Yunastiti Purwaningsih
PENGERTIAN KETAHANAN PANGAN
Undang-Undang Pangan No.7 Tahun 1996 : kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumah tangga
yang tercermin dari tersedianya pangan secara cukup, baik dari jumlah maupun mutunya, aman,
merata dan terjangkau.
Pengertian ketahanan pangan tersbeut dapat diringkas ke dalam empat aspek:
2. Keamanan pangan (food safety): pangan yang bebas dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda
lain yang dapat menganggu, merugikan dan membahayakan keadaan manusia, serta terjamin mutunya ( food
quality), dalam hal ini adalah bahwa pangan memenuhi kandungan gizi dan standar perdagangan terhadap
bahan makanan dan minuman.
3. Kemerataan pangan: sistem distribusi pangan yang mendukung tersedianya pangan setiap saat dan
merata.
4. Keterjangkauan pangan: kemudahan rumah tangga untuk memperoleh pangan dengan harga yang
terjangkau.
Undang-undang Nomor 7 tahun 1996 selanjutnya di amandemen dengan Undang-undang No 18 tahun
2012. Pengertian ketahanan pangan dikembangkan menjadi empat yaitu kedaulatan pangan, kemandirian pangan,
ketahanan pangan dan keamanan pangan.
1. Kedaulatan pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan
pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk
menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.
2. Kemandirian pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam pangan yang beraneka ragam dari
dalam negeri, yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan dengan cukup sampai di tingkat
perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara
bermartabat.
3. Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari
tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau, serta tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif
secara berkelanjutan.
4. Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan
cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan
manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk
dikonsumsi.
Konsep Ketahanan Pangan - FSVA
(Food Security and Vunerability Atlas)
Gambar 1.5.
Sub Sistem Akses Pangan
Gambar 1.3 Sumber: Patrick Webb and Beatrice Rogers, 2003 (dimodifikasi) dalam Hanani (tanpa tahun)
Sub Sistem Ketahanan Pangan
Sumber: Hanani (tanpa tahun)
SUBSISTEM KETAHANAN PANGAN
Gambar 1.6
Sub Sistem Penyerapan Pangan
Gambar 1.3 Sumber: Patrick Webb and Beatrice Rogers, 2003(dimodifikasi) dalam Hanani (tanpa tahun)
Sub Sistem Ketahanan Pangan
Sumber: Hanani (tanpa tahun)
SUBSISTEM KETAHANAN PANGAN
Gambar 1.3
Sub Sistem Ketahanan Pangan
Sumber: Hanani (tanpa tahun)
SUBSISTEM KETAHANAN PANGAN
Gambar 1.3
Sub Sistem Ketahanan Pangan
Sumber: Hanani (tanpa tahun)
SUB SISTEM KETAHANAN PANGAN INDONESIA
Pk
TKPk = a + b lnP + c lnPEND + d lnJART + e DIK + f WIL + u (60)
1 Pk
AHFSI = 100 – [H{ G+(1+G)Ip + 0,5 Q (1-H (G+(1+G) Ip )}] 100 (2.3)
Heryanah (2016) meneliti faktor yang mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga di Jawa
Barat.
• Data: Susenas 2012.
• Jumlah sampel Susenas untuk Provinsi Jawa Barat tahun 2012: 22.470 rumah tangga.
• Indikator tingkat ketahanaan pangan: indikator Jonsson dan Toole (1991, dalam Maxwell et al.,
2000).
• Analisis yang digunakan: regresi order logit.
• Hasil penelitian:
Katagori daerah (kota-desa), jenis kelamin kepala rumah tangga, status perkawinan kepala rumah
tangga, umur, jumlah anggota rumah tangga, rata-rata lama sekolah kepala rumah tangga, status
bekerja kepala rumah tangga (bekerja-tidak bekerja), pengeluaran per kapita, kondisi sanitasi (layak-
tidak layak), kondisi rumah tangga (kumuh-tidak kumuh) berpengaruh signifikan terhadap ketahanan
rumah tangga.
Purwaningsih, dkk. (2011) meneliti faktor yang mempengaruhi tingkat ketahanan pangan rumah
tangga di Provinsi Jawa Tengah dengan data Susenas 2009. 30
AHFSI = 100 – [H{ G+(1+G)Ip + 0,5 Q (1-H (G+(1+G) Ip )}] 100 (2.3)
Penelitian tentang Ketahanan
Pangan Rumah Tangga
dengan metode survei (data primer)
Purwaningsih, Sutomo dan Istiqomah (2015) mengidentifikasi ketahanan pangan rumah tangga
petani yang beralih fungsi dan yang tidak alih fungsi lahan pertanian di Kecamatan Colomadu Kabupaten
Karanganyar Provinsi Jawa Tengah.
• Fokus penelitian: faktor yang mempengaruhi tingkat ketahanan pangan yang dilihat dari aspek akses
pangan secara ekonomi.
• Indikator tingkat ketahanaan pangan: mengadopsi sebagian indikator Jonsson dan Toole (1991, dalam
Maxwell et al., 2000), yaitu proporsi pengeluaran pangan rumah tangga.
• Bila proporsi pengeluaran pangan rendah (<60 persen pengeluaran rumah tangga) maka akses
rumah tangga pada pangan adalah baik
• Bila proporsi pengeluaran pangan tinggi (≥ 60 persen pengeluaran rumah tangga) maka akses rumah
tangga pada pangan adalah kurang.
• Analisis yang digunakan: regresi logit, dengan persamaan estimasi seperti pada persamaan 3.1. Regresi
logit dengan persamaan 3.1 dilakukan terhadap 3 persamaan, persamaan regresi untuk seluruh rumah
tangga, rumah tangga tidak alih fungsi dan rumah tangga alih fungsi lahan.
Berdasar tabel 3.2, pada total rumah
tangga, odds ratio variabel alih fungsi
sebesar 41,75 berarti rumah tangga tidak
alih fungsi lahan mempunyai peluang lebih
besar 41,75 kali untuk akses pangan baik
dibanding rumah tangga alih fungsi lahan,
dengan menganggap variabel lain konstan
Mulyo, Sugiyarto dan Widada (2015) meneliti mengenai ketahanan dan kemandirian pangan
rumah tangga tani daerah marginal di Kabupaten Bojonegoro.
• Ketahanan pangan rumah tangga diukur dengan AKE (angka kecukupan energi) dan PPP (pangsa
pengeluaran pangan, yaitu proporsi pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran rumah tangga). AKE
dihitung dengan rumus seperti ditulis dalam persamaan 3.2.
• Keragaan ketahanan pangan dengan indikator Jonsson dan Toole (1991) dalam Maxwell, D et. Al. (2000).
• Kemandirian pangan rumah tangga tani diukur dengan perbandingan antara produksi sendiri komoditas
beras (kg) dan total konsumsi komoditas beras (kg).