Anda di halaman 1dari 2

NAMA KELOMPOK 4:

1. Ariansa Syahrial Basatu

2. Allysa Nurfadila

3. Fahril

4. Nadya Ayu Cinta

5. Yosafat Gabriel

Simpang KKA

Tragedi Simpang KKA , juga dikenal dengan nama Insiden Dewantara atau Tragedi Krueng Geukueh ,
adalah sebuah peristiwa yang berlangsung saat konflik Aceh pada tanggal 3 Mei 1999 [1] di Kecamatan
Dewantara , Aceh. Saat itu, pasukan militer Indonesia menembaki gerombolan warga yang sedang
berunjuk rasa memprotes insiden penganiayaan warga yang terjadi pada tanggal 30 April di Cot
Murong , Lhokseumawe.

Simpang KKA adalah perempatan jalan dekat pabrik PT Kertas Kraft Aceh di Kecamatan Dewantara, Aceh
Utara. Insiden ini terus diperingati masyarakat setempat setiap tahunnya. [3] [4] Hingga saat ini belum
ada pelaku yang ditangkap dan diadili atas peristiwa ini.

Kronologi:

Awalnya berkembang kabar mengenai hilangnya anggota TNI dari Kesatuan Den Rudal 001/Pulo
Rungkom pada tanggal 30 April 1999. Anggota tersebut diklaim menyusup ke acara peringatan 1
Muharam yang diadakan warga desa Cot Murong.Klaim ini diperkuat oleh kesaksian warga yang sedang
mempersiapkan acara ceramah magrib tersebut. Pasukan Detasemen Militer Rudal menghadapi
kekalahan anggota tersebut dengan melancarkan operasi pencarian masif yang melibatkan berbagai
satuan, termasuk Brigadir Mobil (Brimob). Saat melakukan penyisiran di desa, aparat melakukan
penangkapan terhadap sekitar 20 orang lalu melakukan aksi kekerasan. Para korban mengaku dipukul,
ditendang, dan diancam oleh aparat. Warga desa kemudian mengirim utusan ke komandan TNI
setempat untuk bernegosiasi. Komandan TNI berjanji aksi ini tidak akan terulang lagi.Tanggal 3 Mei
1999, satu truk tentara memasuki desa Cot Murong dan Lancang Barat, tetapi diberitahukan oleh
masyarakat setempat. Warga desa yang berunjuk rasa bergerak ke markas Korem 011 untuk menuntut
janji yang diberikan komandan sehari sebelumnya. Pada siang hari, pengunjuk rasa berhenti di
perempatan Kertas Kraft Aceh, Krueng Geukueh,yang lokasinya dekat dengan markas Korem, kemudian
mengirimkan lima orang untuk berdialog dengan komandan. Ketika dialog sedang berlangsung, jumlah
tentara yang mengepung warga semakin banyak, dan warga pun melempar batu ke markas Korem 011
dan membakar dua sepeda motor.Setelah itu, dua truk tentara dari Arhanud yang dijaga Detasemen
Rudal 001/Lilawangsa dan Yonif 113/Jaya Sakti datang dari belakang dan mulai menembaki kerumunan
pengunjuk rasa. Setelah itu, dua truk tentara dari Arhanud yang dijaga Detasemen Rudal 001/Lilawangsa
dan Yonif 113/Jaya Sakti datang dari belakang dan mulai menembaki kerumunan pengunjuk rasa.

Kesimpulan:

Koalisi NGO HAM Aceh mencatat sedikitnya 46 warga sipil tewas, 156 mengalami luka tembak, dan 10
orang hilang dalam peristiwa itu. Tujuh dari korban tewas adalah anak-anak. [6] [11] [12] Sebuah
monumen didirikan di tempat penembakan Simpang KKA, desa Cot Murong, Lhokseumawe.Wiranto,
Menteri Pertahanan sekaligus Kepala Angkatan Bersenjata, mengatakan di sebuah stasiun televisi
swasta bahwa, "Tidak logis jika aparat negara menindas rakyat Aceh karena mereka dikirim ke sana
untuk melindungi rakyat."Pihak militer yang terlibat dalam penembakan ini mengklaim menggunakan
peluru karet sebagai bentuk pertahanan diri karena warga melempari markas Koramil dengan batu.
Meski begitu, sejumlah dokter di rumah sakit mengaku menemukan peluru timah di 38 jenazah dan 115
korban luka.Meskipun banyak bukti empiris, Wiranto mengumumkan bahwa tentara PPRM akan
dikerahkan ke Aceh untuk menangkap para "provokator" misterius yang bertanggung jawab atas
pembunuhan Dewantara.Tahun 2000, telah dilakukan penyelidikan dan pengkajian oleh Komisi
Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh yang dibentuk melalui Keputusan Presiden (Keppres)
Nomor 88 Tahun 1999. Dalam laporannya, komisi independen ini menyebutkan sebanyak 39 warga sipil
tewas (termasuk seorang anak berusia 7 tahun), 156 warga sipil mengalami luka tembak, dan sekitar 10
warga sipil dinyatakan hilang.

Anda mungkin juga menyukai