Modul 5 - Khalayak Di Media Digital - Dasar-Dasar Komunikasi Digital
Modul 5 - Khalayak Di Media Digital - Dasar-Dasar Komunikasi Digital
MODUL PERKULIAHAN
Dasar-Dasar
Komunikasi Digital
Khalayak adalah terminologi yang menurut Ross dan Nightingale (2003) jauh lebih
kompleks untuk dipahami. Kompleksitas ini tak lain karena khalayak bukanlah benda dan
bukanlah penerima konten dengan apa adanya saja. Khalayak melibatkan pengertian
manusia itu sendiri yang tidak sekadar dilihat dalam bentuk jumlah atau angka-angka,
tetapi ada berbagai aspek seperti psikologi, sosial, dan politik yang setiap orang berbeda
walau dalam satu kelompok/komunitas bahkan keluarga yang sama. Secara sederhana,
kata khalayak/ audiensi yang diterjemahkan dari kata “audience” secara sejarah berasal
dari kata audire yang berarti mendengar dalam bahasa Yunani (Whitney, 2009:126).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, khalayak diartikan— salah satunya—sebagai
“kelompok tertentu dalam masyarakat yang menjadi sasaran komunikasi”. Namun, dapat
dikatakan bahwa mendekati konsep tentang khalayak lebih mudah melalui karakter
khalayak itu sendiri dibandingkan melalui sebuah definisi yang baku. Mengapa? Karena
manusia yang dalam konteks ini melekat kata khalayak (audiences) terhadapnya selalu
mengalami perkembangan, tidak statis tapi tidak selamanya dinamis, kadang pasif dan
juga dengan kemajuan teknologi khalayak menjadi aktif. Hal ini terkait juga dengan
persepsi khalayak yang dalam beberapa riset disebutkan bahwa persepsi khalayak
terhadap sebuah konten muncul dalam proses kognisi yang terstrukturasi dan terkadang
sangat ekspresif (lihat Wilson, 2009:3).
Kesulitan teoretis utama dalam konsep khalayak ia adalah suatu term yang diaplikasikan
pada realitas yang makin beragam dan kompleks. Istilah ini, karenanya, memiliki banyak
makna tambahan selain makna intinya. Makna intinya adalah sekelompok orang yang
diberi, dan memerhatikan, pesan komunikasi yang diproduksi seseorang dan
dimaksudkan untuk disampaikan kepada mereka agar dipahami, dirasakan, dan
direspons dengan cara-cara tertentu (Schroder, 2016:77). Dalam buku Encyclopedia of
Journalism (Sterling, 2009:126), konsep khalayak merupakan kajian yang lebih awal dari
teori-teori tentang komunikasi yang berkembang. Konsep ini bahkan mendekati
retorikanya Aristoteles tentang “pathos”. Dalam bidang jurnalisme secara khusus, dan
juga kajian media massa secara umum, khalayak berasal dari kata latin audire yang
berarti “mendengar”. Oleh karena itu, karakter khalayak kemudian berkembang
berdasarkan teknologi media itu sendiri. Keberadaan khalayak kemudian dipengaruhi
pada awalnya oleh teknologi tulisan, kemudian teramplifikasi oleh teknologi percetakan
dan bertransformasi akibat teknologi yang semakin baru yakni hadirnya komunikasi
Tipologi Khalayak Pandangan awal tentang khalayak, seperti dikemukakan oleh Wilbur
Lang Schramm, menyebutkan bahwa khalayak merupakan kumpulan receiver yang
merupakan bagian dari model sederhana proses komunikasi massa (source, channel,
message, receiver, effect). Khalayak merupakan kumpulan receiver yang merupakan
bagian dari model sederhana proses komunikasi massa (source, channel, message,
Herbert Blummer (1939) memberikan kerangka pemikiran yang eksplisit di mana khalayak
dapat dicontohkan sebagai bentuk kolektifitas baru dimungkinkan oleh kondisi kehidupan
masyarakat modern. Dia menyebut fenomena ini sebagai ‘mass’ dan dibedakan dari
bentuk sosial yang lama seperti kelompok, kerumunan dan publik. Khalayak massa
sangat besar, heterogen, dan tersebar luas, dan masing-masing anggotanya tidak dan
mungkin tidak saling mengenal satu sama lain. Pandangan khalayak massa ini
merefleksikan pandangan negatif terhadap selera populer dan budaya massa (McQuail,
2010: 398,400).
Media dan Postmodernisme Televisi merupakan salah satu media yang sangat powerfull
di masa modernisme, yang diasumsikan mengartikan khalayak media dalam istilah
‘massa’. Namun selanjutnya, hadirnya postmodernisme telah mengubah pandangan
tentang khalayak media, terutama khalayak televisi (Ang, 1996:1). Massa hanya
sepenggal konstruksi sejarah yang diwariskan oleh modernisme. Hal ini sejalan dengan
pernyataan Benedict Anderson (1983) tentang bangsa sebagai imagined community di
mana massa dalam hal ini juga dilihat sebagai komunitas yang terbentuk dari hasil
imajinasi media.
Khalayak media merupakan komunitas imajinasi yang diorganisir oleh media sebagai
massa. “Selama rakyat diorganisir...sebagai massa, mereka kehilangan identitas dan
kualitas sebagai manusia. Karena massa, dalam kerangka waktu historis adalah
kerumunan di dalam ruang: orang dalam jumlah besar yang tidak mampu
mengekspresikan dirinya sebagai umat manusia karena mereka terkait satu sama lain
bukan sebagai individu atau anggota masyarakat--sebenarnya mereka tidak terkait satu
sama lain, kecuali untuk hubungan yang berjarak, abstrak, dan manusiawi...Manusia
Tafsiran mengenai khalayak media selalu menjadi ambiguitas yang sulit dipahami (Tester,
2009: 120), terutama ketika postmodernisme mulai mempertanyakan keberadaan massa.
Sama seperti yang diungkapkan oleh Raymond Williams, “there are in fact no masses”.
Istilah tersebut hanya sekedar cara pandang manusia yang melihat manusia sebagai
‘massa’ (Ross & Nightingale, 2003: vii). Massa bukan sekedar sebuah obyek penelitian
yang secara natural telah ada, tapi massa harus didefenisikan dan dikonstruksikan setiap
saat terkait dengan penggunaan media/konsumsi media (Ang, 1996: 3).
Perkembagan media baru (internet) dan hadirnya media digital merupakan salah satu
pijakan untuk melihat hubungan baru antara media dan khalayak. Sebab selama ini
diskursus tentang media dan khalayak, khususnya terhadap media tradisional,
menempatkan khalayak dalam posisi pasif, sekadar menerima terpaan media, dan tidak
memiliki kebebasan untuk memproduksi informasi, bahkan khalayak menjadi objek yang
didefinisikan oleh media atau sebagai “audience-as-object”.
Sebelum kemunculan media baru, pendefinisian khalayak aktif sudah menjadi perhatian.
Interaksi khalayak tidak lagi audiensi-media, tetapi memposisikan khalayak untuk
menegosiasikan serta menjadi pembanding (oppositional readings) dari sekadar menjadi
khalayak saja sebagai penerima akhir dari alur komunikasi. Sehingga khalayak dalam
konteks ini tidak dideterminasi oleh media serta membangun kehadiran khalayak tanpa
perlu media atau bahkan teks itu sendiri. Kehadiran khalayak tanpa teks itu sendiri
dimungkinkan karena kemunculan media baru dengan karakteristik interaktifnya seperti
mendefinisikan ulang hubungan antara khalayak (audience) dan media, suatu capaian
lebih tinggi dari “audience participation”.
Di media digital, khalayak memiliki otoritas dalam membangun teks serta memanfaatkan
medium. Media digital juga memberikan keleluasaan khalayak untuk mentransformasikan
dirinya untuk memanfaatkan khalayak lainnya. Jika membandingkan dengan media
tradisional sebagai produsen informasi dan berita, maka kemunculan media alternatif
dalam mendistribusikan informasi (berita) tidak hanya sebagai penanda bagaimana
teknologi mentransformasi pola konsumsi informasi dari media tradisional ke media baru,
tetapi juga bagaimana internet mempengaruhi mekanisme produksi, penyebaran,
pertukaran nilai, dan konsumsi informasi yang selama ini terpusat pada media tradisional.
Komunikasi terjadi tidak lagi memakai pola dari sumber yang satu menyebar ke banyak
(broadcast), berpusat, khalayak bersifat pasif, dan penerima berada dalam posisi
terisolasi, tetapi lebih dinamis, tidak tersentral, sampai pada melibatkan khalayak.
Sebagai contoh, fenomena user content generated di internet menjelaskan bagaimana
khalayak memproduksi konten media dan sekaligus mendistribusikan serta menjadi
konsumen dari konten itu.
Dalam perspektif budaya siber (cyberculture), internet merupakan ruang di mana kultur
yang terjadi itu diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi. Sebagaimana sifat dasar
perspektif ini yang mengaburkan batasan ruang (space), geografis (place), maupun
Menjadi lebih unik lagi, posisi khalayak tidak lagi terpisah antara menjadi konsumen atau
produsen di media digital. Di internet khalayak bisa menjadi keduanya, sebagai konsumen
sekaligus produsen, dikenal dengan istilah prosumer atau produsage. Misalnya, ketika
individu membuka situs populer seperti Google atau Yahoo di internet, maka saat itu pula
kondisi konsumen/produsen terjadi. Contoh lain, khalayak menjadi konsumen saat ia
menggunakan media jurnalisme warga atau membaca konten dan juga sebagai produsen
saat ia menulis serta mempublikasikan konten, misalnya, di Kompasiana.
Namun bukan berarti kebebasan khalayak di internet tanpa resistensi dari institusi media.
Pada kenyataannya, media dalam konteks industri media digital juga bisa dipandang
sebagai peluang dalam menghasilkan keuntungan materi bagi industri media.
Perusahaan media digital yang menyediakan medium dalam pelibatan khalayak tentu
memiliki motif ekonomi. Asumsi ini bisa diketahui dari keputusan perusahaan media
dalam menyediakan media, yang bisa dikatakan tanpa memungut bayaran dari khalayak
seperti Facebook, pihak perusahaan harus mengeluarkan modal (finansial), misalnya
untuk membayar biaya hosting atau menyewa perangkat data, membuat mesin situs,
hingga membayar tagihan rutin seperti sambungan internet dan upah karyawan.
Perusahaan media digital juga harus menyediakan sumber daya manusia yang tidak
hanya mengelola situs jurnalisme warga semata, tetapi juga mengurusi persoalan
administratif. Selain motif ekonomi, institusi media juga memiliki alasan politik (ideologi)
untuk menyebarkan pengaruh hingga memperkuat posisi media massa yang selama ini
menjadi produk perusahaan media bersangkutan. Pengakses internet yang jauh lebih
banyak dibandingkan jumlah pelanggan koran, sebagai contoh, dan juga keterbatasan
halaman yang ada merupakan peluang yang bisa dimasuki oleh perusahaan media itu.
Alasan ini cukup menjadi dasar bahwa ada motif ekonomi perusahaan media saat
memutuskan membuat media baru berupa jurnalisme warga; bahwa ada investasi yang
Selanjutnya hubungan khalayak dan media tidak selamanya berada dalam posisi tidak
berimbang, ada kesadaran atas kekuatan khalayak yang jika ini disadari oleh khalayak itu
sendiri bisa menjadi titik balik bagi khalayak untuk tidak menjadi objek, tetapi berubah
menjadi subjek atau khalayak aktif khususnya di era media digital. Siapapun khalayak
atau entitas yang terkoneksi dalam jaringan internet, maka ia bisa melakukan kegiatan
ekonomi maupun politik di dalamnya. Konsep khalayak aktif atau apa yang disebut
sebagai “new audiences”, bahwa khalayak tidak lagi sekadar menjadi konsumen
melainkan saat itu juga telah menjadi produser atau “prosumer”. Term prosumer
merupakan penggabungan dari kata “producer” dan “consumer”. Term ini untuk
menggambarkan bagaimana dalam konteks karakteristik khalayak di media digital yang
tidak hanya sebagai konsumen dari informasi dan berita yang dipublikasikan, tetapi juga
untuk melihat bagaimana aktivitas khalayak memproduksi informasi dan berita itu.
Di era digital saat ini, di mana informasi merupakan produk, maka produk ini menjadi
komoditas yang unik yang berbeda dengan produk yang selama ini dikenal dalam pasar
tradisional termasuk bagaimana komoditas itu dikonsumsi. Sebab mengonsumsi
komoditas informasi doperlukan apa yang disebut sebagai “work of consumption” bahwa
kualitas dan kuantitas kerja dan pelibatan atas kemampuan, keahlian, atau kompetensi
khalayak (users) tertentu akan memengaruhi hasil dari kerja konsumsi itu. Dalam “work of
consumption” pada dasarnya juga akan melahirkan material baru terhadap informasi
tersebut. Inilah mengapa bahwa saat khalayak mengonsumsi informasi ia juga pada
dasarnya tengah melakukan “work of production” dengan pengertian bahwa khalayak
berada dalam posisi aktif.
Terkait dengan cara mengonsumsi, media digital pengertian mengonsumsi itu bukan
berada dalam terminologi menghabiskan materi sehingga informasi sebagai produk
tidaklah hilang. Informasi bisa menjadi material baru, bisa pula diproduksi ulang dengan
menyeleksi atau memanipulasinya sehingga menjadi komoditas informasi yang benar-
benar baru. Inilah mengapa dalam kerja konsumsu terdapat “work in progress”, konsep
yang menjelaskan adanya upaya ketika khalayak mengonsumsi dan memproduksi ulang
informasi yang dikonsumsinya. Inilah mengapa media digital tidak hanya didekati dalam
konteks saluran semata, tatapi menjadi medium yang bisa mentranformasikan tipe
Terkait dengan karakteristik pengunjung atau khalayak di media digital, para pengguna di
internet bisa dibagi sebagai pegunjung (visitors) dan bisa sebagai penetap (residents).
Sebagai pengunjung, pengguna menyambangi situs-situs tertentu karena dilandasi minat
mereka, tergantung sepenuhnya kepad kemauan pengguna, dan tidak pernah
meninggalkan jejak keberadaan di situs itu. Sementara di sisi lain sebagai penetap,
pengguna dengan sadar menghabiskan waktu daring mereka untuk melakukan interaksi
sosial dan bukan sekadar untuk mengumpulkan informasi semata, melainkan keberadaan
pengguna itu bisa diketahui.
Sejalan dengan hal tersebut, Hine (2000) membagi tipe pengguna – dalam konteks grup
diskusi daring – menjadi web surver, active newsgroup participants, dan lurkers.
Keberadaan pengintai (lurkers) merupakan persoalan tersendiri untuk melihat jejak
pengguna dalam komunikasi termediasi komputer. Pasalnya, dalam suatu grup diskusi di
internet posisi pengintai ini hanya sekadar melihat, membaca satu dua isi yang
Inilah mengapa media internet tidak sepenuhnya bisa dikatakan sebagai ruang publik
virtual (virtual sphere). Ada posisi di mana pengguna sebagai anggota tidak terlibat dalam
diskusi atau debat terhadap realitas politik yang sedang dibincangkan atau setidaknya
menjadi liputan utama di media tradisional. Selain itu, media internet seperti media
jurnalisme warga dalam beberapa kasus dan lebih cenderung berada dalam terminologi
ruang virtual ekspresi atau konstruksi diri dibandingkan ruang publik sebagaimana uraian
Habermas. Oleh karena itu, untuk memasukan mana saja topik yang masuk dalam kriteria
ruang publik virtual terutama yang ada di media digital, ada kriteria ruang publik virtual
yang dipopulerkan oleh Dahlberg (2001) :
1. Autonomy from state and economic power, forum haruslah bebas dari intervensi
negara atau kekuatan ekonomi manapun. Diskursus yang terjadi di cyber-forum
hendaknya bebas dari kekuatan pengelola negara maupun pasar baik dalam bentuk
kapital maupun administrasi.
5. Sincerity, setiap anggota cyber-forum melandasi dirinya dengan niat tulus, termasuk
dalam hal keinginan, kebutuhan, bahkan tujuan yang tersembunyu untuk menemukan
solusi terhadap suatu masalah dan bukan sebaliknya untuk kepentingan pribadi.
New media merupakan cultural technology yang pada akhirnya menciptakan budaya
virtual yang melahirkan komunitas-komunitas virtual dengan identitas online. Menurut
Terry Flew (2004: 61-67), salah satu elemen menarik dalam perkembangan internet
adalah munculnya komunitas virtual, atau budaya virtual, yang berbasis pada interaksi
CMC (computer mediated communication). Hadirnya CMC, mempelopori munculnya
konvergensi media tidak hanya di level teknis, melainkan juga di level sosial, termasuk
perubahan dalam hal: - Sender dan receiver; - Percakapan dan informasi; - Makna yang
dibawa; - Identitas publik dan pribadi. Budaya menggunakan internet, yang ditawarkan
oleh new media memunculkan berbagai kajian komunitas virtual dan identitas online
sebagai wujud baru dari khalayak media.
Khalayak media berupa komunitas virtual dan identitas online ini terdiri dari penggunan
media internet yang berasal dari seluruh dunia yang melampaui batas-batas geografis,
budaya dan faktor sosial lainnya. Selain itu, sulit untuk diprediksikan kapan, di mana dan
mengapa khalayak media baru ini menggunakan internet, dan internet kini telah
diintegrasikan ke dalam aktivitas keseharian yang bersifat personal. Khalayak media jenis
ini sekaligus telah menciptakan perbedaan jelas antara “online” dengan “offline”, atau
antara “virtual” dengan “real”. Lebih lanjut, Flew menyebutkan bahwa munculnya
komunitas virtual ini merupakan wujud ketidakpuasan terhadap komunitas nyata sehingga
individu cenderung memilih terlibat dalam komunitas imajiner tersebut. Identitas online
Hadirnya new media dengan berbagai bentuk budaya pop di atas memperkenalkan
sebuah komunitas khalayak baru yang berbeda dengan massa, yaitu fandom (media
fandom). Khalayak media terhubung dengan sumber media yang “jauh” dengan berbagai
cara yang relevan dengan institusionalisasi fandom, meskipun hal ini tidak berlangsung
secara spontan dan dimanipulasi oleh media. Fandom seringkali diasosiasikan dengan
pandangan kritis mengenai ketidakdewasaan, ketidakrasionalan, yang merupakan produk
budaya massa dan merupakan contoh perilaku massa. Fandom merupakan sesuatu yang
bersifat kolektif, yaitu berbagi perasaan terhadap ketertarikan yang kuat yang dilakukan
secara sadar (McQuail, 2010: 442).
Fandom adalah sebuah gaya hidup yang bisa muncul ketika identitas budaya yang
berbeda dibenturkan dan identitas budaya yang satu menjadi dominan atas budaya yang
lain (Hills, 2002: 82). Di dalam kamus Oxford, fandom diartikan sebagai “the world of fans
and enthusiasts...” (The Concise Oxford Dictionary of Current English 487, 9thed, 1995).
Entusiasme dalam hal ini membentuk sebuah unsur fanatisme, ‘...fanaticism is
‘enthusiasm for the abstract’ (Hegel, dalam Toscano, __: xi). Di dalam dunia fandom yang
penuh entusiasme ini, terdapat fanatisme yang menurut Toscano merupakan sebuah efek
dari kesadaran yang salah yang mengorbankan banyak hal dan memperbudak
kepercayaan terhadap sesuatu yang sangat digemari. Fandom berkembang dari fans,
ketika mereka mulai mengasosiasikan diri mereka satu sama lain dan
mengekspresikannya dengan cara-cara umum seperti T-shirt, gaya baju, dan lain-lain
(McQuail, 2010: 443).
Fans (atau penggemar; biasanya dikaitkan dengan generasi muda) adalah seseorang
yang terobsesi dengan artis tertentu, selebriti, film, program TV, band. Fans adalah
seseorang yang dapat memproduksi banyak sekali informasi tentang objek fandom
mereka, dan biasanya mengutip kata-kata dan lirik favorit mereka (Hills, 2002: ix). New
media menciptakan ruang baru bagi perkembangan komunitas-komunitas fandom yang
kebanyakan berbasis di internet. Misalnya, di Indonesia kini sedang marak berbagai
Khalayak new media dalam dunia postmodernisme, seperti fans/fandom dan komunitas
virtual dan identitas online, menciptakan kemungkinan-kemungkinan dinamika identitas
khalayak media di mana identitas dapat berubah, meluas, atau menciut. Khalayak ini
merupakan jenis khalayak baru yang menggantikan tipe-tipe khalayak dalam perspektif
awal tentang khalayak. Hadirnya new media secara tidak langsung ikut memaksa media
konvensional untuk menyesuaikan diri dengan teknologi digital. Media konvensional kini
banyak mengadaptasi internet dengan menghadirkan bentuk-bentuk media konvergensi
seperti koran digital, radio/TV online, dan sebagainya. Perubahan media ini juga diikuti
oleh perubahan pola konsumsi khalayak media lama. Kecenderungan yang terjadi adalah
khalayak menjadi lebih aktif melakukan tindakan selektif terhadap media yang akan
dikonsumsinya terkait dengan berbagai faktor misalnya kesenangan atau kemudahan.
Akses yang mudah dan cepat dalam media baru membuat masyarakat lebih cenderung
memilih beranjak dari media konvensional dan secara aktif mengkonsumsi new media.
Dalam hal ini, hadirnya new media bisa dikatakan telah memberi kontribusi besar dalam
membangkitkan kembali pandangan tentang khalayak aktif.
DAFTAR PUSTAKA
Nasrullah, Rulli. 2014. Teori dan Riset Media digital (Cybermedia). Prenadamedia Group :
Jakarta.
Nasrullah, Rulli. 2012. Komunikasi Antarbudaya di Era Budaya Siber. Prenamedia Group :
Jakarta