Anda di halaman 1dari 17

REFERAT

CHRONIC KIDNEY DISEASE

Disusun oleh :

WIDYANISA DWIANASTI

1102011291

Pembimbing :

Dr. Ariadi Humardhani Sp. PD

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RSUD Pasar Rebo

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS YARSI

2016

1
PENDAHULUAN

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat
persisten dan irreversible. Proses kerusakan pada ginjal ini terjadi dalam rentang waktu
lebih dari 3 bulan (Levin et al., 2008). Penyakit ini merupakan penyakit yang tidak dapat
pulih, yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal secara progresif dan mengarah pada
penyakit ginjal tahap akhir dan kematian (Levey et al., 2009).

PGK merupakan suatu problem kesehatan yang serius pada 2 abad terakhir dan
merupakan suatu masalah yang berakibat fatal (USRDS, 2010). Secara global, insidensi
PGK pada anak-anak dilaporkan sekitar 12,1 kasus per satu juta anak-anak (Ardissino et
al., 2003). Data tersebut jauh lebih rendah dari pada prevalensi pada orang dewasa. PGK
telah menyebabkan angka kesakitan yaitu sekitar 5-10 % dari populasi dewasa penduduk
Amerika (Coresh et al. 2007) dan 1,9-2,3 juta penduduk Kanada (Stigant et al., 2003).
Pada tahun 2000 estimasi kematian yang diakibatkan oleh PGK adalah sekitar 19,5 %
dari jumlah kesakitan (Reddan et al., 2003). Studi lain pada tahun 1999-2004
menunjukan angka kejadian PGK adalah sekitar 6,71 % penduduk dunia (Stevens et al.,
2011).

Indonesia merupakan negara yang sangat luas. Kejadian PGK di Indonesia


diduga masih sangat tinggi. Namun data nasional mengenai PGK masih belum ada. Studi
mengenai prevalensi PGK di Indonesia pada tahun 2003 dan 2004 mendapatkan hasil
bahwa jumlah penduduk Indonesia yang menderita PGK berjumlah 3640 penduduk. Hasil
tersebut menunjukkan bahwa jumlah penderita PGK tertinggi yaitu di Jawa Tengah,
Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Bali (Prodjosudjadi, 2006). Banyak penderita PGK
meninggal lebih awal. Namun, seringkali penyebab kematian itu tidak terkait langsung
dengan masalah ginjal. Studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa hampir
setengah dari jumlah kematian pada penderita PGK diakibatkan oleh PGK yang telah
berkomplikasi pada penyakit arteri koroner (Reddan et al., 2003). Namun, studi lain yang
pernah dilakukan menunjukkan hanya terdapat perbedaan yang sedikit atau tidak berbeda

2
secara signifikan pada semua penyebab kematian termasuk penyakit kardiovaskuler
dalam pengaturan ringan sampai sedang PGK (Garg et al., 2002). Komplikasi PGK
terjadi dimungkinkan karena penanganan penderita PGK yang lambat. Studi yang pernah
dilakukan menunjukkan bahwa sekitar 64 % penderita PGK memiliki resiko kematian
yang tinggi karena penanganan yang lambat. Lebih jelasnya, penanganan penderita PGK
secara cepat di Rumah Sakit dapat memperbaiki keadaan penderita dan mencegah
terjadinya komplikasi PGK (Sprangers et al. 2006). Hal ini juga didukung oleh studi lain
yang pernah dilakukan yang menunjukkan bahwa penggunaan sistem rujukan yang cepat
dan segera melakukan rawat inap pada penderita PGK dapat menurunkan resiko kematian
(Chan et al., 2007). Oleh karena itu, pada tulisan ini akan ditinjau mengenai PGK dengan
tujuan didapatkan pemahaman yang baik mengenai PGK termasuk penanganan PGK.
Sehingga dengan demikian diharapkan dapat mencegah terjadinya komplikasi PGK
termasuk kematian penderita PGK.

3
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Penyakit Ginjal Kronik

Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah kondisi dimana terjadi kerusakan permanen
pada ginjal. Ginjal tidak mampu melakukan fungsinya untuk membuang sampah sisa
metabolisme dalam tubuh, mempertahankan keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam
basa dalam tubuh. PGK dapat berkembang cepat yaitu dalam kurun waktu 2-3 bulan dan
dapat pula berkembang dalam waktu yang sangat lama yaitu dalam kurun waktu 30-40
tahun (Levin et al., 2008; Levey et al., 2009).

2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik


Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik dibagi menjadi dua dasar, yaitu berdasarkan
derajat kemapuan melakukan filtrasi glomerulus atau derajat penyakit dan
berdasarkan diagnosis etiologi. Pada tabel 1 terihat klasifikasi penyakit ginjal
kronik berdasarkan derajat penyakit, dan pada tabel 2 tampak klasifikasi penyakit
ktonik atas dasar diagnosis etiologi.

Tabel 1. Klasifikasi Derajat Penyakit Ginjal Kronik


Stage Deskripsi GFR
(ml/min/1.73 m2)

Keusakan Ginjal dengan GFR


1 ≥ 90
normal-meningkat

Kerusakan Ginjal dengan 60 – 89


2
GFR menurun ringan

Kerusakan Ginjal dengan 30 – 59


3
GFR menurun sedang

Kerusakan Ginjal dengan 15 – 29


4
GFR menurun berat

4
5 Gagal Ginjal < 15 (dialisis)

Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik berdasarkan Diagnosis Etiologi

Penyakit Tipe Mayor (Contoh)

Penyakit Ginjal Diabetes Diabetes tipe 1 dan 2


Penyakit glomerular (penyakit autoimun, infeksi sistemik,
obat, neoplasma)
Penyakit vaskular ( penyakit pembuluh darah besar,
hipertensi, mikroangiopathi)
Penyakit Ginjal Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis kronik, batu,
Non Diabetes obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)

Rejeksi kronik
Keracunan obat (siklosporin / takrolimus)
Penyakit Pada Transplantasi Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant glomerulopathy

3. Patogenesis Penyakit Ginjal Kronik

Dasar patogenesis PGK adalah penurunan fungsi ginjal. Hal ini akan
mengakibatkan produk akhir metabolisme protein yang normalnya dieksresikan ke dalam
urin tertimbun dalam darah, terjadi uremia dan menyebabkan efek sistemik dalam tubuh.
Sebagai akibatnya, banyak masalah akan muncul sebagai akibat dari penurunan fungsi
glomerulus. Hal ini akan menyebabkan penurunan klirens dan substansi darah yang
seharusnya dibersihkan oleh ginjal (Nitta, 2011).

Penurunan laju filtrasi glomerulus (GFR) dapat dideteksi dengan pemeriksaan


klirens kreatinin. Menurunnya filtrasi glomerulus diakibatkan tidak berfungsinya
glomerulus. Hal ini akan mengakibatkan penurunan klirens kreatinin dan peningkatan
kadar kreatinin serum. Kreatinin serum merupakan indikator yang paling sensitif dari
fungsi renal karena substansi ini diproduksi secara konstan oleh tubuh. BUN tidak hanya
dipengaruhi oleh penyakit renal tetapi dipengaruhi juga oleh masukan protein dalam diet,

5
katabolisme jaringan, dan medikasi seperti steroid. Retensi cairan dan natrium terjadi
akibat ginjal tidak mampu untuk mengkonsentrasikan atau mengencerkan urin secara
normal. Pada penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal terhadap perubahan masukan
cairan dan elektrolit tidak terjadi. Hal ini akan meningkatkan resiko terjadinya edema,
gagal jantung kongestif dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi akibat aktivitas aksis
renin angiotensin dan kerjasama keduanya serta peningkatan eksresi aldosteron. Pasien
dengan PGK memiliki kecenderungan untuk kehilangan garam, mencetuskan risiko
hipertensi dan hipovolemi, episode muntah dan diare. Hal ini akan menyebabkan
penipisan jumlah air dan natrium yang semakin memperburuk status uremik (Nitta,
2011).

Asidosis metabolik merupakan akibat dari penurunan fungsi ginjal. Hal ini karena
ketidakmampuan ginjal mengekskresikan muatan asam (H +) yang belebihan. Penurunan
sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus ginjal untuk mensekresikan
amonia dan mengabsorbsi natrium bikarbonat. Penurunan sekresi fosfat dan asam organik
lain juga terjadi. Amonia terjadi sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak
adekuat, memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi dan kecendrungan
untuk mengalami perdarahan akibat status anemia pasien, terutama dari saluran
gastrointestinal, eritropoetin menurun dan anemia berat terjadi distensi, keletihan, angina,
dan sesak nafas. Hal ini akan mengakibatkan ketidakseimbangan kalsium dan fosfat.
Abnormalitas utama yang lain pada PGK adalah gangguan metabolisme kalsium dan
posfat. Kadar kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan timbal balik. Jika salah
satunya meningkat maka yang lainnya akan menurun. Dengan menurunnya filtrasi
glomerulus ginjal terdapat peningkatan kadar fosfat serum dan sebaliknya penurunan
kadar serum kalsium akan mengakibatkan sekresi parat hormon dari kelenjar paratiroid.
Namun demikian pada gagal ginjal, tubuh tidak berespon secara normal terhadap
peningkatan sekresi parat hormon. Sebagai akibatnya kalsium di tulang menurun dan
menyebabkan perubahan pada tulang (penyakit tulang uremik atau osteo distropi renal).
Selain itu metabolik aktif vitamin D (1,25 dihidrokolekalsitriol) pada ginjal menurun
seiring dengan berkembangnya gagal ginjal (Nitta, 2011).

6
Gambar 3.1. Proses regulasi keseimbangan fosfat pada PGK. Adanya suatu hubungan yang erat
antara absorbsi kalsium dan PO4. Penurunan absorbsi kalsium dan hipokalsemia merangsang
sekresi hormon paratiroid. Absorbsi PO4 disimpan dalam tulang melalui pembentukan tulang
atau diekskresikan oleh ginjal. Adanya peran dari osteosit dalam pembentukan tulang, dan ketika
PO4 melebihi jumlah yang diperlukan dalam pembentukan tulang, maka akan dikeluarkan FGF23
yang akan menstimulasi ginjal untuk mengekskresikan kelebihan PO4. Pada PGK, ekskresi PO4
pada ginjal gagal untuk menjaga keseimbangan PO4, meskipun adanya stimulasi dari PTH dan
FGF23 untuk mengekskresikan PO4 (panah kuning). Hal ini mengakibatkan peningkatan PO4
dalam serum. Ini adalah proses mineralisasi heterotopik (panah merah dan kalsifikasi vaskular
sebagai bentuk mineralisasi heterotopik) (Hruska et al., 2009).

Selain itu, terdapat hubungan yang erat antara sindrom metabolik dengan
kejadian PGK. Studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa kejadian PGK lebih
besar pada sindrom metabolik dibandingkan dengan diabetes mellitus (Kurella et al.,
2005). Mikroalbuminuria merupakan manifestasi awal pada sindroma metabolik yang
dikaitkan dengan PGK. Selanjutnya mikroalbuminuria ini akan menyebabkan hiperfiltrasi
glomerulus. Sindroma metabolik sering dikaitkan dengan peningkatan aktivitas renin
plasma, angiotensin converting enzyme, angiotensin II, dan angiotensinogen. Keadaan ini
bersama dengan hiperinsulinemia pada resistensi insulin merupakan aktivator terhadap
faktor β1. Faktor β1 merupakan sitokin fibrogenik yang berperan dalam proses injuri
glomerulus. Hiperinsulinemia pada resistensi insulin dimediasi oleh TNF-α (Dandona et
al., 2005). Selain itu, pada sindroma metabolik juga terjadi peningkatan jaringan adipose
dan penurunan adinopektin. Jaringan adipose akan mensekresi sitokin yang berlebihan
yaitu adipokin seperti TNF-α, IL-6, dan resistin dimana sitokin ini akan meningkatkan
terjadinya inflamasi. Adinopektin merupakan agen protektif pada kardiorenal (Kershaw
dan Klier, 2004). Penurunan adinopektin mengindikasikan terjadinya kerusakan
kardiorenal dikarenakan disfungsi vaskuler. Lebih jelasnya, proses kerusakan kardiorenal

7
pada PGK dapat dilihat pada gambar 1.2. Sementara peningkatan aktivitas sistem renin
angiotensin aldosteron akan meningkatkan volume ekstraseluler. Hal ini mengindikasikan
terjadinya edema. Peningkatan sistem renin angiotensin aldosteron diduga karena
perubahan hemodinamik (aliran darah renal), stimulus simpatetik (hiperleptinemia dan
hiperinsulinemia), dan sintesis protein pada sistem renin angiotensin aldosteron oleh
jaringan lemak (Engeli et al., 2003).

Gambar 3.2. Patogenesis Chronic kidney disease dan komplikasinya terhadap sistem
kardiovaskuler. Pada PGK stage 1 dan 2 terdapat hubungan yang erat antara merokok, obesitas,
hipertensi, dislipidemia, homocysteinemia, inflamasi kronik dengan faktor resiko, nefropati
primer, dan diabetes mellitus. Hal ini dapat menyebabkan suatu inflamasi kronik pada sistem
kardiovaskuler. PGK yang memburuk dimana telah terjadi kerusakan glumerulus atau jaringan
interstisial disebut dengan PGK stage 3-4. Pada keadaan ini akan terjadi anemia, toksin uremik,
abnormalitas dari kalsium dan fosfat, dan overload natrium dan air. Hal ini juga dapat
menyebabkan inflamasi kronik pada sistem kardiovaskuler. Pada PGK stage 5 terjadi sklerosis
dan fibrosis pada glomerulus. Hal ini dapat meningkatkan terjadinya inflamasi kronik pada sistem
kardiovaskuler dan stimulasi monosit. Hal ini akan meningkatkan resistensi insulin, metabolisme
otot, dan adipositokin. Selain itu, stimulasi monosit juga akan menyebabkan reaktan fase akut,
menurunkan appetite, remodeling tulang, dan disfungsi endotel (Dikutip dari Nitta, 2011).

Selain itu, hipertensi juga merupakan faktor yang sangat penting dalam terjadinya
PGK. Hipertensi memalui angiotensin II akan menyebabkan peningkatan tekanan
glomerulus, proteinuria, dan menginduksi sitokin inflamasi intrarenal. Hal ini akan
meningkatkan terjadinya kerusakan pada ginjal (Nitta, 2011; Ruster dan Wolf, 2006).

8
4. Manifestasi Klinis

Gambaran klinia penykit ginjal kronik yang berat dapat disertai dengan
sindrom azotemia kompleks – meliputi kelainan multiorgan seperti kelainan
hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit, selaput serosa, kelainan neuropsikiatri
dan kelainan kardiovaskular.

 Kelainan Hemopoeisis
Anemia normokrom normositer sering ditemukan akibat defisiensi
eritropoetin. Hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah
defisiensi besi, kehilangan darah (perdarahan saluran cerna, hematuri),
masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi
asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses
inflamasi akut ataupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat
kadar hemoglobin < 10 g/dL atau hematokrit < 30 % ; meliputi evaluasi
terhadap status besi (kadar besi serum / serum iron, kapasitas ikat besi
total / Total Iron binding Capacity (TIBC), ferMAitin serum), mencari
sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis
dan sebagainya. Penatalaksanaan anemia terutama ditujukan pada
penyebab utamanya, di samping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian
eritropoetin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Pemberian tranfusi
pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan secara hati-hati, berdasarkan
indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang
dilakukan secara tidak cermat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh,
hiperkalemia, dan perburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut
berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dL.

 Kelainan Saluran Cerna


Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien
penyakit ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual
dan muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan

9
dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah
yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus
halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang
setelah pembatasan diet protein dan antibiotika.

 Kelainan Mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil
pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa
hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya
hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis
dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan
hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada pasien penyakit
ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva
menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi.
Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien penyakit ginjal
kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier.

 Kelainan Kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan
diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal
ini akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya
kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit
muka dan dinamakan urea frost

 Kelainan Neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan seperti emosi labil, dilusi, insomnia, dan
depresi sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Kelainan mental
berat seperti konfusi, dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga
sering dijumpai pada pasien GGK. Kelainan mental ringan atau berat ini
sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa hemodialisis, dan
tergantung dari dasar kepribadiannya (personalitas).
 Kelainan Kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal ginjal kronik sangat
kompleks. Beberapa faktor seperti anemia, hipertensi, aterosklerosis,

10
kalsifikasi sistem vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik
terutama pada stadium terminal dan dapat menyebabkan kegagalan faal
jantung.

5. Pemeriksaan Penunjang Chronic Kidney Disease

Pada PGK stadium awal biasanya tanpa gejala, sehingga hanya pemerikasaan
penunjang seperti pemeriksaan laboratorium yang dapat mendeteksi adanya masalah
tersebut. Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui
perkembangan PGK adalah sebagai berikut:

1. Urine test: protein urin, sel darah merah, easts dan kristal, dan CCT

2. Blood test: kreatinin, ureum, BUN, elektrolit (K, P, Ca), asam basa, dan Hb

3. Ultrasound: untuk mengetahui adanya pembesaran ginjal, kristal, batu ginjal, dan
mengkaji aliran urin dalam ginjal

4. Biopsi (Johnson, 2011).

6. Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik


Penatalaksanaan pada PGK bersifat konservatif. Penatalaksanaan ini lebih
bermanfaat bila penurunan fungsi ginjal masih ringan. Pengobatan konservatif ini terdiri
dari 4 strategi, yaitu:
1. Memperlambat laju penurunan fungsi ginjal
a. Pengobatan hipertensi. Target penurunan tekanan darah yang dianjurkan adalah
kurang dari 130/80 mmHg.
b. Pembatasan asupan protein, bertujuan untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus
dengan demikian diharapkan progresifitas akan diperlambat.
c. Restriksi fosfor dengan tujuan untuk mencegah hiperparatirodisme sekunder.
d. Mengurangi proteinuria. Terdapat korelasi antara proteinuria dan penurunan fungsi
ginjal terutama pada glomerulonefritis kronik dan diabetes. Dalam hal ini ACE
inhibitor biasanya digunakan. Jika terdapat intolensi terhadap ACE inhibitor
maka dapat digunakan angiotensin receptor blocker.

11
e. Mengendalikan hiperlipidemia. Telah terbukti bahwa hiperlipidemia yang tidak
terkendali dapat mempercepat progresifitas gagal ginjal. Pengobatan meliputi
diet dan olahraga. Pada peningkatan yang berlebihan diberikan obat-obat
penurun lemak darah. Pedoman dari Asosiasi Diabetes Kanada menyarankan
hemoglobin A1c < 7,0% dan fasting plasma glucose 4–7 mmol/L.

2. Mencegah kerusakan ginjal lebih lanjut


a. Pencegahan kekurangan cairan
Dehidrasi dan kehilangan elektrolit dapat menyebabkan gangguan prarenal yang
masih dapat diperbaiki. Oleh sebab itu perlu ditanyakan mengenai
keseimbangnan cairan (muntah, keringat, diare, asupan cairan sehari- hari),
penggunaan obat (diuretik, manitol, fenasetin), dan penyakit lain (DM, kelainan
gastrointestinal, dan ginjal polikistik)
b. Sepsis
Sepsis dapat disebabkan berbagai macam infeksi, terutama infeksi saluran
kemih. Penatalaksanaan ditujukan untuk mengkoreksi kelainan urologi dan
antibiotik yg telah terpilih untuk mengobati infeksi.
c. Hipertensi yang tidak terkendali
Tekanan darah umumnya meningkat sesuai dengan perburukan fungsi ginjal.
Kenaikan tekanan darah ini akan menurunkan fungsi ginjal. Akan tetapi
penurunan tekanan darah yang berlebihan juga akan menyebabkan perfusi ginjal
menurun. Obat yang dapat diberikan adalah furosemid, beta blocker,
vasodilator, kalsium antagonis dan alfa blocker. Golongan tiazid kurang
bermanfaat. Spironolakton tidak dapat digunakan karena meningkatkan kalium.
d. Obat-obat nefrotoksik
Obat-obat aminoglikosida, OAINS, kontras radiologi, dan obat-obat yang dapat
menyebabkan nefritis interstitialis harus dihindari.
e. Kehamilan
Kehamilan dapat memperburuk fungsi ginjal, hipertensi meningkatkan
terjadinya eklamsia dan menyebabkan retardasi pertumbuhan intrauterine.

3. Pengelolaan uremia dan komplikasinya


a. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
Pasien dengan PGKsering mengalami peningkatan jumlah cairan ekstrasel
karenan retensi cairan dan natrium. Peningkatan cairan intravaskular

12
menyebabkan hipertensi, sementara ekspansi cairan ke interstitial menyebabkan
edema. Hiponatremia sering juga dijumpai. Penatalaksanaan yang tepat meliputi
retriksi asupan cairan dan natrium, dan pemberian terapi diuretik. Asupan cairan
dibatasi < 1 liter/hari, pada keadaan berat < 500ml/hari. Natrium diberikan <2-4
gr/hari, tergantung dari beratnya edema. Jenis diuretik yang menjadi pilihan
adalah furosemid karena efek furosemid tergantung dari sekresi aktifnya di
tubulus proksimal. Pasien dengan PGK umumnya membutuhkan dosis yang
tinggi (300-500 mg), namun hati-hati terhadap efek sampinya. Apabila tindakan
ini tidak membantu harus dilakukan dialisis.
b. Asidosis metabolik
Penurunan kemampuan sekresi acid load pada PGK menyebabkan terjadinya
asidosis metabolik. Hal ini umumnya bila GFR < 25 ml/mnt. Diet rendah protein
0.6 gr/hr dapat membantu mengurangi asidosis. Bila bikarbonat turun sampai <
15-17 mEq/L harus diberikan subtitusi alkali.
c. Hiperkalemia
Hiperkalemia dapat menyebabkan aritmia kordis yang fatal. Untuk mengatasi
ini, dapat diberikan: kalsium glukonas 10% 10 ml dalam 10 menit IV,
bikarbonas natrikus 50-150 IV dalam 15-30 menit, insulin dan glukosa 6U,
insulin dan glukosa 50g dalam waktu 1 jam, kayexalate (resin pengikat kalium)
25-50 gr oral atau rektal. Bila hiperkalemia tidak dapat diatasi, maka sudah
merupakan indikasi untuk dialisis
d. Diet rendah protein
Diet rendah protein dianggap akan mengurangi akumulasi hasil akhir
metabolisme protein yaitu ureum dan toksik uremik lainya. Selain itu, telah
terbukti bahwa diet tinggi protein akan mempercepat timbulnya
glomerulosklerosis sebagai akibat meningkatnya beban kerja glomerulus dan
fibrosis interstitial. Kebutuhan kalori harus dipenuhi supaya tidak terjadi
pemecahan protein dan merangsang pengeluaran insulin. Kalori yang diberikan
adalah sekitar 35 kal/kgBB, protein 0,6gr/ kgBB/ hari dengan nilai biologis
tinggi (40% asam amino esensial).
e. Anemia
Penyebab utama anemia pada PGK adalah terjadinya defisiensi eritropoeitin.
Penyebab lainya adalah perdarahan gastrointestinal, umur eritrosit yang pendek,
serta adanya faktor yang menghambat eritropoiesis (toksin uremia), malnutrisi
dan defisiensi besi. Transfusi darah hanya diberikan bila perlu dan apabila

13
trasnfusi tersebut dapat memperbaiki keadaan klinis secara nyata.Terapi terbaik
apabila Hb <8 g% adalah pemberian eritropoietin, tetapi pengobatan ini masih
terbatas karena mahal. Target pemberian eritropoietin adalah Hb > 11 g%. Jika
tidak diberikan eritropoietin maka bisa diberikan terapi iron.
f. Kalsium dan fosfor
Terdapat 3 mekanisme yang saling berhubungan yaitu hipokalsemia dengan
hipoparatiroid sekunder, retensi fosfor oleh ginjal, dan gangguan pembentukan
1,25 dihidroksikalsiferol metabolit aktif vitamin D. Pada keadaan ini dengan
GFR < 30 mL/mnt diperlukan pemberian fosfor seperti kalsium bikarbonat atau
kalsium asetat yang diberikan pada saat makan. Pemberian vitamin D juga perlu
diberikan untuk meningkatkan absorbsi kalsium di usus. Diet rendah fosfat
dilakukan untuk menjaga hiperfosfatemia. Jika diet rendah fosfat gagal, dapat
diberikan calcium-containing phosphate binders. Namun jika terdapat
hiperkalemia maka dosis calcium-containing phosphate binders atau vitamin D
harus dikurangi. Hipokalsemia harus dikoreksi jika pasien menunjukkan gejala
atau tanda peningkatan level parat hormon.

g. Hiperurisemia
Alopurinol sebaiknya diberikan 100-300 mg, apabila kadar asam urat > 10 mg/dl
atau apabila terdapat riwayat gout.

4. Inisiasi dialisis
Penatalaksanaan konservatif dihentikan bila pasien sudah memerlukan dialisi
tetap atau transplantasi. Pada tahap ini biasanya GFR sekitar 5-10 ml/mnt. Dialisis juga
diiperlukan bila:
a. Asidosis metabolik yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan
b. Hiperkalemia yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan
c. Overload cairan (edema paru)
d. Ensefalopati uremik dan penurunan kesadaran
e. Efusi perikardial
f. Sindrom uremia (mual, muntah, anoreksia, dan neuropati) yang memburuk
(Levin et al., 2008).

7. Prognosis Penyakit Ginjal Kronik

14
Prognosis pasien dengan PGK menurut data epidemiologi menunjukkan bahwa
PGK sering menyebabkan kematian. Tingkat kematian secara keseluruhan meningkat
oleh karena penurunan fungsi ginjal. Penyebab utama kematian pada pasien dengan PGK
adalah penyakit jantung. Hal ini lebih sering karena perkembangan PGK ke tahap 5
(Perazella dan khan, 2006).

Sementara terapi transplantasi ginjal dapat mempertahankan kondisi pasien dan


memperpanjang kehidupan dan kualitas hidup. Transplantasi ginjal dapat meningkatkan
kelangsungan hidup pasien dengan PGK stadium 5 secara signifikan bila dibandingkan
dengan terapi pilihan lain. Namun, hal ini dapat meningkatkan mortalitas jangka pendek.
Hal ini lebih sering terjadi akibat komplikasi dari operasi transplantasi ginjal tersebut
(Giri, 2004). Pilihan terapi lain seperti home hemodialysis menunjukkan peningkatan
kehidupan dan kualitas hidup dibandingkan dengan hemodialisis secara konvensional (3
kali dalam seminggu) dan peritoneal dialysis (Pierratos et al., 2005).

15
DAFTAR PUSTAKA

Chan, M.R., Dall, A.T., Fletcher, K.E., Lu, N., dan Trivedi, H. 2007.
Outcomes in patients with chronic kidney disease referred late to
nephrologists: a meta-analysis. Am J Med. 120(12):1063-70.

Coresh J, Selvin E, Stevens LA, Manzi J, Kusek JW, Eggers P, Van Lente F, Levey AS.
2007. Prevalence of chronic kidney disease in the United States. JAMA. 298: 2038-2047.

Johnson, D. 2011. Chapter 4: CKD Screening and Management:


Overview. In Daugirdas, J. Handbook of Chronic Kidney Disease
Management. Lippincott Williams and Wilkins. pp. 32-43.

Levey, A.S., Stevens, L.A., Schmid, C.H., Zhang,Y. Castro, A.F., Feldman, H.I., Kusek,
J.W., Eggers, P., Lente, F.V., Greene, T., dan Coresh, J. 2009. A New Equation to Estimate
Glomerular Filtration Rate. Ann Intern Med. 150(9): 604-612.

Levin, A., Hemmelgarn, B., Culleton, B., Tobe, S., McFarlane, P., Ruzicka, M., Burns, K.,
Manns, B, White, C, Madore, F., Moist, L., Klarenbach, S., Barrett, B, Foley, R, Jindal,
K., Senior, P., Pannu, N., Shurraw, S, Akbari, A., Cohn, A., Reslerova, M., Deved, V.,
Mendelssohn, D., Nesrallah, G., Kappel, J., Tonelli, M., dan Canadian Society of
Nephrology. 2008. Guidelines for the management of chronic kidney disease. CMAJ.
179(11): 1154-1162.

Nitta, K. 2011. Review Article: Possible Link betweenMetabolic Syndrome and Chronic
Kidney Disease in the Development of Cardiovascular Disease. Cardiol Res Pract. 10: 1-
7.

Prodjosudjadi, W. 2006. Incidence, prevalence, treatment and cost of end-stage renal


disease In Indonesia. Ethnic Dis. 16: S214-S216.

Stevens, L.A., Viswanathan, G., dan Weiner, D.E. 2011. CKD and ESRD in the Elderly:
Current Prevalence, Future Projections, and Clinical Significance. Adv Chronic Kidney
Dis. 17(4): 293-301.

Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., dan Setiati. 2006. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV, Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
FKUI.

16
http://emedicine.medscape.com/article/238798-overview#showall

https://www.kidney.org/kidneydisease/aboutckd

17

Anda mungkin juga menyukai