Anda di halaman 1dari 21

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka
1. Sensitivitis, Spesifisitas, dan Area Under Curve (AUC)
Istilah sensitivitas dan spesifisitas mula-mula diperkenalkan oleh
Yerushelmy pada tahun 1947 sebagai indeks statistik terhadap efisiensi uji
diagnostik ketika ia mempelajari variabilitas pengamat para ahli radiologi.
Tujuan uji diagnostik antara lain untuk mendeteksi penyakit, memperkuat
kondisi sebenarnya, dan menyingkirkan dugaaan adanya penyakit. Untuk itu
perlu dibutuhkan alat uji diagnostik dengan tingkat sensitifitas dan
spesifisitas yang tinggi (Sastroasmoro, 2011).
Indeks atau indikator sensitivitas mengacu pada sejauh mana
mencerminkan status gizi atau memprediksi perubahan gizi. Indeks atau
indikator sensitivitas menunjukkan perubahan besar sebagai akibat dari
perubahan kecil dalam status gizi. Sensitivitas memiliki kemampuan untuk
mengidentifikasi dan mengklasifikasikan seseorang dalam populasi yang
benar-benar mengalami malnutrisi. Indeks atau indikator dengan sensitivitas
100% benar mengidentifikasi semua individu yang benar-benar malnutrisi:
tidak ada individu dengan malnutrisi diklasifikasikan sebagai status gizi
normal (tidak ada negatif palsu). Sensitivitas (Se) adalah proporsi individu
dengan malnutrisi yang memiliki tes positif (positif sejati dibagi dengan
jumlah positif sejati dan negatif palsu) (Gibson, 2005).
Indeks atau indikator spesifisitas digunakan untuk mengidentifikasi
dan mengklasifikasikan individu yang berstatus gizi normal. Apabila indeks
atau indikator memiliki spesifisitas 100%, semua individu benar-benar
bergizi baik (yaitu, tidak ada positif palsu). Spesifisitas (Sp) adalah proporsi
individu tanpa malnutritrion yang memiliki tes negatif (negatif benar dibagi
dengan jumlah negatif benar dan positif palsu) (Gibson, 2005).
Alat uji dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis,
mendeteksi atau memprediksi penyakit pada sekelompok orang yang
commit toresiko
tampaknya sehat, tetapi mempunyai user terkena suatu penyakit tertentu.

6
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Alat uji tersebut harus memiliki tingkat akurasi yang tinggi hingga dapat
diandalkan. Alat uji yang dimaksud diatas seperti sensitivitas, spesifisitas
dan uji prediksi (Sastroasmoro, 2011).
Pada sebuah uji tunggal, peningkatan sensitivitas akan menyebabkan
penurunan spesifisitas, sebaliknya peningkatan spesifitas akan menyebabkan
penurunan sensitivitas (Morton, 2009). Semakin tinggi nilai sensitivitas
sebuah tes skrining maka semakin baik kemampuan mendeteksi seseorang
menderita penyakit tertentu sehingga dapat memperoleh penanganan dini.
Semakin tinggi nilai spesifisitas sebuah tes skrining maka semakin baik
kemampuan mendeteksi seseorang tidak menderita penyakit tertentu (Rajab,
2009).
Receiver Operator Curve (ROC) merupakan cara untuk menentukan
titik potong untuk uji diagnostik berupa grafik yang menggambarkan tawar-
menawar antara sensitivitas dan spesifisitas. Dalam kurva ROC sensitivitas
digambarkan pada ordinat Y sedangkan spesifisitas digambarkan pada absis
X. Makin tinggi sensitivitas makin rendah spesifisitas, dan sebaliknya.
Kurva ROC dapat digunakan untuk membantu memutuskan nilai batas
terbaik. (Sastroasmoro, 2011).
Nilai ROC antara 0-1, dimana 1 merupakan kemampuan yang
tertinggi untuk membedakan. Suatu tes dikatakan tidak dapat membedakan
antara yang beresiko dan tidak beresiko apabila nilai ROC dibawah 0,5.
Nilai ROC diantara 0,7-0,8 merupakan diskriminasi yang dapat diterima, dan
nilai ROC di atas 0,8 merupakan diskriminasi yang baik (Jones dalam
Susetyowati, 2014).
Area Under Curve (AUC) adalah luas wilayah kurva ROC.
Keakuratan tes adalah area dibawah kurva ROC. Semakin besar area
semakin baik. Makin dekat kurva ROC ke garis diagonal, makin buruk
hasilnya. Titik potong yang terbaik adalah titik terjauh di sebelah kiri dan
atas diagonal (Sastroasmoro, 2011).

commit to user

7
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Untuk menentukan sensitivitas dan spesifisitas dapat menggunakan


tabel 2x2 seperti berikut:
Tabel 1. Penentuan Sensitivitas dan Spesifisitas
Hasil Tes Sakit Tidak Sakit Jumlah
(+) (-)
Positif A b a+b
Negatif C d c+d
Jumlah a+c b+d N
Sumber : Sastroasmoro (2011)
a
Sensitivitas (se) = x 100%
a+c

d
Spesitivitas (sp) = x 100%
b+d

Kategori dari nilai Sensitivitas (Se) dan Spesifisitas (Sp) menurut Waspadji
(2010) dari cara penentuan uji adalah sebagai berikut :
a. Amat baik : Se dan Sp > 90%
b. Baik : 70% > Se dan Sp > 90%
c. Cukup baik : 60% > Se dan Sp > 70%
d. Kurang baik : Se dan Sp < 60%

commit to user

8
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2. Tinggi Badan
Tinggi badan merupakan indikator yang penting bagi keadaan yang
telah lalu dan keadaan sekarang, jika umur tidak diketahui dengan tepat.
Disamping itu tinggi badan merupakan ukuran kedua yang penting untuk
menentukan status gizi, dengan menghubungkan berat badan terhadap tinggi
badan. Pada keadaan normal, tinggi badan bertambah seiring dengan
pertambahan umur, dan akan berhenti pada kisaran usia 20 tahun.
Pertambahan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif
terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu yang pendek (Supariasa,
2010).
a. Faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi badan lansia antara lain:
1) Usia
Beberapa perubahan pada komposisi tubuh manusia terjadi
seiring peningkatan usia. Studi tentang perubahan antropometri pada
lansia di Kanada (Shatenstein et al. 2008) menunjukkan penurunan
tinggi badan lansia di panti wredha sebesar 2 cm terutama pada lansia
di atas usia 90 tahun dan dengan dementia.
2) Jenis kelamin
Rata- rata tinggi badan lansia wanita lebih rendah dibandingkan
dengan lansia pria. Studi yang dilakukan di beberapa panti wredha
DKI Jakarta dan Tangerang (Fatmah, 2005) menyatakan adanya
perbedaan rata-rata tinggi badan lansia wanita dan lansia pria
(p<0,05). Studi lain yang dilakukan pada 100 lansia di Malaysia
(Shahar et al. 2003) menggambarkan hal yang sama yaitu rata-rata
tinggi badan lansia wanita lebih rendah (148,5 cm ± 6,4 cm) dari pada
lansia pria (160,4 cm ± 5,5 cm). Begitu juga dengan studi yang
dilakukan oleh Ilayperuma et al. (2010) di Sri Lanka, Thummar et al.
(2011) di India, dan Pureepatpong et al. (2012) di Thailand yang
membuktikan bahwa wanita memiliki tinggi badan lebih rendah
dibandingkan dengan laki-laki.

commit to user

9
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

3) Penyakit
Osteoporosis merupakan kelainan metabolisme tulang atau
kegagalan pembentukan tulang rangka akibat kehilangan massa tulang
yang berakibat timbulnya fraktura. Penyebabnya bermacam-macam,
tetapi terutama disebabkan oleh proses penuaan dan kehilangan
hormon estrogen, yaitu suatu hormon pelindung massa tulang yang
menghambat kehilangan massa tulang (Liu et al, 2015).
Osteoporosis saat ini telah menjadi masalah kesehatan
masyarakat pada kelompok lansia di Indonesia. Di masyarakat Barat,
osteoporosis juga merupakan masalah kesehatan utama. Penurunan
tinggi badan dengan peningkatan usia pada wanita umumnya
mencerminkan pengembangan osteoporosis pada columna vertebral
(Liu et al, 2015).
4) Kelainan genetik/keturunan
Kondisi bersifat genetik yang mempengaruhi pertumbuhan tulang
adalah Acondroplasia dan osteogenesis imperfecta. Achondroplasia
atau Dwarfism memiliki ciri-ciri tulang panjang pada lengan dan
tangan yang pendek sehingga menghasilkan tinggi badan yang rendah.
Keadaan ini diturunkan dari orang tua pada anaknya atau dihasilkan
dari mutasi gen orang tua pada anaknya. Pertumbuhan tubuh
terganggu saat terjadinya pengembangan kartilago yang terlalu dini.
Anak-anak dengan kelainan ini berisiko 50% memiliki kelainan gen
seperti halnya penyakit sehingga tidak dapat disembuhkan (Fatmah et
al, 2008).
Osteogenesis imperfecta adalah kelainan akibat kerusakan
kolagen dan jaringan penghubung yang membentuk bahan dasar
tulang sehingga menghasilkan kualitas kolagen yang rendah dan
menimbulkan kerapuhan tulang/mudah retak. Keadaan ini juga
diturunkan oleh orang tua pada anaknya atau karena mutasi gen secara
spontan sehingga tidak dapat diperbaiki (Fatmah et al, 2008).

commit to user

10
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

5) Kebiasaan Makan
Perkembangan tulang yang sehat membutuhkan asupan Ca dan P
yang cukup dari diet (Susanti, 2009). Kedua mineral ini tidak dapat
diabsorpsi tanpa bantuan vitamin D yang diperoleh dari sumber
makanan seperti: keju, susu, dan ikan, serta dari sinar matahari. Jenis
mineral lain yang juga dibutuhkan oleh tubuh adalah vitamin A dan C,
Mg, Zn, dan protein (Verrena, 2007).
Kekurangan zat gizi tersebut dapat memperburuk kelainan tulang,
pada lansia disebut osteoporosis dan osteomalacia atau rickets.
Kekurangan asupan Ca dan vitamin D mempengaruhi pengembangan
dan kekuatan tulang, mudah rapuh, dan rentan terhadap osteoporosis.
Kehilangan tulang (bone loss) mudah terjadi pada wanita setelah
menopause sehingga dianjurkan untuk mengkonsumsi 1200 mg Ca per
hari. Pola makan salah akan mempengaruhi pertumbuhan tulang,
misalnya diet rendah kalori, tidak mengonsumsi makanan sumber Ca,
buah, sayuran (Mahan, 2004). Asupan rendah Ca dibawah 1000
mg/hari dihubungkan dengan menurunnya puncak massa tulang
(Susanti, 2009). Dua pertiga kasus osteoporosis berhubungan dengan
rendahnya asupan Ca. Konsumsi Ca cukup penting bagi pemeliharaan
massa tulang sejak usia kanak-kanak hingga lansia.
6) Aktifitas fisik dan olahraga
Aktivitas fisik didefinisikan sebagai tiap gerakan tubuh yang
dihasilkan oleh otot-otot rangka dan menyebabkan pengeluaran
energi. Olahraga merupakan bagian dari kegiatan fisik secara
terencana, terstruktur, dan berulang untuk meningkatkan kebugaran
tubuh (Hazzard, 2003). Kurang olahraga juga berisiko terhadap
penurunan kekuatan dan massa tulang, serta berkurangnya absorpsi
Ca.
Aktivitas fisik atau olahraga seperti berjalan, berlari, aerobik,
tenis, dan senam memperbaiki kesehatan tulang melalui peningkatan
puncak massa tulang dan memperlambat kehilangan tulang. Sedikit
commit to user

11
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

banyaknya aktivitas olahraga akan menentukan kepadatan tulang


(Hazzard, 2003).
Kurang aktif dan kurang olahraga di masa kanak-kanak dan
remaja dapat mengurangi massa tulang tertinggi, sedangkan kurang
gerak secara umum akan mempercepat turunnya massa tulang. Pada
lansia, kurang gerak sering menyebabkan lemah dan tingginya resiko
terjatuh dan patah tulang (Tandra, 2009). Tetapi bagi anak-anak dan
lansia tidak dianjurkan jenis olahraga berat agar memiliki efek positif
terhadap kesehatan tulang.
Suatu studi pada 10.000 lansia wanita yang melakukan olahraga
aerobik dan tenis dihubungkan dengan penurunan fraktur vertebral
dan pinggang. Sementara lansia wanita yang duduk minimal 9 jam per
hari memiliki risiko fraktur lebih besar daripada mereka yang duduk
kurang dari 6 jam per hari. Sejalan dengan itu menurut penelitian
Astriana (2011) pada karyawati usia 25-35 tahun ada hubungan yang
positif antara frekuensi dan olahraga dengan massa tulang.
7) Etnis/Ras
Etnis secara tidak langsung berhubungan dengan tinggi badan
manusia melalui pola kebiasaan makan makanan yang mengandung
Ca dan P, perbedaan iklim, dan letak geografis. Lansia Indonesia
lebih pendek daripada lansia Caucasian (Murbawani et al, 2012).
Studi yang di lakukan terhadap 461 lansia di Jakarta dan Semarang
menunjukkan bahwa lansia Jakarta mengkonsumsi daging lebih
tinggi; produk susu lebih rendah; konsumsi tempe, tahu, buah, dan
sayuran lebih tinggi; dan konsumsi ikan dan telur yang sama dengan
lansia Semarang. Lansia di Jakarta memiliki tinggi badan dan berat
badan lebih tinggi dibandingkan dengan lansia Semarang (Fatmah,
2006).

commit to user

12
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

b. Pengukuran Tinggi Badan


Tinggi badan diukur dalam keadaan berdiri tegak lurus, tanpa alas
kaki, kedua tangan merapat ke badan, punggung dan bokong menempel
pada dinding, dan pandangan diarahkan ke depan. Kedua lengan
tergantung relaks di samping badan. Potongan kayu atau logam, bagian
dari alat pengukur tinggi yang dapat digeser, kemudian diturunkan
hingga menyentuh bagian atas (verteks) kepala. Sentuhan itu harus
diperkuat jika subjek berambut tebal (Arisman, 2010).
Masalah dalam pengukuran tinggi badan dapat timbul pada
individu yang selalu berada di tempat tidur atau kursi dan tidak mampu
berdiri tegak, misalnya pada lansia. Pengukuran tinggi badan yang tepat
pada lansia cukup sulit diperoleh karena masalah postur tubuh,
kerusakan spinal, atau kelumpuhan yang menyebabkan harus duduk di
kursi roda atau di tempat tidur. Beberapa penelitian menunjukkan
perubahan tinggi badan lansia sejalan dengan peningkatan usia dan efek
beberapa penyakit seperti osteoporosis.
c. Prediksi Tinggi Badan
Banyak cara untuk memperoleh prediksi tinggi badan (Gibson,
2005). Penelitian Fatmah (2008) menggunakan lutut, rentang lengan,
tinggi duduk untuk memprediksi tinggi badan lansia Indonesia etnis
Jawa. Penelitian Gauld et al. (2004) menciptakan rumus dan
membandingkan prediksi tinggi badan menggunakan tulang ulna,
demispan, tibia, armspam, forearm, dan lower leg pada anak-anak di
Australia. World Health Organization (1995) telah merekomendasikan
rentang lengan dan tinggi lutut sebagai pengganti tinggi badan untuk
lansia.
Panjang tulang tangan, kaki, dan tinggi tulang vertebral tidak
dipengaruhi oleh proses penuaan. Selanjutnya prediksi tinggi badan
lansia dianggap sebagai indikator cukup valid dalam mengembangkan
indeks antropometri dan melakukan interpretasi pengukuran komposisi
tubuh (Fatmah, 2006).
commit to user

13
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

3. Rentang Lengan
Rentang lengan merupakan pengukuran jarak antara dactylia tangan
kanan dan kiri saat berdiri menempel pada dinding. Untuk mencegah
kesalahan potensial karena dada yang besar, subjek berdiri dengan punggung
menempel pada dinding. Lengan yang direntangkan harus berada pada posisi
horizontal. Terkadang menggunakan pojok ruangan sebagai salah satu ujung
pengukuran sehingga hanya perlu satu tanda pada dinding/papan. Pitameter
antropometri digunakan untuk mengukur jangkauan lengan (Indriati, 2010).
Pengukuran rentang lengan akan lebih mudah jika dilakukan pada
dinding yang datar, untuk dipasang suatu tanda nilai nol dari skala
horizontal. Skala yang horizontal harus diposisiskan sedikit di atas bahu dari
subjek. Diperlukan dua pemeriksa untuk mengukur rentang lengan: satu
orang berada di akhir skala yang telah ditetapkan, pemeriksa yang lain
berada di posisi skala lengan tangan yang dapat dipindahkan dan sekaligus
melakukan pembacaan (Gibson, 2005).
Pada saat pengukuran, individu harus berdiri dengan kedua kaki rapat,
tumit, punggung menempel pada dinding, dengan lengan tangan yang
telentang menyamping menempel pada dinding, dan telapak tangan
menghadap ke depan pemeriksa. Lengan harus terentang setinggi bahu dan
dibentangkan secara maksimal. Rentang lengan sulit diukur pada lansia yang
tidak dapat berdiri dan pada individu dengan kelainan bentuk tulang
belakang dan dada (Gibson, 2005). Pengukuran rentang lengan tidak
dianjurkan diukur pada posisi berbaring atau telentang karena dapat
mengurangi tingkat ketelitian hasil pengukuran sehingga hasilnya kurang
akurat (WHO, 1995).
Pengukuran rentang lengan (RL) sebagai prediksi tinggi badan banyak
dilakukan dibeberapa negara dan etnis dan menghasilkan rumus sebagai
berikut:

commit to user

14
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Tabel 2. Prediksi Tinggi Badan dengan Rentang Lengan (RL)


Peneliti Negara Etnis Rumus
Laki-laki Perempuan
Lucia, et Ethiopia Oromo 45,5+0,70 RL 55,5 +0,62 RL
al. (2002) Amhara 56,9+0,64 RL 53,4+0,64 RL
Tigre 44,9+0,70 RL 49,9+0,66 RL
Somali 56,8+0,67 RL 52,1+0,68 RL
Tanchoco Filipina - 118,24+0,28 RL+ 63,18+0,63 RL+
(2005) 0,007U 0,17U
Shahar, Malaysia - 0,681 RL+47,56 0,851 RL+18,78
(2003)
Fatmah, Indonesia Jawa 23,247+0,826 RL 28,312+0,784 RL
(2008)

Berdasarkan rumus perhitungan konversi rentang lengan menjadi


tinggi badan yang dilakukan di beberapa negara, penelitian ini akan
menggunakan rumus dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Fatmah
(2008) di Indonesia, untuk etnis Jawa yang sudah direkomendasikan oleh
Depkes RI (2010) sebagai berikut :
TB (lak-laki) = 23,247 + 0,826 RL
TB (perempuan) = 28,312 + 0,784 RL
Keterangan :
TB : Tinggi Badan (dalam cm)
RL : Rentang Lengan (dalam cm)
4. Tinggi Lutut
Mendapatkan angka yang tepat untuk tinggi badan lansia merupakan
persoalan yang penting, karena hilangnya mineral vertebral dan volume
diskus intervetebralis yang berakibat hilangnya tinggi badan (Gibson, 2005).
Tinggi lutut erat hubungannya dengan tinggi badan, sehingga data tinggi
badan didapatkan dari tinggi lutut bagi orang yang memiliki gangguan
lekukan tulang belakang, tidak dapat berdiri atau lumpuh, dan lansia
(Kemenkes RI, 2012). Pada lansia digunakan tinggi lutut oleh karena pada
lansia terjadi penurunan massa tulang (menjadi bungkuk) sehingga sukar
untuk mendapatkan data tinggi badan yang akurat (Proverawati, 2010).
Tinggi lutut dapat diukur dalam posisi duduk atau berbaring
commit
(Kemenkes RI, 2012). Posisi to user dan sendi lutut ditekuk sampai
berbaring

15
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

terbentuk sudut 90º. Batang kaliper diposisikan sejajar dengan tulang tibia.
Satu lengan kaliper diletakkan di bawah tumit, sementara lengan yang lain
ditempelkan di bagian atas kondilus tulang paha anterior dan tepat di bagian
proksimal tulang patella. Pengukuran dilakukan sedikitnya dua kali, dan
skala dibaca hingga ± 0,5 cm (Arisman, 2010). Pengukuran tinggi lutut (TL)
sebagai prediksi tinggi badan banyak dilakukan di beberapa negara dan etnis
dan menghasilkan rumus sebagai berikut:
Tabel 3. Prediksi Tinggi Badan dengan Tinggi Lutut (TL)
Peneliti Negara Etnis Rumus
Laki-laki Perempuan
Edmud, Cina - 51,16+2,24TL 46,11+2,46TL-
(2000) 0,12U
Donini, Italia - 94,87+1,28TL-0,23U+4,8S
(2000)
Bermudez, Ohio Klt putih 2,08TL+59,01 1,91TL+0,17U+75
et al. Klt hitam 1,96TL+58,72 -
(1999)
Chumlea AS Non- 78,31+1,94TL- 82,21+185TL-0,21U
et al. Hispanic 0,14U
(1998) putih
Non- 79,69+1,85TL- 0,14 89,58+1,61TL-0,17
Hispanic U U
hitam
Mexico 82,77+1,83TL-0,16 84,25+1,82TL-0,26
U U
Tanchoco Filipina - 96,50+1,38TL-0,08 86,98+1,53TL-0,17
(2005) U U
Knous Jepang - 71,16+2,61TL-0,56 63,06+2,38TL-0,34
(2002) U U
Chumlea - 64,19-0,04U+0,02 84,88-0,24U+1,83
(1988) TL TL
Shahar Malaysia - 1.924TL+69.38 2.225TL+ 50.25
(2003)
Fatmah Indonesia Jawa 56,343 + 2,102 TL 62,682 + 2,175 TL
(2008)

commit to user

16
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Berdasarkan rumus perhitungan konversi tinggi lutut menjadi tinggi


badan yang dilakukan di beberapa negara, penelitian ini akan menggunakan
rumus dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Fatmah (2008) di Indonesia,
untuk etnis Jawa yang sudah direkomendasikan oleh Depkes RI (2010)
sebagai berikut :
TB Laki-laki = 56,343 + 2,102 TL
TB Perempuan = 62,682 + 2,175 TL
Keterangan :
TB : Tinggi Badan (dalam cm)
TL : Tinggi Lutut (dalam cm)
5. Tulang Ulna
Tulang ulna adalah sebuah tulang pipa yang mempunyai sebuah
batang dan dua ujung. Tulang ulna berada di sebelah medial dari lengan
bawah dan lebih panjang dari radius. Kepala ulna berada disebelah ujung
bawah.
Di daerah proksimal, ulna berartikulasi dengan humerus melalui fossa
olecranon (di bagian posterior) dan melalui prosesus coronoid (dengan
trochlea pada humerus). Artikulasi ini berbentuk sendi engsel,
memungkinkan terjadinya gerak fleksi-ekstensi. Ulna juga berartikulasi
dengan radial di sisi lateral. Artikulasi ini berbentuk sendi kisar,
memungkinkan terjadinya gerak pronasi-supinasi. Di daerah distal, ulna
kembali berartikulasi dengan radial, juga terdapat suatu prosesus yang
disebut sebagai prosesus styloid (Paulsen, 2012).
Penelitian yang dilakukan di berbagai negara seperti Amerika
(Siqueira et al, 2012), Eropa, India (Prasad et al, 2012; Mohanty et al , 2013;
Thummar et al, 2011) dan Thailand (Pureepatpon et al, 2012) membuktikan
bahwa panjang tulang ulna telah terbukti reliabel dan presisi dalam
memprediksi tinggi badan seseorang. Penggunaan panjang tulang ulna dalam
memprediksi tinggi badan di Eropa dan Amerika telah banyak dilakukan
terutama dengan menggunakan tabel perhitungan baku. Penelitian tersebut
juga menunjukkan panjang tulang ulna dipengaruhi oleh jenis kelamin.
Akan tetapi dari penelitiancommit to terdapat
tersebut user perbedaan rumusan estimasi

17
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

panjang tulang ulna terhadap tinggi badan karena perbedaan genetik,


lingkungan, asupan gizi dan tempat pengambilan data.
Panjang ulna diukur dari ujung proksimal olekranon sampai ujung
distal prosesus stiloid. Panjang ulna dapat diukur dengan berbagai posisi,
bisa dengan posisi berdiri, duduk, maupun berbaring yaitu dengan siku
difleksikan dan tangan subjek memegangi bahu yang berseberangan
(Sutriani, 2013).
Tabel 4. Prediksi Tinggi Badan dengan Panjang Ulna (PU)
Peneliti Negara Etnis Rumus
Laki-laki Perempuan
Ilayperuma, Sri Lanka - 97,252+2,645PU 68,777+3,536PU
et al (2010)
Thummar, India - 65,76 + 3,667PU 65,76 + 3,667PU
et al (2011)
Pureepatpon Thailand - 64,605+3,8089PU 66,377+3,5796PU
et al (2012)
Prasad et al India Maharashtra 93.45+2.92PU 113.89+2.37PU
(2012)
India India barat
Sutriani Indonesia Semarang 76,053 + 3,405PU 81,927 + 3,034PU
(2013) (dewasa)

Berdasarkan rumus perhitungan konversi panjang ulna menjadi tinggi


badan yang dilakukan di beberapa negara, penelitian ini akan menggunakan
rumus dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Pureepatpong et al. (2012)
pada lansia Thailand dengan pertimbangan subjek penelitian yang masih satu
rumpun dan usianya sama. Rumus perkiraan tinggi badan sebagai berikut :
TB Laki-laki = 64,605 + 3,8089 x PU
TB Perempuan = 66,377 + 3,5796 x PU
Keterangan :
TB : Tinggi Badan (dalam cm)
PU : Panjang Ulna (dalam cm)

commit to user

18
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

6. Indeks Massa Tubuh (IMT)


Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan alat yang sederhana untuk
memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan
kekurangan dan kelebihan berat badan. Indeks Massa Tubuh dapat
digunakan untuk indikator untuk memonitoring status gizi pada pasien anak,
dewasa, dan lansia (Supariasa, 2010).
Indeks Massa Tubuh dihitung dengan pembagian berat badan (dalam
kg) oleh tinggi badan (dalam m) pangkat dua. Rumus perhitungan IMT
yaitu:
Berat Badan (kg)
IMT =
Tinggi Badan2 (m)

Indeks Massa Tubuh banyak digunakan di rumah sakit untuk


mengukur status gizi pasien karena IMT dapat memperkirakan ukuran lemak
tubuh yang sekalipun hanya estimasi tetapi lebih akurat daripada pengukuran
berat badan saja. Di samping itu, pengukuran IMT lebih banyak dilakukan
saat ini karena orang yang kelebihan berat badan atau gemuk lebih beresiko
untuk menderita penyakit diabetes, penyakit jantung, stroke, hipertensi,
osteoartritis dan beberapa bentuk penyakit kanker. Namun, The National
Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Disease mengingatkan bahwa
orang yang berotot dan bertulang besar dapat memiliki IMT yang tinggi
tetapi tetap sehat (Hartono, 2006).
Tabel 5. Standar IMT untuk Orang Indonesia
Status Gizi Kategori IMT
Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat < 17,0
Kekurangan berat badan tingkat ringan 17,0 – 18,49
Normal Normal ≥ 18,5 – 25
Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan ≥ 25,1 - < 27,0
Kelebihan berat badan tingkat berat > 27,0
Sumber : Depkes RI, 2003

commit to user

19
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

7. Lanjut Usia
Proses pertumbuhan dan perkembangan manusia berlangsung
sepanjang masa, sejak dari janin, bayi, balita, remaja, dewasa hingga masa
tua. Proses menua berlangsung secara alamiah, terus menerus dan
berkesinambungan. Pada akhirnya akan menyebabkan perubahan anatomis,
fisiologis dan biokimia pada jaringan tubuh sehingga mempengaruhi fungsi
dari kemampuan tubuh secara keseluruhan (Kemenkes RI, 2012).
Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri, mempertahankan struktur dan
fungsi normalnya sehingga tidak dapat memperbaiki kerusakan yang
diderita. Dengan begitu manusia secara progresif akan kehilangan daya tahan
terhadap infeksi dan penyakit degeneratif seperti hipertensi, atheroskleorosis,
diabetes melitus dan kanker (Darmojo, 2006).
Proses menua sangat individual dan berbeda perkembangannya pada
setiap individu, karena dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor
eksternal yang mempengaruhi proses menua adalah asupan makan,
pendidikan, sosial budaya, penyakit infeksi maupun degeneratif, higiene
sanitasi lingkungan, ekonomi dan dukungan keluarga. Faktor eksternal lain
yaitu kemunduran psikologis seperti sindroma lepas jabatan, perasaan sedih
dan sendiri, perubahan status sosial sangat mempengaruhi proses menua
pada seseorang (Kemenkes RI, 2012).
Batasan lansia menurut WHO (1995) dikelompokkan menjadi empat
kelompok yaitu: usia pertengahan (middleage) ialah kelompok usia 45-69
tahun; lansia (elderly) ialah kelompok usia 60-74 tahun; lansia tua (old) ialah
kelompok usia 75-90 tahun; sangat tua (very old) ialah kelompok usia > 90
tahun. Sedangkan menurut Kementerian Kesehatan RI (2012), lansia
dikelompokkan menjadi tiga yaitu: pra lansia ialah kelompok usia 45-59
tahun; lansia ialah kelompok usia 60-69 tahun; lansia resiko tinggi ≥ 70
tahun atau ≥ 60 tahun dengan masalah kesehatan.
Pengertian lansia dibedakan atas dua macam yaitu lansia kronologis
(kalender) dan lansia biologis. Lansia kronologis mudah diketahui dan
commit to
dihitung, sedangkan lansia biologis userdijadikan patokan adalah keadaan
yang

20
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

jaringan tubuh. Individu yang berusia muda secara biologis dapat tergolong
sebagai lansia dilihat dari keadaan jaringan tubuhnya (Fatmah et al, 2008).
Seiring dengan meningkatnya usia harapan hidup, maka populasi
lansia di Indonesia juga akan meningkat. Peningkatan populasi lansia ini
akan diikuti dengan semakin banyaknya ditemui masalah kesehatan dan
masalah gizi pada lansia yang disebabkan karena terjadinya perubahan
struktur dan penurunan kemampuan kerja serta fungsi berbagai sel/organ dan
sistem tubuh pada lansia. Pengkajian status gizi dan pemberian zat gizi yang
adekuat sangat penting dilakukan untuk memperbaiki dan mempertahankan
status kesehatan lansia (Supariasa, 2010).

commit to user

21
8. Penelitian yang Relevan
Tabel 6. Hasil Penelitian yang Relevan
No Peneliti Judul Desain Hasil Perbedaan
Penelitian
1 Fatmah, 2010 Diagnostic test of Cross Korelasi terbesar ditemukan pada Membanding kan Se dan Sp RL,
predicted height model in sectional prediktor TL pada lansia perempuan (r TL dan TD, sedangkan pada
Indonesian elderly: a = 0.80; P < 0.001) dan laki-laki (r = penelitian ini membandingkan Se,
study in an 0.78; P < 0.001), selanjutnya RL, dan Sp, Ac RL, TL dan PU untuk
urban area TD. menentukan IMT
TL memiliki selisih paling rendah
dengan TB sebenarnya pada laki-laki
(3,13 cm) dan perempuan (2,79 cm).
TL mempunyai nilai Se tertinggi
(92,2%) dan nilai Sp terbesar pada TD
(91,2%).

2 Fogal et al, Stature estimation using Cross Pendekatan Chumlea tidak memadai Membandingkan TB dengan TL
2015 the knee height sectional untuk memprediksi TB sampel pada lansia menggunakan rumus
measurement amongst terutama untuk perempuan Chumlea, sedangkan pada
Brazilian elderly penelitian ini menggunakan tiga
variabel pembanding TB yaitu RL
dan TL dengan rumus Fatmah,
dan PU
3 Barcelo et al, Assessing nutritional Cross Pendekatan Chumlea dapat digunakan Menganalisis persamaan Chumlea
2013 status in the elderly; sectional untuk memprediksi BB. Hasilnya untuk memprediksi BB dan
evaluation of Chumlea’s signifikan antara berat badan aktual menentukan status gizi pada
equations for weight dengan berat badan estimasi (r=0,926), lansia, sedangkan pada penelitian
hasil yang signifikan juga ditunjukan ini menggunakan tiga variabel
antara BMI aktual dan BMI estimasi pembanding TB yaitu RL dan TL

22
(r=0,910) dengan rumus Fatmah, dan PU
4 Shahar et al, Predictive equations for Cross Tinggi lutut, rentang lengan, rentang Menggunakan dua kelompok
2013 estimation of stature in sectional lengan mempunyai hubungan yang sampel, dewasa dan lansia,
Malaysian kuat dalam memprediksi tinggi badan sedangkan pada penelitian ini
elderly people sampelnya adalah lansia usia ≥60
th.
Membandingkan RT, ½ RL, TL,
sedangkan pada penelitian ini
membandingkan Se, Sp, Ac RL,
TL dan PU untuk menentukan
IMT ≥60 th
5 Thummar et al, Measurement of ulnar Cross Panjang ulna dapat digunakan untuk Membandingkan PU kanan dan
2011 length for estimation of sectional memprediksi TB. Menghasilkan kiri pada sampel laki-laki dan
stature in Gujarat pendekatan: perempuan usia 20-40 th,
Laki-laki : 65,76 + 3,667 x PU(cm) sedangkan pada penelitian ini
Perempuan : 18,95 + 5,33 x PU (cm) membandingkan Se, Sp, Ac RL,
TL dan PU untuk menentukan
IMT lansia ≥ 60 th
6 Ilayperuma et A Model for the Cross Panjang ulna dapat digunakan untuk Membandingkan PU sampel laki-
al, 2010 Estimation of Personal sectional memprediksi TB. Menghasilkan laki dan perempuan usia 20-23 th,
Stature from the Length pendekatan: sedangkan pada penelitian ini
of Forearm Laki-laki : 97,252+2,645 PU membandingkan Se, Sp, Ac RL,
Perempuan : 68,777+3,536 PU TL dan PU untuk menentukan
IMT lansia ≥ 60 th
7 Pureepatpon et Stature estimation of Cross Menghasilkan prediksi TB dari Memprediksikan TB dari berbagai
al, 2012 modern thais from long sectional berbagai tulang antara lain humerus, tulang, sampel laki-laki dan
bones: a Cadaveric study radius, ulna, femur, tibia, dan fibula. perempuan usia 25-97 th,
Prediksi tinggi badan berdasarkan sedangkan pada penelitian ini
panjang ulna: membandingkan Se, Sp, Ac RL,
Laki-laki : 64,605+3,8089PU TL dan PU untuk menentukan

23
Perempuan : 66,377+3,5796 PU IMT lansia ≥ 60 th
8 Prasad et al, Estimation of human Cross Panjang ulna dapat digunakan untuk Membandingkan PU sampel laki-
2012 stature from length of sectional memprediksi TB. Menghasilkan laki dan perempuan usia 18-28 th,
ulna in Marathwada pendekatan: sedangkan pada penelitian ini
region of Maharashtra Laki-laki : 93.45+2.92PU membandingkan Se, Sp, Ac RL,
Perempuan : 113.89+2.37PU TL dan PU untuk menentukan
IMT lansia ≥ 60 th
9 Vaghefi et al, A Model for Individual Cross Ada korelasi antara panjang lengan Sampel yang digunakan usia18-22
2014 Height Estimation from sectional dengan tinggi badan. Menghasilkan th, sedangkan pada penelitian ini
Forearm Length in rumus: H=73.69+3.54×panjang lengan membandingkan Se, Sp, Ac RL,
Natives of Kerman, Iran (cm) TL dan PU untuk menentukan
IMT lansia ≥ 60 th
10 Sutriani, 2013 Perbedaan antara tinggi Cross Rumus Ilayperuma et al dan Sampel yang digunakan adalah
badan berdasarkan sectional Pureepatpong et al orang dewasa muda (19-29 th),
Panjang ulna dengan dapat diterapkan di Semarang untuk sedangkan pada penelitian ini
tinggi badan aktual prediksi TB melalui PU, dan membandingkan Se, Sp, Ac RL,
dewasa muda di kota menghasilkan rumus: TL dan PU untuk menentukan
Semarang laki-laki: 76,053 + 3,405PU IMT lansia ≥ 60 th
perempuan: 81,927 + 3,034PU
Keterangan:
TB : tinggi badan
RL : rentang lengan
TL : tinggi lutu
PU : panjang ulna
IMT : Indeks Massa Tubuh

Unsur kebaruan pada penelitian ini adalah tidak hanya membandingkan sensitivitas dan spesifisitas tetapi juga membandingkan tingkat
akurasi dari pengukuran pengganti tinggi badan meliputi rentang lengan, tinggi lutut dan panjang ulna untuk menentukan IMT lansia.

24
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

B. Kerangka Berpikir

x Jenis Kelamin
x Usia Berat Badan

Rentang Tinggi Badan


Lengan (RL) RL

Tinggi Prediksi Tinggi Tinggi Badan


Lutut (TL) Badan (TB) IMT
TL

Panjang Tinggi Badan


Ulna (PU) PU

x Etnis/Ras x Kebiasaan
x Kelainan Makan
Genetik x Penyakit
x Aktifitas
Fisik dan
Olahraga

Gambar 1. Kerangka Berpikir

Keterangan :
: Diteliti
: Tidak diteliti

Gambar 1 menjelaskan kerangka berpikir penelitian. Penentuan status gizi pada


lansia salah satunya menggunakan pengukuran antropometri. Pengukuran
antropometri yang paling menggambarkan status gizi seseorang adalah melalui
perhitungan Indeks Massa Tubuh (IMT). Indeks Massa Tubuh diperoleh dari
perhitungan berat badan dan tinggi badan. Pada lansia pengukuran tinggi badan
sulit untuk dilakukan karena masalah imobilisasi maupun postur tubuh. Oleh
karena itu pengukuran rentang lengan, tinggi lutut, dan panjang ulna digunakan
untuk memperoleh estimasi tinggi badan. Tinggi badan seseorang dipengaruhi
oleh beberapa faktor antara lain usia, jenis kelamin, etnis/ras, kelainan genetik,
commit
kebiasaan makan, penyakit serta to user
aktifitas fisik dan olahraga. Rentang lengan,

25
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

tinggi lutut, dan panjang ulna diestimasikan menjadi tinggi badan dan digunakan
sebagai pengganti tinggi badan dalam menghitung IMT lansia. Pengukuran
rentang lengan, tinggi lutut, dan panjang ulna sebagai pengganti tinggi badan
untuk menentukan status gizi lansia perlu diuji untuk mengetahui keefektifan
pemilihan alternatif pengganti tinggi badan. Beberapa tes untuk menguji
validitas dapat dilakukan antara lain uji sensitivitas, spesifisitas, dan akurasi

C. Hipotesis
c. Sensitivitas pengukuran antara rentang lengan, tinggi lutut, dan panjang ulna
sama baiknya sebagai prediktor Indeks Massa Tubuh lanjut usia.
d. Spesifisitas pengukuran antara rentang lengan, tinggi lutut, dan panjang ulna
sama baiknya sebagai prediktor Indeks Massa Tubuh lanjut usia.
e. Area Under Curve (AUC) pengukuran antara rentang lengan, tinggi lutut,
dan panjang ulna sama baiknya sebagai prediktor Indeks Massa Tubuh
lanjut usia.

commit to user

26

Anda mungkin juga menyukai