Anda di halaman 1dari 26

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Ketahanan Pangan

Undang-undang nomor 18 tahun 2012 menjelaskan ketahanan pangan

merupakan suatu kondisi pemenuhan pangan terdiri dari ketersediaan pangan yang

cukup, jumlah maupun kualitas, keamanan, keberagaman, pemenuhan gizi yang

cukup, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan,

dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara

berkelanjutan serta negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan,

keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan baik pada tingkat nasional

maupun daerah hingga perseorangan secara merata di seluruh wilayah Negara

Kesatuan Republik Indonesia sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumber

daya, kelembagaan, dan budaya lokal.

Warr (2014) membedakan ketahanan pangan pada empat tingkatan, yaitu:

a. Level global, ketahanan pangan diartikan dengan apakah suplai global

mencukupi untuk memenuhi permintaan global

b. Level nasional, ketahanan pangan didasarkan pada level rumah tangga.

Jika rumah tangga tidak aman pangan, sulit untuk melihatnya aman pada

level nasional

14
15

c. Level rumah tangga, ketahanan pangan merujuk pada kemampuan akses

untuk kecukupan pangan setiap saat. Ketahanan pangan secara tersirat

bukan hanya kecukupan asupan makanan hari ini saja, melainkan

termasuk juga ekspetasi kedepan.

d. Level individu, ketahanan pangan merupakan distribusi makanan pada

rumah tangga. Pada saat rumah tangga kekurangan makanan, individu

akan terpengaruh secara berbeda. Oleh sebab itu, yang terpenting

untuk diperhatikan adalah fokus pada konsumsi perorangan pada rumah

tangga.

Sesuai dengan definisi ketahanan pangan dari World Food Summit tahun

1996, FAO (Food Agriculture Organization) kemudian mengidentifikasi

empat dimensi ketahanan pangan yaitu:

a. Ketersediaan fisik (Physical Availability to food)

Menentukan tingkat ketahanan pangan dari ketersediaan pangan dari

segi penawaran yang meliputi produksi pangan, tingkat stok dan

perdangangan bersih.

b. Akses ekonomi, akses fisik dan akses pangan

Kecukupan pangan pada level internasional maupun nasional tidak bisa

menjamin ketahanan pangan pada level rumah tangga. Ketidakmerataan

distribusi pangan sampai level rumah tangga membuat pemerintah harus

berfokus pada kebijakan mengenai pendapatan, pengeluaran, pasar dan

harga.
16

c. Pemanfaatan Pangan

Pemahaman mengenai bagaimana membuat makanan yang dapat

memenuhi kebutuhan nutrisi pada tubuh, dan pemanfaatan makanan yang

beragam sebagai hasil dari praktik makanan yang baik, penyimpanan

pangan, keberagaman dan pendistribusian dalam rumah tangga.

d. Stabilitas (keseimbangan dengan waktu yang lama)

Rumah tangga yang rawan pangan jika memiliki ketidakcukupan

akses dalam ukuran waktu, sehingga mengakibatkan penurunan status

gizi rumah tangga. Status ketahanan pangan rumah tangga dapat berubah

dengan kondisi iklim yang tidak menentu dan ketidakstabilan politik

ataupun faktor ekonomi (pengangguran dan kenaikan harga pangan).

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa ketahanan pangan

merupakan kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga maupun individu serta

bagaimana memperoleh dan kemampuan mengakses pangan melalui fisik,

ekonomi, sosial maupun budaya secara berkelanjutan. Ketahanan pangan juga

mengalami penyesuaian dari suatu kondisi tertentu yang dapat diukur melalui

perubahan perilaku dalam suatu kelompok rumah tangga.

2. Teori Ketahanan Pangan Berdasarkan CSI

Ketahanan pangan yang diartikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan rumah

tangga maupun individu serta bagaimana memperoleh dan kemampuan mengakses

pangan. Jika dalam rumah tangga tidaktahan pangan, maka kondisi ketidak tahan
17

pangan tersebut menyebabkan perilaku-perilaku atau respon rumah tangga dalam

mengahadapi masalah pangan. Semakin banyak orang harus mengatasi, maka orang

tersebut menunjukkan tidak tahan pangan. Perilaku dalam menghadapi kondisi

kurang pangan pada pengambilan keputusan biasanya dilakukan oleh wanita (D. G.

Maxwell and Caldwell 2008).

Teori bagaimana respon rumah tangga dalam mengahadapi masalah pangan

dikembangkan oleh Maxwell dan Smith (2003) dengan teori disebut Coping

Strategies Index (CSI). Coping Strategy Index (CSI) merupakan alat ukur indikator

kerawanan pangan. Idikator keetahan pangan CSI merupakan indikator yang

sederhana dan mudah digunakan. CSI menggunakan sejumlah pertanyaan tentang

bagaimana rumah tangga menghadapi penurunan konsumsi pangan jangka pendek

dalam skor angka. Perubahan dalam skor CSI menunjukkan perubahan status

ketahanan pangan apakah menurun atau mengalami perbaikan dimana semakin kecil

skor CSI menunjukkan perbaikan ketahanan pangan yang berarti rumah tangga

tahan pangan terhadap permasalahan pangan.


18

Beberapa tahapan dalamm penyusunan CSI adalah sebagai berikut:

• Identifikasi
Penyusunan daftar pertanyaan yang disesuaikan dengan kondisi lokasi/budaya
Tahap 1

• Frekuensi
Mengukur frekuensi relatif dari strategi dengan metode recall 30 hari
Tahap 2

• Kategori
Membuat kategori kecenderungan perilaku dan melakukan pembobotan
Tahap 3

• Frekuensi dan Kategori


Digunakan untuk menghitung skor rumahtangga yang melakukan coping
Tahap 4

Sumber : Disarikan dari Maxwell et al. 2003


Gambar 2. 1 Tahapan Coping Strategi Index

Tahapan 1: Identifikasi

Tahap pertama proses mengidentifikasi strategi coping melalui penyusunan

daftar pertanyaan yang relevan pada lokasi penelitian. Berikut daftar penyusunan

pertanyaan yang digunakan sebagai coping strategy antara lain:

1) Perubahan makanan

a) Memilih makanan yang kurang disenangi dan lebih murah

2) Meningkatkan ketersediaan makanan dalam jangka pendek

a) Meminjam makanan atau mengandalkan makanan dari teman atau saudara

b) Membeli makanan secara berhutang

c) Menggunakan makanan yang belum siap panen

d) Mengkonsumsi benih atau bibit tanaman sebagai bahan makanan


19

3) Menurunkan jumlah tanggungan (orang) dalam keluarga

a) Meminta anak-anak untuk makan ditempat tetangga

b) Meminta salah satu anggota keluarga untuk meminta makanan

4) Strategi menurunkan frekuensi makanan

a) Mengurangi ukuran porsi makanan

b) Mengurangi konsumsi orang dewasa, dan memprioritaskan anak-anak

c) Melakukan pemberian makan untuk anggota yang bekerja dengan biaya

untuk anggota rumah tangga yang tidak bekerja

d) Melakukan penjatahan uang dan membeli makanan cadangan

e) Mengurangi jumlah makanan yang dimakan dalam satu hari

f) Tidak makan sama sekali sepanjang hari

b. Tahap 2: Pengukuran Frekuensi

Tahapan kedua pengukuran frekuensi relatif dari strategi melalui periode

recall (mengingat kembali) yang memberikan informasi yang lebih representatif

dengan menghitung berapa kali rumahtannga dalam melakukan coping strategies

30 hari sebelumnya. Prosedur dalam memperoleh frekuensi relatif dengan cara

pengelompokkan mengenai seberapa sering dalam satu minggu rumahtanggga

melalukan coping strategy. Frekuensi diperoleh nilai tengah atau range dari “tidak

pernah” ke “setiap hari” dalam rumah tangga, kemudian memberikan nilai pada

setiap katagori sebagai berikut:


20

Tabel 2. 1 Penentuan Nilai Frekuensi Relatif


Kategori Frekuensi Relatif

1 2 3 4 5
Hampir setiap Kadang-kadang Sekali-kali Jarang Tidak pernah
hari (3-6 hari/minggu) (1-2 hari/minggu) (<1 hari/minggu) (0 hari/minggu)

Skor berdasarkan nilai tengah range setiap kategori

(7+7)/2 = 7 (3+6)/2 = 4.5 (1+2)/2 = 1.5 (0=1)/2 = 0.5 (0+0)/2 = 0

Sumber : disarikan Maxwell et al. (2003)

c. Tahap 3: Kategori

Tahapan ketiga yaitu kategorisasi dan pembobotan strategi dengan melakukan

pengelompokan strategi berdasarkan tingkat keparahan dan memberikan bobot

untuk masing-masing kelompok. Prosedur pengelompokkan keparahan sebagai

berikut:

1) Melakukan pengelompokkan berdasarkan tingkat strategi, misalnya sangat

berat, berat, sedang, dan ringan.

2) Menanyakan kepada responden pada kelompok yang paling ekstrim melakukan

coping mengenai apakah mereka termasuk yang sangat berat dan sangat kurang

berat atau ringan, kemudian menanyakan kepada kelompok strategi lain yaitu

kurang dan lebih berat.

3) Memastikan kelompok cukup mewakili keragaman di sebuah lokasi atau budaya

untuk memastikan konsesus yang masuk akal dapat disusun.

4) Membuat focus group discussion (FGD) minimum 6-8 yang mewakili kelompok

sosial. Strategi inidividu dikelompokkan menjadi empat kategori dimana 1 =


21

sangat ringan, 2 dan 3 = menengah, 4 = paling berat. Semua FGD memberikan

persepsi tentang berat tidaknya strategi yang digunakan oleh individual. Secara

umum konsensus penentuan rangking tergantung pada frekuensi respon yang

paling banyak.

d. Tahap 4: Frekuensi dan Kategori

Tahapan ke empat menggabungkan frekuensi dan keparahan strategi untuk

melakukan analisis CSI yaitu dengan mengalikan frekuensi relatif dengan bobot

tingkat kerawanan yang disajikan pada kolom ke sembilan.


Tabel 2. 1
Coping Strategy Index Rumahtangga dalam Menghadapi Masalah Pangan
22

Sumber : disarikan Maxwell et al. (2003)

Nilai CSI menjelaskan ukuran kerawanan pangan, semakin tinggi skor

menunjukkan semakin besar kerawanan pangan, semakin rendah skor CSI

menunjukkan perbaikan ketahanan pangan (Maxwell et al. 2003).

3. Sustainable Livelihood Framework

Konsep Sustainable Livelihood Framework (SLF) memberikan suatu kerangka

bagian kemiskinan dan kerentanan (vulnerability) baik dalam konteks yang di

gunakan dalam praktek pembangunan maupun kemanusiaan. Konsep SLF diintegrasikan

dalam program untuk kerjasama pembangunan dan penghapusan kemiskinan di Negara-

negara miskin pada tahun 1997 (DFID 2008).

Pemikiran tentang livelihood berawal dari karya Robert Chamber di

pertengahan tahun 1980-an. Chamber mengembangkan ide “Sustainable Livelihood”

dengan tujuan kerjasama pembangunan dan penghidupan pedesaan berkelanjutan yang

diterapkan ditingkat rumah tangga. Menurut Chambers dan Conway (1992) Sustainable

Livelihood merupakan pencaharian yang terdiri dari kemampuan, aset (sumber daya dan

akses) dan kegiatan yang dilakukan sebagai sarana untuk hidup. Penghidupan yang

berkelanjutan dapat mengatasi dari goncangan serta mampu memelihara atau

meningkatkan kemampuan dalam mengelola aset, sehingga memberikan peluang

pencaharian yang berkelanjutan. Pengembangan konsep mengenai SLF juga dilakukan

oleh Institute for Development Studies (IDS) and the British Department for International
23

Development (DFID) yang menyebutkan bahwa mata percaharian yang terdiri dari

kemampuan, aset (termasuk material dan sumber daya sosial) dan kegiatan yang

dibutuhkan untuk sarana hidup. Mata pencaharian yang berkelanjutan sehingga dapat

mengatasi dan memulihkan dari tekanan dan guncangan, memelihara atau meningkatkan

kemampuan dan aset yang tidak merusak sumber daya alam.

SLF terdiri dari lima komponen utama yaitu:

a. vulnerability context, yaitu menjelaskan lingkungan eksternal dimana seseorang

berada. Penghidupan dan ketersediaan aset secara fundamental dipengaruhi oleh

trends, shocks dan musim yang tidak bisa dikontrol.

b. livelihood aset yaitu berkaitan dengan identifikasi lima aset utama yang dimiliki

seseorang. Konsep ini berupaya mencari manfaat secara tepat serta memahami

secara realistik kekuatan seseorang (aset atau capital endowment) dan bagaimana

seseorang menggunakan aset-aset tersebut, sehingga memberikan hasil yang

positif bagi penghidupan. Kerangka penghidupan dalam konteks kerentanan ini di

gambarkan menjadi aset pentagon. Pentagon aset dikembangkan untuk

memberikan informasi tentang aset seseorang secara visual. Terdapat lima aset,

yaitu modal manusia, modal alam, modal keuangan, modal fisik, modal sosial.

Seperti gambar dibawah ini:


24

Sumber: DFID (1999)


Gambar 2. 2 Pentagon Aset-aset Rumah tangga

Aset yang dimiliki rumah tangga dapat dikelompokkan menjadi:

1. Modal alam adalah ketersediaan sumber alam seperti tanah, air, pohon, hutan,

laut, keanekaragaman hayati yang bisa digunakan secara langsung maupun

yang tidak berwujud seperti udara dan lainnya yang ketersediaanya bermanfaat

untuk penghidupan.

2. Modal finansial (keuangan) merupakan ketersediaan uang atau sejenisnya serta

bagaimana seseorang untuk megakses keuangan. Sumber akses yang diperoleh

bisa dari tabungan yang dimiliki baik tabungan tunai, tabungan di bank atau

asset likuid seperti ternak dan perhiasan. Selain tabungan modal finansial juga

bisa berupa kredit atau pinjaman yang diperoleh dari lembaga keuangan atau
25

non keuangan seperti kumpulan dan sejenisnya serta aliran dana selain

pendapatan seperti dana pensiun atau aliran dana lainnya.

3. Modal fisik meliputi sarana infrastruktur dan sarana lainnya yang mendukung

penghidupan. Sarana tersebut seperti, sarana transportasi, jalan, gedung, suplai

air, sanitasi, teknologi dan komunikasi yang membantu masyarakat untuk

memperoleh kebutuhan dasarnya dan lebih produktif.

4. Modal sosial merupakan hubungan yang dimiliki atau diikuti oleh masyarakat

dalam hal ini bertujuan untuk menigkatkan kepercayaan antar masyarakat,

sikap gotong royong, jaring pengaman informal, keanggotaan dalam organisasi

dan kemampuan kerjasama serta memperluas akses kepada lembaga yang

lebih luas.

5. Modal manusia menunjukkan pendidikan, keterampilan, pengetahuan,

kesehatan, gizi, dan ketenagakerjaan.

Secara konseptual hubungan antara aset-aset rumah tangga miskin adalah semakin

besar akses atau kepemilikan seseorang terhadap aset yang dimiliki, maka seseorang akan

lebih berdaya untuk meningkatkan pendapatan. Keadaan ini dapat meningkatkan dan

mendorong seseorang untuk keluar dari kemiskinan, kesejahteraan meningkat,

mengurangi kerentanan, dan memperbaiki ketahanan pangan.

c. Transforming structure and processes yaitu menjelaskan bagaimana lembaga,

organisasi, kebijakan, dan peraturan membentuk penghidupan. Transformasi

tersebut terjadi disemua level dari rumah tangga sampai internasional.


26

d. Livelihood strategies merupakan kombinasi kegiatan dan pilihan yang dipilih

seseorang untuk mencapai tujuan penghidupan. Strategi penghidupan tersebut

meliputi kegiatan produksi, investasi dan pilihan reproduksi lain.

e. Livelihood outcomes merupakan pencapaian atau output dari livelihood strategies,

antara lain lebih banyaknya pendapatan, meningkatnya kesejahteraan, mengurangi

kerentanan, memperbaiki ketahanan pangan, penggunaan sumberdaya alam yang

lebih berkelanjutan.

4. Kemiskinan

Kemiskinan menjadi masalah multidimensi karena berkaitan dengan ketidak-

mampuan akses secara ekonomi, sosial, budaya, politik dan partisipasi dalam masyarakat.

Secara umum, kemiskinan diartikan sebagai kondisi ketidakmampuan pendapatan dalam

mencukupi kebutuhan pokok sehingga kurang mampu untuk menjamin kelangsungan

hidup (Suryawati 2004). Berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2004, kemiskinan

adalah kondisi sosial ekonomi seseorang atau sekelompok orang yang tidak terpenuhinya

hak –hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang

bermartabat. Kebutuhan dasar yang menjadi hak seseorang atau sekelompok orang

meliputi kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih,

pertanahan, sumber daya alam, lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman

tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan kehidupan sosial

dan politik.
27

Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan kemiskinan dengan membuat kriteria

besarannya pengeluaran per orang per hari sebagai bahan acuan. Dalam konteks itu,

pengangguran dan rendahnya penghasilan menjadi pertimbangan untuk penentuan kriteris

tersebut. Kriteria miskin menurut BPS 2016 tersebut adalah:

1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8m2 per orang

2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan

3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/ rumbia/ kayu berkualitas rendah/tembok

tanpa diplester.

4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/ bersama-sama dengan rumah tangga lain.

5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.

6. Sumber air minum berasal dari sumur/ mata air tidak terlindung/ sungai/ air

hujan.

7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/ arang/ minyak tanah.

8. Hanya mengkonsumsi daging/ susu/ ayam dalam satu kali seminggu.

9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun

10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/ dua kali dalam sehari.

11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/ poliklinik

12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan

500m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau

pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp. 600.000,- per bulan.

13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/ tidak tamat SD/ tamat

SD.
28

14. Tidak memiliki tabungan/ barang yang mudah dijual dengan minimal Rp.

500.000,- seperti sepeda motor kredit/ non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau

barang modal lainnya.

Jika minimal 9 variabel kriteria miskin tersebut terpenuhi maka suatu

rumah tangga miskin.

Sedangkan menurut World Bank (2000), kemiskinan mencangkup empat

dimensi yaitu:

a. Rendahnya pendapatan dan tingkat konsumsi yang biasanya dipengaruhi oleh

tingkat dan distribusi modal manusia serta aset sosial dan fisik yakni kurangnya

kesempatan (lack of opportunity) dalam penguasaan, pemanfaatan lahan dan

kesempatan di pasar.

b. Rendahya kemampuan (low capabilities) pada kecilnya atau stagnannya

perkembangan indikator kesejahteraan dan pendidikan pada kelompokkelompok

sosial ekonomi tertentu.

c. Rendahnya tingkat ketahanan (low level of security) mencakup permasalahan

rendahnya pendapatan dan besarnya resiko ketidaktahanan yang muncul baik di

level nasional, lokal, rumah tangga, maupun individu.

d. Pemberdayaan (empowerment) mengenai kemampuan masyarakat miskin dalam

berpartisipasi, bernegosiasi, berperan dalam perubahan, dan terlibat dalam

institusi sosial yang mempengaruhi tingkat kesejahteraannya.


29

5. Program Keluarga Harapan

Program Keluarga Harapan (PKH) adalah program pemberian bantuan

sosial bersyarat kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang ditetapkan

sebagai keluarga penerima manfaat PKH. Sebagai upaya percepatan

penanggulangan kemiskinan dalam bidang pendidikan dan kesehatan juga

sebagai bentuk perlindungan sosial oleh pemerintah sejak tahun 2007

Pemerintah Indonesia telah melaksanakan PKH. Program Perlindungan Sosial

yang juga dikenal di dunia internasional dengan istilah Conditional Cash

Transfers (CCT).

Menurut Purwanto (2013) Program Keluarga Harapa merupakan

pengembangan sistem perlindungan sosial yang dapat meringankan dan

membantu Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) dalam hal mendapatkan

akses pelayanan kesehatan dan pendidikan dasar.

Menurut pedoman umum PKH (2012) Sasaran PKH adalah RTSM dan

rentan yang terdaftar dalam data terpadu Program Penanganan Fakir Miskin

yang memiliki komponen kesehatan dengan kriteria:

1. Ibu hamil/menyusui,

2. Anak berusia nol samapai dengan enam tahun.

Sedangkan untuk komponen pendidikan memiliki kriteria:

1. Anak SD/MI atau sederajat,

2. Anak SMA/MTs atau sederjat,


30

3. Anak SMA /MA atau sederajat, dan anak usia enam sampai 21 tahun

yang belum menyelesaikan wajib belajar 12 tahun.

Sejak tahun 2016 terdapat penambahan komponen kesejahteran sosial

dengan kriteria lanjut usia diutamakan mulai dari 60 (enam puluh) tahun,

dan penyandang disabilitas diutamakan penyandang disabilitas berat.

PKH dijalankan sebagai pelaksanaan dari UU No. 40 Tahun 2004

tentang jaminan sosial nasional, UU No. 11 Tahun 2009 tentang

kesejahteraan sosial, Inpres No. 3 Tahun 2010 tentang Rencana Tindak

Percepatan Pencapaian Sasaran Program Pro-Rakyat, dan Perpres No. 15

Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. Merujuk

pada Sistem Jaminan Sosial Nasional berdasarkan UU No. 40 Tahun 2004

tersebut, PKH menjadi model jaminan yang unik. Di satu sisi, PKH

merupakan bantuan sosial yang dimaksudkan demi mempertahankan

kehidupan (life survival) dalam kebutuhan dasar terutama pendidikan dan

kesehatan. Di sisi lain, PKH bernuansa pemberdayaan yakni menguatkan

rumah tangga miskin agar mampu keluar dari kemiskinannya melalui

promosi kesehatan dan mendorong anak bersekolah. Dana yang diberikan

kepada RTSM secara tunai melalui Kantor Pos dimaksudkan agar penerima

dapat mengakses fasilitas pendidikan dan kesehatan yakni anak-anak harus

bersekolah hingga sekolah menengah pertama, anak balita harus

mendapatkan imunisasi, dan ibu hamil harus memeriksakan kandungan

secara rutin (berkala).


31

6. Peneltian Terdahulu Ketahanan Pangan

Penelitian tentang ketahahanan menggunakan konsep SLF sudah

dilakukan oleh studi Demeke et al (2011). Studi ini menjelaskan secara ekplisit

menggunakan konsep SLF. Sedangkan penelitian lain yang tidak menyebukan

secara eskplisit namun menggunakan sebagian dari konsep SLF antara lain oleh

Sekhampu (2013); Okyere et al (2013); Dzanja et al (2013); Demeke et al

(2011; Shahid dan Siddiqi (2011); Guo (2011); Shaw et all (2001) dan

Purwaningsih (2010).

Berdasarkan studi empirik mengenai asset rumah tangga dalam konsep

SLF yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan, faktor lain yang

mempengaruhi ketahanan adalah faktor demografi, yaitu jumlah anggota

keluarga, pekerjaan, serta pendapatan. Secara ringkas ringkasan penelitian

terdahulu dapat di lihat pada tabel 2.2 di bawah ini.


32

Tabel 2. 2 Ringkasan Penelitian Terdahulu

Penulis Tujuan Penelitian Variabel Model Analisis Hasil


Sekhampu (2013) Mengkaji determinan Dependen Logit Pendapatan bulanan, ukuran rumah
ketahanan pangan di Ketahanan pangan tangga, gender, umur, status
Bophelong, Afrika Selatan Independen Pendapatan pernikahan, dan status pekerjaan kepala
2012. bulanan, ukuran rumah keluarga berpengaruh pada ketahan
tangga, gender, umur, status pangan rumah tangga, sedangkan
pernikahan, dan status pendidikan kepala kelarga tidak
pekerjaan kepala keluarga berpengaruh signifikan.
Dzanja et al (2013) Mengkaji pengaruh modal Dependen Logistik Gender, tenaga kerja, ternak, ukuran
sosial terhadap ketahanan Status ketahanan pangan keluarga, usia kepala keluarga, lokasi,
pangan pedesaan di .Dowa Indepeden jarak ke pasar, jarak ke jalan besar,
dan Lilongwe, Malawi Modal sosial (indeks modal akses terhadap kredit, modal sosial
sosial, ukuran jaringan berupa indeks modal sosial, ukuran
sosial, keanggotaan, sosial jaringan sosial, keanggotaan, jumlah
anchrage, jumlah organisasi berpengaruh terhadap status
organisasi), modal manusia ketahanan pangan.
(usia, literasi, gender, tenaga Literasi, status pernikahan, kegiatan
kerja), modal fisik(nilai aset yang menghasilkan pendapatan tidak
rumah tangga, ternak, dan berpengaruh signifikan terhadap status
lahan), geografi (jarak ke ketahanan pangan.
jalan raya, jarak ke pasar,
lokasi), status pernikahan,
lokasi, kegiatan
menghasilkan pendapatan
ukuran keluarga, akses
terhadap kredit.
Okyere et al (2013) Mengkaji ketahanan pangan Dependen Regresi Penggunaan pupuk, ketersediaan irigasi
di Etiopia 2010. Ketahanan pangan dan pinjaman berpengaruh signifikan.
Independen Adapun pendidikan kepala rumah
33

Penggunaan pupuk, tangga tidak berpengaruh terhadap


ketersediaan irigasi dan ketahanan pangan.
pinjaman, pendidikan kepala
rumah tangga
Demeke et al (2011) Mengkaji pengaruh curah Dependen Data panel, Multinominal Hasil Multinominal logit
hujan, modal manusia, Ketahanan pangan logit Curah hujan dan variabilitasnya, gender
modal sosial, modal fisik, Independen kepala keluarga, kepemilikan ternak,
modal keuangan dan modal Curah hujan, modal ukuran rumah tangga mempengaruhi
alam di Etiopia terhadap manusia, modal sosial, ketahanan pangan.
ketahanan pangan 1984- modal fisik, modal keuangan
1985, 1987-1989, 1994 dan modal alam
Guo (2011) Mengkaji determinan Dependen Logit dan OLS Pendapatan, kepemilikan rumah,
ketahanan pangan di Ketahanan pangan kendaraan bermotor dan
Amerika Independen saham/tabungan memiliki pengaruh
Pendapatan terhadap ketahanan pangan.
Usia, gender, ras,
pendapatan, ukuran
keluarga, aset meliputi
kepemilikan rumah,
kendaraan bermotor,
tabungan, wilayah
Purwaningsih (2010) Mengkaji ketahanan pangan Dependen Regresi Pendapatan, tingkat pendidikan kepala
rumah tangga dan permintaan Ketahanan pangan keluarga, harga pangan, jumlah anggota
pangan pada berbagai tingkat Independen keluarga, dummy wilayah perkotaan
ketahanan pangan rumah Pendapatan, harga pangan, berpengaruh terhadap tahan pangan
tangga di jumlah anggota keluarga, rumah tangga
Provinsi Jawa Tengah tingkat
pendidikan kepala keluarga,
dummy wilayah perkotaan
34

Shaw et all (2001) Pengaruh Tabungan pada Dependen Regresi tabungan memfasilitasi keputusan
konsumsi, produksi dan Konsumsi Pedesaan Malawi rumah tangga yang cenderung untuk
ketahanan pangan di Malawi dan ketahanan pangan meningkatkan keamanan rumah tangga
Independen dalam jangka panjang
Tabungan tabungan memungkinkan rumah tangga
untuk menanggung risiko secara
bertahap lebih besar dan tumbuh
tanaman lebih.

Uzma Iram dan Muhammad Menganalisis pengaruh Dependen : Ketahanan Regresi Logistik Variabel independen meliputi usia ibu,
S. Butt ketahanan pangan pangan rumahtangga (kalori jumlah ruang per kapita, akses terhadap
Determinants of household rumahtangga di pakistan perkapita) air bersih dan pendapatan secara
food security : An Empirical individu memberikan pengaruh positif
Analysis for Independen : Perumahan, terhadap ketahanan pangan.
Usia Ibu, Pendidikan Ibu,
Jumlah ruang perkapita, variabel independen yang meliputi
Ketiadaan fasilitas toilet, ketiadaan fasilitas toilet dan pendidikan
akses terhadap air bersih, ibu rumahtangga secara individu
pendapatan memberikan pengaruh negatif terhadap
ketahanan pangan
35

7. Kerangka Berfikir

Berdasarkan tinjuan Pustaka dan studi empirik di atas ketahanan pangan

diukur oleh Coping Strategies Index (CSI), dimana semakin besar nilai CSI,

maka ketahanan pangan cenderung menurun atau mengalami kerawanan

pangan. Oleh karena itu, hubungan antara variabel independen melalui posisi

rawan pangan selanjutnya baru ke ketahanan pangan, maka dapat disusun

kerangka kerangka berfikir penelitian sebagai berikut:

Gambar 2. 3 Skema Konsep Penelitian

Gambar 2.3 menunjukkan bagaimana pengaruh variabel independen

meliputi aset rumah tangga sangat miskin (aset finansial, aset alam, aset fisik,

aset manusia, aset sosial) yang dalam penelitian ini akan fokus pada aset

finansial yaitu aset finansial tabungan, aset finansial hutang. Selain itu,

variabel independen juga meliputi pekerjaan, pendapatan, jumlah keluarga

serta lama pendidikan ibu terhadap ketahanan pangan saat terjadi kerentanan

(vulnerability). Pengaruh variabel independen terhadap ketahanan pangan

melalui upaya-upaya memanfaatkan salah satu potensi aset-aset yang dimiliki


36

rumah tangga miskin, yaitu aset finansial, pekerjaan, pendapatan, jumlah

keluarga, dan lama pendidikan ibu untuk mencapai ketahanan pangan di saat

menghadapi kerentanan. Indikator yang digunakan untuk mengukur ketahanan

pangan adalah Coping Strategies Index yang menunjukkan strategi atau upaya

yang dilakukan oleh rumah tangga sangat miskin dalam menghadapi

kerentanan. Semakin besar nilai indeks CSI akan cenderung semakin rawan

pangan sebuah rumah tangga. Ketahanan pangan adalah outcome dari hasil

strategi atau upaya yang digunakan rumah tangga miskin dengan

mengoptimalkan dan menggunakan salah satu aset yang dimiliki, pekerjaan,

pendapatan dan jumlah keluarga.

8. Hipotesis

Hipotesis merupakan dugaan yang mungkin sebaiknya benar atau

salah. Berdasarkan tujuan penelitian, kerangka pemikiran terhadap masalah,

maka pengembangan hipotesis sebagai berikut:

a. Pengaruh Modal Finansial Tabungan

Adanya tabungan membantu mengurangi potensi masalah yang

berasal dari langkanya likuiditas (Demek et al. 2011). Selain itu tabungan

diperkirakan akan meningkatkan kemampuan memperoleh kebutuhan

rumah tangga sewaktu-waktu terutama disaat terjadi kerentanan, dan

cenderung meningkatkan keamanan rumah tangga dalam jangka panjang

(Shaw and Nagarajan 2011). Menurut Guo (2011) pada rumah tangga
37

dengan pendapatan rendah, tabungan menyediakan cadangan untuk

mengurangi konsekuensi negatif dari pendapatan yang hilang. Oleh karena

itu, modal finansial tabungan diperkirakan dapat memperbaikai dan

meningkatkan ketahanan pangan.

Hipotesis: Modal finansial tabungan berpengaruh positif terhadap ketahan

pangan.

b. Pengaruh Modal Finansial Hutang

Modal finansial berupa hutang atau pinjaman dapat digunakan pada saat

dibutuhkan termasuk saat terjadi goncangan, yang meliputi gagal panen akibat

bencana alam, kehilangan ternak, kematian atau penyakit dari anggota keluarga

untuk memperlancar konsumsi mereka atau untuk tujuan lain. Namun, memiliki

akses ke pinjaman tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap kemungkinan

rumah tangga menjadi makanan aman (Okyere et al. 2013).

Hipotesis: Modal finansial pinjaman berpengaruh negatif terhadap ketahanan

pangan dan bisa menurunkan atau meningkatkan ketahanan pangan.

c. Pengaruh Pekerjaan

Pekerjaan atau mata pencaharian kepala keluarga ditunjukkan dari status

pekerjaan petani dan bukan petani. Keluarga yang memiliki mata pencaharian

sebagai petani memungkinkan untuk memiliki bahan pangan dibandingkan bukan

petani, karena dapat menggunakan sebagian hasil panennya. Namun pekerjaan

diluar petani dapat memperoleh pendapatan tambahan. Meskipun demikian


38

terdapat konsekuensi dari kegiatan di luar pertanian tersebut, yaitu akan

mengurangi kegiatan di sektor pertanian. Selain itu upah dari pekerjaan bukan

pertanian yang diperoleh belum tentu sepadan dengan penurunan pendapatan dari

sektor pertanian (Demek et al. 2011).

Hipotesis: Pekerjaan berpengaruh negatif terhadap ketahanan pangan yang akan

meningkatkan ketahanan pangan.

d. Pengaruh Pendapatan

Pendapatan yang diperoleh rumah tangga akan menaikkan kemampuan

untuk membeli pangan sehingga menurunkan rawan pangan. pendapatan rumah

tangga dalam jangka pendek akan meningkatkan kemampuan rumah tangga

menghadapi rawan pangan (Guo 2011). Oleh karena itu pendapatan diperkirakan

dapat memperbaiki dan meningkatkan ketahanan pangan.

Hipotesis: Pendapatan berpengaruh positif terhadap ketahanan pangan atau

memperbaiki ketahanan pangan.

e. Pengaruh Jumlah Anggota

Pengaruh jumlah keluarga terhadap ketahanan pangan memiliki pengaruh

yang beragam. Semakin banyak anggota keluarga dianggap akan menambah

beban keluarga dalam memenuhi kebutuhan pangan karena jumlah tanggungan

keluarga lebih banyak. Namun di sisi lain, jumlah keluarga akan meningkatkan

ketahanan pangan, karena banyaknya jumlah keluarga memungkinkan


39

banyaknya anggota keluarga yang bekerja, sehingga dapat meningkatkan

ketahanan pangan (Purwaningsih 2010). Oleh karena itu jumlah keluarga

mempunyai pengaruh terhadap ketahanan pangan.

Hipotesis: Jumlah anggota keluarga berpengaruh positif terhadap ketahanan

pangan yang dapat menurunkan atau meningkatkan ketahanan pangan.

f. Lama Pendidikan Ibu

Lama pendidikan ibu menunjukkan berapa lama ibu rumah tangga

menempuh pendidikan. Pendidikan ibu yang lama atau lebih tinggi memberikan

kemampuan kepada ibu rumah tangga untuk melakukan pembelian pangan yang

efisien dan keterampilan menyiapkan makan serta memungkinkan rumahtangga

untuk dapat melakukan pengelolaan dan pengaturan pangan yang lebih baik

(Irram dan Butt 2004).

Menurut Nurdiani & Widjojoko (2016) pendidikan ibu rumahtangga dapat

memberikan pengaruh yang positif dalam mengambil keputusan mengenai pola

konsumsi rumahtangganya untuk mempertahankan ketahanan pangan. Dengan

demikian lama pendidikan ibu rumah tangga akan dapat menurunkan

rumahtangga rawan pangan atau memperkuat ketahanan pangan rumahtangga

(Iram & Butt 2004).

Hipotesis: Lama pendidikan ibu rumahtangga berpengaruh positif terhadap

ketahanan pangan atau dapat meningkatkan ketahanan pangan.

Anda mungkin juga menyukai