Anda di halaman 1dari 21

Laporan Praktikum Teknik Fermentasi

BM 3106
MODUL 4.2: TEKNIK KUANTIFIKASI MIKROBA (JAMUR, RAGI, DAN
MIKROALGA)

Oleh:
I Putu Ikrar Satyadharma
11218036
Kelompok 2

PROGRAM STUDI REKAYASA HAYATI


SEKOLAH ILMU DAN TEKNOLOGI HAYATI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
TAHUN 2020
MODUL 4.2 – I PUTU IKRAR S. - 11218036 HALAMAN 1

09 Oktober 2020

Reinard Elyon Imawanto - 11217014


MODUL 4.2 – I PUTU IKRAR S. - 11218036 HALAMAN 2

I. Latar Belakang
Pertumbuhan mikroba pada umumnya mengikuti suatu kurva pertumbuhan. Dengan
kurva ini, kita dapat memprediksikan kapan suatu mikroba akan memasuki fase-fase tertentu
dalam pertumbuhannya. Beberapa metabolit-metabolit yang dihasilkan mikroba, hanya
diahsilkan pada fase-fase spesifik. Di bidang bioindusti, kurva ini cukup penting karena
membantu memprediksi kapan waktu yang tepat untuk melakukan kultivasi, biasanya
dilakukan pada fase stasioner, yang kemudian dapat diotomisasikan. Untuk membentuk kurva
pertumbuhan menggunakan spektrofotometri dibutuhkan sebuah kurva baku untuk sebagai
standar perhitungan dalam pembuatan kurva pertumbuhan. Selain itu, pada praktikum ini juga
dipelajari mengenai spore viability

II. Tujuan
1. Menentukan fase pertumbuhan dan generation time jamur Aspergillus awamori
melalui kurva tumbuh dengan pendekatan berat kering;
2. Menentukan persentase viabilitas spora Aspergillus awamori dengan pendekatan
Total Viable Count (TVC);
3. Menentukan kurva pertumbuhan dan generation time ragi Saccharomyces cerevisiae
dengan metode penghitungan mikroskopis langsung;
4. Menentukan kurva pertumbuhan dan generation time mikroalga Chlorella vulgaris
dengan metode spektrofotometri;
5. Menentukan kurva pertumbuhan dan generation time mikroalga Chlorella vulgaris dengan
pengukuran berat kering.

III. Hipotesis
1. Pola pertumbuhan Aspergillus awamori adalah fase log pada 0-8 hari dan fase
kematian pada 8-10 hari. Tidak terlihat adanya fase lag dan stasioner (Nishida et al.,
2018). Dengan generation time 46.3 jam pada temperatur 30⁰C dengan agitasi 200
RPM (Castro et al., 2011)
2. Rata-rata viabilitas spora Aspergillus awamori adalah 97,36% yang ditumbuhkan
pada medium PDA dengan metode inokulasi sebar pada suhu 25°C (Fitriana, 2017).
3. Pola pertumbuhan Saccharomyces cereviseae adalah fase lag pada rentang 0-2 jam
setelah itu fase eksponensial pada rentang 2-8 jam, kemudian fase stasioner pada
rentang 8-12 jam, dan terakhir fase kematian lebih dari 12 jam (Held, 2010) dengan
generation time 2 jam (Barber & Lands, 1973).
MODUL 4.2 – I PUTU IKRAR S. - 11218036 HALAMAN 3

4. Pola pertumbuhan Chorella vulgaris pada suhu 20-25°C adalah fase lag pada hari ke 0-4, fase
log pada hari ke 4-12, dan fase stasioner pada hari ke 13-15 (Chlimawanti, 2008) dan
generation time sebesar 0,5298 hari (Ammar, 2016).

Gambar 3.1. Kurva pertumbuhan Chorella vulgaris metode spektofotometri pada 0


ppm, 1 ppm, 5 ppm, dan 10 ppm (Chlimawanti, 2008)
5. Dengan metode berat kering, C. vulgaris mempunyai fase pertumbuhan lag, log, dan
stasioner (Deng, et al., 2011) dan generation time 0,53 hari (Ammar, 2016).

Gambar 3.2. Kurva pertumbuhan C. vulgaris dengan metode berat kering. Media
DS, suhu 25oC, agitasi 230 rpm
MODUL 4.2 – I PUTU IKRAR S. - 11218036 HALAMAN 4

IV. Alat, Bahan, dan Cara Kerja


A. Pembuatan Kurva Viabilitas Spora dan Kurva Tumbuh Jamur (Kultur:
Aspergillus awamori)
Pada pembuatan kurva viabilitas dan tumbuh Aspergillus awamori, digunakan alat-alat
seperti kawat ose, pembakar bunsen, shaker, tabung reaksi, botol roux, hemasitometer,
mikroskop, mikropipet, oven, dan desikator. Bahan yang digunakan adalah medium PDA
agar, medium PDB, NaCl 0,85%, Tween80 0,1%, kertas Whatman no.1, corong buchner,
labu buchner, pompa vakum, dan kultur stok Aspergillus awamori.
1. Kurva Viabilitas Spora Jamur
Pertama, kultur ditumbuhkan pada botol roux berisi medium agar PDA, dan
diinkubasi 4-5 hari hingga jumlah spora cukup banyak. Spora dipanen dengan
menambahkan 15 ml larutan panen (NaCl 0,85% + Tween80 0,1%) ke dalam botol
roux, lalu digesekkan secara hati-hati menggunakan ose steril agar spora terangkat
dari permukaan agar. Larutan panen spora dipindahkan ke dalam tabung reaksi steril.
Kemudian lakukan perhitungan jumlah spora menggunakan hemasitometer. Dibuat
larutan spora dengan jumlah spora 107 spora/ml. Diencerkan bila diperlukan
menggunakan larutan NaCl 0,85%. Larutan spora yang mengandung 107 spora/ml
diambil sebanyak 0,1 mL untuk diinokulasikan ke dalam medium PDA miring pada
botol roux menggunakan mikropipet, kemudian digesekkan menggunakan oose.
Inokulasi dilakukan pada 13 medium PDA miring dengan metode yang sama. Tabung
reaksi yang berisi medium PDA miring tersebut ditandai dengan T0 – T12.
Pemanenan spora dilakun setiap 6 jam selama 72 jam inkubasi (T0 – T12) dengan
cara dimasukkan 5 ml larutan panen (NaCl 0,85% + Tween80 0,1%) ke dalam botol
roux yang berisi kultur lalu digesekkan menggunakan ose steril agar spora terangkat
dari permukaan agar. Larutan panen spora dipindahkan ke dalam tabung reaksi steril.
Pada setiap titik tersebut dilakukan perhitungan jumlah spora menggunakan
hemasitometer dan TVC (Total Viability Count). Perhitungan TVC dilakukan dengan
mengambil larutan serial pengenceran (3 pengenceran terakhir yang ditentukan
berdasarkan densitas spora) dari larutan spora sebanyak 0,1 mL. Kemudian larutan
spora di-spread dalam medium PDA agar dan diinkubasi pada suhu ruang.
Perhitungan koloni dilakukan setelah inkubasi selama 48 jam. Data yang didapatkan
dari % viabilitas spora (y) per waktu sampling (x) digunakan untuk menentukan kurva
viabilitas spora jamur.
2. Pembuatan Kurva Tumbuh Jamur
Pertama, kultur fungi dalam tabung reaksi diinkubasi selama 54 jam. Dari masing-
masing tabung, spora dipanen. Lalu, inokulum (10%, 106 spora/mL) diinokulasikan
ke masing-masing 13 medium PDB 100 mL. Kemudian diinkubasi pada suhu ruang
dengan shaker pada kecepatan 125 rpm. Sampling dilakukan setiap 6 jam. Berat kering
diukur dan kurva tumbuh dibuat.
3. Perhitungan Berat Kering Miselium
Pertama, kertas Whatman no.1 dikeringkan di oven selama 1 hari (24 jam) pada suhu
105ºC, kemudian dimasukkan ke dalam desikator selama 24 jam. Setelah itu
ditimbang dan berat dicatat menggunakan neraca analitik. Kertas tersebut kemudian
digunakan untuk memisahkan miselium dari mediumnya dengan corong Buchner dan
vakum. Miselium yang tersaring dibilas akuades dan dikeringkan 24 jam dalam oven
105°C, tutup cawan petri digunakan sebagai alas kertas. Sampel yang sudah kering
diukur beratnya menggunakan neraca analitik dan diletakkan dalam desikator minimal
24 jam dan ditimbang kembali berat menggunakan neraca analitik. Berat kering
miselium diukur. Pengukuran berat kertas setelah oven digunakan sebagai parameter
MODUL 4.2 – I PUTU IKRAR S. - 11218036 HALAMAN 5

untuk mengukur kestabilan hasil pengukuran akhir. Data yang didapatkan dari berat
kering (y) per waktu sampling (x) digunakan untuk menentukan kurva pertumbuhan
jamur. Setelah kurva tumbuh didapatkan, fase logaritmik/eksponensial diidentifikasi
dan dilakukan perhitungan generation time.
B. Pembuatan Kurva Tumbuh Ragi (Kultur: Saccharomyces cerevisae)
Pada pembuatan kurva tumbuh Saccharomyces cerevisiae, digunakan alat-alat seperti
jarum ose, hemasitometer, mikroskop, pH meter, labu erlenmeyer, dan shaker. Bahan-
bahan yang digunakan adalah medium PDB serta kultur stok Saccharomyces cerevisiae.
Pertama, kultur diaktivasi pada medium PDB dengan menginokulasi 3 – 5 ose kultur
berusia 24 jam dalam 50 mL PDB dan diinkubasi selama 24 jam dengan agitasi 150 rpm
(aktivasi I). Kultur berusia 24 jam tersebut dipindahkan sebanyak 10% v/v pada 50 mL
PDB baru dan diinkubasi selama 24 jam dengan agitasi 150 rpm (aktivasi II). Kultur
sebanyak 22 mL dipindahkan ke dalam 220 mL PDB untuk diambil sampel dan diuji.
Setiap 4 jam selama 48 jam sampel diambil dan diuji untuk mendapatkan 13 titik sampel
(T0 – T12). Pada setiap waktu sampling, dilakukan perhitungan jumlah sel dengan alat
hemasitometer dan pengukuran kadar pH. Setiap sampling, dilakukan perhitungan
jumlah sel secara duplo dan jumlah sel rata-ratanya diambil. Data yang didapatkan dari
jumlah sel (y) per waktu sampling (x) digunakan untuk menentukan kurva pertumbuhan
ragi. Generation time dihitung.
C. Pembuatan Kurva Tumbuh Mikroalga (Kultur: Chlorella vulgaris)
Pada pembuatan kurva tumbuh Chlorella vulgaris, digunakan alat-alat seperti jarum ose,
hemasitometer, mikroskop, pH meter, botol 1 L, dan shaker. Bahan-bahan yang
digunakan adalah medium BBM, medium Kessler serta kultur stok Chlorella vulgaris.
1. Kultivasi Sel Chlorella vulgaris
Pertama, Chlorella vulgaris dikultur pada medium BBM 200 mL dalam botol 1 L
dengan pH 6-7. Kultur Chlorella vulgaris dipelihara dengn aerasi 1.5 L/menit dengan
kultur terpapar sinar matahari selama 7 hari. Setelah 7 hari, kultur Chlorella vulgaris
dipindahkan ke medium Kessler dalam botol 1 L sehingga diperoleh stok kultur.
2. Pembuatan Kurva Tumbuh dengan Metode Spektrofotometri
Pembuatan Kurva Baku
Pertama, stok kultur diukur kepadatan optikalnya (OD) pada λ=680 nm. Pengukuran
dilakukan dengan memindahkan 10 ml sampel ke dalam tabung reaksi. Sampel
dicuplik dari tabung reaksi, dimasukkan ke dalam kuvet hingga tanda batas, ukur OD
menggunakan spektrofotometer dengan λ=680 nm. Hasil dicatat, diulangi dengan
pengenceran bila absorbansi > 1. Stok kultur diencerkan menggunakan air agar
diperoleh suspensi kultur dengan rentang OD 0,1-0,9 (interval 0,1). Jumlah sel
dihitung dengan hemasitometer. Hemasitometer dibersihkan dengan alkohol. Lalu
teteskan kultur dari tiap titik OD ke dalam hemasitometer diantara gelas objek dan
kaca penutup hemasitometer. Sel diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran 10
kali lensa okuler dan 4 kali lensa objektif dan hitung sel yang hidup.
Pembuatan Kurva Tumbuh
Stok kultur diinokulasikan sebanyak 10% (v/v) ke medium Kessler baru. Sampel
diambil dari kultur mikroalga setiap 12 jam selama 1 minggu (T0 – T14). Pada setiap
waktu sampling dilakukan pengukuran OD. Data OD dikonversi menjadi jumlah sel
melalui kurva baku yang telah didapatkan sebelumnya. Data yang didapatkan dari
jumlah sel (y) terhadap waktu sampling (x) digunakan untuk menentukan kurva
pertumbuhan mikroalga. Setelah kurva tumbuh didapatkan, fase
logaritmik/eksponensial diidentifikasi dan dilakukan perhitungan generation time.
MODUL 4.2 – I PUTU IKRAR S. - 11218036 HALAMAN 6

3. Pembuatan Kurva Tumbuh melalui Pengukuran Berat Kering


Pertama stok kultur diinokulasikan sebanyak 10% (v/v) ke medium Kessler baru.
Sampel diambil dari kultur mikroalga setiap hari selama 1 minggu (T0 – T7). Pada
setiap waktu sampling dilakukan pengukuran berat kering. Tabung falcon ditimbang
menggunakan neraca analitis. 10 mL sampel diambil dan disentrifugasi dengan
kecepatan 5.000 rpm selama 10 menit. Sampel dipisahkan dari supernatant, lalu di-
oven dengan suhu 105ºC. Sampel ditimbang tiap 30 menit hingga berat kering
konstan. Data yang didapatkan dari berat kering/biomassa (y) terhadap waktu
sampling (x) digunakan untuk menentukan kurva pertumbuhan mikroalga. Setelah
kurva tumbuh didapatkan, fase logaritmik/eksponensial ditentukan dan generation
time dihitung.
MODUL 4.2 – I PUTU IKRAR S. - 11218036 HALAMAN 7

V. Hasil Pengamatan
A. Hasil Pengamatan Hemasito Mikroalga

Tabel 5.1. Hasil Pengamatan Hemasito Mikroalga


Hasil Pengamatan Keterangan
Nama Kultur: Chlorella vulgaris
Bagian Hemasito: A atas
Jumlah sel terhitung: ±95
Jumlah sel hemasito: 95 x 25 x 104 = 2,375
x 107 sel/cm3

Gambar 5.1.1. Hasil pengamatan


hemasitometer A atas Chlorella vulgaris
Nama Kultur: Chlorella vulgaris
Bagian Hemasito: A bawah
Jumlah sel terhitung: ±80
Jumlah sel hemasito: 80 x 25 x 104 = 2 x 107
sel/cm3

Gambar 5.1.2. Hasil pengamatan


hemasitometer A bawah Chlorella vulgaris
Nama Kultur: Chlorella vulgaris
Bagian Hemasito: B atas
Jumlah sel terhitung: ±105
Jumlah sel hemasito: 105 x 25 x 104 = 2,625
x 107 sel/cm3

Gambar 5.1.3. Hasil pengamatan


hemasitometer B atas Chlorella vulgaris
MODUL 4.2 – I PUTU IKRAR S. - 11218036 HALAMAN 8

Nama Kultur: Chlorella vulgaris


Bagian Hemasito: B bawah
Jumlah sel terhitung: ±93
Jumlah sel hemasito: 93 x 25 x 104 = 2,325
x 107 sel/cm3

Gambar 5.1.4. Hasil pengamatan


hemasitometer B bawah Chlorella vulgaris
Nama Kultur: Chlorella vulgaris
Bagian Hemasito: C atas
Jumlah sel terhitung: ±120
Jumlah sel hemasito: 93 x 25 x 104 = 3 x 107
sel/cm3

Gambar 5.1.5. Hasil pengamatan


hemasitometer C atas Chlorella vulgaris
Nama Kultur: Chlorella vulgaris
Bagian Hemasito: C bawah
Jumlah sel terhitung: ±110
Jumlah sel hemasito: 110 x 25 x 104 = 2,75
x 107 sel/cm3

Gambar 5.1.6. Hasil pengamatan


hemasitometer C bawah Chlorella vulgaris
Nama Kultur: Chlorella vulgaris
Bagian Hemasito: D atas
Jumlah sel terhitung: ±103
Jumlah sel hemasito: 103 x 25 x 104 = 2,575
x 107 sel/cm3
MODUL 4.2 – I PUTU IKRAR S. - 11218036 HALAMAN 9

Gambar 5.1.7. Hasil pengamatan


hemasitometer D atas Chlorella vulgaris
Nama Kultur: Chlorella vulgaris
Bagian Hemasito: D bawah
Jumlah sel terhitung: ±110
Jumlah sel hemasito: 110 x 25 x 104 = 2,75
x 107 sel/cm3

Gambar 5.1.8. Hasil pengamatan


hemasitometer D bawah Chlorella vulgaris

B. Hasil Pengamatan Hemasito Ragi

Tabel 5.2. Hasil Pengamatan Hemasito Ragi


Hasil Pengamatan Keterangan
Nama Kultur: Saccharomyces cerevisiae
Bagian Hemasito: A atas
Jumlah sel terhitung: ±42
Jumlah sel hemasito: 42 x 25 x 104 = 1,05 x
107 sel/cm3

Gambar 5.2.1. Hasil pengamatan


hemasitometer A atas Saccharomyces
cerevisiae
Nama Kultur: Saccharomyces cerevisiae
Bagian Hemasito: A bawah
Jumlah sel terhitung: ±21
Jumlah sel hemasito: 21 x 25 x 104 = 0,525
x 107 sel/cm3
MODUL 4.2 – I PUTU IKRAR S. - 11218036 HALAMAN 10

Gambar 5.2.2. Hasil pengamatan


hemasitometer A bawah Saccharomyces
cerevisiae
Nama Kultur: Saccharomyces cerevisiae
Bagian Hemasito: A bawah
Jumlah sel terhitung: ±43
Jumlah sel hemasito: 43 x 25 x 104 = 1,075
x 107 sel/cm3

Gambar 5.2.3. Hasil pengamatan


hemasitometer B atas Saccharomyces
cerevisiae
Nama Kultur: Saccharomyces cerevisiae
Bagian Hemasito: A bawah
Jumlah sel terhitung: ±41
Jumlah sel hemasito: 41 x 25 x 104 = 1,025
x 107 sel/cm3

Gambar 5.2.4. Hasil pengamatan


hemasitometer B bawah Saccharomyces
cerevisiae

C. Kurva Sporulasi dan Viabilitas Spora


Tabel 5.3. data sporulasi dan viabilitas spora
T Jumlah Spora Spora Viabel %Spora Viabel
0 2,48E+05 2,50E+05 99,20%
1 2,62E+04 7,50E+04 34,87%
2 3,40E+04 1,39E+05 24,46%
3 2,70E+03 2,78E+04 9,72%
4 4,50E+03 4,17E+04 10,80%
5 1,00E+04 1,25E+05 8,00%
6 4,70E+04 2,75E+05 17,09%
7 2,03E+06 7,90E+06 25,65%
8 3,00E+05 1,20E+07 2,49%
9 0,00E+00 1,62E+07 0,00%
MODUL 4.2 – I PUTU IKRAR S. - 11218036 HALAMAN 11

10 4,80E+05 2,55E+07 1,88%


11 4,30E+06 1,09E+07 39,63%
12 2,11E+07 2,64E+07 79,81%

Grafik Viabilitas Spora


3,00E+07 150,00%
130,00%
2,50E+07
110,00%
2,00E+07
90,00%
spora/mL

viabilitas
1,50E+07 70,00%
50,00%
1,00E+07
30,00%
5,00E+06
10,00%
0,00E+00 -10,00%
0 6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 66 72
waktu

Jumlah spora (CFU/mL) % Viabilitas

Gambar 5.3. Grafik Viabilitas Spora dengan Jumlah Spora

D. Kurva Tumbuh Jamur


Tabel 5.4. Hasil perhitungan berat kering jamur
Berat Kering Berat Kering (olah)
T Kertas
a b c B C Rata
0 A 1,52 1,54 1,54 0,01 0,01 0,01
1 B 1,52 1,54 1,54 0,02 0,03 0,02
2 C 1,52 1,58 1,59 0,07 0,08 0,07
3 E 1,56 1,58 1,57 0,01 0,01 0,01
4 D 1,54 1,58 1,56 0,04 0,02 0,03
5 F 1,47 1,62 1,68 0,15 0,21 0,18
6 G 1,49 1,56 1,69 0,07 0,20 0,14
7 I 1,47 1,63 1,68 0,16 0,21 0,19
8 J 1,47 1,69 1,73 0,22 0,27 0,24
9 K 1,47 1,70 1,78 0,23 0,31 0,27
10 L 1,48 1,92 1,99 0,44 0,51 0,47
11 H 1,47 1,76 1,75 0,28 0,28 0,28
12 M 1,50 1,77 1,74 0,27 0,25 0,26
Keterangan:
a: Berat whatmann setelah oven
MODUL 4.2 – I PUTU IKRAR S. - 11218036 HALAMAN 12

b: Berat whatmann setelah disaring dan oven


c: Berat whatmann setelah desikator
B: b-a
C: c-a
Kurva Tumbuh Jamur: Biomassa
0,50
0,45
0,40
Berat kering (g)

0,35
0,30
0,25
0,20
0,15
0,10
0,05
0,00
0 2 4 6 8 10 12 14
Jam ke-

Gambar 5.4. Kurva tumbuh jamur berdasarkan perhitungan berat kering

E. Kurva Tumbuh Ragi


Tabel 5.5. Perhitungan jumlah sel ragi menggunakan hemasitometer
Hemasito
T
Jumlah ragi simplo Jumlah ragi duplo Jumlah rata-rata
0 9,65,E+07 8,55,E+07 9,10,E+07
1 1,12,E+13 2,44,E+13 1,78,E+13
2 1,71,E+14 1,34,E+13 9,21,E+13
3 1,94,E+18 1,30,E+17 1,04,E+18
4 1,23,E+18 1,56,E+17 6,92,E+17
5 1,31,E+17 9,10,E+16 1,11,E+17
6 9,85,E+16 1,17,E+17 1,08,E+17
7 1,09,E+17 1,21,E+17 1,15,E+17
8 1,45,E+17 7,30,E+16 1,09,E+17
9 1,22,E+17 5,35,E+16 8,76,E+16
10 5,08,E+16 1,23,E+17 8,69,E+16
11 1,33,E+17 1,72,E+17 1,53,E+17
12 9,88,E+16 1,59,E+17 1,29,E+17
MODUL 4.2 – I PUTU IKRAR S. - 11218036 HALAMAN 13

Kurva Tumbuh Ragi: Hemasitometer


20,00
18,00
16,00
14,00
Log Jumlah Sel

12,00
10,00
8,00
6,00
4,00
2,00
0,00
0 5 10 15 20 25 30
Jam Ke-

Gambar 5.5. Kurva tumbuh ragi menggunakan hemasitometer; log jumlah sel (y) terhadap
jam dilakukannya sampling (x)
Fase log ditentukan dari Jam ke-0 (T0) hingga Jam ke-6 (T3)
𝑋
ln 3
𝑋0
Laju pertumbuhan spesifik = 𝜇 = = 0,13/𝑗𝑎𝑚
6
ln 2
Generation time = 𝐺𝑡 = = 5,2 𝑗𝑎𝑚
𝜇

F. Kurva Baku Mikroalga


Tabel 5.6. Data kurva baku jumlah sel mikroalga terhadap optical density
menggunakan hemasitometer
Range Hemasito
OD
OD Jumlah sel rataan Jumlah sel total
0,1 0,12 174,3 4,4,E+07
0,2 0,22 197,25 4,9,E+07
0,3 0,31 408,25 1,0,E+08
0,4 0,43 514 1,3,E+08
0,5 0,53 566,75 1,4,E+08
0,6 0,65 643 1,6,E+08
0,7 0,71 763,25 1,9,E+08
0,8 0,80 802,75 2,0,E+08
0,9 0,92 980,5 2,5,E+08
Keterangan: Data berwarna merah tidak digunakan
MODUL 4.2 – I PUTU IKRAR S. - 11218036 HALAMAN 14

Kurva Baku Mikroalga


3,0,E+08

2,5,E+08 y = 2,70E+08x - 7,77E+06


R² = 9,91E-01
2,0,E+08

1,5,E+08

1,0,E+08

5,0,E+07

0,0,E+00
0,000 0,200 0,400 0,600 0,800 1,000

Gambar 5.6. Kurva Baku Mikroalga


G. Kurva Tumbuh Mikroalga
Tabel 5.7. Hasil perhitungan jumlah sel menggunakan spektrofotometer
T Jam ke- Rataan Jumlah Sel
0 0 3,93,E+07
1 6 7,73,E+07
2 24 8,08,E+07
3 34 9,75,E+07
4 48 9,80,E+07
5 58 1,29,E+08
6 70 1,44,E+08
7 81 1,59,E+08
8 96 2,00,E+08
9 108 2,18,E+08
10 120 2,43,E+08
11 130 2,45,E+08
12 144 2,47,E+08
MODUL 4.2 – I PUTU IKRAR S. - 11218036 HALAMAN 15

Kurva Tumbuh Mikroalga: OD


3,00,E+08

2,50,E+08

2,00,E+08
Jumlah sel

1,50,E+08

1,00,E+08

5,00,E+07

0,00,E+00
0 6 24 34 48 58 70 81 96 108 120 130 144 149 168
Jam ke-

Gambar 5.7. Kurva tumbuh mikroalga menggunakan spektrofotometer


Fase log ditentukan dari Jam ke-0 (T0) hingga Jam ke-120 (T10)
𝑋
ln 10
𝑋0
Laju pertumbuhan spesifik = 𝜇 = = 0,02/𝑗𝑎𝑚
120
ln 2
Generation time = 𝐺𝑡 = = 45,7 𝑗𝑎𝑚
𝜇

Tabel 5.8. Hasil perhitungan berat kering mikroalga

Kurva Tumbuh Mikroalga: Biomassa


0,160
0,140
Biomassa Kering (g)

0,120
0,100
0,080
0,060
0,040
0,020
0,000
0 24 48 96 120 168
Jam ke-

Gambar 5.8. Kurva tumbuh mikroalga berdasarkan biomasa (berat kering)


MODUL 4.2 – I PUTU IKRAR S. - 11218036 HALAMAN 16

Fase log ditentukan dari Jam ke-0 (T0) hingga Jam ke-48 (T10)
𝑋
ln 10
𝑋0
Laju pertumbuhan spesifik = 𝜇 = = 0,02/𝑗𝑎𝑚
120
ln 2
Generation time = 𝐺𝑡 = = 45,7 𝑗𝑎𝑚
𝜇
MODUL 4.2 – I PUTU IKRAR S. - 11218036 HALAMAN 17

VI. Pembahasan
Menurut Peleg dan Corradini (2011), kurva pertumbuhan kurva yang menggambarkan
jumlah sel hidup sebagai fungsi waktu. Sel yang mati tidak dihitung dan sel yang sedang
membelah namun belum terpisah dihitung sebagai satu sel. Kurva pertumbuhan yang aktual
merekam jumlah sel yang dapat terhitung pada suatu interval waktu yang telah ditentukan.
Kurva pertumbuhan ini digunakan untuk menentukan “perkiraan model” kurva dari
pertumbuhan mikroba yang bertujuan untuk memfasilitasi pengukuran jumlah sel, menentukan
laju pertumbuhan organisme tertentu dalam kondisi standar, menentukan generation time,
menentukan kapan kultur bisa dipanen. Dalam pembuatannya digunakan angka hasil konversi
logaritmik untuk mempermudah memasukkan data karena jumlah sel mikroba yang sangat
banyak. Secara umum, fase pertumbuhan mikroba lainnya sangat mirip dengan fase
petumbuhan bakteri. Pertumbuhan jamur, ragi, dan mikroalga juga melalui fase lag, fase log,
fase stasioner, dan fase kematian (Vrabl et al.,2019; Biology LibreTexts, 2020; FAO, n.a.).
Fase lag adalah masa beradaptasi yang bergantung pada komposisi media, pH, suhu, jumlah
sel pada inokulum awal, aerasi, dan sifat fisiologis mikroba. Pada fase log, mikroba akan
tumbuh dengan cepat. Satu sel akan membelah menjadi dua sel. Fase ini bergantung pada sifat
genetis yang diturunkan. Saat derajat pertumbuhan bakteri mencapai populasi maksimum,
maka jumlah sel akan menjadi seimbang antara yang mati dengan yang hidup yang artinya sel
memasuki fase stasioner. Fase kematian ditandai dengan laju kematian mikroba yang lebih
tinggi dibandingkan dengan laju pertumbuhan yang disebabkan karena mikroba kekurangan
nutrisi, suhu lingkungan sudah tidak dapat lagi ditoleransi oleh mikroba, dan kondisi
lingkungan menjadi ekstrem bagi mikroba (Biology LibreTexts, 2020).

Petroff-Hausser counting chamber atau haemocytometer merupakan kaca slide


mikroskopik yang tebal dengan dan terbagi menjadi 9 kotak utama berukuran 1mm x 1mm.
Ketinggian chamber yang dibentuk dengan kaca penutup adalah 0,1 mm, sehingga ruang 1 mm
x 1 mm x 0,1 mm memiliki volume 0,1 mm3 atau 10-4 ml. Menurut Liu (2020), slide Petroff-
Hausser atau haemacytometer merupakan metode yang sering digunakan untuk menghitung
sel secara langsung. Dalam metode ini, kisi yang dikalibrasi ditempatkan di atas culture
chamber, dan jumlah sel per persegi kisi dihitung dengan menggunakan mikroskop. Agar dapat
akurat, setidaknya 20 kotak grid harus dihitung dan dirata-ratakan. Media kultur harus bersih
dan bebas dari partikel yang dapat menutupi sel atau mirip dengan sel. Pewarnaan dapat
digunakan untuk membedakan antara sel mati dan sel hidup. Metode ini cocok untuk kultur
non-agregat dan kurang cocok untuk jamur yang membentuk miselium. Ragi dan Alga pada
MODUL 4.2 – I PUTU IKRAR S. - 11218036 HALAMAN 18

praktikum ini cocok dihitung menggunakan haemocytometer karena sel-selnya cenderung


tidak membentuk aggregat dan tidak membentuk struktur makroskopis yang tersusun lebih dari
1 sel. Densitas sel dapat ditentukan menggunakan rumus berikut ini:

𝑑𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑠𝑒𝑙 = (𝑟𝑎𝑡𝑎 − 𝑟𝑎𝑡𝑎 ∑ 𝑠𝑒𝑙 𝑝𝑒𝑟 𝑘𝑜𝑡𝑎𝑘 ) × (25 × 104 ) × 𝑓𝑎𝑘𝑡𝑜𝑟 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑒𝑛𝑐𝑒𝑟𝑎𝑛

Metode viable (viable count/total plate count) dilakukan dengan membuat serial
pengenceran dan melakukan enumerasi organisme mesofilik dalam kondisi aerobik. Dengan
metode ini, pengamat dapat membedakan sel hidup dengan sel mati namun kurang efektif bila
dilakukan pada suatu plate yang memiliki jumlah kurang dari 25 serta lebih dari 250, bagi ragi.
Bila jumlah sel pada suatu perhitungan melebihi 250 terdapat kemungkinan terjadinya tumpang
tindih antara sel yang menyebabkan kesalahan dalam perhitungan.
Menurut Kung’u (2020), fungi adalah organisme eukariotik dan termasuk yeast, molds
dan mushrooms. Beberapa jamur merupakan organisme multiseluler, sementara yang lain,
seperti ragi, bersifat uniseluler. Kebanyakan jamur mikroskopis, tetapi banyak yang
menghasilkan tubuh buah yang terlihat yang kita sebut jamur. Jamur dapat berkembang biak
secara aseksual dengan tunas, dan banyak juga yang bereproduksi secara seksual dan
membentuk tubuh buah yang menghasilkan spora. Sejak spora atau fragmen hifa berkecambah
untuk membentuk koloni hingga jamur mati, terdapat sejumlah fase pertumbuhan. Di alam,
durasi setiap fase akan ditentukan oleh kondisi lingkungan termasuk mikro-organisme pesaing
lainnya. Setelah kondisi pertumbuhan menjadi menguntungkan bagi perbanyakan jamur (mis.,
spora yang hidup atau fragmen miselium) untuk berkecambah, pertumbuhan dimulai dengan
lambat dan meningkat secara bertahap. Fase ini disebut sebagai fase lag. Pertumbuhan
eksponensial terjadi hanya untuk periode singkat saat cabang hifa dimulai, dan kemudian hifa
baru meluas dengan kecepatan linier ke daerah substrat. Biomassa jamur yang tumbuh berlipat
ganda per satuan waktu. Selama nutrisi dalam jumlah berlebih, pertumbuhan tetap konstan
selama fase eksponensial. Setelah nutrisi habis atau metabolit yang toxic diproduksi,
pertumbuhan melambat dan dapat berhenti. Biomassa meningkat dengan lamban atau tetap
konstan. Selama fase diam, pertumbuhan hifa berhenti dan terjadi diferensiasi sel, yang
mengakibatkan pembentukan spora. Selama proses ini nutrisi dipindahkan dari miselium
vegetatif ke spora yang sedang berkembang. Spora disebarkan melalui pergerakan udara ke
area lain dari dan dapat memulai pertumbuhan jamur baru setelah kondisi pertumbuhan
mendukung. Pada fase selanjutnya, miselium akan mati. Fase kematian biasanya disertai
dengan kerusakan miselia melalui self-digestion. Beberapa jamur membentuk spora melalui
fragmentasi hifa. Menurut Money (2016), proses pembentukan spora dari sel vegetatif ketika
MODUL 4.2 – I PUTU IKRAR S. - 11218036 HALAMAN 19

kondisi lingkungan kurang mendukung disebut sebagai sporulasi yang merupakan respon
mikroba untuk dapat bertahan hidup pada kondisi yang buruk. Kondisi ini diantaranya adalah
kekurangan nutrisi, suhu ekstrem, radiasi, dan lain-lain. Spora memiliki struktur yang berlapis-
lapis dan cenderung belum aktif (masa dorman) yang memungkinkan untuk mempertahankan
konten genetiknya dan mengandung sitoplasma, asam-asam tertentu, ribosom serta enzim-
enzim yang dibutuhkan untuk dapat bergerminasi ketika lingkungan sudah memungkinkan
untuk bergerminasi.

VII. Kesimpulan Dan Saran


MODUL 4.2 – I PUTU IKRAR S. - 11218036 HALAMAN 20

VIII. Daftar Pustaka


Tata cara penulisan pustaka mengacu pada APA format citation guide. Untuk
keterangan lebih detail mengenai penulisan pustaka, dapat dilihat pada website:
https://www.mendeley.com/guides/apa-citation-guide. Khusus poin ini juga gunakan
Line spacing 1.0.

Anda mungkin juga menyukai