Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Obat adalah suatu zat yang dimaksudkan untuk dipakai dalam diagnosis,
mengurangi rasa sakit, serta mengobati atau mencegah penyakit. Banyak macam obat
yang diproduksi dalam bentuk sediaan farmasi di bidang kesehatan, sangat
berpengaruh terhadap efek dari suatu obat menuju sasaran yang diinginkan. Serbuk,
kapsul, tablet, suspensi dan emulsi adalah bentuk sediaan farmasi dengan cara
pemberian oral, selain itu juga ada pula cara pemberian obat melalui rongga tubuh
dengan nama Suppositoria. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk
menjamin tersedianya obat yang bermutu, aman dan berkhasiat yaitu dengan
mengharuskan setiap industri untuk menerapkan Cara Pembuatan Obat Yang Baik
(CPOB).

Industri farmasi saat ini sudah berkembang pesat dalam rangka memenuhi
obat-obatan secara nasional. Perusahaan farmasi sebagai perusahaan pada umumnya
melakukan kegiatan usaha yang meliputi proses menghasilkan barang yaitu obat-
obatan. CPOB merupakan suatu konsep dalam industri farmasi mengenai prosedur
atau langkah-langkah yang dilakukan dalam suatu industri farmasi untuk menjamin
mutu obat jadi, yang diproduksi dengan menerapkan “Good Manufacturing Practices
” dalam seluruh aspek dan rangkaian kegiatan produksi sehingga obat yang dihasilkan
senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang ditentukan sesuai dengan tujuan
penggunaannya.

Ruang lingkup CPOB edisi 2006 meliputi Manajemen Mutu, Personalia,


Bangunan dan Fasilitas, Peralatan, Sanitasi dan Hygiene, Produksi, Pengawasan
Mutu, Inspeksi Diri dan Audit Mutu, Penanganan Keluhan terhadap Produk,
Penarikan Kembali Produk dan Produk Kembalian, Dokumentasi, Pembuatan dan
Analisis Berdasarkan Kontrak, serta Kualifikasi dan Validasi. 

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana struktur organisasi dalam produksi ?
2. Bagaimana cara produksi suppositoria yang sesuai dengan aspek CPOB ?
3. Bagaimana In Process Control dan Kontrol Kualitas (QC) dari sediaan suppositoria ?
4. Bagaimana evaluasi mutu dari sediaan suppositoria ?

C. Tujuan
Untuk mengetahui struktur organisasi dalam produksi, mengetahui cara
produksi sediaan suppositoria berdasarkan CPOB dan mengetahui In Process Control
dan Kontrol Kualitas (QC) dari sediaan suppositoria.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Suppositoria

Menurut FI edisi III hal 32 : Suppositoria adalah sediaan padat yang digunakan
melalui dubur, umumnya berbentuk torpedo, dapat melarut, melunak atau meleleh pada
suhu tubuh.

2.2 Persyaratan Suppositoria

Sediaan supositoria memiliki persyaratan sebagai berikut:


1. Supositoria sebaiknya melebur dalam beberapa menit pada suhu tubuh atau
melarut (persyaratan kerja obat).
2. Pembebasan dan responsi obat yang baik.
3. Daya tahan dan daya penyimpanan yang baik (tanpa ketengikan, pewarnaan,
penegerasan, kemantapan bentuk, daya patah yang baik, dan stabilitas yang
memadai dari bahan obat).
4. Daya serap terhadap cairan  lipofil dan hidrofil

2.3 Aspek CPOB (Cara Produksi Obat yang Baik)

1. Manajemen Mutu

Industri farmasi harus membuat obat sedemikian rupa agar sesuai dengan tujuan
penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam dokumen izin edar
(registrasi) dan tidak menimbulkan resiko yang membahayakan penggunanya
karena tidak aman, mutu rendah atau tidak efektif. Untuk mencapai tujuan mutu
secara konsisten dan dapat diandalkan, diperlukan manajemen mutu yang didesain
secara menyeluruh dan diterapkan secara benar.

Mutu suatu produk tergantung pada :

o  Bahan awal

o  Proses pembuatan

3
o  Pengawasan mutu

o  Bangunan

o  Peralatan yang digunakan

o  Personalia

Untuk menjamin mutu produk suatu industri Farmasi, maka tiap industri farmasi
selalu memiliki bagian Quality Managemen. Tugas utama dari bagian Quality
Managemen adalah memastikan bahwa mutu produk obat itu dibangun sejak awal
ke dalam produk, dan memastikan bahwa mutu produk tidak akan berubah hingga
ke tangan konsumen.

Bagian Quality Managemen terdiri atas 2 bagian, yaitu :

1. Quality Control (Pengawasan Mutu)

2. Quality Assurance (Pemastian Mutu)

2. Personalia

Kualitas sediaan obat yang dihasilkan ditentukan oleh beberapa faktor


penunjang, salah satu faktor terpenting adalah faktor manusia. Oleh karena itu alur
produksi hanya bisa terjadi bila personel yang mengerjakannya mempunyai
kualitas yang sesuai dengan tingkat pendidikan dan pengalamannya. Seluruh
personil hendaklah memahami prinsip CPOB serta memperoleh pelatihan awal
dan berkesinambungan, termasuk instruksi mengenai higiene yang berkaitan
dengan pekerjaannya.

Personel yang bekerja di industri farmasi harus memenuhi persyaratan sebagai


berikut :

1. Sehat

2. Kualifikasi sesuai dengan pendidikan

3. Berpengalaman

4
4. Jumlah karyawan harus sesuai/memadai

5. Setiap karyawan tidak dibebani tanggung jawab yang berlebihan

6. Harus ada pelatihan secara berkala

3. Bangunan dan Sarana Penunjang

Bangunan untuk pembuatan obat hendaklah memiliki ukuran, rancang bangun,


konstruksi serta letak yang memadai sehingga memudahkan dalam pelaksanaan
kerja, pembersihan dan pemeliharaan yang baik, sehingga setiap resiko terjadinya
kekeliruan, pencemaran silang dan berbagai kesalahan lain yang dapat
menurunkan mutu oba dapat dihindarkan dan dikendalikan.

Desain dan tata letak ruang hendaklah memastikan :

1. Kompatibilitas dengan kegiatan produksi lain yang mungkin dilakukan di dalam


sarana yang sama atau sarana yang berdampingan.

2. Pencegahan area produksi dimanfaatkan sebagai jalur lalu lintas umum bagi
personil dan bahan atau produk, atau sebagai tempat penyimpanan bahan atau
produk selain yang sedang diproses.

4. Peralatan

Peralatan yang digunakan dalam pembuatan obat hendaklah memiliki rancang


bangun dan konstruksi yang tepat, ukuran yang memadai serta ditempatkan
dengan tepat, sehingga mutu yang dirancang bagi tiap produk obat terjadi secara
seragam dari batch ke batch serta untuk memudahkan pembersihan.

Penataan peralatan di desain sedemikian rupa sehingga dalam satu ruangan


hanya terdapat satu alat, ini bertujuan agar tidak terjadi pencemaran silang.
Peralatan yang digunakan untuk produksi juga harus di desain sedemikian rupa
agar mudah dibersihkan. Peralatan tersebut hendaklah dibersihkan sesuai prosedur
tertulis yang rinci serta disimpan dalam keadaan bersih dan kering.

5
5. Sanitasi dan Higiene

Ruang lingkup sanitasi dan higiene meliputi personalia, bangunan, peralatan


dan perlengkapan, alat produksi beserta wadahnya, dan setiap hal yang dapat
merupakan sumber pencemaran produk. Sumber pencemaran hendaklah
dihilangkan melalui suatu program sanitasi dan higiene yang menyeluruh dan
terpadu.

Sanitasi merupakan segala usaha yang dapat dilakukan untuk menjaga


kesehatan lingkungan sekitar, dengan tujuan agar tidak timbul penyakit yang pada
akhirnya akan merugikan manusia.

Higiene merupakan upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi


kebersihan individu.

6. Produksi

Produksi obat hendaknya dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang telah


ditetapkan yang senantiasa dapat menjamin produk obat yang memenuhi
spesifikasi yang ditentukan. Produksi hendaklah dilakukan dan diawasi oleh
personel yang kompeten.

Hal-hal yang dapat dilakukan agar tidak terjadi pencemaran silang adalah :

* Produksi di dalam gedung terpisah (diperlukan untuk produk seperti penisilin,


hormon seks, sitotoksik tertentu, vaksin hidup, dan sediaan yang mengandung
bakteri hidup dan produk biologi lain serta produk darah)

* Tersedia ruang penyangga udara dan penghisap udara

* Memperkecil risiko pencemaran yang disebabkan oleh udara yang disirkulasi


ulang atau masuknya udara yang tidak diolah atau udara yang diolah secara tidak
memadai

* Memakai pakaian pelindung yang sesuai di area di mana produk yang berisiko
tinggi terhadap pencemaran silang diproses

6
* Melaksanakan prosedur pembersihan dan dekontaminasi yang terbukti efektif,
karena pembersihan alat yang tidak efektif umumnya merupakan sumber
pencemaran silang.

Agar mutu obat selalu terjaga, maka dilakukan IPC (In Process Control) oleh
bagian Quality Control. IPC dilakukan selama proses produksi berlangsung,
apabila ditemukan adanya ketidak sesuaian hasil pengujian dengan spesifikasi
pabrik. Maka proses dihentikan sementara dan segera dilakukan pembenahan yang
diperlukan.

7. Pengawasan Mutu

Pengawasan mutu merupakan bagian yang essensial dari cara pembuatan obat
yang baik, untuk memberikan kepastian bahwa produk secara konsisten
mempunyai mutu yang sesuai dengan tujuan pemakaiannya.

Pengawasan Mutu mencakup pengambilan sampel, spesifikasi, pengujian serta


termasuk pengaturan, dokumentasi dan prosedur pelulusan yang memastikan
bahwa semua pengujian yang relevan telah dilakukan, dan bahan tidak diluluskan
untuk dipakai atau produk diluluskan untuk dijual, sampai mutunya telah
dibuktikan memenuhi persyaratan.

Pengawasan Mutu tidak terbatas pada kegiatan laboratorium, tapi juga harus
terlibat dalam semua keputusan yang terkait dengan mutu produk.
Ketidaktergantungan Pengawasan Mutu dari Produksi dianggap hal yang penting
agar Pengawasan Mutu dapat melakukan kegiatan dengan memuaskan.

8. Inspeksi Diri dan Audit Mutu

Inspeksi diri bertujuan untuk melakukan penilaian apakah seluruh aspek


produksi dan pengendalian mutu selalu memenuhi CPOB.

9. Penanganan Keluhan Terhadap Produk, Penarikan Kembali Produk dan


Produk Kembalian

Semua keluhan dan informasi lain yang berkaitan dengan kemungkinan terjadi
kerusakan obat hendaklah dikaji dengan teliti sesuai dengan prosedur tertulis.

7
Untuk menangani semua kasus yang mendesak, hendaklah disusun suatu sistem,
bila perlu mencakup penarikan kembali produk yang diketahui atau diduga cacat
dari peredaran secara cepat dan efektif.

Penarikan kembali produk adalah suatu proses penarikan kembali dari satu atau
beberapa bets atau seluruh bets produk tertentu dari peredaran. Penarikan kembali
produk dilakukan apabila ditemukan produk yang cacat mutu atau bila ada laporan
mengenai reaksi yang merugikan yang serius serta berisiko terhadap kesehatan.
Penarikan kembali produk dari peredaran dapat mengakibatkan penundaan atau
penghentian pembuatan obat tersebut.

Produk kembalian adalah obat jadi yang telah beredar, yang kemudian
dikembalikan ke industri farmasi karena keluhan mengenai kerusakan, daluwarsa,
atau alasan lain misalnya kondisi wadah atau kemasan yang dapat menimbulkan
keraguan akan identitas, mutu, jumlah dan keamanan obat yang bersangkutan.

10. Penarikan kembali obat jadi. 

Penarikan kembali obat jadi berupa penarikan kembali satu atau beberapa
batch. Hal ini dilakukan bila ada produk yang mengalami masalah medis yang
menyangkut fisik, reaksi-reaksi alergi, efek toksik. Penanganan keluhan dan
laporan hendaknya dicatat dan ditangani, kemudian dilakukan penelitian dan
evaluasi. Indak lanjut dilakukan berupa tindakan perbaikan, pnarikan obat, dan
dilaporkan kepada pemerintah yang berwenang.

11. Obat kembalian. 

Obat kembalian dapat digolongkan sebagai berikut : obat yang masih


memenuhi spesifikasi yang dapat digunakan, yang dapat diolah ulang dan yang
tidak dapat diolah ulang.

12. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan bagian dari manajemen mutu. Setiap hal yang di


kerjakan selalu terdokumentasi. Dan setiap hal yang dikerjakan selalu mengacu
pada SOP (Standar Operating Procedure).

8
13. Pembuatan dan Analisis Berdasarkan Kontrak

Pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak harus dibuat secara benar,


disetujui dan dikendalikan untuk menghindari kesalahpahaman yang dapat
menyebabkan produk atau pekerjaan dengan mutu yang tidak memuaskan.
Kontrak tertulis antara Pembuat Kontrak dan Penerima Kontrak harus dibuat
secara jelas karena menentukan tanggung jawab dan kewajiban masing-masing
pihak.

14. Kualifikasi dan Validasi

Seluruh kegiatan validasi hendaknya direncanakan. Unsur utama


program validasi hendaklah dirinci dengan jelas dan didokumentasikan di
dalam Rencana Induk Validasi (RIV) atau dokumen yang setara. RIV
hendaklah dokumen yang singkat, tepat dan jelas.

9
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Alur Penerimaan Bahan Baku, Bahan Jadi dan Bahan Ekspedisi

1. Barang diperoleh dari supplier

2. Barang diterima bagian gudang, lalu disimpan sementara diarea karantina, diberi
label karantina (label kuning), dicek fisik secara visual sesuai dengan surat pesanan
barang yang meliputi kebenaran label bahan, nomer batch/lot, keutuhan kemasan
(wadah, label, segel, bruto, asal negara, tanggal pembuatan, tanggal kedaluarsa),
jumlah dan CoA.
3. Apabila sudah selesai, maka dibuatkan bukti titipan barang sementara (BTBS).
BTBS dibuat tiga rangkap, lembar asli untuk supplier, copy 1 untuk arsip gudang,
copy 2 sebagai surat permohonan pemeriksaan kepada QC.
4.Barang diterima oleh supervisor penyimpanan bahan baku dan disetujui oleh asisten
manager penyimpanan. Dilakukan pemeriksaan oleh laboratorium QC, selama masa
pemeriksaan QC memberi label karantina berwarna kuning pada label tersebut.
5. QC akan melakukan sampling terhadap bahan baku yang datang, barang diterima
atau ditolak berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium.
6. Setelah bahan baku diluluskan, bagian penyimpanan akan membuat bukti
penerimaan bahan baku (BPBB). Bahan baku akan disimpan dalam gudang sesuai
dengan stabilitas bahan baku. Bahan baku yang diluluskan diberi label hijau dengan
tulisan diluluskan dan ditempel diatas label karantina.
7. Jika bahan baku ditolak, maka gudang akan membuat surat pemberitahuan kepada
bagian pembelian bahwa barang yang dikirim oleh pemasok tidak memenuhi syarat
dengan melampirkan HPL (Hasil Pemeriksaan Laboratorium) dan surat pengembalian
barang ke supplier dan pemasok (retur). Bahan baku yang ditolak diberi label merah
dan ditempel diatas label karantina.
8. Bahan baku akan diperiksa ulang 1 tahun sekali maksimal 12 hari sebelum jatuh
tempo bagian penyimpanan bahan baku harus mengajukan surat permohonan
pemeriksaan ke laboratorium QC. Selam pemeriksaan ulang berlangsung, status
bahan baku adalah karantina (label kuning).

10
9. Untuk bahan baku maupun bahan jadi yang diimpor dari manufacturing asing
langsung dilakukan pemeriksaan QC. Jika bahan baku ditolak, maka barang bisa
dikembalikan, tergantung negosiasi manager impor.

3.2 In Process Control


Pengawasan selama proses produksi (in process control) merupakan hal yang yang
penting dalam pemastian mutu produk. Untuk memastikan keseragaman bets dan
keutuhan obat, prosedur tertulis yang menjelaskan pengambilan sampel, pengujian atau
pemeriksaan yang harus dilakukan selama proses dari tiap bets produk hendaklah
dilaksanakan sesuai dengan metode yang telah disetujui oleh kepala bagian Manajemen
Mutu (Pemastian Mutu) dan hasilnya dicatat. Pengawasan tersebut dimaksudkan untuk
memantau hasil dan memvalidasi kinerja dari proses produksi yang mungkin menjadi
penyebab variasi karakteristik produk selama proses berjalan.
Prosedur tertulis untuk pengawasan-selama-proses hendaklah dipatuhi. Prosedur
tersebut hendaklah menjelaskan titik pengambilan sampel, frekuensi pengambilan
sampel, jumlah sampel yang diambil, spesifikasi yang harus diperiksa dan batas
penerimaan untuk tiap spesifikasi.
Di samping itu, pengawasan-selama proses hendaklah mencakup, tapi tidak
terbatas pada prosedur umum sebagai berikut:
 Semua parameter produk, volume atau jumlah isi produk hendaklah diperiksa pada
saat awal dan selama proses pengolahan atau pengemasan;
 Kemasan akhir hendaklah diperiksa selama proses pengemasan dengan selang
waktu yang teratur untuk memastikan kesesuaiannya dengan spesifikasi dan
memastikan semua komponen sesuai dengan yang ditetapkan dalam prosedur
pengemasan induk.

Dalam proses produksi produk semisolid, dilakukan pemeriksaan selama proses


produksi (In Process Control) oleh personil produksi. IPC dilakukan pada tahap-tahap
kritis selama proses pembuatan suppositoria, misalnya :
1. Mixting Process : pH, homogenitas, kehalusan
2. Filling Process : bobot, penampilan,termasuk pencetakan expired date dan
nomor bets.

11
3.3 Kontrol Kualitas (QC)
Kontrol kualitas formulasi sediaan suppositoria untuk menjamin tiap lot
suppositoria yang dibuat, secara tetap memenuhi standar yang ditetapkan selama
pembuatan lot eksperimen awal. Suppositoria akhir secara rutin diperiksa
penampilannya, setelah dipotong memanjang, untuk keseragaman campuran tersebut.
Suppositoria tersebut diuji bahan-bahan aktifnya untuk menjamin bahwa masing-
masing suppositoria isinya sesuai dengan apa yang disebutkan pada etiket.Kontrol
kualitas sediaan suppositoria anatara lain uji kisaran leleh, uji pencairan atau waktu
melunak, uji kehancuran, uji ukuran partikel atau penghabluran, uji distribusi bahan
obat dan uji disolusi.

Bangunan dan Sarana Penunjang


 Pembagian daerah
Daerah-daerah di pabrik dibagi dalam 4 kategori, sbb:
Unclassified area
Daerah ini tidak mengikuti standar kelas area yang ada namun hanya
mempersyaratkan kebersihan secara umum saja serta tidak terdapat pengontrolan.
Daerah yang termasuk golongan ini antara lain:
·         mezzanine
·         utility
·         laundry dan ruang ganti sepatu.
        Black area
            Kategori ini merupakan unclassified area dengan beberapa   parameter
tertentu yang dipantau atau dikontrol. Termasuk di            dalamnya adalah:
·                 Laboratorium untuk pemeriksaaan fisik dan kimia     sedangkan untuk
pemeriksaaan mikrobiologi dilakukan         dalam ruangan terpisah dan dilakukan
dibawah Laminar        Air Flow (LAF).
·                 gudang (suhu dipantau untuk gudang sentral dan dikontrol untuk cold
storage).
·                 ruang kemas dan koridor (baik tekanan dan suhu dikontrol).
    Grey area

12
Daerah  ini  merupakan  daerah  produksi/manufacturing  kelas 100.000. Pada daerah
ini terdapat pengaturan suhu, tekanan dan jumlah partikel serta kelembaban relatif
untuk beberapa ruangan yang dipersyaratkan. Daerah ini merupakan daerah dimana
terdapat risiko kontaminasi produk.
       White area
Area ini juga disebut dengan area kelas C, B, dan A (di bawah LAF).Ruangan yang
masuk dalam area ini adalah ruangan yang digunakan untuk penimbangan bahan baku
produk steril, ruang mixing untuk produk steril di lini steril
2, background ruang filling di lini steril 1 dan 2, laboratorium mikrobiologi (ruang uji
steril). pada daerah ini, lantai berwarna putih (kelas C) dan biru muda (kelas
B).  Setiap karyawan yang akan memasuki area ini wajib menggunakan antistatic
gowning (pakaian dan sepatu yang tidak melepas partikel). antara grey area dan white
area dipisahkan oleh ruang ganti pakaian white dan airlock. Airlock  berfungsi
sebagai buffer untuk menjaga kebersihan antara 2 ruangan yang berbeda dengan cara
pengaturan tekanannya.
Sarana penunjang
Sarana penunjang produksi dimaksudkan untuk menunjang terlaksananya   kegiatan
produksi dan pembuatan obat. Sarana penunjang produksi ini antara lain
HVAC (Heating, Ventillating, and Air Conditioning),       sistem
penghasil steam (boiler), air     compressor, generator listrik dan        sistem
kelistrikan serta pengolahan air.
     Heating, Ventillating, and Air Conditioning (HVAC)
Terdapat 10 unit AHU (Air Handling Unit) yang masing masing mengatur beberapa
ruangan sekaligus.
Pada lantai 1 produksi terdapat :
                                                           1.        AHU 1 yang mengatur black area Lini Likuida
dan dispensing dan grey area lini solida 2.
                                                           2.        AHU 2 yang mengatur black area kemas Solida 1 dan
2.
                                                           3.        AHU 3 yang mengatur grey area lini solida 1.
                                                           4.        AHU 4 mengatur black area lini kemas likuida
dan timbang.
                                                           5.        AHU 5 mengatur grey area Lini likuida. 
                                                           6.        AHU 6 mengatur grey area ruang timbang.
13
Pada lantai 2 produksi terdapat :
                                                           7.        AHU 7 yang mengatur white area lini steril.
                                                           8.        AHU 8 mengatur grey area baik steril maupun
semisolida.
                                                      9.        AHU 9 yang mengatur lini black area lini kemas
steril dan   semisolida.
Pada lantai 3 produksi terdapat :
                                                         10.      AHU 10 yang mengatur pillot-plan area Bagian R&D.
 Listrik
Listrik yang di gunakan yaitu aliran listrik yang terdapat di pabrik. Disamping
itu terdapat juga sebuah genset sebagai cadangan jika pasokan listrik. Genset
ini terdiri dari 2 buah generator yang digerakkan oleh mesin diesel. Jika aliran
listrik tiba-tiba terputus, generator ini secara otomatis akan hidup dengan
sendirinya dengan segera.
 Steam system
Terdapat 2 jenis steam, yaitu pure steam dan black steam. Masing- masing
dihasilkan oleh alat yang berbeda. Black steam dihasilkan oleh boiler  yang
terletak di bagian utility, sedangkan pure steam dan black steam dihasilkan di
lini semisolida-steril dengan alat yang berbeda.
 Compressed air system
Sistem ini memasok kebutuhan angin bertekanan misalnya pada mesin
pencuci botol di lini likuida. Alat yang digunakan adalah dengan oli free
compressor yang dilengkapi dryer  berupa desicant-resin selain dilengkapi
dengan filter.
 Lini pada bagian produksi
   Lini Timbang
Pada lini ini kegiatan yang dilakukan adalah menimbang bahan baku dan
pelayanan bahan kemas. Penimbangan didasarkan pada Work Order Pick
List (WOPL) untuk masing-masing item produk per batchnya. Bahan kemas
dan bahan baku dari gudang yang akan ditimbang ataupun dihitung masuk
melalui ruang antara yang berbeda. Ruang antara bahan kemas dibagi menjadi
2 yaitu ruang antara primer untuk tempat masuk bahan kemas primer dan
ruang antara sekunder untuk bahan kemas sekunder. Selanjutnya untuk bahan

14
baku akan ditimbang di ruang timbang sedangkan bahan kemas akan dihitung
di ruang antara bahan kemas. Pada dasarnya peralatan yang digunakan pada
lini ini adalah timbangan yang ditempatkan dalam ruang-ruang timbang.
Ruang timbang sendiri dibagi menjadi 9 ruang dan dibedakan berdasarkan
kapasitas timbangnya dan jenis bahan yang ditimbang. ruang timbang 1 dan 2
kapasitas alat timbangnya 1.5-150 kg, ruang timbang 3 (kapasitas 35 kg) dan
ruang timbang 4 (kapasitas 6 kg) merupakan timbangan yang ditujukan untuk
lini produksi steril 2, ruang timbang 5 dan 6 kapasitas alat timbangnya 30 –
1510 gram, ruang timbang 7 kapasitas alat timbangnya 3-310 gram, ruang
timbang 8 khusus untuk menimbang cairan, dan ruang timbang 9 kapasitas alat
timbangnya 0,9 – 40 kg. ruang ruang timbang ini dilengkapi dengan dust
collector, khusus untuk penimbangan bahan baku produk steril dilengkapi
dengan laminar air flow.

Struktur organisasi dan personalia


Struktur Organisasi

Struktur organisasi industri farmasi hendaklah sedemikian rupa sehingga


bagian Produksi, Manajemen mutu (Pemastian mutu), dan Pengawasan mutu
dipimpin oleh orang-orang yang berbeda serta tidak bertanggungjawab satu terhadap
lain dan bersifat independen. Masing-masing personil diberi wewenang penuh dan
sarana yang memadai yang diperlukan untuk dapat melaksanakan tugasnya secara
efektif. Tidak mempunyai kepentingan lain diluar organisasi yang dapat menghambat
atau membatasi kewajiban dalam melaksanakan tanggungjawab.
Kepala bagian produksi  apoteker yang terdaftar dan terkualifikasi,
memperoleh pelatihan yang sesuai, memiliki pengalaman praktis yang memadai
dalam bidang pembuatan obat dan keterampilan menejerial sehingga memungkinkan
untuk melaksakan tugas secara professional.

Tugas dan tanggung jawab kepala bagian produksi

 Memeriksa pemeliharaan bangunan dan fasilitas serta peralatan di bagian


produksi
 Memastikan bahwa validasi yang sesuai telah dilaksanakan

15
 Memastikan bahwa pelatihan awal dan berkesinambungan bagi personil di
departemennya dilaksankan dan diterapkan sesuai kebutuhan

Tugas dan tanggung jawab kepala bagian manajemen mutu

 Memastikan penerapan, dan bila diperlukan membentuk sistem mutu


 Ikut serta dalam atau memprakarsai pemebentukan acuan mutu perusahaan
 Memprakarsai dan mengawasi audit internal atau inspeksi diri berkala
 Melakukan pengawasan terhadap fungsi bagian pengawasan mutu
 Memprakarsai dan berpartisipasi dalam pelaksanaan audit eksternal (audit
terhadap pemasok)

Tanggung Jawab Bersama Kepala Bagian Produksi, Pengawasan Mutu, dan


Manajemen Mutu

 Otorisasi prosedur tertulis dan dokumen lain, termasuk amandemen


 Pemantauan dan pengendalian lingkungan pembuatan obat
 Higiene pabrik
 Validasi proses
 Pelatihan
 Persetujuan dan pemantauan terhadap pemasok bahan
 Penetapan dan pemantauan kondisi penyimpanan bahan dan produk
 Penyimpanan catatan
 Pemantauan pemenuhan terhadap CPOB
 Inspeksi penyelidikan dan pengambilan sampel
 Pemantauan faktor yang mungkin berdampak terhadap mutu produk

Struktur organisasi model A

16
KEPALA
PABRIK

KABAG
KABAG
URUSAN KABAG PPIC KABAG TEKNIK
PRODUKSI
MUTU

KABAG KABAG
PEMASTIAN PENGAWASAN
MUTU MUTU

Struktur organisasi model B

DIRUT

Dir.
Dir. Op. Teknis Dir. keuangan
pemasaran

Ka pabrik Ka Op. Mutu

Kabag Kabag
Kabag
Kabag PPIC Kabag teknik pemastian pengawasan
produksi
mutu mutu

Personalia
Pada prinsipnya, industri farmasi bertanggungjawab untuk menyediakan
personil yang terkualifikasi dalam jumlah yang memadai untuk melaksanakan tugas
agar proses produksi dapat berjalan dengan baik. Semua personil harus memahami
prinsip CPOB agar produksi yang dihasilkan bermutu.

17
Kesehatan personil hendaklah dilakukan pada saat perekrutan sehingga dapat
dipastikan semua calon karyawan (mulai dari petugas kebersihan, pemasangan dan
perawatan peralatan, personil produksi dan pengawasan hingga personil tingkat
manajerial) memiliki kesehatan fisik dan mental yang baik sehingga tidak akan
berdampak pada mutu produk yang dibuat. Disamping itu, hendaklah dibuat dan
dilaksanakan program pemeriksaan kesehatan berkala yang mencakup pemeriksaan
jenis-jenis penyakit yang berdampak pada mutu dan kemurnian produk akhir. Untuk
masing-masing karyawan hendaklah ada catatan tentang kesehatan mental dan
fisiknya.
Dalam kualifikasi dan pengalaman personil yang diperlukan untuk tiap posisi
hendaklah ditetapkan secara tertulis yang disimpan oleh HRD (Human Resources
Departemen) untuk merekrut dari segi lapangan kerja dan sesuai kebutuhan yang
diperlukan.
Jumlah personil yang memadai sangat mempengaruhi proses produksi.
Kekurangan jumlah personil cenderung mempengaruhi kualitas obat karena tugas
diselesaikan secara tergesa-gesa dengan segala akibatnya. Disamping itu, kekurangan
jumlah karyawan biasanya mengakibatkan kerja lembur dan hal tersebut jika
dilakukan secara terus-menerus akan menimbulkan kelelahan fisik dan mental gai
operator ataupun supervisor (BPOM 2009).

3.4 Pengujian/Evaluasi Produksi Suppositoria


1. Penampilan
Untuk mengevaluasi adanya keretakan, migrasi bahan aktif, bau, warna
a. Bentuk
Dianjurkan untuk memeriksa bentuk suppositoria untuk melihat apakah bentuk
tersebut konsisten.
b. Kondisi Permukaan
Hal-hal yang dapat dievaluasi, diantaranya sebagai berikut: kecemerlangan,
kusam, bintik-bintik, retak, daerah gelap, rongga aksial, gelembung udara,
lubang, dll
c. Warna
Intensitas, sifat dan homogenitas warna harus diverifikasi
d. Bau

18
Verifikasi bau dapat mencegah kebingungan ketika supositoria yang sama
sedang diproses. Perubahan bau juga dapat menjadi indikasi dari proses
degradasi.

2. Keseragaman B bot o
 Timbang 20 suppo sendiri2 (w1-w20)
 Timbang 20 suppo bersamaan (w)
 Hitung rata-rata w/20
Evaluasi: tdk lebih 2 suppo berbeda dengan berat rata-rata > 5%, dan tidak ada satu
suppo yang berbeda dengan rata-rata > 10%.

3. Uji Jarak Leleh (Melting Range Test)


Uji ini disebut juga kisaran meleleh makro, dan uji ini merupakan suatu
ukuran waktu yang diperlukan suppositoria untuk meleleh sempurna bila
dicelupkan dalam penanggas air dengan temperatur tetap (37oC). Sedangkan uji
kisaran meleleh mikro adalah kisaran leleh yang diukur dalam pipa kapiler hanya
untuk basis lemak. Alat yang biasa digunakan untuk mengukur kisaran leleh
sempurna dari suppositoria adalah suatu Alat Disintegrasi Tablet USP.
Suppositoria dicelupkan seluruhnya dalam penanggas air yang konstan, dan waktu
yang diperlukan suppositoria untuk meleleh sempurna atau menyebar dalam air
disekitarnya diukur. Pola pelepasan obat secara in vitro diukur dengan
menggunakan alat kisaran leleh yang sama.

Alat Disintegrasi Tablet USP

19
4. Liquefaction Time / Softening Time
Pengujian pencairan atau waktu melunak memberikan informasi tentang
sediaan suppositoria ketika pada suhu maksimum 37⁰C. Tes yang umum
digunakan adalah metode Krowczynski, yang mengukur waktu yang dibutuhkan
suppositoria untuk mencair pada tekanan yang sama dengan yang ada di rektum
(sekitar 30 g) dengan adanya air pada suhu 37⁰C. Secara umum, titik leleh
suppositoria tidak boleh lebih dari 37⁰C dan syarat lama waktu pencairan tidak
boleh lebih dari 30 menit (Lachman et al., 1994). Alat yang dapat digunakan untuk
pengujian adalah pipa-U dan pipa selofan.

U-Tube apparatus for melting point determination.

Liquefaction time apparatus

20
Pada metode Krowczynski, uji tersebut terdiri dari pipa-U yang sebagian
dicelupkan ke dalam bagian penanggas air yang bertemperatur konstan. Penyempitan
pada satu sisi menahan suppositoria tersebut pada tempatnya dalam pipa. Sebuah
batangan dari kaca ditempatkan di bagian atas suppositoria, dan waktu yang
diperlukan batangan untuk melewati suppositoria sampai penyempitan tersebut dicatat
sebagai ”waktu melunak”. Ini dapat dilaksanakan dalan berbagai temperatur dari 35,5
sampai 37⁰C sebagai suatu pemeriksaan pengawasan mutu, dan dapat juga dikaji
sebagai suatu ukuran kestabilan fisika terhadap waktu. Suatu penanggas air dengan
elemen pendingin dan pemanas harus digunakan untuk menjamin pengaturan panas
dengan parbedaan tidak lebih dari 0.1⁰C.

Liquefaction time apparatus dengan pipa selofan

Uji melunak untuk mengukur waktu yang diperlukan suppositoria rektal untuk
mencair dalam alat yang disesuaikan dengan kondisi in vivo. Suatu penyari melalui
selaput semiparmiabel, yakni pipa selofan, diikat pada kedua ujung kondensor dengan
masing-masing ujung pipa terbuka. Air pada 37⁰C disirkulasi melalui kondensor
tersebut pada laju sedemikian rupa, sehingga separuh bagian bawah pipa selofan
kempis dan separuh bagian atas terbuka. Tekanan hidrostatis air dalam alat tersebut
kira-kira nol ketika pipa tersebut mulai kempis. Bila temperatur air dibuat stabil pada
suhu 37⁰C, suppositoria turun, dan waktu tersebut diukur untuk suppositoria meleleh
dengan sempurna dalam pipa tersebut (Setnikar and Fantelli, 1962).

5. Uji Kehancuran

21
Uji kehancuran dirancang sebagai metode untuk mengukur keregasan atau
kerapuhan suppositoria. Suppositoria dengan bentuk-bentuk yang berbeda
memiliki titik hancur yang berbeda pula.

Gambar 4. Alat uji kekerasan suppositoria


Pengujian kekerasan suppositoria diawali dengan pendiaman
suppositoria pada suhu 25 ± 1,5⁰C. Alat yang digunakan untuk uji tersebut
terdiri dari suatu ruang berdinding rangkap dimana suppositoria yang diuji
ditempatkan. Suppositoria ditempatkan secara tegak dengan bagian runcing
menghadap ke atas. Pintu kaca ditutup dan selanjutnya bantalan digeser
sehingga batang pemberat dalam posisi menggantung bersamaan dengan
pencatatan waktu. Penentuan kekerasan diawali dengan memberi beban 600
gram menggunakan batang pemberat. Kemudian dilakukan penambahan beban
dengan berat masing-masing 200 gram setiap 1 menit. Pencatat waktu
dihentikan saat suppositoria hancur (beban telah sampai pada batas yang
ditentukan. Percobaan tersebut dilakukan 3 kali untuk masing-masing
suppositoria. Waktu dan beban yang digunakan dicatat. Hasil sediaan
suppositoria yang baik adalah memiliki kekerasan dalam rentang 1,8 – 2,0 Kg
(Lieberman, 1994).
Pembacaan beban :
a. Apabila sediaan hancur dalam waktu 0 – 20 detik setelah pemberian
lempeng terakhir, maka massa yang terakhir ini tidak masuk dalam
perhitungan.

22
b. Apabila sediaan hancur dalam waktu 20 – 40 detik setelah pemberian
lempeng terakhir, maka massa yang dimasukkan ke dalam perhitungan
hanya setengah dari massa yang digunakan (misal 100 gram)
c. Apabila sediaan belum hancur dalam waktu >40 detik setelah pemberian
lempeng terakhir, maka seluruh massa lempeng terakhir dimasukkan ke
dalam perhitungan.
(Milala et al., 2013)
Titik hancur yang dikehendaki dari masing-masing bentuk suppositoria
yang beranekaragam ini ditetapkan sebagai level yang menahan kekuatan (gaya)
hancur yang disebabkan oleh berbagai tipe penanganan, yakni produksi,
pengemasan, pengiriman, dan pengangkutan.

6. Uji Disolusi
Uji disolusi supositoria diperlukan untuk menguji pengerasan dan transisi
polimorfik bahan aktif dan basis supositoria. Namun, tidak ada uji disolusi yang
benar-benar tepat untuk supositoria karena ketidaklarutan beberapa pembawa
supositoria dalam air. Jika menggunakan larutan disolusi aqueous maka
memerlukan tahap partisi, namun tahap tersebut membutuhkan waktu eksta yang
dapat mengubah perhitungan laju disolusi.
Laju disolusi pada supositoria cair yang mengandung surfaktan lebih cepat
daripada yang tidak mengandung surfaktan. Apabila menggunakan surfaktan,
profil disolusi kurang lebih sama pada teknik yang berbeda. Kehadiran surfaktan
membat supositoria lebih sensitif pada perbedaan teknik disolusi (Gjellan, 1989).
7. Uji Stabilitas
a. Lemak coklat dalam penyimpanan dapat terbentuk seperti serbuk putih di
permukaannya, diatasi dengan disimpan di suhu dingin yang seragam dan
mengemas dalam aluminium foil.
b. Suppositoria dari lemak coklat semakin keras dalam penyimpanan karena terjadi
transisi menjadi bentuk kristal yang stabil.
c. Apabila suppositoria disimpan pada suhu tinggi di bawah titik lelehnya setelah
produksi proses kadaluarsa akan lebih cepat.
d. Softening time dapat digunakan untuk uji stabilitas.

23
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Alur Produksi Suppositoria yang baik yaitu dimulai dari :
 Alur Penerimaan Bahan Baku, Bahan Jadi dan Bahan Ekspedisi(dari bahan
diperoleh dari supplier sampai bahan baku yang lulus QC yang akan disimpan
dalam gudang sesuai dengan stabilitas bahan baku.)
 Melakukan KbD(Kualitas Berdasarkan Desain) menggunakan pendekatan
sistematik untuk menjamin kualitas dengan mengembangkan pemahaman
mendalam mengenai kompatibilitas produk akhir dan semua proses
pengembangan dengan semua komponen dan proses yang terlibat dalam
pembuatan produk.
 Melakukan PAT yang sesuai untuk produksi Suppositoria dengan
menggunakan Near-Infrared (NIR), spektrum bisa dilihat langsung dalam
sampel tanpa kontak langsung dan tidak menyebabkan kerusakan sampel.
2. Pengujian/Evaluasi dari Produksi Suppositoria
 Penampilan : Untuk mengevaluasi adanya keretakan, migrasi bahan aktif, bau,
warna
 Keseragaman Bobot : Evaluasi: tdk lebih 2 suppo berbeda dengan berat rata-
rata > 5%, dan tidak ada satu suppo yang berbeda dengan rata-rata > 10%.
 Uji Jarak Leleh (Melting Range Test) Uji ini merupakan suatu ukuran waktu
yang diperlukan suppositoria untuk meleleh sempurna bila dicelupkan dalam
penanggas air dengan temperatur tetap (37oC).
 Liquefaction Time / Softening Time Pengujian pencairan atau waktu melunak
memberikan informasi tentang sediaan suppositoria ketika pada suhu
maksimum 37⁰C. Tes yang umum digunakan adalah metode Krowczynski.
 Uji Kehancuran Uji kehancuran dirancang sebagai metode untuk mengukur
keregasan atau kerapuhan suppositoria. Suppositoria dengan bentuk-bentuk
yang berbeda memiliki titik hancur yang berbeda pula.
 Uji Disolusi Uji disolusi supositoria diperlukan untuk menguji pengerasan
dan transisi polimorfik bahan aktif dan basis supositoria.
 Uji Stabilitas

24
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1929. Netherland Pharmacopea. Edisi V, Staatsuitgerij’s Graventhg, Brussel.

De Beer, T., Burggraeve, A., Fonteyne, M., Saerens, L., Remon, J.P., and Vervaet, C.
2011. Near infrared and Raman spectroscopy for the in‐process monitoring of
pharmaceutical production processes. Int J Pharm. 2011; 417: 32–47.

Depkes RI. 1979. Farmakope Indonesia Ed III. Jakarta: Direktorat Jendral Pengawasan obat
dan Makanan Departemen Kesehatan RI.

Depkes RI. 1995. Farmakope Indonesia Ed IV. Jakarta: Direktorat Jendral Pengawasan obat
dan Makanan Departemen Kesehatan RI.

Depkes RI. 2014. Farmakope Indonesia Ed V. Jakarta: Direktorat Jendral Pengawasan obat
dan Makanan Departemen Kesehatan RI.

Dibbern, H.W., Muller, R.M., Wirbitzki, E. 2002. UV and IR Spectra Pharmaceutical


Substance (UV and IR) and Pharmaceutical and Cosmetic Excipients (IR). Germany:
Editio Cantor Verlag.

Ditjen POM. 1995. Farmakope Indonesia. ed. IV. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Gandjar, I.G. 2010. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gjellan K, Graffner C. 1989. Comparative dissolution studies of rectal formulations using the
basket, the paddle and the flow-through methods. I. Paracetamol in suppositories and
soft gelatin capsules of both hydrophilic and lipophilic types. Acta Pharm Nord. 1:
343–354.

Hinz, D.C. 2006. Process analytical technologies in the pharmaceutical industry: The FDA's
PAT initiative. Anal Bioanal Chem. 2006; 384: 1036–1042.

Lachman, L., Lieberman, H.A., Kanig, J.L. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri III.
Jakarta. Universitas Indonesia. 1147-119.

Lieberman, A.H. 1994. Pharmaceutical Dosage Forms Diseperse System. 2nd Edition. New
York. 243.

25
Milala, A.S., Aditya, T.P., Andrew, P.B. 2013. Karakteristik Fisik dan Displacement Value
Suppositoria Neomisin Sulfat Berbasis PEG. Jurnal Farmasi Indonesia. 6: 3.

Otsuka, K., Uchino, T., dan Otsuka, M. 2013. Non-destructive prediction of the drug content
of an acetaminophen suppository by near-infrared spectroscopy and X-ray computed
tomography. Informa Healthcare USA, Inc. DOI: 10.3109/03639045.2013.842581.
Drug Dev Ind Pharm, 2015; 41(1): 15–21.

Otsuka, M. 2004. Comparative particle size determination of phenacetin bulk powder by


using Kubelka‐Munk theory and principal component regression analysis based on
near‐infrared spectroscopy. Powder Technol. 2004;  141: 244–250.

Otsuka, Makoto. 2003. Chemometric evaluation of pharmaceutical properties of antipyrine


granules by near-infrared spectroscopy. AAPS PharmSciTech 2003; 4 (3) Article 47.

26

Anda mungkin juga menyukai