Anda di halaman 1dari 46

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG

Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk melihat

kemajuan kesehatan suatu negara, khususnya yang berkaitan dengan masalah

kesehatan ibu dan anak. Angka Kematian Ibu (AKI) juga merupakan salah satu

target yang telah ditentukan dalam Sustainable Development Goals (SDGs)

(Statistics Indonesia, 2016).

Seksio sesarea (Sectio Caesarean/ SC) adalah prosedur pembedahan untuk

melahirkan bayi melalui sayatan pada dinding perut dan rahim ibu. Tindakan SC

dilakukan untuk mengurangi komplikasi kehamilan dan persalinan serta

menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Seksio sesarea dilakukan dengan

indikasi dari ibu atau janin serta dapat dilakukan dalam keadaan gawat darurat

atau secara terencana (Wiknjosastro dkk., 2016; Cunningham dkk., 2014).

Namun, dilaporkan adapula beberapa komplikasi tindakan SC pada ibu dan bayi

yang dilahirkan (Chen & Tan, 2019).

Persalinan dengan Sectio caesarea (operasi sesar) terus meningkat diseluruh

dunia, khususnya di negara-negara berpenghasilan menengah dan tinggi, serta

telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama dan kontroversial

(Betran et al., 2014). WHO memperkirakan jumlah section caesarea 5-15%. Lebih

dari 15% dianggap tidak menghasilkan hasil kesehatan yang lebih baik (WHO,

2015). Amerika Latin dan wilayah Karibia menjadi penyumbang angka metode

sesar tertinggi yaitu 40,5 persen, diikuti oleh Eropa (25%), Asia (19,2%) dan

Afrika (7,3%) 2. Di Indonesia pada tahun 2017 persalinan sectio caesarea


meningkat mencapai 89% (SDKI, 2017). Di Indonesia berdasarkan hasil Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan prevalensi tindakan sesar pada

persalinan adalah 17,6 persen, tertinggi di wilayah DKI Jakarta (31,3%) dan

terendah di Papua (6,7%).

Salah satu upaya untuk menekan angka morbilitas dan mortalitas ibu dan anak

adalah dengan pemberian asuhan keperawatan yang berkualitas pada saat sebelum

persalinan, saat persalinan dan sesudah persalinan. Proses persalinan kadang tidak

dapat berjalan semestinya dan janin tidak dapat lahir secara normal sehingga

tindakan sectio caesarea (SC) merupakan pilihan utama bagi tenaga medis untuk

menyelamatkan ibu dan janin. Persalinan secara sectio caesarea memberikan

dampak bagi ibu dan bayi. Post SC, ibu akan mengalami rasa nyeri, biasanya

muncul 2 jam setelah proses persalinan selesai. Hal ini disebabkan karena

pengaruh pemberian obat anastesi pada saat persalinan. Nyeri pada proses

persalinan normal adalah nyeri fisiologis saat persalinan, sedangkan nyeri post SC

bukan merupakan nyeri fisiologis. Nyeri post SC diakibatkan karena proses

pembedahan pada dinding abdomen dan dinding Rahim yang tidak hilang dalam

satu hari dengan intensitas nyeri dari nyeri ringan sampai berat (Afifah, 2009).

Nyeri post SC akan memberi dampak seperti mobilisasi terbatas, bounding

attachment (ikatan kasih sayang) terganggu/ tidak terpenuhi, Activity of daily

Living (ADL) terganggu pada ibu yang akibatnya nutrisi bayi berkurang sebab

tertundanya pemberian Air Susu Ibu (ASI) sejak awal, selain itu juga

mempengaruhi Inisiasi Menyusui Dini (IMD) yang akan mempengaruhi daya

tahan bayi yang dilahirkan secara SC (Afifah, 2009).


Dengan adanya masalah nyeri post SC maka diperlukan penatalaksanaan

manajemen nyeri. Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) mempersyaratkan

semua pasien yang masuk ke rumah sakit di assessment nyeri dan diberikan

penanganan nyeri bagi pasien yang mengalami nyeri agar pasien terbebas dari

rasa nyeri. Penatalaksanaan manajemen nyeri di rumah sakit atau fasilitas

pelayanan kesehatan saat ini mulai bergeser yang sebelumnya fokus pada

pemberian farmakologi sekarang mulai dikembangkan pemberian manajemen

nyeri non farmakalogi. Walaupun tindakan farmakologi dinilai efektif untuk

menghilangkan nyeri pasien, tetapi tindakan ini mempunyai nilai ekonomis yang

cukup mahal yaitu harga obat yang cukup mahal, dan kemungkinan terjadinya

efek samping dari obat pada pasien mulai dari yang ringan sampai berat. Efek

samping dari obat analgetik dapat berupa, mual pusing, konstipasi, gangguan

ginjal, gangguan fungsi jantung gangguan fungsi hati, reaksi alergi obat dan

sebagainya (Potter & Perry, 2010). Sebagai alternative, maka sekarang

dikembangkanlah berbagai tindakan non farmakologi atau komplementer untuk

penanganan nyeri, yang salah satunya adalah (massage) tindakan pemijatan.

Teknik massage merupakan salah satu alternatif pilihan penanganan nyeri non

farmakologi karena pemijatan efektif mengurangi atau menghilangkan rasa tidak

nyaman, tindakannya cukup sederhana dan dapat dilakukan oleh diri sendiri atau

dengan bantuan orang lain. Teknik massage ini efektif untuk mengurangi rasa

nyeri akut post operatif. Massage merupakan teknik sentuhan serta pemijatan

ringan yang dapat meningkatkan kondisi rileks dalam tubuh dengan memicu

perasaan nyaman melalui permukaan kulit dan mengurangi rasa sakit, hal ini
disebabkan karena pijatan merangsang tubuh untuk melepaskan senyawa endorfin

(Nurrochmi, Nurasih, & Romadon, 2014).

Teknik non farmakologis pijatan (massage) dapat memberikan relaksasi fisik

dan mental, mengurangi nyeri dan meningkatkan keefektifan dalam pengobatan.

Massage pada daerah yang diinginkan selama 20 menit dapat merelaksasikan otot

dan memberikan istirahat yang tenang dan kenyamanan (Potter & Perry, 2010).

Rasa nyaman yang dirasakan dari tindakan massage juga dapat mendistraksi rasa

nyeri yang dirasakan oleh seseorang, hal ini sesuai dengan teori distraksi yang

menyatakan jika seseorang mendapatkan dua rangsangan atau stimulus secara

bersamaan maka otak manusia tidak dapat mempersepsikan rangsangan tersebut

secara bersamaan, melainkan rangsangan yang lebih kuat dan yang dirasakan

paling menyenangkanlah yang akan dipersepsikan oleh otak (Yuliatun, 2008).

Manajemen nyeri dengan tindakan massage terdiri dari hand massage,

effleurage, deep back massage, foot massage dan lain-lain (Degirmen, Ozerdogan,

Sayiner, Kosgeroglu, & Ayranci, 2010). Untuk penanganan non farmakologi

nyeri post operasi abdomen, foot massage merupakan salah satu pilihan, karena di

daerah kaki banyak terdapat saraf-saraf yang terhubung ke organ dalam, tindakan

dapat diberikan saat pasien terlentang dan minimal melakukan pergerakan daerah

abdomen untuk mengurangi rasa nyeri. Pelaksanaan foot massage dapat dilakukan

pada 24-48 jam post operasi, dan setelah 5 jam pemberian injeksi ketorolac, di

mana pada saat itu pasien kemungkinan mengalami nyeri terkait dengan waktu

paruh obat ketorolac 5 jam dari waktu pemberian. Foot massage menjadi salah

satu tindakan massage yang dikembangkan dan diimplementasikan di rumah sakit


dalam manajemen nyeri non farmakologi (Petpichetchian & Chongchareon,

2013).

Nosireseptor adalah saraf yang memulai sensasi nyeri di mana reseptor ini

yang mengirim sinyal nyeri dan terletak di permukaan jaringan internal dan

dibawah kulit padat kaki, sehingga foot massage dianggap menjadi metode yang

sangat tepat untuk mengurangi nyeri (Abbaspoor, Akbari, & Najar, 2014).

Kelebihan lain foot massage dari tindakan manajemen nyeri non farmakologi

lainya adalah tindakannya sederhana, dapat dipelajari dengan pelatihan singkat,

tidak memerlukan alat khusus seperti pada tindakan TENS, tidak memerlukan

bahan-bahan terapi atau persiapan khusus seperti pada aroma terapi, tidak

memerlukan ruang khusus seperti pada tindakan relaksasi, distraksi, guide

imagery, tidak memerlukan keahlian khusus seperti pada tindakan hipno terapi

yang perlu adanya bukti sertifikasi kewenangan melakukan hipnoterapy.

Menurut Petpichetchian & Chongchareon (2013) ada lima teknik foot

massage, yaitu: effleurage, petrissage, tapotement, vibration dan friction. Kelima

teknik ini mampu menstimulasi nervus (A-Beta) di kaki dan lapisan kulit yang

berisi tactile dan reseptor. Kemudian reseptor mengirimkan impuls nervus ke

pusat nervus. Sistem gate control diaktivasi melalui inhibitor inteurneuron di

mana rangsangan interneuron dihambat, hasilnya fungsi inhibisi dari T-cell

menutup gerbang. Pesan nyeri tidak ditransmisikan ke nervus sistem pusat. Oleh

karena itu, otak tidak menerima pesan nyeri, sehingga nyeri tidak

diinterpretasikan. Teknik foot massage akan efektif bila dilakukan dengan durasi

waktu pemberian 5-20 menit dengan frekuensi pemberian 1 sampai 2 kali


(Petpichetchian & Chongchareon, 2013), hal ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Hariyanto, Hadisaputro, & Supriyadi (2015) yang menyatakan

bahwa foot hand massage yang diberikan 4 kali selama 20 menit dalam 2 hari

dapat menurunkan intensitas nyeri pada klien dengan Infark Miokard.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Apakah ada pengaruh pemberian pijat refleksi telapak kaki terhadap tingkat

nyeri pada pasien post operasi sectio caesarea (SC) di Rumah Sakit Ibu dan

Anak?

1.3 TUJUAN PENILITIAN

1.3.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui apakah ada pengaruh pemberian pijat refleksi telapak kaki

terhadap tingkat nyeri pada pasien post operasi section caesar.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari peniltian ini adalah:

a. Mengidentifikasi kualitas pijat refleksi telapak kaki terhadap tingkat nyeri

pada pasien post operasi secto caesar.

b. Menganalisis pengaruh pijat refleksi telapak kaki terhadap tingkat nyeri pada

pasien post operasi caesar.


1.4 MAMFAAT PENILITIAN

Manfaat yang diharapkan untuk diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Bagi Pendidikan Ilmu Keperawatan peniltian ini diharapkan dapat digunakan

sebagai tambahan ilmu bagi keperawatan dalam pemberian pelayanan

keperawatan kepada masyarakat terutama klien (ibu) yang menderita post

operasi sesar.

2. Bagi masyarakat penelitian ini diharapkan dapat memberikan acuan untuk

program pengontrolan nyeri pada ibu post operasi sesar, edukasi terkait

dengan pelaksanaan pijat refleksi telapak kaki untuk keluarga.

3. Bagi responden diharapkan penilitian ini dapat memberikan mamfaat bagi ibu

yang menderita operasi sesar agar dapat melakukan pengontrolan nyeri

dengan baik, karena dengan pengontrolan nyeri yang baik dapat mengurangi

rasa nyeri dan meningkatkan kualitas hidup.

4. Bagi peneliti sebagai bahan masukan dan informasi untuk penilitian

selanjutnya. Serta memberikan informasi baru tentang penilitian pengaruh

pijat refleksi telapak kaki terhadap tingkat nyeri pada ibu post operasi sesar.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 KONSEP SECTIO CAESAREA

2.1.1 Pengertian Sectio Caesarea

Sectio Caesarea merupakan salah satu operasi bedah yang paling umum

dilakukan di dunia saat ini sebagai salah satu cara untuk membantu proses kelahiran

janin melalui insisi pada dinding abdomen (laparotomi) dan dinding rahim

Apriansyah, Romadoni, & Andrianovita (2015).

Pelahiran Caesarea (juga dikenal) dengan istilah Sectio Caesarea adalah

pelahiran bayi melalui insisi yang dibuat pada dinding abdomen dan uterus. Tindakan

ini dipertimbangkan sebagai pembedahan abdomen mayor. Nama sesarea berasal dari

suatu legenda bahwa Julius Caesar dilahirkan dengan cara seperti ini. Sebelum ada

prosedur pembedahan yang aman, pelahiran melalui abdomen ini dilakukan pada

keadaan ibu akan meninggal dan bayi baru lahir akan diselamatkan. Kelahiran sesarea

dapat dilakukan dengan aman tidak terjadi sampai akhir abad ke 19 (Reeder.J,

Martin.L, & Griffin.K, 2015).

2.1.2 Jenis-jenis Sectio Caesarea

a) Abdomen (Sectio Caesarea Abdominalis)

1) Sectio Caesarea klasik atau corporal dengan insisi memanjang pada korpus

utteri.

2) Sectio Caesarea ismika atau profunda atau low cervical dengan insisi pada

segmen bawah rahim.


3) Sectio Caesarea ekstraperitonealis, yaitu seksio sesarea tanpa membuka

peritoneum parietale; dengan demikian, tidak membuka kavum abdominalis.

b) Vagina (Sectio Caesarea Vaginalis)

Menurut arah sayatan pada rahim, Sectio Caesarea dapat dilakukan sebagai

berikut:

1) Sayatan memanjang (longitudinal) menurut Kronig.

2) Sayatan melintang (transversal) menurut Kerr.

3) Sayatan huruf T (T-incision).

c) Sectio Caesarea Klasik (Korporal)

Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kira-kira

sepanjang 10cm.

1) Kelebihan

a) Pengeluaran janin lebih cepat

b) Tidak mengakibatkan komplikasi tertariknya kandung kemih.

c) Sayatan dapat diperpanjang ke proksimal atau distal.

2) Kekurangan

a) Infeksi mudah menyebar secara intra abdominal karena tidak ada

reperitonealisasi yang baik.

b) Pada persalinan berikutnya, lebih mudah terjadi secara uteri spontan.


Saat ini, teknik tersebut sudah jarang dipergunakan karena banyak

kekurangnnya. Namun pada kasus-kasus tertentu, seperti pada kasus

operasi berulang, yang memiliki banyak perlengketan organ, Sectio

Caesarea klasik ini dapat dipertimbangkan.

c) Sectio Caesarea Ismika (Profunda)

Dilakukan untuk membuat sayatan melintang konkaf pada segmen bawah

rahim (low cervical transversal) kira-kira sepanjang 10 cm.

1) Kelebihan

a) Penjahitan luka lebih mudah.

b) Penutupan luka dengan reperitonealisasi yang baik.

c) Tumpang tindih peritoneal flap sangat baik untuk menahan

penyebaran isi uterus ke rongga periotoneum.

d) Perdarahan kurang.

e) Dibandingkan dengan cara klasik, kemungkinan 14egara14 uteri

spontan lebih kecil.

2) Kekurangan

a) Luka dapat melebar ke kiri, kanan, dan bawah sehingga dapat

menyebabkan putusnya uterine yang mengakibatkan perdarahan

dalam jumlah banyak.

b) Tingginya keluhan pada kandung kemih setelah pembedahan (Sofian,

2012).
2.1.3 Indikasi Sectio Caesarea

Indikasi Sectio Caesarea menurut Solehati (2015) meliputi:

a) Faktor ibu

1) Distosia

Distosia merupakan suatu keadaan persalinan yang lama karena

adanya kesulitan dalam persalinan yang disebabkan oleh beberapa

faktor dalam persalinan, baik faktor dari ibu sendiri maupun faktor

dari bayi dalam proses persalinan, seperti : kelainan tenaga (his),

kelelahan mengedan, kelainan jalan lahir, kelainana letak dan bentuk

janin, kelainan dalam besar atau bobot janin, serta psikologis ibu.

2) Cephalo Pelvic Disproportion (CPD)

Cephalo Pelvic Disproportion adalah ketidakselarasan atau

ketidakseimbangan antara kepala janin dan pelvis ibu. CPD

merupakan keadaan ketidaksesuaian antara luas panggul dan besar

kepala janin. CPD merupakan keadaan panggul ibu yang tidak sesuai

dengan keadaan panggul normal yang dimiliki kebanyakan wanita.

Keadaan panggul yang tidak normal tidak baik untuk dilakukan

tindakan persalinan pervaginam. Oleh karena itu, seorang ibu penting

untuk melakukan pengukuran panggul pada saat pemeriksaan

kehamilan awal dengan tujuan memperkirakan apakah keadaan


panggulnya masih dalam batas normal atau tidak. Disproporsi sefalo-

pelvik mencakup panggul sempit, fetus yang tumbuh terlampau besar

atau adanya ketidakseimbangan relatif antara ukuran kepala bayi dan

pelvis panggul.

3) Preeklamsia dan Eklamsia

Preeklamsi Berat atau PEB merupakan suatu sindrom yang dijumpai

pada ibu dengan kehamilan di atas 20 minggu yang ditandai dengan

hipertensi dan proteinuria dengan atau tanpa edema (bengkak).

Eklamsia adalah pre-eklamsia yang disertai dengan gejala kejang-

kejang umum yang terjadi pada saat hamil, waktu partus, atau dalam

tujuh hari post partum bukan karena epilepsi. PEB dan eklamsia

sangat rawan untuk dilakukan persalinan pervaginam karena ibu dan

bayinya beresiko tinggi terjadinya injuri. Pada umumnya, ibu hamil

yang menderita PEB ataupun eklamsia acapkali berakhir dengan

persalinan Seksio Caesarea.

4) Gagal Proses Persalinan

Gagal induksi persalinan merupakan indikasi dilakukannya seksio

sesarea untuk segera menyelamatkan ibu dan bayinya.

5) Seksio Ulang

Seksio yang berulang merupakan indikasi dilakukannya Sectio

Caesarea. Hal ini disebabkan rahim ibu mengalami luka perut akibat

insisi pada saat operasi Sectio Caesarea sebelumnya sehingga


mengakibatkan ibu mengalami robekan rahim saat persalinan

pervaginam akibat adanya his. Jika seorang ibu mempunyai riwayat

persalinan seksio, maka persalinan berikutnya harus melalui tindakan

persalinan Sectio Caesarea karena khawatir terjadi robekan ruptur

uteri (robekan rahim). Pada rahim, terpisahnya jaringan perut bekas

Sectio Caesarea sebelumnya acapkali disebabakan oleh terjadinya

ruptur uteri (robekan rahim).

6) Plasenta Previa

Plasenta previa adalah plasenta yang letaknya abnormal, yaitu

plasenta yang terletak pada segmen bawah uterus sehingga dapat

menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan lahir (ostium

internum). Implantasi plasenta yang normal, yaitu pada dinding depan

atau dinding belakang rahim di daerah fundus uteri. Plasenta previa

terbagi menjadi tiga, yaitu plasenta previa marginalis, plasenta previa

sebagian, dan plasenta previa totalis. Kehamilan dengan plasenta

previa marginalis, yaitu pinggir plasenta berada tepat pada pinggir

pembukaan. Plasenta previa partialis, yaitu sebagian permukaan

tertutup oleh jaringan, tetapi persalinan masih dapat dilakukan dengan

cara pervaginam, asalkan dilakukan oleh orang yang sudah terlatih.

Kehamilan dengan plasenta previa totalis, yaitu pinggir plasenta

berada tepat pada pinggir pembukaan. Pada kondisi seperti ini,

persalinan tidak dapat dilakukan dengan pervaginam, tetapi melalui

Sectio Caesarea karena plasenta menutupi seluruh jalan lahir.


7) Sulotio Plasenta

Solutio plasenta disebut juga dengan nama abrupsio plasenta. Solutio

plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh plasenta sebelum

janin lahir. Ketika plasenta terpisah akan diikuti pendarahan

maternal pada ibu yang parah, bahkan dapat mengakibatkan

kematian pada janin. Plasenta yang terlepas seluruhnya disebut

solutio plasenta totalis, sedangkan plasenta yang terlepas sebagian

disebut solutio plasenta parsialis, dan jika hanya sebagian kecil

pinggiran plasenta yang terpisah disebut ruptira sinus marginalis.

8) Tumor Jalan Lahir yang Menimbulkan Obstruksi

Tumor pada jalan lahir menimbulkan kesulitan dan merupakan

rintangan terhadap lahirnya janin pervaginam karena adanya masa

yang menghalangi jalan lahir. Tumor tersebut seperti mioma uteri,

tumor ovarium, dan kanker rahim. Hal ini bergantung pada jenis dan

besarnya tersebut. Hal yang perlu dipertimbangkan, apakah persalinan

dapat dilakukan secara pervaginam atau secara Sectio Caesarea.

Selain itu, tumor tersebut dapat menimbulkan perdarahan hebat yang

dapat membahayakan keselamatan ibu dan bayinya. Adanya tumor

dapat menyebabkan resiko yang lebih besar dalam persalinan

pervaginam.

9) Ruptur Uteri

Ruptur uteri adalah keadaan robekan pada rahim yang telah terjadi
hubungan langsung antara rongga amnion dan rongga peritoneum.

Ruptura uteri, baik yang terjadi pada masa hamil atau proses

peritoneum. Ruptur uteri, baik yang terjadi pada masa hamil atau

proses persalinan merupakan suatu kondisi bahaya yang besar pada

wanita dan janin yang dikandungnya. Dalam kondisi seperti ini,

sejumlah besar janin, bahkan hampir tidak ada janin yang dapat

diselamatkan, dan sebagian besar dari wanita tersebut meninggal

akibat perdarahan, infeksi, menderita kecacatan, dan kemungkinan

tidak bisa hamil kembali karena terpaksa harus menjalani

histerektomi.

10) Takut Persalinan Pervaginam

Pengalaman buruk yang dialami oleh orang lain saat persalinan

pervaginam pun dapat menjadi pencetus bagi seorang ibu untuk

melakukan persalinan dengan Sectio Caesarea. Pengalaman buruk

tersebut menyebabkan seorang ibu ketakutan karena membayangkan

persalinan yang buruk saat persalinan pervaginam berlangsung.

11) Pengalaman Buruk Melahirkan Pervaginam

Pengalaman buruk melahirkan pervaginam yang dialami ibu pada

persalinan sebelumnya, seperti adanya nyeri serta kecemasan yang

sangat buruk, dan menimbulkan trauma bagi seorang ibu untuk

menjalani persalinan pervaginam untuk persalinan berikutnya.

Bahkan, tidak jarang ada seorang ibu yang tidak mau melahirkan lagi
karena trauma yang dialaminya selama proses persalinan pervaginam.

12) Disfungsi Uterus

Disfungsi uterus merupakan kerja uterus yang tidak adekuat. Hal ini

menyebabkan tidak adanya kekuatan untuk mendorong bayi keluar

dari rahim. Keadaan ini membuat persalinan terhenti sehingga perlu

dilakukan tindakan Sectio Caesarea.

13) Usia Lebih dari 35 Tahun

Usia reproduksi yang ideal bagi seorang ibu adalah antara 20-35

tahun. Usia dibawah 20 tahun dan di atas 35 tahun akan meningkatkan

resiko kehamilan dan persalinan. Dari segi psikologi, pada wanita usia

kurang dari 20 tahun perkembang kejiwaan masih belum matang

untuk menjadi ibu. Dari segi fisik, pada usia muda organ-organ

reproduksi seorang wanita belum sempurna sehingga dapat berakibat

terjadinya komplikasi obstetrik.

Kehamilan di atas 35 tahun memiliki resiko tiga kali lebih besar untuk

terjadinya persalinan dengan tindakan Sectio Caesarea dibandingkan

dengan usia dibawah 35 tahun. Usia lebih dari 35 tahun termasuk ke

dalam golongan usia beresiko tinggi dalam kehamilan dan persalinan.

Pada usia ini, berbagai masalah sering kali menyertai kehamilannya,

seperti plasenta previa totalis, preeklamsi berat, kelelahan dalam

mengedan, dan sebagainya.

14) Herpes Genital Aktif

Herpes genital merupakan penyakit kelamin yang di sebabkan oleh


virus bernama Herpes Simpleks Virus (HVS). Virus ini ditularkan

melalui kontak langsung kulit atau melalui membran mukus dengan

lesi yang aktif. Lesi herpes yang aktif pada genital ibu dapat menular

pada saat proses persalinan pervaginam, genital ibu hamil dapat

menular ke bayi pada saat proses persalinan pervaginam. Persalinan

pada ibu yang menderita herpes genital aktif tidak dilakukan dengan

cara pervaginam karena bayi beresiko tinggi terkena infeksi herpes

dari ibu saat bayi melewati jalan lahir pada proses persalinan

pervaginam. Penyebaran virus herpes dari ibu hamil kepada janinnya

dapat terjadi pada saat proses persalinan, ketika terjadi kontak

langsung antara janin dan agen virus herpes yang terdapat pada genital

ibu.

b) Alasan Janin

1) Terjadinya Gawat Janin (Distress)

Terjadinya gawat janin antara lain disebabkan: syok, anemia berat,

preeklamsi berat, eklamsia, dan kelainan kongenital berat. Syok dan

anemia berat yang dialami ibu pada masa persalinan dapat

menimbulkan gawat janin. Hal ini terjadi karena pada keadaan syok

dan anemia, suplai darah berisi nutrisi dan oksigen dari ibu ke janin

menjadi terhambat. Hal yang sama juga terjadi apabila ibu menderita

tekanan darah tinggi atau kejang pada rahim yang dapat

mengakibatkan gangguan pada plasenta (ari-ari) dan tali pusat

sehingga aliran oksigen ke bayi menjadi berkurang. Kondisi ini bisa


menyebabkan janin mengalami kerusakan otak, bahkan tidak jarang

meninggal di dalam rahim.

2) Letak Janin

Kelainan dengan letak sungsang, lintang, dan presentasi ganda atau

majemuk merupakan faktor penyulit dalam persalinan. Letak

sungsang beresiko mengalami kematian, kecacatan, dan kecelakaan

yang jauh lebih tinggi apabila dilahirkan secara pervaginam (melalui

vagina). Penyebab letak sungsang sering tidak diketahui pasti

(idiopatik). Secara teori, penyebab letak sungsang dapat terjadi karena

faktor ibu, seperti kalainan bentuk rahim, tumor jinak rahim/mioma,

letak dan plasenta lebih rendah. Letak lintang merupakan kelainan

letak janin di dalam rahim ibu yang terjadi pada usia kehamilan tua

(kehamilan 8-9 bulan), yaitu kepala bayi berada di samping kanan

atau kiri dalam rahim ibu. Bayi dengan keadaan letak lintang tidak

dapat dilahirkan secara pervaginam karena sumbu tubuh janin

letaknya melintang terhadap sumbu tubuh ibu. Bayi dalam kondisi

letak lintang membutuhkan pertolongan Sectio Caesarea. Letak

sungsang adalah posisi dimana kepala terletak di fundus uteri,

sedangkan bokong di atas simfisis, mekanisme persalinan kepala

adalah mekanisme yang paling berbahaya, karena dapat menyebabkan

dislokasi persendian, trauma alat vital visera, fraktur tulang

ekstermitas, fraktur persendian leher, asfiksia ringan hingga berat,

perdarahan intrakranial, lahir mati sehingga dilakukan persalinan


dengan bantuan Caesarea Fadlun & Achmad (2012).

Keadaan obliq atau letak lintang adalah keadaan dimana janin dalam

kandungan yang letaknya melintang, sehingga tidak memungkinkan

jika bayi dilahirkan pervaginam, walaupun tidak ada perkiraan

panggul sempit. Keadaan demikian dapat menyebabkan retraksi

progresif pada segmen bawah, yang kemudian dapat membatasi aliran

darah uteroplasenta dan membahayakan janin. Kondisi selanjutnya

adanya ruptur pada uterus yang dapat membahayakan keadaan ibu

Sofian (2012).

3) Kehamilan Ganda

Kehamilan ganda (kembar) adalah kehamilan dengan dua janin atau

lebih dalam satu rahim dengan satu atau dua plasenta. Kehamilan

kembar dapat beresiko tinggi, baik terhadap ibu maupun bayinya.

Kehamilan kembar kerapkali berakhir di meja operasi dengan

tindakan Sectio Caesarea terutama bila ibu mengandung tiga janin

atau lebih. Hal ini akan menjamin bayi-bayi tersebut dilahirkan dalam

kondisi sebaik mungkin dengan trauma minimum.

4) Adanya Bobot Badan Bayi yang Ukurannya Lebih dari Normal

Bobot bayi lahir normalnya antara 2.500-4.000 gram. Bobot bayi di

atas 4.000 gram atau lebih dinamakan bayi besar (giant baby). Hal ini

dapat mengakibatkan bayi sulit keluar dari jalan lahir ibu. Umumnya,

pertumbuhan janin yang berlebihan disebabkan ibu menderita kencing


manis (diabetes mellitus) yang biasanya disebut bayi besar objektif.

Bayi dengan bobot terlalu besar memiliki resiko 4 kali lebih besar

untuk terjadinya komplikasi persalinan.

2.1.4 Kontraindikiasi Sectio Caesarea

Sectio sesarea tidak boleh dikerjakan kalau ada keadaan berikut ini :

1. Kalau janin sudah mati atau berada dalam keadaan jelek sehingga

kemungkinan hidup kecil. Dalam keadaan ini tidak ada alasan untuk

melakukan operasi berbahaya yang tidak diperlukan.

2. Kalau jalan lahir ibu mengalami infeksi yang luas dan fasilitas untuk

caesarea extraperitoneal tidak tersedia.

3. Kalau dokter bedahnya tidak berpengalaman. Kalau keadaannya tidak

menguntungkan bagi pembedahan, atau kalau tidak tersedia tenaga asisten

yang memadai

2.1.5 Komplikasi

Resiko Sectio Caesarea menurut Aspiani (2017), antara lain:

1. Infeksi Puerperalis

Komplikasi ini bersifat ringan, seperti kenaikan suhu selama beberapa hari dalam

masa nifas atau dapat juga bersifat berat, misalnya peritonitis, sepsis dan lain-

lain. Infeksi post operasi terjadi apabila sebelum pembedahan sudah ada gejala -

gejala infeksi intrapartum atau ada faktor - faktor yang merupakan predisposisi

terhadap kelainan itu (partus lama khususnya setelah ketuban pecah, tindakan

vaginal sebelumnya). Bahaya infeksi dapat diperkecil dengan pemberian

antibiotika, tetapi tidak dapat dihilangkan sama sekali, terutama sectio caesarea
klasik dalam hal ini lebih berbahaya daripada sectio caesarea transperitonealis

profunda.

2. Pendarahan

Perdarahan tidak bisa dihindari dalam proses persalinan. Namun darah yang

lewat Sectio Caesarea dua kali lipat dibandingkan lewat persalinan normal.

Kehilangan darah yang cukup banyak mengakibatkan syok secara mendadak.

1. Luka kandung kemih, emboli paru dan keluhan kandung kemih bila

peritonealisasi terlalu tinggi

2. Kurang kuatnya perut pada dinding uterus, sehingga pada kehamilan

berikutnya bisa terjadi ruptura uteri.

2.2 KONSEP NYERI

2.2.1 Pengertian Nyeri

Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang

muncul terkait akibat adanya kerusakan jaringan actual maupun potensial, atau digambarkan

kondisi terjadinya kerusakan sedemikian rupa (International Association Study of Pain):

Awitan yang tiba-tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat

diantisipasi atau diprediksi (Nanda, 2013).

International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri sebagai

suatu sensori subyektif dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan berkaitan

dengan kerusakan jaringan actual atau potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian

dimana terjadi kerusakan (Potter & Perry, 2005 Dalam Mohamad, 2012).

2.2.3 Klafikasi Nyeri


Klasifikasi nyeri umumnya dibagi 2, yaitu nyeri akut dan nyeri kronis:

1. Nyeri akut

Merupakan nyeri yang timbul secara mendadak dan cepat

menghilang, tidak melebihi 6 bulan, dan ditandai adanya peningkatan

tegangan otot.

2. Nyeri kronis

Merupakan nyeri yang tiimbul secara perlahan-lahan biasanya

berlangsung dalam waktu yang cukup lama, yaitu lebih dari 6 bulan.

Yang termasuk dalam kategori nyeri kronis adalah nyeri terminal,

sindrom nyeri kronis dan psikomatik.

Perbedaan nyeri akut dan kronis :

a. Nyeri akut

1. Pengalaman: suatu kejadian

2. Sumber: sebab eksternal atau penyakit dari dalam

3. Serangan: mendadak

4. Waktu sampai 6 bulan

5. Penyataan nyeri: daerah nyeri tidak diketahui dengan pasti

6. Gejala-gejala klinis: pola respon yang khas dengan gejala yang lebih

jelas

7. Pola terbatas

8. Perjalanan: biasanya berkurang setelah beberapa saat

b. Nyeri kronis

1. Pengalaman: suatu situasi, status eksistensi


2. Sumber: tidak diketahui atau pengobatan yang terlalu lama

3. Serangan: bisa mendadak, berkembang dan terselubung

4. Waktu lebih dari 6 bulan sampai bertahun-tahun

5. Pernyataan nyeri: daerah nyeri sulit dibedkan sehingga sulit dievaluasi

6. Gejala-gejala klinis: pola respons yang bervariasi sedikit gejala-gejala

(adaptasi)

7. Pola: berlangsung terus dapat bervariasi

8. Perjalanan: penderitaan meningkat setelah beberapa saat

Selain klasifikasi nyeri diatas, terdapat jenis nyeri yang sepesifik,

diantaranya nyeri somatis, nyeri verisal, nyeri menjalar,(referensi pain),

nyeri psikogenik, nyeri phantom dari ekstermitas, nyeri neurologis, dan

lain-lain.Nyeri somatik dan nyeri verisal ini umumnya bersumber dari

kulit dan jaringan bawah kulit (supervisial) pada otot dan tulang.

2.2.4 Respon Tubuh Terhadap Nyeri

Respon tubuh terhadap nyeri adalah sebuah proses komplek dan bukan sebuah

kerja spesifik. Respon tubuh terhadap nyeri memiliki aspek fisiologis dan psikososial.

Pada awalnya, sistem saraf simpatik berespon, menyebabkan respon melawan atau

menghindar. Apabila nyeri terus berlanjut, tubuh beradaptasi ketika system saraf

parasimpatik mengambil alih, membalik banyak respons fisiologis awal. Adaptasi

terhadap nyeri ini terjadi setelah beberapa jam atau beberapa hari mengalami nyeri.

Reseptor nyeri actual sangat sedikit beradaptasi dan terus mentransmisikan

pesan nyeri. Seseorang dapat belajar tentang nyeri melalui aktifitas kognitif dan

perilaku, seperti pengalihan, imajinasi, dan banyak tidur. Individu dapat berespon
terhadap nyeri dengan mencari intervensi fisik untuk mengatasi nyeri seperti,

analgetic, pijat dan olahraga.

Sebuah reflek proprioseptif juga terjadi dengan stimulus reseptor nyeri. Impuls

berjalan menelusuri serabut nyeri sensori ke medula spinalis. Di medula spinalis

impuls bersinapsis dengan neuron motoric dan impuls berjalan kembali melalui

keserabut motoric otot didekat tempat nyeri. Kemudian otot berkontraksi dalam

upaya protektif, misalnya aat seseorang menyentuh kompor panas, secara reflex

tangan ditarik dari kompor panas bukan sebelumnya orang tersebut menyadari adanya

nyeri.

2.2.5 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Nyeri

Menurut prasetyo (2010), factor-faktor yang dapat mempengaruhi

persepsi dan reaksi nyeri antara lain :

1. Usia

Usia merupakan variable yang penting dalam mempengaruhi nyeri

pada individu. Anak yang masih kecil mempunyai kesulitan dalam

memahami nyeri dan prosedur pengobatan yang dapat mmenyebabkan

nyeri. Anak-anak keciil yang belum dapat mengucapkan kata-kata

juga mengalami kesulitan dalam mengucapkan secara verbal dan

mengekspresikan nyeri kepada orang tuanya ataupun kepada perawat.

Sebagian anak terkadang tidak mau untuk mengungkapkan keberadan

nyeri yang dia alammi, merekka takut akan tiindakan perawat yang

harus mereka terima nantinya.

Pada pasien lansia seorang perawat melakukan pengkajian rinci ketika


seorang lansia melaporkan adanya nyeri. Seringkali lansia memiliki

sumber nyeri lebih dari satu. Terkadang penyakit yang berbeda-beda

yang dideriita lansia menimbulkan gejala yang sama, sebagai contoh

nyeri dada tidak selalu mengindikasikan serangan jantung, nyeri dada

dapat timbul karrena gejala arthritis pada spinal dan gejala gangguan

abdomen.

2. Jenis kelamin

Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam

beresppon terhadap nyeri. Hanya berbeda budaya yang menganggap

bahwa seorang laki-laki harus lebih berani dantidak boleh menangis

dibandingkan anak perempuan dalam situasi yang sama ketika

merasakan nyeri.

3. Kebudayaan

Perawat seringkali beramsumsi bahwa cara berespon pada setiap

individu dalam masalah nyeri adalah sama, sehiingga mereka

mencoba menngira bagaimana pasien berespon terhadap nyeri . suatu

ketidakmampuan dalam mengontrol nyeri, akibatnya pemberian

terapi bisa jadi tidak cocok untuk klien berkebangsaan meksiko-

amerika. Seorang klien berkebangsaan meksiko-amerika yang

menangis keras tidak selalu mempersepsikan penngalaman nyeri

sebagai suatu yang berat dan mengharapkan perawat melakukan

intervensi.

4. Lokasi dan tingkat keparahan nyeri


Nyeri yang dirasakan bervariasi daalam intensitas dan tingkat

keparahan pada masing-masing individu. Nyeri yang dirasakan

mungkin terasa ringan, sedang atau bisa jadi merupakan nyeri yang

hebat. Dalam kaitannya denngan kualitas nyeri, masing- masing

individu juga bervariasi, ada yang melaporkan nyeri sebagai tertusuk,

nyeri tumpul, berdenyut, terbakar, dan lain-lain, sebagai contoh

individu yang tertusuk jarum akan melaporkan nyeri yang berbeda

dengan individu yang terkena luka bakar.

5. Masase

Tingkat perhatian seseorang terhadap nyeri akan mempengaruhi

persepsi nyeri sedangkan upaya pengalihan (distraksi) dihubungkan

dengan penurunaan resppon nyeri. Konsep inilah yang mendasari

berbagai terapi untuk menghilangkan nyeri, seperti relaksasi, tehnik

imajinasi terbimbing (guide imagery), dan masase.

6. Ansietas (Kecemasan)

Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks, ansietas yang

dirasakan seseorang seringkkali meningkkatkan persepsi nyerinya.

7. Dukungan social dan keluarga

Individu yang mengalami nyeri seringkali membutuhkan dukungan,

bantuan, perlindungan dari anggota keluarga lain, atau teman terdekat.

Walaupun nyeri masih dirasakn oleh klien, kehadiran orang terdekat

akan meminimalkan kesepian dan ketakutan.


2.2.6 Pengukuran Nyeri

1. Visual Analog Scale (VAS)

Visual Analog Scale (VAS) adalah cara yang paling banyak digunakan

untuk menilai nyeri. Skala liner ini menggambarkan secara visual gradasi

tingkat nyeri yang mungkin dialami seorang pasien. Rentang nyeri sebagai garis

sepanjang 10 cm, dengan atau tanpa tanda pada tiap sentimeter.

Tanda pada kedua ujung garis ini dapat berupa angka atau pertannyaan deskriptif.

Ujung yang satu mewakili tidak ada nyeri, sedangkann ujung lain mewakili rasa

nyeri terparah yang mungkin terjadi. Skala bisa dibuat vertical atau horizontal.

VAS juga dapat diadaptasi menjadi skala hilangnya/reda rasa nyeri. Digunakan

pada pasien anak >8 tahun dan dewasa. Manfaat utamaVAS adalah

penggunaannya sangat mudah dan sederhana. Namun, untuk periode pasca bedah,

VAS tidak banyak bermanfaat karena VAS memerlukan koordinasi visual dan

motoric serta kemampuan konsentrasi.

Gambar 2.1 Visual Analog Scale (VAS)

Sumber :(Potter & Perry, 2005 dalam Handayani, 2015)

2. Verbal Rating Scale (VRS) Ujung ekstrim juga digunakan pada skala ini.

Sama seperti VAS atau skala reda nyeri. Skala numeric verbal ini lebih

bermanfaat pada periode pasca bedah, karena secara alami verbal/kata-kata


tidak terlalu mengandalkan koordinasi visual dan motorik. Skala verbal

menggunakan kata-kata dan bukan garis atau angka uuntuk

menggambarkan tingkat nyeri. Skala yang digunakan dapat berupa tidak

ada nyeri, sedang, parah. Hilang/redanya nyeri dapat dinyatakan sebagai

sama skali tidak hilang, sedikit berkurang, cukup berkurang, baik/nyeri

hilang sama sekali. Karena skala ini membatasi pilihan kata pasien, skala

ini tidak dapat membedakan berbagai tipe nyeri.

3. Numeric Rating Scale (NRS)

Dianggap sederhana dan mudah dimengerti, sensitive terhadap dosis, jenis

kelamin, dan perbedaan etnis. Lebih baik daripada VAS terutama untuk

menilai nyeri akut. Namun, kekuranngannnya adalah keterbatasan pilihan

kata untuk menggambarkan rasa nyeri, tidak memungkinkan untuk

membedakan tingkat nyeri dengan lebih teliti dan dianggap terapat jarak

yang sama antar kata yang menggambarkan efek analgesic.

Gambar 2.3 Skala Nyeri Numeric Rating Scale (NRS)

Sumber :(Potter& Perry, 2005 dalam Handayani, 2015)

4. Wong Baker Pain Rating Scale

Digunakan pada pasien dewassa dan anak >3 tahun yang tidak dapat

menggambarkan intensitas nyerinya dengan angka.


Gambar 2.4 Skala Nyeri Wong Baker Pain Rating Scale

Sumber :(Potter& Perry, 2005 dalam Handayani, 2015)

2.2.7 Klafikasi Pengalaman Nyeri

Fase nyeri pasien adalah antisipatori, sensasi, atau akibat (aftermath). Dengan

mengetahui fase nyeri dapat memahami gejala yang pasien alami dan jenis terapi

yang memiliki kemungkinan paling besar untuk mengatasi nyeri.

1. Fase Antisepatori (terjadi sebelum nyeri diterima)

Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk

menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dapat memberikan informasi pada

pasien.

2. Fase sensasi (terjadi saat nyeri terasa)

Pasien bereaksi terhadap nyeri dengan cara yang berbeda-beda. Toleransi terhadap

nyeri merupakan titik yaitu terdapat suatu ketidakinginan untuk menerima nyeri

denngan tingkat keparahan yang lebih tinggi dan durasi yang lebih lama. Toleransi

bergantuunng pada sikap, motivasi, dan nilai yang diyakini seseorang. Pasien dengan

tingkat toleransu tinggi terhadap nyeri mammpu mennahan nyeri tanpa bantuan

(potter dan perry, 2012).

3. Fase akibat (terjadi ketika nyeri berkurang dan berhenti)

Pada fase ini pasien masih membutuhkan kontrool dari perawat, karena nyeri bersifat

krisis, sehingga dimungkinkan pasien mengalami gejala sisa. Perawat berperan dalam

membantu memperoleh control diri untuk meminimalkan rasa takut akan


kemungkinan nyeri berulang (Potter dan Perry, 2012).

2.3 KONSEP PIJAT REFLEKSI

2.3.1 Pengertian Pijat Refleksi

Pijat refleksi kaki adalah stimulasi pada kulit dan jaringan dibawahnya dengan

menggunakan berbagai tingkatan tekanan tangan untuk mengurangi nyeri, membuat

rileks atau meningkatkan sirkulasi. Massage merupakan salah satu terapi alternative

dan komplementer yang menggabungkan berbagai teknik dalam keperawatan seperti

sentuhan, teknik relaksasi dan teknik distraksi (Closky & Bulechek, 2015).

Massage memberikan rangsangan berupa tekanan pada saraf pada telapak

kaki. Rangsangan tersebut diterima oleh reseptor saraf (saraf penerima rangsangan).

Rangsangan yang diterima ini akan diubah oleh tubuh menjadi aliran listrik,

kemudian aliran listrik tersebut langsung dikirim ke otak. Sinyal yang dikirim

langsung ke otak dapat melepaskan ketegangan dan memulihkan keseimbangan ke

seluruh tubuh (Dewi & Hartati, 2015).

2.3.2 Mamfaat Pijat Refleksi

Teori Endorphin Pommeranz menyatakan bahwa tubuh akan bereaksi dengan

mengeluarkan endorphin karena pemijatan. Endorphin adalah zat yang diproduksi

secara alamiah oleh tubuh, bekerja, serta memiliki efek seperti morphin. Endorphin

bersifat menenangkan, memberikan efek nyaman, dan sangat berperan dalam

regenerasi sel-sel guna memperbaiki bagian tubuh yang sudah using atau rusak. Pijat
refleksi juga memberikan manfaat bagi sistem dalam tubuh. Beberapa di antaranya

adalah sebagai berikut (Hendro dan Yusti,2015):

Stres, kurang tidur, nyeri kepala, dan sebagainya menimbulkan ketegangan

pada sistem saraf. Pijat refleksi dapat bersifat sedatif yang berfungsi meringankan

ketegangan pada saraf. Karena mempengaruhi sistem saraf, pijat refleksi juga dapat

meningkatkan aktivitas sistem vegetasi tubuh yang dikontrol oleh otak dan sistem

saraf, yakni sistem kelenjar-hormonal, sistem peredaran darah, sistem pencernaan,

dan lain-lain.

1. Saat bekerja otot membutuhkan energi yang didapat dari pembakaran

dengan cara aerob atau anaerob. Proses anaerob menghasilkan asam laktat

sebagai bahan buangan. Tumpukan asam laktat itulah yang menyebabkan

timbulnya rasa pegal pada otot atau rasa nyeri pada persendian. Pijat

refleksi dapat membuat otot dan jaringan lunak tubuh lebih relaks dan

meregang. Hal itu akan mengurangi ketegangan dan dapat melepaskan

tumpukan asam laktat hasil pembakaran anaerob sehingga dapat

membersihkan endapan dari bahan buangan yang tidak terpakai.

2. Kalsium adalah zat yang sangat diperlukan untuk memelihara saraf, otot,

tulang, termasuk gigi. Pemijatan di area atau titik refleksi tertentu akan

membantu menyeimbangkan kadar kalsium dalam tubuh. Hal itu tentu

sangat bermanfaat untuk memelihara jantung, sistem pernapasan, sistem

getah bening, metabolisme atau pencernaan tubuh, sistem pembuangan,

dan semua sistem yang dalam bekerjanya dipengaruhi oleh sistem saraf dan
otot.

Dapat disimpulkan bahwa tujuan dan manfaat dari ilmu pijat pengobatan

refleksi sebagai berikut (Hendro dan Yustri,2015):

a. Meningkatkan daya tahan dan kekuatan tubuh (promotif)

b. Mencegah penyakit tertentu (preventif)

c. Mengatasi keluhan dan pengobatan terhadap penyakit

tertentu (kuratif)

d. Memulihkan kondisi kesehatan (rehabilitatif).

2.3.3 Titik atau Area Pijat Refleksi

Sesuai dengan SKKNI, SKL, KBK Pijat Refleksi Indonesia, digunakan gambar

peta letak dan sistem penomoran titik atau area pijat refleksi seperti di bawah ini

(Hendro dan Yustri,2015):

1. Kepala (otak) 11. Otot trapezius 21. Kelenjar adrenal

2. Dahi (sinus) 12. Kelenjar tiroid 22. Ginjal

3. Otak kecil 13. Kelenjar paratiroid 23. Ureter

(cerbellum) 14. Paru-paru dan 24. Kantong kemih

bronkus

4. Kelenjar bawah 15. Lambung 25. Usus kecil

otak/hyhophyse

5. Saraf 16. Deodenum 26. Usus buntu


6. Hidung 17. Pankreas 27. Katup ileo sekal

7. Leher 18. Hati 28. Dada

8. Mata 19. kantong empedu 29. Lengan

20. Serabut saraf

9. Telinga lambung 30. Pinggul

10. Bahu

Gambar 2.5 : Titik area pijat refleksi di telapak kaki.


2.3.4 Teknik Pimijatan Refleksi Kaki

Gambar 2.6 Teknik Pemijatan diambil dari Buku Pijat

Sumber : (Barbara And Kevin Kunz, 2012)

2.3.5 Mekanisme Kerja Pijat Refleksi Terhadap Nyeri

Secara umum ada lima teknik pijat dasar, yaitu:

1. Mengusap (Efflurage/Strocking) Mengusap adalah gerakan mengusap

dengan menggunakan telapak tangan atau bantalan jari tangan. Gerakan

dilakukan dengan meluncurkan tangan di permukaan tubuh searah dengan

peredaran darah menuju jantung dan kelenjar-kelenjar getah bening.

Tekanan diberikan secara bertahap dan disesuaikan dengan kenyamanan

klien. Gerakan ini dilakukan untuk mengawali dan mengakhiri pemijatan.

Manfaat gerakan ini adalah merelaksasi otot dan ujung-ujung syaraf.

2. Meremas Wetrisage) Meremas adalah gerakan memijit atau meremas

dengan menggunakan telapak tangan atau jari-jari tangan. Teknik ini

digunakan di area tubuh yang berlemak dan jaringan otot yang tebal.
Dengan meremas-remas akan terjadi pengosongan dan pengisian

pembuluh darah vena dan limfe. Suplai darah yang lebih banyak dibawa

ke otot yang sedang dipijat.

3. Menekan (Friction) Menekan adalah gerakan melingkar kecil-kecil dengan

penekanan yang lebih dalam dengan menggunakan jari, ibu jari, buku jari,

bahkan siku tangan. Gerakan ini bertujuan melepaskan bagian-bagian otot

yang kejang serta menyingkirkan akumulasi dari sisa-sisa metabolisme.

Pijat fricƟon juga membantu memecah deposit lemak karena bermanfaat

dalam kasus obesitas. Friction juga dapat meningkatkan akƟvitas sel-sel

tubuh sehingga aliran darah lebih lancar di bagian yang terasa sakit

sehingga dapat meredakan rasa sakit.

4. Menggetar (Vibration) Menggetar adalah gerakan pijat dengan

menggetarkan bagian tubuh dengan menggunakan telapak tangan ataupun

jari-jari tangan. Untuk melakukan vibrasi, taruh telapak tangan di bagian

tubuh yang akan digetar, kemudian tekan dan getarkan dengan gerakan

kuat atau lembut. Gerakan yang lembut disebut vibrasi, sedangkan

gerakan yang kuat disebut shaking atau mengguncang. Vibrasi bermanfaat

untuk memperbaiki atau memulihkan serta mempertahankan fungsi saraf

dan otot.

5. Memukul (Tapotement) Memukul adalah gerakan menepuk atau memukul

yang bersifat merangsang jaringan otot yang dilakukan dengan kedua

tangan berganƟan secara cepat. Untuk memperoleh hentakan tangan yang

ringan, klien Ɵdak merasa sakit, tetapi merangsang sesuai dengan


tujuannya, diperlukan Ňeksibilitas pergelangan tangan. Tapotement Ɵdak

boleh dilakukan di area yang bertulang menonjol ataupun pada otot yang

tegang serta area yang terasa sakit atau nyeri. Tapotement bermanfaat

untuk memperkuat kontraksi otot saat disimulasi. Pijat ini juga berguna

untuk mengurangi deposit lemak dan bagian otot yang lembek.

Selain teknik pijat, gerakan dan irama juga sangat mempengaruhi

hasil pijatan yaitu sebagai berikut:

1. Gerak (movement) teknik massage Perpindahan gerakan dari satu teknik pijat ke

gerakan berikutnya harus dilakukan secara berkesinambungan sehingga klien

merasa nyaman.

2. Irama (rythme) Irama adalah interval dari gerakan ke gerakan secara teratur,

stabil, serta tidak terlalu cepat ataupun lambat

Moyle et al. (2014) menggunakan teknik foot massage dengan massage

tekanan ringan dan gerakan panjang, meluncur, ritmis dan fleksi, ekstensi dan rotasi

jari-jari kaki, kaki dan pergelangan kaki. Oshvandi et al. (2014) menggunakan teknik

foot massage dengan mengikuti beberapa langkah yang meliputi :

(a) melakukan massage dari kaki ke atas dengan menggunakan jempol atau

jari lainnya, tekanan lambat antara tendon pergelangan tangan dan jari.

(b) melakukan teknik menggosok pada metatarsus kaki dari tumit ke benjolan

di bawah jari kaki dengan menggunakan ibu jari tangan pemijat.

(c) Jari-jari kaki pasien diregangkan sepanjang jari dan kemudian

membungkuk ke depan dan ke belakang.


(d) Pangkal setiap jari kaki dipegang antara ibu jari dan jari lainnya dan jari-

jari kaki direntangkan sepanjang masing-masing ke atas dan ditarik ke luar

dan diputar.

Langkah-langkah foot massage yang bisa dilakukan pada pasien dalam

penelitian yang dilakukan oleh Afianti dan Mardhiyah, (2017) dan akan digunakan

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

(1) Dengan menggunakan bagian tumit telapak tangan peneliti, peneliti menggosok

dan memijat telapak kaki pasien secara perlahan dari arah dalam ke arah sisi luar kaki

pada bagian terluas kaki kanan selama 15 detik.

(2) Dengan menggunakan tumit telapak tangan peneliti, peneliti menggosok dan

memijat secara perlahan bagian telapak kaki pasien dari arah dalam ke sisi luar kaki

selama 15 detik.

(3) Pegang semua jari-jari kaki oleh tangan kanan, dan tangan kiri menopang tumit

pasien, kemudian peneliti memutar pergelangan kaki tiga kali searah jarum jam dan

tiga kali ke arah berlawanan arah jarum jam selama 15 detik..

(4) Tahan kaki di posisi yang menunjukkan ujung jari kaki mengarah keluar

(menghadap peneliti). gerakan maju dan mundur tiga kali selama 15 detik. Untuk

mengetahui fleksibilitas.

(5) Tahan kaki di area yang lebih luas bagian atas dengan menggunakan seluruh jari

(ibu jari di telapak kaki dan empat jari di punggung kaki) dari kedua belah bagian

kemudian kaki digerakkan ke sisi depan dan ke belakang tiga kali selama 15 detik.
(6) Tangan kiri menopang kaki kemudian tangan kanan memutar dan memijat

masing-masing jari kaki sebanyak tiga kali di kedua arah, untuk memeriksa

ketegangan (15 detik).

(7) Pegang kaki kanan dengan kuat dengan menggunakan tangan kanan pada bagian

punggung kaki sampai ke bawah jari-jari kaki dan tangan kiri yang menopang tumit.

genggam bagian punggung kaki berikan pijatan lembut selama 15 detik.

(8) Posisi tangan berganti, tangan kanan menopang tumit dan tangan kiri yang

menggenggang punggung kaki sampai bawah jari kaki kemudian dipijat dengan

lembut selama 15 detik.

(9) Pegang kaki dengan lembut tapi kuat dengan tangan kanan seseorang di bagian

punggung kaki hingga ke bawah jari-jari kaki dan gunakan tangan kiri umtuk

menopang di tumit dan pergelangan kaki dan berikan tekanan lembut selama 15 detik.

(10) Menopang tumit menggunakan tangan kiri dan dengan menggunakan tangan

kanan untuk memutar setiap searah jarum jam kaki dan berlawanan arah jarum jam

serta menerapkan tekanan lembut selama 15 detik.

(11) Menopang tumit dengan menggunakan tangan kiri dan memberikan tekanan dan

pijatan dengan tangan kanan pada bagian sela-sela jari bagian dalam dengan gerakan

ke atas dan ke bawah gerakan lembut selama 15 detik.

(12) Tangan kanan memegang jari kaki dan tangan kiri memberikan tekanan ke arah

kaki bagian bawah kaki menggunakan tumit tangan dengan tekanan lembut selama 15

detik.
BAB III
METODELOGI PENILITIAN
4.1 DESAIN PENILTIAN

Desain penelitian adalah rencana penelitian yang disusun sedemikian rupa

sehingga peneliti dapat memperoleh jawaban terhadap pertanyaan penelitian. Desain

penelitian mengacu pada jenis atau macam penelitian yang dipilih untuk mencapai

tujuan penelitian, serta berperan sebagai alat dan pedoman untuk mencapai tujuan

tersebut (Setiadi, 2013).

Jenis penilitian ini merupakan penilitian eksperimen dengan rancangan pra-

eksperimen design dengan one group pre-test post-test without control. Variable

penilitian ini terdiri dari variable independen (variable bebas) yaitu teknik pijat

refleksi telapak kaki serta variable dependen (variable terikat) yaitu perubahan skala

nyeri pada klien post operasi caesar (Trisnowiyanto, 2012).


Peneliti memberikan teknik pijat refleksi telapak kaki pada responden untuk

melihat perbedaan skala nyeri sebelum dan sesudah diberikan intervensi, setelah

diketahui skala nyeri sebelum dan sesudah kemudian dicatat dalam lembar observasi

pengukuran skala nyeri (Trisnowiyanto, 2012).

4.2 POPULASI DAN SAMPEL

3.2.1Populasi

Poulasi dalam peniltian ini adalah sejumlah subyek besar yang mempunyai

karakteristik tertentu (Sastroasmoto dan Ismael dalam siswanto et al, 2016). Populasi

dalam peniltian ini adalah ibu post operasi caesar di Rumah Sakit Ibu dan Anak Kota

Banda Aceh yang berjumlah 80 orang.

3.2.2 Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi tersebut, sample penilitian adalah sebagian populasi yang diambil sebagai

sumber data dan dapat mewakili seluruh populasi. Sampel yang digunakan dalam

peniltian ini adalah yang melakukan operasi section Caesarea di Rumah Sakit Ibu dan

Anak Kota Banda Aceh.

3.2.3 Sampling

Sampling yang diguanakan pada peniltian ini adalah non probability

sampling. Teknik yang memberi peluang/kesempatan yang sama bagi setiap unsur

anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel, menurut Sugiyono (2015:84). Sampel

yang dipilih berdasarkan inklusi dan eksklusi. Adapun kriteria sebagai berikut:
a. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi merupakan kriteria dimana subyek penelitian yang dapat

mewakili sampel penelitian yang memenuhi syarat sebagai sampel (Alimul,

2007). Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:

1. Pasien yang bersedia menjadi responden

2. Pasien yang berumur 20-40 tahun

3. Pasien yang menjalani operasi SC pertama kali

4. Pasien operasi sectio caesarea yang mendapatkan anestesi regional n =

10% x N = 10 % x 196 = 20 44 2.

b. Kriteria Eksklusi

Kriteria Eksklusi dalam penelitian ini adalah sebagi berikut:

1. Pasien post operasi yang bukan mendapat anastesi regional

2. Pasien yang lebih dari satu kali menjalani operasi SC

3. Pasien yang tidak bersedia menjadi responden.

4. Pasien yang tidak komunikatif dan tidak sadar penuh.

4.3 LOKASI DAN WAKTU PENILTIAN

Tempat peniltian dilakukan di Rumah Sakit Ibu dan Anak kota Banda Aceh.

Penilitian akan dilakukan pada bulan Januari tahun 2020.

4.4 INSTRUMEN PENILTIAN DAN CARA PENGUMPULAN DATA


Instrument penilitian merupakan suatu alat ukur yang digunakan dalam

pengumpulan data yang ditunjukkan kepada responden yang akan diteliti yang

memenuhi kritria inklusi (Nursalam, 2016).

a. Instrumen pijat telapak kaki

Instrument yang digunakan untuk pelaksanaan pijat telapak kaki adalah

menggunakan standar operasional prosedur tentang pelaksanaan pijat

telapak kaki. Prosedur terlampir pada lampiran.

b. Instrument untuk nyeri

Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah NRS (Numeric

Rating Scale) untuk mengukur tingkat nyeri sebelum dan sesudah

dilakukan foot massage, dan prosedur kerja foot massage dari

Trisnowiyanto (2012).

4.5 TEKNIK PENGAMBILAN DATA

Teknik sampling yang digunakan dalam peniltian ini adalah purposive

sampling yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Dengan

menetapkan pertimbangan-pertimbangan atau kriteria terntentu yang harus dipenuhi

oleh sampel yang digunakan dalam penilitian ini.

4.6 ANALISA DATA


Dalam melakukan analisis, data terlebih dahulu diolah dengan tujuan

mengubah dan menjadi informasi. Dalam proses pengolahan data terdapat langkah-

langkah yang harus ditempuh, antara lain:

1. Editing adalah upaya untuk memeriksa kembali kebenaran data yang

diperoleh atau dikumpulakan, dapat dilakukan pada tahap pengumpulan data

atau setlah data terkumpul.

2. Coding adalah kegiatan pemberian kode numeric (angka) terhadap data yang

terdiri atas beberapa kategori. Meberikan kode atau symbol tertentu untuk

setiap jawaban. Hal ini dilakukan untuk mempermudah setiap jawaban. Hal

ini dilakukan untuk mempermudah peneliti dalam melakukan tabulasi dan

analisis data. Codimg dilakukan pada kelompok intervensi.

3. Emtry adalah kegiatan memasukkan data yang telah terkumpul ke dalam

master table atau database computer.

4. Cleaning melakukan pengecekkan kembali apakah ada kesalahan atau tidak

membuang data yang sudah tidak dipakai.

Analisa data yang digunakan menggunakan program computer Microsoft Word

2013 for Windows, Statistical Product and Service Solution (SPSS) for windows

versi 16,0 untuk variable jenis kelamin dan pendidikan menggunakan distribusi

frekuensi. Sedangkan untuk variable umur, menggunakan deskripsi frekuensi.

Sedangkan untuk variable umur, menggunakan deskripsi tendensi sentral mean,

std.deviasi, minuman, minimum, maximum. Untuk pertanyaan adaptif jawaban “ya”

diberi skor 1 dan untuk jawaban “tidak” diberi skor 0. Sedangkan pertanyaan
maladaptif jawaban “ya” diberi skor 0 dan untuk jawaban “tidak” diberi skor diberi

skor 1. Pada variable mekanisme koping karena variable berbentuk numeric maka

dilakukan uji kenormalan data dengan Shapiro Wilk. Hasil uji kenormalan didapatkan

nilai P sebesar 0,000 yang lebih kecil dari 0,05 sehingga dinyatakan tidak

berdistribusi normal maka untuk pengkatagorian dan dinyatakan adaptif jika jumlah

skor ≥ median dan untuk kategori maladaptif jika jumlah skor ≤ median.

4.7 ETIKA PENILTIAN

Peneliti melakukan peniltian dengan memperhatikan dan menekankan pada

masalah etika seperti dibawah ini:

1. Surat persetujuan (informed consent)

Lembar persetujuan akan diberikan kepada responden yang akan diteliti dan

memnuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebelum peniltian dilakukan. Setiap

calon responden diberi penjalasan mengenai maksud dan tujuan penelitian

serta dimintai kesediannya menjadi responden. Pasien post operasi post

operasi caesar yang bersedia menjadi responden, maka responden harus

mendatangani surat persetujuan. Keikutsertaan dalam penelitian ini bersifat

sukarela dan tampa paksaan.

Penilti harus mempertimbangkan hak-hak responden peniltian untuk

mendapatkan informasi tentang tujuan penilti melakukan penilitian tersebut

dan peniliti juga mempersiapkan lembar formulir pertujuan (informed

consent) kepada responden (Notoatmodjo,2012).

2. Tanpa nama (Anonymity)


Untuk menjaga kerahasian responden, peneliti tidak mencantumkan nama

responden pada lembar pengumpulan data. Penilti hanya menggunakan kode

responden pada lembar tersebut.

3. Kerahasian (confidentially)

Kerahasian informasi responden yang diperoleh dijamin oleh penilti, hanya

data-data tertentu yang disampaikan tanpa menyebut nama yang menjadi

sumber data.

4. Keadilan (justice)

Pada penilitian ini kelompok kontrol mendapatkan pijat telapak kaki tersebut

diberikan kepada kelompok intervensi dan sesudah post test kepada kelompok

intervensi dan kontrol.

Anda mungkin juga menyukai