Anda di halaman 1dari 5

Jabatan adalah Amanah dan Pengabdian Bukan untuk Mencari

Ketenaran serta Menumpuk Kekayaan


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasehatkan kepada Abdurrahman bin
Samurah :
‫ك إِ ْن أُ ْع ِط ْيتَها ع َْن َغي ِْر َمسْأَلَ ٍة أُ ِع ْنتَ َعلَ ْيهَا َو إِ ْن أُ ْع ِط ْيتَهَا ع َْن َمسْأ َلَ ٍة‬
َ َّ‫;حْ م ِن بن َس ُم َرةَ الَ تَسْأ ِل ا ِإل َما َرةَ فَإِن‬1614#&ّ‫يَا َع ْب َد الر‬
‫ُو ِك ْلتَ إِلَيْها‬
“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena jika
engkau diberi tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah dengan diberi taufik
kepada kebenaran). Namun jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu, niscaya akan
dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong). ”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasehatkan kepada Abdurrahman bin
Samurah :
‫ك ِإ ْن أُ ْع ِط ْيتَها ع َْن َغي ِْر َمسْأَلَ ٍة أُ ِع ْنتَ َعلَ ْيهَا َو إِ ْن أُ ْع ِط ْيتَهَا ع َْن َمسْأَلَ ٍة ُو ِك ْلتَ ِإلَيْها‬
َ َّ‫اإل َما َرةَ فَإِن‬ ِ ‫يَا َع ْب َد الرَّحْ م ِن بن َس ُم َرةَ الَ تَس‬
ِ ‫ْأل‬
“Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta kepemimpinan. Karena jika
engkau diberi tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong (oleh Allah dengan diberi taufik
kepada kebenaran). Namun jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu, niscaya akan
dibebankan kepadamu (tidak akan ditolong). ”
Hadits ini diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 7146 dengan judul “Siapa
yang tidak meminta jabatan, Allah akan menolongnya dalam menjalankan tugasnya” dan no.
7147 dengan judul “Siapa yang minta jabatan, akan diserahkan padanya (dengan tidak mendapat
pertolongan dari Allah dalam menunaikan tugasnya)”.
Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya no. 1652 yang diberi judul oleh Al-
Imam An-Nawawi “Bab Larangan meminta jabatan dan berambisi untuk mendapatkannya”.
Masih berkaitan dengan permasalahan diatas, juga didapatkan riwayat dari Abu Dzar Al-Ghifari.
Ia berkata: “Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menjadikanku sebagai pemimpin?” Mendengar
permintaanku tersebut beliau menepuk pundakku seraya bersabda:
‫ي َو نَدا َمةٌ إِالَّ من أَخَ َذها بِ َحقِّها َو أَ َّدى الَّ ِذي َعلَيْه فِيْها‬
ٌ ‫ْف َو إِنَّها أَ َمانَةٌ َو إِنَّها يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة ِخ ْز‬ َ َ‫يَا أَبَا َذ ٍّر إِنَّك‬
ٌ ‫ض ِعي‬
“Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah sementara kepemimpinan itu adalah amanah.
Dan nanti pada hari kiamat, ia akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali orang yang
mengambil dengan haknya dan menunaikan apa yang seharusnya ia tunaikan dalam
kepemimpinan tersebut. ” (Shahih, HR. Muslim no. 1825)
Dalam riwayat lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َ ‫ض ِع ْيفًا َو إِنَّي أُ ِحبُّ لك ما أُ ِحبُّ لِنَ ْف ِسي الَ تَأ َ َّم َر َّن ْاثنَي ِْن و الَ ت ََولَّيَ َّن َم‬
‫ال يَتِي ٍْم‬ َ ‫يَا أَبَا ّذ ٍّر إِنَّي أَ َرا‬
ّ ‫ك‬
“Wahai Abu Dzar, aku memandangmu seorang yang lemah, dan aku menyukai untukmu apa
yang kusukai untuk diriku. Janganlah sekali-kali engkau memimpin dua orang dan jangan sekali-
kali engkau menguasai pengurusan harta anak yatim. ” (Shahih, HR. Muslim no. 1826)
Al-Imam An-Nawawi membawakan kedua hadits Abu Dzar di atas dalam kitab beliau
Riyadhush Shalihin, bab “Larangan meminta jabatan kepemimpinan dan memilih untuk
meninggalkan jabatan tersebut jika ia tidak pantas untuk memegangnya atau meninggalkan
ambisi terhadap jabatan”.

Kepemimpinan Yang Diimpikan Dan Diperebutkan


Menjadi seorang pemimpin dan memiliki sebuah jabatan merupakan impian semua orang kecuali
sedikit dari mereka yang dirahmati oleh Allah. Mayoritas orang justru menjadikannya sebagai
ajang rebutan, khususnya jabatan yang menjanjikan lambaian rupiah (uang dan harta) dan
kesenangan dunia lainnya.
Sungguh benar sabda Rasulullah ketika beliau menyampaikan hadits yang diriwayatkan dari Abu
Hurairah:
‫ار ِة َو َستَ ُكوْ نُ نَدَا َمةٌ يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة‬ ِ ‫إِنَّ ُك ْم َستَحْ ِرصُوْ نَ علي‬
َ ‫اإل َم‬
“Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal kelak di
hari kiamat ia akan menjadi penyesalan. ” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 7148)
Bagaimana tidak, dengan menjadi seorang pemimpin, memudahkannya untuk memenuhi
tuntutan hawa nafsunya berupa kepopuleran, penghormatan dari orang lain, kedudukan atau
status sosial yang tinggi di mata manusia, menyombongkan diri di hadapan mereka, memerintah
dan menguasai kekayaan, kemewahan serta kemegahan.
Wajar bila kemudian untuk mewujudkan ambisinya ini, banyak elit politik atau ‘calon
pemimpin’ dibidang lainnya, tidak segan-segan melakukan politik uang dengan membeli suara
masyarakat pemilih atau mayoritas anggota dewan. Atau ‘sekedar’ uang tutup mulut untuk
meminimalisir komentar miring saat berlangsungnya kampanye, dan sebagainya. Bahkan ada
yang ekstrim, ia pun siap menghilangkan nyawa orang lain yang dianggap sebagai rival dalam
perebutan kursi kepemimpinan tersebut. Atau seseorang yang dianggap sebagai duri dalam
daging yang dapat menjegal keinginannya meraih posisi tersebut. Nas-alullah as-salamah wal
‘afiyah.
Berkata Al-Muhallab sebagaimana dinukilkan dalam Fathul Bari (13/135): “Ambisi untuk
memperoleh jabatan kepemimpinan merupakan faktor yang mendorong manusia untuk saling
membunuh. Hingga tertumpahlah darah, dirampasnya harta, dihalalkannya kemaluan-kemaluan
wanita (yang mana itu semuanya sebenarnya diharamkan oleh Allah) dan karenanya terjadi
kerusakan yang besar di permukaan bumi. ”
Seseorang yang menjadi penguasa dengan tujuan seperti di atas, tidak akan mendapatkan
bagiannya nanti di akhirat kecuali siksa dan adzab. Allah berfirman:
َ‫ض َوالَ فَ َسادًا َوال َعاقِبَةُ لِ ْل ُمتَّقِ ْين‬
ٍ ْ‫تِ ْلكَ ال َّدا ُر األ ِخ َرةُ نَجْ َعلُهَا لِلَّ َِذيْن الَ ي ُِر ْي ُدونَ ُعلُ ّ•ًًّوا فِي األَر‬
“Itulah negeri akhirat yang Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan
diri di muka bumi dan tidak pula membuat kerusakan. Dan akhir yang baik itu hanya untuk
orang-orang yang bertakwa. ” (Al-Qashash:83)
Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan: “Allah mengkhabarkan bahwasanya negeri
akhirat dan kenikmatannya yang kekal tidak akan pernah lenyap dan musnah, disediakan-Nya
untuk hamba-hamba-Nya yang beriman, yang tawadhu’ (merendahkan diri), tidak ingin merasa
tinggi di muka bumi yakni tidak menyombongkan di hadapan hamba-hamba Allah yang lain,
tidak merasa besar, tidak bertindak sewenang-wenang, tidak lalim, dan tidak membuat kerusakan
di tengah mereka. ” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/412)
Berkata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin: “Seseorang yang meminta jabatan seringnya bertujuan untuk
meninggikan dirinya di hadapan manusia, menguasai mereka, memerintahnya dan melarangnya.
Tentunya tujuan yang demikian ini jelek adanya. Maka sebagai balasannya, ia tidak akan
mendapatkan bagiannya nanti di akhirat. Oleh karena itu seseorang dilarang untuk meminta
jabatan. ” (Syarh Riyadhdus Shalihin, 2/469)
Sedikit sekali orang yang berambisi menjadi pimpinan, kemudian berpikir tentang kemaslahatan
umum dan bertujuan memberikan kebaikan kepada hamba-hamba Allah dengan kepemimpinan
yang kelak bisa dia raih. Kebanyakan mereka justru sebaliknya, mengejar jabatan untuk
kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Program perbaikan dan janji-janji muluk yang digembar-gemborkan sebelumnya, tak lain
hanyalah ucapan yang manis di bibir. Hari-hari setelah mereka menjadi pemimpin yang
kemudian menjadi saksi bahwa mereka hanyalah sekedar mengobral janji kosong dan ucapan
dusta yang menipu. Bahkan yang ada, mereka berbuat zhalim dan aniaya kepada orang-orang
yang dipimpinnya. Ibaratnya ketika belum mendapatkan posisi yang diincar tersebut, yang
dipamerkan hanya kebaikannya. Namun ketika kekuasaan telah berada dalam genggamannya,
mereka lantas mempertontonkan apa yang sebenarnya diinginkannya dari jabatan tersebut.
Hal ini sesuai dengan pepatah ‘musang berbulu domba’. Ini sungguh merupakan perbuatan yang
memudharatkan diri mereka sendiri dan nasib orang-orang yang dipimpinnya.
Betapa rakus dan semangatnya orang-orang yang menginginkan jabatan ini, sehingga Rasulullah
menggambarkan kerakusan terhadap jabatan lebih dari dua ekor serigala yang kelaparan lalu
dilepas di tengah segerombolan kambing. Beliau bersabda:
‫ف لِ ِد ْينِ ِه‬ ِ ْ‫ان َجائِ َعا ِن أُرْ ِسال في َغن ٍَم بِأ َ ْف َس َد لها من ِحر‬
ِ ‫ص ال َمرْ ِء على ال َما ِل و ال َّش َر‬ ِ َ‫ما ِذ ْئب‬
“Tidaklah dua ekor serigala yang lapar dilepas di tengah segerombolan kambing lebih merusak
dari pada merusaknya seseorang terhadap agamanya karena ambisinya untuk mendapatkan harta
dan kedudukan yang tinggi. ” (HR. Tirmidzi no. 2482, dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil dalam
Ash-Shahihul Musnad, 2/178)

Sifat Seorang Pemimpin


Ditengah gencarnya para elit politik menambang suara dalam rangka memperoleh kursi ataupun
jabatan, maka layak sekali apabila hadits yang diriwayatkan dari Abdurrahman bin Samurah dan
Abu Dzar di atas dihadapkan kepada mereka, khususnya lagi pada hadits Abu Dzar yang
menyebutkan kriteria yang harus diperhatikan dan merupakan hal mulia jika ingin menjadi
pemimpin. Rasulullah berkata kepada Abu Dzar: “Wahai Abu Dzar, engkau seorang yang
lemah”. Ucapan seperti ini bila disampaikan secara terang-terangan memang akan memberatkan
bagi yang bersangkutan dan akan membekas di hatinya. Namun amanahlah yang menuntut hal
tersebut. Maka hendaknya dijelaskan kepada orang tersebut mengenai sifat lemah yang melekat
padanya. Namun jika seseorang itu kuat, maka dikatakan padanya ia seorang yang kuat. Dan
sebaliknya, bila ia seorang yang lemah maka dikatakan sebagaimana adanya. Yang demikian ini
merupakan suatu nasehat. Dan tidaklah berdosa orang yang mengucapkan seperti ini bila
tujuannya untuk memberikan nasehat bukan untuk mencela atau mengungkit aib yang
bersangkutan.
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata: “Makna ucapan Nabi kepada Abu Dzar adalah beliau melarang
Abu Dzar menjadi seorang pemimpin karena ia memiliki sifat lemah, sementara kepemimpinan
membutuhkan seorang yang kuat lagi terpercaya. Kuat dari sisi ia punya kekuasaan dan
perkataan yang didengar/ditaati, tidak lemah di hadapan manusia. Karena apabila manusia
menganggap lemah seseorang, maka tidak tersisa baginya kehormatan di sisi mereka, dan akan
berani kepadanya orang yang paling dungu sekalipun, sehingga jadilah ia tidak teranggap
sedikitpun. Akan tetapi bila seseorang itu kuat, dia dapat menunaikan hak Allah, tidak
melampaui batasan-batasannya, dan punya kekuasaan. Maka inilah sosok pemimpin yang hakiki.
” (Syarh Riyadhush Shalihin, 2/472)
Rasulullah juga menyatakan kepada Abu Dzar bahwa kepemimpinan itu adalah sebuah amanah.
Karena memang kepemimpinan itu memiliki dua rukun, kekuatan dan amanah, hal ini dikatakan
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dengan dalil:
ُ‫إِ َّن َخي َْر َم ِن ا ْستَ ْئ َج ََْ•ْرتَ اَ ْلقَ ِويُّ األَ ِميْن‬
“Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang
yang kuat lagi dapat dipercaya. ” (Al-Qashash: 26)
Penguasa Mesir berkata kepada Yusuf ‘Alaihissalam:
‫إنَّكَ ْاليَوْ َم لَ َد ْينَا َم ِكي ٌْن أ ِمي ٌْن‬
“Sesungguhnya kamu mulai hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya
pada sisi kami. ” (Yusuf: 54)
Allah menyebutkan sifat Jibril dengan menyatakan:
َّ
ِ ْ‫ ِذى قُ ّّو ٍة ِع ْن َد ِذى ْال َعر‬.‫إنَّهُ لَقَوْ ُل َرسُوْ ٍل َك ِري ٍْم‬.
ٍ َ‫ ُمط‬.‫ش َم ِكي ٍْن‬
‫اع ثَ َّم أ ِمي ٍْن‬
“Sesungguhnya Al Qur’an itu benar-benar firman Allah yang dibawa oleh utusan yang mulia
(Jibril), yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang
memiliki ‘Arsy. Yang ditaati di kalangan malaikat lagi dipercaya. ” (At-Takwir: 19-21)
Beliau rahimahullah berkata: “Amanah itu kembalinya kepada rasa takut pada Allah, tidak
menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, dan tidak takut kepada manusia. Inilah tiga
perangai yang Allah tetapkan terhadap setiap orang yang memutuskan hukuman atas manusia.
Allah berfirman:
َ‫ت هللاِ ثَ َمنًا قَلِ ْيالً َو َم ْن لَّ ْم يَحْ ُك ْم بِ َمآ أَ ْن َز َل هللا ُفَأُولَئِكَ هُ ُم ْال َكافِرُوْ ن‬
ِ ‫اخ َشوْ ِن َوال تَ ْشتَرُوْ ا بِئَايَا‬
ْ ‫اس َو‬
َ َّ‫فَال ت َْخ َش ُوا الن‬
“Maka janganlah kalian takut kepada manusia, tapi takutlah kepada-Ku. Dan jangan pula kalian
menjual ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Siapa yang tidak berhukum dengan apa yang
Allah turunkan maka mereka itu adalah orang-orang kafir. ” (Al-Maidah: 44)(As-Siyasah Asy-
Syar’iyyah, hal. 12-13)
Al-Imam Al-Qurthubi menyebutkan beberapa sifat dari seorang pemimpin ketika menafsirkan
ayat:
َ‫اس إ َما ًما قَا َل َو ِم ْن ُذ ِريَّتِى قا َ َل ال يَنَا ُل َع ْه ِدى الظَّالِ ِم ْين‬ َ ُ‫ت فَأَتَ َّمه َُّن قَا َل إنِّى َجا ِعل‬
ِ َّ‫ك ِللن‬ ٍ ‫َوإ ِذ ا ْبتَلَى إ ْب َرا ِه َم َربُّهُ بِ َكلِ َما‬
“Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan),
kemudian Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu
sebagai imam (pemimpin) bagi seluruh manusia’. Ibrahim berkata: ‘(Dan saya mohon juga) dari
keturunanku’. Allah berfirman: ‘Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zhalim’. ” (Al-
Baqarah: 124)
Beliau berkata: “Sekelompok ulama mengambil dalil dengan ayat ini untuk menyatakan seorang
imam (pemimpin) itu harus dari kalangan orang yang adil, memiliki kebaikan dan keutamaan
juga dengan kekuatan yang dimilikinya untuk menunaikan tugas kepemimpinan tersebut. ” (Al-
Jami’ li Ahkamil Qur’an, 2/74)
Sebenarnya masih ada beberapa syarat pemimpin yang tidak disebutkan di sini karena ingin kami
ringkas. Mudah-mudahan, pada kesempatan yang lain bisa kami paparkan.
Nasehat bagi mereka yang sedang berlomba merebut jabatan/kepemimpinan
Kepemimpinan adalah amanah, sehingga orang yang menjadi pemimpin berarti ia tengah
memikul amanah. Dan tentunya, yang namanya amanah harus ditunaikan sebagaimana mestinya.
Dengan demikian tugas menjadi pemimpin itu berat, sehingga sepantasnya yang mengembannya
adalah orang yang cakap dalam bidangnya. Karena itulah Rasulullah melarang orang yang tidak
cakap untuk memangku jabatan karena ia tidak akan mampu mengemban tugas tersebut dengan
semestinya. Rasulullah juga bersabda:
َ‫ إِ َذا ُوسِّد األَ ْم ُر إلى َغي ِْر أَ ْهلِها فَا ْنت َِظ ِر السَّا َعة‬:‫ضا َعتُها ؟ قال‬
َ ِ‫ َك ْيفَ إ‬:‫ قَا َل‬.َ‫ت األَ َمانَةُ فَا ْنتَ ِظ ِر السَّا َعة‬ ُ ‫إِ َذا‬
ِ ‫ضيِّ َع‬
“Apabila amanah telah disia-siakan, maka nantikanlah tibanya hari kiamat. Ada yang bertanya:
Wahai Rasulullah, apa yang dimaksud dengan menyia-nyiakan amanah? Beliau menjawab:
‘Apabila perkara itu diserahkan kepada selain ahlinya, maka nantikanlah tibanya hari kiamat”. ”
(Shahih, HR. Al-Bukhari no. 59)
Referensi: Buletin Islam AL ILMU Edisi 5 / II / II / 1425 sumber: www. darussalaf. or. id,
penulis: Al Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari.
 Hukum Menutup Wajah Bagi Wanita, Asy-Syaikh Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh

Anda mungkin juga menyukai