Anda di halaman 1dari 1

SIMPANG KKA ACEH

Simpang KKA Aceh adalah sebuah peristiwa yang berlangsung saat konflik Aceh pada tanggal 3 Mei
1999[1] di Kecamatan Dewantara, Aceh. Saat itu, pasukan militer Indonesia menembaki kerumunan warga
yang sedang berunjuk rasa memprotes insiden penganiayaan warga yang terjadi pada tanggal 30
April.Insiden ini terus diperingati masyarakat setempat setiap tahunnya.Sampai sekarang belum ada
pelaku yang ditangkap dan diadili atas peristiwa ini.

Awalnya berkembang kabar mengenai hilangnya anggota TNI dari Kesatuan Den Rudal 001/Pulo Rungkom
pada tanggal 30 April 1999.[6] Anggota tersebut diklaim menyusup ke acara peringatan 1 Muharam yang
diadakan warga desa Cot Murong.Klaim ini diperkuat oleh kesaksian warga yang sedang mempersiapkan
acara ceramah magrib tersebut. Pasukan militer Detasemen Rudal menanggapi hilangnya anggota
tersebut dengan melancarkan operasi pencarian masif yang melibatkan berbagai satuan, termasuk
brigadir mobil (Brimob). Saat melakukan penyisiran di desa, aparat melakukan penangkapan terhadap
sekitar 20 orang lalu melakukan aksi kekerasan. Para korban mengaku dipukul, ditendang, dan diancam
oleh aparat. Warga desa kemudian mengirim utusan ke komandan TNI setempat untuk bernegosiasi.
Komandan TNI berjanji aksi ini tidak akan terulang lagi.

Tanggal 3 Mei 1999, satu truk tentara memasuki desa Cot Murong dan Lancang Barat, tetapi diusir oleh
masyarakat setempat. Warga desa yang berunjuk rasa bergerak ke markas Korem 011 untuk menuntut
janji yang diberikan komandan sehari sebelumnya. Pada siang hari, pengunjuk rasa berhenti di
persimpangan Kertas Kraft Aceh, Krueng Geukueh, yang lokasinya dekat dengan markas Korem, kemudian
mengirimkan lima orang untuk berdialog dengan komandan. Ketika dialog sedang berlangsung, jumlah
tentara yang mengepung warga semakin banyak, dan warga pun melempar batu ke markas Korem 011 dan
membakar dua sepeda motor. Setelah itu, dua truk tentara dari Arhanud yang dijaga Detasemen Rudal
001/Lilawangsa dan Yonif 113/Jaya Sakti datang dari belakang dan mulai menembaki kerumunan
pengunjuk rasa.Setelah insiden Dewantara, beberapa kantong berisi mayat yang diberi pemberat batu
ditemukan di dasar sungai. Pola pembuangan mayat ini diduga mengikuti pola yang diterapkan pada
insiden sebelumnya.

PELANGGARAN HAM
Koalisi NGO HAM Aceh mencatat sedikitnya 46 warga sipil tewas, 156 mengalami luka tembak, dan 10
orang hilang dalam peristiwa itu. Tujuh dari korban tewas adalah anak-anak.Sebuah monumen didirikan di
tempat penembakan Simpang KKA, desa Cot Murong, Lhokseumawe.
Wiranto, Menteri Pertahanan sekaligus Kepala Angkatan Bersenjata, mengatakan di sebuah stasiun televisi
swasta bahwa, "Tidak logis jika aparat negara menindas rakyatAceh karena mereka dikirim ke sana untuk
melindungi rakyat."[2] Pihak militer yang terlibat dalam penembakan ini mengklaim menggunakan peluru
karet sebagai bentuk pertahanan diri karena warga melempari markas Koramil dengan batu. Meski begitu,
sejumlah dokter di rumah sakit mengaku menemukan peluru timah di 38 jenazah dan 115 korban luka.[7]
[13] Walaupun banyak bukti empiris, Wiranto mengumumkan bahwa tentara PPRM akan dikerahkan ke
Aceh untuk menangkap para "provokator" misterius yang bertanggung jawab atas pembantaian
Dewantara.

Tahun 2000, telah dilakukan penyelidikan dan pengkajian oleh Komisi Independen Pengusutan Tindak
Kekerasan di Aceh yang dibentuk melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 88/1999. Dalam
laporannya, komisi independen ini menyebutkan sebanyak 39 warga sipil tewas (termasuk seorang anak
berusia 7 tahun), 156 sipil mengalami luka tembak, dan sekitar 10 warga sipil dinyatakan hilang.

Anda mungkin juga menyukai