Anda di halaman 1dari 11

TUGAS BESAR II

PENGARUH ISLAM PADA ADAT DAN BUDAYA JAWA

Dosen Pengampu : Masyhar, MA


Mata Kuliah : Antropologi Psikologi

Disusun Oleh:
Dandi Kurniawan - 46119110063

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MERCU BUANA

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas kami dalam makalah yang berjudul “Pengaruh Islam pada
Adat dan Budaya Jawa”  ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi nilai tugas pada mata
kuliah Antropologi Psikologi. Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Masyhar, MA.
selaku dosen pengampu mata kuliah Antropologi Psikologi yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami
tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Jakarta, 01 Desember 2020 

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI i
i
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan Penulisan 2
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Demografis Masyarakat Indonesia
3
       2.2 Orientasi Teoritis Islam 5
    BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan 7
3.2 Daftar Pustaka 8

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Makalah ini berkaitan dengan tradisi sosial-religius Muslim Jawa yang tinggal di
Cirebon, sebuah wilayah di pesisir utara di bagian timur Jawa Barat. Ini mengkaji berbagai
kepercayaan dan praktik agama tradisional yang populer. Manifestasi yang beragam dari
tradisi ini menjadi pertimbangan dalam analisis sistem kepercayaan, mitologi, kosmologi dan
praktik ritual di Cirebon. Selain itu, perhatian khusus diarahkan pada transmisi formal dan
informal yang dilembagakan dari semua tradisi ini. Analisis terperinci dari tradisi populer ini
menunjukkan bahwa tradisi sosial-religius Jawa dapat dipahami dengan paling baik dengan
menelusuri akarnya dalam istilah ortoprak Islam tradisional daripada menggunakan tradisi
lain seperti Hindu / Buddha dan masa lalu animistik. Banyak dari tradisi kerakyatan Cirebon
bahkan menemukan akar dan pembenarannya dalam doktrin Islam yang tertanam dalam
Kitab Suci Islam: Alquran, Hadis dan dalam karya ulama. Meskipun memang ada sisa-sisa
pengaruh pra-Islam, hal ini berada di luar inti ajaran agama dasar dan tidak memperhitungkan
pembentukan komponen-komponen dasar agama.

Prinsip sistem kepercayaan masyarakat Cirebon adalah beriman (iman) yang intinya
adalah keesaan Tuhan. Tuhan dinyatakan sebagai pencipta tunggal, penguasa dan penguasa
seluruh alam semesta dan isinya. Misteri tentang bagaimana alam semesta diciptakan, diatur,
dan ditakdirkan telah menjadi subjek berbagai mitos kosmologis dan pandangan eskatologis.
Ini termasuk mitos tentang asal mula alam semesta dan umat manusia termasuk orang Jawa,
akhir dunia, dan akhirat. Beberapa tema dari mitos-mitos ini mengikuti alur spekulasi teosofi
dari sufi-tarekat tertentu, khususnya Shattariyah, salah satu versi yang secara tradisional
diadopsi oleh kalangan kraton. Ekspresi verbal kepercayaan masyarakat Cirebon terwujud
dalam berbagai praktik keagamaan. Intinya ada dua: ketaatan (islam) dan hormat (ihsan),
keduanya saling terkait secara tidak terpisahkan. Apa pun yang muncul dari semangat
penyerahan dan penghormatan disebut ibadat. Namun istilah ibadat, juga digunakan secara
lebih spesifik untuk merujuk pada berlakunya lima rukun, ritual utama Islam. Di luar ritual
utama ini, masih banyak ritual lain yang disebut adat. Ritual adat mengacu pada ritual
tambahan yang telah menjadi bagian dari tradisi populer di mana orang mengekspresikan rasa
takwa dan identitas Muslim. Karena ada beberapa bentuk adat dalam cara menjalankan ibadat
dan ada pengertian ibadat di dalam adat, perbedaan antara ibadat dan adat terkadang menjadi

1
sulit dipahami dan sulit dijelaskan. Namun cara ibadat dan adat saling terkait merupakan ciri
umum dari keseluruhan spektrum tradisi sosial-religius Jawa. Jelaslah bahwa tradisi sosial-
agama Jawa adalah Islam Sunni, yang diakui oleh para pendukungnya sebagai “Faham Ahlu
Sunnah wa'l Jama'ah” . Ini mewakili warisan penuh dari tradisi klasik yang akarnya dapat
ditelusuri kembali ke Ahmad ibn Hanbal (sekitar 855 M). Dengan membawa teologi
Ash'arite, empat mazahib fiqih dan sufisme Ghazalian, kehadirannya di Jawa sama tuanya
dengan Islam di Jawa. Melalui berbagai cara dan cara tradisi ini telah diwariskan secara
formal dan informal dari generasi ke generasi. Pesantren dan tarekat (tarekat sufi),
bagaimanapun, adalah dua lembaga utama yang berperan besar dalam proses pelestarian dan
transmisi secara keseluruhan. Kecuali jika diamati dengan cermat, kerumitan tradisi ini dan
penyebarannya cenderung memancing kesalahpahaman

1.2 Rumusan Masalah

Ada beberapa rumusan masalah yang akan menjadi topik pembahasan dalam makalah ini,
yakni :

1. Bagaimana sejarah masuknya Islam di pulau jawa


2. Bagaimana Islam mempengaruhi kehidupan sosial-religius masyarakat jawa
3. Mengetahui daerah pusat penyebaran Islam pertama di pulau jawa

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui perkembangan Agama Islam di
pulau Jawa yang mempengaruhi kondisi kehidupan sosial-religius masyarakat Indonesia dan
terutama Pulau Jawa , masuknya Islam di Indonesia tentunya merubah kehidupan adat
istiadat yang secara turun temurun berada di Indonesia.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Demografis Masyarakat Indonesia

Catatan statistik, resmi atau tidak, menunjukkan bahwa mayoritas orang Indonesia
dan mayoritas orang Jawa (sekitar 90 persen), memeluk agama Islam. Ini berarti bahwa
bahkan sebelum mempertimbangkan apakah pengaruh Islam secara keseluruhan di Jawa itu
dalam atau tidak sempurna, data statistik ini sendiri dapat memberikan dasar untuk
mengasumsikan bahwa dalam berbagai manifestasi sosial-religius Jawa, harus ada unsur-
unsur tertentu yang dapat diidentifikasi yang dapat dianggap murni. Islam atau yang benar-
benar merupakan bagian dari tradisi Islam. Mengesampingkan pada tahap pertama, sejauh
mana Islam mungkin telah mempengaruhi kehidupan sosial-religius Jawa, mengidentifikasi
dan menjelaskan unsur-unsur tradisi Islam dalam masyarakat Jawa merupakan tugas yang
menantang. Dengan referensi khusus ke Cirebon, sebuah wilayah di pantai utara Jawa, saya
ingin menghadapi tantangan ini dan kemudian mengeksplorasi sejauh mana Islam telah
mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat Jawa.

Narasi Populer Islam Awal di Cirebon Sebagian besar catatan sejarah Cirebon selalu
mengaitkan wilayah tersebut dengan perkembangan awal Islam di Jawa dan, khususnya, di
Jawa Barat. Kebangkitan kerajaan Islam, yang berakar pada abad 15-16, menunjukkan bahwa
Cirebon memiliki kepentingan yang signifikan dalam konfigurasi era Islam. Pendiri kerajaan
Islam di Cirebon, Syarif Hidayatullah yang kemudian dikenal dengan Sunan Gunung Jati,
menurut cerita rakyat adalah salah satu wali atau wali Islam, penyebar awal Islam di Jawa.
Meskipun tradisi yang berbeda mengungkapkan daftar wali yang berbeda, Sunan Gunung Jati
adalah salah satu yang namanya selalu tercantum di semua daftar wali. Tradisi yang lebih tua
seperti Babad Tanah Jawi dan Babad Kraton mengedepankan delapan wali, tetapi masing-
masing dengan nama yang berbeda. Yang disebutkan dalam Babad Tanah Jawi adalah: Sunan
Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, Sunan / Shekh Siti
Jenar (Lemah Abang) dan Sunan / Shekh Wali Lanang. Di sisi lain, Babad Kraton
menyebutkan: Sunan (Ng) Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Cirebon (Sunan
Gunung Jati), Sunan Ngundung dan Sunan Bantam. Saat ini tradisi yang paling banyak
diterima menyebutkan sembilan wali (wali sanga). ), yaitu: Maulana Malik Ibrahim, Sunan
(Ng) Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga,

3
Sunan Kudus, dan Sunan Muria. Wali ini dianggap berasal sebagai 'pendatang', kecuali untuk
Sunan Kalijaga, yang merupakan 'pribumi' Jawa.

Pada tahap ini, narasi tersebut menyiratkan bahwa Cirebon berdiri sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dari seluruh jaringan Islam yang sistematis di Jawa. Jika pengertian
asal 'asing' dan 'asli' wali ditarik ke dalam konteks yang lebih luas, implikasinya melintasi
batas geografis Jawa dan nusantara. Ini berkaitan dengan jaringan Islam sedunia yang
berpusat di Timur Tengah. Jaringan ini dipertahankan dan telah berkembang selama berabad-
abad bahkan selama periode ketika Indonesia berada di bawah kekuasaan asing. Jaringan ini
mungkin telah mengalami pasang surut tetapi tentu saja salah untuk mengasumsikan, seperti
yang dilakukan Geertz (1976), bahwa Islam di Jawa pernah terputus total dari pusat
pembelajaran Islam di Timur Tengah dan dengan demikian telah kehilangan kejeniusannya
yang sejati. dan ortodoksi. Jenis Islam yang terpelihara inilah yang perwujudannya saat ini
tengah di identifikasi. Menurut tradisi kesusastraan setempat, tidak seperti wali lain yang
lebih mementingkan diri sendiri pada urusan agama sementara menyerahkan urusan lain
kepada raja, Syarif Hidayatullah sendiri adalah seorang raja selain wali. Oleh karena itu, dia
memiliki kekuatan agama dan politik di tangannya, dan memiliki kemungkinan, jika dia mau,
untuk melembagakan agama dalam pemerintahan atau menggunakan agama untuk
menjalankan kepentingan politik. Karena kesuciannya, dia memilih yang pertama daripada
yang kedua. Dia mempertahankan kontak dengan para pemimpin Islam lainnya pada periode
itu, tetapi tidak bermaksud menjadikan Cirebon kekuatan politik. Ia bahkan memanggil
pamannya Cakrabuana untuk kembali ke Cirebon untuk menghadiri pertemuan tokoh agama
Jawa, wali sanga, sembilan wali.

Oleh karena itu, sejauh yang diindikasikan oleh tradisi-tradisi tersebut, Cirebon tidak
pernah berkembang menjadi negara yang penting, sebagaimana dikatakan oleh De Graaf dan
Pigeaud (1989). Dia terlalu religius untuk memiliki ambisi yang kuat untuk menjadi raja yang
kuat secara politik. Apalagi Syarif Hidayatullah sudah memiliki Sabakingking, anak hasil
perkawinannya dengan seorang putri bangsawan Banten, seorang penguasa di Banten.
Sabakingking kemudian dikenal sebagai Sultan Hasanuddin. Karena itu, ia merasa puas
bahwa putranya di Banten cukup berkuasa secara politik sehingga ia tidak perlu lagi
mengejar politik di Cirebon, dan oleh karena itu ia dapat lebih berkonsentrasi pada misi
agamanya. Selain itu, putra-putranya di Cirebon, Jayakelana (yang menikahi Ratu Pembayun
putri Raden Patah, Raja Demak) dan Bratakelana (yang menikahi Ratu Mas Nyawa, juga
putri Raden Patah) mendahuluinya, meninggal segera setelah menikah. Belakangan, saudara

4
tiri Bratakelana, Pangeran Pasarean, yang seharusnya menjadi penerus langsungnya, juga
meninggal. Dari berbagai kesedihan ini kesuciannya semakin kuat dan ia beralih untuk lebih
fokus pada urusan agama, sementara pada saat yang sama, ia mengharapkan putranya di
Banten menjadi lebih kuat. Cucunya, Pangeran Swarga, putra Pangeran Pasarean, yang
menggantikannya di Cirebon, masih kecil sehingga tidak dapat menjalankan kepemimpinan
yang efektif. Ketika Panembahan Ratu menggantikan Pangeran Swarga, Cirebon ditinggalkan
sementara Banten telah menjadi kerajaan yang mapan berhadapan dengan Mataram di Jawa
Tengah. Apakah narasi ini dibenarkan atau tidak, perhatian utama pada tahap ini adalah
menyarankan setidaknya dua hal. Salah satunya adalah bahwa Islam di Cirebon mungkin
sudah lama terbentuk pada tahap awal perpindahan orang Jawa ke Islam; Kedua, Islam di
Jawa telah menjadi bagian dari tradisi rakyat. Pengamatan ini memberikan dasar untuk
berasumsi bahwa Islam mungkin memiliki pengaruh yang kuat pada kehidupan sosial Jawa.
Dengan asumsi seperti itu, melihat bagaimana Islam memanifestasikan dirinya dan
membentuk tradisi masyarakat adalah hal yang menarik untuk dibahas. 

2.2 Orientasi Teoritis Islam

Islam, seperti halnya agama lain, merupakan kekuatan spiritual dan moral yang
mempengaruhi, memotivasi dan memberi warna pada perilaku individu. Menjelaskan tradisi
Islam dalam masyarakat tertentu berarti menemukan ciri-ciri Islam yang termanifestasi dalam
tradisi populer. Pada titik ini, masalah langsung yang  ditemui adalah apa yang dimaksud
dengan 'tradisi', dan yang lebih penting apa yang merupakan 'Tradisi Islam'. Istilah 'tradisi'
umumnya dipahami sebagai 'pengetahuan, doktrin, adat istiadat dan praktik, dan lain-lain,
yang diturunkan dari generasi ke generasi serta transmisi pengetahuan, doktrin, dan praktik
semacam itu. Tradisi Islam dengan demikian adalah segala sesuatu yang berasal dari,
dikaitkan dengan, atau mengandung semangat Islam. Tapi bagaimana kita bisa tahu bahwa
tradisi atau elemen tradisi tertentu berasal, diasosiasikan dengan, atau mengandung semangat
Islam, dan dengan demikian telah menjadi Islam? Dalam konteks ini, menarik untuk merujuk
pada Barth yang mengomentari hubungan antara tindakan dan niat dalam interaksi manusia.
Dia mengatakan antara lain: "... hasil dari (tindakan dan) interaksi biasanya berbeda dengan
niat masing-masing peserta, ..." Poin Barth memungkinkan kita untuk berasumsi bahwa
tradisi atau elemen tradisi dapat menjadi Islami ketika pelakunya bermaksud atau mengklaim
bahwa tindakannya dilakukan dalam semangat Islamnya. Ini tentu saja sederhana dan paling

5
benar, ini hanya memberikan titik awal. Namun Barth adalah seorang sarjana kontemporer
yang mengakui pentingnya niat dalam tindakan manusia. Lebih dari satu milenium yang lalu,
jauh sebelum Barth, Nabi Muhammad, telah mengemukakan hal ini secara eksplisit. Beliau
mengatakan antara lain validitas tindakan didasarkan pada niat dan dengan demikian nilai
segala sesuatu tergantung pada niat yang melekat padanya. Jika sesuatu ditujukan untuk
tujuan duniawi maka nilainya ada, sedangkan jika sesuatu dimaksudkan untuk Tuhan, maka
nilainya adalah pengabdian kepada-Nya (yang sangat berharga). Ini jelas dan berwibawa
yang menunjukkan betapa pentingnya niat bagi umat Islam. Tradisi Islam adalah sesuatu
yang menggabungkan pesan yang diterima oleh Nabi Muhammad dalam bentuk Kitab Suci
serta semua yang Islam, sebagai agama, diserap menurut kejeniusannya sendiri dan dibuat
sendiri melalui transformasi dan sintesis. Ini mencakup semua aspek agama dan
konsekuensinya berdasarkan model sakral.

6
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Melalui proses diatas tersebut, konsep “Islam Tradisional” berevolusi dan


berkembang menyesuaikan budaya yang ada dan menyebar luas ke berbagai penjuru dunia
mengikuti penyebaran Islam itu sendiri. Akhirnya mencapai Jawa pada waktu yang hampir
sama saat Islam secara umum mencapai nusantara. Di Jawa dan di tempat lain, Islam warisan
tradisi Sunni yang lengkap, kini lebih dikenal sebagai "Faham Ahlu Sunnah wal Jama'ah,"
berkontribusi pada popularitas tradisi dan adat jawa. Islam menampilkan dirinya sebagai
agama yang rukun dan damai (rukun-damai). Itu datang sebagai "rahmat bagi seluruh alam
semesta" (rahmatan lil-'alamin) bukan sebagai kutukan. Kapan pun dan di mana pun islam
siap menampung, menyerap atau diadopsi oleh tradisi lain. Itu membutuhkan hampir tidak
ada syarat kecuali satu. Jika ada unsur dalam tradisi yang diserap yang bertentangan dengan
prinsip tauhid (keesaan Tuhan) dan ketundukan kepada yang esa Ya Tuhan, maka elemen
semacam itu harus dihilangkan atau diganti dengan yang Islami. Begitu kondisi ini terpenuhi,
semuanya bisa diterima. Hadir dalam format ini, “Islam Tradisional” mempengaruhi orang
Jawa dan membentuk tradisi mereka. Juga Dalam format ini, kejayaannya di Jawa sudah
lengkap.

7
Daftar Pustaka

Barth, F. 1993. Balinese Worlds, The Univ. of Chicago Press: Chicago .

De Graaf and Pigeaud .1989. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan Dari

Majapahit ke Mataram, Jakarta : Grafiti Press.

Geertz, C. 1975. Islam Observed, Chicago : The University of Chicago Press.

Geertz, C. 1976. The Religion of Java, Phoenix Edition, Chicago : University of

Chicago Press.

Koentjaraningrat .1963. “Book Review: Clifford Geertz's The Religion of Java”,

Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia, vol. 1, no.2, September, pp.188–191.

Anda mungkin juga menyukai