Anda di halaman 1dari 5

PENGARUH TERAPI MUSIK KLASIK MOZART TERHADAP

INTENSITAS NYERI PADA PASIEN POST OPERASI LAPARATOMI

DISUSUN OLEH
MAYANG DWI APRITANIA
2114301103

PRODI ALIH JENJANG STR KEPERAWATAN


POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNGKARANG
TAHUN AKADEMIK 2021/2022
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Laparatomi merupakan salah satu prosedur pembedahan mayor, dengan melakukan
penyayatan pada lapisan-lapisan dinding abdomen untuk mendapatkan bagian organ
abdomen yang mengalami masalah (hemoragi, perforasi, kanker, dan obstruksi)
(Sjamsuhidajat & Jong dalam Ratna dan Khoiriyah, 2020). Laparatomi juga dilakukan
pada kasus-kasus digestif dan kandungan seperti appendisitis, perforasi, hernia
inguinalis, kanker lambung, kanker kolon dan rectum, obstruksi usus, inflamasi usus
kronis, kolestisitis, kolelitiasis dan peritonitis (Yuwono dalam Ratna dan Khoiriyah,
2020).
Laparatomi yaitu pembedahan abdomen sampai membuka selaput abdomen (Grace
dalam Yuliana, dkk, 2021). Tindakan ini memerlukan perawatan yang
berkesinambungan. Tindakan perawatan post laparatomi adalah bentuk pelayanan
perawatan yang diberikan kepada pasien yang telah menjalani operasi pembedahan perut
tujuan perawatan post laparatomi antara lain mengurangi komplikasi akibat pembedahan,
mempercepat penyembuhan, mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti
sebelum operasi, mempertahankan konsep diri pasien dan mempersiapkan pasien pulang
(Padila dalam Yuliana, dkk, 2021).
Menurut data World Health Organization (WHO) tahun 2017 menunjukan bahwa
jumlah pasien dengan tindakan operasi mencapai angka peningkatan yang sangat
signifikan. Pada tahun 2015 terdapat 140 juta pasien di seluruh rumah sakit di dunia. Dan
pada tahun 2016 data mengalami peningkatan sebesar 148 juta jiwa (Depta dan Deoni,
2020). Pada tahun 2017 di Indonesia, tindakan operasi mencapai 1,2 juta jiwa dan
diperirakan 32% diantaranya merupakan tindakan bedah laparatomi (Kemenkes RI,
2017).
Laparatomi dapat dilakukan pada pasien yang menderita trauma abdomen dengan
hemoperitonium, pendarahan gastrointestinal, nyerti abdomen akut, nyeri abdomen
kronik, dan jika ditemukan kondisi klinis intra abdomen yang membutuhkan
pembedahan darurat seperti peritonitis, ileus obstruksi dan perforasi. Beberapa indikasi
utama dilakukannya tindakan operasi laparatomi yaitu pendarahan intra abdomen
(39,0%) dengan angka mortalitas 75,6%, iskemia usus (24,4%) dengan angka
mmortalitas 80,5%, trauma abdomen (23,5%) dengan angka mortalitas 75,5%, serta
obstruksi usus 15,7% dan penyakit diventrikular 14,3%. Akibat beberapa indikasi
tersebut, pasien dengan post operasi laparatomi mengakibatkan muncul berbagai masalah
pada pasien seperti gangguan tidur, kesulitan dalam mobilisasi, kegelisahan, agresif, dan
rasa nyeri (Asdar dalam Depta dan Deoni, 2020).
Pasca pembedahan pasien merasakan nyeri hebat dan 75% penderita mempunyai
pengalaman yang kurang menyenangkan akibat pengelolaan nyeri yang tidak adekuat.
Nyeri adalah perasaan tidak menyenangkan yang dihubungkan dengan kerusakan pada
tubuh yang ditandai dengan adanya ancaman yang bersifat factual maupun potensial.
Nyeri menyangkut multidimensional, baik fisik, psikis, emosional, kognitif, sosiokultural
maupun spiritual. Nyeri menyebabkan pasien menderita, nyeri jika tidak ditangani akan
berdampak negatif seperti pasien mengalami cemas, anoreksia, gangguan pola tidur,
gelisah, tidak mampu bergerak bebas, perasaan tidak tertolong dan putus asa
(Andarmoyo dalam Aulia dan Debby, 2021).
Pasca operasi pada laparatomi jika tidak mendapatkan perawatan maksimal dapat
memperlambat proses penyembuhan. Salah satunya penyembuhan luka operasi. Pada
prinsipnya luka akan sembuh dengan sendirinya, setiap luka operasi memiliki keragaman
dalam memberikan respon yang dipengaruhi secara lokal dan umum. Jika faktor umum
dan lokal tidak ditangani dengan baik luka akan sulit sembuh (Arisanty dalam Yuliana,
dkk, 2021).
Penatalaksanaan nyeri dalam menangani pasien dengan post operasi laparatomi secara
garis besar ada dua manajemen untuk mengatasi nyeri pasca operasi yaitu manajemen
farmakologi dan non farmakologi. Penatalaksanaan dengan farmakologi yaitu pemberian
analgesik. Sedangkan, penatalaksanaan dengan non farmakologi yaitu terdiri dari teknik
relaksasi, distraksi dan imajinasi terbimbing (Handayani dalam Depta dan Deoni, 2020).
Distraksi merupakan suatu tindakan pengalihan perhatian ke hal-hal lain diluar nyeri
agar pasien tidak terlalu fokus terhadap nyeri (Andarmayo dalam Firdaus, 2020).
Distraksi pendengaran (audio) salah satunya dengan terapi musik, terapi musik juga
merupakan salah satu tindakan mandiri perawat dalam manajemen nyeri (Bernatzky
dalam Chamy dan Leni, 2018).
Salah satu tindakan non farmakologis adalah dengan pemmberian terapi musik yang
dapat menurunkan nyeri fisiologis, dengan mengalihkan perhatian seseorang dari nyeri.
Musik yang sejak awal sesuai dengan suasana hati individu, merupakan pilihan yang
paling baik (Potter & Perry dalam Firdaus, 2020).
Terapi musik adalah suatu proses yang menggabungkan antara aspek penyembuhan
musik itu sendiri dengan kondisi dan situasi fisik/tubuh, emosi, mental, spriritual,
kognitif, dan kebutuhan sosial seseorang (Liu, dkk dalam Chamy dan Leni, 2018). Hal
yang paling penting dalam proses terapi adalah bagaimana seseorang terapis
menggunakan alat musik, memilih jenis musik untuk mencapai hasil akhir yang tepat
bagi pasiennya. Proses terapi musik ada unsur kepercayaan dengan pasien. Terapis
member energi positif untuk membangkitkan komunikasi dan semangat dalam diri
pasien. Hal ini juga secara langsung meningkatkan system imunitas dalam tubuh
manusia. Pasien juga member respon positif sehingga terjadi hubungan timbal balik
dalam proses penyembuhan (Natalina dalam Chamy dan Leni, 2018).
Berbagai penelitian menunjukan bahwa jenis musik yang efektif dalam manajemen
nyeri adalah musik klasik. Hal ini dikarenakan musik klasik memiliki tempo yang
berkisar antara 60-80 beats per menit selaras dengan detak jantung manusia. Penelitian
menunjukan bahwa musik klasik bermanfaat untuk membuat seseorang menjadi rileks,
menimbulkan rasa aman dan sejahtera, melepaskan rasa gembira dan sedih, menurunkan
tingkat kecemasan pasien pra operasi, melepaskan rasa sakit, dan menurunkan tingkat
stress (Wulf, dkk dalam Chamy dan Leni, 2018).
Terapi musik klasik dapat merangsang tubuh mengeluarkan opoid endogen yaitu
endorphin dan enkefalin yang memiliki sifat seperti morfin yaitu mengurangi nyeri
(Huges dalam Ernawati,dkk dalam Firdaus, 2020). Salah satu musik klasik yang banyak
digunakan dalam penelitian adalah musik klasik karya Mozart. Musik klasik karya
Mozart ini selain merangsang kecerdasan dan merangsang kinerja otak kanan, juga
merangsang neural plasticity (Yuwantari dalam Firdaus, 2020). Musik klasik Mozart
juga mempunyai struktur musik sesuai dengan pola sel otak manusia (Wirasti dalam
Firdaus, 2020).
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis berminat melakukan penelitian tentang
pengaruh terapi musik klasik Mozart terhadap intensitas nyeri pada pasien post operasi
laparatomi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas penulis menetapkan rumusan masalah sebagai
berikut “Bagaimana pengaruh terapi musik klasik Mozart terhadap intensitas nyeri pada
pasien post operasi laparatomi?”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh musik klasik Mozart terhadap intensitas nyeri pada
pasien post operasi laparatomi.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui intensitas nyeri pasien post operasi laparatomi sebelum
pemberian terapi musik klasik Mozart pada kelompok intervensi dan kelompok
kontrol.
b. Untuk mengetahui intensitas nyeri pasien post operasi laparatomi setelah
pemberian terapi musik klasik Mozart pada kelompok intervensi dan kelompok
kontrol.
c. Untuk mengetahui pengaruh terapi musik klasik Mozart terhadap perubahan
intensitas nyeri pasien post operasi laparatomi pada kelompok intervensi dan
kelompok kontrol.

Anda mungkin juga menyukai