E DENGAN KEBUTUHAN
DASAR MOBILISASI DI RUANGAN DAHLIA
OLEH :
1. HILARIA PAJO
2. JOSEPH F.D FINDORO
3. ROBERTUS Y. LAWE
4. YULIANUS S. DIAZ
5. VIKTORIA K. DANU
6. YUSTINA P. MATUR
7. ADELGONDA F. JEHARUT
8. YOHANA SAMUL
9. YOHANA SIMUN
3. ETIOLOGI
a. Kecelakaan lalu lintas/jalan raya
b. Injuri atau jatuh dari ketinggian.
c. Kecelakaan karena olah raga. Di bidang olahraga, tersering karena
menyelam pada air yang sangat dangkal
d. Luka jejas, tajam, tembak pada daerah vertebra.
e. Pergerakan yang berlebih: hiperfleksi, hiperekstensi, rotasi berlebih,
stress
f. lateral, distraksi (stretching berlebih), penekanan.
g. Gangguan lain yang dapat menyebabkan cedera medulla spinalis
seperti spondiliosis servikal dengan mielopati, yang menghasilkan
saluran sempit dan mengakibatkan cedera progresif terhadap
medulla spinalis dan akar; mielitis akibat proses inflamasi infeksi
maupun noninfeksi; osteoporosis yang disebabkan oleh fraktur
kompresi pada vertebrata; siringmielia; tumor infiltrasi maupun
kompresi; dan penyakit vaskuler
7. KOMPLIKASI
Trauma tulang belakang bisamengakibatkan berbagai macam
komplikasi, diantaranya
a. Syok hipovolemik
akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstra sel ke jaringan yang
rusaksehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat
trauma.
b. Pendarahan Mikroskopik
Pada semua cidera madula spinalis atau vertebra,terjadi perdarahan-
perdarahan kecil.Yang disertai reaksi peradangan,sehingga
menyebabkan pembengkakan dan edema dan mengakibatkan
terjadinya peningkatan tekanan didalam dan disekitar
korda.Peningkatan tekanan menekan saraf dan menghambat aliran
darah sehingga terjadi hipoksia dan secara drastis meningkatkan
luas cidera korda.Dapat timbul jaringan ikat sehingga saraf didarah
tersebut terhambat atau terjerat.
c. Hilangnya Sensasi, Kontrol Motorik, Dan Refleks.
Pada cidera spinal yang parah, sensasi,kontrol motorik, dan refleks
setingg dan dibawah cidera korda lenyap. Hilangnya semua refleks
disebut syok spinal. Pembengkakan dan edema yang mengelilingi
korda dapat meluas kedua segmen diatas kedua cidera. Dengan
demkian lenyapnya fungsi sensorik dan motorik serta syok spinal
dapat terjadi mulai dari dua segmen diatas cidera.Syok spinal
biasanya menghilang sendiri, tetap hilangnya kontor sensorik dan
motorik akan tetap permanen apabila korda terputus akan terjadi
pembengkakan dan hipoksia yang parah.
d. Syok Spinal.
Syok spinal adalah hilangnya secara akut semua refleks-refleks dari
dua segmen diatas dan dibawah tempat cidera. Repleks-refleks yang
hilang adalah refleks yang mengontrol postur, fungsi kandung
kemih dan rektum, tekanan darah, dan pemeliharaan suhu tubuh.
Syok spinal terjadi akibat hilangnya secara akut semua muatan tonik
yang secara normal dibawah neuron asendens dari otak, yang
bekerja untuk mempertahankan fungsi refleks.Syok spinal biasanya
berlangsung antara 7 dan 12 hari, tetapi dapat lebih lama. Suatu
syok spinal berkurang dapat tmbul hiper reflekssia, yang ditadai
oleh spastisitas ototserta refleks, pengosongan kandung kemih dan
rektum.
e. Hiperrefleksia Otonom.
Kelainan ini dapat ditandai oleh pengaktipan saraf-saraf simpatis
secar refleks, yang meneyebabkan peningkatan tekanan darah.
Hiper refleksiaotonom dapat timbul setiap saat setelah hilangnya
syok spinal. Suatu rangsangan sensorik nyeri disalurkan kekorda
spnalis dan mencetukan suatu refleks yang melibatkan pengaktifan
sistem saraf simpatis. Dengan diaktifkan nya sistem simpatis,maka
terjadi konstriksi pembuluh-pembuluh darah dan penngkatan
tekanan darah system. Pada orang yang korda spinalisnya
utuh,tekanan darahnya akan segera diketahui oleh baro reseptor.
Sebagai respon terhadap pengaktifan baroreseptor,pusat
kardiovaskuler diotak akan meningkatkan stimulasi parasimpatis
kejantung sehingga kecepatan denyut jantunhg melambat,demikian
respon saraf simpatis akan terhenti dan terjadi dilatasi pembuluh
darah.Respon parasimpatis dan simpatis bekerja untuk secara cepat
memulihkan tekanan darah ke normal. Pada individu yang
mengalami lesi korda,pengaktifan para simpatis akan
memperlambat kecepatan denyut jantung dan vasodilatasi diatas
tempat cedera,namun saraf desendens tidak dapat melewati lesi
korda sehingga vasokontriksi akibat refleks simpatis dibawah
tingkat tersebut terus berlangsung. Pada hiperrefleksia
otonom,tekanan darah dapat meningkat melebihi 200 mmHg
sistolik,sehingga terjadi stroke atauinfark miokardium.Rangsangan
biasanya menyebabkan hiperrefleksia otonom adalah distensi
kandung kemih atau rektum,atau stimulasi reseptor-reseptor
permukaan untuk nyeri.
f. Paralisis
Paralisis adalah hilangnya fungsi sensorik dan motorik volunter.
Pada transeksi korda spinal, paralisis bersifat permanen. Paralisis
ekstremitas atas dan bawah terjadi pada transeksi korda setinggi C6
atau lebih tinggi dan disebut kuadriplegia. Paralisis separuh bawah
tubuh terjadi pada transeksi korda dibawah C6 dan disebut
paraplegia. Apabila hanya separuh korda yang mengalami transeksi
maka dapat terjadi hemiparalisis
8. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pertama SCI termasuk imobilisasi eksternal untuk
stabilisasi sementara, traksi untuk mendapatkan atau mempertahankan
alignment yang baik, dan farmakoterapi untuk meminimalisasi cedera
sekunder. Setelah transportasi dan evaluasi awal telah lengkap,
extended-external fixation atau intervensi bedah dapat dikerjakan.
Terakhir, disfungsi yang berhubungan dapat direhabilitasi.
4. PATOFISIOLOGI
Neuromuskular berupa sistem otot, skeletal, sendi, ligamen,
tendon, kartilago, dan saraf sangat mempengaruhi mobilisasi. Gerakan
tulang diatur otot skeletal karena adanya kemampuan otot berkontraksi
dan relaksasi yang bekerja sebagi sistem pengungkit. Tipe kontraksi
otot ada dua, yaitu isotonik dan isometrik. Peningkatan tekanan otot
menyebabkan otot memendek pada kontraksi isotonik. Selanjutnya,
pada kontraksi isometrik menyebabkan peningkatan tekanan otot atau
kerja otot tetapi tidak terjadi pemendekan atau gerakan aktif dari otot.
Gerakan volunter merupakan gerakan kombinasi antara kontraksi
isotonik dan kontraksi isometrik. Koordinasi dan pengaturan kelompok
otot tergantung tonus otot dan aktivitas dari otot yang berlawanan,
sinergis, dan otot yang melawan gravitasi. Tonus otot sendiri
merupakan suatu keadaan tegangan otot yang seimbang. Kontraksi dan
relaksasi yang bergantian melalui kerja otot dapat mempertahankan
ketegangan. Immobilisasi menyebabkan aktivitas dan tonus otot
menjadi berkurang
Pengaruh imobilisasi yang cukup lama akan terjadi respon
fisiologis pada sistem otot rangka. Respon fisiologis tersebut berupa
gangguan mobilisasi permanen yang menjadikan keterbatasan
mobilisasi. Keterbatasan mobilisasi akan mempengaruhi daya tahan
otot sebagai akibat dari penurunan masa otot, atrofi dan stabilitas.
Pengaruh otot akibat pemecahan protein akan mengalami kehilangan
masa tubuh yang terbentuk oleh sebagian otot. Oleh karena itu,
penurunan masa otot tidak mampu mempertahankan aktivitas tanpa
peningkatan kelelahan. Selain itu, juga terjadi gangguan pada
metabolisme kalsium dan mobilisasi sendi. Jika kondisi otot tidak
dipergunakan atau karena pembebanan yang kurang, maka akan terjadi
atrofi otot. Otot yang tidak mendapatkan pembebanan akan
meningkatkan produksi Cu, Zn. Superoksida Dismutase yang
menyebabkan kerusakan, ditambah lagi dengan menurunya catalase,
glutathioneperoksidase, dan mungkin Mn, superoksida dismutase,
yaitu sistem yang akan memetabolisme kelebihan ROS. ROS
menyebabkan peningkatan kerusakan protein, menurunnya ekspresi
myosin, dan peningkatan espresi komponen jalur ubiquitine proteolitik
proteosome. Jika otot tidak digunakan selama beberapa hari atau
minggu, maka kecepatan penghancuran protein kontraktil otot (aktin
dan myosin) lebih tinggi dibandingkan pembentukkannya, sehingga
terjadi penurunan protein kontraktil otot dan terjadi atrofi otot.
Terjadinya atrofi otot dikarenakan serabut-serabut otot tidak
berkontraksi dalam waktu yang cukup lama sehingga perlahan akan
mengecil dimana terjadi perubahan antara serabut otot dan jaringan
fibrosa. Tahapan terjadinya atrofi otot dimulai dengan berkurangnya
tonus otot. Hal ini myostatin menyebabkan atrofi otot melalui
penghambatan pada proses translasi protein sehingga menurunkan
kecepatan sintesis protein. NF-κB menginduksi atrofi dengan aktivasi
transkripsi dan ubiquinasi protein. Jika otot tidak digunakan
menyebabkan peningkatan aktivitas transkripsi dari NF-κB. Reactive
Oxygen Species (ROS) pada otot yang mengalami atrofi. Atrofi pada
otot ditandai dengan berkurangnya protein pada sel otot, diameter
serabut, produksi kekuatan, dan ketahanan terhadap kelelahan. Jika
suplai saraf pada otot tidak ada, sinyal untuk kontraksi menghilang
selama 2 bulan atau lebih, akan terjadi perubahan degeneratif pada otot
yang disebut dengan atrofi degeneratif. Pada akhir tahap atrofi
degeneratif terjadi penghancuran serabut otot dan digantikan oleh
jaringan fibrosa dan lemak. Bagian serabut otot yang tersisa adalah
membran sel dan nukleus tanpa disertai dengan protein kontraktil.
Kemampuan untuk meregenerasi myofibril akan menurun. Jaringan
fibrosa yang terjadi akibat atrofi degeneratif juga memiliki
kecenderungan untuk memendek yang disebut dengan kontraktur
5. PATHWAY
Imobilisasi
Perubahan sistem
Hambatan mobilitas kelemahan integumen ;
Defisit
fisik dekubitus
perawatan
diri
Resiko kerusakan
integritas kulit
Intoleransi aktivitas
6. TANDA DAN GEJALA
Adapun tanda dan gejala pada gangguan mobilitas fisik menurut
Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017) yaitu :
1) Tanda dan gejala mayor
Tanda dan gejala mayor subjektif dari gangguan mobilitas fisik,
yaitu mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas. Kemudian,
untuk tanda dan gejala mayor objektifnya, yaitu kekuatan otot
menurun, dan rentang gerak menurun.
2) Tanda dan gejala minor
Tanda dan gejala minor subjektif dari gangguan mobilitas fisik,
yaitu nyeri saat bergerak, enggan melakukan pergerakan, dan
merasa cemas saat bergerak. Kemudian, untuk tanda dan gejala
minor objektifnya, yaitu sendi kaku, gerakan tidak terkoordinasi,
gerakan terbatas, dan fisik lemah.
7. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien dengan masalah
gangguan mobilitas fisik yaitu dengan memberikan latihan rentang
gerak. Latihan rentang gerak yang dapat diberikan salah satunya yaitu
dengan latihan Range of Motion (ROM) yang merupakan latihan gerak
sendi dimana pasien akan menggerakkan masing-masing persendiannya
sesuai gerakan normal baik secara pasif maupun aktif. Range of Motion
(ROM) pasif diberikan pada pasien dengan kelemahan otot lengan
maupun otot kaki berupa latihan pada tulang maupun sendi dikarenakan
pasien tidak dapat melakukannya sendiri yang tentu saja pasien
membutuhkan bantuan dari perawat ataupun keluarga. Kemudian,
untuk Range of Motion (ROM) aktif sendiri merupakan latihan yang
dilakukan sendiri oleh pasien tanpa membutuhkan bantuan dari perawat
ataupun keluarga. Tujuan Range of Motion (ROM) itu sendiri, yaitu
mempertahankan atau memelihara kekuatan otot, memelihara mobilitas
persendian, merangsang sirkulasi darah, mencegah kelainan bentuk
(Potter & Perry, 2012).
Saputra (2013) berpendapat bahwa penatalaksanaan untuk
gangguan mobilitas fisik, antara lain :
1) Pengaturan posisi tubuh sesuai dengan kebutuhan pasien, seperti
memiringkan pasien, posisi fowler, posisi sims, posisi
trendelenburg, posisi genupectoral, posisi dorsal recumbent, dan
posisi litotomi.
2) Ambulasi dini
Salah satu tindakan yang dapat meningkatkan kekuatan dan
ketahanan otot serta meningkatkan fungsi kardiovaskular.
Tindakan ini bisa dilakukan dengan cara melatih posisi duduk di
tempat tidur, turun dari tempat tidur, bergerak ke kursi roda, dan
yang lainnya.
3) Melakukan aktivitas sehari-hari.
Melakukan aktivitas sehari-hari dilakukan untuk melatih kekuatan,
ketahanan, dan kemampuan sendi agar mudah bergerak, serta
mingkatkan fungsi kardiovaskular.
4) Latihan Range of Motion (ROM) aktif atau pasif.
8. KOMPLIKASI
Gangguan mobilitas fisik dapat menimbulkan komplikasi, yaitu
abnormalitas tonus, orthostatic hypotension, deep vein thrombosis,
serta kontraktur. Selain itu, komplikasi yang dapat terjadi adalah
pembekuan darah yang mudah terbentuk pada kaki yang lumpuh
menyebabkan penimbunan cairan daan pembengkaan. Kemudian, juga
menyebabkan embolisme paru yaitu sebuah bekuan yang terbentuk
dalam satu arteri yang mengalir ke paru. Selanjutnya yaitu dekubitus.
Bagian yang biasa mengalami memar adalah pinggul, pantat, sendi
kaki dan tumit. Bila memar ini tidak dirawat akan menjadi infeksi.
Atrofi dan kekakuan sendi juga menjadi salah satu komplikasi dari
gangguan mobilitas fisik. Hal itu disebabkan karena kurang gerak dan
mobilisasi. Komplikasi lainnya, seperti disritmia, peningkatan tekanan
intra cranial, kontraktur, gagal nafas, dan kematian (Andra, Wijaya,
Putri , 2013).
Tingkat
Aktivitas/Mobilitas Kategori
Tingkat 0 Mampu merawat diri sendiri secara
penuh.
Tingkat 1 Memerlukan penggunaan alat.
Tingkat 2 Memerlukan bantuan atau pengawasan
orang lain
Tingkat 3 Memerlukan bantuan, pengawasan orang
lain, dan peralatan.
Tingkat 4 Sangat tergantung dan tudak dapat
melakukan atau berpartisipasi dalam
perawatan
7) Perubahan Psikologis
Pengkajian perubahan psikologis yang disebabkan oleh adanya
gangguan aktivitas/mobilitas, antara lain perubahan perilaku,
peningkatan emosi, perubahan dalam mekanisme koping, dan
lain-lain.
b. Diagnosa keperawatan
1) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan adanya
gangguan neuromuskular
2) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan pada
ekstremitas
3) Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
penurunan mobilisasi
4) Defisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan
neuromuskular
c. Intervensi keperawatan
BAB II
LAPORAN KASUS
Pengkajian diambil : 29 September 2021
Tanggal MRS : 17 September 2021
Diagnosa masuk : Spinal Cord Injury
A. Identitas pasien
Nama : Ny. EB
Usia : 63 tahun
Status : Menikah
Suku : Manggarai
Agama : Katolik
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Petani
Alamat : Sita
Penanggung jawab : Ny. W
B. Riwayat Keperawatan
1. Keluhan utama :
Klien mengatakan nyeri pada leher
2. Keluhan saat pengkajian :
Ny. EB mengatakan nyeri pada leher dan badan terasa lemas dan sulit
bergerak
3. Riwayat penyakit sekarang :
Ny. EB masuk ke RS pada tanggal 17 September 2021, rujukan dari
pukesmas Borong setelah mengalami kecelakaan tertindis mobil saat
sedang menjemur pakayan, yang mengakibatkan tulang leher
mengalami cedera dan tangan bagian kiri sulit digerakan. Ny. EB
mengeluh nyeri pada leher dan aktivitas dibatasi karena mengalami
Spinal Cord Injury dimana segala kebutuhan pasien di bantu oleh
keluarga. Klien terpasang kateter, infus RL 7 tetes/menit, tanpak lemah
dan kulit banyak terdapat hematom.
4. Riwayat pengyakit terdahulu :
Ny. EB mengatakan pernah dirawat sebelumnya dengan keluhan sesak
nafas karena mengalami ASMA.
E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
1.Faal ginjal
urea s 17,1 Mg% 10-50mg%
creatinin 0,5 Mg% 0,6-1,1 mg%
urine acid 3,2 Mg% 3,4- 7,0 mg%
2. Gula darah
GDA 105 Mg% 120mg%
3. Faal hati
SGOT 65,2 U/l 31 U/l
SGPT 38,1 U/I 31 U/l
Bill total 0,27 Mg% 1,0 mg%
Bill direct 0,13 Mg% 0,28 mg%
2. Pemeriksaan diagnostik
Terapi
Obat Golongan Indikasi Efek samping
1.Ringer laktat Kristaloid sebagai Nyeri dada,
pengganti penurunan
cairan ekstrasel tekanan
yang hilang darah,
atau mengatasi kesulitan
dehidrasi bernapas,
isotonik. gatal- gatal.
mengatsi
kekurangan
garam
mengatasi
ketidakseimban
gan antara
asam dan basa
(asidosis
metabolik),
(asidosis
metabolik
ringan).
pengantian
elektrolit pada
luka bakar
2.Ketorolac Antiinflamasi meredakan Berat badan
nonsteroid peradangan naik, sakit
dan nyeri perut, mual
muntah.
Omeprazol Pump inhibitors mengurangi Nyeri perut,
kadar asam sakit kepala,
lambung rendahnya
kadar kalium
dalam darah,
gangguan
pencernaan,
reaksi alergi
obat seperti:
munculnya
ruam, pusing
dan sesak
napas.
Metronidazole Antibiotik uretritis dan Pusing, Sakit
vagnitis karena kepala, mual
trichomonas muntah,
vaginalis, hilangnya
amoebiasis nafsu makan,
intestinal dan diare,
hepar, sembelit.
pencegahan
infeksi anerob
pasca oprasi,
giardiasis
karena giardia
lambliasis.
F. Analisa Data
NO DATA MASALAH ETIOLOGI
1. DS : Hambatan mobilitas Gangguan
- klien mengatakan nyeri fisik neuromuskular
pada tulang belakang,
leher dan tangan kiri
- Klien mengatakan susah
menggerakan tubuhnya
- klien mengatakan susah
menggerakkan tangan
kirinya, dan kedua
kakinya
- klien mengatakan nyeri
saat bergerak
DO :
- keadaan umum sedang
- tingkat kesadaran
composmentis
- TTV ;TD =113/67
mmHg. N=67 x/menit, S
=36,5, RR =19 x/menit
- klien tampak lemah
- klien tampak hanya
berbaring di tempat tidur
- kekuatan otot
3 3
3 3
-
INTERVENSI KEPERAWATAN
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
EVALUASI KEPERAWATAN
Andra Saferi Wijaya & Yessie Mariza Putri. (2013). KMB 2 Keperawatan Medikal
Bedah Keperawatan Dewasa. Yogyakarta: Nuha Medika
Brunner & Suddarth. 2013. Keperawatan Medikal Bedah, ed-12. Jakarta : EGC
Lemone, Priscilla. 2015. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta. EGC
Mubarak & Chayatin (2008), Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia Teori dan Aplikasi
dalam Praktik, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Rencana Asuhan Keperawatab Medikal Bedah : Diagnosis NANDA-I 2015-2017
intervensi NIC hasil NOC/ editor, Deni Yasmara, Nursiswati, Rosyidah
Arafat ; editor penyelaras Bhetsy Angelina, Monica Ester, Pamilih Eko
Karyuni. –Jakarta : EGC, 2016.
Saputra, L. (2013). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Tanggerang Selatan: Bina Rupa
Aksara
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar diagnosis keperawatan indonesia Definisi dan
indikator Diagnostik. Edisi 1. Cetakan 3 (Revisi). Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
YasmaraDeni,Nursiswati,dkk.2017.RencanaAsuhanKeperawatanMedikalBedah.ja
karta:EGC