Anda di halaman 1dari 9

‫بسم اهلل الرحمن الرحيم‬

KAJIAN RIYADHUS SHALIHIN


‫باب النهي عن تولية اإلمارة والقضاء وغيرهما من الواليات لمن سألها َأْو حرص عليها فعَّر ض بها‬
MELARANG MEMBERIKAN JABATAN SEBAGAI AMIR -PENGUASA NEGARA- ATAUPUN
KEHAKIMAN DAN LAIN-LAINNYA DARI JABATAN-JABATAN PEMERINTAHAN NEGARA
KEPADA ORANG YANG MEMINTANYA ATAU TAMAK -BERAMBISI- UNTUK
MEMPEROLEHNYA, LALU MENAWARKAN DIRI UNTUK JABATAN ITU.

MUQADDIMAH:
Siapa saja yang tamak pada kekuasaan akan menuai penyesalan pada hari kiamat. Di dunia orang yang gila
kekuasaan seperti ini tidak akan menjalankan amanat dengan baik. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
‫ َو َس َتكوُن َنَد اَم ًة َيْو َم الِق َياَم ة‬،‫إَّنُك ْم َس َتْح ِر ُصوَن َعَلى اإلَم اَر ِة‬
“Nanti engkau akan begitu tamak pada kekuasaan. Namun kelak di hari kiamat, engkau akan benar-benar
menyesal.” (HR. Bukhari no. 7148).
Imam Nawawi membawakan hadits di atas dalam kitab Riyadhus Sholihin pada Bab “Larangan meminta
kepemimpinan dan memilih meninggalkan kekuasaan apabila ia tidak diberi atau karena tidak ada hal yang
mendesak untuk itu.”
Sedangkan Imam Bukhari rahimahullah membawakan hadits di atas dalam Bab “Terlarang tamak pada
kekuasaan.”
Kata Imam Ibnu Batthol bahwa ketamakan manusia pada kepemimpinan begitu nyata. Itulah yang membuat
adanya pertumpahan darah, menginjak kehormatan yang lain, terjadinya kerusakan sampai kekuasaan itu diraih.
Gara-gara rakusnya pada kekuasaan inilah yang membuat keadaan menjadi jelek. Karena merebut kekuasaan
terjadi pembunuhan, saling meninggalkan, saling merendahkan, atau mati karenanya, itulah yang menjadi
penyesalan pada hari kiamat. (Syarh Al Bukhari karya Ibnu Batthol).
Badaruddin Al ‘Aini, penulis kitab ‘Umdatul Qori, “Siapa saja yang tamak pada kekuasaan, maka umumnya ia
tidak bisa menjalankan amanah dengan baik.”
SEBELAS RAMBU BAGI SEORANG PEMIMPIN:
PERTAMA: Niat Ikhlas.
Seorang pemimpin dalam memegang jabatannya itu harus diniatkan semata-mata hanya untuk menegakkan
hukum Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, ia akan memperoleh yang dijanjikan Allah kepadanya, jika
melaksanakan tanggung jawab tersebut dengan baik. Karena setiap amal tergantung niat pelakunya, dan
keberhasilan seorang pemimpin tergantung kepada niatnya dalam memegang kepemimpinan itu; apakah untuk
memperkaya diri atau semata-mata Lillahi Ta’ala.
KEDUA: Pemimpin Harus dari Kaum Laki-Laki.
Seorang wanita tidak boleh diangkat menjadi pemimpin, baik untuk komunitas tertentu, skala kecil, apalagi
untuk masyarakat yang lebih luas. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
.‫َلْن ُيْف ِلَح َقْو ٌم َو َّلوا َأْم َر ُه ْم ِاْم َر َأٌة‬
Tidak akan berjaya suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinannya kepada seorang wanita.
Salah satu hikmahnya, karena wanita memiliki beberapa kelemahan dan kondisi yang dapat menghalanginya
untuk melaksanakan tugas. Wanita memiliki akal dan fisik yang lemah, serta tidak terlepas dari kondisi tertentu,
misalnya haidh, nifas, melahirkan, menyusui, dan lain-lain.
KETIGA: Tidak Meminta Jabatan.

1
Secara syar’i, meminta jabatan adalah dilarang kecuali dalam kondisi tertentu. Seseorang yang menginginkan
suatu jabatan dan berusaha dengan sungguh untuk mendapatkan jabatan atau kedudukan terhormat dalam
pemerintahan, kemungkinan besar ia akan mengorbankan agamanya demi mencapai keinginannya itu.
Dia pun rela melakukan apa saja, meskipun merupakan perbuatan maksiat demi mendapatkan atau untuk
mempertahankan kedudukan yang telah ia raih. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
kita meminta jabatan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan, betapa berat tanggung-jawab jabatan
tersebut pada hari Kiamat nanti. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
.‫ِإَّنُك ْم َس َتْح ِر ُصوَن َعَلى اِإْل َم اَر ِة َو َس َتُك وُن َنَد اَم ًة َيْو َم اْلِق َياَم ِة َفِنْع َم اْلُمْر ِض َعُة َو ِبْئَس ِت اْلَف اِط َم ُة‬
Kalian selalu berambisi untuk menjadi penguasa, padahal akan membuat kalian menyesal pada hari Kiamat
kelak. Sungguh hal itu (ibarat) sebaik-baik susuan dan sejelek-jelek penyapihan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengingatkan seorang sahabatnya yang bernama Abu Dzar
Radhiyallahu anhu akan bahayanya memegang sebuah jabatan pemerintahan serta berat dan besarnya tanggung
jawab yang akan dipikul. Beliau bersabda:
. ‫َيا َأَبا َذٍّر ِإيِّن َأَر اَك َض ِعيًف ا َو ِإيِّن ُأِح ُّب َلَك َم ا ُأِح ُّب ِلَنْف ِس ي اَل َتَأَّم َر َّن َعَلى اْثَنِنْي َو اَل َتَو َّلَّنَي َم اَل َيِتيٍم‬
Ya Abu Dzar, aku lihat engkau seorang yang lemah dan aku suka engkau mendapatkan sesuatu yang aku
sendiri menyukainya. Janganlah engkau memimpin dua orang dan janganlah engkau mengurus harta anak
yatim.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda kepada ‘Abdur-Rahmân bin Samurah Radhiyallahu
anhu:
‫ٍة ِع‬ ‫ٍة ِك‬ ‫ِل‬
‫َي ا َعْب َد ال َّر َمْحِن بن مسرة اَل َتْس َأ اِإْل َم اَر َة َفِإَّنَك ِإْن ُأوتيَتَه ا َعْن َمْس َأَل و ْلَت ِإَلْيَه ا َو ِإْن ُأوتيَتَه ا َعْن َغِرْي َمْس َأَل ُأ ْنَت‬
. ‫ َو ِإَذا َح َلْف َت َعَلى ِمَيٍني َفَر َأْيَت َغْيَر َه ا َخ ْيًر ا ِم ْنَه ا َفَك ِّف ْر َعْن ِمَييِنَك َو ْأِت اَّلِذي ُه َو َخ ْيٌر‬.‫َعَلْيَه ا‬
Ya ‘Abdur-Rahmân, janganlah engkau meminta jabatan pemerintahan. Apabila jabatan itu diberikan
kepadamu dikarenakan engkau memintanya, maka jabatan itu sepenuhnya akan dibebankan kepadamu. Namun
apabila jabatan itu diberikan bukan karena permintaanmu, maka engkau akan dibantu dalam mengembannya.
Jika engkau bersumpah atas suatu perkara, setelah itu engkau melihat ada yang lebih baik dari sumpahmu,
maka tunaikan kafaratnya dan lakukan apa yang lebih baik.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah menolak pemintaan salah seorang sahabat yang datang
meminta agar diberi sebuah jabatan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
.‫ اَل ُنَو يِّل َه َذ ا األمَر أحًد ا َس َأَلُه َو اَل أحًد ا َح َر َص َعَلْيِه‬-‫واهلل‬- ‫ِإَّنا‬
Kami tidak akan memberikan jabatan pemerintahan ini kepada orang yang memintanya dan berambisi untuk
mendapatkannya.
Alasan penolakan ini, karena setiap orang yang berambisi tentu berani melakukan apa saja demi mendapat
jabatan atau demi mempertahankannya. Oleh karena itu, selayaknya jangan berambisi dan berusaha untuk
mendapatkan jabatan pemerintahan. Sebab hal itu dapat menghalangi taufiq Allah Azza wa Jalla, sehingga
sepenuhnya akan dibebankan kepadanya. Sikap ambisius akan mendorongnya berbuat aniaya dan dosa besar
demi mendapatkan dan mempertahankannya. Namun, bila jabatan itu diberikan kepada orang yang tidak
menginginkannya bahkan tidak menyukainya, maka Allah akan memberinya taufiq dan akan membantunya
dalam melaksanakan tanggung jawab tersebut.
Sebagian orang berdalih bolehnya meminta jabatan dengan mendasarkan kepada kisah Nabi Yûsuf
Alaihissallam yang meminta kedudukan kepada Raja Mesir, sebagaimana diceritakan oleh Allah:
‫َقاَل اْجَعْليِن َعَلٰى َخَز اِئِن اَأْلْر ِض‬
Yusuf berkata: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir)”. [Yûsuf/12:55]

2
Untuk membantah dalih di atas, berikut ini kami nukilkan bantahan dari Syikh ‘Abdul-Malik ar- Ramadhani
dalam kitab Madârikun-Nazhar: “Padahal sebenarnya beliau meminta jabatan itu setelah memperoleh kesaksian
dari Allah, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
‫ِإ ِف ِل‬
‫يِّن َح يٌظ َع يٌم‬
“Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan”. [Yûsuf /12:55].
Ahli sastra Arab dapat membedakan antara kata al-hâfîzh‫( الحافظ‬dalam arti orang yang bisa menjaga) dengan
kata al-hâfîzh ‫(الحافيظ‬dalam arti orang yang pandai menjaga). Begitu juga kata al-‘Âlîm ‫الم‬N‫( الع‬orang yang
mengetahui) dengan kata al-‘Âlîm ‫(العاليم‬orang yang sangat mengetahui). Perhatikan benar-benar perbedaan ini,
karena merupakan salah satu rahasia Al-Qur`ânul-Hakim!
Sungguh mengherankan melihat segelintir orang yang mempersilakan dirinya menerima jabatan-jabatan politik
-meski sistem parlemen tersebut kafir dan keji- lantas menjadikan perbuatan Nabi Yûsuf tadi sebagai alasannya.
Mereka lupa bahwa Nabi Yûsuf Alaihissallam tidak pernah meminta jabatan, akan tetapi penguasalah yang
menawarkan jabatan kepadanya. Tawaran itu pun baru diterima setelah sang penguasa memberikan jaminan
keamanan dan kebebasan, tanpa ada pemaksaan, penyingkiran, pemecatan, jebakan, tawar-menawar dan
tuntutan-tuntutan!
Allah Subhanahu wa Ta’ala menceritakan kisah Nabi Yûsuf tersebut:
ۖ ‫َو َقاَل اْلَم ِلُك اْئُتويِن ِبِه َأْس َتْخ ِلْصُه ِلَنْف ِس يۖ َفَلَّم ا َك َّلَم ُه َقاَل ِإَّنَك اْلَيْو َم َلَد ْيَنا َم ِكٌني َأِم ٌني َق اَل اْجَعْليِن َعَلٰى َخ َز اِئِن اَأْلْر ِض‬
‫ِإ ِف ِل‬
‫يِّن َح يٌظ َع يٌم‬
Dan Raja berkata: “Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang yang rapat kepadaku,”
maka tatkala Raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini
menjadi orang yang berkedudukan tinggi lagi dipercaya pada sisi kami”. Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku
bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan”.
[Yûsuf/12:54-55].
Sedangkan para aktifis politik dewasa ini hanya mengandalkan keimanan dan terlalu percaya diri. Sehingga
setan datang melukiskan khayal, seolah-olah mereka adalah orang yang kuat dalam memegang kebenaran.
Padahal hakikatnya mereka telah melebur dalam undang-undang produksi manusia. Wallahul-Musta’an.
Adapun Nabi Yûsuf Alaihissallam, ia sama sekali tidak mengorbankan agamanya demi kepentingan politik.
Nabi Yûsuf Alaihissallam tidak mengerahkan kemampuan dalam berpolitik secara syar’i, dan tidak menerapkan
undang-undang rajanya yang kafir itu dengan mengatasnamakan kepentingan dakwah. Allah Subhanahu wa
Ta’ala menjelaskan dalam firman-Nya:
‫ِذ ِع ِل‬ ‫ٍت‬ ‫ِلِك ِإ‬ ‫ِد‬ ‫ِل‬
‫َم ا َك اَن َيْأُخ َذ َأَخ اُه يِف يِن اْلَم اَّل َأْن َيَش اَء الَّلُهۚ َنْر َفُع َدَرَج ا َمْن َنَش اُءۗ َو َفْو َق ُك ِّل ي ْلٍم َع يٌم‬
Tiadalah patut Yûsuf menghukum saudaranya menurut undang-undang Raja, kecuali Allah menghendakinya.
Kami tinggikan derajat orang yang Kami kehendaki; dan di atas tiap-tiap orang yang berpengetahuan itu ada
lagi yang Maha Mengetahui. [Yûsuf/12:76].
Anggaplah alasan-alasan mereka itu kita terima, maka kita bantah dengan kaidah Ushul Fiqih: “Syariat sebelum
kita tidak lagi menjadi syariat bagi kita, jika bertentangan dengan syariat kita”. Dalam masalah ini perbuatan
Nabi Yûsuf Alaihissallam itu bertentangan dengan syariat kita. Karena kita dilarang meminta jabatan,
sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Abdur-Rahmân bin Samurah Radhiyallahu anhu, ia berkata:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku: “Wahai Abdur-Rahmân, janganlah meminta
jabatan. Jika engkau diberi jabatan karena memintanya, niscaya engkau akan dibebani. Jika engkau diberi
jabatan tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong dalam melaksanakannya”. Muttafaqun ‘alaihi.
Kita bantah pula, sesungguhnya Nabi Yûsuf Alaihissallam telah mendapat rekomendasi dari Allah, dan beliau
hanya melaksanakan yang diperintahkan Allah. Artinya, seluruh manusia pasti terkena hukum: “Karena, jika
engkau diberi jabatan karena memintanya, niscaya engkau akan dibebani” kecuali orang-orang yang dijaga oleh
wahyu sehingga bisa terhindar dari kesalahan.

3
Adapun orang-orang berlagak pintar itu tunduk kepada undang-undang yang sedang atau akan berlaku. Bahkan
sebelum menduduki jabatan, mereka harus bersumpah untuk menjunjung tinggi konstitusi yang berlaku.
Begitulah kenyataannya! Kita tidak pernah melihat kenyataan selain itu. Sungguh aneh orang yang ingin
menyingkirkan kekufuran dengan membawa kekufuran baru.
Secara singkat, dalam hal ini dapat kita simpulkan lima jawaban.
1. Nabi Yûsuf Alaihissallam tidak meminta jabatan, namun hanya ditawari, sebagaimana disebutkan dalam
ayat di atas. Adapun perkataan “jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir)”, ini merupakan penjelasan
tentang spesialisasi yang beliau miliki dan pilihan secara pribadi.
2. Nabi Yûsuf Alaihissallam terhindar dari tekanan Raja dan dapat melaksanakan syariat Islam secara baik.
Dua hal ini mustahil dapat diterapkan pada undang-undang sekuler sekarang ini.
3. Nabi Yûsuf Alaihissallam mendapat rekomendasi dari Allah karena kedudukan beliau selaku rasul. Beliau
terhindar dari gangguan-gangguan yang bisa menimpa orang lain.
Diriwayatkan dari Muhammad bin Sirin: Bahwa Amirul-Mukminin ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu
anhu mengangkat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu menjadi Gubernur Bahrain. Lalu Abu Hurairah pulang
dengan membawa uang sebesar 10.000 dinar. Maka Umar pun berkata kepadanya: “Hai musuh Allah dan
kitab-Nya, apakah engkau telah mengumpulkan kekayaan sebanyak ini?” Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
menjawab: “Aku bukan musuh Allah dan kitab-Nya, akan tetapi aku musuh terhadap orang yang memusuhi
Allah dan kitab-Nya! “Lalu dari mana harta sebanyak itu?” selidik Umar. “Dari ternak kuda-kudaku beranak
pinak, dari hasil bumiku, dan dari hadiah yang datang terus-menerus,” jawab Abu Hurairah. Merekapun
menyelidikinya dan mendapati kebenaran pengakuan Abu Hurairah tadi. Setelah itu ‘Umar memanggilnya
kembali untuk diserahi jabatan, namun Abu Hurairah menolaknya. Umar berkata kepadanya: “Apakah
engkau tidak suka pekerjaan ini, padahal orang yang lebih baik daripadamu menerima tawaran seperti ini,
yakni Nabi Yûsuf?!” Abu Hurairah Radhiyallahu anhu menjawab: “Yûsuf adalah seorang nabi, putera
seorang nabi, dan cucu seorang nabi. Sedangkan aku, hanyalah Abu Hurairah putera Umaimah. Aku takut
terhadap tiga kesulitan sebagai akibat dari dua perkara”. “Mengapa tidak engkau katakan lima perkara saja!”
sergah Umar. Jawab Abu Hurairah: “Saya takut berkata tanpa ilmu dan memutuskan perkara tanpa belas
kasih, akibatnya aku dipukul, hartaku dirampas dan kehormatanku dicemarkan!”
4. Syariat sebelum kita bukanlah syariat bagi kita bila bertentangan dengan syariat kita. Dalam masalah ini
meminta jabatan seperti yang dilakukan Nabi Yûsuf Alaihissallam bertentangan dengan syariat kita.
5. Nabi Yûsuf Alaihissallam menduduki jabatannya untuk menjalankan misi kerasulan. Sekiranya ada yang
boleh mengikuti perbuatan Nabi Yûsuf Alaihissallam tersebut, maka ia harus seorang pewaris nabi, yaitu
ulama mujtahid.
Ibnu Abdil Bar berkata: “Jika tindakan semacam itu dibenarkan, maka seorang alim boleh merekomendasikan
dirinya untuk menempati kedudukan yang sesuai dengan kapasitasnya sebagai ulama. Hal itu termasuk
menceritakan nikmat-nikmat Allah kepadanya sebagai ungkapan rasa syukur terhadap nikmat yang telah
dianugerahkan itu”. Wallahu a’lam.
KEEMPAT: Berhukum dengan Hukum Allah.
Ini merupakan kewajiban terbesar yang harus dilaksanakan oleh seorang pemimpin dan penguasa. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
‫ِن‬
‫َو َأ اْح ُك ْم َبْيَنُه ْم َمِبا َأْنَز َل الَّلُه‬
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah.
[al-Mâ`idah/5:49].
Memutuskan perkara dengan hukum yang diturunkan Allah merupakan tugas pokok yang harus dilaksanakan
seorang pemimpin. Jika ternyata ia menyimpang dari hukum Allah, maka ia bukanlah orang yang pantas untuk
mengemban jabatan itu.
KELIMA: Menjatuhkan Hukum Secara Adil Diantara Manusia.
Ini juga termasuk kewajiban terbesar yang harus diemban oleh seorang penguasa. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:

4
‫ِه ِإ َّل ِذ‬ ‫ِب‬ ‫ِض‬ ‫ِب‬ ‫ِب‬ ‫ِل يِف‬ ‫ِإ‬
‫َي ا َداُو وُد َّنا َجَعْلَن اَك َخ يَف ًة اَأْلْر ِض َف اْح ُك ْم َبَنْي الَّن اِس اَحْلِّق َو اَل َتَّت ِع اَهْلَو ٰى َفُي َّلَك َعْن َس يِل الَّل ۚ َّن ا يَن‬
‫ِض ُّلوَن َع ِبيِل الَّلِه ُهَل َعَذ اٌب َش ِديٌد َمِبا َن وا اِحْل اِب‬
‫ُس َيْو َم َس‬ ‫ْم‬ ‫ْن َس‬ ‫َي‬
Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan
(perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan
menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat
adzab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan. [Shâd/38:26].

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:


‫ِإَذا َك ُت َنْي الَّناِس َأْن ْحَتُك وا ِباْل ْد ِل‬
‫ُم َع‬ ‫َو َح ْم ْم َب‬
…dan (menyuruh kamu) agar senantiasa bersikap apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil... [an-Nisâ`/4:58].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫ِإَّن اْلُم ْق ِس ِط َني ِعْن َد الَّل ِه َيْو َم الِق َياَم ِة َعَلى َم َن اِب ِم ْن ُن وٍر َعْن ِمَيِني ال َّر َمْحِن َع َّز َو َج َّل ِكْلَت ا َيَد ْي ِه ِمَيٌني اَّل ِذي َيْع ِدُلوَن يِف‬
‫َن‬ ‫َو‬ ‫َر‬
.‫ُح ْك ِم ِه ْم َو َأْه ِليِه ْم َو َم ا َو ُلوا‬
Sesungguhnya orang-orang yang berlaku adil, pada hari Kiamat kelak, ia berada di atas mimbar dari cahaya
di sebelah kanan Allah yang Maha pengasih. Kedua tangan Allah sebelah kanan. (Mimbar tersebut) diberikan
untuk orang yang bersikap adil dalam berhukum, memutuskan perkara di antara sesama rakyatnya.
Oleh karena itu, seorang pemimpin wajib bersikap adil terhadap rakyatnya dan memberikan perlakuan yang
sama di antara mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
‫اْع ِدُلوا ُه َو َأْقَر ُب ِللَّتْق َو ٰى‬
… Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa… [al-Mâ`idah/5:8].
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
. ‫َم ا ِم ْن َأْم ٍري َعَش َر ٍة ِإاَّل َو ُه َو ُيْؤ َتى ِبِه َيْو َم اْلِق َياَم ِة َم ْغُلواًل َح ىَّت َيُفَّك ُه الَعْد ُل َأْو ُيْو ِبَق ُه اجلوِر‬
Tidaklah seorang lelaki memimpin sepuluh orang, kecuali ia akan didatangkan dalam keadaan tangan yang
terbelenggu pada hari Kiamat. Kebaikan yang ia lakukan akan melepaskannya dari ikatan, atau dosanya akan
membuat dirinya celaka.
KEENAM: Siap Memenuhi Kebutuhan Rakyat dan Mendengar Keluhannya.
Seorang pemimpin harus membuka pintunya untuk memenuhi semua kebutuhan masyarakat, mendengarkan
pengaduan orang-orang yang teraniaya dan keluhan mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫ِتِه‬ ‫ِء‬ ‫ِة ِإ‬ ‫ِة‬ ‫ِة‬ ‫ٍل ِل‬ ‫ِم ِإ ٍم‬
‫َم ا ْن َم ا َأْو َو ا ُيْغ ُق َباَبُه ُدوَن َذِو ي اَحْلاَج َو اَخْلَّل َو اْلَمْس َك َن اَّل َأْغَل َق الَّل ُه َع َّز َو َج َّل َأْبَو اَب الَّس َم ا ُدوَن َخ َّل َو‬
.‫َح اَج ِتِه َو َمْس َك َنِتِه‬
Tidaklah seorang pemimpin atau seorang penguasa menutup pintunya dari orang-orang yang memiliki
kebutuhan, keperluan serta orang-orang fakir, kecuali Allah akan menutup pintu langit dari keperluan,
kebutuhan dan hajatnya.
Hadits ini merupakan ancaman keras dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap pemimpin yang
menutup pintu dari rakyat yang dipimpinnya.
KETUJUH: Memberi Nasihat Kepada Rakyatnya dan Tidak Mengkhianatinya.
Seorang pemimpin harus selalu memberi nasihat yang baik kepada rakyatnya tentang segala perkara berkaitan
dengan urusan dunia maupun agama. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
.‫َم ا ِم ْن َأِم ٍري َيِلي َأْم َر اْلُمْس ِلِم َني َّمُث اَل ْجَيَه ُد ُهَلْم َو َيْنَص ُح ِإاَّل ْمَل َيْد ُخ ْل َمَعُه ُم اَجْلَّنَة‬
5
Tak seorang pemimpinpun yang mengurusi urusan kaum muslimin, kemudian ia tidak pernah letih dari
mengayomi dan menasihati mereka, kecuali pemimpin itu akan masuk ke dalam surga bersama mereka.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
.‫َم ا ِم ْن َعْبٍد َيْس َتْر ِعيِه الَّلُه َر ِعَّيًة ُمَيوُت َيْو َم ُمَيوُت َو ُه َو َغاٌّش ِلَر ِعَّيِتِه ِإاَّل َح َّر َم الَّلُه َعَلْيِه اَجْلَّنَة‬
Tidaklah seorang hamba yang mendapat amanah dari Allah untuk mengayomi rakyat, lantas ia meninggal
pada hari meninggalnya dalam keadaan menipu rakyatnya, kecuali Allah telah haramkan surga baginya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:


. ‫ ِلَّلِه َو ِلِكَتاِبِه َو ِلَر ُس وِلِه َو َأِلِئَّم ِة اْلُمْس ِلِم َني َو َعاَّم ِتِه ْم‬: ‫ ِلَمْن ؟ َقاَل‬:‫ ُقْلَنا‬.‫الِّديُن الَّنِص يَح ُة‬
Dari Tamim ad-Daari, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Diin (agama) itu adalah
nasihat,” kami bertanya: “Untuk siapa?” Beliau menjawab: “Untuk Allah, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya,
pemimpin kaum muslimin dan rakyatnya”.
Masyarakat juga harus memberikan nasihat kepada pemimpin dan tetap mentaatinya, selama mereka tidak
disuruh kepada perkara yang dilarang Allah. Jangan sampai mereka melepaskan diri dari ketaatan dan
melakukan pemberontakan walau bagaimanapun buruknya penguasa itu. Kecuali bila terlihat kekufuran yang
nyata, dan ada dalil yang jelas tentang pengkafiran tersebut dari Allah.
KEDELAPAN: Pemimpin Jangan Menerima Hadiah.
Jika ada rakyat yang memberikan hadiah kepada seorang pemimpin, hampir bisa dipastikan, dibalik itu mereka
ingin agar sang pemimpin dekat dengannya dan menyukai dirinya. Maka seorang pemimpin janganlah
menerima hadiah-hadiah semacam ini. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫اَهلِدَّيُة ِإىَل اِإل َم اِم َغُلْو ٌل‬
Hadiah yang diberikan kepada seorang pemimpin adalah pengkhianatan.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
‫َه َد اَيا الُعَّم اِل َغُلْو ٌل‬
Hadiah-hadiah yang diberikan kepada penguasa adalah pengkhianatan.
Demikian juga, semua orang yang bertugas melayani urusan kaum muslimin, ia tidak boleh menerima hadiah
dan jangan ada sedikitpun yang disembunyikannya. Berapapun hadiah yang diterimanya, harus ia serahkan
kepada pemerintah. Jangan ada sedikitpun yang dijadikan sebagai milik pribadi. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah bersabda:
.‫َم ِن اْس َتْع َم ْلَناُه ِم ْنُك ْم َعَلى َعَم ٍل َفَك َتْم َنا ْخِمَيًطا َفَم ا َفْو َقُه َك اَن ُغُلواًل َيْأيِت ِبِه َيْو َم اْلِق َياَم ِة‬
Barang siapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk mempimpin lalu ia menyembunyikan sehelai benang
atau lebih, maka pada hari Kiamat nanti ia akan datang membawa benang itu sebagai seorang pengkhianat.
Salah seorang gubernur Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada yang berkata: “Yang ini untuk kalian dan
yang ini dihadiahkan untukku,” lantas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫يِف ِت ِب ِه ِه‬ ‫ِد‬ ‫ِل‬ ‫ِم‬ ‫ِم ِت‬ ‫ِم‬
‫َأَّم ا َبْع ُد َفَم ا َباُل اْلَعا ِل َنْس َتْع ُلُه َفَيْأ يَن ا َفَيُق وُل َه َذ ا ْن َعَم ُك ْم َو َه َذ ا ُأْه َي يِل َأَفاَل َقَع َد َبْي َأ ي َو ُأِّم َفَنَظَر َه ْل‬
. ‫ُيْه َد ى َلُه َأْم اَل‬
Amma ba’du, mengapa pejabat yang kami angkat berkata: “Yang ini dari hasil pekerjaan kalian, sementara
yang ini khusus dihadiahkan untukku?” Mengapa ia tidak duduk saja di rumah ayah atau ibunya, lalu ia
tunggu, apakah masih ada orang yang mau memberikan hadiah untuknya ataukah tidak?
KESEMBILAN: Seorang Pemimpin Harus Mengambil Penasihat dari Kalangan Orang-Orang Shâlih.
Seorang pemimpin harus mengambil penasihat dari kalangan orang-orang shâlih yang mampu
mengingatkannya saat ia lupa, dan membantunya saat teringat, selalu mengawasinya agar bersikap baik dan
6
berlaku adil, memberinya nasihat dan pengarahan, serta mendorongnya untuk berbuat baik dan menjaga
ketakwaan. Dengan cara ini, maka semua urusan pasti lurus.
Adapun penasihat yang buruk, tidak ada kebaikan yang dapat diharapkan darinya. Karena mereka tidak dapat
membantu untuk berbuat kebajikan, bahkan akan membantu setan untuk menggelincirkan si pemimpin. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫ِه‬ ‫ِف‬ ‫ِن‬ ‫ِم ِل ٍة‬ ‫ِم‬
‫َم ا َبَعَث الَّلُه ْن َنٍّيِب َو اَل اْس َتْخ َلَف ْن َخ يَف ِإاَّل َك اَنْت َلُه ِبَطاَنَت ا ِبَطاَنٌة َتْأُمُر ُه ِباْلَم ْع ُر و َو ُحَتُّض ُه َعَلْي َو ِبَطاَنٌة َتْأُمُر ُه‬
. ‫ِبالَّش ِّر َو ُحَتُّض ُه َعَلْيِه َفاْلَم ْع ُصوُم َمْن َعَص َم الَّلُه َتَعاىَل‬
Tidak ada nabi yang Allah utus, dan tidak pula ada seorang pemimpin yang Dia angkat, kecuali mereka
mempunyai dua jenis teman dekat. Teman yang menyuruhnya untuk berbuat baik serta selalu membantunya
dalam berbuat baik, dan teman yang menyuruhnya berbuat untuk jahat serta selalu mendorongnya untuk
melakukan tindak kejahatan. Orang yang selamat, ialah orang yang memang dijaga Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
KESEPULUH: Seorang Pemimpin Harus Bersikap Ramah Terhadap Rakyat.
Sebagaimana dikatakan para ulama salaf, seorang pemimpin harus bersikap sebagai anak terhadap orang-orang
tua, sebagai saudara untuk yang sebaya, dan sebagai orang tua terhadap anak-anak. Ia harus bersikap lembut,
ramah serta menyayangi mereka, dan tidak membebaninya dengan urusan yang tidak mereka sanggupi. Dengan
sikap ini, sebagai pemimpin, ia berhak mendapat doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
.‫الَّلُه َّم َمْن َو َيِل ِم ْن َأْم ِر ُأَّم يِت َش ْيًئا َفَش َّق َعَلْيِه ْم َفاْشُقْق َعَلْيِه َو َمْن َو َيِل ِم ْن َأْم ِر ُأَّم يِت َش ْيًئا َفَر َفَق ِهِبْم َفاْر ُفْق ِبِه‬
Ya Allah, bagi siapa yang menjadi penguasa umatku, lalu ia menyulitkan mereka, maka timpakanlah kesulitan
kepadanya. Dan barang siapa yang menjadi penguasa umatku, lalu ia menyayangi mereka, maka sayangilah
ia.
KESEBELAS: Jujur Menjalankan Semua Urusan yang Berkaitan dengan Kaum Muslimin.
Dalam hal ini, seorang pemimpin harus membantu ahli sunnah serta membasmi ahli bid’ah dan pelaku
kerusakan, mengibarkan panji amr ma’ruf nahi mungkar serta panji-panji jihad fi sabilillah, berusaha dengan
sekuat tenaga untuk menjaga kehormatan, agama, harta kaum muslimin dan lain-lain.
Ia juga harus mengevaluasi kinerja para pejabat dan pegawainya secara kontinyu, memperhatikan cara mereka
menjalankan tugas, dan sikap mereka terhadap rakyat. Ia juga harus memilih jalan terbaik dalam menyelesaikan
semua problem masyarakat. Para bawahan juga diharuskan memberi laporan-laporan secara jujur dan rinci
mengenai tugas yang telah dilakukan. Sesungguhnya ia akan mempertangungjawabkan semua tugas dan
kewajibannya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
HADITS PERTAMA:
‫ أَن ا َو َرُج الِن ِم ْن َبيِن‬-‫صلى اهلل عليه وسلم‬- ‫ َدَخ ْلُت َعَلى الَّن ِّيب‬: ‫ َق اَل‬،-‫رضي اهلل عنه‬- ‫عن َأيب موسى األشعرِّي‬
‫ ((إَّنا‬: ‫ َفَق اَل‬، ‫ وقال اآلَخ ُر ِم ث َل َذِلَك‬،-‫عز وجل‬- ‫ أِّم ْر َنا َعَلى َبْع ض َم ا وَّالَك اُهلل‬،‫ َيا رسول اهلل‬:‫ َفَق اَل أَح ُد َمُها‬،‫َعِّم ي‬
‫ متف َل ِه‬.))‫َل ِه‬ ‫ِهلل‬
‫ٌق َع ْي‬ ‫ َأْو أَح دًا َح َر َص َع ْي‬،‫َو ا َال ُنَو يِّل َه َذ ا الَعَم َل أَح دًا َس أَلُه‬
Dari Abu Musa Al-Asy'ari -raḍiyallāhu 'anhu- ia berkata, "Aku masuk menemui Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa
sallam- bersama dua orang sepupuku. Lantas salah satu dari keduanya mengatakan, "Wahai Rasulullah!
Angkatlah kami sebagai pemimpin atas sebagian wilayah yang Allah -'Azza wa Jalla- kuasakan kepada Anda."
Yang lain juga mengatakan ucapan seperti itu. Maka beliau bersabda, "Demi Allah, sesungguhnya kami tidak
menyerahkan pekerjaan (jabatan) ini kepada orang yang memintanya atau orang yang berambisi mengejarnya."
(H.R. Muttafaq Alaih)
Keterangan:
Hadis ini menjelaskan larangan mengangkat orang yang meminta jabatan atau berambisi mendudukinya. Ketika
dua orang tersebut meminta kepada Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- agar mengangkat keduanya sebagai
pemimpin atas sebagian wilayah yang Allah kuasakan pada beliau, beliau bersabda, "Demi Allah,
7
sesungguhnya kami tidak menyerahkan pekerjaan (jabatan) ini kepada orang yang memintanya atau orang yang
berambisi mengejarnya." Artinya, kami tidak mengangkat seorang pun yang meminta dan berambisi menguasai
suatu jabatan. Karena orang yang meminta atau berambisi menduduki jabatan tersebut bisa jadi tujuannya ingin
menjadikan dirinya berkuasa, bukan berniat memperbaiki manusia. Manakala ia dicurigai memiliki niat ini,
Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- melarang mengangkat orang yang meminta jabatan, dan beliau bersabda,
"Demi Allah, sesungguhnya kami tidak menyerahkan pekerjaan (jabatan) ini kepada orang yang memintanya
atau orang yang berambisi mengejarnya." Tema ini diperkuat oleh hadis Abdurraḥmān bin Samurah -
raḍiyallāhu 'anhu- bahwa Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Janganlah engkau meminta jabatan,
karena jika engkau diberi jabatan tanpa memintanya niscaya engkau akan ditolong dalam mengembannya.
Namun, jika diserahkan kepadamu karena permintaanmu niscaya akan dibebankan kepadamu (tidak ditolong)."
Jadi, apabila ada orang meminta diangkat untuk memimpin suatu negeri atau wilayah yang membawahi daerah
pedalaman atau semacamnya, tidak sepantasnya seorang pemimpin meluluskan permintaannya ini. Meskipun
orang yang meminta tersebut layak mengemban jabatan itu. Demikian pula seandainya seseorang meminta
jabatan sebagai hakim, ia berkata pada pihak yang berwenang mengurusi masalah pengadilan, seperti menteri
kehakiman-misalnya-, “Angkatlah aku sebagai hakim di wilayah tertentu”, maka orang ini tidak boleh diangkat.
Adapun orang yang meminta pindah tugas dari satu daerah ke daerah lain atau yang semacamnya, ia tidak
termasuk dalam larangan hadis ini. Sebab ia telah menjabat sebelumnya, hanya saja ia meminta ditugaskan di
tempat lain. Kecuali bila kita mengetahui ia memiliki niat dan bertujuan menguasai penduduk wilayah tersebut,
maka kita perlu menghalanginya. Jadi, segala perbuatan itu tergantung pada niatnya. Jika ada orang
mengatakan, “Bagaimana kalian mendudukkan ucapan Nabi Yusuf -'alaihiṣ ṣalātu was salām- pada raja,
“Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi
berpengetahuan". Kita menjawabnya dengan salah satu dari dua jawaban:
Pertama: sesungguhnya syariat umat sebelum kita apabila bertentangan dengan syariat kita maka yang jadi
acuan adalah syariat kita. Hal ini berdasarkan kaidah yang dikenal di kalangan ulama usul fikih, “syariat umat
sebelum kita adalah syariat kita selagi syariat kita tidak menyebutkan hukum yang menyelisihinya”. Dan
ternyata syariat kita telah menyebutkan hukum yang berbeda, bahwa kita tidak boleh menyerahkan jabatan pada
orang yang memintanya.
Kedua: Nabi Yusuf -'alaihiṣ ṣalātu was salām- melihat persediaan dana menipis dan dana (negara) ini dibuang-
buang dan dihambur-hamburkan. Maka ia ingin menyelamatkan negeri dari pemborosan ini. Hal yang seperti
ini tujuannya adalah menghilangkan pengelolaan yang buruk dan pelaksanaan yang salah. Sehingga permintaan
ini tidak apa-apa. Misalnya, apabila kita melihat pemimpin di suatu wilayah, akan tetapi ia telah menyalah
gunakan kepemimpinan dan merusak masyarakat, maka orang yang layak memegang jabatan ini, apabila ia
tidak mendapati orang lain, boleh meminta pada pemimpin agar dirinya diangkat sebagai pemimpin wilayah
tersebut. Ia bisa mengatakan, “Angkatlah aku sebagai pemimpin wilayah ini, semata-mata untuk menghilangkan
keburukan yang terjadi di dalamnya.” Permintaan seperti ini tidak masalah, sejalan dengan kaidah-kaidah. Pun
selaras dengan hadis Uṡmān bin Abi Al-`Āṣ bahwa ia pernah berkata kepada Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-,
“Jadikan aku imam kaumku” maksudnya imam salat. Beliau bersabda, “Engkau imam mereka.” Sebagian ulama
mengatakan, “hadis ini menunjukkan bolehnya meminta jabatan dalam kebaikan.” Dan disebutkan dalam doa
hamba-hamba Allah yang Maha penyayang, yang Allah sebutkan dengan kriteria-kriteria tersebut bahwa
mereka mengucapkan, “Dan jadikan kami sebagai pemimpin orang-orang yang bertakwa.” Ini tidak termasuk
meminta jabatan yang buruk. Karena larangan meminta jabatan tesebut berkaitan dengan kepemimpinan dunia
yang pemintanya tidak akan dibantu mengembannya dan tidak layak dipercaya memegangnya.
Pelajaran yang dapat dipetik dari hadits ini adalah:
1. Dilarang menyerahkan wewenang kepada orang yang meminta atau berambisi meraihnya, sebab hal itu
terkesan bahwa ia menginginkan jabatan untuk kepentingan dirinya, bukan untuk kepentingan umat, dan
akan membahayakan umat.
2. Serahkan jabatan kepada seseorang yang memiliki kemampuan untuk menjalankannya.
3. Tidak diperbolehkan bagi seorang khalifah (pemimpin umat Islam) untuk mengangkat seseorang untuk
menduduki suatu jabatan yang dimintanya atau yang dia berambisi padanya, karena yang demikian terjadi

8
karena keinginan tidak lain demi mendapat manfaat bagi diri sendiri atau keluarganya, bukan demi
kepentingan Muslimin.
4. Seorang khalifah berkewajiban memilih orang-orang yang terampil dan bertakwa untuk menjabat kekuasaan
yang bersifat umum, agar mereka benar-benar menjadi pembantu baginya dalam menegakkan keadilan dan
menerapkan syariat Allah di tengah-tengah umat, serta menyebarluaskan rasa aman ke seluruh umat
manusia.

Anda mungkin juga menyukai