Anda di halaman 1dari 2

Nama : DESI ARTIKA SARI

NIM : 200201035
PRODI: D3 KEPERAWATAN
DOSEN: Dr. Tuti Andriani,S.Ag,.M.pd
TUGAS ke-3
MENGANALISIS BERBAGAI BENTUK PEKERJAAN YANG DILAKUKAN MANUSIA DENGAN KONSEP SIKAP
KERJA PROFESSIONAL MENURUT AJARAN ISLAM

Profesionalisme kerja dalam perspektif isalam

Bapak Yulfi Alfikri Noer,S.IP,M.AP

Profesionalisme :

kerja merupakan salah satu dari ajaran-ajaran Islam yang telah dicontohkan oleh Rasulullah. Istilah
professional secara umum dapat diartikan sebagai bentuk melakukan sebuah pekerjaan secara total dan
menurut aturan-aturan yang berlaku. Professional dalam kerja merupakan hal yang sangat dituntut
dalam upaya membawa sebuah lembaga atau organisasi baik negeri maupun swasta mencapai tujuan
yang telah digariskan. Dalam Islam salah satu bentuk professional kerja yang dicontohkan oleh
Rasulullah pada saat perang Uhud. Kemenangan pada awalnya menjadi milik kaum muslimin. Karena
harta, kondisi semula menjadi terbalik, kaum musyrikin berhasil mengepung barisan kaum muslimin.
Peristiwa ini merupakan sebuah pelajaran dan pengalaman yang sangat pahit bagi umat Islam karena
mereka melalaikan amanah yang diberikan Rasulullah dan tidak professional dalam bekerja akibat
terpengaruh godaan harta.

Berdasarkan kisah perang Uhud terlihat bahwa dalam melaksanakan kerja yang telah ditetapkan dan
digariskan oleh Rasullulah sebagai pimpinan dalam perang Uhud dilaksanakan secara tidak professional
oleh umat muslim yang telah diperintahkan dan diarahkan oleh Rasulullah. Tidak professionalnya kaum
muslim saat itu diakibatkan oleh sesuatu yang bersifat duniawi yaitu “godaan harta”. Situasi yang
dialami umat muslim pada saat itu, terjadi juga pada saat sekarang namun pada case yang berbeda.
Pada masa sekarang “godaan harta dan nepotisme” memberi pengaruh besar dalam menentukan dan
melakukan kerja. Islam menempatkan bekerja sebagai ibadah untuk mencari rezeki dari Allah guna
menutupi kebutuhan hidupnya. Bekerja untuk mendapatkan rezeki yang halalan thayiban termasuk
kedalam jihad di jalan Allah yang nilainya sejajar dengan melaksanakan rukun Islam. Sebagai muslim,
tentunya kita sepakat untuk menyatakan bahwa Islam adalah agama yang syamil (menyeluruh) dan
kamil (sempurna). Ini mengidentifikasikan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan seluruh sendi-
sendi kehidupan manusia, mulai dari perkara duniawi hingga persiapan kita untuk mempertanggung
jawabkan seluruh perbuatan duniawi di akherat nanti. Dalam Islam, orang yang melakukan suatu
pekerjaan sangatlah dituntut untuk berlaku sesuai profesinya masing-masing dan peringatan keras bagi
mereka yang tidak mengindahkan himbauan ini sebagaimana sabda Rasulallah dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Al-Bukhari : Rasulullah SAW bersabda: “Jika sebuah urusan diberikan kepada yang
bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya.”(HR Bukhari dari Abu Hurairah). Profesional ini
sangat penting karena menduduki posisi penting kecintaan Allah SWT pada mereka yang bekerja dengan
professional. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT mencintai jika seorang dari kalian
bekerja, maka ia itqan (professional) dalam pekerjaannya.”(HR Baihaqi dari Aisyah r.a). dalam konteks
hadis diatas, semakin menjelaskan kepada kita, bahwa Islam adalah agama yang meletakan dan
menekankan nilai-nilai profesionalitas dalam setiap pekerjaan yang dilakukan oleh umatnya. Gagasan
yang terkandung dalam ajaran keagamaan merupakan titik tolak untuk melakukan suatu tindakan
terhadap sesama manusia, lingkungan sekitarnya dan ciptaan Tuhan lainnya. Dalam kehidupan sehari-
hari setiap manusia selalu berusaha meningkatkan faktor-faktor yang dapat memenuhi keinginan dan
kebutuhan atas dirinya sendiri, walaupun faktor-faktor tersebut sangat sulit memperolehnya dengan
jalan yang jujur dan benar.

Dalam kondisi seperti itu akan terjadi pertentangan antara keinginan atau kebutuhan atau dengan kata
lain terjadi pertentangan (konflik) antara kebutuhan batin dengan kebutuhan fisik. Pada keadaan yang
lebih makro, konflik dapat terjadi antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya, karena
perebutan faktor pemuas kehidupan yang sangat terbatas dan memperolehnya memerlukan teknik dan
metode tertentu, baik sesuai norma-norma maupun yang bertentangan dengan norma-norma yang
berlaku pada mereka. Budaya tersebut mengidentifikasikan ketidak professionalan kerja yang dilakukan
oleh individu sebagai makhluk ciptaan Allah yang seharusnya menempatkan dan melakukan segala
sesuatunya sesuai dengan aturan dan petunjuk pelaksanaan. Bila nepotisme dan suap menjadi azas
dalam dunia kerja, maka pegawai yang diterima  tidak lagi  professional dan transparan, tidak lagi
berdasarkan kualifikasi yang benar. Sehingga terjadilah ketidak adilan, dimana orang-orang yang
memenuhi syarat terzhalimi dan orang yang seharusnya pantas memegang amanah pekerjaan dan
jabatan, tersingkirkan. Lalu, apa yang bisa diharapkan dari bentuk tidak profesionalnya individu yang
berkuasa? Mengapa ke-empat karakter (sidiq, amanah, fatonah, tabliqh) yang diajarkan dan
dicontohkan oleh Rasulullah tidak mampu diterapkan untuk meningkatkan professional kerja? Ini
menjadi tanggungjawab para individu yang berkuasa dalam menjalankan roda-roda kekuasaannya.

Ajaran agama dan nilai moral seolah tidak lagi mempan membendung kejahatan korupsi, kolusi dan
nepotisme serta menghindarkan umat manusia dari kecenderungan berkhianat, menyimpang dan
berdusta. Nasehat agama dan para tokoh agama kehilangan wibawa, moral dan ritual ibadah mandul
tidak memberi pengaruh pada perilaku keseharian. Seharusnya setiap ibadah mampu merubah perilaku
lebih bagus dan mental lebih baik sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla tentang shalat, “
Sesungguhnya shalat itu mampu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar.” (Al-Ankabut
29:45). Namun catatan kejahatan agama, moral dan kemanusiaan tidak berkurang.Sebab utama adalah
keimanan yang lemah, kesempatan terbuka lebar, lingkungan yang mendukung dan sanksi hukum yang
tidak tegas terhadap pelaku bahkan sebagian pelakunya ada yang tidak tersentuh hukum sama sekali.
Jadi, benar apa yang dikatakan Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah bahwa barang siapa yang shalatnya
tidak bisa mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar maka shalatnya tidak bisa disebut shalat
bahkan akan menjadi bumerang bagi pelakunya.

Anda mungkin juga menyukai