovirus)

Diagnosis pasti : sitologi dan histopatologi sumsum tulang


4. Diagnosis Mielofibrosis, anemia hemolitik, anemia defisiensi, anemia
Banding karena penyakit kronik, anemia karena penyakit keganasan
sumsum tulang, hipersplenisme, leukemia akut.

5. Pemeriksaan  Laboratorium: darah tepi lengkap, serologi virus


Penunjang  Aspirasi dan biopsy sumsum tulang
6. Penatalaksanaan Terapi penunjang
 Transfuse komponen darah (PRC dan/atau TC) sesuai
indikasi (pada topik transfusi darah)
 Menghindari dan mengatasi infeksi
 Kortikosteroid: prednisone 1-2 mg/kgBB/hari
 Androgen: metenolol asetat 2-3 mg/kgBB/hari, maksimal
diberikan selama 3 bulan
 Splenektomi dilakukan bila tidak ada respon dengan
steroid. Bila pasien menolak splenektomi dapat diberikan
terapi imunosupresif :
o Siklosporin 5 mg/kgBB/hari
o ATG (anti thymocyte globulin) 15 mg/kgBB/hari

672 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
intravena selama 5 hari
o Transplantasi sumsum tulang, bila ditemukan HLA
yang cocok

Respon terapi
 Komplit: granulosit > 1000/ µL, trombosit > 100.000/µL,
Hb normal
 Parsial: granulosit > 500/ µL, tidak membutuhkan
transfusi darah merah dan trombosit
 Minimal: granulosit > 500/µL, membutuhkan transfusi
darah merah dan trombosit
 Tidak berespons: anemia aplastik berat menetap
7. Komplikasi Infeksi bisa fatal, perdarahan, gagal jantung pada anemia
berat

8. Prognosis  Dubia, tergantung tingkat hipoplasia


 Pada umumnya pasien meninggal karena infeksi,
perdarahan atau komplikasi transfusi darah

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

LEUKEMIA AKUT

1. Definisi Leukemia akut merupakan penyakit proliferasi neoplastik


yang sangat cepat dan progresif sehingga susunan sumsum
tulang normal digantikan oleh sel primitif dan sel induk
darah (sel blas dan atau satu tingkat di atasnya). Leukemia
akut dibagi 2 yaitu: leukemia mieloblastik akut, leukemia
limfoblastik akut.

2. Diagnosis a. Anamnesis:
 Gejala anemia : rasa lemas/lemah, pucat, pusing,
sesak nafas/gagal jantung, berkunang-kunang.
 Tanda-tanda infeksi : sering demam

673 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
 Akibat trombositopenia : perdarahan (menstruasi
lama, epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan
dibawah kulit, hematuria, bab campur darah, muntah
darah)
b. Pemeriksaan Fisik : pucat, demam, pembesaran KGB
superficial, organomegali, ptekiae / purpura / ekimosis.
c. Pemeriksaan Penunjang: aspirasi sumsum tulang, hitung
jenis sel blast dan / atau progranulosit > 30%
3. Diagnosis Syndrome mielodisplasia (MDS), reaksi leukemoid, leukemia
Banding kronis.

4. Pemeriksaan  Laboratorium : darah tepi lengkap (termasuk retikulosit


Penunjang dan hitung jenis), LDH, asam urat, fungsi ginjal, fungsi
hati, serologis virus (hepatitis, HSV, EBV, CMV)
 Sitologi aspirasi sumsum tulang, sitogenik.
5. Penatalaksanaan Perawatan di ruang rawat isolasi imunitas menurun:
Persiapan pengobatan sitoreduksi:
1. Akses vena sentral
2. Anti emetic
3. Profilaksis asam urat (allopurinol sesuai CCT, hidrasi
cukup >2000 ml/jam, alkalinisasi urin dengan natrium
bikarbonat oral 4x500-1000 mg/hari (target Ph urin >
7)
4. Tunda haid (lynestrenol)
5. Antibiotika dekontaminasi parsial
6. Profilaksis streptokokus (benzylpenicilline 4x1 gr)
7. Vitamin K 2x seminggu 5 mg/oral
8. Asam folat 1x5 mg/hari dan vit B12 1000 ug/minggu
9. Leukoferesis untuk mencegah leukostasis jika leukosit
>100.000/ul dikombinasi metilprednisolon 5
mg/kgbb/hari.
Pemeriksaan Rutin:

 Turn over rate sel tumor (LDH, asam urat)


 Elektrolit (Na, K, Ca)
 Hemostasis lengkap
 Fungsi ginjal (ureum, kreatinin)
 Keasaman urin
 Fungsi hati (bilirubin direk/indirek, SGOT/SGPT, ALP)
 Gula darah
 Serologi virus
 Surveillance bakteriologi
 Foto dada
 Pungsi lumbal diagnostic jangkitan otak
Kuratif:

 Sitorediksi dengan sitostatikan mulai dari yang ringan


hingga yang agresif dengan membutuhkan rescue sel
induk darah pasien dari darah perifer untuk
penyelamatan pada ablasi sumsum tulang.
 Transplantasi sel induk darah alogenik atau autogenic
dari darah perifer , sumsum tulang atau tali pusat.
Paliatif :

674 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
Respon terapi

a. Komplit
 Hitung jenis sel blast dan atau pragranulosit
<5% pada sitologi aspirat sumsum tulang
 Pada darah tepi tidak ditemukan blas, leukosit
>3000/ul, granulosit >1500/ul dan trombosit
>100.000/ul
b. Partial
 Hitung jenis sel blast dan atau progranulosit 5-
10% pada sitologi aspirasi sumsum tulang.
 Pada darah tepi dapat ditemukan sel blast
c. Tidak Respon
 Hitung jenis sel blas dan atau progranulosit
>10% pada sitologi aspirat sumsum tulaang.
6. Komplikasi Sindrom lisis tumor, infeksi neutropenia dan perdarahan
trombopenia/koagulasi intravascular disseminate.

7. Prognosis Malam

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

SINDROMA LISIS TUMOR

1. Definisi Sindroma lisis tumir adalah sindrom yang ditandai berbagai


kombinasi antara hiperurisemia, hiperkalemia,
hiperfosfatemia, asidosis laktat dan hipokalsemia yang
disebabkan oleh pengrusakan sejumlah besar sel neoplasma
yang sedang berproliferasi secara cepat.

2. Diagnosis  Anamnesis
Riwayat mendapat kemoterapi dalam 1-5 hari terakhir,
jenis tumor yang diderita (limfoma Burkitt, leukemia
limfoblastik akut dan limfoma limfoblastik akut dan
limfoma derajat tinggi lainnya)

 Pemeriksaan Fisik
Tidak khas, sesuai dengan kelainan yang terjadi (misalnya

675 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
pernafasan Kussmaul pada asidosis laktat, oliguria/anuria
bila terjadi gagal ginjal, aritmia ventrikel pada
hiperkalemia).

 Laboratorium
Peningkatan LDH, asam urat darah, kalium darah, fosfat
darah, penurunan kalsium darah, analisis gas darah
(AGD) menunjukkan asidosis metabolic, urinalisa
menunjukkan pH urin < 7 dan terdapat kristal asam urat.

3. Diagnosis Gagal ginjal akut karena penyebab yang lain


Banding

4. Pemeriksaan Laboratorium: DPL, ureum, kreatinin, LDH, K, F, Ca, asam


Penunjang urat, AGD, urinalisis

5. Penatalaksanaan  Mencegah dan mendeteksi faktor resiko lebih penting


 Hidrasi adekuat 3000 mL/ m2 per hari
 Mempertahankan pH urin > 7 dengan pemberian Na
bikarbonat
 Alopurinol 300 mg/m2 per hari
 Monitor fungsi ginjal, elektrolit, AGD dan asam urat
 Bila secara konservatif tidak berhasil dan ditemukan
tanda-tanda sebagai berikut (K> 6 mEq/L, asam urat > 10
mg/dL, kreatinin > 10 mEq/dL, F > 10 mEq/dL atau
semakin meningkat, hipokalsemia simtomatik) maka
dilakukan hemodialisis

6. Komplikasi Gagal ginjal akut, aritmia ventrikel, kematian mendadak

7. Prognosis Malam

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

676 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

IDIOPATIK TROMBOSITOPENIA PURPURA

1. Definisi Untuk menyingkirkan kemungkinan idiopatik


trombositopenia purpura (ITP) sekunder
 Anamnesis
 Riwayat obat-obatan (heparin, alkohol, sulfonamides,
kuinidin/kuinin, aspirin) dan bahan kimia
 Gejala sistemik: pusing, demam, penurunan berat
badan
 Gejala penyakit autoimun: atralgia, rash kulit,
rambut rontok
 Riwayat perdarahan (lokasi, banyaknya, lamanya),
resiko infeksi HIV, status kehamilan, riwayat
transfuse, riwayat pada keluarga (trombositopenia,
gejala perdarahan dan kelainan autoimun)
 Penyakit penyerta yang dapat meningkatkan resiko
perdarahan (kelainan gastrointestinal, system saraf
pusat dan urologi)
 Kebiasaan/ hobi: aktivitas traumatik

677 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
 Pemeriksaan Fisik
 Perdarahan (lokasi dan beratnya)
 Jarang ditemukan organomegali, tidak ditemukan
jaundice atau stigmata penyakit kronik
 Tanda infeksi (bakteremia/ infeksi HIV)
 Tanda penyakit autoimun (arthritis, goiter, nefritis,
vaskulitis)

 Pemeriksaan Penunjang
 Darah tepi: hitung trombosit < 150.000/µL dengan
tidak dijumpai sitopenia lainnya, pemeriksaan
morfologi darah tepi dapat dijumpai trombosit muda
yang berukuran lebih besar
 Laboratorium kimia rutin dan enzim hati
 Pemeriksaan serologi virus (dengue, CMV, EBV, HIV,
rubella)
 Pemeriksaan ACA, Coomb’s test, C3, C4, ANA, anti
dsDNA
 Pemeriksaan imunoelektroforesis protein
 Pemeriksaan hemostasis normal bila tidak ada
komplikasi, kecuali masa perdarahan yang
memanjang
 Pemeriksaan punksi sumsum tulang: magakariosit
normal atau meningkat
 Pemeriksaan autoantibodi trombosit
2. Diagnosis  Berkurangnya produksi trombosit/ aplasia megakariosit
Banding baik yang congenital atau didapat
 Gangguan distribusi trombosit (hipersplenisme,
hipotermia)
 Peningkatan penghancuran trombosit (ITP sekunder, drug
induced, kehamilan, dll)
 Pseudotrombositopenia akibat EDTA terlalu banyak pada
spesimen darah tepi.
3. Pemeriksaan Laboratorium : darah tepi lengkap, enzim hati, kimia rutin,
Penunjang ACA, Coomb’s test, C3, C4, ANA, anti dsDNA, serologi virus,
anti HIV, antibody antitrombosit.
Sitologi : aspirasi sumsum tulang.
4. Penatalaksanaan
ITP akut: (anak-anak: self limiting)
 Trombosit > 30.000/µl, asimtomatik/ purpura minimal:
tidak diterapi rutin
 Trombosit < 20.000/µl dengan perdarahan bermakna
atau < 10.000/µl dengan purpura minimal: steroid
(prednisone 1-2 mg/kgBB/hari)
 Perdarahan yang mengancam jiwa: dirawat, steroid
injeksi dosis tinggi (metal prednisolon 30
mg/kgBB/hari) atau steroid oral dosis tinggi
(prednisone 4-8 mg/kgBB/hari) dan transfusi trombosit
ITP kronik (dewasa)

 Membatasi aktivitas yang beresiko trauma


 Menghindari obat-obat yang mengganggu fungsi

678 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
trombosit
 Transfusi PRC sesuai kebutuhan
 Transfusi trombosit bila:
 Perdarahan massif
 Adanya ancaman perdarahan otak/SSP
 Persiapan untuk operasi besar
Perawatan RS untuk pasien dengan:

 Perdarahan berat yang mengancam jiwa


 Trombosit < 20.000/ µl dengan perdarahan mukosa
bermakna
 Trombosit > 50.000/µl asimtomatik/ dengan purpura
minimal: tidak diterapi
 Trombosit < 30.000/µl dengan/ tanpa gejala, 30.000-
50.000/µl dengan perdarahan bermakna, kadar
trombosit berapa saja dengan perdarahan yang
mengancam jiwa diterapi:
o Steroid (prednisone 1-2 mg/kgBB/hari),
dipertahankan 3-4 minggu lalu tap down, maksimal
selama 6 bulan. Prednisone tidak boleh diberikan
dalam jumlah tinggi lebih dari 4 minggu pada
pasien tidak respon.
o IVIG (intravenous Imunoglobulin), dosis 1
gr/kgBB/hari selama 2 hari, dapat ditambahkan
bersama-sama prednisone jika perdarahan aktif/
trombositopenia berat (< 5000-10.000/ µl),
selanjutnya pada kasus kronik IVIG jika diperlukan
dapat diberikan setiap 2-3 minggu.
o Splenektomi
Indikasi:
 Gagal remisi dengan terapi steroid dalam 6
bulan observasi
 Memerlukan dosis maintenance steroid yang
tinggi
 Adanya kontraindikasi/ intoleransi terhadap
steroid
Pilihan terapi yang lain:

 Obat-obat imunosupresan (siklofosfamid, azotiopin,


vinkristin)
 Preparat androgen (danazol)
 Exchange plasmapharesis pada pasien dengan
keadaan sakit berat
 Hormonal anovulatoir
 Monoclonal anti B-cell antibody rhytuximab (anti CD
20)
5. Komplikasi Infeksi, ITP berat, DM induced steroid, hipertensi,
immunocompromised

6. Prognosis ITP akut : bonam


ITP kronik : dubia ad malam

679 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

TROMBOSIS VENA DALAM

1. Definisi Thrombosis vena dalam adalah pembekuan darah di dalam


pembuluh darah vena terutama pada vena tungkai bawah.

2. Diagnosis Gejala klinis bervariasi (90%) tanpa gejala klinis :


Pasien dengan resiko tinggi yaitu apabila :
 Riwayat thrombosis, strok
 Paska tindakan bedah terutama bedah ortopedi
 Imobilisasi lama terutama paska trauma/ penyakit
berat
 Luka bakar
 Gagal jantung akut atau kronik
 Penyakit keganasan baik tumor solid maupun
keganasan hemotologi
 Infeksi baik jamur, bakteri maupun virus terutama
yang disertai syok
 Penggunaan obat-obatan yang mengandung hormone
estrogen
Anamnesis
Nyeri lokal, bengkak, perubahan warna dan fungsi

680 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
berkurang pada anggota tubuh yang terkena

Pemeriksaan Fisik
 Edema, eritema, peningkatan suhu lokal tempat yang
terkena, pembuluh darah vena teraba, Homan’s sign
 Berdasarkan data tersebut di atas sering ditemukan
negative palsu
 Prosedur diagnosis baku adalah pemeriksaan venografi
3. Diagnosis Sindroma paska flebitis, varises, gagal jantung, trauma,
Banding refluks vena, selulitis, limfangitis, abses inguinal, keganasan
dengan sumbatan kelenjar limfe atau vena, gout, dermatitis
kontak, eritema nodosum, kehamilan, flebitis superficial,
paralisis.

4. Pemeriksaan  Kadar antitrombin III (AT III) menurun (N: 85-125%)


Penunjang  Kadar fibrinogen degradation product (FDP) meningkat
 Titer D-dimer meningkat
 Radiologi: venografi/flebografi, USG vena-B mode atau
colour Doppler.
 Laboratorium: kadar AT III, protein C, protein S, antibody
antikardiolipin, profil lipid, agregasi trombosit.
5. Penatalaksanaan Non farmakologis:
 Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena untuk
melancarkan aliran darah vena
 Kompres hangat untuk meningkatkan sirkulasi
mikrovaskular
 Latihan lingkup gerak sendi (range of motion) seperti
gerakan fleksi-ekstensi, menggenggam, dll, tindakan ini
akan meningkatkan aliran darah di vena-vena yang
masih terbuka (patent)
 Pemakaian kaus kaki elastic (elastic stocking), alat ini
akan meniingkatkan aliran darah vena.

Farmakologis:
a. Antikoagulan
Heparin (unfractionated)
 Bolus intravena 100 IU/kg dilanjutkan drip mulai
1000 IU/jam
 Target aPTT 1,5 -2,5 x kontrol, bila:
aPTT < 1,5 x kontrol, dosis 100-200 IU/jam
aPTT 1,5-2,5 x kontrol, dosis tetap
aPTT > 2,5 x kontrol, dosis 100-200 IU/jam
 Hari I : aPTT diperiksa tiap 6 jam
Hari II : aPTT diperiksa tiap 12 jam
Hari III : aPTT diperiksa tiap 24 jam

LMWH (Low Molecular Weight Heparin)


 Nadroparin 0,1 ml/kg/12 jam
 Enoksaparin 1 mg/kg/12 jam
 Tidak perlu pemantauan

Warfarin
 Warfarin dapat dimulai segera sesudah pemberian
heparin dengan dosis harian 10-16 mg malam hari,

681 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
hari II diturunkan
 INR diperiksa setelah 4-5 hari kemudian dengan
target 2-3. Bila target INR tercapai, heparin dapat
dihentikan 24 jam berikutnya
 Lama pemberian tergantung ada tidaknya faktor
resiko
 Bila tidak ada faktor resiko, dapat distop dalam 3-6
bulan
 Bila ada faktor resiko dapat diberikan lebih lama
atau bahkan seumur hidup
 Cara penyesuaian dosis INR

INR 1,1-1,4
Hari I : naikkan 10-20% dari total dosis mingguan
Mingguan : naikkan 10-20% dari total dosis
mingguan
Kembali 1 minggu
INR 1,5-1,9
Hari I : naikkan 5-10% dari total dosis mingguan
Mingguan : naikkan 5-10% dari total dosis
mingguan
Kembali 2 minggu
INR 2,0-3,0
Tidak ada perubahan
Kembali 1 minggu
INR 3,1-3,9
Hari I: kurangi 5-10% dari dosis total mingguan
Mingguan: kurangi 5-15% dari dosis total
mingguan
Kembali 2 minggu
INR 4,0-5,0
Hari I: tidak dapat obat
Mingguan: kurangi 10-20% dari dosis total
mingguan
Kembali 1 minggu
INR > 5,0
Stop warfarin, pantau sampai INR 3,0
Mulai dengan dosis kurang 20-50%
Kembali tiap hari

b. Trombolisis (streptokinase, tPA)


 Terapi ini dapat dipertimbangkan sampai 2 minggu
setelah pembentukkan thrombus (thrombosis vena
iliaka atau vena femoralis akut atau subakut)
 Tidak dianjurkan pada thrombus yang berusia lebih
dari 4 minggu
c. Antiagregasi trombosit (aspirin, dipiridamol,
sulfinpirazon)
 Bukan merupakan terapi utama
 Pemakaiannya dapat dipertimbangkan 3-6 minggu
setelah terapi standar heparin atau warfarin
6. Komplikasi Perdarahan akibat obat antikoagulan/antiagregasi trombosit,

682 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
trombositopenia akibat heparin, osteoporosis pada pasien
yang mendapat heparin > 6 bulan dengan dosis 10.000
U/hari.

7. Prognosis Tergantung pada penyebab (ada yang tidak disertai


komplikasi prognosisnya baik).

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

KOAGULASI INTRAVASKULAR DISEMINATA

1. Definisi Koagulasi intravascular diseminata adalah aktivasi system


koagulasi dan fibrinolisis secara berlebihan dan terjadi pada
waktu yang bersamaan.

2. Diagnosis Klinis:

 Gejala umum seperti demam, hipotensi, asidosis,


hipoksia, proteinuria
 Tanda perdarahan (petekie, purpura, ekimosis,
hematoma, hematemesis-melena, hematuria, epistaksis)
 Manifestasi trombosis: gagal organ (paru, ginjal, hati)
 KID merupakan akibat dari kausa primer yang lain:
 Bidang obstetri (emboli cairan amnion, kematian janin
intra-uterin, abortus septik)
 Bidang hematologi (reaksi transfuse, hemolisis berat,
leukemia)
 Infeksi (septicemia, gram negative, gram positif, virus
HIV, hepatitis, dengue, parasit, malaria)
 Trauma, penyakit hati akut, luka bakar

683 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
Pemeriksaan Penunjang:

Pemeriksaan Kompensa Hiperkompen Dekompensasi


si sasi
Trombosit N N ↓
PTT N N/↑ ↑
PT N N/↑ ↑
Fibrinogen N N/↑ ↓
D-dimer +/↑ +/↑ ++/↑↑

 Darah tepi: trombositopenia atau normal , Burr cell (+)


 Pemeriksaan hemostasis pada KID
 DPL
3. Diagnosis Fibrinolisis primer, penyakit hati berat, pseudo KID
Banding
4. Pemeriksaan
Penunjang
5. Penatalaksanaan  Suportif
 Memperbaiki dan menstabilkan hemodinamik
 Memperbaiki dan menstabilkan tekanan darah
 Membebaskan jalan nafas
 Memperbaiki dan menstabilkan keseimbangan asam
basa
 Memperbaiki dan menstabilkan keseimbangan
elektrolit
 Mengobati penyakit primer
 Menghambat proses patologis
 Komponen darah:
 Tidak diberikan kecuali jika terjadi perdarahan
cukup berat atau resiko perdarahan tinggi
 Trombosit jika terjadi perdarahan, target trombosit
20.000-30.000 atau > 50.000 jika perdarahan
berat/ intracranial atau > 80.000 jika penderita
akan menjalani tindakan bedah mayor.
 Criopresipitat jika kadar fibrinogen < 80-100
mg/dl
 FFP jika perdarahan cukup berat, PT/aPTT
memanjang
 Antikoagulan (heparin), jika:
 Perdarahan menetap walaupun telah diberikan
terapi adekuat
 Trombosit > 50.000/µl
 Tidak ada perdarahan SSP atau saluran makanan
yang berat
Heparin intravena bolus tiap 6 jam dosis 5000 IU, evaluasi
aPTT dengan target 1,5-2,5 x kontrol pada jam kedua dan
keempat. Bila pada jam kedua:
o aPTT < 1,5 x kontrol, heparin dinaikkan menjadi 7500 U
o aPTT 1,5-2,5 x kontrol, dosis heparin tetap
o aPTT > 2,5 x kontrol evaluasi aPTT pada jam keempat,
bila:
 aPTT < 1,5 x kontrol, heparin dinaikkan menjadi
7500 U
 aPTT > 2,5 x kontrol, heparin dikurangi menjadi 2500
U

684 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
6. Komplikasi Gagal organ, syok/ hipoperfusi, thrombosis vena dalam, KID
fulminan

7. Prognosis Malam

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

TROMBOSITOSIS PRIMER/ESENSIAL

1. Definisi Trombositosis adalah bila jumlah trombosit lebih dari jumlah


normal tertinggi (450.000/µl).
Thrombosis primer adalah kelainan klonal dari stem sel
multipotensial hemopoitik.

2. Diagnosis Anamnesis:
 Sakit seperti terbakar pada telapak tangan dan kaki
serta berdenyut, cenderung timbul kembali disebabkan
panas, pergerakan jasmani dan hilang bila kaki
ditinggikan (eritromialgia).
 Gejala-gejala iskemik serebrovaskular kadang tidak
spesifik seperti sakit kepala, pusing, defisit neurologi
fokal, serangan iskemia sepintas, kejang atau oklusi
arteri retina
 Pada wanita hamil ditemukan riwayat abortus berulang,
pertumbuhan fetus terhambat

Pemeriksaan Fisik:
 Splenomegali (40%)
 Tanda-tanda perdarahan atau trombosis sesuai lokasi
yang terkena

685 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
Pemeriksan Laboratorium:
 Jumlah trombosit seringkali > 1 juta/ml
 Laju endap darah normal
 Variasi bentuk trombosit abnormal (raksasa,
hipogranular), fragmen trombosit
 Masa perdarahan normal
 Faktor VIII/ Von Willebrand normal
3. Diagnosis Trombositosis reaktif, trombositosis sekunder
Banding
4. Pemeriksaan Pemeriksaan laboratorium: darah perifer lengkap, morfologi
Penunjang trombosit, laju endap darah, masa perdarahan, faktor VIII/
Von Willebrand, tes agregasi dengan epinefrin.

5. Penatalaksanaan Tujuan pengobatan untuk menurunkan jumlah trombosit


dan menurunkan fungsi trombosit
Untuk menurunkan jumlah trombosit:
a. Hidroksiuria (hydrea): 15 mg/kgBB/hari
b. Anagrelide (agrylin): 4 x 1,5-2,5 mg sehari, dimulai
dosis rendah dan dinaikkan secara bertahap tiap
minggu
c. Tromboreduction
d. Interferon alfa: 3 juta IU, tiga kali seminggu
e. Fosforous-32

Untuk menurunkan fungsi trombosit:


a. Aspirin
b. Tiklopidin
c. Klopidogrel

6. Komplikasi  Perdarahan (memar kebiruan, epitaksis, perdarahan


saluran cerna, perdarahan paska operasi). Resiko terbesar
bila trombosit > 1 juta/ml dan mendapat aspirin
 Trombosis (eritromialgia, iskemia ginjal, infark miokard,
stroke, iskemik mesenteric, infark plasenta, sindrom Budd
Chiari). Resiko terbesar bila sebelumnya ada riwayat
thrombosis, umur lebih dari 60 tahun dan sudah lama
mengalami trombositosis.
 Trombosis esensial dapat mengalami transformasi menjadi
mielofibrosis (4%), polisitemia vera (2,7%), leukemia
mielositik akut (0,6-5%).
7. Prognosis Ad vitam : dubia
Ad fungsionam : dubia
Ad sanasionam : dubia

Pangkalan Balai, Januari 2018

686 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si
Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

SINDROMA VENA KAVA SUPERIOR

1. Definisi Sindroma vena kava superior adalah kumpulan gejala yang


disebabkan obstruksi vena kava superior oleh sebuah tumor
mediastinum.

2. Diagnosis Anamnesis:
Keluhan sakit kepala, mual, muntah, gangguan penglihatan,
sinkop, suara serak, sesak nafas, disfagia dan sakit
punggung

Pemeriksaan Fisik:
Distensi tubuh sebelah atas, edema muka, leher, lengan dan
dada atas, sianosis.

Pemeriksaan Penunjang:
 Foto dada menunjukkan masa paratrakeal atau di
mediastinum
 CT scan dada membantu memperlihatkan luasnya masa
3. Diagnosis  Tumor mediastinum: tumor ganas, teratoma, limfoma
Banding malignum
 Tumor paru

687 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
4. Penatalaksanaan  Radioterapi pada kasus darurat dapat meringankan
gejala pada 70% kasus, dosis harian dimulai dengan
dosis tinggi (400 cGy) untuk mendapatkan pengecilan
massa tumor yang dibutuhkan
 Pada limfoma maligna atau kanker paru jenis SCLC,
kemoterapi akan sama efektifnya dengan radioterapi.
5. Komplikasi Trombsosis vena jugularis dan otak

6. Prognosis Ad vitam : dubia ad malam


Ad fungsionam : malam
Ad sanasionam : malam

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

HIPERKALSEMIA

1. Definisi Hiperkalsemia adalah kedaruratan onkologi yang sering


ditemukan sebagai akibat metabolik dari keganasan.

2. Diagnosis Anamnesis : anoreksia, mual, muntah,


poliuria
Pemeriksaan Fisik : penurunan kesadaran
Pemeriksaan Penunjang : kadar kalsium serum meningkat

3. Pemeriksaan Pemeriksaan kadar kalsium darah dan fungsi ginjal


Penunjang
4. Penatalaksanaan  Diuresis paksa dengan larutan salin (200-250 ml//jam)
dan furosemid disertai monitor ketat balance cairan dan
fungsi kardiopulmoner
 Mithramycin 25 µg/kg intravena. Tidak boleh digunakan
pada gagal ginjal dan trombositopenia
 Kortikosteroid, efek terapi dicapai setelah 5-10 hari
pengobatan. Berguna pada hiperkalsemia pada limfoma
malignum, myeloma multiple dan karsinoma payudara
 Bifosfat (penghambat osteoklas) bila hiperkalsemia
refrakter terhadap cara-cara sebelumnya atau terdapat
kontraindikasi

688 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
 Kunci keberhasilan dalam mengendalikan hiperkalsemia
adalah kemoterapi yang efektif.
5. Komplikasi Gagal ginjal akut

6. Prognosis Ad vitam : dubia


Ad fungsionam : dubia ad malam
Ad sanasionam : malam

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

HIPERURISEMIA

1. Definisi Hiperurisemia adalah kelainan yang terjadi akibat


pengobatan pada leukemia, gangguan mieloproliferatif,
limfoma atau myeloma yaitu ketika sel-sel tumor mengalami
penghancuran selama kemoterapi di mana purin akan
dilepaskan dalam jumlah banyak untuk kemudian
mengalami katabolisme menjadi asam urat.

2. Diagnosis  Uremia, hematuria dan rasa nyeri menandakan adanya


batu ginjal
 Kadar asam urat melebihi 10 mg/dl dan rata-rata 20
mg/dl
 Oliguria atau anuria dengan atau tanpa adanya kristal
asam urat. Kadar nitrogen darah dan serum kreatinin
meningkat.
 Perbandingan asam urat dengan serum kreatinin > 1,
dihitung menurut sampel acak, mendukung diagnosis
nefropati akibat hiperurisemia.
3. Pemeriksaan Pemeriksaan kadar asam urat darah, fungsi ginjal, urinalisis
Penunjang
4. Penatalaksanaan a. Allupurinol, hidrasi dan alkalinisasi urin seperti pada
sindrom lisis tumor
b. Hemodialisis jika diperlukan, dapat menurunkan kadar
asam urat dan memperbaiki fungsi ginjal.

689 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
5. Komplikasi Batu ginjal dan gagal ginjal

6. Prognosis  Ad vitam : malam


 Ad fungsionam : malam
 Ad sanasionam : malam

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

TERAPI SUPORTIF PADA PASIEN KANKER

1. Definisi Terapi suportif pada pasien kanker merupakan hal yang


amat penting, sehingga tidak jarang lebih penting daripada
pengobatan pembedahan, radiasi maupun kemoterapi karena
pengobatan suportif ini justru sering berkaitan dengan usaha
untuk mengatasi masalah-masalah yang dapat mengancam
jiwa. Pengobatan suportif ini tidak hanya diperlukan pada
pasien kanker yang menjalani pengobatan kuratif tetapi juga
pada pengobatan paliatif.
Pengobatan suportif ini meliputi :
a. Masalah nutrisi dan gangguan saluran cerna
b. Penanganan nyeri
c. Penanganan infeksi
Masalah efek samping sitostatika terutama efek mielosupresi

2. Diagnosis Masalah nutrisi


 Anamneses: penurunan berat badan yang cepat
 Antropometri: tebal lemak kulit (M.deltoideus lengan
atas), indeks massa tunuh (di bawah 1,5 menunjukkan
katabolisme berlebihan), penilaian terhadap massa
otot.
 Laboratorium :
o Hitung limfosit (bila menurun berarti ada gangguan
respons imun)
o Kadar albumin dan prealbumin (albumin< 3 g/dl
dan prealbumin < 1,2 g/dl menunjukkan
malnutrisi)

690 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
o Kadar urea nitrogen urin (> 24 g/24 jam
menunjukkan katabolisme protein berlebihan),
kadar ferritin darah.
3. Pemeriksaan  Masalah nutrisi
Penunjang  Antropometri: tebal lemak, indeks massa tubuh dan
massa otot
 Laboratorium: hitung limfosit, albumin dan prealbumin
darah, urea nitrogen urin, feritin darah
 Penanganan nyeri
Pemeriksaan radiologi: foto, USG, bone scan, CT scan, MRI
untuk mengetahui jenis nyeri dan lokasinya
 Penanganan infeksi
- Laboratorium darah perifer lengkap dengan hitung
jenis, kultur darah, kultur urin, kultur sputum, swab
tenggorok uuntuk mencari fokus infeksi, pemeriksaan
terhadap koloni jamur
- Foto toraks
 Masalah efek sampan sitostatika
- Pemeriksaan fisik: luas permukaan tubuh, tingkat
kemampuan berperan, mencari sumber infeksi
- Pemeriksaan laboratorium: DPL dengan hitung jenis,
fungsi ginjal, urinalisis, asam urat rendah, fungsi hati,
kultur pada tempat-tempat tertentu secara berkala.
- Pemeriksaan radiologi
- Pemeriksaan ekokardiografi
4. Penatalaksanaan  Masalah nutrisi
Indikasi terapi:
a. Pasien tidak mampu mengkonsumsi 1000 kalori per
hari
b. Bila terjadi penurunan berat badan > 10% BB
sebelum sakit
c. Kadar albumin serum < 3,5 g/dl
d. Terdapat tanda-tanda penurunan daya tahan tubuh

Perhitungan kebutuhan kalori:


Rumus perhitungan kebutuhan kalori=
Kalori basal + aktivitas sehari-hari + keadaan
hiperkatabolik

Kalori basal laki-laki : 27-30 kalori/ kgBB ideal/


hari
Kalori basal perempuan : 23-26 kalori/ kgBB ideal/
hari

Perhitungan kebutuhan protein:


Protein yang dibutuhkan adalah 0,6-0,8 g/kgBB
ideal/hari
Untuk menggantikan kehilangan nitrogen tubuh
diperlukan tambahan 0,5 g/kgBB ideal/ hari

Cara pemberian:
a. Enteral melalui saluran cerna per oral, lewat selang
nasogastrik, jejunostomi, gastrotomi

691 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
b. Parenteral diberikan bila melalui enteral tidak bisa
atau pasien tidak mau dilakukan gastrostomi/
jejumostomi. Nutrisi sebaiknya melalui vena sentral
karena dapat diberikan cairan dengan osmolaritas
tinggi dan dalam waktu lama (6 bulan – 1 tahun).
Hati-hati terhadap bahaya infeksi dan thrombosis

 Penanganan nyeri
Pengobatan medikamentosa/ farmakologi
- Pada nyeri ringan pengobatan dimulai dengan
asetaminofen atau OAINS, kemudian dievaluasi
dalam 24-72 jam, bila masih nyeri ditambahkan
amitriptilin 3 x 25 mg atau opioid ringan seperti
kodein sampai dengan 6 x 30 mg/ hari
- Pada nyeri sedang pengobatan dimulai dengan
opioid ringan kemudian dievaluasi dalam 24 jam,
bila masih nyeri obat diganti dengan opioid kuat,
biasanya dipakai morfin intravena dimulai dengan
dosis dititrasi sampai pasien bebas nyeri.
- Pada nyeri berat pengobatan morfin intravena sejak
awal dan dievaluasi sampai hitungan jam sampai
nyeri terkendali baik. Setelah didapat dosis optimal
maka pemberian morfin intravena diganti dengan
morfin oral masa kerja pendek 4-6 jam dengan
perbandingan 1:3, artinya jika dosis injeksi 20
mg/24 jam maka dosis oral sebanyak 3 x 20 mg/24
jam (60 mg), diberikan 6 x 10 mg atau 4 x 15
mg/hari. Bila setelahnya dosis terkendali baik maka
diganti morfin oral kerja lama dengan dosis 2 x 30
mg/ hari. Bila nyeri belum terkendali, morfin
dinaikkan dosisnya menjadi dua kali lipat dan
dievaluasi lebih lanjut serta berpedoman pada VAS.
- Obat adjuvant diberikan sesuai pengkajian, bila
penyebabnya neuropatik maka selain obat-obat
tersebut ditambahkan GABA (gabapentin), bila nyeri
somatik akibat metastasis bila metastatis luas dan
multipel maka pilihan utamanya adalah radioterapi
dan dapat ditambahkan bifosfat.

Pengobatan Non Medikamentosa


a. Penanganan psikiatri
b. Operasi bedah saraf
c. Blok anestesi
d. Rehabilitasi medik

 Penanganan infeksi
- Infeksi oleh bakteri gram negatif
 Kombinasi antibiotic beta laktam dengan
aminoglikosida
 Monoterapi dengan seftazidim, sefepim, imipenem,
meropenem
- Infeksi oleh bakteri gram positif
Staphylococcus epidermidis sering resisten pada
berbagai macam antibitoka, diberikan vankomisin
dan teikoplanin

692 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
- Infeksi jamur
Pemberian amfoterisin B dianjurkan pada pasien
neutropenia dengan demam berkepanjangan setelah
pemberian antibiotic spectrum luas untuk beberapa
hari tanpa adanya bakteremia
- Infeksi virus
Dapat terjadi pada pasien neutropenia tanpa
imunosupresi, sehingga beberapa pusat
menganjurkan pemberian asiklovir sejak awal pada
pasien yang diperkirakan akan mengalami
neutropenia berat untuk waktu yang lama.

 Masalah efek samping sitostatika


a. Penekanan sumsum tulang
- Pemilihan dan penjadwalan obat sitostatika yang
tepat
- Pencegahan infeksi pada pasien neutropenia
berupa dekontaminasi saluran cerna, kulit dan
rambut bila akan mendapat kemoterapi agresif
- Pengobatan infeksi, bila hasil kultur belum ada,
diberikan pengobatan empiris yang dapat
menjangkau gram positif anti jamur, bila perlu
anti virus
- G-CSF saat ini dapat diberikan pada keadaan
granulositopenia, terutama yang mendapat
kemoterapi agresif.

b. Mual dan muntah


Meliputi fenotiazin, haloperidol, metoklopramid,
antagonis serotonin (ondansetron, zepin, granisetron
dan tropisetron), kortikosteroid, benzodiazepine,
nabilon, antihistamin dan kombinasi obat-obat
antiemetic diatas. Dianjurkan kombinasi tersebut
meliputi deksametason diikuti antagonis serotonin
atau difenhidramin dan metoklopramid.
c. Toksisitas jantung
Pasien dengan resiko tinggi (EF < 50%) harus
menjalani ekokardiografi setiap satu atau dua siklus
pengobatan, sedangkan pada yang tidak berisiko
tinggi ekokardigrafi diulang dengan dosis kumulatif
350-400 mg/m2. Hal yang paling penting pada
pemantauan adalah dosis kumulatif (epirubisin 950
mg/m2, daunorubisin 550 mg/m2).
d. Toksisitas ginjal
Kerusakan ginjal dapat dicegah dengan hidrasi
adekuat, alkalinisasi urin dengan natrium
bikarbonat dan diuretik
e. Ekstravasasi obat-obat kemoterapi yang bersifat
vesikan dapat dicegah dengan mematikan jalan
infus intravena lancer dan setelah kemoterapi
diberikan, cairan infuse tetap diberikan
f. Sindroma lisis tumor
Untuk mencegah hal ini, mulai 48 jam sebelum
kemoterapi sampai dengan 3-5 hari setelah

693 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
diberikan hidrasi intravena 3000 ml/m 2, alupurinol
500 mg/m2 per oral, bila kadar asam urat > 7 mg/dl
diberikan alkalinisasi urin dengan natrium
bikarbonat dengan mempertahankan pH urin di atas
7.

5. Komplikasi Hati-hati dengan efek samping urin

6. Prognosis Ad vitam : malam


Ad fungsionam : malam
Ad sanasionam : malam

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

POLISITEMIA VERA

1. Definisi Polisitemia merupakan kelainan system hemopoesis yang


dihubungkan dengan peningkatan jumlah dan volume sel
darah merah (eritrosit) secara bermakna mencapai 6-10
juta/ml di atas ambang batas nilai normal dalam sirkulasi
darah, tanpa memperdulikan jumlah leukosit dan trombosit.
Disebut polisitemia vera bila sebagian populasi eritrosit
berasal dari suatu klon sel induk darah yang abnormal (tidak
membutuhkan eritropoetin untuk proses pematangannya).
Berbeda dengan polisitemia sekunder dimana eritropoetin
meningkat secara fisiologis sebagai kompensasi atas
kebutuhan oksigen yang meningkat atau eritropoetin
meningkat secara non fisiologis pada sindroma
paraneoplastik sebagai manifestasi neoplasma lain yang
mensekresi eritropoetin.

Perjalanan klinis:
a. Fase eritrositik atau fase polisitemia
Berlangsung 5-25 tahun, membutuhkan flebotomi
teratur untuk mengendalikan viskositas darah dalam
batas normal
b. Fase burn out atau spent out
Kebutuhan flebotomi menurun jauh, kesannya seperti
remisi, kadang timbul anemia

694 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
c. Fase mielofibrotik
Bila terjadi sitopenia dan splenomegali progresif,
menyerupai mielofibrosis dan metaplasia myeloid.
d. Fase terminal
2. Etiologi Proliferasi sel eritroid yang independen faktor pertumbuhan
(eritropoetin).

3. Diagnosis International Polycitemia Study Group II


Diagnosis polisitemia dapat ditegakkan jika memenuhi
kriteria:
a. A1+A2+A3 atau
b. A1+A2+ 2 kategori B

Kategori A
1. Meningkatnya massa sel darah merah diukur dengan
krom radioaktif Cr-51. Pada pria ≥ 36 ml/kg dan pada
wanita ≥ 32 ml/kg
2. Saturasi oksigen arterial ≥ 92% (pada polisitemia vera,
saturasi oksigen tidak menurun)
3. Splenomegali

Kategori B
1. Trombositosis: trombosit ≥ 400.000/ml
2. Leukositosis: leukosit ≥ 12.000/ml
3. Leukosit alkali fosfatase (LAF) score meningkat > 100
(tanpa ada panas/infeksi)
4. Kadar vitamin B12 > 900 pg/ml dan atau UB12BC
dalam serum ≥ 2.200 pg/ml.
4. Diagnosis Polisitemia sekunder akibat saturasi oksigen arterial rendah
Banding atau eritropoetin meningkat akibat manifestasi sindroma
paraneoplastik.

5. Pemeriksaan  Laboratorium: eritrosit, granulosit, trombosit, kadar B12


Penunjang serum, NAP, saturasi O2
 Pemeriksaan sumsum tulang untuk menyingkirkan
kelainan mieloproliferatif yang lain
6. Penatalaksanaan Prinsip Pengobatan:
a. Menurunkan viskositas darah sampai ke tingkat
normal dan mengendalikan eritropoesis dengan
flebotomi
b. Menghindari pembedahan elektif pada fase
eritrositik/polisitemia yang belum terkendali
c. Menghindari pengobatan yang berlebihan
d. Menghindari obat yang mutagenic, teratogenik dan
berefek sterilisasi pada pasien usia muda
e. Mengontrol panmielosis dengan fosfor radioaktif dosis
tertentu atau kemoterapi sitostatik pada pasien di atas
40 tahun bila didapatkan:
- Trombositosis persisten di atas 800.000/ml
terutama jika disertai gejala thrombosis
- Leukositosis progresif
- Splenomegali simtomatik atau menimbulkan

695 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
sitopenia problematic
- Gejala sistemik yang tidak terkendali seperti
pruritus yang sukar dikendalikan, penurunan
berat badan atau hiperurikosuria yang sulit
diatasi
 Flebotomi
Pada PV tujuan prosedur flebotomi adalah
mempertahankan hematokrit 42% pada wanita dan
47% pada pria untuk mencegah timbulnya
hiperviskositas dan penurunan shear rate. Indikasi
flebotomi terutama untuk semua pasien pada
permulaan penyakit dan yang masih dalam usia subur.
Indikasi:
- Polisitemia vera fase polisitemia
- Polisitemia sekunder fisiologis hanya dilakukan jika
Ht > 55% (target Ht 55%)
- Polisitemia sekunder nonfisiologis bergantung pada
derajat beratnya gejala yang ditimbulkan akibat
hiperviskositas dan penurunan shear rate.
 Kemoterapi sitostatika
Tujuannya adalah sitoreduksi.
Indikasi:
- Hanya untuk polisitemia rubra primer (PV)
- Flebotomi sebagai pemeliharaan dibutuhkan > 2 kali
sebulan
- Trombositosis yang terbukti menimbulkan
thrombosis
- Urtikaria berat yang tidak dapat diatasi dengan
antihistamin
- Splenomegali simtomatik/ mengancam rupture limfa

Cara pemberian:
- Hidroksiurea 800-1200 mg/mm2 hari atau 10-15
mg/kg/kali diberikan dua kali sehari.
Bila tercapai target dilanjutkan pemberian secara
intermiten untuk pemeliharaan.
- Klorambusil dengan dosis induksi 0,1-0,2
mg/kg/hari selama 3-6 minggu dan dosis
pemeliharaan 0,4 mg/kgBB tiap 2-4 minggu.
- Busulfan 0,06 mg/kgBB/hari atau 1,8 mg/m2/hari.
Bila tercapai target, dilanjutkan pemberian secara
intermiten untuk pemeliharaan.
 Fosfor radioaktif
P32 pertama kali diberikan dengan dosis 2-3
mCi/m2/hari intravena, bila per oral dinaikkan 25%.
Selanjutnya bila setelah 3-4 minggu pemberian p32
pertam:
- Mendapat hasil, reevaluasi setelah 10-12 minggu.
Dapat diulang jika diperlukan
- Tidak berhasil, dosis kedua dinaikkan 25% dari
dosis pertama, diberikan setelah 10-12 minggu dosis
pertama.
Pasien diperiksa setiap 2 atau 3 bulan setelah keadaan
stabil.

696 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
 Kemoterapi biologi (sitokin)
 Pengobatan suportif
- Hiperurisemia: allupurinol 100-600 mg/hari
- Pruritus dengan urtikaria: antihistamin, PUVA
- Gastritis/ ulkus peptikum: antagonis reseptor H2
- Antiagregasi trombosit anagrelid
7. Komplikasi Thrombosis, perdarahan, mielofibrosis

8. Prognosis Ad vitam : dubia ad malam


Ad fungsionam : malam
Ad sanationam : malam

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

SYOK ANAFILAKTIK

1. Definisi Reaksi anafilaktik adalah reaksi antara antibodi dan


alergennya (imunologik) yang menimbulkan penyakit alergi
atau penyakit hipersensitivitas tipe I yang tidak disertai
dengan syok.
Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi reaksi
anafilaktik yang berat dengan tanda-tanda kolaps vaskular.
Reaksi anafilaktoid adalah reaksi yang gejalanya sama
dengan anafilaktik tetapi tidak berdasarkan atas reaksi
antara antibody dan antigen (non imumnologik).

2. Etiologi Antigen lengkap seperti protein, polisakarida atau hapten


yang harus berikatan dulu dengan protein tubuh, contohnya
penisilin.
Zat-zat yang dapat menimbulkan reaksi anafilaktik/
anafilaktoid :
a. Obat-obatan
b. Makanan
c. Bisa/ cairan binatang
d. Getah tumbuhan
e. Bahan kosmetik/ industry
f. Faktor fisis
g. Faktor kolinergik dan kegiatan jasmani
h. Idiopatik

Jenis-jenis obat yang paling sering menimbulkan reaksi

697 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
anafilaktik yang disertai dengan syok :
a. Antibiotik (penisilin, streptomisin, sefalosporin,
sulfonamid)
b. Salisilat dan derivatnya
c. Preparat besi
d. Vaksin
e. Anti bisa ular (ABU)
f. Zat kontras
g. Obat kemoterapi
h. Muscle relaxant, anti konvulsan
i. OAT
j. Thiopental
k. Kuinidin
l. Hormone insulin, ACTH
m. Enzim (kemopapain, asparaginase)
3. Gambaran Klinis Gambaran klinis reaksi anafilaksis sangat bervariasi, dapat
ringan, tetapi juga berat sampai menyebabkan kematian.
Gejala-gejala pada umumnya dapat dibagi dalam gejala
prodromal, kardiovaskular, pulmonary, saluran cerna dan
kulit.
a. Gejala prodromal
Rasa tidak enak, lemah, gatal di hidung dan palatum,
bersin, telinga berdenging, dada rasa tertekan
b. Gejala kardiovaskular
Takikardi, palpitasi, hipotensi (dapat syok sampai
meninggal)
c. Gejala pulmonal
Rhinitis, bersin, gatal hidung dan palatum, gejala ini
diikuti dengan spasme bronkus yang berat dan sesak,
anoksia sampai apnea.
d. Gejala gastrointestinal
Nausea, muntah, sakit perut dan diare. Kadang-
kadang gejala gastrointestinal dan pulmonal timbul
bersamaan sehingga secara serentak penderita akan
mengeluh sesak, suara serak, disfagia, nausea dan
rasa tercekik yang menyebabkan penderita bertambah
panik.
e. Gejala kulit
Rasa gatal, urtikaria, angioedema. Bila terjadi spasme
vaskular dan perembesan, cairan keluar pembuluh
darah, kulit akan menjadi pucat.

4. Diagnosis Diagnosis reaksi anafilaksis mudah ditegakkan bila jelas ada


hubungan antara masuknya allergen dan gejala. Bila
hubungan tersebut tidak jelas, diagnosis sulit ditegakkan
oleh karenanya anamnesis dan gambaran klinis merupakan
hal yang penting.

5. Prognosis Umumnya semakin lama jarak antara masuknya antigen


dengan munculnya gejala semakin ringan gejalanya.
Penyembuhan dapat cepat dalam beberapa jam, tetapi
kadang-kadang dapat memerlukan waktu yang lebih lama.
Biasanya sembuh sempurna tetapi dapat pula menyebabkan
infark miokard. Reaksi anafilaksis dengan antigen yang sama
yang terjadi kemudian akan lebih berat daripada yang

698 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
sebelumnya. Bila terapi lebih cepat diberikan maka
prognosisnya lebih baik. Prognosis dipengaruhi juga oleh
cara pemberian dan dosis antigen, semakin berat dosis maka
reaksi semakin berat.

6. Pencegahan a. Hindari dan kenali allergen penyebab


b. Sediakan selalu kit anafilaktik yang terdiri dari alat
suntik, adrenalin dan tablet anti histamine
c. Desensitisasi

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

ALERGI MAKANAN

1. Definisi Efek samping terhadap makanan terdiri dari reaksi toksik


dan non toksik. Alergi makanan adalah reaksi non toksik
melalui mekanisme imun immunoglobulin E dan non
immunoglobulin E. intoleransi makanan adalah reaksi non-
toksik yang dapat diakibatkan pengaruh enzimatik,
farmakologik atau zat yang tidak dapat ditentukan.

2. Manifestasi Reaksi RMM (reaksi makanan yang merugikan) melibatkan


Klinis beberapa organ target dan tergantung pada organ sasaran
yang terlibat. Intensitas manifestasi klinis tidak dapat
diprediksi walau jumlah faktor dan lamanya pajanan
memegang peran, namun tidak ada korelasi antara jumlah
dan pajanan allergen dengan derajat manifestasi klinik.
Organ sasaran yang sering terlibat adalah: system
kardiovaskuler (sistematik), traktus gastrointestinal, kulit,
saluran nafas atas dan bawah, mata, neuromuscular, SSP,
sendi dan traktus urogenitalia.

3. Diagnosis - Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik


- Tes kulit (skin prick test), dengan ekstrak allergen
makanan
- Pemeriksaan IgE yang spesifik

Bila pemeriksaan positif perlu dihindari secara ketat unsur


makanan terkait sebagai allergen selama sekurang-
kurangnya 3 minggu.
Tidak ada tes laboratorium yang spesifik. Pemeriksaan
kadar triptase serum yang dikeluarkan oleh sel mast

699 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
dengan kadar puncak 40-60 menit setelah serangan dan
masih tetap tinggi setelah beberapa jam adalah tes yang
sensitif. Pemeriksaan histamine serum yang meningkat
walau sesaat dapat juga dilakukan.

4. Penatalaksanaan Prinsip dasar penatalaksanan RMM adalah:


- Hindari makanan penyebab/allergen
- Pengobatan simptomatik, seperti anti histamine,
kortikosteroid, oksatomid, ketotifen
- Terapi probiotik dengan pemberian basil Lactobacillus
GG oral pada pasien alergi dengan manifestasi klinik,
eksema atopic yang disebabkan oleh alergi susu sapi

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

SINDROMA STEVEN JOHNSON

1. Definisi Adalah suatu reaksi mukokutaneus akut yang ditandai


macula eritema yang cepat meluas. Biasanya berbentuk
target lesion dan kelainan pada lebih dari satu mukosa di
orifisium (mulut, anogenital) dan konjungtiva mata dengan
keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat. Kelainan
kulit yang lain dapat berupa vesikel/bula, dapat disertai
purpura. Sering ditandai gejala konstitusional dan dapat
mengancam kehidupan.

2. Etiologi Etiologi yang pasti belum diketahui, diduga penyebabnya


ialah alergi obat antara lain penisilin dan semi sintetiknya,
streptomisin, sulfonamide, tetrasiklin, antipiretik/analgetik,
klorpromazin (CPZ), karbamazepin, kinin, tegretol dan jamu.
Penyebab lain adalah keganasan, radiasi, infeksi (bakteri,
virus, jamur, parasit), dll. 25-50% kasus SSJ merupakan
idiopatik.

3. Gejala Klinis Pada sindroma ini terlihat adanya trias kelainan berupa:
a. Kelainan kulit
Eritema, papul, vesikel dan bula. Vesikel dan bula
kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Di
samping itu dapat juga terjadi purpura. Jika disertai
purpura, prognosisnya menjadi lebih buruk. Pada bentuk
yang berat kelainannya generalisata.
b. Kelainan selaput lender/ mukosa diorifisium
Yang tersering adalah pada mukosa mulut (100%),
kemudian lubang alat genital (50%), lubang hidung (8%)
dan anus (4%). Kelainannya berupa vesikel dan bula
yang cepat memecah hingga menjadi erosi, ekskoriasi

700 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
dan krusta kehitaman. Juga dapat terbentuk
pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak
ialah krusta berwarna hitam yang tebal. Kelainan di
mukosa dapat juga terjadi di faring, traktus respiratorius
bagian atas dan esophagus sehingga menyebabkan
penderita sukar atau tidak dapat menelan. Adanya
pseudomembran di faring dapat memberikan keluhan
sukar bernafas.
c. Kelainan mata
Yang tersering adalah konjungtivitis kataralis. Kelainan
mata yang lain dapat berupa konjungtivitis purulen,
perdarahan, simblefaron, ulkus kornea dan iridosiklitis.

4. Pemeriksaan Pemeriksaan laboratorium pada Sindroma Steven Johnson


Penunjang tidak khas. Jika terdapat leukositosis menunjukkan
penyebabnya kemungkinan karena infeksi. Kalau terdapat
eosinofilia kemungkinan karena alergi. Jika disangka
penyebabnya karena infeksi dapat dilakukan kultur darah.

5. Penatalaksanaan Diperlukan kerja sama multidisiplin antara bagian Penyakit


Dalam, Bagian Kulit-Kelamin dan Bagian Mata.
Pada sindroma Steven Johnson, kita harus bertindak tepat
dan cepat.
- Penggunaan obat kortikosteroid merupakan tindakan
life-saving. Biasanya diberikan deksametason secara
intravena dengan dosis permulaan 4-6 mg (5 mg = 1
ampul) sehari. Biasanya setelah 2-3 hari masa krisis
telah teratasi, keadaan umum membaik dan tidak
timbul lesi baru, sedangkan lesi lama tampak
mengalami involusi. Dosis deksametason di tapering off
5 mg setiap hari, setelah dosis deksametason mencapai
5 mg sehari lalu diganti dengan tablet kortikosteroid
(prednisone atau metilprednison), misalnya
metilprednison yang diberikan keesokan harinya
dengan dosis 16 mg sehari, sehari kemudian
diturunkan lagi menjadi 8 mg kemudian obat tersebut
dihentikan.
Pada penggunaan steroid dosis tinggi dan dalam waktu
cukup lama (± 10 hari) dapat terjadi hipokalemia yang
dapat menimbulkan aritmia jantung yang beresiko
sudden death. Sehingga perlu pemeriksaan kadar
kalium dalam serum dan pemantauan dengan EKG
(adanya gelombang U, inverse gelombang T atau
gelombang T yang asimetris sebagai tanda hipokalemia).
Bila dijumpai hipokalemia maka perlu diberikan
suplementasi kalium misalnya dengan tablet KSR.
Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid
diberikan diet rendah garam dan tinggi protein.

- Pemberian antibiotika pada penderita Sindroma Steven-


Johnson masih controversial karena antibiotika dapat
menambah sensitisasi dan bila terjasi infeksi sekunder
maka antibiotika yang dipilih adalah yang jarring
menyebabkan alergi, berspektrum luas dan
bakterisidal, biasanya diberikan gentamisin dengan

701 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
dosis 2 x 80 mg.

- Mengatur keseimbangan cairan/ elektrolit dan nutrisi


karena penderita sukar atau tidak dapat menelan dan
kesadaran dapat menurun. Untuk itu diberikan infus
misalnya Dekstrose 5% dan RL, dan pemasangan NGT
untuk diet cair sesuai kebutuhan.

- Terapi topical tidak sepenting terapi sistemik. Untuk


lesi di kulit diberikan kompres dengan NaCl 0,9%, lesi
di mulut dapat diberikan gentian violet atau kenalog in
orabase, untuk lesi kulit pada tempat yang erosif dapat
diberikan sofratulle.

- Lesi di mata dapat diberikan lyters eye drop, eye


ointment dan luksir palpebra untuk mencegah
simblefaron.
6. Komplikasi Komplikasi yang tersering adalah bronkopneumonia.
Komplikasi yang lain ialah kehilangan cairan/ darah,
gangguan keseimbangan elektrolit dan syok. Pada mata
dapat terjadi kebutaan karena gangguan lakrimasi.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

702 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

ALERGI OBAT

1. Definisi Bagian dari reaksi obat yang tidak diinginkan yang disebut
reaksi adversi. Reaksi ini tidak hanya menimbulkan
persoalan baru di samping penyakit dasarnya, tetapi kadang-
kadang dapat membawa kematian. Contoh: reaksi adversi
yang potensial sangat berbahaya adalah hiperkalemia,
intoksikasi digitalis, keracunan aminofilin dan reaksi
anafilaktik, sedangkan gatal karena alergi obat dan efek
mengantuk antihistamin merupakan contoh reaksi adversi
obat yang ringan.

2. Insidensi Belum diketahui dengan pasti. Penelitian di luar negeri


menunjukkan bahwa reaksi adversi obat pada pasien yang
dirawat di rumah sakit berkisar antara 6-15%. Angka
insidensi di luar rumah sakit biasanya kecil karena kasus-
kasus tersebut bila ringan tidak dilaporkan.

3. Klasifikasi a. Reaksi adversi yang terjadi pada orang normal


- Overdosis yaitu reaksi adversi yang secara langsung
berhubungan dengan pemberian dosis yang
berlebihan.
Contoh: depresi pernafasan karena obat sedatif
- Efek samping yaitu efek farmakologis suatu obat yang
tidak diinginkan tetapi juga tidak dapat dihindari yang
terjadi pada dosis terapeutik.
Contoh: efek mengantuk pada pemakaian antihistamin
- Efek sekunder yaitu reaksi adversi yang secara tidak
langsung berhubungan dengan efek farmakologis
primer suatu obat.
Contoh: pelepasan antigen dengan endotoksin sesudah
pemberian antibiotic (reaksi Jarisch-Herxheimer)
- Interaksi obat yaitu efek suatu obat yang
mempengaruhi respons satu atau lebih obat-obat lain

703 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
misalnya induks, enzim suatu obat yang
mempengaruhi metabolism obat lain.

b. Reaksi adverse yang terjadi pada orang sensitive


- Intoleransi yaitu reaksi adversi yang disebabkan oleh
efek farmakologis yang meninggi. Misalnya gejala
tinnitus pada pemakaian aspirin dosis kecil
- Idiosinkrasi adalah reaksi adversi yang tidak
berhubungan dengan efek farmakologis dan juga tidak
disebabkan reaksi imunologis, misalnya: primakuin
yang menyebabkan anemia hemolitik
- Reaksi alergi atau hipersensitivitas dapat terjadi pada
pasien tertentu. Gejala yang ditimbulkan adalah
melalui mekanisme imunologis. Jadi reaksi alergi obat
merupakan sebagian dari reaksi adversi.
- Pseudoalergi (reaksi anafilaktoid) yaitu terjadinya
keadaan yang menyerupai reaksi tipe I tanpa melalui
ikatan antigen dengan IgE (igE independent). Beberapa
obat seperti opiate, vankomisin, polimiksin B, D
tubokurarin dan zat kontras (pemeriksaan radiologis)
dapat menyebabkan sel mast melepaskan mediator
(seperti tipe I), proses ini tanpa melalui sensitisasi
terlebih dahulu (non-imunologis).
4. Diagnosis Manifestasi klinis alergi obat dapat diklasifikasikan menurut
Banding organ yang terkena atau menurut mekanisme kerusakan
jaringan akibat reaksi imunologi Gell dan Coombs (Tipe I s/d
IV) :
a. Tipe I (hipersensitivitas tipe cepat)
Manifestasi klinis yang terjadi merupakan efek
mediator kimia yang menyebabkan kontraksi otot
polos, meningkatnya permeabilitas kapiler, serta
hipersekresi kelenjar mucus. Contohnya: kejang
bronkus, urtikaria, angioedema, pingsan dan
hipotensi.
Manifestasi klinis renjatan anafilaktik dapat terjadi
dalam waktu beberapa menit sampai 30 menit setelah
pemberian obat. Penyebab tersering adalah penisilin.
b. Tipe II
Manifestasi klinis umumnya berupa kelainan darah
seperti anemia hemolitik, trombositopenia, eosinofilia
dan granulositopenia, nefritis interstisial.
c. Tipe III
Manifestasi klinis dapat berupa:
1. Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula,
eritema multiforme. Gejala ini sering disertai dengan
pruritus.
2. Demam
3. Kelainan sendi, artralgia dan efusi sendi
4. Limfadenopati
5. Lain-lain: kejang perut, mual, neuritis optic,
glomerulonefritis, lupus eritematosus sistemik,
gejala vaskulitis lain. Gejala timbul 5-20 hari setelah
pemberian obat, tetapi bila sebelumnya pernah
mendapat obat tersebut, gejala dapat timbul dalam

704 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
waktu 1-5 hari.
d. Tipe IV
Manifestasi klinisnya dapat berupa reaksi paru akut
seperti demam, sesak, batuk, infiltrate paru dan efusi
pleura. Obat yang paling sering menyebabkan reaksi
ini adalah nitrofurantoin.
Nefritis interstitial, ensefalomielitis, hepatitis dapat
juga merupakan manifestasi reaksi alergi obat. Namun
yang paling sering adalah dermatitis kontak. Gejalanya
baru timbul bertahun-tahun setelah sensitisasi.
Contohnya pemakaian obat topical (sulfa, penisilin
atau tantihistamin). Bila pasien telah sensitif, gejala
dapat muncul 18-24 jam setelah obat dioleskan.

5. Diagnosis a. Anamnesis
Wawancara mengenai riwayat penyakit merupakan cara
yang paling penting untuk diagnosis alergi obat. Masalah
yang timbul adalah :
- Apakah gejala yang dicurigai timbul sebagai manifestasi
alergi obat atau karena penyakit dasarnya
- Bila pada saat yang sama pasien mendapat lebih dari
satu macam obat.

Hal-hal yang perlu diperhatikan pada anamnesis pasien


alergi obat adalah :
a) Catat semua obat yang tidak dipakai pasien, termasuk
vitamin, tonikum, dan obat yang sebelumnya tidak
menimbulkan gejala alergi obat
b) Lama waktu yang diperlukan mulai dari pemakaian
obat, sampai timbul gejala. Pada reaksi anafilaksis
gejala timbul segera, tetapi kadang-kadang gejala
alergi obat baru timbul 7 sampai 10 hari setelah
pemakaian pertama.
c) Cara lama pemakaian serta riwayat pemakaian obat
sebelumnya. Alergi obat sering timbul bila obat
diberikan secara berselang-selang, berulang-ulang
serta dosis tinggi secara parenteral.
d) Manifestasi klinis alergi obat sering dihubungkan
dengan jenis obat tertentu.
e) Diagnosis alergi obat sangat mungkin, bila gejala
menghilang setelah obat dihentikan dan timbul
kembali bila pasien diberikan obat yang sama.
f) Pemakaian obat topical (salep) antibiotik jangka lama
merupakan salah satu jalan terjadinya sensitisasi obat
yang harus diperhatikan.

b. Tes kulit
Tes kulit yang ada pada saat ini hanya terbatas pada
beberapa macam obat (penisilin, insulin, sediaan serum)
sedangkan untuk obat-obatan yang lain masih diragukan
nilainya.
Hal ini karena beberapa hal antara lain:
1. Kebanyakan reaksi alergi obat disebabkan hasil
metabolismenya dan bukan oleh obat aslinya
2. Beberapa macam obat bersifat sebagai pencetus

705 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
lepasnya histamine (kodein, tiamin), sehingga tes
positif yang terjadi adalah semu (false positive).
3. Konsentrasi obat terlalu tinggi, juga menimbulkan
hasil positif semu
4. Sebagian besar obat mempunyai berat molekul kecil
sehingga hanya merupakan hapten, oleh sebab itu
sukar untuk menentukan antigennya. Tes kulit ini
adalah tes kulit yang lazim dipakai untuk reaksi alergi
tipe I (anafilaksis). Sedangkan tes temple (patch test)
bermanfaat hanya untuk obat-obat yang diberikan
secara topical (tipe IV).

c. Laboratorium
1. Pemeriksaan tes kulit untuk reaksi alergi tipe I
2. RAST (Radio Allergo Sorbent Test) untuk menentukan
adanya IgE spesifik terhadap berbagai antigen
3. Pemeriksaan Coombs indirek untuk diagnosis reaksi
sitolitik (tipe II) seperti pada anemia hemolitik
4. Pemeriksaan fiksasi komplemen atau reaksi aglutinasi
untuk trombositopenia
5. Pemeriksaan hemaglutinasi dan komplemen dapat
menunjang reaksi obat tipe III yang dibuktikan dengan
adanya antibody IgG atau IgM terhadap obat.
6. Penatalaksanaan a. Hentikan pemakaian obat yang dicurigai, kalau mungkin
semua obat dihentikan, tetapi bila tidak mungkin berikan
obat yang esensial saja dan diketahui paling kecil
kemungkinannya menimbulkan reaksi alergi. Dapat juga
diberikan obat lain yang rumus kimianya berlainan.
b. Pengobatan simtomatik tergantung atas berat ringannya
reaksi alergi obat. Gejala yang ringan biasanya hilang
sendiri setelah obat dihentikan. Pengobatan kasus yang
lebih berat tergantung pada erupsi kulit yang terjadi dan
derajat berat reaksi pada organ-organ lain
c. Pada kelainan kulit yang berat seperti pada sindrom
Stevens-Johnson, pasien harus dirawat
d. Kelainan sistemik yang berat seperti anafilaksis harus
ditatalaksana dengan baik
e. Pada urtikaria dan angioedema pemberian antihistamin
saja biasanya sudah memadai
f. Untuk vaskulitis, penyakit serum, kelainan darah, hati,
nefritis interstitial, dll diperlukan kortikosteroid dosis
tinggi (60-100 mg prednisone atau ekuivalennya) sampai
gejala terkendali dan selanjutnya diturunkan dosisnya
secara bertahap selama satu sampai dua minggu.
7. Pencegahan Cara yang efektif untuk mencegah atau mengurangi
terjadinya reaksi alergi obat yaitu :
- Memberikan obat hanya kalau ada indikasinya. Yang
sudah tepat indikasinya, barulah ditanyakan secara teliti
riwayat alergi obat di masa lalu selanjutnya kepada pasien
diberikan obat yang mempunyai rumus imunokimia yang
berlainan.
- Memperhatikan reaksi silang di antara obat seperti
penisilin dengan sefalosporin, gentamisin dengan
kanamisin atau streptomisin, sulfa dengan obat-obat
golongan sulfonylurea.

706 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
- Member catatan kepada penderita dengan alergi obat yang
harus ditunjukkan kepada dokter sebelum penderita
mendapat pengobatan
- Membagikan epinefrin pada penderita persiapan dengan
riwaya syok anafilaktik.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

OSTEOARTRITIS

1. Definisi Merupakan penyakit degenerative yang mengenai rawan


sendi. Penyakit ini ditandai oleh kehilangan rawan sendi
progresif dan terbentuknya tulang baru pada trabecula
subkondrial dan tepi tulang (osteofit).

2. Etiologi a. Osteoarthritis sendi lutut


Nyeri lutut, dan
Salah satu dari 3 kriteria berikut :
- Usia > 50 tahun
- Kaku sendi > 30 menit
- Krepitus + osteofit
b. Osteoarthritis sendi tangan
Nyeri tangan atau kaku, dan
Tiga dari empat kriteria berikut :
- Pembesaran jaringan keras dari 2 atau lebih dari 10
sendi tertentu (DIP II dan III kiri dan kanan, PIP II
dan III kiri dan kanan, CMC I kiri dan kanan)
- Pembesaran jaringan keras dari 2 atau lebih sendi
DIP
- Pembengkakan pada kurang dari 3 sendi MCP
- Deformitas pada minimal 1 dari 10 sendi tangan
tertentu
c. Osteoarthritis sendi pinggul
Nyeri pinggul, dan
Minimal 2 dari 3 kriteria berikut :
- LED < 20 mm/jam
- Radiologi, terdapat osteofit pada femur atau
asetabulum
- Radiologi terdapat penyempitan celah sendi
(superior, aksial dan/atau medial)
3. Pemeriksaan - LED. Pada OA inflamatif, LED akan meningkat
Penunjang - Analisis cairan sendi. Umumnya tidak terdapat ciri

707 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
khusus, peningkatan sel leukosit yang tidak lebih dari
1000/mm3.
- Radiologi sendi yang terserang. Terbanyak digunakan
kriteria dari Kellgren dan Lawrence. Gambaran radiologi
dapat berupa osteofit, penyempitan celah sendi, sklerosis
tulang subkondrial (eburnasi) dan kista subkondrial
- Artroskopi. Terlihat gambaran kerusakan atau
menghilangnya rawan sendi
4. Komplikasi Deformitas sendi

5. Penatalaksanaan Penyuluhan terutama untuk proteksi sendi


Obat anti inflamasi non steroid. Dapat digunakan seperti
sodium diklofenak 3x50 mg per hari. Piroksikam 1x20 mg per
hari. Meloksikam 1 x 15 mg per hari atau celecoxib 200 mg
bila ada gangguan pada lambung. Kortikosteroid intra
artikular. Fisioterapi, terapi okupasi, bila perlu dapat
diberikan ortosis.
Operasi pada OA dengan deformitas.

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

708 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

ARTRITIS PIRAI (GOUT ARTRITIS)

1. Definisi Merupakan penyakit yang disebabkan oleh deposisi kristal


monosodium urat (MSU) pada sendi yang terjadi akibat
supersaturasi dan mengakibatkan satu atau beberapa
manifestasi klinik.

2. Kriteria Kriteria ACR (1997):


Diagnosis a. Didapatkan kristal monosodium urat di dalam cairan
sendi, atau
b. Didapatkan kristal monosodium urat di dalam tofus atau
c. Didapatkan 6 dari 12 kriteria berikut:
- Inflamasi maksimal pada hari pertama
- Serangan arthritis akut lebih dari satu kali
- Arthritis monoartikular
- Sendi yang terkena berwarna kemerahan
- Pembengkakan dan sakit pada sendi MTP I
- Serangan pada sendi MTP unilateral
- Serangan pada sendi tarsal unilateral
- Tofus
- Hiperurisemia
- Pembengkakan sendi asimetris pada gambaran
radiologic
- Kista subkortikal tanpa erosi pada gambaran
radiologic
- Kultur bakteri cairan sendi negatif
3. Pemeriksaan - LED, CRP. Hasil positif menunjukkan proses inflamasi
Penunjang aktif.
- Analisa cairan sendi. Adanya kristal MSU memastikan
diagnosis.
- Asam urat darah dan urin 24 jam. Kadar dalam darah
pada umumnya meningkat. Kadar dalam urin dapat
dipakai untuk status ekskresi asam urat.
- Ureum, kreatinin, CCT. Dipakai untuk menunjukkan
derajat gangguan fungsi ginjal.

709 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
- Radiologi sendi. Gambaran radiologi dapat berupa
pembengkakan jaringan lunak, kalisifikasi pada tofus,
erosi bulat atau oval yang dikelilingi oleh tepi yang
sklerotik.
4. Penatalaksanaan 1. Penyuluhan
2. Pengobatan fase akut:
- Kolkisin. Dosis 0,5 mg diberikan tiap jam sampai
terjadi perbaikan inflamasi atau tanda-tanda toksik,
dosis tidak melebihi 8 mg per 24 jam
- Obat anti inflamasi non steroid
- Glukokortikoid dosis rendah: 5-15 mg/hari.
3. Pengobatan hiperurisemia
- Diet rendah purin
- Obat penghambat xantin oksidase (untuk tipe
produksi berlebihan), misalnya alupurinol
- Obat urikosurik (untuk tipe sekresi rendah)
- Obat antihiperurisemik tidak boleh diberikan pada
stadium akut.
5. Komplikasi - Tofus
- Deformitas sendi
- Nefropati gout, gagal ginjal

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

710 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

ARTRITIS REUMATOID

1. Definisi Merupakan penyakit inflamasi sistemik kronik yang terutama


mengenai sendi diartrodial. Termasuk penyakit autoimun
dengan etiologi yang tidak diketahui.

2. Kriteria Kriteria ACR (1987):


Diagnosis - Kaku pagi, sekurangnya 1 jam
- Artritis pada sekurangnya 3 sendi
- Arthritis pada sendi pergelangan tangan, metacapophalang
(MCP) dan proksiamal interphalang (PIP)
- Arthritis yang simetris
- Nodul rheumatoid
- Faktor rheumatoid serum positif
- Gambaran radiologik yang spesifik
- Untuk diagnosa AR, diperlukan 4 dari 7 kriteria tersebut
di atas. Kriteria 1-4 harus minimal diderita selama 6
minggu.
3. Pemeriksaan - LED, CRP. Sebagai manifestasi inflamasi pada jaringan
Penunjang maka LED dan protein fase akut lainnya seperti CRP akan
meningkat. Pada usila perlu diperhatikan bahwa LED
secara normal akan meningkat sesuai pertambahan usia.
- Faktor rheumatoid serum. Hasil positif dijumpai pada
sebagian besar kasus (85%), sedangkan hasil negative
tidak menyingkirkan adanya AR. Keadaan terakhir dikenal
sebagai AR seronegatif.
- Analisis cairan sendi. Dapat terlihat peningkatan jumlah
leukosit > 2000/mm3. Analisis ini sekaligus digunakan
untuk menyingkirkan adanya artropati kristal.
- Radiologi tangan dan kaki. Gambaran ini berupa
pembengkakan jaringan luna, diikuti oleh osteoporosis
jukta articular dan erosi pada bare area tulang. Keadaan
lanjut terlihat penyempitan celah sendi, osteoporosis difus,
erosi meluas sampai daerah subkondrial.
- Biopsy sinovium/ nodul rheumatoid. Terlihat gambaran

711 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
inflamasi kronik berupa jaringan granulasi dan fibrosis.
4. Penatalaksanaan - Penyuluhan
- Proteksi sendi, terutama pada stadium akut
- Obat anti inflamasi non steroid
- Obat remitif (DMARD), misalnya kloroquin dengan dosis 1
x 250 mg per hari, metotreksat dosis 7,5-20 mg sekali
seminggu, salazofirin dosis 3-4 x 500 mg per hari, garam
emas per oral dosis 3-9 mg per hari atau subkutan dosis
awal 10 mg, dilanjutkan seminggu kemudian dengan dosis
25 mg per minggu dan dinaikkan menjadi 50 mg per
minggu selama 20 minggu, selanjutya diturunkan setiap 4
minggu sampai dosis kumulatif 2000 mg.
- Glukokortikoid, dosis seminimal mungkin dan sesingkat
mungkin untuk mengatasi keadaan akut atau
kekambuhan. Dapat diberikan dengan dosis 20 mg
prednisone dosis terbagi dan segera di tapering off.
- Bila terdapat peradangan yang terbatas hanya pada 1-2
sendi dapat diberikan injeksi steroid intraartikular seperti
triamsinolon acetonide 10 mg atau metilprednisolon 20-40
mg.
- Fisioterapi, terapi okupasi, bila perlu dapat diberikan
ortosis
- Operasi untuk RA dengan deformitas.
5. Komplikasi - Deformitas sendi (boutonnierre, swan neck, deviasi ulnar)
- Sindrom terowongan karpal

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

712 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

OSTEOPOROSIS

1. Definisi Merupakan salah satu penyakit metabolic tulang yang


ditandai oleh penurunan densitas massa tulang
(osteopenia) dan rawan untuk terjadinya fraktur
sekalipun akibat trauma ringan.
2. Kriteria Ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan densitas
Diagnosis massa tulang (BMD).
Kriteria WHO :
- Normal, bila T-score pada BMD -1
- Osteopenia, bila T-score pada BMD -1 s/d -2,5
- Osteoporosis, bila T-score pada BMD < -2,5
- Osteoporosis berat, bila T-score pada BMD < -2,5
dan didapatkan fraktur.

3. Pemeriksaan - Biokimia tulang (Ca serum, Ca ion serum, Ca urin,


Penunjang fosfat serum, fosfatase alkali, osteokalsin serum,
deoksipiridinolin urin)
- PTH dan 25 OH-Vit D (atas indikasi)
- Densitas massa tulang (lumbal, pinggul dan lengan
bawah distal)
- Radiologi vertebra torakalis dan lumbal, pinggul dan
lengan bawah bila dicurigai ada fraktur
- Mammografi, sediaan apus serviks, biopsi
endometrium (untuk persiapan pemberian terapi
pengganti hormonal)

4. Penatalaksanaan a. Penyuluhan
b. Proteksi sendi, terutama stadium akut
c. Asupan kalsium yang adekuat, bila perlu berikan

713 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
suplementasi kalsium
d. Vitamin D, bila ada tanda-tanda defisiensi vitamin D
e. Hindari faktor resiko, misalnya glukokortikoid, anti
konvulsan, siklosporin A dan sebagainya
f. Analgetik atau obat anti inflamasi non steroid, untuk
mengatasi nyeri
g. Terapi pengganti hormonal biasanya diberikan
estrogen terkonjugasi 0,625-1,25 mg per hari
dikombinasi dengan progesterone 2,5-10 mg per hari.
Pada wanita paska menopause diberikan secara
kontinu, sedangkan pada wanita pra menopause
diberikan secara siklik.

h. Bifosfonat, sebagai pengganti estrogen atau untuk


pasien laki-laki
i. Fisioterapi, terapi okupasi, bila perlu dapat diberikan
ortosis.
5. Komplikasi Fraktur

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

714 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

DIABETES MELITUS

1. Definisi Suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai oleh


hiperglikemia akibat defek pada :
1. Kerja Insulin (resistensi insulin) di hati (peningkatan
produksi glukosa hepatic) dan perifer (otot dan lemak)
2. Sekresi insulin oleh sel beta pancreas
3. Atau kedua nya
Klasifikasi DM

1. DM Tipe 1 ( destruksi sel B, umumnya diikuti


defisiensi absolut)
2. DM Tipe 2 (bervariasi mulai dari yang predominan
resistensi insulin dengan defisiensi insulin relaif –
predominan defek sekretik dengan resistensi insulin)
3. Tipe Spesifik Lainnya:
- Defek genetic pada fungsi sel B
- Defek genetic pada kerja insulin
- Penyakit eksokrin pancreas
- Endokrinopati
- Diinduksi obat atau zat kimia
- Infeksi
- Bentuk tidak lazim dari immune mediated DM
- Sindrom genetic lain yang kadang berkaitan dengan
DM
4. DM Gestasional
2. Diagnosis Terdiri dari:
- Diagnosis DM
- Diagnosis komplikasi DM
- Diagnosis penyakit penyerta
- Pemantauan pengendalian DM
Anamnesis :
Keluhan khas (gejala klasik) DM
- Poliuri
- Polydipsia
- Polifagia
- Penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya

715 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
Keluhan tidak khas DM
- Lemah
- Kesemutan
- Gatal
- Mata kabur
- Disfungsi ereksi
- Pruritus vulva
Faktor resiko DM tipe 2
 Usia ≥ 45 tahun
 Usia lebih muda, terutama dengan IMT > 23 kg/m2,
disertai dengan faktor resiko:
- Kebiasaan tidak aktif
- Turunan pertama dari orang tua dengan DM
- Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi >
4000 g atau riwayat DM Gestasional
- Hipertensi ( TD ≥ 140/90 mmHg)
- Kolesterol HDL ≤ 35 mg/dl atau trigliserida ≥ 250
mg/dl
- Menderita Polycystic ovarial syndrome (PCOS) atau
keadaan klinis lainnya yang terkait dengan
resistensi insulin
- Riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau
glukosa darah puasa terganggu (GDPT)
- Riwayat penyakit kardiovaskular

Anamnesis komplikasi DM (lihat komplikasi)


Pemeriksaan fisik lengkap, termasuk:
- TB, BB, TD, lingkar pinggang
- Tanda neuropati
- Mata ( visus, lensa mata dan retina)
- Gigi dan mulut
- Keadaan kaki (termasuk rabaan nadi kaki), kulit
dan kuku
Kriteria Diagnosis DM
1. Gejala klasik DM + kadar glukosa darah sewaktu
(plasma vena) ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/l ) pada 2 jam
sesudah beban glukosa 75 gram pada TTGO
2. Gejala klasik DM + kadar glukosa darah puasa (plasma
vena) ≥ 126 mg/dl (7,0 mmol/l) atau
3. Kadar glukosa darah plasma ≥ 200 mg/dl (11,1
mmol/l) pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram
pada TTGO.
Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal
atau DM, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok TGT
atau GDPT tergantung hasil yang didapat.
TGT : glukosa darah plasma 2 jam sesudah beban 140-199
mg/dl (7,8-11,0 mmol/l)
GDPT : glukosa darah puasa antara 100-125 mg/dl (5,6-6,9
mmol/l)

Pemeriksaan Laboratorium:
 Kolesterol total, kolesterol LDL, Kolesterol HDL,
trigliserida
 HbA1C
 Albuminuria mikro

716 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
Pemeriksaan Penunjang lain:
 EKG
 Foto Thorak
 Funduskopi
3. Diagnosis - Hiperglikemia reaktif
Banding - Toleransi Glukosa Terganggu (TGT=IGT)
- Glukosa darah puasa terganggu (GDPT=IFG)
4. Pemeriksaan  Hb, leukosit, hitung jenis leukosit, LED
Penunjang  Glukosa darah puasa dan 2 jam sesudah makan
 Urinalisis rutin, proteinuria 24 jam, CCT ukur
 Kreatinin
 SGPT, albumin/globulin
 Kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, trigliserida
 HbA1C
 Albuminuria mikro
5. Penatalaksanaan Edukasi
Meliputi pemahaman tentang:
- Penyakit DM
- Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan
DM
- Penyulit DM
- Intervensi farmakologis dan non-farmakologis
- Hip
- oglikemia
- Masalah khusus yang dihadapi
- Cara mengembangkan sistem pendukung dan
mengajarkan keterampilan
- Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan.

Terapi Gizi Medis


Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan
komposisi :
- Karbohidrat 45-65%
- Protein 15-20%
- Lemak 20-25%
Jumlah kandungan kolesterol disarankan < 300 ng/hari.
Diusahakan lemak berasal dari sumber asam lemak tidak
jenuh (MUFA = Mono Unsaturated Fatty Acid) dan
membatasi PUFA (Poly Unsaturated Fatty Acid)dan asam
lemak jenuh. Jumlah kandungan serat ± 25 g/hari,
diutamakan sert larut.
Jumlah kalori basal per hari
 Laki-laki : 30 kal/kgbb BB idaman
 Perempuan : 25 kal/kgbb BB idaman
Penyesuaian (terhadap kalori basal/hari)
 Status Gizi
- BB gemuk dikurangi 20-30%
- BB kurang ditambah 20-3-%
 Umur > 40 tahun -5
 Stress metabolic (infeksi, operasi, dll) + (10 s/d 30%)
 Aktifitas
- Ringan + 20%
- Sedang + 30%
- Berat + 50%

717 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
 Hamil
- Trimester I. II + 300 kalori
- Trimester III + 500 kalori

Rumus BROCCA
BB idaman = (TB-100)-10%
Pria < 160 cm dan wanita < 150 cm, tidak dikurangi 10%
lagi
BB kurang : < 90% BB idaman
BB normal : 90-110% BB idaman
BB lebih : > 110 BB idaman

Latihan Jasmani
Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu selama
kurang lebih 30 menit

Intervesi Farmakologis
 Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue)
- Sulfonylurea
- Glinid
 Penambah sensitifitas terhadap insulin
- Metformin
- Tiazolidindion
 Penghambat glucosidase alfa
- Acarbose

Insulin
Indikasi
o Penurunan BB yang cepat
o Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
o Ketoasidosis diabetic
o Hiperglikemia Hiperosmolar non Ketotik
o Hiperglikemia dengan asidosis laktat
o Gagal dengan kombinasi OHO dosis hamper maksimal
o Stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA
stroke)
o Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional
yang tidak terkendali dengan perencanaan makan
o Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
o Kontraindikasi dana tau alergi terhadap OHO

Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan
dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap
sesuai dengan kadar glukosa darah. Kalau dengan OHO
tunggal sasaran kadar glukosa darah belum tercapai,
perlu kombinasi dua kelompok obat hipoglikemia oral
yang berbda mekanisme kerjanya.

Pengelolaan DM Tipe 2 Gemuk


Non Farmakologis
Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klini )

Sasaran tidak tercapai

718 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
Penekanan kembali tata laksana non-farmakologis
Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis)

Sasaran tidak tercapai


+ 1 macam OHO (Biguanid/penghambat glucosidase
alfa/glitazon
Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinin)

Sasaran tidak tercapai


Kombinasi 2 macam OHO, antara : Biguanid/Penghambat
glikosidase alfa/Glitazon
Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis)

Sasaran tidak tercapai


Kombinasi 3 macam OHO
Biguanid + penghambat glucosidase + glitazon:
Atau kombinasi OHO siang hari + insulin malam
Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis)

Sasaran tidak tercapai


Kombinasi 4 macam OHO
Biguanid + penghambat glucosidase + glitazon +
secretagogue atau
Terapi kombinasi OHO siang hari + insulin malam
Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis)

Sasaran tidak tercapai


Insulin atau terapi kombinasi siang hari + Insulin malam
Sasaran terapi kombinasi OHO + insulin tercapai:
Insulin
Bila sasaran tercapai : teruskan terapi terakhir

Pengelolaan DM Tipe 2 Tidak Gemuk


Non Farmakologis
Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klini )

Sasaran tidak tercapai


Non-farmakologis + Secretagogue
Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis)

Sasaran tidak tercapai


Kombinasi 2 macam OHO antara secretagogue +
penghambat glusidase/biguanid/glitazon
Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinin)

Sasaran tidak tercapai


Kombinasi 3 macam OHO, antara :secretagogue +
Biguanid/Penghambat glikosidase alfa/Glitazon atau
Terapi kombinasi OHO siang hari + insulin malam
Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis)

Sasaran tidak tercapai


Kombinasi 4 macam OHO
Secretagogue + Biguanid + penghambat glucosidase +
glitazon atau
Terapi kombinasi 4 OHO siang hari + insulin malam

719 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
Evaluasi 2-4 minggu (sesuai keadaan klinis)
Sasaran tidak tercapai
Insulin atau terapi kombinasi 4 OHO siang hari + Insulin
malam
Sasaran terapi kombinasi OHO + insulin tercapai:
Insulin
Bila sasaran tercapai : teruskan terapi terakhir

Penilaian hasil terapi


1. Pemeriksaan glukosa darah
2. Pemeriksaan HbA1C
3. Pemeriksaan Glukosa darah mandiri
4. Pemeriksaan Glukosa urin
5. Penentuan benda keton
6. Komplikasi A. Akut
- Ketoasidosis diabetic
- Hyperosmolar non ketotik
- Hipoglikemia

B. Kronik
 Makroangiopati
- Pembuluh coroner
- Vascular perifer
- Vascular otak
 Mikroangiopati
 Neuropati
 Gabungan
 Kardiopati : PJK, Kardiomiopati
 Rentan infeksi
 Kaki diabetic
 Disfungsi ereksi

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

720 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

KETOASIDOSIS DIABETIK (KAD)

1. Definisi Kondisi dekompensasi metabolic akibat defisiensi insulin


absolut atau relative dan merupakan komplikasi akut
diabetes mellitus yang serius. Gambaran klinis utama KAD
adalah hiperglikemia, ketosis dan asidosis metabolik.
Faktor Pencetus :
- Infeksi
- Infark Miokard Akut
- Pankreatitis Akut
- Penggunaan obat golongan steroid
- Penghentian atau pengurangan dosis insulin
2. Diagnosis Klinis ;
- Keluhan Poliuri, polidips
- Riwayat berhenti menyuntik insulin
- Demam/infeksi
- Muntah
- Nyeri perut
- Kesadaran: CM-Delirium_Koma
- Pernafasan cepat dan dalam (Kussmaul)
- Dehidrasi (turgor kulit, lidah dan bibir kering)
- Dapat disertai syock hipovolemik
Kriteria Diagnosis:

- Kadar glukosa : > 250 mg/dl


- PH : < 7,35
- HCO3 : rendah
- Anion Gap : tinggi
- Keton Serum : positif dana tau ketonuria
3. Diagnosis a. Ketosis Diabetik
Banding b. Hiperglikemia Hiperosmolar non ketotik/hyperglycemic
hyperosmolar state
c. Ensefalopati uremikum, asidosis uremikum
d. Minum alcohol, ketosis alkoholik
e. Ketosis hipoglikemia
f. Ketosi starvasi
g. Asidosis laktat
h. Asidosis hiperkloremik

721 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
i. Kelebihan salisilat
j. Drug-induced acidosis
k. Ensefalopati karena infeksi
l. Trauma kapitis
4. Pemeriksaan Pemeriksaan cito
Penunjang - Gula Darah
- Elektrolit
- Ureum, kreatinin
- Aseton darah
- Urine rutin
- Analisa gas darah
- EKG
Pemantauan
- Gula darah : tiap jam
- Na+, K+, Cl- : tiap 6 jam selama 24 jam. Selanjutnya
sesuai keadaan
- Analisa gas darah : bila Ph < 7 saat masuk, diperiksa
setiap 6 jam s/d Ph > 7,1, selanjutnya setiap harisampai
stabil
Pemeriksaan Lain (sesuai indikasi)
- Kultur darah
- Kultur urin
- Kultur Pus
5. Penatalaksanaan Akses IV 2 jalur, salah satunya dicabang dengan 3 way
1. Cairan :
 NaCl 0,9% diberikan ± 1-2 L pada 1 jam pertama,
lalu ± 1 L pada jam kedua, lalu ± 0,5 L pada jam
ketiga dan keempat, dan ± 0,25 L pada jam kelima
dan keenam, selanjutnya sesuai kebutuhan.
 Jumlah cairan yang diberikan dalam 15 jam
sekitar 5 liter
 Jika Na+> 155 mEq/L, ganti cairan dengan NaCl
0,45%

2. Insulin (Reguler insulin = RI)


 Pemberian awal intravena 10 U atau 0,15 U/kgBB
Infus insulin regular (kerja pendek) 0,1
U/kgBB/jam
 Tingkatkan dosis insulin 1 U setiap 1-2 jam bila
penurunan glukosa darah kurang dari 10%
 Pertahankan glukosa darah 140-180 mg/dl
 Bila kadar glukosa darah selalu < 100 mg/dl, ganti
infuse dengan dextrose 10%, untuk
mempertahankan kadar glukosa 140-180 mg/dl
 Bila pasien sudah dapat makan pertimbangkan
pemberian insulin subkutan
 Insulin infuse intravena jangan dulu dihentikan
pada saat insulin subkutan mulai diberikan, tetapi
lanjutkan insulin intravena selama 1-2 jam
 Bila sebelumnya pernah mendapat insulin,
kembalikan sesuai dosis insulin sebelumnya
 Bila belum pernah dapat insulin, berikan insulin
subkutan 0,6 U/kgBB/24 jam (50% insulin basal
+ 50% insulin prandial)

722 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
3. Kalium
 Kalium (K Cl) drip dimulai bersamaan dengan drip
RI dengan dosis 50 mEq/6 jam. Syarat : tidak ada
gagal ginjal. Tidak ditemukannya gelombang T
yang lancip dan tinggi pada EKG, dan jumlah
urine cukup adekuat.
 Bila kadar K+ pada pemeriksaan elektrolit kedua :

< 3,5 drip KCl 75 mEq/6 jam


3,0 – 4,5 drip KCl 50 mEq/6 jam
4,5 – 6,0 drip KCl 25 mEq/6 jam

>6,0 drip stop

 Bila sudah sadar, diberikan K+ oral selama


seminggu

4. Bicarbonate
Drip 100 mEq bila pH < 7,0 disertai KCl 26 mEq drip
50 mEq bila pH 7,0-7,1 disertai KCl 13 mEq drip
Juga diberikan pada asidosis laktat dan hiperkalemi
yang mengancam

5. Tatalaksana Umum
O2 bila PO2 < 8 mmHg
Antibiotic adekuat
Heparin : bila ada DIC atau hyperosmolar (> 380
mOsml)
Terapi disesuaikan dengan pemantauan klinis
- Tekanan darah, frekeunsi nadi, frekuensi
pernafasan, temperature setiap jam
- Kesadaran setiap jam
- Keadaan hidrasi (turgor, lidah) setiap jam
- Produksi urin setiap jam
- Cairan infus yang masuk setiap jam
- Dan pemantauan laboratorik (lihat pemeriksaan
penunjang)
6. Komplikasi - Syok hypovolemik
- Edema paru
- Hipertrigliseridemia
- Infark Miokard Akut
- Hipoglikemia
- Hypokalemia
- Hiperkloremia
- Edema otak
- Hipokalsemia
7. Prognosis Dubia ad malam. Tergantung pada usia, komorbid, adanya
infark miokard akut, sepsis, syok

Pangkalan Balai, Januari 2018

723 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si
Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

HIPOGLIKEMIA

1. Definisi Kadar glukosa darah < 70 mg/dl, atau kadar glukosa darah <
80 mg/dl dengan gejala klinis.
Hipoglikemia pada DM terjadi karena :
 Kelebihan obat/dosis obat: terutama insulin atau obat
hipoglikemik oral.
 Kebutuhan tubuh akan insulin yang relative menurun:
gagal ginjal kronik, pasca persalinan.
 Asupan makanan tidak adekuat: jumlah kalori atau
waktu makan tidak tepat.
 Kegiatan jasmani berlebihan
2. Diagnosis Gejala dan tanda klinis
 Stadium parasimpatik : lapar, mual, tekanan darah
turun
 Stadium gangguan otak ringan : lemah, lesu, sulit
bicara, kesulitan menghitung sementara
 Stadium simpatik : keringat dingin pada muka, bibir,
atau tangan gemetar.
 Stadium gangguan otak berat: tidak sadar, dengan
atau tanpa kejang.
Anamnesis

- Penggunaan preparat insulin atau obat hipoglikemik


oral: dosis terakhir, waktu pemakaian terakhir,
perubahan dosis.
- Waktu makan terakhir, jumlah asupan gizi.
- Riwayat jenis pengobatan dan dosis sebelumnya
- Lama menderita DM, komplikasi DM
- Penyakit penyerta: ginjal, hati, dll
- Penggunaan obat sistemik lainnya : penghambat
adrenergic beta, dll
Pemeriksaan Fisik

- Pucat, diaphoresis
- Tekanan darah
- Frekuensi denyut jantung
- Penurunan kesadaran
- Defisit neurologik fokal transien

724 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
Trias Whipple untuk hipoglikemia secara umum :

1. Gejala yang konsisten dengan hipoglikemia


2. Kadar glukosa plasma rendah
3. Gejala berkurang setelah kadar glukosa plasma
meningkat
3. Diagnosis Hipoglikemia Karena:
Banding a. Obat
 Sering : insulin, sulfonylurea, alcohol
 Kadang : kinin, pentamidine
 Jarang : salisilat, sulfonamid
b. Hiperinsulinisme edogen
 Insulinoma
 Kelainan sel b jenis lain
 Sekretagogue : sulfonylurea
 Autoimun
 Sekresi insulin ektopik
c. Penyakit kritis
 Gagal hati
 Gagal ginjal
 Gagal jantung
 Sepsis
 Starvasi dan inanisi
d. Defisiensi endokrin
 Kortisol, growth hormone
 Glucagon, epinephrine
e. Tumor non sel b
 Sarcoma
 Tumor adrenokortikal, hepatoma.
 Leukemia, limfoma, melanoma
f. Pasca Prandial
 Reaktif (setelah operasi gaster)
 Diinduksi alcohol
4. Pemeriksaan - Kadar Glukosa Darah
Penunjang - Tes Fungsi Ginjal
- Tes Fungsi Hati
- C-Peptide
5. Penatalaksanaan Stadium Permulaan (Sadar)
- Berikan gula murni 30 gr (2 sendok makan) atau
sirup/permen gula murni (bukan pemanis pengganti
gula atau gula diet/gula diabetes) dan makanan yang
mengandung karbohidrat
- Stop obat hipoglikemik sementara
- Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam
- Pertahankan GD sekitar 200 mg/dl (bila sebelumnya
tidak sadar)
Cari Penyebab:
Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar + curiga
hipoglikemia):
1. Diberikan larutan dekstrose 40% sebanyak 2 sflakon
(= 50 ml) bolus intravena
2. Diberikan cairan dekstrose 10% per infus, 6 jam per
kolf
3. Periksa GD sewaktu (GDS), kalau memungkinkan

725 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
dengan glucometer
- Bila GDS < 50 mg/dl + bolus dekstrose 40% 50 ml
IV
- Bila GDS < 100 mg/dl + bolus dekstrose 40% 25
ml IV
4. Periksa GDS setiap 1 jam setelah pemberian dekstrose
40%
- Bila GDS < 50 mg/dl + dekstrose 40% 50 ml IV
- Bila GDS < 100 mg/dl + bolus dekstrose 40% 25
ml IV
- Bila GDS < 100-200 mg/dl + bolus dekstrose 40%
ml IV
- Bila GDS 200 mg/dl, pertimbangkan menurunkan
kecepatan drip dekstrose 40%
5. Bila GDS > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut
pemantauan GDS setiap 2 jam, dengan protocol sesuai
diatas. Bila GDS 200 mg/dl pertimbangkan mengganti
infus dengan dekstrose 5% atau NaCl 0,9%
6. Bila GDS > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut
pemantauan GDS setiap 4 jam, dengan protocol sesuai
diatas. Bila GDS > 200 mg/dl pertimbangkan
mengganti infus dengan dekstrose 5% atau NaCl 0,9
7. Selanjutnya buat kurva BSS
8. Bila hipoglikemia belum teratasi, dipertimbangkan
pemberian antagonis insulin, seperti: adrenalin,
kortison dosis tinggi, atau glucagon 0,5-1 mg IV/IM
(bila penyebab insulin). Bila pasien belum sadar, GDS
sekitar 200 mg/dl hidrokortison 100 mg per 4 jam
selama 12 jam atau deksametason 10 mg IV bolus
dilanjutkan 2 mg tiap 6 jam dan mannitol 1,5-2
g/kgbb IV setiap 6-8 jam. Dicari penyebab lain
kesadaran menurun.
6. Komplikasi Mortalitas

7. Prognosis Dubia

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

726 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

STRUMA NODUSA NON TOKSIK

1. Definisi Pembesaran keleenjer tyroid yang teraba sebagai suatu nodul


tanpa disertai tanda-tanda hipertiroidisme.

Berdasarkan jumlah nodul, dibagi :


 Struma Mononodusa non toksik
 Struma Multi Nodusa non toksik

Berdasarkan kemampuan menangkap iodium radioaktif:


 Nodul dingin
 Nodul hangat
 Nodul panas

Berdasarkan konsistennya:
 Nodul lunak
 Nodul kistik
 Nodul keras
 Nodul sangat keras
2. Diagnosis Anamnesis Umum:
- Sejak kapan benjolan timbul
- Rasa nyeri spontan atau tidak spontan, berpindah
atau tetap.
- Cara membesarnya : cepat atau lambat
- Pada awalnya berupa satu benjolan membesar menjadi
beberapa benjolan atau hanya pembesaran leher saja
- Riwayat keluarga
- Riwayat penyinaran daerah leher pada waktu kecil /
muda
- Perubahan suara
- Gangguan menelan, sesak nafas
- Penurunan berat badan
- Keluhan tirotoksikosis
Pemeriksaan Fisik
Umum
Local

- Nodus tunggal atau majemuk atau difus


- Nyeri tekan

727 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
- Konsistensi
- Permukaan
- Perlekatan pada jaringan sekitarnya
- Pendesakan atau pendorongan trakea
- Pembesaran kelenjer getah bening regional
- Pamberton’s Sign
3. Diagnosis Struma Nodosa pada :
Banding Peningkatan kebutuhan terhadap tiroksin pada masa
pertumbuhan, pubertas, laktasi, menstruasi, kehamilan,
menopause infeksi, stress lain
- Tiroiditis akut
- Tiroiditis subakut
- Tiroiditis kronis : limfositik (Hashimoto), fibrous-invasif
(Riedel)
- Simple goiter
- Struma endemic
- Kista tiroid, kista degenerative
- Adenoma
- Karsinoma tiroid primer, metastatic
- Limfoma
4. Pemeriksaan - Lab : T4 atau fT4, T3 dan TSH
Penunjang - Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH) nodul tiroid
 Bila hasil lab : non-toksik
 Bila hasil (awal) toksik, tetapi hasil scan : cold
nodule, syarat sudah menjadi eutiroid.
- USG Tiroid
 Pemantauan kasus nodul yang tidak dioperasi
 Pemandu pada BAJAH
- Sidik Tiroid
 Bila klinis : ganas, tetapi hasil sitologi dengan BAJAH
(2x) jinak
 Hasil sitologi dengan BAJAH : curiga ganas
- Petanda keganasan tiroid (bila ada riwayat keluarga
dengan karsinoma tiroid, diperiksakan kalsitonin)
- Pemeriksaan antiglobulin bila TSHs meningkat, curiga
penyakit Hashimoto.
5. Penatalaksanaan Sesuai hasil BAJAH maka terapi:
1. Ganas : operasi tiroidektomi near-total
2. Curiga
- Operasi dengan lebih dahulu melakukan potong
beku (VC)
Bila hasil = gans, operasi tiroidektomi near-total
Bila hasil = Jinak, operasi lobektomi atau
tiroidektomi near-total
- Altermatif : sidik tiroid.
Bila hasil = cold nodule, operasi
3. Tak cukup/sediaan tak representative
- Jika nodul solid (saat BAJAH): ulang BAJAH
Bila klinis curiga gans tinggi, operasi labektomi
4. Jinak
Terapi dengan levo-tiroksin (LT4) dosis subtoksis
- Dosis dititrasi mulai 2 x 25 ug (3 hari)
- Dilanjutkan 3 x 25 ug (3-4 hari)
Bila tidak ada efek samping atau tanda toksis dosis

728 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
naik menjadi 2 x 100 ug sampai 4-6 minggu
kemudian evaluasi TSH (target 0,1-0,3 ulU/L
Supresi TSH dipertahankan sampai 6 bulan
Evaluasi dengan USG : apakah nodul berhasil
mengecil > 50% dari volume awal

Bila nodul mengecil atau tetap:

- L-Tiroksi di stop dan di observasi


Bila setelah itu struma membesar lagi maka L-
tiroksin dimulai lagi (target TSH 0,1-0,3 ulU/L
Bila setelah L-tiroksi distop, struma tidak berubah,
observasi saja
- Bila nodul membesar dalam 6 bulan atau saat terapi
supresi, obat dihentikan dan operasi tiroidektomi
dan dilakukan pemeriksaan histopatologi hasil PA
Jinak : terapi dengan L-tiroksin : target TSH 0,5-3,0
ulU/L
Ganas terapi dengan L-tiroksin:
 Individu dengan resiko ganas tinggi target
TSH 0,01-0,05 ulU/L
 Individu dengan resiko ganas rendah target
TSH 0,05-0,01 ulU/L
6. Komplikasi Umumnya tidak ada, kecuali ada infeksi seperti pada
tiroiditis akut/subakut

7. Prognosis Tergantung jenis nodul, tipe histopatologis

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

729 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

DISLIPIDEMIA

1. Definisi Kelainan metabolisme lipid yang ditandai oleh kelainan


(peningkatan atau penurunan) fraksi lipid dalam plasma.
Kelainan fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar
kolesterol LDL. Dalam proses terjadinya aterosklerosis
ketiganya mempunyai peran penting dan berkaitan, sehingga
dikenal sebagai triad lipid.
Secara klinis, diklasifikasikan menjadi:
- Hiperkolesterolemia
- Hipertrigliserida
- Campuran Hiperkolesterolemia dan Hipertrigliserida
2. Diagnosis Klasifikasi kadar kolesterol

Kolesterol LDL Klasifikasi


< 100 mg/dl optimal
100-129 mg/dl hampir optimal
130-159 mg/dl borderline tinggi
160-189 mg/dl tinggi
≥ 190 mg/dl sangat tinggi

Kolesterol Total
< 200 mg/dl idaman
200-239 mg/dl borderline tinggi
≥ 240 tinggi

Kolesterol HDL
< 40 mg/dl rendah
≥ 50 mg/dl tinggi
Untuk mengevaluasi resiko penyakit jantung coroner (PJK)
diperhatikan faktor-faktor resiko lainnya.
 Faktor resiko positif
 Merokok
 Umur (pria ≥ 45 tahun, wanita ≥ 55 tahun
 Kolesterol HDL rendah
 Hipertensi (TD > 140/90 atau dalam terapi anti
hipertensi
 Faktor resiko negatif
 Kolesterol HDL tinggi: mengurangi 1 faktor
resiko dari perhitungan total.
ATP III menggunakan Framingham Risk Score (FRS) untuk

730 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
menghitung besarnya resiko PJK pada pasien dengan ≥ 2
faktor resiko, meliputi : umur, kadar kolesterol total
kolesterol HDL, kebiasaan merokok dan hipertensi.
Penjumlahan skor pada FRS akan menghasilkan resiko PJK
dalam 10 tahun.

Ekuivalen resiko PJK mengandung resiko kejadian coroner


mayor yang sebanding dengan kejadian PJK yakni > 20
dalam 10 tahun, terdiri dari :
 Bentuk klinis lain dari aterosklerosis: penyakit arteri
perifer, aneurisma aorta abdominalis, penyakit arteri
karotis yang simptomatis
 Diabetes
 Faktor resiko multiple yang mempunyai resiko PJK
dalam 10 tahun > 20%
Perningkatan kadar trigliserida juga merupakan faktor resiko
independent untuk terjadinya PJK. Fakor yang
mempengaruhi tingginya trigliserida:
- Obesitas, berat badan lebih
- Inaktif fisik
- Merokok
- Asupan alcohol berlebih
- Diet tinggi karbohidrat ( >60% asupan energi)
- Penyakit DM tipe 2, GGK, SN
- Obat : kortikosteroid. Estrogen, retinoid, penghambat
adrenergic-beta dosis tinggi
- Kelainan genetic atau riwayat keluarga
Klasifikasi derajat hipertrigliseridemia
- Normal : < 150 mg/dl
- Borderline-tinggi : 150-199 mg/dl
- Tinggi : 200-499 mg/dl
- Sangat tinggi : > 500 mg/dl
3. Diagnosis Hiperkolesterolemia sekunder, karena
Banding - Hipotiroidisme
- Penyakit hati obstruksi
- Sindroma nefrotik
- Anoreksia nervosa
- Porfiria intermiten akut
- Obat : progestin, siklosporin, tiazid
Hipertrigliseridemia sekunder karena:
- Obesitas
- DM
- GGK
- Lipodistrufi
- Glikogen storage desease
- Alcohol
- Bedah by pass ileal
- Stress
- Sepsis
- Kehamilan
- Obat: estrogen, isoretinoid, penghambat beta,
glukokortikoid, resin pengikat bile acid, tiazid
- Hepatitis akut
- Lupus eritematosus sistemik
- Gammopati monoklonal : myeloma multiple, limfoma

731 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
- AIDS: inhibitor protease
HDL rendah sekunder, karena:
- Malnutrisi
- Obesitas
- Merokok
- Penghambat beta
- Steroid anabolik
4. Pemeriksaan Skrining dianjurkan pada semua pasien berusia > 20 tahun
Penunjang setia[ 5 tahun sekali
- Kadar kolesterol total
- Kadar kolesterol LDL
- Kadar kolsterol HDL
- Kadar trigliserida
- Kadar glukosa darah
- Tes fungsi hati
- Urine lengkap
- Tes fungsi ginjal
- TSH
- EKG
5. Penatalaksanaan Untuk hiperkolesterolemia
Penatalaksaan non farmakologis atau perubahan gaya hidup

 Diet
 Lemak jenuh <7% kalori total
 PUFA hingga 10% Kalori total
 MUFA hingga 10% kalori total
 Lemak total 25-35% kalori total
 Karbohidrat 50-60% kalori total
 Protein hingga 15% kalori total
 Serat 20-30% g/hari
 Kolestero < 20 mg/dl/hari
 Latihan jasmani
 Penurunan BB bagi yang gemuk
 Menghentikan kebiasaan merokok, minuman alcohol
6. Komplikasi - Aterosklerosis
- Penyakit jantung coroner
- Stroke pankreatitis akut
7. Prognosis Dubia ad bonam

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

732 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

TIROTOKSIKOSIS

1. Definisi Suatu keadaan dimana didapatkan kelebihan hormone tiroid.


Berhbungan dengan suatu kompleks fisioogis dan biokimiawi
yang ditemukan bila suatu jaringan memberikan hormone
tiroid berlebihan.
Tirotoksikosis dibagi dalam 2 kategori:
- Kelainan yang berhubungan dengan hipertiroidisme
- Kelainan yang tidak berhubungan dengan hipertiroidisme

Hipertiroidisme
- Tirotoksikosis sebagai akibat dari produksi tiroid
- Akibat dari fungsi tiroid yang berlebihan
Etiologi tersering dari tirotoksikosis ialah hipertiroidisme
karena penyakit Graves, struma multinodosa toksik
(Plummer dan adenoma toksik). Penyebab lain ialah tiroiditis,
penyakit tropoblastik, pemakaian berlebihan yodium, obat
hormone tiroid dll.

Krisis tiroid
Keadaan klinis hipertiroidisme yang paling berat dan
mengancam jiwa. Umumnya timbul pada pasien dengan
dasar penyakit Graves atau struma multinodular toksik dan
berhubungan dengan faktor resiko :
- Infeksi
- Operasi
- Trauma
- Zat kontras beriodium
- Hipoglikemia
- Partus
- Stress emosi
- Penghentian obat anti-tiroid
- Terapi I131
- Ketoasidosis diabetikum
- Tromboemboli paru
- CVD/ Stroke
- Palpasi tiroid terlalu kuat

Gejala dan tanda tirotoksikosis


- Hiperaktivitas
- Palpitasi
- Berat badan turun
2. Diagnosis - Nafsu makan meningkat
- Tidak tahan panas, banyak keringat

733 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
- Mudah lelah
- BAB sering
- Oligomenore/ amenore dan libido turun
- Takikardia
- Fibrilasi atrial
- Tremor halus
- Reflex meningkat
- Kulit hangat dan basah
- Rambut rontok
- Bruit
3. Diagnosis Hipertiroidisme primer
Banding - Penyakit Graves
- Struma multinodosa toksik
- Adenoma toksik
- Metastasis karsinoma tiroid fungsional
- Struma ovarii
- Mutasi reseptor TSH
- Obat: kelebihan iodium (fenomena Jod Basedow)

Tirotoksikosis tanpa hipertiroidisme


- Tiroiditis subakut
- Tiroiditis silent
- Destruksi tiroid karena: amiodaron, radiasi, infark
adenoma
- Asupan hormone tiroid berlebihan (tirotoksikosis
factitia)

Hipertiroidisme sekunder
- Adenoma hipofisis yang mensekresi TSH
- Sindrom resistensi hormone tiroid
- Tumor yang mensekresi HCG
- Tirotoksikosis gestational
4. Pemeriksaan Laboratorium
Penunjang  TSHs
 T4 atau FT4
 T3 atau FT3
 TSH Rab
 Kadar leukosit (bila timbul infeksi pada awal pemakaian
obat antitiroid)
 Sidik tiroid/ tiroid scan: terutama membedakan
penyakit plummer dari penyakit Graves dengan
komponen nodosa

EKG
Foto Thoraks

5. Penatalaksanaan Tatalaksana penyakit Graves :


Obat Antitiroid
- PTU dosis awal 300-600 mg/hari, dosis maksimal 2.000
mg/hari
- Metimazol dosis awal 20-30 mg/hari

Indikasi
- Mendapatkan remisi yang menetap atau
memperpanjang remisi pada pasien muda dengan

734 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
struma ringan-sedang dan tirotoksikosis
- Untuk mengendalikan tirotoksikosis pada fase sebelum
pengobatan atau sesudah pengobatan yodium radioaktif
- Persiapan tiroidektomi
- Pasien hamil dan lanjut usia
- Krisis tiroid
Penyekat adrenergik beta pada awal terapi, sementara
menunggu pasien menjadi eutiroid setelah 6-12 minggu
pemberian antitiroid: propanolol dosis 40-200 mg dalam
4 dosis

Pada awal pengobatan, pasien kontrol setelah 4-6 minggu.


Setelah eutiroid, pemantauan setiap 3-6 bulan sekali,
memantau gejala dan tanda klinis, serta lab FT4/ T4/ T3 dan
TSHs.
Setelah tercapai eutiroid, obat antitiroid dikurangi dosisnya
dan dipertahankan dosis terkecil yang masih memberikan
keadaan eutiroid selama 12-24 bulan. Kemudian pengobatan
dihentikan dan dinilai apakah terjadi remisi. Dikatakan
remisi apabila setelah 1 tahun obat antitiroid dihentikan,
pasien masih dalam keadaan eutiroid, walaupun kemudian
hari dapat tetap eutiroid atau terjadi relaps.

Tindakan bedah
Indikasi:
- Pasien usia muda dengan struma besar dan tidak
respons dengan antitiroid
- Wanita hamil trimester kedua yang memerlukan obat
dosis tinggi
- Alergi terhadap obat antitiroid, dan tidak dapat
menerima yodium radioaktif
- Adenoma toksik, struma multinodusa toksik
- Graves yangb berhubungan dengan satu atau lebih
nodul
Radioablasi
Indikasi:
- Pasien berusia ≥ 35 tahun
- Hipertiroidisme yang kambuh setelah dioperasi
- Gagal mencapai remisi setelah pemberian obat
antitiroid
- Tidak mampu atau tidak mau terapi obat antitiroid
- Adenoma toksik, struma multinodusa toksik

Tatalaksana krisis tiroid


(terapi segera mulai bila dicurigai krisis tiroid)
1. Perawatan suportif
- Kompres dingin, antipiretik (asetaminofen)
- Memperbaiki gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit: infus dekstrose 5% dan NaCl 0,9%
- Mengatasi gagal jantung: O2, diuretic dan digitalis

2. Antagonis aktivitas hormone tiroid


- Blokade produksi hormone tiroid
Propiltiourasil (PTU) dosis 300 mg tiap 4-6 jam PO.
Alternatif metimazol 20-30 mg tiap 4-6 jam PO pada
keadaan sangat berat: dapat per NGT, PTU 600-1000

735 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
mg atau metimazol 60-100 mg
- Blockade ekskresi hormon tiroid
Solutio Lugol (saturated solution of potassium iodida)
8 tetes tiap 6 jam
- Beta bloker
Propanolol 60 mg tiap 6 jam PO, dosis disesuaikan
respons (target: frekuensi jantung < 90x/ menit)
- Glukokortikoid
Hidrokortison 100-500 mg IV tiap 12 jam
- Bila refrakter terhadap terapi di atas: plasmaferesis,
dialysis peritoneal
3. Pengobatan terhadap faktor presipitasi antibiotik, dll
6. Komplikasi Penyakit Graves: penyakit jantung hipertiroid, oftalmopati
Graves, dermopati Graves, infeksi karena agranulositosis
pada pengobatan dengan obat antitiroid
Krisis tiroid: mortalitas

7. Prognosis Dubia ad bonam


Mortalitas krisis tiroid dengan pengobatan adekuat 10-15%

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

736 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN PENYAKIT DALAM
RSUD BANYUASIN

KISTA TIROID

1. Definisi Nodul kistik pada jaringan tiroid merupakan 10-25% dari


seluruh nodul tiroid. Insidens keganasan pada nodul kistik
kurang dibandingkan nodul solid. Pada nodul kistik
kompleks masih mungkin merupakan suatu keganasan.
Sebagian nodul kistik mempunyai bagian yang solid.

2. Diagnosis Seperti pada struma nodosa non toksik:


Anamnese Umum
 Sejak kapan benjolan timbul
 Rasa nyeri spontan atau tidak spontan, berpindah
atau tetap
 Cara membesarkannya: cepat atau lambat
 Pada awalnya berupa satu benjolan membesar menjadi
beberapa benjolan atau hanya pembesaran leher saja
 Riwayat keluarga
 Riwayat penyinaran daerah leher pada waktu kecil/
muda
 Perubahan suara
 Gangguan menelan, sesak nafas
 Penurunan berat badan
 Keluhan tirotoksikosis

Pemeriksaan Fisik
 Umum
 Lokal:
o Nodus tunggal atau majemuk atau difus
o Nyeri tekan
o Konsistensi
o Permukaan
o Perlekatan pada jaringan sekitarnya
o Pendesakan atau pendorongan trakea
o Pembesaran kelenjar getah bening regional
o Pemberton’s sign

Penilaian resiko keganasan


Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mengarahkan
diagnose penyakit tiroid jinak tetapi tidak sepenuhnya
menyingkirkan kemungkinan kanker tiroid.
 Riwayat keluarga dengan struma nodosa atau difusa
jinak
 Riwayat keluarga dengan tiroiditis Hashimoto atau
penyakit tiroid autoimun
 Gejala hipo atau hipertiroidisme
 Nyeri berhubungan dengan nodul

737 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
 Nodul lunak mudah digerakkan
 Multinodul tanpa nodul yang dominan dan konsistensi
sama
Anamneses dan pemeriksaan fisik yang meningkatkan
kecurigaan ke arah keganasan tiroid
 Umur < 20 tahun dan > 70 tahun
 Gender laki-laki
 Nodul disertai disfagia, serak atau obstruksi jalan
nafas
 Pertumbuhan nodul cepat (beberapa minggu ke bulan)
 Riwayat radiasi daerah leher waktu usia anak-anak
atau dewasa (juga meningkatkan insiden penyakit
nodul tiroid jinak)
 Riwayat keluarga kanker tiroid meduler
 Nodul yang tunggal, berbatas tegas, keras, ireguler dan
sulit digerakkan
 Paralisis pita suara
 Temuan limfadenopati servikal
 Metastasis jauh (paru-paru, dll)

Langkah diagnostik I : TSHs, FT4


Langkah diagnostik II : fungsi aspirasi kista dan BAJAH
bagian solid dari kista tiroid

3. Diagnosis  Kista degenerasi


Banding  Karsinoma tiroid
4. Pemeriksaan  USG tiroid
Penunjang  Dapat membedakan bagian padat dan cair
 Dapat untuk memandu BAJAH menemukan bagian
solid
 Gambaran USG kista = kurang lebih bulat, seluruhnya
hipoekoik sonolusen, dinding tipis
 Sitologi cairan kista dengan prosedur sitospin
 Biopsy aspirasi jarum halus (BAJAH) pada bagian yang
solid
5. Penatalaksanaan Fungsi aspirasi seluruh cairan kista
Bila kista regresi lakukan observasi
Bila kista rekurens, klinis kecurigaan ganas rendah lakukan
punksi aspirasi dan observasi
Bila kista rekurens, klinis kecurigaan ganas tinggi lakukan
operasi lobektomi

6. Komplikasi Tidak ada

7. Prognosis Dubia ad bonam. Tergantung tipe dan jenis histopatologinya

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si

738 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

SMF KESEHATAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

RSUD BANYUASIN

TAHUN 2018

739 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
RSUD BANYUASIN

GESTOSIS

1. Definisi EPH Gestosis, Hipertensi dalam kehamilan, Pre-


eklampsia, Eklampsia.

Pre-eklampsia ialah timbulnya hipertensi disertai


proteinuria dan edema akibat kehamilan, setelah umur
kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan.
Gejala ini dapat timbul sebelum 20 minggu bila terjadi
penyakit trofoblastik.

Eklampsia adalah kelainan akut pada wanita hamil, dalam


persalinan atau nifas yang ditandai dengan timbulnya
kejang atau koma. Sebelumnya wanita tadi menunjukkan
gejala-gejala pre-eklampsia. (Kejang-kejang timbul bukaN
akibat kelainan neurologik).

Hipertensi kronik ialah adanya hipertensi yang menetap


oleh sebab apapun, yang ditemukan pada umur kehamilan
kurang dari 20 minggu, atau hipertensi yang menetap
setelah 6 minggu pasca persalinan.

Superimposed pre-eklampsia/Eklampsia ialah timbulnya


pre-eklampsia pada hipertensi kronik.

“Transient hypertension” ialah timbulnya hipertensi dalam


kehamilan pada wanita yang tekanan darahnya normal dan
tidak mempunyai gejala-gejala hipertensi kronik atau pre-
eklampsia/eklampsia. Gejala ini akan hilang setelah 10
hari pasca persalinan.
2. Kriteria PRE-EKLAMPSIA RINGAN
Diagnosis Diagnosis pre-eklampsia ringan didasarkan atas timbulnya
hipertensi disertai proteinuria dan/atau edema setelah
kehamilan 20 minggu

PRE-EKLAMPSIA BERAT
Bila didapatkan satu atau lebih gejala dibawah ini pre-
eklampsia digolongkan berat.
1. Tekanan darah sistolik lebih/sama dengan 160 mmHg
atau tekanan darah diastolik lebih/sama dengan 110
mmHg. Tekanan darah ini tidak menurun meskipun
ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan sudah
menjalani tirah baring.
2. Proteinuria lebih 5g / 24 jam dalam pemeriksaan
kualitatif.
3. Oliguria, yaitu produksi urine kurang dari 500 cc / 24
jam yang disertai kenaikan kadar kreatinin plasma.
4. Gangguan virus dan serebral.
5. Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas
abdomen.
6. Edema paru-paru dan sianosis.
7. Pertumbuhan janin intra uterin yang terlampir.

740 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
8. Adanya “the HELLP Syndrome” (H:Hemolysis; ELL:
Elevated enzymes; P: low platelet count).
3. Diagnosis Hipertensi menahun, kelainan ginjal dan epilesi
Banding
4. Pemeriksaan a. Preeklamsi ringan : Urine lengkap
Penunjang b. Preeklamsi berat/eklamsia
Pemeriksaan Laboratorium :
- Hemoglobin, Hematokrit
- Urine lengkap
- Asam urat darah
- Trombosit
- Fungsi hati
- Fungsi ginjal
5. Penatalaksanaan Preeklamsia ringan : istirahat dan sedative.
Preeklamsia berat / Eklamsia : antihipertensi dan anti
kejang.
PREEKLAMSIA RINGAN
a. Rawat Jalan (Ambulatoir)
1. Banyak istirahat (berbaring/tidur miring)
2. Diet : Cukup protein, rendah karbohidrat, lemak
dan garam
3. Sedativa ringan (kalau tidak bisa istirahat) tablet
Phenobarbital 3 x 30 mg per oral, selama
b. Pada preeklamsia ringan yang dirawat
1. Pada kehamilan preterm (<37 minggu)
a. Bila tekanan darah mencapai normotensif
selama perawatan, persalinannya ditunggu
sampai aterm
b. Bila tekanan darah turun, tetapi belum
mencapai normotensif selama perawatan, maka
kehamilannya > 37 minggu
2. Pada kehamilan aterm (>37 minggu)
Persalinan ditunggu spontan atau dipertimbangkan
untuk melakukan induksi persalinan pada taksiran
tanggal persalinan.
3. Cara persalinan
Persalinan dapat dilakukan secara spontan, bila
perlu memperpendek kala II dengan bantuan
tindakan bedah obstetri.

PREEKLAMSIA BERAT
Rawat segera, tentukan jenis perawatan / tindakan
A. Aktif berarti kehamilan segera diakhiri / diterminasi
bersamaan dengan pemberian pengobatan medisinal.
B. Konservatif berarti kehamilan tetap dipertahankan
bersamaan dengan pemberian pengobatan medisinal.

A. Perawatan Aktif
a. Indikasi
Indikasiperawatan aktif ialah bila didapatkan satu /
lebih keadaan dibawah ini :
I. Ibu
1. Kehamilan > 37 minggu
2. Adanya tanda-tanda / gejala impending
eklamsia
3. Kegagalan terapi pada perawatan konservatif
Dalam waktu atau setelah 6 jam sejak
dimulainya pengobatan medisinal terjadi

741 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
kenaikan tekanan darah setelah 24 jam sejak
dimulainya perawatan medisinal, gejala-
gejala status quo (tidak ada perbaikan).
II. Janin
1. Adanya tanda-tanda fetal distress
2. Adanya tanda-tanda IUGR
III.Laboratorik
Adanya HELLP syndrome

b. Pengobatan Medicinal
1. Segera masuk rumah sakit
2. Tirah baring miring ke satu sisi (kiri)
3. Infus dekstrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi
dengan larutan ringer lactate 500 cc (60-125
cc/jam)
4. Antasida
5. Diet : cukp protein, rendah karbohidrat, lemak
dan garam
6. Pemberian obat anti kejang : mgSO4

c. Pengobatan Obstretrik
Cara terminasi kehamilan :
Belum inpartu :
1. Induksi persalinan :
Amniotomi + oksitosin drip dengan syarat skor
bishop > 5
2. Seksio cesaria bila :
1. Syarat oksitosin tidak dipenuhi atau adanya
kontra indikasi oksitosin drip.
2. 12 jam sejak dimulainya oksitosin drip belum
masuk fase aktif.
Pada primigravida lebih diarahkan untuk
dilakukan terminasi dengan Seksio Cesaria.
Sdah Inpartu :
Kala I :
Fase laten : Sektio Cesaria
Fase aktif :
1. Amniotomi
2. Bila 6 jam setelah amniotomi belum terjadi
pembukaan lengkap, dilakukan seksio cesaria.
Kala II :
Pada persalinan pervaginam, maka kala II
diselesaikan dengan partus buatan. Amniotomi dan
oksitosin drip dilakukan sekurang-kurangnya 30
menit setelah pemberian pengobatan medisinal.

B. Pengelolaan Konservatif
a. Indikasi
Kehamilan preterm (<37 minggu) tanpa disertai
tanda-tanda impending eklamsia dengan keadaan
janin baik
b. Pengobatan medisinal
Sama dengan perawatan medisinal pada
pengelolaan secara aktif. Hanya loading dosis
MgSO4 tidak diberikan IV cukup IM saja
c. Pengobatan obstetrik
1. Selama perawatan konservatif, observasi dan
evaluasi sama seperti perawatan aktif hanya
disini tidak ada terminasi
2. Sulfas magnesikus dihentikan bila ibu sudah
mencapai tanda-tanda preeklamsia ringan,

742 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam
3. Bila setelah 24 jam tidak ada perbaikan maka
keadaan ini dianggap sebagai kegagalan
pengobatan medisinal dan harus diterminasi
6. Perawatan 1. Obat anti kejang
MgSO4 :
a. Loading dose
- 4 g MgSO4 40% dalam larutan 10 cc intravena
selama 4 menit
- Disusul 8 g.I.m MgSO4 40% dalam larutan 25 cc
diberikan pada bokong kiri dan kanan masing-
masing 4 gr
b. Maintenance dose
- Tiap 6 jam diberikan lagi 4 g.I.m MgSO4
c. Dosis tambahan
-
d.
2.

7. Prognosis

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
RSUD BANYUASIN

1. Definisi

2. Diagnosis

3. Diagnosis
Banding
4. Pemeriksaan
Penunjang
5. Penatalaksanaan

6. Komplikasi

7. Prognosis

743 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
RSUD BANYUASIN

8. Definisi

9. Diagnosis

10. Diagnosis
Banding
11. Pemeriksaan
Penunjang
12. Penatalaksan
aan
13. Komplikasi

14. Prognosis

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)


SMF KESEHATAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
RSUD BANYUASIN

15. Definisi

744 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
16. Diagnosis

17. Diagnosis
Banding
18. Pemeriksaan
Penunjang
19. Penatalaksan
aan
20. Komplikasi

21. Prognosis

Pangkalan Balai, Januari 2018

dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si


Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

SMF KESEHATAN TELINGA HATI TENGGOROKAN

KEPALA DAN LEHER

745 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
PANDUAN PRAKTEK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN TELINGA HATI TENGGOROKAN
KEPALA DAN LEHER
RSUD BANYUASIN

Polip Hidung

1. Definisi

2. Diagnosis

3. Diagnosis
Banding
4. Pemeriksaan
Penunjang
5. Penatalaksanaan

6. Komplikasi

7. Prognosis

Pangkalan Balai, Januari 2018

746 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s
dr. Hj. Emi Lidia Arlini, M.Si
Pembina/IV.a
NIP. 19730313 200604 2 009

747 | P a n d u a n P r a k ti k K l i n i s

Anda mungkin juga menyukai