E DENGAN KEBUTUHAN
DASAR MOBILISASI DI RUANGAN DAHLIA
OLEH :
1. HILARIA PAJO (21203010)
2. JOSEPH F.D FINDORO (21203022)
3. ROBERTUS Y. LAWE (21203028)
4. YULIANUS S. DIAZ (21203031)
5. VIKTORIA K. DANU (21203004)
6. YUSTINA P. MATUR (21203005)
7. ADELGONDA F. JEHARUT (21203015)
8. YOHANA SAMUL (21203030)
9. YOHANA SIMUN (21203007)
10. ALEKSANDER GUNTUR (21203020)
Menyetujui,
1
BAB I
LAPORAN PENDAHULUAN
2
bagian, diantaranya : 7 tulang servical di leher, 12 tulang torakal yang
berada pada bagian atas punggung belakang yang sesuai dengan
pasangan pada tulang rusuk, 5 tulang lumbal yang berada pada bagian
belakang bawah, 5 tulang sacral dimana 1 tulangnya di sebut sacrum, 4
tulang coccigis.
Saraf Tulang belakang merupakan perpanjangan dari otak yang
terakumulasi dan telindungi oleh tulang vertebral coloumn. Tulang
belakang juga terdiri dari cairan yang bertindak sebagai buffer untuk
melindungi jaringan syaraf yang halus. Syaraf tulang belakang juga
terdiri dari serabut syaraf yang berfungsi untuk mengirimkan informasi
dari dan ke tungkai hingga organ lain. Serabut syaraf cervical yang
berda di leher berfungsi mengatur pergerakan, perasaan pada lengan,
leher, dan tubuh bagian atas. Syaraf torakal berfungsi mensupplay
tubuh dan perut, syaraf lumbal dan sacrum berfungsi untuk
mensupplay kaki, bladder, bowel dan organ seksual.
3. ETIOLOGI
a. Kecelakaan lalu lintas/jalan raya
b. Injuri atau jatuh dari ketinggian.
c. Kecelakaan karena olah raga. Di bidang olahraga, tersering karena
menyelam pada air yang sangat dangkal
d. Luka jejas, tajam, tembak pada daerah vertebra.
e. Pergerakan yang berlebih: hiperfleksi, hiperekstensi, rotasi berlebih,
stress
f. lateral, distraksi (stretching berlebih), penekanan.
g. Gangguan lain yang dapat menyebabkan cedera medulla spinalis
seperti spondiliosis servikal dengan mielopati, yang menghasilkan
saluran sempit dan mengakibatkan cedera progresif terhadap
medulla spinalis dan akar; mielitis akibat proses inflamasi infeksi
maupun noninfeksi; osteoporosis yang disebabkan oleh fraktur
3
kompresi pada vertebrata; siringmielia; tumor infiltrasi maupun
kompresi; dan penyakit vaskuler
4
4. PATOFISIOLOGI
Cedera spinal cord terjadi akibat patah tulang belakang, dan kasus
terbanyak cedera spinal cord mengenai daerah servikal dan lumbal.
Cedera dapat terjadi akibat hiperfleksi, hiperekstensi, kompresi atau
rotasi pada tulang belakang.
Fraktur pada cedera spinal cord dapat berupa patah tulang
sederhana, kompresi, kominutif, dan dislokasi. Sedangkan kerusakan
pada cedera spinal cord dapat berupa memar, kontusio, kerusakan
melintang laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah, dan
perdarahan. Kerusakan ini akan memblok syaraf parasimpatis untuk
melepaskan mediator kimia, kelumpuhan otot pernapasan, sehingga
mengakibatkan respon nyeri hebat dan akut anestesi. Iskemia dan
hipoksemia syok spinal, gangguan fungsi rektum serta kandung kemih.
Gangguan kebutuhan gangguan rasa nyaman nyeri, oksigen dan
potensial komplikasi, hipotensi, bradikardia dan gangguan eliminasi.
Temuan fisik pada spinal cord injury sangat bergantung pada
lokasi yang terkena: jika terjadi cedera pada C-1 sampai C-3 pasien
akan mengalami tetraplegia dengan kehilangan fungsi pernapasan atau
sistem muskular total; jika cedera mengenai saraf C-4 dan C-5 akan
terjaditetraplegia dengan kerusakan, menurunnya kapasitas paru,
ketergantungan total terhadap aktivitas sehari-hari; jika terjadi cedera
pada C-6 dan C-7 pasien akan mengalami tetraplegia dengan beberapa
gerakan lengan atau tangan yang memungkinkan untuk melakukan
sebagian aktivitas sehari-hari; jika terjadi kerusakan pada spinal C-7
sampai T-1 seseorang akan mengalami tetraplegia dengan keterbatasan
menggunakan jari tangan, meningkat kemandiriannya; pada T-2
sampai L-1 akan terjadi paraplegia dengan fungsi tangan dan berbagai
fungsi dari otot interkostal dan abdomen masih baik; jika terjadi cedera
pada L-1 dan L-2 atau dibawahnya, maka orang tersebut akan
kehilangan fungsi motorik dan sensorik, kehilangan fungsi defekasi
dan berkemih
5
5. PATHWAY
6
6. TANDA DAN GEJALA
a. Nyeri pada area spinal atau paraspinal
b. Nyeri kepala bagian belakang, pundak, tangan dan kaki
c. Kelemahan/penurunan/kehilangan fungsi motorik (kelemahan,
paralisis)
d. Penurunan/kehilangan sensasi (mati rasa/hilang sensasi nyeri,
kaku, parestesis, hilang sensasi pada suhu, posisi, dan sentuhan)
e. Paralisis dinding dada menyebabkan pernapasan diafragma
f. Shock dengan kecepatan jantung menurun
g. Priapismus
h. Kerusakan kardiovaskuler
i. Kerusakan pernapasan
j. Kesadaran menurun
k. Tanda spinal shock (pemotongan komplit rangsangan), meliputi:
Flaccid paralisis di bawah batas luka, hilangnya sensasi di bawah
batas luka, hilangnya reflek-reflek spinal di bawah batas luka,
hilangnya tonus vasomotor (hipotensi), inkontinensia urine dan
retensi feses (apabila berlangsung lama akan menyebabkan
hiperreflek/paralisis spastic.
7. KOMPLIKASI
Trauma tulang belakang bisamengakibatkan berbagai macam
komplikasi, diantaranya
a. Syok hipovolemik
akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstra sel ke jaringan yang
rusaksehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat
trauma.
b. Pendarahan Mikroskopik
Pada semua cidera madula spinalis atau vertebra, terjadi
perdarahan-perdarahan kecil yang disertai reaksi
7
peradangan,sehingga menyebabkan pembengkakan dan edema serta
mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan di dalam dan di
sekitar korda. Peningkatan tekanan menekan saraf dan menghambat
aliran darah sehingga terjadi hipoksia dan secara drastis
meningkatkan luas cidera korda. Dapat timbul jaringan ikat
sehingga saraf di darah tersebut terhambat atau terjerat.
c. Hilangnya Sensasi, Kontrol Motorik, Dan Refleks.
Pada cidera spinal yang parah, sensasi, kontrol motorik, dan refleks
setingg dan dibawah cidera korda lenyap. Hilangnya semua refleks
disebut syok spinal. Pembengkakan dan edema yang mengelilingi
korda dapat meluas kedua segmen diatas kedua cidera. Dengan
demikian lenyapnya fungsi sensorik dan motorik serta syok spinal
dapat terjadi mulai dari dua segmen diatas cidera. Syok spinal
biasanya menghilang sendiri, tetap hilangnya kontor sensorik dan
motorik akan tetap permanen apabila korda terputus akan terjadi
pembengkakan dan hipoksia yang parah.
d. Syok Spinal.
Syok spinal adalah hilangnya secara akut semua refleks-refleks dari
dua segmen diatas dan dibawah tempat cidera. Refleks-refleks yang
hilang adalah refleks yang mengontrol postur, fungsi kandung
kemih dan rektum, tekanan darah, dan pemeliharaan suhu tubuh.
Syok spinal terjadi akibat hilangnya secara akut semua muatan tonik
yang secara normal dibawah neuron asendens dari otak, yang
bekerja untuk mempertahankan fungsi refleks. Syok spinal biasanya
berlangsung antara 7 dan 12 hari, tetapi dapat lebih lama. Suatu
syok spinal berkurang dapat tmbul hiperefleksia, yang ditandai oleh
spastisitas otot serta refleks, pengosongan kandung kemih dan
rektum.
e. Hiperrefleksia Otonom.
Kelainan ini dapat ditandai oleh pengaktifan saraf-saraf simpatis
secar refleks, yang meneyebabkan peningkatan tekanan darah.
8
Hiper refleksiaotonom dapat timbul setiap saat setelah hilangnya
syok spinal. Suatu rangsangan sensorik nyeri disalurkan kekorda
spnalis dan mencetukan suatu refleks yang melibatkan pengaktifan
sistem saraf simpatis. Dengan diaktifkan nya sistem simpatis,maka
terjadi konstriksi pembuluh-pembuluh darah dan penngkatan
tekanan darah system. Pada orang yang korda spinalisnya
utuh,tekanan darahnya akan segera diketahui oleh baroreseptor.
Sebagai respon terhadap pengaktifan baroreseptor,pusat
kardiovaskuler diotak akan meningkatkan stimulasi parasimpatis
kejantung sehingga kecepatan denyut jantunhg melambat,demikian
respon saraf simpatis akan terhenti dan terjadi dilatasi pembuluh
darah.Respon parasimpatis dan simpatis bekerja untuk secara cepat
memulihkan tekanan darah ke normal. Pada individu yang
mengalami lesi korda, pengaktifan para simpatis akan
memperlambat kecepatan denyut jantung dan vasodilatasi diatas
tempat cedera, namun saraf desendens tidak dapat melewati lesi
korda sehingga vasokontriksi akibat refleks simpatis dibawah
tingkat tersebut terus berlangsung. Pada hiperrefleksia
otonom,tekanan darah dapat meningkat melebihi 200 mmHg
sistolik,sehingga terjadi stroke atauinfark miokardium.Rangsangan
biasanya menyebabkan hiperrefleksia otonom adalah distensi
kandung kemih atau rektum,atau stimulasi reseptor-reseptor
permukaan untuk nyeri.
f. Paralisis
Paralisis adalah hilangnya fungsi sensorik dan motorik volunter.
Pada transeksi korda spinal, paralisis bersifat permanen. Paralisis
ekstremitas atas dan bawah terjadi pada transeksi korda setinggi C6
atau lebih tinggi dan disebut kuadriplegia. Paralisis separuh bawah
tubuh terjadi pada transeksi korda dibawah C6 dan disebut
paraplegia. Apabila hanya separuh korda yang mengalami transeksi
maka dapat terjadi hemiparalisis
9
8. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pertama SCI termasuk imobilisasi eksternal untuk
stabilisasi sementara, traksi untuk mendapatkan atau mempertahankan
alignment yang baik, dan farmakoterapi untuk meminimalisasi cedera
sekunder. Setelah transportasi dan evaluasi awal telah lengkap,
extended-external fixation atau intervensi bedah dapat dikerjakan.
Terakhir, disfungsi yang berhubungan dapat direhabilitasi.
10
4) Mempertahankan tonus otot, memelihara dan meningkatkan
pergerakan dari persendian.
5) Memperlancar eliminasi alvi dan urine.
6) Melatih atau ambulasi.
11
3. ETIOLOGI
Penyebab utama immobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah,
kekakuan otot, ketidakseimbangan, dan masalah psiokologis.
Penyebab secara umum :
1) Kelainan postur
2) Gangguan perkembangan otot
3) Kerusakan system saraf pusat
4) Trauma langsung pada system musculoskeletal dan
neuromuscular
5) Kekakuan otot
4. PATOFISIOLOGI
Neuromuskular berupa sistem otot, skeletal, sendi, ligamen,
tendon, kartilago, dan saraf sangat mempengaruhi mobilisasi. Gerakan
tulang diatur otot skeletal karena adanya kemampuan otot berkontraksi
dan relaksasi yang bekerja sebagi sistem pengungkit. Tipe kontraksi
otot ada dua, yaitu isotonik dan isometrik. Peningkatan tekanan otot
menyebabkan otot memendek pada kontraksi isotonik. Selanjutnya,
pada kontraksi isometrik menyebabkan peningkatan tekanan otot atau
kerja otot tetapi tidak terjadi pemendekan atau gerakan aktif dari otot.
Gerakan volunter merupakan gerakan kombinasi antara kontraksi
isotonik dan kontraksi isometrik. Koordinasi dan pengaturan kelompok
otot tergantung tonus otot dan aktivitas dari otot yang berlawanan,
sinergis, dan otot yang melawan gravitasi. Tonus otot sendiri
merupakan suatu keadaan tegangan otot yang seimbang. Kontraksi dan
relaksasi yang bergantian melalui kerja otot dapat mempertahankan
ketegangan. Immobilisasi menyebabkan aktivitas dan tonus otot
menjadi berkurang
Pengaruh imobilisasi yang cukup lama akan terjadi respon
fisiologis pada sistem otot rangka. Respon fisiologis tersebut berupa
gangguan mobilisasi permanen yang menjadikan keterbatasan
12
mobilisasi. Keterbatasan mobilisasi akan mempengaruhi daya tahan
otot sebagai akibat dari penurunan masa otot, atrofi dan stabilitas.
Pengaruh otot akibat pemecahan protein akan mengalami kehilangan
masa tubuh yang terbentuk oleh sebagian otot. Oleh karena itu,
penurunan masa otot tidak mampu mempertahankan aktivitas tanpa
peningkatan kelelahan. Selain itu, juga terjadi gangguan pada
metabolisme kalsium dan mobilisasi sendi. Jika kondisi otot tidak
dipergunakan atau karena pembebanan yang kurang, maka akan terjadi
atrofi otot. Otot yang tidak mendapatkan pembebanan akan
meningkatkan produksi Cu, Zn. Superoksida Dismutase yang
menyebabkan kerusakan, ditambah lagi dengan menurunya catalase,
glutathioneperoksidase, dan mungkin Mn, superoksida dismutase,
yaitu sistem yang akan memetabolisme kelebihan ROS. ROS
menyebabkan peningkatan kerusakan protein, menurunnya ekspresi
myosin, dan peningkatan espresi komponen jalur ubiquitine proteolitik
proteosome. Jika otot tidak digunakan selama beberapa hari atau
minggu, maka kecepatan penghancuran protein kontraktil otot (aktin
dan myosin) lebih tinggi dibandingkan pembentukkannya, sehingga
terjadi penurunan protein kontraktil otot dan terjadi atrofi otot.
Terjadinya atrofi otot dikarenakan serabut-serabut otot tidak
berkontraksi dalam waktu yang cukup lama sehingga perlahan akan
mengecil dimana terjadi perubahan antara serabut otot dan jaringan
fibrosa. Tahapan terjadinya atrofi otot dimulai dengan berkurangnya
tonus otot. Hal ini myostatin menyebabkan atrofi otot melalui
penghambatan pada proses translasi protein sehingga menurunkan
kecepatan sintesis protein. NF-κB menginduksi atrofi dengan aktivasi
transkripsi dan ubiquinasi protein. Jika otot tidak digunakan
menyebabkan peningkatan aktivitas transkripsi dari NF-κB. Reactive
Oxygen Species (ROS) pada otot yang mengalami atrofi. Atrofi pada
otot ditandai dengan berkurangnya protein pada sel otot, diameter
serabut, produksi kekuatan, dan ketahanan terhadap kelelahan. Jika
13
suplai saraf pada otot tidak ada, sinyal untuk kontraksi menghilang
selama 2 bulan atau lebih, akan terjadi perubahan degeneratif pada otot
yang disebut dengan atrofi degeneratif. Pada akhir tahap atrofi
degeneratif terjadi penghancuran serabut otot dan digantikan oleh
jaringan fibrosa dan lemak. Bagian serabut otot yang tersisa adalah
membran sel dan nukleus tanpa disertai dengan protein kontraktil.
Kemampuan untuk meregenerasi myofibril akan menurun. Jaringan
fibrosa yang terjadi akibat atrofi degeneratif juga memiliki
kecenderungan untuk memendek yang disebut dengan kontraktur
14
5. PATHWAY
Imobilisasi
Perubahan sistem
Hambatan mobilitas kelemahan integumen ;
Defisit
fisik dekubitus
perawatan
diri
Resiko kerusakan
integritas kulit
Intoleransi aktivitas
15
6. TANDA DAN GEJALA
Adapun tanda dan gejala pada gangguan mobilitas fisik menurut
Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017) yaitu :
1) Tanda dan gejala mayor
Tanda dan gejala mayor subjektif dari gangguan mobilitas fisik,
yaitu mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas. Kemudian,
untuk tanda dan gejala mayor objektifnya, yaitu kekuatan otot
menurun, dan rentang gerak menurun.
2) Tanda dan gejala minor
Tanda dan gejala minor subjektif dari gangguan mobilitas fisik,
yaitu nyeri saat bergerak, enggan melakukan pergerakan, dan
merasa cemas saat bergerak. Kemudian, untuk tanda dan gejala
minor objektifnya, yaitu sendi kaku, gerakan tidak terkoordinasi,
gerakan terbatas, dan fisik lemah.
7. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien dengan masalah
gangguan mobilitas fisik yaitu dengan memberikan latihan rentang
gerak. Latihan rentang gerak yang dapat diberikan salah satunya yaitu
dengan latihan Range of Motion (ROM) yang merupakan latihan gerak
sendi dimana pasien akan menggerakkan masing-masing persendiannya
16
sesuai gerakan normal baik secara pasif maupun aktif. Range of Motion
(ROM) pasif diberikan pada pasien dengan kelemahan otot lengan
maupun otot kaki berupa latihan pada tulang maupun sendi dikarenakan
pasien tidak dapat melakukannya sendiri yang tentu saja pasien
membutuhkan bantuan dari perawat ataupun keluarga. Kemudian,
untuk Range of Motion (ROM) aktif sendiri merupakan latihan yang
dilakukan sendiri oleh pasien tanpa membutuhkan bantuan dari perawat
ataupun keluarga. Tujuan Range of Motion (ROM) itu sendiri, yaitu
mempertahankan atau memelihara kekuatan otot, memelihara mobilitas
persendian, merangsang sirkulasi darah, mencegah kelainan bentuk
(Potter & Perry, 2012).
Saputra (2013) berpendapat bahwa penatalaksanaan untuk
gangguan mobilitas fisik, antara lain :
1) Pengaturan posisi tubuh sesuai dengan kebutuhan pasien, seperti
memiringkan pasien, posisi fowler, posisi sims, posisi
trendelenburg, posisi genupectoral, posisi dorsal recumbent, dan
posisi litotomi.
2) Ambulasi dini
Salah satu tindakan yang dapat meningkatkan kekuatan dan
ketahanan otot serta meningkatkan fungsi kardiovaskular.
Tindakan ini bisa dilakukan dengan cara melatih posisi duduk di
tempat tidur, turun dari tempat tidur, bergerak ke kursi roda, dan
yang lainnya.
3) Melakukan aktivitas sehari-hari.
Melakukan aktivitas sehari-hari dilakukan untuk melatih kekuatan,
ketahanan, dan kemampuan sendi agar mudah bergerak, serta
mingkatkan fungsi kardiovaskular.
4) Latihan Range of Motion (ROM) aktif atau pasif.
17
8. KOMPLIKASI
Gangguan mobilitas fisik dapat menimbulkan komplikasi, yaitu
abnormalitas tonus, orthostatic hypotension, deep vein thrombosis,
serta kontraktur. Selain itu, komplikasi yang dapat terjadi adalah
pembekuan darah yang mudah terbentuk pada kaki yang lumpuh
menyebabkan penimbunan cairan daan pembengkaan. Kemudian, juga
menyebabkan embolisme paru yaitu sebuah bekuan yang terbentuk
dalam satu arteri yang mengalir ke paru. Selanjutnya yaitu dekubitus.
Bagian yang biasa mengalami memar adalah pinggul, pantat, sendi
kaki dan tumit. Bila memar ini tidak dirawat akan menjadi infeksi.
Atrofi dan kekakuan sendi juga menjadi salah satu komplikasi dari
gangguan mobilitas fisik. Hal itu disebabkan karena kurang gerak dan
mobilisasi. Komplikasi lainnya, seperti disritmia, peningkatan tekanan
intra cranial, kontraktur, gagal nafas, dan kematian (Andra, Wijaya,
Putri , 2013).
18
riwayat penyakit sistem muskuloskeletal (osteoporosis, fraktur,
artritis), riwayat penyakit sistem pernapasan (penyakit paru
obstruksi menahun, pneumonia, dan lain-lain), riwayat
pemakaian obat, seperti sedativa, hipnotik, depresan sistem saraf
pusat, laksansia, an lain-lain.
3) Kemampuan Fungsi Motorik
Pengkajian dilakukan dengan tujuan untuk menilai kemampuan
gerak ke posisi miring, duduk, bangun, dan berpindah tanpa
bantuan. Kategori tingkat kemampuan aktivitas adalah sebagai
berikut :
Tabel 1 Tabel kategori tingkat kemamapuan
Tingkat
Aktivitas/Mobilitas Kategori
Tingkat 0 Mampu merawat diri sendiri secara
penuh.
Tingkat 1 Memerlukan penggunaan alat.
Tingkat 2 Memerlukan bantuan atau pengawasan
orang lain
Tingkat 3 Memerlukan bantuan, pengawasan orang
lain, dan peralatan.
Tingkat 4 Sangat tergantung dan tudak dapat
melakukan atau berpartisipasi dalam
perawatan
19
Rentang
Normal
Bahu.
Adduksi: gerakan lengan ke lateral dari posisi sampig ke 180
atas kepala, telapak tangan menghadap ke posisi jauh.
Siku . Fleksi: angkat lengan bawah ke arah depan dan ke 150
arah atas menuju bahu.
Pergelangan Tangan.
Fleksi: tekuk jari-jari tangan ke arah bagian dalam lengan 80-90
bawah.
Ekstensi: luruskan pergelangan tangan dari posisi fleksi. 80-90
Hiperekstensi: tekuk jari-jar tangan ke arah belakang
sejauh mungkin.
Abduksi: tekuk pegelangan tangan ke sisi ibu jari ketika 70-90
telapak tangan menghadap ke atas.
Adduksi: tekuk perglangan tangan ke arah kelingking, 0-20
telapak tangan menghada ke atas.
30-50
Tangan dan Jari,
Fleksi: buat kepalan tangan. 90
Ekstensi: luruskan jari. 90
Hiperekstensi: tekuk jari-jari tangan ke belakang sejauh 30
mungkin.
Abduksi: kembangkan jari tangan. 20
Adduksi: rapatkan jari-jari dari posisi abduksi 20
20
Normal
0 0 Paralisis sempurna
1 10 Tidak ada gerakan, kontraksi otot dapat
dipalpasi atau dilihat.
2 25 Gerakan otot penuh melawan gravitasi
dengan topangan.
3 50 Gerakan yang normal melawan gravitasi
4 75 Gerakan penuh yang normal melawan
gravitasi dan melawan tahanan normal
5 100 Kekuatan normal, gerakan penuh yang
normal melawan gravitasi dan tahanan penuh.
7) Perubahan Psikologis
Pengkajian perubahan psikologis yang disebabkan oleh adanya
gangguan aktivitas/mobilitas, antara lain perubahan perilaku,
peningkatan emosi, perubahan dalam mekanisme koping, dan
lain-lain.
b. Diagnosa keperawatan
1) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan adanya
gangguan neuromuskular
2) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan pada
ekstremitas
3) Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
penurunan mobilisasi
4) Defisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan
neuromuskular
c. Intervensi keperawatan
21
dengan mobilisasi selama … kali lainnya.
neuromuskular. pertemuan, diharapkan b. Identifikasi toleransi
(SDKI D.0054, 2017) mobilitas fisik pasien fisik melakukan
meningkat dengan kriteria pergerakan.
hasil : c. Monitor frekuensi
a. Pergerakan jantung dan tekanan
ekstremitas darah sebelum memulai
meningkat. mobilisasi
b. Kekuatan otot cukup d. Fasilitasi melakukan
meningkat. pergerakan.
c. Rentang gerak (ROM) e. Jelaskan tujuan dan
meningkat. prosedur mobilisasi.
d. Nyeri menurun (SIKI I.05173, 2018)
e. Kekakuan sendi
cukup menurun.
f. Kelemahan fisik
cukup menurun.
g. Kecemasan menurun.
h. Gerakan terbatas
cukup menurun.
i. Gerakan tidak
terkoordinasi cukup
menurun. (SLKI
I.05042, 2019)
Risiko gangguan Setelah dilakukan tindakan a. Identifikasi penyebab
integritas kulit atau keperawatan … kali 24 jam, gangguan integritas
jaringan berhubungan diharapkan integritas kulit dan kulit
dengan penurunan jaringan meningkat dengan b. Lakukan masase
mobilitas. (SDKI kriteria hasil : punggung setiap setelah
D.0139, 2017) a. Sensasi kulit mandi
membaik. c. Gunakan produk
b. Kemerahan menurun. minyak pada kulit
c. Nyeri menurun. kering
(SLKI L.14125, d. Anjurkan menggunakan
2019) pelembab
e. Anjurkan minum air
yang cukup
f. Anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi. (SIKI
I.11353, 2018)
Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan tindakan Manajemen energi
berhubungan dengan keperawatan … kali 24 jam,
kelemahan pada diharapkan klien dapat a. Tentukan keterbatasan
ekstremitas menunjukkan toleransi klien terhadap aktivitas
terhadap aktivitas dengan b. Dorong pasien untuk
kriteria hasil : mengungkapkan
a. Klien dapat perasaan tentang
menentukan aktivitas keterbatasannya
yang sesuai dengan c. Motivasi untuk
22
kemampuan melakukan periode
b. Mempertahanakan istirahat dan aktivitas
warna dan kehangatan d. Rencanakan periode
kulit dengan aktivitas aktivitas saat klien
c. Melaporkan memiliki banyak tenaga
peningkatan aktivitas e. Bantu klien untuk
harian bangun dari tempat
tidur atau duduk di
samping tempat tidur
atau berjalan
f. Bantu klien untuk
mengidentivikasi
aktivitas yang lebih
disukai
g. Evaluasi program
peningkatan tingkat
aktivitas
Defisit perawatan diri Setelah dilakukan tindakan Bantu aktivitas kebutuhan
berhubungan dengan keperawatan … kali 24 jam, seharihari
gangguan diharapkan kebutuhan
neuromuskular perawatan diri pasien a. Observasi kemampuan
terpenuhi selama dalam klien untuk perawatan
perawatan dengan kriteria mandiri
hasil : b. Observasi kebutuhan
a. Klien merasa nyaman klien untuk alat bantu
b. Klien kebersihan diri,
mengungkapkan bepakaian, berhias,
kepuasan toileting, dan makan
c. Sediakan bantuan
sesuai kebutuhan agar
klien dapat secara utuh
melakukan perawatan
diri
d. Dorong pasien untuk
melakukan aktivitas
sehari-hari yang normal
sesuai kemampuan
yang dimiliki
BAB II
LAPORAN KASUS
23
Pengkajian diambil : 29 September 2021
Tanggal MRS : 17 September 2021
Diagnosa masuk : Spinal Cord Injury
A. Identitas pasien
Nama : Ny. EB
Usia : 63 tahun
Status : Menikah
Suku : Manggarai
Agama : Katolik
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Petani
Alamat : Sita
Penanggung jawab : Ny. W
B. Riwayat Keperawatan
1. Keluhan utama :
Klien mengatakan nyeri pada leher
2. Keluhan saat pengkajian :
Ny. EB mengatakan nyeri pada leher dan badan terasa lemas dan sulit
bergerak
3. Riwayat penyakit sekarang :
Ny. EB masuk ke RS pada tanggal 17 September 2021, rujukan dari
pukesmas Borong setelah mengalami kecelakaan tertindis mobil saat
sedang menjemur pakayan, yang mengakibatkan tulang leher
mengalami cedera dan tangan bagian kiri sulit digerakan. Ny. EB
mengeluh nyeri pada leher dan aktivitas dibatasi karena mengalami
Spinal Cord Injury dimana segala kebutuhan pasien di bantu oleh
keluarga. Klien terpasang kateter, infus RL 7 tetes/menit, tanpak lemah
dan kulit banyak terdapat hematom.
4. Riwayat pengyakit terdahulu :
24
Ny. EB mengatakan pernah dirawat sebelumnya dengan keluhan sesak
nafas karena mengalami ASMA.
25
Sebelum sakit klien mengatakan beraktifitas seperti biasa tanpa ada
hambatan
Saat sakit :
Saat sakit klien dibatasi untuk bergerak setelah 13 hari pasien
dianjurkan untuk untuk miring kiri dan miring kanan dan tidak
dianjurkan untuk duduk karena mengalami cedera tulang belakang.
5. Pola tidur dan istirahat
Sebelum sakit :
Ny. EB mengatakan sebelum sakit tidak mengalami masalah pada pola
tidur dan istirahat, tidur sekitar 8 jam dan sering tidur siang.
Saat sakit :
Selama sakit Ny. EB mengatakan pola tidurnya teragnggu karena nyeri
pada tulang belakang dan tidur hanya sebentar dan tidak nyenyak,
sering terbangun di malam hari.
6. Pola persepsi dan konsep diri
Sebelum sakit :
Ny. EB mengatakan ia adalah ibu dari 4 orang anak dan bekerja
sebagai petani
Saat sakit :
Ny. EB mengatakan ia tidak bisa bekerja seperti sebelumnya.
7. Pola sensori dan kognitif
Sebelum sakit :
Ny. EB mengatakan dia tidak memiliki masalah atau sakit pada bagain
tulang belakang
Saat sakit :
Selama sakit klien sering merasa nyeri pada bagian tulang belakang
dan tangan kiri.
8. Pola reproduksi seksual
Sebelum sakit :
Ny. EB berusia 63 tahun, sudah menikah, dan sudah menopaus dan
memiliki 4 orang anak
26
9. Pola penanggulangan stres
Sebelum sakit :
Sebelum sakit Ny.EB mengatakan sering bercerita dengan keluarga
ketika mengalami masalah atau pergi ke kebun untuk mengurangi
stres.
Saat sakit :
Selama sakit Ny. EB mengatakan sering merasa cemas dan stres
karena kondisi kesehatannya, karena pasien dianjurkan untuk tirah
baring dan segala kebutuhan di penuhi oleh keluarga.
10. Pola tata nilai dan kepercayaan
Sebelum sakit :
Sebelum sakit Ny. EB sering beribadah seperti pergi ke gereja atau
berdoa di rumah
Saat sakit :
Selama sakit semua aktifitas terganggu termasuk pergi beribadah di
gereja, klien hanya berdoa di rumah.
D. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum :
Respon membuka mata : membuka mata sponta 4
Kempuan bicara (verbal) : berorintasi baik, bercakap-cakap 5
Kemampuan motorik : dapat mengikuti perintah 6
2. Tingkat kesadaran : compos mentis
3. TTV
- TD : 113/67 mmHg
- MAP : 82,3 mmHg
- RR : 19 x/menit
- N : 63x/menit
- S : 36,5 oC
-
4. Pengukuran antropometri
BB : 47 kg, TB: 154
27
5. Pengukuran balance cairan
Batasan cairan : 500 cc per 24 jam
IWL : 47 kg x 12 cc/24 jam
Total balance : 23,5 cc
6. Kepala
Inspeksi : rambut tanpak kusam, beruban, tidak ada lesi
Palpasi : tidak ada benjolan
7. Leher dan tenggorokan
Inspeksi : Tidak tanpak pembesaran kelenjar tiroid atau tidak
ada peningkatan tekanan JVP
Palpasi : Tidak teraba pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada
pembesaran kelenjar limpfe.
8. Paru-paru dan jantung
a. Paru-paru
Inspeksi : simetris kiri dan kanan
Palpasi : vokal fremitus kanan dan kiri
Getaran : getaran sama kiri dan kanan
Perkusi : pekak
Auskultasi : tidak ada suara nafas tambahan
b. Jantung
Inspkesi : ictus cordis tidak tanpak
Palpasi : teraba pada ICS 4, tidak ada pembesaran
Perkusi : batas kanan atas ICS 2 linea sternalis kanan
Batas kiri atas ICS 2 linea sternalis kiri
Batas kiri bawah ICS 4 linea midclavikularis kiri
Auskultasi : terdengar bunyi BJ 1 dan BJ 2, tidak ada bunyi
jantung tambahan
9. Abdomen
Inspeksi : tidak ada lesi, tidak ada tumor dan tidak ada asites
Auskultasi : bunyi bising usus (+) 12 x/menit
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
28
Perkusi : timpani
10. Genitalia : terpasang kateter
11. Ekstermitas :
Kekuatan otot : 5 3
4 5
E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
1.Faal ginjal
urea s 17,1 Mg% 10-50mg%
creatinin 0,5 Mg% 0,6-1,1 mg%
urine acid 3,2 Mg% 3,4- 7,0 mg%
2. Gula darah
GDA 105 Mg% 120mg%
3. Faal hati
SGOT 65,2 U/l 31 U/l
SGPT 38,1 U/I 31 U/l
Bill total 0,27 Mg% 1,0 mg%
Bill direct 0,13 Mg% 0,28 mg%
2. Terapi
Obat Golongan Indikasi Efek samping
1.Ringer laktat Kristaloid sebagai pengganti cairan Nyeri dada,
ekstrasel yang hilang penurunan tekanan
atau mengatasi dehidrasi darah, kesulitan
isotonik. bernapas, gatal-
mengatsi kekurangan
gatal.
garam
mengatasi
ketidakseimbangan
antara asam dan basa
(asidosis metabolik),
(asidosis metabolik
ringan).
pengantian elektrolit
pada luka bakar
29
2.Ketorolac Antiinflamasi meredakan peradangan Berat badan naik,
nonsteroid dan nyeri sakit perut, mual
muntah.
Omeprazol Pump mengurangi kadar asam Nyeri perut, sakit
inhibitors lambung kepala, rendahnya
kadar kalium dalam
darah, gangguan
pencernaan, reaksi
alergi obat seperti:
munculnya ruam,
pusing dan sesak
napas.
Metronidazole Antibiotik uretritis dan vagnitis Pusing, Sakit
karena trichomonas kepala, mual
vaginalis, amoebiasis muntah, hilangnya
intestinal dan hepar, nafsu makan, diare,
pencegahan infeksi
sembelit.
anerob pasca oprasi,
giardiasis karena
giardia lambliasis.
metilpredasol kortikosteroid meredakan peradangan mual atau muntah,
pada berbagai kondisi, pusing
termasuk radang sendi, sakit kepala
radang usus, asma, perut kembung
psoriasis, lupus, hingga
sakit maag atau
multiple sclerosis. Obat
ini juga bisa digunakan heartburn
dalam pengobatan nyeri otot
reaksi alergi yang parah. nafsu makan
menurun
F. Analisa Data
NO DATA MASALAH ETIOLOGI
30
1. DS : Hambatan mobilitas Gangguan neuromuskular
- klien mengatakan nyeri fisik
pada tulang belakang, leher
dan tangan kiri
- Klien mengatakan susah
menggerakan tubuhnya
- klien mengatakan susah
menggerakkan tangan
kirinya, dan kedua kakinya
- klien mengatakan nyeri saat
bergerak
DO :
- keadaan umum sedang
- tingkat kesadaran
composmentis
- TTV ;TD =113/67 mmHg.
N=67 x/menit, S =36,5, RR
=19 x/menit
- klien tampak lemah
- klien tampak hanya
berbaring di tempat tidur
- kekuatan otot
5 3
4 5
-
INTERVENSI KEPERAWATAN
31
- Klien mengatakan meningkat tahapannya
susah menggerakan - kekuatan otot cukup 4. dampingi dan bantu pa
tubuhnya meningkat mobilisasi dan bantu
- klien mengatakan - rentang gerak (ROM) kebutuhan ADL pasien
susah meningkat 5. ajarkan klien latihan RO
menggerakkan 6. ajarkan pasien dan
tangan kirinya, dan bagaimana merubah p
kedua kakinya berikan bantuan jika dip
- klien mengatakan
nyeri saat bergerak.
- DO : keadaan
umum sedang
- tingkat kesadaran
composmentis
- TTV ;TD =113/67
mmHg. N=67
x/menit, S =36,5,
RR =19 x/menit
- klien tampak lemah
- klien tampak hanya
berbaring di tempat
tidur
- kekuatan otot
5 3
4 5
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
32
10.00 Mengkaji keluhan dan respon klien
12,00 pemberian obat injeksi IV ketorolac 30 mg/ml
Metronidazole 500 mg
Omeprazole 40 mg
Metilpredisol 3 x 62,5 mg
33
Mengkaji TTV klien
12.30 Mengkaji keluhan dan respon klien
mengajurkan keluarga untuk membantu melakukam mobilisas
menganjurkan kelurga klien untuk mengubah posisi klien seti
kanan
EVALUASI KEPERAWATAN
34
1. Mengkaji keluhan dan respon klien
2. kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
3. ajar dan membantu pasien dan keluarga untuk mobilitasi bertahap
4. Melatih klien untuk memiringkan badan dengan bantuan
35
36
DAFTAR PUSTAKA
Andra Saferi Wijaya & Yessie Mariza Putri. (2013). KMB 2 Keperawatan Medikal
Bedah Keperawatan Dewasa. Yogyakarta: Nuha Medika
Brunner & Suddarth. 2013. Keperawatan Medikal Bedah, ed-12. Jakarta : EGC
Lemone, Priscilla. 2015. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta. EGC
Mubarak & Chayatin (2008), Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia Teori dan Aplikasi
dalam Praktik, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Rencana Asuhan Keperawatab Medikal Bedah: Diagnosis NANDA-I 2015-2017
intervensi NIC hasil NOC/ editor, Deni Yasmara, Nursiswati, Rosyidah
Arafat ; editor penyelaras Bhetsy Angelina, Monica Ester, Pamilih Eko
Karyuni. –Jakarta : EGC, 2016.
Saputra, L. (2013). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Tanggerang Selatan: Bina Rupa
Aksara
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar diagnosis keperawatan indonesia Definisi dan
indikator Diagnostik. Edisi 1. Cetakan 3 (Revisi). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
YasmaraDeni,Nursiswati,dkk.2017.RencanaAsuhanKeperawatanMedikalBedah.ja
karta:EGC
37