Meminta Jabatan
Meminta Jabatan
MUQADDIMAH:
Siapa saja yang tamak pada kekuasaan akan menuai penyesalan pada hari kiamat. Di dunia orang yang gila
kekuasaan seperti ini tidak akan menjalankan amanat dengan baik. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
َو َس َتكوُن َنَد اَم ًة َيْو َم الِق َياَم ة،إَّنُك ْم َس َتْح ِر ُصوَن َعَلى اإلَم اَر ِة
“Nanti engkau akan begitu tamak pada kekuasaan. Namun kelak di hari kiamat, engkau akan benar-benar
menyesal.” (HR. Bukhari no. 7148).
Imam Nawawi membawakan hadits di atas dalam kitab Riyadhus Sholihin pada Bab “Larangan meminta
kepemimpinan dan memilih meninggalkan kekuasaan apabila ia tidak diberi atau karena tidak ada hal yang
mendesak untuk itu.”
Sedangkan Imam Bukhari rahimahullah membawakan hadits di atas dalam Bab “Terlarang tamak pada
kekuasaan.”
Kata Imam Ibnu Batthol bahwa ketamakan manusia pada kepemimpinan begitu nyata. Itulah yang membuat
adanya pertumpahan darah, menginjak kehormatan yang lain, terjadinya kerusakan sampai kekuasaan itu diraih.
Gara-gara rakusnya pada kekuasaan inilah yang membuat keadaan menjadi jelek. Karena merebut kekuasaan
terjadi pembunuhan, saling meninggalkan, saling merendahkan, atau mati karenanya, itulah yang menjadi
penyesalan pada hari kiamat. (Syarh Al Bukhari karya Ibnu Batthol).
Badaruddin Al ‘Aini, penulis kitab ‘Umdatul Qori, “Siapa saja yang tamak pada kekuasaan, maka umumnya ia
tidak bisa menjalankan amanah dengan baik.”
SEBELAS RAMBU BAGI SEORANG PEMIMPIN:
PERTAMA: Niat Ikhlas.
Seorang pemimpin dalam memegang jabatannya itu harus diniatkan semata-mata hanya untuk menegakkan
hukum Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, ia akan memperoleh yang dijanjikan Allah kepadanya, jika
melaksanakan tanggung jawab tersebut dengan baik. Karena setiap amal tergantung niat pelakunya, dan
keberhasilan seorang pemimpin tergantung kepada niatnya dalam memegang kepemimpinan itu; apakah untuk
memperkaya diri atau semata-mata Lillahi Ta’ala.
KEDUA: Pemimpin Harus dari Kaum Laki-Laki.
Seorang wanita tidak boleh diangkat menjadi pemimpin, baik untuk komunitas tertentu, skala kecil, apalagi
untuk masyarakat yang lebih luas. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
.َلْن ُيْف ِلَح َقْو ٌم َو َّلوا َأْم َر ُه ْم ِاْم َر َأٌة
Tidak akan berjaya suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinannya kepada seorang wanita.
Salah satu hikmahnya, karena wanita memiliki beberapa kelemahan dan kondisi yang dapat menghalanginya
untuk melaksanakan tugas. Wanita memiliki akal dan fisik yang lemah, serta tidak terlepas dari kondisi tertentu,
misalnya haidh, nifas, melahirkan, menyusui, dan lain-lain.
KETIGA: Tidak Meminta Jabatan.
1
Secara syar’i, meminta jabatan adalah dilarang kecuali dalam kondisi tertentu. Seseorang yang menginginkan
suatu jabatan dan berusaha dengan sungguh untuk mendapatkan jabatan atau kedudukan terhormat dalam
pemerintahan, kemungkinan besar ia akan mengorbankan agamanya demi mencapai keinginannya itu.
Dia pun rela melakukan apa saja, meskipun merupakan perbuatan maksiat demi mendapatkan atau untuk
mempertahankan kedudukan yang telah ia raih. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
kita meminta jabatan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan, betapa berat tanggung-jawab jabatan
tersebut pada hari Kiamat nanti. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
.ِإَّنُك ْم َس َتْح ِر ُصوَن َعَلى اِإْل َم اَر ِة َو َس َتُك وُن َنَد اَم ًة َيْو َم اْلِق َياَم ِة َفِنْع َم اْلُمْر ِض َعُة َو ِبْئَس ِت اْلَف اِط َم ُة
Kalian selalu berambisi untuk menjadi penguasa, padahal akan membuat kalian menyesal pada hari Kiamat
kelak. Sungguh hal itu (ibarat) sebaik-baik susuan dan sejelek-jelek penyapihan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengingatkan seorang sahabatnya yang bernama Abu Dzar
Radhiyallahu anhu akan bahayanya memegang sebuah jabatan pemerintahan serta berat dan besarnya tanggung
jawab yang akan dipikul. Beliau bersabda:
. َيا َأَبا َذٍّر ِإيِّن َأَر اَك َض ِعيًف ا َو ِإيِّن ُأِح ُّب َلَك َم ا ُأِح ُّب ِلَنْف ِس ي اَل َتَأَّم َر َّن َعَلى اْثَنِنْي َو اَل َتَو َّلَّنَي َم اَل َيِتيٍم
Ya Abu Dzar, aku lihat engkau seorang yang lemah dan aku suka engkau mendapatkan sesuatu yang aku
sendiri menyukainya. Janganlah engkau memimpin dua orang dan janganlah engkau mengurus harta anak
yatim.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda kepada ‘Abdur-Rahmân bin Samurah Radhiyallahu
anhu:
ٍة ِع ٍة ِك ِل
َي ا َعْب َد ال َّر َمْحِن بن مسرة اَل َتْس َأ اِإْل َم اَر َة َفِإَّنَك ِإْن ُأوتيَتَه ا َعْن َمْس َأَل و ْلَت ِإَلْيَه ا َو ِإْن ُأوتيَتَه ا َعْن َغِرْي َمْس َأَل ُأ ْنَت
. َو ِإَذا َح َلْف َت َعَلى ِمَيٍني َفَر َأْيَت َغْيَر َه ا َخ ْيًر ا ِم ْنَه ا َفَك ِّف ْر َعْن ِمَييِنَك َو ْأِت اَّلِذي ُه َو َخ ْيٌر.َعَلْيَه ا
Ya ‘Abdur-Rahmân, janganlah engkau meminta jabatan pemerintahan. Apabila jabatan itu diberikan
kepadamu dikarenakan engkau memintanya, maka jabatan itu sepenuhnya akan dibebankan kepadamu. Namun
apabila jabatan itu diberikan bukan karena permintaanmu, maka engkau akan dibantu dalam mengembannya.
Jika engkau bersumpah atas suatu perkara, setelah itu engkau melihat ada yang lebih baik dari sumpahmu,
maka tunaikan kafaratnya dan lakukan apa yang lebih baik.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah menolak pemintaan salah seorang sahabat yang datang
meminta agar diberi sebuah jabatan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
. اَل ُنَو يِّل َه َذ ا األمَر أحًد ا َس َأَلُه َو اَل أحًد ا َح َر َص َعَلْيِه-واهلل- ِإَّنا
Kami tidak akan memberikan jabatan pemerintahan ini kepada orang yang memintanya dan berambisi untuk
mendapatkannya.
Alasan penolakan ini, karena setiap orang yang berambisi tentu berani melakukan apa saja demi mendapat
jabatan atau demi mempertahankannya. Oleh karena itu, selayaknya jangan berambisi dan berusaha untuk
mendapatkan jabatan pemerintahan. Sebab hal itu dapat menghalangi taufiq Allah Azza wa Jalla, sehingga
sepenuhnya akan dibebankan kepadanya. Sikap ambisius akan mendorongnya berbuat aniaya dan dosa besar
demi mendapatkan dan mempertahankannya. Namun, bila jabatan itu diberikan kepada orang yang tidak
menginginkannya bahkan tidak menyukainya, maka Allah akan memberinya taufiq dan akan membantunya
dalam melaksanakan tanggung jawab tersebut.
Sebagian orang berdalih bolehnya meminta jabatan dengan mendasarkan kepada kisah Nabi Yûsuf
Alaihissallam yang meminta kedudukan kepada Raja Mesir, sebagaimana diceritakan oleh Allah:
َقاَل اْجَعْليِن َعَلٰى َخَز اِئِن اَأْلْر ِض
Yusuf berkata: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir)”. [Yûsuf/12:55]
2
Untuk membantah dalih di atas, berikut ini kami nukilkan bantahan dari Syikh ‘Abdul-Malik ar- Ramadhani
dalam kitab Madârikun-Nazhar: “Padahal sebenarnya beliau meminta jabatan itu setelah memperoleh kesaksian
dari Allah, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
ِإ ِف ِل
يِّن َح يٌظ َع يٌم
“Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan”. [Yûsuf /12:55].
Ahli sastra Arab dapat membedakan antara kata al-hâfîzh( الحافظdalam arti orang yang bisa menjaga) dengan
kata al-hâfîzh (الحافيظdalam arti orang yang pandai menjaga). Begitu juga kata al-‘Âlîm المN( العorang yang
mengetahui) dengan kata al-‘Âlîm (العاليمorang yang sangat mengetahui). Perhatikan benar-benar perbedaan ini,
karena merupakan salah satu rahasia Al-Qur`ânul-Hakim!
Sungguh mengherankan melihat segelintir orang yang mempersilakan dirinya menerima jabatan-jabatan politik
-meski sistem parlemen tersebut kafir dan keji- lantas menjadikan perbuatan Nabi Yûsuf tadi sebagai alasannya.
Mereka lupa bahwa Nabi Yûsuf Alaihissallam tidak pernah meminta jabatan, akan tetapi penguasalah yang
menawarkan jabatan kepadanya. Tawaran itu pun baru diterima setelah sang penguasa memberikan jaminan
keamanan dan kebebasan, tanpa ada pemaksaan, penyingkiran, pemecatan, jebakan, tawar-menawar dan
tuntutan-tuntutan!
Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan kisah Nabi Yûsuf tersebut:
ۖ َو َقاَل اْلَم ِلُك اْئُتويِن ِبِه َأْس َتْخ ِلْصُه ِلَنْف ِس يۖ َفَلَّم ا َك َّلَم ُه َقاَل ِإَّنَك اْلَيْو َم َلَد ْيَنا َم ِكٌني َأِم ٌني َق اَل اْجَعْليِن َعَلٰى َخ َز اِئِن اَأْلْر ِض
ِإ ِف ِل
يِّن َح يٌظ َع يٌم
Dan Raja berkata: “Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku,”
maka tatkala Raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini
menjadi orang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami”. Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku
bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan”.
[Yûsuf/12:54-55].
Sedangkan para aktifis politik dewasa ini hanya mengandalkan keimanan dan terlalu percaya diri. Sehingga
setan datang melukiskan khayal, seolah-olah mereka adalah orang yang kuat dalam memegang kebenaran.
Padahal hakikatnya mereka telah melebur dalam undang-undang produksi manusia. Wallahul-Musta’an.
Adapun Nabi Yûsuf Alaihissallam, ia sama sekali tidak mengorbankan agamanya demi kepentingan politik.
Nabi Yûsuf Alaihissallam tidak mengerahkan kemampuan dalam berpolitik secara syar’i, dan tidak menerapkan
undang-undang rajanya yang kafir itu dengan mengatasnamakan kepentingan dakwah. Allah Subhanahu wa
Ta’ala menjelaskan dalam firman-Nya:
ِذ ِع ِل ٍت ِلِك ِإ ِد ِل
َم ا َك اَن َيْأُخ َذ َأَخ اُه يِف يِن اْلَم اَّل َأْن َيَش اَء الَّلُهۚ َنْر َفُع َدَرَج ا َمْن َنَش اُءۗ َو َفْو َق ُك ِّل ي ْلٍم َع يٌم
Tiadalah patut Yûsuf menghukum saudaranya menurut undang-undang Raja, kecuali Allah menghendakinya.
Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki; dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada
lagi yang Maha Mengetahui. [Yûsuf/12:76].
Anggaplah alasan-alasan mereka itu kita terima, maka kita bantah dengan kaidah Ushul Fiqih: “Syariat sebelum
kita tidak lagi menjadi syariat bagi kita, jika bertentangan dengan syariat kita”. Dalam masalah ini perbuatan
Nabi Yûsuf Alaihissallam itu bertentangan dengan syariat kita. Karena kita dilarang meminta jabatan,
sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Abdur-Rahmân bin Samurah Radhiyallahu anhu, ia berkata:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku: “Wahai Abdur-Rahmân, janganlah meminta
jabatan. Jika engkau diberi jabatan karena memintanya, niscaya engkau akan dibebani. Jika engkau diberi
jabatan tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong dalam melaksanakannya”. Muttafaqun ‘alaihi.
Kita bantah pula, sesungguhnya Nabi Yûsuf Alaihissallam telah mendapat rekomendasi dari Allah, dan beliau
hanya melaksanakan yang diperintahkan Allah. Artinya, seluruh manusia pasti terkena hukum: “Karena, jika
engkau diberi jabatan karena memintanya, niscaya engkau akan dibebani” kecuali orang-orang yang dijaga oleh
wahyu sehingga bisa terhindar dari kesalahan.
3
Adapun orang-orang berlagak pintar itu tunduk kepada undang-undang yang sedang atau akan berlaku. Bahkan
sebelum menduduki jabatan, mereka harus bersumpah untuk menjunjung tinggi konstitusi yang berlaku.
Begitulah kenyataannya! Kita tidak pernah melihat kenyataan selain itu. Sungguh aneh orang yang ingin
menyingkirkan kekufuran dengan membawa kekufuran baru.
Secara singkat, dalam hal ini dapat kita simpulkan lima jawaban.
1. Nabi Yûsuf Alaihissallam tidak meminta jabatan, namun hanya ditawari, sebagaimana disebutkan dalam
ayat di atas. Adapun perkataan “jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir)”, ini merupakan penjelasan
tentang spesialisasi yang beliau miliki dan pilihan secara pribadi.
2. Nabi Yûsuf Alaihissallam terhindar dari tekanan Raja dan dapat melaksanakan syariat Islam secara baik.
Dua hal ini mustahil dapat diterapkan pada undang-undang sekuler sekarang ini.
3. Nabi Yûsuf Alaihissallam mendapat rekomendasi dari Allah karena kedudukan beliau selaku rasul. Beliau
terhindar dari gangguan-gangguan yang bisa menimpa orang lain.
Diriwayatkan dari Muhammad bin Sirin: Bahwa Amirul-Mukminin ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu
anhu mengangkat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu menjadi Gubernur Bahrain. Lalu Abu Hurairah pulang
dengan membawa uang sebesar 10.000 dinar. Maka Umar pun berkata kepadanya: “Hai musuh Allah dan
kitab-Nya, apakah engkau telah mengumpulkan kekayaan sebanyak ini?” Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
menjawab: “Aku bukan musuh Allah dan kitab-Nya, akan tetapi aku musuh terhadap orang yang memusuhi
Allah dan kitab-Nya! “Lalu dari mana harta sebanyak itu?” selidik Umar. “Dari ternak kuda-kudaku beranak
pinak, dari hasil bumiku, dan dari hadiah yang datang terus-menerus,” jawab Abu Hurairah. Merekapun
menyelidikinya dan mendapati kebenaran pengakuan Abu Hurairah tadi. Setelah itu ‘Umar memanggilnya
kembali untuk diserahi jabatan, namun Abu Hurairah menolaknya. Umar berkata kepadanya: “Apakah
engkau tidak suka pekerjaan ini, padahal orang yang lebih baik daripadamu menerima tawaran seperti ini,
yakni Nabi Yûsuf?!” Abu Hurairah Radhiyallahu anhu menjawab: “Yûsuf adalah seorang nabi, putera
seorang nabi, dan cucu seorang nabi. Sedangkan aku, hanyalah Abu Hurairah putera Umaimah. Aku takut
terhadap tiga kesulitan sebagai akibat dari dua perkara”. “Mengapa tidak engkau katakan lima perkara saja!”
sergah Umar. Jawab Abu Hurairah: “Saya takut berkata tanpa ilmu dan memutuskan perkara tanpa belas
kasih, akibatnya aku dipukul, hartaku dirampas dan kehormatanku dicemarkan!”
4. Syariat sebelum kita bukanlah syariat bagi kita bila bertentangan dengan syariat kita. Dalam masalah ini
meminta jabatan seperti yang dilakukan Nabi Yûsuf Alaihissallam bertentangan dengan syariat kita.
5. Nabi Yûsuf Alaihissallam menduduki jabatannya untuk menjalankan misi kerasulan. Sekiranya ada yang
boleh mengikuti perbuatan Nabi Yûsuf Alaihissallam tersebut, maka ia harus seorang pewaris nabi, yaitu
ulama mujtahid.
Ibnu Abdil Bar berkata: “Jika tindakan semacam itu dibenarkan, maka seorang alim boleh merekomendasikan
dirinya untuk menempati kedudukan yang sesuai dengan kapasitasnya sebagai ulama. Hal itu termasuk
menceritakan nikmat-nikmat Allah kepadanya sebagai ungkapan rasa syukur terhadap nikmat yang telah
dianugerahkan itu”. Wallahu a’lam.
KEEMPAT: Berhukum dengan Hukum Allah.
Ini merupakan kewajiban terbesar yang harus dilaksanakan oleh seorang pemimpin dan penguasa. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ِن
َو َأ اْح ُك ْم َبْيَنُه ْم َمِبا َأْنَز َل الَّلُه
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah.
[al-Mâ`idah/5:49].
Memutuskan perkara dengan hukum yang diturunkan Allah merupakan tugas pokok yang harus dilaksanakan
seorang pemimpin. Jika ternyata ia menyimpang dari hukum Allah, maka ia bukanlah orang yang pantas untuk
mengemban jabatan itu.
KELIMA: Menjatuhkan Hukum Secara Adil Diantara Manusia.
Ini juga termasuk kewajiban terbesar yang harus diemban oleh seorang penguasa. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
4
ِه ِإ َّل ِذ ِب ِض ِب ِب ِل يِف ِإ
َي ا َداُو وُد َّنا َجَعْلَن اَك َخ يَف ًة اَأْلْر ِض َف اْح ُك ْم َبَنْي الَّن اِس اَحْلِّق َو اَل َتَّت ِع اَهْلَو ٰى َفُي َّلَك َعْن َس يِل الَّل ۚ َّن ا يَن
ِض ُّلوَن َع ِبيِل الَّلِه ُهَل َعَذ اٌب َش ِديٌد َمِبا َن وا اِحْل اِب
ُس َيْو َم َس ْم ْن َس َي
Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan
(perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan
menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat
adzab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan. [Shâd/38:26].
8
karena keinginan tidak lain demi mendapat manfaat bagi diri sendiri atau keluarganya, bukan demi
kepentingan Muslimin.
4. Seorang khalifah berkewajiban memilih orang-orang yang terampil dan bertakwa untuk menjabat kekuasaan
yang bersifat umum, agar mereka benar-benar menjadi pembantu baginya dalam menegakkan keadilan dan
menerapkan syariat Allah di tengah-tengah umat, serta menyebarluaskan rasa aman ke seluruh umat
manusia.