Anda di halaman 1dari 97

A.

Hernia Nukleus Pulposus


1. Definisi

Hernia Nukleus pulposus (HNP) adalah suatu keadaan dimana terjadi penonjolan pada
diskus intervertebralis ke dalam kanalis vertebralis (protrusi diskus ) atau nucleus pulposus
yang terlepas sebagian tersendiri di dalam kanalis vertebralis (rupture discus).

2. Etiologi
Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya HNP adalah sebagai berikut:
• Riwayat trauma
• Riwayat pekerjaan yang perlu mengangkat beban beban berat, duduk, mengemudi
dalam waktu lama.
• Sering membungkuk.
• Posisi tubuh saat berjalan.
• Proses degeneratif (usia 30-50 tahun).
• Struktur tulang belakang.
• Kelemahan otot-oto perut, tulang belakang.

3. Patofisiologi
Sebagian besar heniasi diskus, terjadi di daerah lumbal di antara ruang L4 ke L5 atau L5 ke
S1. Protrusi atau ruptur nukleus pulposus biasanya didahului dengan perubahan degeneratif
yang terjadi pada proses penuaan. Kehilangan protein polisakarida dalam diskus
menurunkan kandungan air nukleus pulposus. Perkembangan pecahan yang menyebar di
anulus melemahkan pertahanan pada herniasi nukleus. Setela trauma (jatuh, kecelakaan,
dan stress minor berulang seperti mengangkat) kartilago dapat cedera.
Pada kebanyakan pasien, gejala trauma segera bersifat khas dan singkat, dan gejala ini
disebabkan oleh cedera pada diskus yang tidak terlihat selama beberapa bulan maupun
tahun. Kemudian pada degenerasi pada diskus, kapsulnya mendorong ke arah medula
spinalis atau mungkin ruptur dan memungkinkan nukleus pulposus terdorong terhadap
sakus dural atau terhadap saraf spinal saat muncul dari kolumna spinal.
Hernia nukleus pulposus ke kanalis vertebralis berarti bahwa nukleus pulposus menekan
pada radiks yang bersama-sama dengan arteria radikularis berada dalam bungkusan dura.
Hal ini terjadi kalau tempat herniasi di sisi lateral. Bilamana tempat herniasinya ditengah-
tengah tidak ada radiks yang terkena. Lagipula,oleh karena pada tingkat L2 dan terus
kebawah sudah tidak terdapat medula spinalis lagi, maka herniasi di garis tengah tidak
akan menimbulkan kompresi pada kolumna anterior.
Setelah terjadi hernia nukleus pulposus sisa duktus intervertebralis mengalami lisis
sehingga dua korpora vertebra bertumpang tindih tanpa ganjalan.
4. Macam-macam HNP
a. HNP sentral
HNP sentral akan menimbulkan paraparesis flasid, parestesia, dan retensi urine

b. HNP lateral
Rasa nyeri terletak pada punggung bawah, ditengah-tengah antara pantat dan betis,
belakang tumit dan telapak kaki. Ditempat itu juga akan terasa nyeri tekan. Kekuatan
ekstensi jari ke V kaki berkurang dan refleks achiler negatif. Pada HNP lateral L 4-5
rasa nyeri dan tekan didapatkan di punggung bawah, bagian lateral pantat, tungkai
bawah bagian lateral, dan di dorsum pedis. Kekuatan ekstensi ibu jari kaki berkurang
dan refleks patela negatif. Sensibilitas [ada dermatom yang sdesuai dengan radiks yang
terkena menurun. Pada percobaan lasegue atau test mengnagkat tungkai yang lurus
(straigh leg raising) yaitu mengangkat tungkai secara lurus dengan fleksi di sendi
panggul, akan dirasakan nyeri disepanjang bagian belakang (tanda lasefue positif).
Valsava dab nafsinger akan memberikan hasil posistif .

Arah tersering dari herniasi nucleus pulposus adalah posteolateral. Karena aka saraf di
daerah lumbal, miring ke bawah sewaktu keluar melalui foramen saraf. Herniasi diskus
antara L5 dan S1 lebih mempengaruhi akar saraf S1. Herniasi diskus antara L4 dan L5
menekan saraf L5.

5. Tanda dan Gejala


• Nyeri punggung yang menyebar ke ekstremitas bawah
• Spasme otot.
• Peningkatan rasa nyeri bila batuk, mengedan, bersin, membungkuk, mengangkat
beban berat, berdiri secara tiba-tiba.
• Kesemutan, kekakuan, kelemahan pada ekstermitas.
• Deformitas.
• Penurunan fungsi sensori, motorik.
• Konstipasi, kesulitan saat defekasi dan berkemih.

Gejala dan tanda penyakit henia diskus berdasarkan letak:


Lokasi Akar Nyeri Kelemahan Parestesia Atrofi Refleks
Herniasi Syaraf otot
yg
terkena
L4 ke L5 L5 Di atas Dapat Tungkai Tidak Reflex
sendi menyebabk lateral, ada lutut dan
sakroiliaka an kaki bagian pergelanga
, panggul, lunglai distal kaki, n kaki
aspek (footdrop), di antara berkurang.
lateral kesulitan jari kaki
paha dan dorsifleksi pertama
betis, kaki dan dan kedua
aspek atau jempol
medial kaki,
kaki (nyeri kesulitan
yang berjalan
menyebar dengan
ke bawah tumit
ke panggul
dan
tungkai
disebut
skiatika)
L5 ke S1 S1 Di atas Dapat Pertengah Gastron Reflex
sendi menyebabk an betis knemius pergelanga
sakroiliaka an dari aspek n kaki
, bagian melemahny lateral mungkin
posterior a kaki, berkurang
seluruh fleksiplantar termasuk atau hilang
tungkai , abduksi jari kaki
sampai ke jari-jari kaki keempat
tumit, dan otot dan
aspek hamstring, kelima
lateral kesulitan
kaki berjalan
jinjit
C5 ke C6 C6 Nyeri biseps Aspek Tidak Reflex
leher yang radial ada bisep
menyebar lengan berkurang
ke bahu, atas, atau hilang
lengan, jempol
dan lengan dan
atas telunjuk

6. Penatalaksanaan
a. Konservatif bila tidak dijumpai defisit neurologik :
• Tidur diatas kasur yang keras
• Exercise digunakan untuk mengurangi tekanan atau kompresi saraf.
• Terapi obat-obatan : muscle relaxant, nonsteroid, anti inflamasi drug dan analgetik.
• Terapi panas dingin.
• Imobilisasi atau brancing, dengan menggunakan lumbosacral brace atau korset
• Terapi diet untuk mengurangi BB.
• Traksi lumbal
• Transcutaneus Elektrical Nerve Stimulation (TENS).
b. Pembedahan
Macam-macam pembedahan
• Laminectomy hanya dilakukan pada penderita yang mengalami nyeri menetap dan
tidak dapat diatasi, terjadi gejala pada kedua sisi tubuh dan adanya gangguan
neurology utama seperti inkontinensia usus dan kandung kemih serta foot droop.
Laminectomy adalah suatu tindakan pembedahan atau pengeluaran atau
pemotongan lamina tulang belakang dan biasanya dilakukan untuk memperbaiki
luka pada spinal. Laminectomy adalah pengangkaan sebagian dari discus lamina
(Barbara C. Long, 1996).Laminectomy adalah memperbaiki satu atau lebih lamina
vertebra, osteophytis, dan herniated nucleus pulposus.
• Disektomi : Mengangkat fragmen herniasi atau yang keluar dari diskus
intervertebral
• Faraminotomi.
Pembedahan diskus dan permukaan sendi untuk mengangkat tulang yang menekan
syaraf.
• Mikrodisektomi
Penggunaan mikroskop saat operasi untuk melihat potongan yang mengganggu dan
menekan serabut syaraf
Indikasi pembedahan:
• Pasien yang mengalami nyeri rekalsitran persisten
• Pasien yang sering mengalami nyeri meskipun telah dilakukan terapi konservatif
• Pasien dengan gangguan neurologic besar, seperti: kelemahan motorik progresif
akibat cedera akar saraf atau inkontinensia urine atau alvi.

7. Komplikasi
• Kelemahan dan atropi otot
• Trauma serabut syaraf dan jaringan lain
• Kehilangan kontrol otot sphinter
• Paralis / ketidakmampuan pergerakan
• Perdarahan
• Infeksi dan inflamasi pada tingkat pembedahan diskus spinal

BAB III

PEMBAHASAN KASUS

KASUS 4
Tn. Munir (48 th) mengeluh nyeri pinggang menjalar ke kaki. Kedua kaki seperti kesemutan
sejak 2 minggu yang lalu. Hasil pemeriksaan fisik ditemukan postur berjalan normal, saat duduk
Tn. Munir selalu memilih kursi dengan senderan punggung dan tangan. Lab menunjukan hasil
normal.

Pengkajian
1. Wawancara
a. Pola aktivitas/istirahat:
Klien mengatakan:
• mengemudi dalam waktu lama, karena pekerjaannya sebagai pengemudi truk
sampah
• penurunan rentang gerak dari ekstermitas pada salah satu bagian tubuh, tidak
mampu melakukan aktivitas yang biasanya dilakukan.
b. Eliminasi : klien mengatakan mengalami kesulitan BAB sejak 2 hari yang lalu
c. Nyeri / kenyamanan :
Klien mengatakan:
• Nyeri seperti tertusuk pisau
• Nyeri pinggang yang menjalar ke kaki, bokong (lumbal)
• tidak dapat membungkuk ke depan.
d. Neurologi: Klien mengatakan kakinya seperti kesemutan sejak 2 minggu yang lalu.
Kesemutan yang dirasakan pada kaki terdapat di jari-jari kaki.
2. Pemeriksaan fisik
a. TTV: TD 130/90 mmHg, S: 37˚C, N: 90 x/menit, P: 18x/menit
b. BB: 57 kg TB: 165 cm
c. Postur berjalan normal
d. Saat duduk membutuhkan kursi dengan senderan
e. Penurunan reflex lutut dan pergelangan kaki
3. Pemeriksaan penunjang
a. Laboraturium
-Darah lengkap:
Eritrosit: 5jt/CU.mm
Trombosit: 180.000 mm3/ dl
Leukosit: 9000 / dl
b. Foto polos lumbosakral: memperlihatkan penyempitan pada keping sendi
c. CT scan lumbosakral : dapat memperlihatkan letak disk protusion.
d.MRI ; dapat memperlihatkan perubahan tulang dan jaringan lunak divertebra serta
herniasi. Ada herniasi.
e.Lumbal punctur : untuk mengetahui kondisi infeksi dan kondisi cairan serebro spinal.

Analisa Data

Data Objektif Data Subjektif


• TTV: TD 130/90 mmHg, S: Klien mengatakan:
37˚C, N: 90 x/menit, P: • mengemudi dalam waktu lama, karena
18x/menit pekerjaannya sebagai pengemudi truk
• BB: 57 kg TB: 165 cm sampah
• Postur berjalan normal • penurunan rentang gerak dari
• Saat duduk membutuhkan ekstermitas pada salah satu bagian
kursi dengan senderan tubuh, tidak mampu melakukan
• Penurunan reflex lutut dan aktivitas yang biasanya dilakukan.
pergelangan kaki • Klien mengatakan sebelumnya tidak
• Klien tampak cemas pernah mengalami hal seperti ini
• Nyeri seperti tertusuk pisau
• Nyeri pinggang yang menjalar ke
kaki, bokong (lumbal)
• tidak dapat membungkuk ke depan.
• kakinya seperti kesemutan sejak 2
minggu yang lalu. Kesemutan yang
dirasakan pada kaki terdapat di jari-
jari kaki
• Takut terjadi sesuatu yang buruk pada
dirinya, sehingga tidak dapat bekerja
untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarganya.

Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri b.d Kompresi saraf yang dimanifestasikan oleh klien mengatakan nyeri pada
bagian punggung yang menjalar ke kaki
2. Risiko gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuskulus
3. Ansietas b.d tidak efektifnya koping individual

Renpra HNP

Diagnosa Tujuan Intervensi


Nyeri b.d Kompresi saraf Setelah dilakukan askep • Kaji nyeri secara
yang dimanifestasikan 3 jam tingkat komprehensif ( lokasi,
oleh klien mengatakan kenyamanan klien karakteristik, durasi,
nyeri pada bagian meningkat, nyeri frekuensi, kualitas dan
punggung yang menjalar terkontrol. faktor presipitasi ).
ke kaki • Observasi reaksi
KH: nonverbal dari ketidak
nyamanan.
• Klien melaporkan • Gunakan teknik
nyeri berkurang dg komunikasi terapeutik
scala 2-3 untuk mengetahui
• Ekspresi wajah pengalaman nyeri klien
tenang sebelumnya.
• klien dapat istirahat • Kontrol faktor
dan tidur lingkungan yang
• v/s dbn mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan.
• Kurangi faktor presipitasi
nyeri.
• Pilih dan lakukan
penanganan nyeri
(farmakologis/non
farmakologis).
• Ajarkan teknik non
farmakologis (relaksasi,
distraksi dll) untuk
mengetasi nyeri..
• Kolaborasi pemberian
analgetik untuk
mengurangi nyeri.
• Evaluasi tindakan
pengurang nyeri/kontrol
nyeri.
• Kolaborasi dengan
dokter bila ada komplain
tentang pemberian
analgetik tidak berhasil.
• Monitor TTV
• Evaluasi efektifitas
analgetik, tanda dan
gejala efek samping.
Risiko gangguan mobilitas Setelah dilakukan askep, • Kaji kemampuan pasien
fisik b.d kerusakan terjadi peningkatan dalam melakukan
neuromuskulus Ambulasi :Tingkat ambulasi
mobilisasi, Perawtan • Kolaborasi dg fisioterapi
diri. untuk perencanaan
ambulasi
KH: • Latih pasien ROM pasif-
Peningkatan aktivitas aktif sesuai kemampuan
fisik • Ajarkan pasien
berpindah tempat secara
bertahap
• Evaluasi pasien dalam
kemampuan ambulasi

Pendidikan kesehatan
• Edukasi pada pasien dan
keluarga pentingnya
ambulasi dini
• Edukasi pada pasien dan
keluarga tahap ambulasi
• Berikan reinforcement
positip atas usaha yang
dilakukan pasien.
Ansietas b.d tidak Setelah dilakukan askep, Penurunan kecemasan :
efektifnya koping cemas terkontrol dengan • Bina hubungan saling
individual percaya dengan klien /
KH: keluarga
• Secara verbal dapat • Kaji tingka kecemasan
mendemonstrasikan klien.
teknik menurunkan • Tenangkan klien dan
cemas. dengarkan keluhan klien
• Mencari informasi dengan atensi
yang dapat • Jelaskan semua prosedur
menurunkan cemas tindakan kepada klien
• Menggunakan setiap akan melakukan
teknik relaksasi tindakan
untuk menurunkan • Dampongi klien dan ajak
cemas berkomunikasi yang
• Menerima status terapeutik
kesehatan. • Berikan kesempatan
pada klien untuk
mengungkapkan
perasaannya.
• Ajarkan teknik relaksasi
• Bantu klien untuk
mengungkapkan hal-hal
yang membuat cemas.
• Kolaborasi dengan tim
kesehatan lain untuk
pemberian obat
penenang, jika di
perlukan

Jika klien akan dilakukan operasi, maka diagnosa yang mungkin muncul adalah:

a. Pre Operasi:

Diagnosa Keperawatan
• Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan kompresi syaraf, spasme otot.
• Intoleransi aktivitas berhubungan dengan nyeri dan ketidakmampuan spasme otot,
therapi restriktif (tirah baring, traksi),kerusakan neuromuskular.
• Koping indifidu inefektif, cemas berhubungan dengan krisis situasi, status
kesehatan, status sosioekonomik, peran fungsi gangguan nyeri berulang,
ketidakkuatan relaksasi dan metode koping.
• Kurang pengetahuan mengenai sumber-sumber informasi.
Rencana Asuhan Keperawatan
Diagnosa Tujuan Intervensi
Gangguan rasa nyaman : Setelah dilakukan • Kaji adanya keluhan
nyeri berhubungan tindakan keperawatan, nyeri, catatan lokasi,
dengan kompresi syaraf, gangguan rasa nyaman : lamanya, faktor
spasme otot nyeri dapat teratasi. pencetus, intensitas
Kriteria hasil (skala 0-10);
Melaporkan nyeri pertahankan tirah
hilang / terkontrol. (skala baring selama fase
0-3) dapat melakukan akut, posisi
tehnik relaksasi semifowler dengan
tulang spinal,
pinggang dan lutut
fleksi, posisi
terlentang atau lateral
• Gunakan logroll
(papan)
selamamelakukan
perubahan posisi
• Bantu pemasangan
brace / korset;
• Batasi aktivitas selama
fase akut sesuai
dengan kebutuhan
• Letakan senua
kebutuhan agar mudah
di jangkau pasien
• Anjurkan untuk
melakukan mekanika
tubuh yang tepat
• Berikan analgesik
sesuai indikasi.
Intoleransi aktivitas Setalah dilakukan • Berikan tindakan
berhubungan dengan tindakan keperawatan, pengamanan sesuai
nyeri dan aktivitas klien bertahap. indikasi
ketidakmampuan spasme • Bantu pasien untuk
otot, therapi restriktif Kriteria Hasil melakukan latihan
(tirah baring, Pemahaman tentang rentang gerak aktif-
traksi),kerusakan situasi / faktor resiko dan pasif, anjurkan pasien
neuromuskular. aturan therapi, untuk melatih kaki
Mempertahankan atau bagian bawah, catat
meningkatkan kekuatan adanya edema,
dan fungsi tubuh yang eritma, dan tanda
sakit. homan,
• Berikan perawatan
kulit dengan baik /
message dan periksa
keadaan kulit di
bawah korset pada
priode tertentu,
berikan obat
penghilang rasa nyeri
kurang lebih 30 menit
sebelum / sesudah
ambulasi.
b. Post Operasi
Diagnosa Keperawatan:
• Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan / terhentinya aliran
darah (edema area operasi, pembentukan hematoma), hipovolemia.
• Resiko tinggi trauma (spinal) berhubungan dengan kelemahan temporer dari
kolumna spinal, kesulitan keseimbangan, perubahan dalam koordinasi otot.
• Pola nafas inefekif behubungan dengan obstuksi / edema trakeal, bronkial,
penurunan ekspansi paru paru, nyeri.
• Gangguan rasa nyaman : nyeri behubungan dengan tindakan pembedahan,
edema, inflamasi.
• Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kerusakan neuromoskular, keterbatasan
akibat kondisi, nyeri.
• Gangguan eliminasi fekal : Konstipasi berhubungan dengan nyeri dan bengkak
pada area bedah, imobilisasi, penurunan aktivitas fisik, perubahan stimulasi
syaraf, stres emosi, kurang privasi, perubahan / pembatasan masukan diet.
• Resiko tinggi gangguan eliminasi urine : retensi berhubungan dengan nyeri dan
bengkak pada area operasi, kebutuhan terhadap tetap berbaring di tempat tidur.

Rencana Asuhan Keperawatan


Diagnosa Tujuan Intervensi
Perubahan perfusi Setelah dilakukan tindakan • Kaji pergerakan /
jaringan berhubungan keperawatan, perubahan sensasi dari
dengan penurunan / perfusi jaringan dapat ekstermitas bawah
terhentinya aliran teratasi. kaki (lumbal),
darah (adema area pertahankan pasien
operasi, pembentukan Kriteria Hasil dalam posisi
hematoma), Melakukan pergerakan terlentang sempuna
hipovolemia. dengan tepat. selama beberapa
jam, ukur tanda
vital, catat
kehangatan dan
pengisian kapiler,
pantau pengeluaran
drain jika ada,\
• Palpasi area operasi
untuk mengetahui
adema dan inspeksi
balutan untuk
melihat pengeluaran
drainse,berikan
therapi cairan /
darah sesuai
indikasi
• Kolaborasi
pemeriksaan lab
(Hb, Ht, dan sel
darah merah).

Resti trauma (spinal) Setelah dilakukan tindakan, • Berikan papan pada


berhubungan dengan resti trauma (spinal) tidak bawah tempat
kelemahan temporer terjadi. tidur / matras yang
dari kolumma spinal, Kriteria Hasil keras
kesulitan Mempertahankan • Batasi aktivitas
keseimbangan, kesejajaran yang tepat dari klien, Ubah posisi
perubahan dalam spinal. Mengenai pasien secara
kordinasi otot. kebutuhan / mencari bersamaan dari satu
bantuan dengan aktivitas. sisi ke sisi yang
lain, dan berlahan
• Hindari posisi
duduk dalam waktu
yang lama
• Hindari ketegangan,
perputaran, fleksi
atau tekanan pada
spinal
• Observasi tekanan
darah, catat adanya
pusing dan
kelemahan,
pakaikan brace /
korset, limbal yang
sesuai
• Rujuk ke ahli
fisiotheraphi

Terapi Medis
Terapi medis yang dapat diberikan, adalah Morfin atau Ketorolac
• Analgetik Narkotik (Morfin)
Indikasi: penatalaksanaan nyeri kronik pada pasien yang perlu analgesic opioid
Dosis: (-) opioid: 10-15 mg.
KI: depresi pernapasan, penyakit obstruksi jalan napas, penyakit hati akut
ES: hipoventilasi, mual, muntah
• OAINS (ketorolac)
Indikasi:
Pengobatan jangka pendek terhadap rasa nyeri akut yang sifatnya sedang sampai berat
setelah operasi. Lama penggunaan Ketorolak tidak boleh lebih dari 5 hari. Disarankan
Ketorolak parenteral diberikan segera sesudah operasi. Pada penderita, pemberian
Ketorolak harus diganti ke analgesik alternatif sesegera mungkin tetapi lama terapi
dengan ketorolak tidak boleh lebih dari 5 hari. Ketorolak tidak dianjurkan untuk
digunakan sebagai obat kebidanan sebelum operasi atau sebagai analgesik kebidanan
karena belum cukup diadakan penelitian yang adekuat mengenai hal ini dan karena
diketahui efek obat tersebut menghambat biosintesis prostaglandin pada kontraksi rahim
dan sirkulasi fetus.
Dosis:
Dosis awal yang dianjurkan (dewasa):
10 mg dilanjutkan dengan 10-30 mg setiap 4-6 jam sesuai dengan kebutuhan. Harus
diberikan dosis efektif terendah. Dosis total sehari tidak boleh lebih dari 90 mg untuk
dewasa dan 60 mg untuk usia lanjut, gagal ginjal dan penderita <50 kg. Durasi
maksimum dari pengobatan tidak boleh lebih dari 2 hari. Dosis efektif terendah dan
sesingkat mungkin harus dipakai untuk semua penderita. Total dosis dalam sehari tidak
boleh lebih dari 90 mg (60 mg untuk usia lanjut, penderita dengan gagal ginjal dan
penderita <50 kg).
Instruksi Dosis Khusus:
Penderita usia lanjut:
Untuk penderita >65 tahun, dianjurkan memakai batas dosis terendah. Dosis total sehari
tidak boleh melebihi 60 mg.
• Efek samping
• Sistem Syaraf (23% dari pemberian IV) : Sakit kepala, pusing, cemas, depresi,
sulit berkonsentrasi, nervous, kejang , tremor bermimpi, halusinasi, insomnia vertigo,
psikosis.
• Gastro Intestin : (12-13% ) Mual, diare, konstipasi, sakit lambung, perasaan
kenyang, muntah, kembung, luka lambung, tidak ada nafsu makan, sampai pendarahan
lambung & saluran pembuangan
• Kulit : (2-4% dari pemberian IV) Sakit di daerah tmp. Penyuntikan (IM),
kemerahan, hematoma gatal, berkeringat
• Reaksi sensitifitas : Syok anafilaksis Ginjal, elektrolit & efek genitourinari :
Kerusakan fungsi ginjal pada pemberian jangka panjang (2-3%)
• Efek pada hati : Kenaikan konsentrasi SGOT & SGPT dalam serum Efek ke
Jantung & saluran darah : (4% dari pemberian IV) hipertensi, hipotensi, pembengkakan.
• Efek pada darah : meningkatkan risiko pendarahan, trombositopenia,
• Efek pada mata & telinga : Gangguan penglihatan & pendengaran Sindrom
Stevens-Johnson

Penkes Pada Pasien


Hal-hal yang dapat disampaikan pada penkes untuk pasien adalah:
• Apabila nyeri punggung sudah reda atau berkurang, sebaiknya klien melakukan olahraga
bertahap untuk memperkuat otot punggung dan andomen.
• Klien perlu membatasi tindakan mengangkat barang serta menggunakan mekanika tubuh
secara benar.

Adapun scoring tersebut adalah :

RESPON SCORING

1. Membuka Mata = Eye open (E) 4


 Spontan membuka mata
3
 Terhadap suara membuka mata
 Terhadap nyeri membuka mata 2
 Tidak ada respon
1

2. Motorik = Motoric response (M) 6


 Menurut perintah
5
 Dapat melokalisir rangsangan sensorik di
kulit (raba) 4
 Menolak rangsangan nyeri pada anggota
gerak 3
 Menjauhi rangsangan nyeri (fleksi 2
abnormal)/postur dekortikasi
 Ekstensi abnormal/postur deserebrasi 1
 Tidak ada respon
3. Verbal = Verbal response (V) 5
 Berorientasi baik
4
 Bingung
 Kata-kata respon tidak tepat 3
 Respon suara tidak bermakna
2
 Tidak ada respon
1

SINDROMA GUILLAIN BARRE

A. SINDROMA GUILLAIN BARRE

1. Pengertian
Sindroma Guillain Barre (SGB) merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis
flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah
saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis.

Sindroma Guillain Barre adalah penyakit yang menyerang radiks saraf yang bersifat akut dan
yang menyebabkan kelumpuhan yang gejalanya dimulai dari tungkai bagian bawah dan meluas
keatas sampai tubuh dan otot-otot wajah. Penyakit ini dapat mengancam jiwa yaitu berupa
kelemahan yang dimulai dari anggota gerak distal yang dengan cepat dapat merambat ke
proximal. Nama lain dari sindroma Guillaain Barre adalah Poli radikulo neuropati inflamasi
akut atau PIA.

2. Sejarah

Pada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry pertama kali menulis
tentang penyakit ini, sedangkan istilah landry ascending paralysis diperkenalkan oleh Westphal.
Osler menyatakan terdapatnya hubungan SGB dengan kejadian infeksi akut. Pada tahun 1916,
Guillain, Barre dan Strohl menjelaskan tentang adanya perubahan khas berupa peninggian
protein cairan serebrospinal (CSS) tanpa disertai peninggian jumlah sel. Keadaan ini disebut
sebagai disosiasi sitoalbuminik.

Nama SGB dipopulerkan oleh Draganescu dan Claudian. Menurut Lambert dan Murder
mengatakan bahwa untuk menegakkan diagnosa SGB selain berdasarkan gejala
klinis,pemeriksaan CSS, juga adanya kelainan pada pemeriksaan EMG dapat membantu
menegakkan diagnosa. Terdapat perlambatan kecepatan hantar saraf pada EMG.

3. Etiologi

Teori yang berlaku sekarang menganggap GBS, merupakan suatu npenyakit autoimun
oleh karena adanya antibody antimyelin yang biasannya didahului dengan faktor pencetus.
Sedangkan etiologinya sendiri yang pasti belum diketahui, diduga oleh karena :

a.Infeksi : missal radang tenggorokan atau radang lainnya


b. Infeksi virus :measles, Mumps, Rubela, Influenza A, Influenza B, Varicella
zoster, Infections mono nucleosis (vaccinia, variola,
hepatitis inf, coxakie)
c.Vaksin : rabies, swine flu
d. Infeksi yang lain :Mycoplasma pneumonia, Salmonella thyposa, Brucellosis,
campylobacter jejuni
e.Keganasan : Hodgkin’sdisease, carcinoma,lymphoma
Dimana faktor penyebab diatas disebutkan bahwa infeksi usus dengan campylobacter
jejuni biasanya memberikan gejala kelumpuhan yang lebi9h berat. Hal ini dikarenakan strujtur
biokimia dinding bakteri ini mempunyaipersamaan dengan struktur biokimia myelin pada radik,
sehingga antibodyyang terbentuk terhadap kuman ini bisa juga menyerang myelin.

Pada dasarnyaguillain barre adalah “self Limited” atau bisa timbuh dengan sendirinya.
Namun sebelum mencapai kesembuhan bisa terjadi kelumpuhan yang meluas sehingga pada
keadaan ini penderita memerlukan respirator untuk alat Bantu nafasnya.

4. Patofisiolagi

Gullain Barre Syndrome diduga disebabkan oleh kelainan system imun lewat mekanisme
limfosit medialed delayed hypersensivity atau lewat antibody mediated demyelinisation. Masih
diduga, mekanismenya adalah limfosit yang berubah responya terhadap antigen.

Limfosit yang berubah responnya menarik makrofag ke saraf perifer, maka semua saraf
perifer dan myelin diserang sehingga selubung myelin terlepas dan menyebabkan system
penghantaran implus terganggu.

Karena proses ditujukan langsung pada myelin saraf perifer, maka semua saraf perifer
dan myelin saraf perifer, maka semua saraf dan cabangnya merupakan target potensial, dan
biasannya terjadi difus. Kelemahan atau hilangnya system sensoris terjadi karena blok konduksi
atau karena axor telah mengalami degenerasi oleh karena denervasi. Proses remyelinisasi
biasannya dimulai beberapa minggu setyelah proses keradangan terjadi.
5. Pemerisaan penunjang

Lumbal Pungsi (LP)

LP secara spesifik digunakan untuk demyelinasi sugestif (dengan kata lain, menilai
protein yang menigkat) yang tidak disertai bukti adanya infeksi atau peradangan aktif (ketiadaan
CSF pleocytosis), seperti yang dikatakan oleh Guillain dan Barré pada awalnya.

Pada pemeriksaan lumbal pungsi, kebanyakan pasien (90%), tetapi tidak pada semua
pasien terjadi peninggian protein likuor (>400 mg/L) (>550 ) tanpa disertai peninggian sel
likuor. Pada waktu 24–48 jam , likuor bisa masih normal dan setelah satu minggu baru
meninggi. Walaupun disebutkan , bahwa tidak ada peningkatan dalam jumlah sel (kurang dari 10
leukosit per cc), namun kadang-kadang pada beberapa pasien bisa naik sedikit.
Protein likuor yang normal tidak menyingkirkan adanya SGB, sebab pada 10 % kasus
protein tetap normal dan peninggian protein likuor baru terlihat sampai 1 – 2 minggu setelah
permulaan kelumpuhan. Peningkatan sel dalam likuor pasien SGB yang tipikal , meningkatkan
kemungkinan adanya Lyme´s disease, neoplasma, infeksi HIV , meningitis sarkoid dan penyakit-
penyakit lain 6. Pemeriksaan antibodi juga dapat dilakukan karena bisa terdapat antibodi terhadap
saraf perifer dan sentral. Pasien dengan varian Miller–Fisher bisa mempunyai antibodi terhadap
GQ1b dan pasien-pasien yang menpunyai antibodi terhadap subtipe GM1 mempunyai prognosis
yang lebih buruk.

Pada pemeriksaan CSF dalam 48 jam gejala pertama, kadang tidak didapatkan kelainan
dan adakalanya protein tidak meningkat dalam satu minggu. Kebanyakan pada pasien terjadi
sedikit peningkatan kurang lebih 10 leukosit/cc, tetapi adakalanya meningkat 10 sampai 50
sel/cc.

Pada hasil pungsi lumbal dan analisa cairan otak, pada pasien ini didapatkan peningkatan
protein yang cukup bermakna, sedangkan pemeriksaan antibodi saraf tidak dilakukan karena
sudah dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya selain itu terbentur dengan
masalah keuangan dari pasien.

Foto

MRI : Pada hari ke-13 setelah terlihat gejala, Lumbosacral MRI menunjukkan
peningkatan pada akar nervus cauda equina dengan peningkatan pada gadolinium. Hasil sensitif
sampai 83% untuk GBS akut dan terjadi pada 95% kasus yang khas.

a. EKG
Pemeriksaan Elektrokardiogram dapat terlihat berbagai kelainan pada EKG, termasuk
blok atrioventrikuler (AV-block) derajat 2 dan 3, kelainan pada T-wave, depresi ST, melebarnya
QRS dan berbagai gangguan pada ritme jantung

b. EMG

EMG dapat membantu menetapkan diagnosis pada SGB, dengan jalan mengukur
aktivitas listrik dari otot terhadap respons stimulasi listrik. Juga akan diukur kecepatan hantar
saraf (KHS / NCV) sepanjang suatu saraf. EMG dilakukan dengan elektrode jarum dan KHS /
NCV diukur dengan menempatkan elektrode tempel pada kulit dan merangsang saraf perifer.
Penurunan / perlambatan pada KHS / NCV kadang-kadang baru bisa terlihat setelah 2-3 minggu.

Penurunan KHS sampai hanya 20% dari normal, dihubungkan dengan suatu prognosis
yang buruk. Menurut guideline National Institute of Neurological and Communicative Disorders
and Stroke (NINDS); maka penemuan elektrodiagnostik yang cenderung kearah GBS adalah
hilangnya H-refleks, CMAP sensorik dengan amplitudo rendah atau hilang dan F-wave yang
abnormal

c. Pemeriksaan lain
• Tanda vital, kapasitas pernapasan dan output dari air seni pasien harus dimonitor

• Intubasi dan mekanisme ventilasi harus dipertimbangkan ketika kapasitas vital berada
dibawah 15 mL/kg/BB atau tekanan oksigen pada arteri berada dibawah 70 mmHg (atau
pasien terlihat kelelahan).

• Dalam keadaan akut, hipotensi orthostatik dan retensi air seni juga bisa menyebabkan
permasalahan penting.

• Pada minggu kedua, potensi penurunan tindakan berbagai otot (CMAP, 100%),
perpanjangan distal laten (92%) dan penurunan kecepatan konduksi motor (84%).

d. Penemuan khusus pada Sindrom Guillain-Barré :

• Pada bentuk demyelinasi, ditemukan demyelinasi dan infiltrasi mononuclear.


• Limfosit dan makrofag berkumpul di pembuluh endoneural dan menyebabkan suatu
demyelinasi yang berdekatan.
• Luka ini dapat terpisah dan tersebar di sepanjang sistem saraf perifer, walaupun mungkin
dapat menjadi suatu predileksi inflamasi pada akar nervus.
• Konduksi blok dan demyelinasi nervus motorik mengakibatkan kelemahan yang
progresif pada sindrom ini. Jika nervus sensoris yang terkena maka akan menunjukkan ke
arah sakit dan paresthesias.
• Banyak penulis percaya bahwa mekanisme penyakit terjadi karena respons yang
berlebihan dari T sel yang abnormal dari infeksi terdahulu. Berbagai antigen spesifik
mungkin dilibatkan pada respon ini, mencakup Myelin P-2 dan ganglioside GM1.
• Baru-baru ini, wabah untuk Sindrom Guillain-Barré telah dicatat pada tiap-tiap tahun di
area pedesaan di Negara Cina Utara, terutama sekali sepanjang musim panas. Ini telah
dihubungkan dengan infeksi dari Clostridium jejuni dan banyak dari pasien ini yang
mempunyai antibodi antiglycolipid. Pada bentuk axonal Sindrom Guillain-Barré, spesimen
biopsi mengungkapkan degenerasi dari serabut Wallerian-like pd serabut nervus di ventral
dan dorsal, dengan hanya demyelinasi minimal atau infiltrasi dari limfosit. Lesi axonal
dipengaruhi oleh serabut sensoris dan serabut motorik. Walaupun bentuk pada Sindrom
Guillain-Barré telah dihubungkan dengan infeksi Campylobacter, tetapi hal itu merupakan
suatu komplikasi infeksi yang jarang.

1. Penatalaksanaan pada SINDROMA GUILLAIN BARRE

Penatalaksanaan pasien SGB seringkali sangat rumit dan pengobatan medis dan
perawatan yang baik sangat mempengaruhi keluaran (outcome). Dalam fase dini yang masih
progresif, harus dilakukan observasi yang seksama dan perawatan di rumah sakit adalah wajib.
Karena terjadi perbaikan spontan pada kebanyakan kasus, maka penatalaksanaan
terutama ditujukan pada perawatan yang baik dan menghindari komplikasi infeksi sekunder,
namun penatalaksanaan tetap rumit dan melelahkan.
Walaupun dalam kepustakaan disebutkan, bahwa hanya 2 jenis terapi (plasmaferesis dan
Imunoglobulin) yang secara spesifik dapat mempengaruhi jalannya penyakit, namun terdapat
tindakan2 lain yang membantu untuk mencegah terjadinya komplikasi yang sering menyertai
penyakit ini.Pengobatan medikamentosa pada saat ini terutama ditujukan pada imunomodulasi.
Menurut petunjuk guideline dari American Academy of Neurology (AAN), maka pengobatan
SGB yang dimulai secara dini dalam waktu 2 – 4 minggu setelah gejala pertama timbul, dapat
mempercepat waktu penyembuhan. Hanya plasmaferesis (plasma exchange therapy) dan
imunoglobulin intravena (IVIg 7s) yang terbukti efektif. Kedua modalitas pengobatan ini telah
terbukti dapat memperpendek waktu penyembuhan sampai 50 % , namun harganya mahal dan
ada kesukaran dalam cara memberi dan efektivitas ke 2 regimen pengobatan itu hampir sama dan
komparabel.
Sekarang ini pengobatan lebih diarahkan pada imunomodulasi. Terapi yang lebih efektif
yaitu dengan pemberian imunogobulin secara intravena (IVIG, intravenous immunoglobin).
IVIG, telah digunakan untuk terapi gejala Sindrom Guillain-Barré. IVIG sangat
menolong dalam mengurangi beratnya penyakit terutama pada durasi dari gejala penyakit
tersebut. Tidak berpengaruh apa-apa pada pemberian jangka panjang.
IVIg terdiri dari antibodi eksogen yang dikumpulkan (pooled exogenous antibodies) yang
didapatkan dari beribu-ribu donor. Mekanismenya belum begitu diketahui, namun antibody
eksogen tersebut ber-interaksi pada beberapa tempat yang berlainan , termasuk pengikatan (
binding) pada oto-antibodi pada tempat-tempat antigenik yang idiotipik dan pada sel T untuk
memodulasi sitem imun. Dosis yang direkomendasi dalam sebulan adalah 2g/kg dibagi dalam
dosis selama 5 hari, yang diberikan secara perlahan-lahan untuk menghindari efek samping.
Dosis ulangan biasanya 1 g / kg selama 1 – 2 hari. Dosis yang paling efektif belum ditemukan
secara pasti, namun half-life dari IVIg adalah sekitar 4 minggu dan pengulangan pemberian
setiap bulan dapat diterima ( reasonable) dengan tujuan untuk mengurangi dosis secara perlahan-
lahan (slowly tapering) berdasarkan keadaan klinisnya pasien. Respons terjadi dalam 2-4
minggu
IVIG biasanya dipakai 5 hari pada 0.4 g/kg/d, yang mengakibatkan peningkatan setelah
2-3 hari terapi atau dengan pemberian IVIG 2 g/kg à single dose. Plasmapharesis, biasanya pasa
anak-anak pemberian plasmapharesis bisa menurunkan gejala berat dan memperpendek durasi
dari Sindrom Guillain-Barré. Perawatan dengan plasmapharesis diberikan antara 4 sampai 5 kali
selama lebih dari 7 sampai 10 hari. Komplikasi potensial termasuk kelainan saraf otonom,
hiperkalsemia dan defesiensi faktor perdarahan dan pembekuan.
Hasil dari pemberian plasmapharesis dan IVIG sama saja, tetapi IVIG lebih kecil efek
sampingnya. Steroid sebelumnya digunakan untuk pengobatan Sindrom Guillain-Barré, tetapi
kurang efektif. Konsultasi dengan dokter ahli saraf harus dipertimbangkan untuk
mengkonfirmasikan suatu hasil diagnosa. Pasien yang mendapatkan jangka penyembuhan yang
lama, bisa konsultasi dengan dokter spesialis rehabilitasi. Aktivitas, sekecil apapun harus
didukung. Pada pasien dengan kelemahan, gejala otonom (misalnya, hipotensi orthostatik)
aktivitas sebaiknya dibatasi.

Walaupun terbukti menurunkan beratnya penyakit dan memperpendek waktu adanya


gejala, namun outcome jangka panjang belum jelas dipengaruhi oleh obat-obatan ini
Plasmaferesis (PE): secara historis dan case control studies terbukti menurunkan beratnya
penyakit dan gejala-gejalanya dan memperpendek durasi SGB, namun efeknya biasanya tidak
segera dan tidak dramatis. PE seringkali digunakan pada anak2 dan pada sindroma Miller
Fisher; suatu varian SGB, namun belum ada bukti definitif mengenai efektivitas PE pada ke 2
penyakit ini, namun telah dipakai secara luas. PE sebaiknya diberikan secepat mungkin pada
penderita SGB yang tidak dapat berjalan tanpa bantuan (unable to walk unassisted).
Plasma yang akan diganti dalam 4-5x PE yang dilakukan dalam jangka waktu 7 – 10 hari
seluruhnya adalah kira-kira 250 cc/kgbb. Harus dipakai suatu alat dengan pengaliran yang terus-
menerus (continuous flow machine), dan cairan pengganti plasma yang dipakai adalah albumin
5%. Pelaksanaan PE yang lebih intensif, misalnya setiap hari tidak dianjurkan, PE biasanya
aman dan ditoleransi dengan baik. Untuk melakukan PE dipilih vena perifer yang baik dan bisa
juga dilakukan didaerah subklavia.
Komplikasi yang bisa timbul adalah instabilitas otonom, hiperkalsemia dan perdarahan
karena faktor pembekuan ikut dihilangkan dan infeksi.
Imunoglobulin intravena (IVIG 7s) : dipakai untuk memperbaiki aspek klinis dan
imunologis dari SGB dan mengurangi produksi otoantibodi dan meningkatkan pelarutan dan
penyingkiran kompleks imun. IVIg menetralisir antibodi mielin yang bersirkulasi melalui
antibodi anti idiotipik dan men- down-regulate sitokinin pro-inflamatoir termasuk interferon
gamma (INF-gamma). Selain itu juga memblok kaskade komplemen dan mempromosikan
terjadinya remielinisasi. Dosis dewasa adalah 0,4 g/kg/hari selama 5 hari (total 2g selama 5 hari)
atau cara lain dengan pemberian 2g/kg IVIg yang diberikan sekaligus sebagai dosis tunggal. 1 2
dengan pemberian dengan pompa infus (infusion pump), dan bila perlu diulang setelah 4 minggu,
sehingga juga memerlukan beaya yang banyak.
Pemberian IVIG adalah aman dan lebih mudah daripada PE, namun harganya mahal.
IVIG berguna di rumah-rumah sakit, dimana tidak ada fasilitas PE. Kontraindikasi adalah
hipersensitivitas terhadap regimen ini dan defisiensi IgA dan antibodi anti IgE / IgG. Tidak ada
interaksi dengan obat ini dan sebaiknya tidak diberikan pada kehamilan.
Sebaiknya diperiksa serum IgA sebelum pemakaian IVIg. Harus diketahui pula, bahwa
pemberian IVIg dapat meninggikan viskositas serum dan ada kemungkinan terjadinya kejadian
tromboembolik, dan infus tersebut juga meninggikan risiko terjadinya serangan migren, dan bisa
terjadi aseptik meningitis (10%), urtikaria, pruritus atau petechiae yang bisa terjadi 2-5 hari post-
infus sampai 30 hari. Juga ada peningkatan risiko terjadinya nekrosis renal tubuler pada manula,
dan pada penderita diabetes, juga bila ada penyakit ginjal sebelumnya.
Perubahan hasil laboratorium yang ada hubungan dengan infus tersebut adalah
peninggian titer antibodi antiviral dan antibakterial selama 1 bulan dan bisa terjadi peningkatan
LED sampai sebesar 6 kali selama 2-3 minggu dan hiponatremia. Jarang sekali bisa terjadi
reaksi allergi dan hipotensi
Plasmaferesis dan Imunoglobulin, yang disebut juga terapi spesifik pada SGB perlu
dipertimbangkan terutama pada kasus-kasus asenden yang cepat dengan disertai gangguan
pernafasan untuk mengurangi waktu perawatan di ICU. Visser et al (1998)15 dalam uji kliniknya
mengemukakan, bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara pemberian plasmaferesis
dibandingkan dengan IVIg saja atau dengan IVIg yang dikombinasi dengan metilprednisolon,
namun the Dutch Guillain-Barre Study Group 16 mengemukakan hasil uji kliniknya , yang
menyatakan bahwa IVIg dalam kombinasi dengan metilprednisolon 0,5 g sehari selama 5 hari
lebih efektif daripada terapi tunggal IVIg.
Albumin dipakai pada plasmaferesis, karena plasma pasien harus diganti dengan suatu
substitusi plasma dengan pemberian 50 mL/kg dan agaknya juga bisa menyingkirkan
otoantibodi dan imun kompleks dari serum dan juga menyingkirkan konstituen sitotoksik dari
serum . Kontraindikasi adalah oedema pulmoner dan insufisiensi renal. Tidak ada interaksi dan
sebaiknya tidak diberikan pada kehamilan.
Kortikosteroid tidak lagi direkomendasikan untuk terapi pada SGB. Walaupun demikian,
kortikosteroid yang menurut kepustakaan tidak berguna.Bahwa ada hasil dengan memberikan
kombinasi steroid dengan IVIg atau dengan plasmaferesis , masih belum jelas betul, namun
karena potensi plasmaferesis untuk meningkatkan produksi antibodi, maka suatu kombinasi
pemberian plasmaferesis dengan kortikosteroid dianjurkan. Cara pemberian adalah dengan dosis
tinggi dan diturunkan perlahan-lahan (tapering off) dengan menggunakan prednison atau
metilprednisolon, yang efek sampingnya lebih sedikit. Terdapat berbagai cara pemberiannya, a.l
prednison dapat diberikan dengan dosis awal 1 mg/kg (biasanya 60-100 mg/hari untuk orang
dewasa). Dosis tinggi dipertahankan sampai adanya perbaikan klinis yang bermakna, lalu
selanjutnya pemberian dosis yang sama alternating setiap 2 hari sampai 2 minggu , lalu
diturunkan secara tapering off dengan dosis 10 mg setiap 2 minggu sampai tercapai dosis 10
mg/hari (alternating), lalu diturunkan lagi dengan 5 mg/hari pada hari ke 2 (alternating day) dan
akhirnya tidak makan obat pada hari ke 2 , lalu diberikan terapi 1 mg/hari setiap 2 hari. Kadang-
kadang dipilih metilprednisolon, karena efek samping dikatakan lebih sedikit. Metilprednisolon
dapat diberikan dengan dosis 500 mg sehari selama 5 hari 18 lalu di tapering off.
Prognosis yang buruk dihubungkan dengan progresivitas gejala yang cepat, umur lanjut,
ventilasi lama (> 1bulan) dan penurunan amplitudo potensial aksi otot yang besar, (yang
menandakan adanya gangguan aksonal) pada pemeriksaan neuromuskuler. Pada uji klinik yang
dipublikasikan dinyatakan, bahwa penyembuhan sempurna bisa diharapkan pada 50 - 95 %
kasus. Pada anak-anak, outcome SGB lebih baik.
Pada Miastenia Gravis (MG) sistem imun menghentikan kerja neurotransmiter dengan
jalan memblok atau merusak reseptor di paut saraf-otot ( neuromuscular junction ), sehingga
mencegah otot untuk berkontraksi. Akibatnya adalah, bahwa akan terjadi kelemahan otot ,
karena penghambatan dari pesan khemis (chemical messages) ini . Biasanya seorang penderita
MG mengalami pemburukan gejala setelah melakukan latihan fisik dan akan merasa lebih baik
setelah beristirahat. Penyakit ini bisa menyerang otot-otot mata terlebih dahulu dan kadang-
kadang penyakit berlanjut dan menelan , mengunyah dan berbicara bisa terganggu. MG jarang
menyebabkan kematian, kecuali bila otot pernafasan terkena.
Suatu cara lain adalah pemberian dosis dari rendah dan secara perlahan-lahan
meninggikannya selama beberapa minggu. Walaupun terdapat berbagai cara pemberian
prednison dengan dosis tinggi, namun tujuannya adalah sama , yaitu untuk secepatnya merubah
kedalam dosis selang-seling ( alternative day dosing) untuk mengurangi efek samping jangka
pendek , yaitu berat badan yang bertambah, hiperglikemi, osteopeni, erosi gaster dan duodenum
dan katarak. Dosis yang pasti dan cara pemberian dari prednison harus di cocokkan (tailored)
pada setiap pasien tergantung kebutuhannya . Suatu pemberian jangka pendek dari 2g
metilprednisolon secara iv yang disusul dengan infus kedua 5 hari kemudian kadang-kadang
efektif untuk menghentikan krisis miastenia, namun belum ada uji klinik yang baik mengenai hal
ini.13
Prednison adalah suatu steroid dan sering dihubungkan dengan berbagai efek samping.
Bila terjadi efek samping yang tidak dapat ditoleransi dan kegagalan pengobatan, maka dapat
diberikan imunosupresan yang lain , misalnya azatioprin / imuran. 6 dan siklofosfamide, dan
harus diketahui bahwa obat-obatan ini bisa baru bekerja setelah 6 – 12 / 8 – 12 bulan.15,16
Pemberian inhibitor AChR tidak selalu menghasilkan suatu remisi dan hasilnya adalah
dalam jangka pendek, sehingga seringkali harus dikombinasi dengan imunosupresan.
Terapi kombinasi dengan steroid dan azatioprin dianggap superior, dibandingkan dengan
steroid saja dan ada yang merekomendasikan prednisolon dengan dosis rendah, dan dinaikkan
secara perlahan-lahan sampai dosis maksimum 1 mg/kg bb selang sehari (alternating) dan
pemberian secara selang sehari ini akan mencegah terjadinya efek samping yang berat, terutama
osteoporosis. Peninggian dosis steroid yang cepat akan menyebabkan kelemahan yang
bertambah dan harus dicegah , kecuali bila dirawat di rumah sakit. 16
Azatioprin (Imuran)telah dipakai pada pasien yang tidak responsif, tidak ada toleransi
terhadap obat, atau yang mengalami relaps dengan kortikosteroid dan juga dipakai sebagai suatu
obat yang mengurangi dosis steroid (steroid-sparing agent) yang diberikan secara bersamaan
dengan prednison untuk mengurangi efek samping jangka panjang, namun harus diketahui
bahwa azatioprin kurang efektif sebagai monoterapi dibandingkan dengan prednison. Dosisnya
berbeda-beda, dengan tujuan untuk meninggikan mean corpuscular volume atau penurunan
leukosit, sedangkan ada juga yang memberikan suatu dosis tetap yang berdasarkan berat badan,
biasanya 3-5 mg/kg/hari. Beberapa hal harus diketahui tentang pengobatan dengan azatioprin
yaitu:
 mulai kerjanya lama (long delay of onset of action ) yaitu sampai 24 bulan sebelum
terlihat adanya steroid-sparing effect.

 Selain itu terjadi efek samping pada 10% pasien , dengan gejala-gejala seperti flu, yaitu
nausea, febris, menggigil , artralgia atau keluhan GI yang biasanya langsung hilang, bila
pengobatan dihentikan.

 Supresi sumsum tulang terjadi pada semua pasien, namun jarang menjadi penyebab
penghentian terapi bila dilakukan monitoring dengan baik

 Terdapat suatu kekhawatiran akan adanya peninggian risiko terjadinya kanker , terutama
limfoma setelah terapi selama 10 – 20 tahun.

Karena efek azatioprin baru terlihat setelah 6 – 12 / 8 – 12 bulan 16 17 , maka


peranan steroid menjadi sangat krusial pada fase ini . Bila azatioprin mulai bekerja, kadang-
kadang malahan lebih dini, maka dapat dilakukan penurunan dosis steroid secara perlahan-lahan
( slow tapering off) sampai tercapai dosis maintenance yang paling rendah yang dapat
mengontrol gejala-gejalanya MG. Obat-obatan imunosupresan lain perlu dipertimbangkan pula,
bila azatioprin tidak dapat ditoleransi dengan baik, atau karena tidak ada efeknya. Metotreksat,
siklosporin, siklofosfamid atau mikofenolat dapat ditambahkan .
Siklosporin didapatkan efektif dalam suatu uji klinik yang kecil terutama sebagai suatu
steroid-sparing agent, namun harus diketahui efek sampingnya , yaitu insufisiensi ginjal,
hipertensi, nyeri kepala dan hirsutisme.
BAB III

Asuhan Keperawatan Pada kasus SINDROMA GUILLAIN BARRE

A. Kasus

Tn. kamto usia 45 thn berkerja wiraswastawan, bangun tidur dipagi hari mengeluh tidak bisa
berjalan . sebelumnya dia mengalami diare-diare 2hari dan demam kira-kira 1 minggu
sebelumnya. Sebelum sakit Tn kamto sangat aktif baik dalam pekejaannya, olahraga lari pagi,
berkebun, mengendarai kendaraan dan merawat dirinya.dia belum pernah dirawat di RS
sebelumnya. Hasil pemeriksaan fisik tidak di temukan tanda-tanda obyektif yang menunjukan
stroke. Dua hari kemudian kondisi Tn. Kamto bertambah buruk , tidak mampu menelan air
liurnya, kelemahan pada kedua ekstermitas atasnya dan akhirnya menggunakan alat bantu
pernafasan (ventilator) dan kemungkinan dipasang tracheostomi. Hasil lumbal punctie pada
cairan cerebrospinal di temukan protein tinggi dan tekanan meningkat,leokositosis.

B. Pengkajian

1. Pengkajian Data

Data subjektif Data Objektif


Bangun tidur di pagi hari mengeluh tidak bisa Hasil pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-
berjalan tanda objektif yang menunjukakan stroke
Sebelumnya dia mengalami diare-diare dan Kelemahan pada kedua ekstrmitas atasnya dan
demam kira-kira 1 minggu sebelumnya akhirnya menggunakan alat bantu pernapasan
(ventilator)
Tidak mampu menelan air liurnya Hasil lumbal pungsi cairan serebrospinal
ditemukan protein tinggi dan tekanan
meningkat, leukositosis
Sebelum sakit sangat aktif baik dalam
pekerjaannya, olahraga lari pagi, berkebun,
mengendarai kendaraan dan merawat dirinya

2. Pemeriksaan Sistem Syaraf Kranial

Syaraf kranial Fungsi Hasil


I (Olfaktorius) Sensasi bau Normal
II ( Optikus) Pengelihatan Dengan Snelen: buram
nervus III, IV, VI Gerakan mata, konstriksi Noemal
(Oculomotorius, Trochlear pupil, otot siliaris
dan Abducens)
V ( Trigeminal) Sensasi Wajah, reflek Kornea, Sensasi wajah: Nampak kaku
Mengunuyah Kornea: Normal
Mengunyah : agak kaku
VII Vestibokokulear Keseimbangan dan Pendengeran: Normal
pendengaran Keseimbangan: tidak bisa
berdiri
IX Glosofaringeus Rasa kecap Kemempuan menggerakan
lidah kaku, namun masih bisa
merasakan rasa asin, manis,
pait
X( vagus) Konstraksi Faring, vita suata Klien mengatakan ada
hambatan untuk menelan.
XI (Aksesorius) Gerekan Otot Streno Merasa seperti susah
menggerakan
XII (Hipohlosus) Gerakan lidaj kaku

3.Perhitunag Pemeriksaan reflek

Reflek Nilai Normal Hasil


Bisep +2 +1
Trisep +2 +1
Brakhialis +2 +1
Patella +2 0
Angkle +2 0
Konstraksi Abdominal +2 +1
Babinski +2 0

4. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan Normal Hasil Keterangan


Lumba Pungsi Peningkatan protein Terjadinya lisis
>430 Mg/L myelin di otak
EMG hilangnya H-refleks, Penemuan
CMAP sensorik elektrodiagnostik
dengan amplitudo yang cenderung
rendah atau hilang kearah GBS
dan F-wave yang
abnorma
EKG kelainan pada T-wave, Kelainan hantaran
depresi ST, syaraf ke jantung,
melebarnya QRS dan karena hilangnya
berbagai gangguan mielin
pada ritme jantung
C. Analisa
Dari data yang didapat maka kita bisa menyimpulkan

Analisa Data

Data Masalah Etiologi


DS:  Pola napas danKelemahan otot-
pertukaran gas tidakotot bantu
Tidak mampu menelan air liurnya efektif pernapasan

DO:  Kurang nutrisi b.d

 Pernapasan cepat , dangkal, dan


ireguler
 Pengembangan dada tidak
maksimal
 Kelemehan pada ekstrimitas
atas
 GDA kurang dari normal

 menggunakan ventilator
DS: imobilisasi Paralisis pada
ektrimitas
 Bangun tidur di pagi hari bawah, otot
mengeluh tidak bisa berjalan aksesori
pernapasan serta
DO: otot kranial X
(vagus)
 Kelemahan pada kedua
ekstremitas atasnya

 Kekuatan otot

D. Diagnosa

1. Pola Napas tidak Efektif b.d kelemahan/ paralisis otot pernapasan

2. Nutrisi perubahan: Kurang dari kebutuhan b.d kerusakan otat vagus sehingga
menyebabkan kesulitan dalam menelan

3. Mobilitas Fisik b.d paralisis syaraf

E. Implementasi
Dx Tujuan dan KH Implementasi
Pola Napas tidak Membuat / Selidiki Etiologi gagal Pemahaman penyebab
Efektif b.d mempertahankan pernapasan masalah pernapasan
kelemahan/ paralisis pola pernafasan penting untuk
otot pernapasan efektif melalui perawatan pasien
ventilator
Pantau Frekuensi, Peningkatan distress
kedalaman dan pernapasan men
kesimetrisan unjukan adanya
pernapasan, catat kelelahan pada otot
peningkatan napas dan pernapasan
observasi warna kulit
Periksa selang Lipatan selang
terhadap obstr,uksi . mencegah penerimaan
Contoh terlipat atau volume adekuat dan
akumulasi air . Alirkan meningkatkan tekanan
selang sesuai indikasi , jalan napas . Air
hindari aliran ke pasien mencegah distribusi
atau kembali kedalam gas dan pencetus
wadah pertumbuhan bakteri
Periksa fungsi alaram Sangat penting apabila
Ventilator, Jangan terdapat tanda- tanda
matikan alaram , distres pernafasan atau
meskipun untuk henti napas
penghisapan, Yakinkan
bahwa alaram
terdengar ke kantor
perawat
Kolaborasi
Kaji volume tidal ( 10- Mengawasi jumlah
15 ml /kg ) Yakinkan udara inspirasi dan
fungsi spirometer ekspirasi . Perubahan
baik . Catat perubahan dapat menunjukkan
dari pemberian volume gannguan komplain
yang terbaca pada paru atau kebocoran
komputer melalui mesin.
Observasi persentasi Nilai untuk
konsentrasi oksigen , mempertahankan
yakinkan bahwa aliran
persentase oksigen
olsigen tepat , awasi
yang dapat diterima
analisa oksigen ataudan saturasi untuk
lakukan analisa
kondisi pasien ( 21%
oksigen periodik sampai 100% ) .
Karena mesin tidak
selalu akurat, analiser
oksigen dapat
digunakan untuk
memastikan apakah
pasien menerima
konsentrasi oksigen
yang diinginkan
Nutrisi perubahan: Menunjukan berat Kaji kemampuan Kelemahan otot yang
Resiko Kurang dari badan stabil, mengunyah, menelan, hipotensi menunjukan
kebutuhan b.d normalisasi nilai- batuk pada keadaan kebutuhan akan
kerusakan otat vagus nilai lab, tidak teratur penggunaan NG
sehingga yanda-tanda mal
menyebabkan nutrisi
kesulitan dalam
menelan
Auskultasi bising Usus
Perubahan pungsi
lambung dapat terjadi
akibat paralisis
Catat masukan kalori Menidentifikasi
tiap hari kekurangan makanan
dan kebutuhannya.
Timbang BB tiap hari Mengkaji keefektipan
aturan diet
Kolaborasi
Berikan makanan Makanan suplementasi
TKTP dapat meningkatkan
pemasukan nutrisi
Pasang pertahankan Diaberikan jika pasien
selang NG. berikan tidak bisa menelan
makanan enteral
Mobilitas Fisik b.d Tujuan: Kaji kekuatan R/ Menentukan
paralisis syaraf Untuk motorik / kemampuan perkembangan/
mempertahankan secara fungsional munculnya kembali
posisi fungsi dengan dengan menggunakan tanda yang
tak ada komplikasi skala 0-5. menghambat
( kontraktur , tercapainya tujuan /
dekubitus) harapan pasien
KH: Klien dapat
meningkatkan
kekuatan dan fungsi
bagian yang sakit
Tindakan
keperawatan
Berikan posisi pasien R/ Menurunkan
yang menimbulkan kelelahan ,
rasa nyaman . Lakukan meningkatkan
perubahan posisi relaksasi . Menurunkan
dengan jadwal yang resiko terjadinya
teratur sesuai iskemia / kerusakan
kebutuhan secara pada kulit
individual

Sokong ekstrimitas dan R/ Mempertahankan


persendian dengan ekstrimitas dalam
bantal posisi fisiologis ,
mencegah kontraktur.

Lakkukan latihan R/ Menstimulasi


rentang gerak pasif . sirkulasi.,
Hindari latihan aktif meningkatkan tonus
selama fase akut otot dan meningkatkan
mobilisasi sendi

Koordinasikan asuhan R/Penggunaan otot


yang diberikan dan secara berlebihan dapat
periode istirahat tanpa meningkatkan waktu
gangguan yang diperlukan untuk
remielinisasi ,
arenanya dapat
memperpanjang waktu
untuk penyembuhan

Anjurkan untuk R/ Kegiatan latihan


melakukan latihan pada bagian tubuh
yang terus yang terkena yang
dikembangkan dan ditingkatkan secara
bergantung pada bertahap / terprogram ,
toleransi secara meningkatkan fungsi
individual organ secara normal
dan memiliki efek
psikologis yang positif

Berikan lubrikasi / R/ Mencegah dari


minyak artifisial sesui kekeringan tubub
kebutuhan klien.
Kolaborasi

Konfirmasikan R/ Bermanfaat dalam


dengan / rujuk menciptakan kekuatan
kebagian terapi fisik / otot secara
terapi okupasi individual /latihan
terkondisi dan program
latihan berjalan dan
mengidentifikasi alat
bantu untuk
mempertahankan
mobilisasi dan
kemandirian dalam
melakukan aktivitas
sehari- hari

F. Pendidikan Kesehatan bagi klien

Banyak pasein sindroma SGB mengalami pemulihan yang sempurna dalam beberapa
minggu atau bulan. Pasiean-pasien yang pernah mengalami paralisis total dan tahan lama
mungkin membutuhkan rehabilitasi yang terus dilakukan setelah kleian keluar dari RS. Program
yang luas akan bergantung pada pengkajian yang dibutuhkandibuat oleh anggota tim kesehatan.
Alternatif program yang komperhensif bagi pasien jika dikurangi adalah penting dan dukungan
sosial dibatasi untuk program dirumah terhadap terapi fisik dan okupasi

Fase penyembuhan mungkin lama dan akan membutuhkan kesabaran dan keterlibatan semua
pihak dan keluarga untuk mengembalikan kamampuan sebelumny. Awitan yang akut dan
perkembangan yang dramatic dari gejala-gejala yang tidak dapat dilakukan penyelesaianya
dengan tiba-tiba dalam mengubah fungsi-fungsi. Kelompok pendukung SGB dapat membantu
selama fase pemulihan
Ajarkan keluarga untuk sering menggerak-gerakan bagian tubuh yang paralisis, serta
selalu melakukan perubahan posisi tubuh klien untuk mencegah dekubitus. Menyarankan untuk
membersihkan selang NG dengan mengaliri air putih setelah makan. Hal ini untu menjaga
kebersihan selang. Mengajarkan keluarga untuk terus berkomunikasi dengan klien, mengajarkan
klien berbicara, karena paralisis pada bagian mulut akan menyababkan klien sulit berbicara.
Berikan bakanan tinggi kalori dan tinggi protein.

Menjaga klien dari infeksi merupakan hal yang penting, hindarkan berhubungan dengan
orang yeng mempunyai penyakit infeksi. Karena pakaian imunodepresan mengurangi
kemampuan klien untuk melawan virus dan bakteri.

KASUS III

Tn. Meni usia 23 tahun ditemukan jatuh dan kejang-kejang seluruh tubuh keluar busa,
inkotinensia urine dan fesesnya selama kurang lebih 1-2 menit kemudian pingsan beberapa saat.
Dia dibawa ke rumah sakit oleh temannya yang berjalan bersamanya. Dari hasil interview
keluarganya kondisi ini sering berulang dan berlangsung sejak usia anak-anak. Hasil
pemeriksaan fisik dan penunjang N: 90x/menit, TD: 120/70mmHg, S:36,40C, P:22x/menit, EEG
abnormal, MRI terdapat focal abnormal.

Dx medis : Epilepsi

Epilepsi, berasal dari bahasa Yunani (Epilepsia) yang berarti


'serangan'. Perlu diketahui, epilepsi tidak menular, bukan penyakit
keturunan, dan tidak identik dengan orang yang mengalami
ketebelakangan mental. Bahkan, banyak penderita epilepsi yang
menderita epilepsi tanpa diketahui penyebabnya

Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya


gejala-gejala yang datang dalam serangan-serangan, berulang-ulang
yang disebabkan lepasan muatan listrik abnormal sel-sel saraf otak, yang bersifat reversible
dengan berbagai etiologi. Serangan ialah suatu gejala yang timbulnya tiba-tiba dan menghilang
secara tiba-tiba pula.

Epilepsi adalah gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi otak berat yang
dikarakteristikan oleh kejang berulang. Keadaan ini dapat dihubungkan dengan tingkat
kesadaran, gerakan berlebihan atau hilangnya tonus otot atau gerakan dan gangguan perilaku,
alam perasaan, sensasi, dan persepsi. Sehingga epilepsy bukan penyakit tetapi suatu gejala.
Masalah dasarnya diperkirakan dari gangguan listrik (disritmia) pada sel saraf pada salah satu
bagian otak, yang menyebabkan sel ini mengeluarkan muatan listrik abnormal, berulang, dan
tidak terkontrol. Karakteristik kejang epileptic adalah suatu manifestasi muatan neuron
berlebihan ini.

Pesan dari tubuh dibawa oleh neuron-neuron (sel-sel saraf) dari otak diartikan dalam bentuk
pelepasan energi elektrokimia sepanjang jalan neuron-neuron. Impuls-impuls ini terjadi dalam
bentuk ledakan sewaktu-waktu sebuah sel saraf yang mempunyai tugas untuk melakukannya.
Kadang-kadang sel-sel ini atau kelompok sel terus menerus memancar
setelah tugas selesai. Selama periode pelepasan yang tidak diinginkan,
bagian-bagian tubuh dikontrol oleh pesan-pesan sel yang dapat
dipindahkan. Hasilnya menyebabkan ketidaknyamanan dan gangguan
fungsi direntang dari ringan sampai tidak mampu fisik, dan biasanya
menyebabkan ketidaksadaran. Bila hal ini tak terkontrol, pelepasan
abnormal terjadi dengan cepat, dan seseorang dikatakn menuju kearah
epilepsi. Gerakan-gerakan fisik yang tak teratur disebut kejang.

Etiologi

 Idiopatik: sebagian besar epilepsi pada anak adalah epilepsi idiopatik


 Faktor herediter: ada beberapa penyakit yang bersifat herediter yang disertai bangkitan
kejang seperti sklerosis tuberosa, neurofibromatosis, angiomatosis ensefalotrigeminal,
fenilketonuria, hipoparatiroidisme, hipoglikemia.
 Faktor genetik: pada kejang demam dan breath holding spells
 Kelainan konginetal otak: atrofi, porensefali, agenesis korpus kalosum
 Gangguan metabolik: hipoglikemia, hipokalsemia, hiponatremia, hipernatremia
 Infeksi: radang yang disebabkan bakteri atau virus pada otak dan selaputnya,
toksoplasmosis
 Trauma: kontusio serebri, hematoma subaraknoid, hematoma subdural
 Neoplasma otak dan selaputnya
 Kelainan pembuluh darah, malformasi, penyakit kolagen,
 Keracunan: timbal (Pb), kamper(kapur barus), fenotiazin, air
 Lain-lain: penyakit darah, gangguan keseimbangan hormonal, degenerasi serebral, dan
lain-lain

Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi adalah faktor yang mempermudah terjadinya serangan, yaitu:

1. faktor sensoris: cahaya yang berkedip-kedip, bunyi-bunyi yang mengejutkan, air panas
2. faktor sistemis: demam, penyakit infeksi, obat-obatan tertentu misalnya golongan
fenotiazin, klorpropamid, hipoglikemia, kelelahan fisik
3. faktor mental: stres, gangguan emosi

Patofisiologi

Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksimal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang
atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang
sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus,
dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan
batang otak umumnya tidak memicu kejang.

Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi,
termasuk yang berikut :

• Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
• Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan
apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
• Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam
repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-
aminobutirat (GABA).
• Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang
mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron.
Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter
aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.

Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian
disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama
kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik
dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi
dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah
kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi selama aktivitas kejang.

Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik
menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor
patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan
asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin,
suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan
asetilkolin.

Jenis Epilepsi:

1. Epilepsi Umum

a. Petit Mal (Absence). Gangguan kesadaran secara mendadak. Penyandang diam


tanpa reaksi (bengong), kemudian melanjutkan kegiatannya semula
b. Grand Mal. Diawali dengan kehilangan kesadaran kemudian terjadi kejang-kejang, air
liur berbusa dan napas mengorok
c. Mioklonik. Terjadi kontraksi singkat dari satu, sekelompok, atau beberapa
kelompok otot. Bervariasi dari yang tidak terlihat, sampai sentakan hebat.
Mengakibatkan misalnya, mendadak jatuh, atau melontarkan benda yang sedang
dipegang.

2. Epilepsi Parsial/fokal
a. Sederhana (tanpa gangguan kesadaran) Umumnya, berupa kejang-kejang dan
kadang-kadang kesemutan atau rasa kebal pada satu tempat. Berlangsung beberapa
menit/jam. Bila serangan hanya terjadi di satu lokasi dan berlangsung beberapa saat,
disebut Parisialis Kontinua
b. Kompleks (disertai gangguan kesadaran) Diawali dengan Parsial Sederhana,
penyandang seperi bermimpi, dan daya ingatnya terganggu, halusinasi, atau kosong
pikiran seringkali diikuti oleh otomatisme. Misalnya, mengulang-ulang ucapan,
melamun, atau berlari-lari tanpa tujuan
c. Umum Sekunder Perkembangan dari parsial sederhana atau kompleks menjadi
umum.

Manifestasi Klinis

1. Sawan Parsial (lokal, fokal)

a. Sawan Parsial Sederhana : sawan parsial dengan kesadaran tetap normal

• Dengan gejala motorik

- Fokal motorik tidak menjalar: sawan terbatas pada satu bagian tubuh saja
- Fokal motorik menjalar : sawan dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar meluas
ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.
- Versif : sawan disertai gerakan memutar kepala, mata, tubuh.
- Postural : sawan disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu
- Disertai gangguan fonasi : sawan disertai arus bicara yang terhenti atau pasien
mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu

• Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial; sawan disertai halusinasi sederhana yang
mengenai kelima panca indera dan bangkitan yang disertai vertigo.

- Somatosensoris: timbul rasa kesemuatan atau seperti ditusuk-tusuk jarum.


- Visual : terlihat cahaya
- Auditoris : terdengar sesuatu
- Olfaktoris : terhidu sesuatu
- Gustatoris : terkecap sesuatu
- Disertai vertigo

• Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat, berkeringat,
membera, piloereksi, dilatasi pupil).

• Dengan gejala psikis (gangguan fungsi luhur)

- Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau bagian
kalimat.
- Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami,
mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa di
masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.
- Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
- Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
- Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih besar.
- Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang bicara, musik, melihat suatu
fenomena tertentu, dll.

b. Sawan Parsial Kompleks (disertai gangguan kesadaran)

• Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran mula-mula baik kemudian
baru menurun.

- Dengan gejala parsial sederhana A1-A4 : gejala-gejala seperti pada golongan A1-A4
diikuti dengan menurunnya kesadaran.
- Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan
sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah seringkali seperti
ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing baju, berjalan, mengembara tak menentu,
dll.

c. Sawan Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik, klonik)

- Sawan parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum.


- Sawan parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum.
- Sawan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu berkembang
menjadi bangkitan umum.

2. Sawan Umum (Konvulsif atau NonKonvulsif)

a. Sawan lena (absence)

Pada sawan ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak membengong, bola
mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya sawan ini berlangsung
selama ¼ - ½ menit dan biasanya dijumpai pada anak.

- Hanya penurunan kesadaran


- Dengan komponen klonik ringan. Gerakan klonis ringan, biasanya dijumpai pada
kelopak mata atas, sudut mulut, atau otot-otot lainnya bilateral.
- Dengan komponen atonik. Pada sawan ini dijumpai otot-otot leher, lengan, tangan,
tubuh mendadak melemas sehingga tampak mengulai.
- Dengan komponen klonik. Pada sawan ini, dijumpai otot-otot ekstremitas, leher atau
punggung mendadak mengejang, kepala, badan menjadi melengkung ke belakang, lengan
dapat mengetul atau mengedang.
- Dengan automatisme
- Dengan komponen autonom.

b. Lena tak khas (atipical absence)


Dapat disertai:

- Gangguan tonus yang lebih jelas.


- permulaan dan berakhirnya bangkitan tidak mendadak.

c. Sawan Mioklonik

Pada sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemah
sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada
semua umur.

d. Sawan Klonik

Pada sawan ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tunggal
multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali pada anak.

e. Sawan Tonik

Pada sawan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku pada wajah dan
bagian tubuh bagian atas, fleksi lengan dan ekstensi tungkai. Sawan ini juga terjadi pada anak.

f. Sawan Tonik-Klonik

Sawan ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan nama grand
mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu sawan.
Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira
¼ - ½ menit diikuti kejang kejang kelojot seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri.
Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang
meningkat, mulut menjadi berbusa karena hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika
mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun
dengan kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-
pegal, lelah, nyeri kepala.

g. Sawan atonik

Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien terjatuh.
Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Sawan ini terutama sekali dijumpai pada
anak.

3.Sawan Tak Tergolongkan


Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang ritmik,
mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang mendadak berhenti
sederhana.

Pemeriksaan diagnostik

 CT Scan untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal,
gangguan degeneratif serebral

 Elektroensefalogram(EEG)  untuk mengklasifikasi tipe kejang, waktu serangan


 magnetik resonance imaging (MRI)
 kimia darah: hipoglikemia, meningkatnya BUN, kadar alkohol darah.
 Pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan seperti pemeriksaan darah rutin, kadar elektrolit,
kalsium, fosfor, magnsium, atau gula darah tidak rutin dilakukan pada kejang demam
pertama. Pemeriksaan laboratorium harus ditujukan untuk mencari sumber demam,
bukan sekedar sebagai pemeriksaan rutin.
 Neuroimaging. Yang termasuk dalam pemeriksaan neuroimaging antara lain adalah CT-
scan dan MRI kepala. Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada kejang demam yang baru
terjadi untuk pertama kalinya.

Diagnosa banding

Sinkop, gangguan jantung, gangguan sepintas perdarahan darah otak,


hipoglikemia, keracunan, breath holding spells, histeria, narkolepsi, pavor nokturnus,
paralisis tidur, migren

Pencegahan

Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk
pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat
antikonvulsi yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu
penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan
tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga
mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko
tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan,
diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada
otak atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan
dan persalinan. Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini,
dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan secara
bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan ini.

Hal yang harus dilakukan pada saat penderita terkena serangan adalah:

1. Hindarkan penderita dari benda-benda berbahaya yang berpotensi melukai dirinya


2. Kendorkan pakaian di area leher, termasuk ikat pinggang
3. Taruh bantal atau sesuatu yang lembut di bawah kepala
4. Baringkan dia menghadap ke satu sisi

Hal yang tidak boleh dilakukan selama penderita terkena serangan:

1. Meletakkan benda di mulutnya. Jika penderita mungkin menggigit lidahnya selama


serangan mendadak, menyisipkan benda di mulutnya kemungkinan tak banyak
membantu. Anda malah mungkin tergigit, atau parahnya, tangan Anda malah
mematahkan gigi si penderita.
2. Mencoba membaringkan penderita. Orang, bahkan anak-anak, secara ajaib memiliki
kekuatan otot yang luar biasa selama mendapat serangan mendadak. Mencoba
membaringkan si penderita ke lantai bukan hal mudah dan tidak baik juga.
3. Berupaya menyadarkan si penderita dengan bantuan pernapasan mulut ke mulut selama
dia mendapat serangan mendadak, kecuali serangan itu berakhir. Jika serangan berakhir,
segera berikan alat bantu pernapasan dari mulut ke mulut jika si penderita tak bernapas

Pengobatan

Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan diberikan obat
antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis serangan. Penggunaan obat dalam
waktu yang lama biasanya akan menyebabkan masalah dalam kepatuhan minum obat
(compliance) serta beberapa efek samping yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi,
mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll.
Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi. Lama pengobatan tergantung
jenis epilepsi dan etiologinya. Pada serangan ringan selama 2-3th sudah cukup, sedang yang
berat pengobatan bisa lebih dari 5th. Penghentian pengobatan selalu harus dilakukan secara
bertahap. Tindakan pembedahan sering dipertimbangkan bila pengobatan tidak memberikan efek
sama sekali.

Penanganan terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap kecerdasannya. Jika terlambat
mengatasi kejang pada anak, ada kemungkinan penyakit epilepsi, atau bahkan keterbalakangan
mental. Keterbelakangan mental di kemudian hari. Kondisi yang menyedihkan ini bisa
berlangsung seumur hidupnya

Penatalaksanaan

Non farmakologi

Terapi non farmakologi Dilakukan secara manual, juga diarahkan untuk mencegah terjadinya
kejang bisa dengan melakukan diet, Pembedahan untuk pasien epilepsi akibat tumor otak, abses,
kista atau adanya anomali vaskuler dan vagal nerve stimulation (VNS) yaitu implantasi dari
perangsang saraf vagal, makan makanan yang seimbang (kadar gula darah yang rendah dan
konsumsi vitamin yang tidak mencukupi dapat menyebabkan terjadinya serangan epilepsi),
istrirahat yang cukup karena kelelahan yang berlebihan dapat mencetuskan serangan epilepsi,
belajar mengendalikan stress dengan menggunakan latihan tarik nafas panjang dan teknik
relaksasi lainnya.

Farmakologi

Untuk terapi farmakologis yaitu dengan menggunakan Obat Anti Epilepsi (OAE).
Pengobatan dilakukan tergantung dari jenis kejang yang dialami. Pemberian obat anti epilepsi
selalu dimulai dengan dosis yang rendah, dosis obat dinaikkan secara bertahap sampai kejang
dapat dikontrol atau tejadi efek kelebihan dosis. Pada pengobatan kejang parsial atau kejang
tonik-klonik rata-rata keberhasilan lebih tinggi menggunakan fenitoin, karbamazepin, dan asam
valproat. Pada sebagian besar pasien dengan 1 tipe/jenis kejang, kontrol memuaskan dapat
dicapai dengan 1 obat anti epilepsi. Pengobatan dengan 2 macam obat mungkin ke depannya
mengurangi frekuensi kejang, tetapi biasanya toksisitasnya lebih besar. Pengobatan dengan lebih
dari 2 macam obat, hampir selalu membantu penuh kecuali kalau pasien mengalami tipe kejang
yang berbeda. Jenis obat yang sering digunakan :

a. Phenobarbital (luminal).

Paling sering dipergunakan, murah harganya, toksisitas rendah.

b. Primidone (mysolin)
Di hepar primidone di ubah menjadi phenobarbital dan phenyletylmalonamid.

c. Fenilhidantoin (DPH, dilantin, phenytoin).

Dari kelompok senyawa hidantoin yang paling banyak dipakai ialah DPH. Berhasiat
terhadap epilepsi grand mal, fokal dan lobus temporalis.

Tak berhasiat terhadap petit mal.

Efek samping yang dijumpai ialah nistagmus,ataxia, hiperlasi gingiva dan gangguan
darah.

d. Carbamazine (tegretol).

Mempunyai khasiat psikotropik yangmungkin disebabkan pengontrolan bangkitan


epilepsi itusendiri atau mungkin juga carbamazine memang mempunyaiefek psikotropik.

Sifat ini menguntungkan penderita epilepsi lobus temporalis yang sering disertai
gangguan tingkah laku.

Efek samping yang mungkin terlihat ialah nistagmus, vertigo, disartri, ataxia, depresi
sumsum tulang dan gangguan fungsi hati.

e. Diazepam.

Biasanya dipergunakan pada kejang yang sedang berlangsung (status konvulsi.).

Pemberian i.m. hasilnya kurang memuaskan karena penyerapannya lambat. Sebaiknya


diberikan i.v. atau intra rektal.

f. Nitrazepam (inogadon).

Terutama dipakai untuk spasme infantil dan bangkitan mioklonus.

g. Ethosuximide (zarontine).

Merupakan obat pilihan pertama untuk epilepsi petit mal

h. Na-valproat (dopakene)

Obat pilihan kedua pada petit mal

Pada epilepsi grand mal pun dapat dipakai.


Obat ini dapat meninggikan kadar GABA di dalam otak.

Efek samping mual, muntah, anorexia

i. Acetazolamide (diamox).

Kadang-kadang dipakai sebagai obat tambahan dalam pengobatan epilepsi. Zat ini
menghambat enzim carbonic-anhidrase sehingga pH otak menurun, influks Na berkurang
akibatnya membran sel dalam keadaan hiperpolarisasi.

j. ACTH

Seringkali memberikan perbaikan yang dramatis pada spasme infantil

Obat anti Epilepsi (OAE) mulai diberikan bila:

• diagnosis epilepsi telah dipastikan


• setelah pasien dan/atau keluarganya menerima penjelasan tentang tujuan
pengobatan
• pasien dan/atau keluarganya telah diberitahu tentang kemungkinan efek samping
OAE yang akan timbul

Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan jenis bangkitan.
Pemberian obat dimulai dengan dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif
tercapai atau timbul efek samping. Bila dengan penggunaan dosis maksimum obat pertama tidak
dapat mengontrol bangkitan maka perlu ditambahkan OAE kedua. Bila OAE telah mencapai
kadar terapi maka OAE pertama diturunkan bertahap (tapering off) perlahan-lahan.

Penghentian OAE:

• dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah bebas dari bangkitan
selama minimal 2 tahun.
• gambaran EEG normal.
• harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dari dosis semula, setiap bulan
dalam jangka waktu 3-6 bulan.
• penghentian dimulai dari 1 OAE yang bukan utama.

Pembahasan Kasus

PENGKAJIAN

Ds:
• ditemukan jatuh dan kejang-kejang
• seluruh tubuh keluar busa,
• inkotinensia urine dan fesesnya selama kurang lebih 1-2 menit kemudian pingsan
beberapa saat.
• Dari hasil interview keluarganya kondisi ini sering berulang dan berlangsung sejak usia
anak-anak.

Do:

• Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang N: 90x/menit, TD: 120/70mmHg, S:36,40C,


P:22x/menit, EEG abnormal, MRI terdapat focal abnormal.

ANALISA DATA

Data Masalah Etiologi


Ds:
• ditemukan jatuh
dan kejang-kejang Resiko terhadap cedera perubahan kesadaran,
• seluruh tubuh kerusakan kognitif
keluar busa, selama kejang, atau
• inkotinensia urine kerusakan mekanisme
dan fesesnya perlindungan diri
selama kurang
lebih 1-2 menit
kemudian pingsan
beberapa saat.. Resiko tinggi tidak
• Dari hasil interview efektif jalan nafas
keluarganya
kondisi ini sering
berulang dan
berlangsung sejak
usia anak-anak.

Do:
• Hasil pemeriksaan
fisik dan penunjang
N: 90x/menit, TD:
120/70mmHg,
S:36,40C,
P:22x/menit, EEG
abnormal, MRI
terdapat focal
abnormal.
Tindakan pre dan post diagnostic

 Edukasi pasien: memberikan penjelasan tentang test dan prosedur pemeriksaan yang akan
dilakukan sampai pasien mengerti.

 Gunakan bahasa yang mudah dipahami oleh pasien.

 Instrusikan pasien dengan metode untuk mengurangi ketidaknyamanan: teknik relaksasi


dalam.

 Jaga privasi dan harga diri klien.

Diagnosa keperawatan

1. Resiko terhadap cedera yang berhubungan dengan perubahan kesadaran, kerusakan


kognitif selama kejang, atau kerusakan mekanisme perlindungan diri
2. Resiko tinggi tidak efektif jalan nafas b/d kerusakan persepsi
3. Kurang pengetahuan keluarga berhubungan dengan kurangnya informasi

Komplikasi

1. Kerusakan otak akibat hipeksia dan retardasi mental dapat timbul akibat kejang yang berulang

2. Dapat timbul depresi dan keadaan cemas

Nursing Care Planning

“EPILEPSI”

Nama pasien : Tn. Meni

Usia pasien : 23 tahun

Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi dan Rasional


Dx I: Mandiri
Resiko terhadap cedera Tujuan : 1. cat
yang berhubungan Cedera dapat teratasi at tipe dari aktivitas kejang
dengan perubahan Kriteria Hasil : (seperti lokasi, lamanya
kesadaran, kerusakan • mendemo aktivitas motorik, penurunan
kognitif selama kejang, nstrasikan perilaku, kesadaran, inkontinensia, dn
atau kerusakan perubahan gaya hidup lain-lain) dan berapa kali
mekanisme perlindungan untuk mengurangi faktor terjadi kekambuhannya
diri resiko dan melindungi diri Rasional:membantu untuk
dari cedera melokalisasi daerah otak
• menguba yang terkena
h linkungan sesuai indikasi 2. atu
untuk meningkatkan r kepala, tempatkan diatas
keamanan daerah yang empuk (lunak)
• memperta atau bantu meletakan pada
hankan aturan pengobatan lantai jika keluar dari tempat
untuk mengontrol tidur. Jangan melakukan
/menghilangkan aktivitas restrein
kejang Rasional:mengarahkan
• pemberi ekstermitas dengan hati-hati
perawatan akan menurunkan resiko trauma
mengidentifikasi tindakan secara fisik ketika pasien
untuk diambil bila terjadi kehilangan kontrol terhadap
kejang otot volunter. Catatan jika
dilakukan restrein pada
pasien yang mengalami
kejang, gerakan kaku dapat
meningkat dan pasien dapat
mengalami trauma oleh diri
sendiri dan orang lain.

3. lak
ukan penilaian
neurologis/tanda-tanda vital
setelah kejang, misal: tingkat
kesadaran, orietasi, TD, nadi
dan pernapasan
Rasional: mencatat keadaan
posiktal dan waktu
penyembuhan pada keadaan
normal
4. orientasikan kembali pasien
terhadap aktivitas kejang
yang dialaminya
Rasional: pasien mungkin
menjadi bingung,
disorientasi, dan mungkin
juga mengalami amnesia
setelah kejang dan
memerlukan bantuan untuk
dapat mengontrol lagi dan
menghilangkan ansietas
5.Observasi munculnya tanda –
tanda status epileptikus,
seperti kejang tonik klonik
setelah jenis yang lain
muncul dengan cepat dan
cukup meyakinkan
Rasional: hal ini merupakan
keadaan dapat menyebabkan
henti napas, darurat yang
mengancam hidup yang
hipoksia berat, dan/atau
kerusakan pada otak dan sel
saraf.
6.Diskusikan adanya tanda-tanda
serangan kejang(jika
memungkinkan) dan pola
kejang yang biasa dialami.
Rasional: memberikan
kesempatan pasien untuk
melindungi diri sendiri dan
trauma dan mengenali
perubahan yang perlu di
sampaikan pada dokter/pada
intervensi selanjutnya.
Kolaborasi
7. berikan obat sesuai indikasi:
Obat antiepilepsi meliputi
fenitoin (dilantin), primidon
(mysoline), karbamazepin
(tegretol), klonazepam
(klonopin)
Rasional: obat antiepilepsi
meningkatkan ambang kejang
dengan menstabilkan membran
sel saraf, yang menurunkan
eksitasi neuron atau melalui
aktivitas langsung pada sistem
limbik
8. pantau kadar sel darah,
elektrolit, dan glukosa
Rasional: mengidentifikasi
faktor-faktor yang
memperberat/menurunkan
ambang kejang.

Dx II: Tujuan : Mandiri


resiko tinggi tidak efektif Jalan nafas kembali efektif
jalan nafas b/d kerusakan Kriteria Hasil : 1. Anjurkan pasien
persepsi - mempertahankan pola untuk mengosongkan mulut
pernafasan efektif dengan jalan dari benda/zat tertentu/gigi
napas paten/aspirasi dicegah palsu atau alat yang lain
jika fase aura terjadi dan
untuk menghindari rahang
mengatup jika kejang
terjadi tanpa ditandai gejala
awal.

Rasional: menurunkan resiko


aspirasi atau masuknya sesuatu
benda asing ke faring

2. Letakkan pasien pada


posisi miring, permukaan
datar, miringkan kepala
selama serangan kejang.

Rasional: meningkatkan aliran


sekret, mencegah lidah jatuh dan
menyumbat jalan napas
3. Tanggalkan pakaian pada
daerah leher/abdomen.

Rasional: untuk memfasilitasi


usaha bernafas/ekspansi dada
4 Masukkan spatel lidah atau
gulugan benda lunak sesuai
dengan indiksi.
Rasional: jika masuknya
diawaluntuk membuka rahang,
alat ini untuk mencegah
tergigitnya lidah dan
memfasilitasi saat melakukan
penghisapan lendir atau memberi
sokongan terhadap pernapasan
jika perlu.
5. Lakukan penghisapan sesuai
indikasi.
Rasional: menurunkan resiko
aspirasi atau aspiksia
kolaborasi.

6. Berikan tambahan oksigen


sesuai kebutuhan pada fase
posiktal.

Rasional: dapat menurunkan


hipoksia serebral sebagai akibat
dari sirkulasi yang menurun atau
oksigen sekunder terhadap
spasme vaskuler selama
serangan kejang

7. Siapkan untuk melakukan


intubasi, jika ada indikasi

Rasional: munculnya apnea


yang berkepanjangan pada fase
posiktal membutuhkan dukungan
ventilator mekanik
Dx III : Tujuan : 1. Kaji tingkat
pendidikan klien dan
Kurang pengetahuan pengetahuan keluarga keluarga.
berhubungan dengan meningkat
kurangnya informasi Rasional: pendidikan
Kriteria hasil : merupakan salah satu faktor
penentu tingkat pengetahuan
Keluarga mengerti dengan seseorang
proses penyakit, keluarga klien
tidak bertanya lagi tentang 2. Jelaskan pada
penyakit, perawatan dan kondisi keluarga klien tentang
klien. epilepsi melalui penkes.

Rasional : untuk meningkatkan


pengetahuan

3. Beri kesempatan
pada klien dan keluarga
untuk menanyakan hal yang
belum dimengerti.

Rasional : untuk mengetahui


seberapa jauh informasi yang
sudah dipahami

4. Libatkan keluarga dalam


setiap tindakan pada klien.

Rasional : agar keluarga dapat


memberikan penanngan yang
tepat jika suatu-waktu klien
mengalami kejang berikutnnya.
1. Gangguan Disfungsi Neurologik Stroke (Cedera Serebrovaskular)

a) Definisi Stroke

Stroke adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya supalai darah
kebagian otak. (Brunner & Sudarth, 2002)

Stroke adalah defisit neurologis yang mempunyai awitan mendadak atau berlangsung 24 jam
sebagai akibat dari cerebrovaskular desease (CVD) atau penyakit cerebrovaskular. (Hudak and
Gallo)
Stroke/penyakit serebrovaskuler menunjukan adanya beberapa kelainan otak baik secara
fungsional maupun struktural yang disebabkan oleh keadaan patologis dari pembuluh darah
serebral atau dari seluruh sistem pembuluh darah otak. (Marilyn E. Doenges)

b) Etiologi dan Faktor Resiko

Etiologi
 Trombosis adalah bekuan darah dalam pembuluh darah otak atau leher: Arteriosklerosis
serebral.
 Embolisme serebral adalah bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak dari
bagian tubuh yang lain: endokarditis, penyakit jantung reumatik, infeksi polmonal.
 Iskemia adalah penurunan aliran darah ke area otak: Kontriksi ateroma pada arteri.
 Hemoragi Serebral adalah Pecahnya pembuluh darah serebral dengan perdarahan kedalam
jaringan otak atau ruang sekitar otak

Faktor resiko pada stroke


1. Tidak dapat dirubah (Non Reversible)
 Jenis kelamin : Pria lebih sering ditemukan menderita stroke dibanding wanita.
 Usia : Makin tinggi usia makin tinggi pula resiko terkena stroke.
 Keturunan : Adanya riwayat keluarga yang terkena stroke
2. Dapat dirubah (Reversible)
 Hipertensi
 Penyakit jantung
 Kolesterol Tinggi
 Obesitas
 Diabetes Melitus
 Polisitemia
 Stress Emosional
3. Kebiasaan Hidup
 Merokok
 Peminum Alkohol
 Obat-obatan terlarang.
 Aktivitas yang tidak sehat: Kurang olahraga, makanan berkolesterol
C). Klasifikasi
Berdasarkan Klinik

 Stroke Hemoragik (SH)


Stroke yang terjadi karena perdarahan Sub arachnoid, mungkin disebabkan oleh
pecahnya pembuluh darah otak pada daerah tertentu, biasanya terjadi saat pasien
melakukan aktivitas atau saat aktif. Namun bisa juga terjadi saat istirahat, kesadaran
pasien umumnya menurun.
 Stroke Non Hemoragik (SNH)
Dapat berupa iskemia, emboli dan trombosis serebral, biasanya terjadi setelah
lama beristirahat, baru bangun tidur atau dipagi hari. Tidak terjadi iskemi yang
menyebabkan hipoksia dan selanjutnya dapat timbul edema sekunder, kesadaran pasien
umumnya baik.

Berdasarkan Perjalanan Penyakit


 Trancient Iskemik Attack (TIA) atau serangan iskemik sepintas
Merupakan gangguan neurologis fokal yang timbul mendadak dan hilang dalam
beberapa menit (durasi rata-rata 10 menit) sampai beberapa jam (24 jam)
 Stroke Involution atau Progresif
Adalah perjalanan penyakit stroke berlangsung perlahan meskipun akut.
Munculnya gejala makin bertambah buruk, proses progresif beberapa jam sampai
beberapa hari.
 Stroke Complete
Gangguan neurologis yang timbul sudah menetap atau permanen, maksimal sejak
awal serangan dan sedikit memperlihatkan parbaikan dapat didahului dengan TIA yang
berulang.
c) Manifestasi Klinik
Tanda/Gejala awal Stroke Trombotik (TIA):
 Hemiparesis
 Kehilangan bicara
 Parestesia satu sisi tubuh
Tanda dan Gejala umum yang ditemukan pada perdarahan otak pada klien
hipertensi:
 Nyeri kepala hebat (dibelakang leher)
 Vertigo (pusing) / sinkope
 Parestesia (sensasi abnormal)
 Paralisis
 Epistaksis
 Perdarahan retina
Penemuan Secara Umum:
 Nyeri kepala
 Muntah
 Kejang
 Perubahan mental
 Demam
 Perubahan ECG: Gelombang T, interval P-R memendek, interval Q-R
memanjang, kontraksi ventrikel premature, sinus bradikardia dan ventrikel dan supra
ventrikel, takikardi.
Manifestasi klinik berhubungan dengan penyebab :
a) Trombosis
 Cenderung berkembang selama tidur atau dalam 1 jam bangun tidur
 Iskemia secara berangsur-angsur oleh karena itu manifestasi klinik berkembang lebih
lambat
 Kesadaran relatif terpelihara
 Kemungkinan Tensi naik atau hipertensi
b) Embolisme
 Tidak dapat dilihat pola waktu, tidak berhubungan dengan aktivitas
 Manifestasi klinis terjadi cepat dalam 10-30 detik dan sering kali tanpa tanda, tidak
nyeri kepala.
 Kemungkinan dapat meningkat cepat
 Kesadaran relatif terpelihara
 Tensi normal
c. Hemoragik
 Khas terjadi selama aktif, jam kerja
 Sakit kepala berat (bila klien mampu melaporkan gejala)
 Serangan cepat dari hemiplegia komplit, terjadi beberapa menit-1jam bentuk
umumnya fatal.
 Biasanya menghasilkan kehilangan fungsi permanen secara perlahan, rendahnya
penyembuhan secara sempurna.
 Cepat terjadi koma
 Kekakuan nuchal (belakang leher)

d) Pemeriksaan Diagnostik
 Angiografi Serebral : Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti
perdarahan, obstruksi arteri, adanya titik oklusi/ ruptur.
 Scan CT : Memperlihatkan adanya edema, hematoma, iskemik, dan adanya infark.
 Fungsi Lumbal : Menunjukan adanya tekanan normal dan biasanya ada trombosis,
emboli serabral dan TIA, sedangkan tekanan meningkat dan cairan yang mengandung
darah menujukan adanya hemoragi suaraknoid intrakranial. Kadar protein meningkat
pada kasus trombosis sehubungan dengan adanya proses imflamasi.
 MRI : Menunjukan daerah yang mengalami infark, hemoragik, malformasi arteriovena
(MAV)
 EEG : Mengidentifikasi masalah didasarkan pada gelombang otak dan mungkin adanya
daerah lesi yang spesifik.
 Sinar X tengkorak : Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang
berlawanan dari masa yang meluas; kalsifikasi karotis interna terdapat pada trombosis
serebral.
 Ultrasonografi Doppler : Mengidentifikasi penyakit arteriovena (masalah sistem arteri
karotis), aliran darah / muncul plak (arteriosklerotik)

e) Kemungkinan Kecacatan yang berkaitan dnegan stroke


Stroke Hemisfer kiri
 Hemiparesis atau hemiplegia sisi kanan
 Prilaku lambat dan sangat hati-hati
 Kelainan bidang pandang kanan
 ekspresif, reseptif, atau dispagia global
 Mudah frustasi
Stroke Hemisfer Kanan
 Hemiparesis atau hemiplegia sisi kiri
 Defisit spatial sampai perseptual
 Penilaian buruk
 Memperlihatkan ketidaksadaran defisit pada bagian yang sakit oleh karena itu cenderung
(beresiko untuk jatuh) atau cidera lainnya
 Kelainan pada bidang visual kiri

Spesifik defisit setelah stroke


1. Hemiparesis dan hemiplegia: Kelemahan dan paralisis satu sisi tubuh terjadi karena
kerusakan area mata pada kortek atau pada saluran serat piramidal.
2. Apraksia adalah suatu kondisi dimana klien dapat menggerakan bagian yang terkena
tetapi tidak dapat digunakan untuk pergerakan dengan tujuan spesipik (berjalan, bicara,
pembersihan)
3. Afasia adalah kerusakan dalam menggunakan dan interpretasi simbol bahasa. Afasia
mungkin meliputi beberapa atau semua aspek dari penggunaan bahasa seperti berbicara,
membaca, menulis, dan mengerti pembicaraan.
Katagori afasia adalah:
o Afasia sensorik (reseptive aphasia)
 disebut juga wernicke aphasia
 dapat berbicara dengan artikulasi dan gramatikal yang benar tetapi kurang
mampu memahami isi/kata yang dibicarakan
o Afasia motorik (ekspresif aphasia)
 disebut juga broca afasia
 tidak mampu membentuk kata yang dapat dipahami, mungkin mampu bicara
dalam respon kata tunggal.
o Afasia Global (kombinasi baik apasia reseptive maupun ekpresif)
4. Disatria adalah kesulitan dalam bentuk kata.
o klien mengerti bahasa tetapi kesulitan mengucapkan kata dan menyambungkannya
o disebabkan karena fungsi saraf kranial yang menghasilkan kelemahan dan paralisis
dari otot bibir, lidah dan laring atau kehilangan sensasi.
o sering mempunyai kesulitan mengunyah dan menelan makanan (disfagia) karena
rendah kontrol otot.
5. Disfagia adalah kesulitan dalam menelan
6. Perubahan penglihatan:
o Homonimus hemianopisa (kehilangan setengah lapang penglihatan pada sisi yang
sama)
o Diplopia (penglihatan ganda)
o Penurunan ketajaman penglihatan
o Agnosia (ketidakmampuan mengidentifikasi lingkungan melalui indera). Melalui
visual, pendengaran atau taktil.
7. Perubahan berfikir abstrak
Ketidakmampuan membedakan kanan dan kiri, ketidak mampuan mengenali nomor
(angka) seperti penggunaan telepon atau mengatakan waktu.
8. Emosi labil: frustasi, marah, depresi, ketakutan, permusuhan, keputusasaan, kehilangan
kontrol diri dan hambatan sosial.
9. Inkotinensia
Tidak semua jenis stroke menghasilkan inkotinensia bowel dan bladder neurogenik
bowel dan blader, kadang-kadang terjadi setelah stroke.
f) Penatalaksanaan

Tindakan medis terhadap pasien stroke meliputi diuretic untuk menurunkan edema
serebral, yang mencapai tingkat maksimum 3 sampai 5 hari setelah infark serebral.
Antikoagulan dapat diresepkan untuk mencegah terjadinya atau memberatnya thrombosis
atau embolisasi dari tempat lain dalam sistem kardivaskuler.

Medikasi anti trombosit dapat diresepkan, karena trombosit memainkan peran yang
sangat penting dalam pembentukan thrombus dan embolisasi.
g) Komplikasi

 Hipoksia serebral

Diminimalkan dengan pemberian oksigenasi darah adekuat ke otak. Fungsi otak


bergantung pada ketersediaan oksigen yang dikirimkan ke jaringan. Pemberian oksigen
suplemen dan mempertahankan hemoglobin serta hematokrit pada tingkat yang dapat
diterima akan membantu dalam mempertahankan oksigenasi jaringan.

 Aliran darah serebral

Bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan integritas pembuluh darah
serebral. Hidrasi yang adekuat harus menjamin viskositas darah dan memperbaiki aliran
darah serebral. Hipertensi atau hipotensi ekstrem harus dihindari untuk mencegah
perubahan pada aliran darah serebral dan potensi meluasnya area cedera.

 Embolisme serebral

Dapat terjadi setelah infark miokard atau fibrilasi atrium atau dapat berasal dari katup
jantung prostetik. Embolisme akan menurunkan aliran darah ke otak dan selanjutnya
menurunkan aliran darah serebral.

A. DISLIPIDEMIA

Pengertian

Dislipidemia merupakan kelaianan metabolisme lipid yang ditandai oleh kelainan


( peningkatan atau penurunan ) Fraksi lipid dalam plasma ,kelaianan fraksi lipid yang utama
adalah kenaikan kadar kolesterol total,kenaikan kadar trigliserid serta penurunan kadar kolsterol
HDL.dalam proses terjadinya aterosklerosis ketiganya mempunyai peran penting dan berkaitan
,sehingga dikenal sebagai triad lipid, secara klinis dislipidemia diklasifikasikan menjadi 3 yaitu:
hiperkolesteromia, hipertrigliseridemia, dan campuran hiperkolesteromia dan
hipertrigliseridemia.

Diagnosis

Klasifikasi kadar kolesterol:


Kolesterol LDL <100mg/dL optimal
100 – 129 mg/dL hampir optimal
130 – 159 mg/dL borderline tinggi
160 – 189 mg/dL tinggi
->190 mg/dL sangat tinggi
Kolesterol total <200 mg/dL idaman
200 – 239 mg/dL borderline tinggi
>240 mg/dl tinggi
Kolesterol HDL <40 mg/dL rendah
> 60 mg/dL tinggi
BAB III

PEMBAHASAN KASUS

A. KASUS

Tn.Agus (21 tahun) mengeluh pipi dan mata seperti kedutan dan mencong-mencong ke arah kiri
ketika bangun pagi (asimetri pada wajah), rasa baal/ kebas diwajah, air mata tidak dapat
dikontrol dan sudut mata turun. Hasil pemeriksaan kehilangan refleks konjungtiva SE (tidak
dapat menutup mata, sulit untuk berbicara, air menetes saat minum atau setelah membersihkan
gigi, dan Kehilangan rasa di bagian depan lidah, tanda-tanda vital normal, pernafasan normal,
jantung normal.

Tugas:

1. Kasus diatas mengarah pada kasus gangguan apa?

2. Data-data subyektif maupun pemeriksaan fisik apa yang perlu difokuskan pada kasus diatas
dan bagaimana hasil pemeriksaan fisik dan interview tersebut?

3. Sebutkan pemeriksaan penunjang yang tepat dan sebaiknya dilakukan pada kasus diatas

4. Sebutkan tindakan pre dan post pemeriksaan serta hasil-hasil pemeriksaan penunjang tersebut

5. Buatlah patoflow kasus diatas

6. Jelaskan tentang pelaksanaan medis yang sebaiknya dilakukan dan efek samping pemberian
masing-masing obat

7. Materi yang harus diberikan pada pendiidkan kesehatan pasien diatas

8. Buatlah 3 diagnosa keperawatan dari kasus diatas

9. Buat rencana tindakan untuk masing-masing diagnose keperawatan

10. Klarifikasi kata-kata asing


B. PEMBAHASAN

1. Kasus Tn.A kemungkinan mengarah pada gangguan:

Kasus Tn.A mengarah pada gangguan serebrovaskuler stroke, kemungkinan besar termasuk
stroke non.hemoragik karena tidak diiringi oleh hipertensi. Kelompok kami mengarahkan
pada riwayat gangguan dislipidemia sebelumnya.

2. Data-data subyektif maupun pemeriksaan fisik perlu difokuskan pada kasus Tn.A dan
hasil pemeriksaan fisik dan interview.

Tanggal Data fokus Paraf/nama


18 April Data subjektif: Rika Yunita
2010 Klien mengeluh:
• Pipi dan mata terasa kedutan dan mencong-
mencong kearah kiri ketika bangun pagi (asimetri
pada wajah)
• Rasa baal/kebas pada wajah sebelah kiri
• Air mata tidak dapat dikontrol
• Sudut mata kiri turun
• Penglihatan saat ini buram, terutama mata sebelah
kiri
• Tidak nafsu makan
• Kesulitan menelan

Isteri Tn.A mengatakan:


• Sebelumnya Tn.A sering mengeluh tiba-iba
kehilangan pengelihatan dan merasakan baal,
tetapi serangan tersebut menghilang selama
beberapa jam melakukan istirahat.
• Tn.A Memiliki riwayat kolesterol tinggi dan
konsumsi obat penurun kolesterol Lovastatin
(JUSTIN) 20 mg 1x1
• Riwayat merokok 1 (12 batang) bungkus perhari
• Gemar mengonsumsi makanan yang berlemak
• Kurang menyukai sayuran, sehingga jarang
mengonsumsinya.
• Jarang olahraga.
• Bekerja sebagai manager perusahaan swasta
dengan aktivitas rendah.
• Tidak ada riwayat hipertensi

Data Objektif:
• Kehilangan reflex konjungitva SE (tidak dapat
menutup mata)
• Keadaan umum: sedang
• CM
• Konjungtiva anemis (-)
• Reflex patella (+/-)
• Sulit untuk bicara
• Air menetes saat minum atau setelah
membersihkan gigi
• Kehilangan rasa di bagian depan lidah
• TD 120/90 mmHg
• N 75 x/menit
• RR 20 x/menit
• Suhu : 36,70C
• BB : 97 kg
• TB : 180 cm
• IMT : 29.93 berdasarkan IMT yang dikeluarkan
WHO Tn.A termasuk obese I
• Bunyi napas vesikuler
• Bunyi jantung normal
• Pupil anisokord (tidak terjadi konstriksi pada
pupil kiri.

3. Pemeriksaan penunjang yang tepat dan sebaiknya dilakukan pada kasus Tn.A :

 Cek darah, kemungkinan hasil:

HEMATOLOGI
Hematologi Hasil Rujukan Satuan
Hemoglobin 14 13.2-17.3 g/dL
Hematokrit 37 34-45 %
Leukosit 7.7 5.0-10.5 Ribu/uL
LED 5 0-10.0 Mm

LEMAK SERUM

Lemak serum Hasil Rujukan Satuan


Trigliserida 180 <150 mg/dl
Kolesterol total 230 <200 mg/dl
Kolesterol HDL 22 28-63 mg/dl
Kolesterol LDL 150 <130 mg/dl

JANTUNG

Jantung Hasil Rujukan Satuan


CK 65 <=175 u/I
CK-MB 10 7-25 u/I
LDH 200 140-300 u/I (370C)
Troponin T <0.03 <300, negative ng/ml

FUNGSI GINJAL

Fungsi ginjal Hasil Rujukan Satuan


Asam urat darah 4 <7 mg/dl
Ureum darah 25 20-40 mg/dl
Creatinin darah 0.8 0-40 mg/dl

DIABETES

Diabetes Hasil Rujukan Satuan


Glukosa darah puasa 82 80-100 mg/dl
Glukosa darah 2 jam PP 94 80-145 mg/dl
Glukosa darah sewaktu 102 70-140 mg/dl

ELEKTROLIT SERUM

Elektrolit serum Hasil Rujukan Satuan


Na 140 135-145 mEq/l, mmol/I
K 4 3.5-5.2 mEq/l, mmol/l
Cl 98 95-105 mEq/l, mmol/l
PO4 3 2.5-4.5 mEq/l, mmol/I
Mg 2.2 1.5-2.5 mEq/l, mmol/l
Ca 9 8.5-10.5 mEq/l, mmol/l

 Angiografi serebral:

Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti perdarahan, obstruksi


arteri, adanya titik oklusi/ ruptur.

Hasil :

o Terjadi penyempitan + 70% penyempitan lumen arteri carotid interna dextra

o Oklusi total pada beberapa pembuluh kecil di lobus oksipital dan frontal di hemisfer
kanan

o Tidak adanya ruptur pembuluh darah maupun perdarahan.

 Sinar X tengkorak :

Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang berlawanan dari masa
yang meluas; kalsifikasi karotis interna terdapat pada trombosis serebral.

Hasil :

Terjadi kalsifikasi arteri Karotis interna.


4. Tindakan pre dan post pemeriksaan serta hasil-hasil pemeriksaan penunjang kasus
Tn.A:

Tidak ada persiapan khusus untuk prosedur yang akan dilakukan pada Tn.A, tetapi beberapa
persiapan umum tetap perlu dilakukan:

 Edukasi pasien: memberikan penjelasan tentang test dan prosedur pemeriksaan yang akan
dilakukan sampai pasien mengerti.

 Gunakan bahasa yang mudah dipahami oleh pasien.

 Lakukan informed consent

 Instrusikan pasien dengan metode untuk mengurangi ketidaknyamanan: teknik relaksasi


dalam.

 Jaga privasi dan harga diri klien.

 Untuk prosedur angiografi, bisa dilakukan untuk pemeriksaan lamanya pembekuan darah
untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya perdarahan pasca-prosedur.

 Setelah tindakan angiolasti lakukan penekanan pada area pungsi arteri.

 Cek adanya tanda-tanda perdarahan pasca angioplasty

 Istirahatkan pasien angioplasty selama 24 jam.

5. Patoflow kasus Tn.A


6. Penatalaksanaan medis yang sebaiknya dilakukan pada Tn.A dan efek samping
pemberian masing-masing obat

Tanggal No Program Paraf

23 1 Terapi : Dr. Bisatyo


oktober Penurun lipid
2009 Lovastatin (JUSTIN) 20 mg 1x1
P: diminum bersamaan dengan makan makan
malam. Dosis max 80 mg
KI : hamil dan laktasi , penyakit hati aktif,
hipersensitif terhadap lovastatin
ESO: pusing, sakit kepala, konstipasi, diare,
dispepsia, perut kembung, kram perut, mual,
kuit kemerahan, pruritus, kram otot, mialgia,
miopati, astenia, mulut kering, susah tidur,
gangguan pengecapan, nyeri dada, iritasi mata,
oftatamoplegia, ggn muskuloskeletal, alopesia,
peningkatan transminase serum, rabdominilisis,
pankreatitis, hepatitis, dan ginekomastia,
gangguan pengelaihatan.
IO : antikoagulan, niasin atau imunosupresan
2 Vasodilator
Bensiklan hydrogen fumarat 3 x 100mg
In : gangguan sirkulasi pada tungkai dan otak,
ulkus kruris, angipopati.
KI: insufisiensi ginjal parah
3 Antikoagulan
Ascardia 1x 1000mg
4 Trombolitik
Clopisan 1 x 7 mg

7. Materi yang harus diberikan pada pendidikan kesehatan pada Tn.A:

 Stroke ( definisi, etiologi dan factor resiko, penanganan medis, komplikasi)

 Merokok dan pentingnya untuk menghentikan rokok


 Manajemen factor risiko

 Nutrisi yang seimbang

 Program penurunan berat badan

8. 3 diagnosa keperawatan dari kasus Tn.A:

 Penurunan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan oklusi arteri karotid interna
akibat peningkatan kadar lipid.

 Imobilisasi berhubungan dengan hemiplegia bagian tubuh sebelah kiri dan hemiparesi.

 Nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh b.d intake yang berlebihan.

9. Rencana tindakan untuk masing-masing diagnosa keperawatan

Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi


Keperawatan hasil
Penurunan perfusi Tujuan: MANDIRI
jaringan serebral Perfusi jaringan • Tentukan faktor-faktor yang
berhubungan serebral kembali berhubungan dengan penurunan
dengan oklusi normal perfusi serebral dan potensial
arteri karotid Kriteria Hasil: terjadinya peningkatan
interna akibat • Tingkat kesadaran intracranial
peningkatan kadar membaik • Pantau status neurologis sesering
lipid. • Tanda-tanda vital mungkin dan bandingkan dengan
normal keadaan standar
• Tidak terjadi • Pantau tekanan darah, bandingkan
peningkatan tekanan darah yang terbaca pada
tekanan kedua lengan
intrakranial • Pantau frekuensi dan irama
jantung, auskultasi adanya
murmur
• Catat pola dan irama dari
pernapasan
• Evaluasi pupil. Catat ukuran,
bentuk, kesamaan dan reaksinya
terhadap cahaya
• Letakkan kepala dengan posisi
agak ditinggikan dan dalam posisi
anatomis
• Pertahankan tirah baring, ciptakan
lingkungan yang tenang, batasi
kunjungan. Berikan istirahat
periodic antara aktivitas dan
perawatan.
• Cegah terjadinya mengejan saat
defekasi dan pernapasan yang
memaksa (batuk terus menerus)
• Kaji kedutan, kegelisahan yang
meningkat, peka rangsang dan
serangan kejang
KOLABORASI
• Berikan oksigen sesuai indikasi
• Berikan obat sesuai indikasi
seperti: antikoagulan, vasodilator
dan pelunak feses
Imobilisasi Tujuan: MANDIRI
berhubungan Masalah mobilisasi • Kaji kemampuan secara
dengan teratasi fungsional/ luasnya kerusakan
hemiplegia bagian Criteria hasil: awal dan dengan cara yang
tubuh sebelah kiri •Meningkatkan teratur. Klasifikasikan melalui
dan hemiparesi. kekuatan dan fungsi skala 0-4
bagian tubuh yang • Ubah posisi minimal setiap 2 jam
terkena dan jika memugkinkan bisa lebih
•Mendemonstrasikan sering bila diletakkan dan posisi
perilaku yang bagian yang terganggu
meungkinkan • Melakukan latihan rentang gerak
melakukan aktivitas aktif dan pasif pada semua
ekstremitas. Anjurkan melakukan
latihan seperti latihan
quadrisep/gluteal, meremas bola
karet, melebarkan jari-jari dan
kaki/telapak
• Sokong ekstremitas dalam posisi
fungsionalnya, gunakan papan
kaki selama periode flaksid.
Pertahankan posisi kepala netral
• Gunakan penyangga lengan ketika
pasien pada posisi tegak
• Evaluasi pengguanaan kebutuhan
alat bantu untuk pengaturan posisi
dan pembalut selama periode
paralisis spastic
• Tempatkan bantal di bawah aksila
untuk melakukan abduksi tangan
• Tinggikan kepala dan tangan
• Tempatkan handroll keras pada
telapak tangan dengan jari-jari
dan ibu jari saling berhadapan
• Posisikan lutut dan panggul dalam
posisi ekstensi
• Pertahankan kaki pada posisi
netral dengan gulungan trokanter
• Bantu untuk keseimbangan duduk
• Inspeksi kulit, terutama pada
daerah-daerah yang
menonjolsecara teratur
• Bangunkan dari kursi sesegera
mungkinsetelah tanda-tanda vital
stabil
• Susun tujuan dengan pasien/orang
terdekat untuk berpartisipasi
dalam aktivitas/latihan dan
mengubah posisi
• Menganjurkan pasien untuk
membantu pergerakan dan laithan
dengan menggunakan ekstremitas
yang tidak sakit untuk
menggerakkan daerah tubuh yang
mengalami kelemahan
KOLABORASI
• Konsultasikan dengan ahli
fisioterapi secara aktif, latihan
resesif dan ambulasi pasien
• Bantulah dengan stimulasi
elektrik, seperti TENS sesuai
indikasi
Nutrisi lebih dari Tujuan: MANDIRI
kebutuhan tubuh Nutrisi tubuh • Kaji penyebab individu
b.d masukan seimbang (IMT ideal) kegemukan
makanan yang Kriteria hasil: • Laksanakan/kaji makanan cair
lebih dari  Terjadi penurunan sebelumnya, misal masukan
kebutuhan tubuh BB maksimal 3 kalori, tipe makanan, kebiasaan
Kg dalam 2 bulan makan
sampai mencapai • Diskusikan emosi/kejadian
BB ideal sehubungan dengan makan
 kadar lipid serum • Kaji keinginan klien untuk
menurun ke arah menurunkan BB
normal lipid <120 • Buat rencana makan dengan
 Klien mampu pasien
mempertahankan • Gunakan dengan pengetahuan
penurunan BB ke individu tentang tinggi badan,
arah ideal setelah bentuk badan, usia, jenis kelamin,
perawatan di RS dan pola makan pribadi, energi
dan kebutuhan nutrisi
• Tentukan pentingnya menghindari
diet berlemak
• Diskusikan tambahan tujuan nyata
untuk penurunan berat badan
mingguan
• 9. Timbang berat badan secara
periodik sesuai individu dan
lakukan pengukuran tubuh dengan
tepat
• Tentukan tingkat aktivitas dan
rencana program latihan lanjut
sesuai dengan tujuan dan pilihan
individu
• Kembangkan rencana penyuluhan
ulang tentang nafsu makan pasien
dengan pasien
• Tekankan pentingnya
menghindari tegangan pada waktu
makan dan tidak makan terlalu
cepat
• Diskusikan pembatasan masukan
garam dan obat diuretik bila
digunakan
KOLABORASI:
• Konsul dengan ahli diet untuk
menentukan kalori/kebutuhan
nutrisi untuk penurunan berat
badan individu
• Pertahankan program puasa
dan/atau stabilisasi masalah
medik, bila diindikasikan

10. Klarifikasi kata-kata asing

 Hemiparesis: Kelemahan pada satu sisi tubuh terjadi karena kerusakan area mata pada
kortek atau pada saluran serat piramidal.
 Hemiplegia: Kelumpuhan pada satu sisi tubuh terjadi karena kerusakan area mata pada
kortek atau pada saluran serat piramidal.
 Apraksia: suatu kondisi dimana klien dapat menggerakan bagian yang terkena tetapi tidak
dapat digunakan untuk pergerakan dengan tujuan spesifik (berjalan, bicara, pembersihan)
 Afasia: kerusakan dalam menggunakan dan interpretasi simbol bahasa. Afasia mungkin
meliputi beberapa atau semua aspek dari penggunaan bahasa seperti berbicara, membaca,
menulis, dan mengerti pembicaraan.
 Disatria adalah kesulitan dalam bentuk kata.
 Disfagia adalah kesulitan dalam menelan
 Homonimus hemianopisa (kehilangan setengah lapang penglihatan pada sisi yang sama)
 Diplopia : penglihatan ganda
 Agnosia : ketidakmampuan mengidentifikasi lingkungan melalui indera. Melalui visual,
pendengaran atau taktil.
A. Cedera Kepala

1. Pengertian
Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan
garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi - decelerasi ) yang
merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan
faktor dan penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga
oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan.
Cedera Kepala adalah setiap trauma pada kepala yang menyebabkan cedera pada kulit
kepala, tulang tengkorak maupun otak.
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak
atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala.
(Suriadi & Rita Yuliani, 2001).
Cedera kepala bisa dikelompokkan sebagai cedera kepala tertutup atau terbuka
(penetrasi, luka tembus). Pada cedera kepala tertutup, kepala menerima suatu dorongan
tumpul karena membentur suatu benda. Pada cedera kepala terbuka, suatu benda
berkecepatan tinggi menembus tulang tengkorak dan masuk ke dalam otak.
Cedera kepala dan komplikasinya merupakan penyebab dari sejumlah besar kematian
akibat cedera pada anak-anak. Cedera kepala hebat juga bisa menyebabkan kerusakan yang
serius pada otak yang sedang berkembang, sehingga mempengaruhi perkembangan fisik,
kecerdasan dan emosional anak dan menyebabkan cacat jangka panjang.
Cedera kepala paling sering ditemukan pada anak-anak yang berumur kurang dari 1 tahun
dan pada remaja diatas 15 tahun, serta lebih banyak terjadi pada anak laki-laki.
Setiap cedera kepala berpotensi menimbulkan akibat yang serius, karena itu setiap anak yang
mengalami cedera kepala sebaiknya diperiksa secara seksama.
2. Klasifikasi Trauma
Klasifikasi trauma kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (SKG):

a. Minor
• SKG 13 – 15
• Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
• Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
b. Sedang
• SKG 9 – 12
• Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang
dari 24 jam.
• Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Berat
• SKG 3 – 8
• Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
• Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
3. Etiologi
• Cedera kepala yang berat biasanya disebabkan oleh kecelakaan mobil dan motor.
• Cedera kepala yang ringan terutam disebabkan karena anak terjatuh di dalam dan
di sekitar rumah.
• Kecelakaan pada saat olah raga.
• Cedera akibat kekerasan
4. Tanda dan gejala
Tanda-tanda dan gejala cedera kepala bisa terjadi segera atau timbul secara
bertahap selama beberapa jam. Jika setelah kepalanya terbentur, seorang anak segera
kembali bermain atau berlari-lari, maka kemungkinan telah terjadi cedera ringan.
Tetapi anak harus tetap diawasi secara ketat selama 24 jam karena gejalanya mungkin
saja baru timbul beberapa jam kemudian.
Cedera kepala ringan bisa menyebabkan muntah, pucat, rewel atau anak tampak
mengantuk, tanpa disertai penurunan kesadaran maupun tanda-tanda lain dari
kerusakan otak. Jika gejala terus berlanjut sampai lebih dari 6 jam atau jika gejala
semakin memburuk, segera dilakukan pemeriksaan lebih jauh untuk mengetahui
apakah telah terjadi cedera kepala yang berat.
Gejala berikut menunjukkan adanya cedera kepala serius yang memerlukan
penanganan medis segera:
• penurunan kesadaran
• perdarahan
• laju pernafasan menjadi lambat
• linglung
• kejang
• patah tulang tengkorak
• memar di wajah atau patah tulang wajah
• keluar cairan dari hidung, mulut atau telinga (baik cairan jernih maupun
berwarna kemerahan)
• sakit kepala (hebat)
• hipotensi (tekanan darah rendah)
• tampak sangat mengantuk.
• Rewel
• penurunan kesadaran
• perubahan perilaku/kepribadian
• gelisah
• bicara ngawur
• kaku kuduk
• pembengkakan pada daerah yang mengalami cedera
• penglihatan kabur
• luka pada kulit kepala
• perubahan pupil .
Kontusio (gegar otak) adalah suatu penurunan kesadaran sementara yang terjadi
segera setelah mengalami cedera kepala.
Cedera kepala bisa menyebabkan memar atau robekan pada jaringan otak maupun
pembuluh darah di dalam atau di sekitar otak, sehingga terjadi perdarahan dan
pembengkakan di dalam otak.
Cedera yang menyebar menyebabkan sel-sel otak membengkak sehingga tekanan
di dalam tulang tengkorak meningkat. Akibatnya penderita kehilangan kekuatan
maupun sensasinya, menjadi mengantuk atau pingsan.
Gejala-gejala tersebut merupakan pertanda dari cedera otak yang berat, dan
kemungkinan akan menyebabkan kerusakan otak yang permanen sehingga pasien
perlu menjalani rehabilitasi.
Jika pembengkakan semakin memburuk, tekanan akan semakin meningkat
sehingga jaringan otak yang sehatpun akan tertekan dan menyebabkan kerusakan
yang permanen atau kematian.
5. Perdarahan yang sering ditemukan
• Epidural Hematoma
Adalah suatu perdarahan diantara tulang tengkorak dan selaputnya/duramater.
Perdarahan ini terjadi akibat kerusakan pada arteri atau vena pada tulang tengkorak.
Perdarahan menyebabkan meningkatnya tekanan di dalam otak sehingga lama-lama
kesadaran anak akan menurun.
Terdapat pengumpulan darah di antara tulang tengkorak dan duramater akibat
pecahnya pembuluh darah / cabang - cabang arteri meningeal media yang terdapat di
duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena itu sangat
berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1-2 hari. Lokasi yang paling
sering yaitu di lobus temporalis dan parietalis. Diagnosis dini sangat penting dan
biasanya tergantung kepada CT Scan darurat.
Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang di dalam
tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian dan
penyumbatan sumber perdarahan.
Gejala-gejala yang terjadi adalah penurunan tingkat kesadaran,nyeri kepala
kadang menghilang, tetapi beberapa jam kemudian muncul lagi dan lebih parah dari
sebelumnya,Muntah, Hemiparesis, Dilatasi pupil ipsilateral, Pernapasan dalam cepat
kemudian dangkal irreguler, Penurunan nadi, Peningkatan suhu.
• Subdural Hematoma
Adalah perdarahan dibawah duramater, biasanya disertai dengan cedera pada
jaringan otak. Gejalanya berupa rasa mengantuk sampai hilangnya kesadaran,
hilangnya sensasi atau kekuatan dan pergerakan abnormal (termasuk kejang).
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan
kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena yang biasanya
terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi
dalam 48 jam - 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau
beberapa bulan.
Tanda-tanda dan gejalanya adalah : nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik
diri, berfikir lambat, kejang dan udema pupil.Perdarahan intracerebral berupa
perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler, vena.
Tanda dan gejalanya adalah nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi
pernapasan, hemiplegia kontra lateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital.
• Hematoma intraventrikuler (perdarahan di dalam rongga internal/ventrikel),
Hematoma intraparenkimal (perdarahan di dalam jaringan otak) maupun
hematoma subaraknoid (perdarahan di dalam selaput pembungkus otak), merupakan
pertanda dari cedera kepala yang berat dan biasanya menyebabkan kerusakan otak
jangka panjang.
6. Patofisiologi

Trauma secara langsung akan menyebabkan cedera yang disebut lesi primer. Lesi
primer ini dapat dijumpai pada kulit dan jaringan subkutan, tulang tengkorak,
jaringan otak, saraf otak maupun pembuluh-pembuluh darah di dalam dan di sekitar
otak. Pada tulang tengkorak dapat terjadi fraktur linier (±70% dari fraktur tengkorak),
fraktur impresi maupun perforasi. Penelitian pada lebih dari 500 penderita trauma
kepala menunjukkan bahwa hanya ± 18% penderita yang mengalami fraktur
tengkorak. Fraktur tanpa kelainan neurologik, secara klinis tidak banyak berarti.

Fraktur linier pada daerah temporal dapat merobek atau menimbulkan aneurisma
pada arteria meningea media dan cabang-cabangnya; pada dasar tengkorak dapat
merobek atau menimbulkan aneurisma a. karotis interna dan terjadi perdarahan lewat
hidung, mulut dan telinga. Fraktur yang mengenai lamina kribriform dan daerah
telinga tengah dapat menimbulkan rinoroe dan otoroe (keluarnya cairan serebro spinal
lewat hidung atau telinga.

Fraktur impresi dapat menyebabkan penurunan volume dalam tengkorak, hingga


menimbulkan herniasi batang otak lewat foramen magnum. Juga secara langsung
menyebabkan kerusakan pada meningen dan jaringan otak di bawahnya akibat
penekanan. Pada jaringan otak akan terdapat kerusakan-kerusakan yang hemoragik
pada daerah coup dan countre coup, dengan piamater yang masih utuh pada
kontusio dan robek pada laserasio serebri. Kontusio yang berat di daerah frontal dan
temporal sering kali disertai adanya perdarahan subdural dan intra serebral yang akut.

Tekanan dan trauma pada kepala akan menjalar lewat batang otak kearah kanalis
spinalis; karena adanya foramen magnum, gelombang tekanan ini akan disebarkan ke
dalam kanalis spinalis. Akibatnya terjadi gerakan ke bawah dari batang otak secara
mendadak, hingga mengakibatkan kerusakan-kerusakan di batang otak.

Saraf otak dapat terganggu akibat trauma langsung pada saraf, kerusakan pada
batang otak, ataupun sekunder akibat meningitis atau kenaikan tekanan intrakranial.

• Kerusakan pada saraf otak I kebanyakan disebabkan oleh fraktur lamina


kribriform di dasar fosa anterior maupun countre coup dari trauma di daerah
oksipital. Pada gangguan yang ringan dapat sembuh dalam waktu 3 bulan.

• Gangguan pada saraf otak II biasanya akibat trauma di daerah frontal.


Mungkin traumanya hanya ringan saja (terutama pada anak-anak) 2 , dan tidak
banyak yangmengalami fraktur di orbita maupun foramen optikum.

• Dari saraf-saraf penggerak otot mata, yang sering terkena adalah saraf VI
karena letaknya di dasar tengkorak. Ini menyebabkan diplopia yang dapat
segera timbul akibat trauma, atau sesudah beberapa hari akibat dari edema
otak.

• Gangguan saraf III yang biasanya menyebabkan ptosis, midriasis dan refleks
cahaya negatif sering kali diakibatkan hernia tentorii.

• Gangguan pada saraf V biasanya hanya pada cabang supra-orbitalnya, tapi


sering kali gejalanya hanya berupa anestesi daerah dahi hingga terlewatkan
pada pemeriksaan.

• Gangguan Saraf VII dapat segera memperlihatkan gejala, atau sesudah


beberapa hari kemudian. Yang timbulnya lambat biasanya cepat dapat pulih
kembali, karena penyebabnya adalah edema. Kerusakannya terjadi di kanalis
fasialis, dan sering kali disertai perdarahan lewat lubang telinga. Banyak
didapatkan gangguan saraf VIII pada. trauma kepala, misalnya gangguan
pendengaran maupun keseimbangan.Edema juga merupakan salah satu
penyebab gangguan.
• Gangguan pada saraf IX, X dan XI jarang didapatkan, mungkin karena
kebanyakan penderitanya meninggal bila trauma sampai dapat menimbulkan
gangguan pada saraf- saraf tersebut.
Akibat dari trauma pada pembuluh darah, selain robekan terbuka yang dapat
langsung terjadi karena benturan atau tarikan, dapat juga timbul kelemahan dinding
arteri. Bagian ini kemudian berkembang menjadi aneurisma. Aneurisma pasca
traumatik ini bisa terdapat di semua arteri, dan potensial untuk nantinya menimbulkan
perdarahan subaraknoid. Robekan langsung pembuluh darah akibat gaya geseran
antar jaringan di otak sewaktu trauma akan menyebabkan perdarahan subaraknoid,
maupun intra serebral. Robekan pada vena-vena yang menyilang dari korteks ke sinus
venosus (bridging veins) akan menyebabkan suatu subdural hematoma.
7. Pemeriksaan Penunjang
• CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan :
Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam
setelah injuri.
• MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
• Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti :
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
• Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
• X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
• BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
• PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
• CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
• ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial
• Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrkranial
• Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan kesadaran.
• Darah lengkap
8. Penatalaksanaan medis
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah
sebagai berikut:
a. Observasi 24 jam
b. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu
c. Berikan terapi intravena bila ada indikasi
d. pasien diistirahatkan atau tirah baring
e. Profilaksis diberikan bila ada indikasi
f. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
g. Pemberian obat-obat analgetik.
h. Pembedahan bila ada indikasi

9. Dampak Cedera Kepala


a. Faktor pernafasan
Hypertensi setelah cedera kepala terjadi karena pengaruh vasokonstriksi paru,
hypertensi paru, dan oedema paru. Hal ini menyebabkan hypercapnea dan
bronkokonstriksi. Sensitifitas yang meningkat pada mekanisme pernafasan terhadap
karbondioksida dan periode setelah hyperventilasi akan menyebabkan pernafasan
chynestoke.
b. Faktor kardiovaskuler
Cedera kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung yang mencakup aktivitas
atycikal myocardinal, edema paru dan tekanan vaskuler. Perubahan otonom pada fungsi
ventrikel / perubahan gelombang T, gelombang P tinggi dan disritmia, vibrilasi atrium
dan ventrikel tachycardia. Perubahan aktivitas myokardial mencakup peningkatan
frekuensi jantung dan menurunnya stroke work, CVP abnormal. Dengan tidak adanya
endogenous stimulus saraf simpatis, maka akan mempengaruhi penurunan kontraktilitas
ventrikel. Hal ini mengakibatkan terjadinya penurunan CO2 dan peningkatan tekanan
atrium kiri sehingga terjadi oedema paru.
c. Faktor gastrointestinal
Setelah cedera kepala, perlukaan dan perdarahan pada lambung jarang ditemukan,
tetapi setelah 3 hari pasca cedera terdapat respon yang besar dan merangsang aktivitas
hypthalamus dan stimulus vagus yang dapat menyebabkan langsung hiperacidium.
Hypothalamus merangsang anterior hypofise untuk mengeluarkan steroid adrenal. Hal ini
merupakan kompensasi tubuh dalam mengeluarkan kortikosteroid dalam menangani
oedema cerebral. Hyperacidium terjadi karena adanya peningkatan pengeluaran
katekolamin dalam menangani stres yang mempengaruhi produksi asam lambung.
d. Faktor metabolisme.
Cedera kepala dapat mengakibatkan perubahan metabolisme seperti pada trauma
tubuh lainnya, yaitu kecendrungan retensi sodium / natrium dan air serta hilangnya
sejumlah nitrogen.
Retensi natrium disebabkan karena adanya rangsangan terhadap hypothalamus yang
dapat menyebabkan pelepasan ACTH dan sekresi aldosteron. Ginjal mengambil peran
dalam proses hemodinamik ginjal untuk mengatasi retensi natrium. Kemudian natrium
keluar bersama urine, hal ini mempengaruhi hubungan natrium pada serum dan adanya
retensi natrium.
Pada pasca hypotermia hilangnya nitrogen yang berlebihan sama dengan respon
metabolik terhadap cedera, karena adanya cedera tubuh maka diperlukan energi untuk
menangani perubahan seluruh sistem, tetapi makanan yang masuk kurang sehingga
terjadi penghancuran protein otot sebagai sumber nitrogen utama, demikian pula respon
hypothalamus terhadap cedera, maka akan terjadi sekresi kortisol, hormon pertumbuhan
dan produksi katekolamin dan prolaktin sehingga terjadi asidosis metabolik karena
adanya metabolisme anaerob glukosa

BAB III
PEMBAHASAN KASUS

Kasus 2
Nn. Noni (20 tahun) masuk UGD dengan kecelakaan lalu lintas sepeda motor, ditemukan
pingsan , GCS 10, gelisah, mata lebam, dan luka pada frontal kanan, TD 130/90 mmHg, N=
110 x/menit, S= 36,2 derajat C. Hasil CT scan menunjukkan ada perdarahan yang cukup
banyak diantara otak dan durameter pada area frontal kanan. Nn.noni diputuskan untuk
dirawat di ruang intermediate care. Keesokan harinya ditemukan Klien GCS menurun
menjadi 7, N = 65 x/menit, P = 10x/menit, TD 160/100mmHg, S= 38,5 derajat C, refleks
pupil kanan/kiri midriasis, ditemukan kelemahan pada ekstremitas kiri dan kilen gelisah.

Pembahasan kasus :
Diagnosa medis : Cedera Kepala berat pada daerah subdural hematoma
Hematoma subdural adalah akumulasi darah dibawah lapisan duramater dan di atas
lapisan arakhnoid, penyebabnya adalah robekan permukaan vena atau pengeluaran kumpulan
darah vena. Kelompok lansia dan kelompok alkoholik merupakan kelompok yang mempunyai
frekuensi jatuh yang tinggi serta derajat atrofi kortikal yang menempatkan struktur jembatan
vena yang menimbulkan permukaan otak dibawah tekanan lebih besar.
Hematoma Subdural Akut
Trauma yang merobek duramater dan arachnoid sehingga darah dan CSS masuk ke dalam
ruang subdural. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan
herniasi batang otak. Keadaan ini menimbulkan berhentinya pernafasan dan hilangnya kontrol
denyut nadi dan tekanan darah. Cedera ini menunjukkan gejala dalam 24 – 48 jam setelah
trauma. Diagnosis dibuat dengan arteriogram karotis dan ekoensefalogram / CT Scan.
Pengobatan terutama tindakan bedah.
Lebih dari sepertiga pasien mempunyai lucid interval yang berakhir dalam menit atau
hitungan jam sebelum koma, tetapi kebanyakan komatose didapatkan dari saat kejadian. Trauma
cranial langsung dapat minor dan tidak dibutuhkan perdarahan subdural akut untuk timbul,
terutama pada orang tua dan mereka yang menggunakan medikasi antikoagulan. Tahanan
Akselerasi sendiri, dari kejadian, terkadang cukup untuk menimbulkan suatu perdarahan
subdural. Nyeri kepala sebelah dan pembesaran pupil pada sisi yang sama adalah lebih sering
tetapi tidak tampak seringnya. Stupor atau koma, hemiparesis, dan pembesaran pupil merupakan
tanda dari hematoma yang besar. Pada pasien deteriorisasi akut, burr holes atau pada craniotomy
dibutuhkan. Hematoma subdural kecil dapat menjadi asimptomatik dan biasanya tidak
membutuhkan evakuasi.
b. Hematoma Subdural Subakut
Perdarahan ini menyebabkan devisit neurologik yang bermakna dalam waktu lebih dari 48
jam. Peningkatan tekanan intra kranial disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan
herniasi ulkus / sentral dan melengkapi tanda – tanda neurologik dari kompresi batang otak.
Pengobatan ini dengan pengangkatan bekuan darah. Sindrom yang melibatkan sub akut akibat
sindroma hematom subdural timbul berhari-hari setelah gangguan dengan nyeri kepala, atau
hemiparesis ringan; hal ini biasanya meningkat pada alkoholik dan pada orang tua, seringkali
setelah trauma minor.
Pada studi imaging tampak pengumpulan crescentik melewati konveksitas pada satu atau
kedua hemisfer, tetapi lebih sering pada wilayah frontotemporal, dan sedikit sering pada fosa
mid inferior atau melalui oksipital. Interhemispheric, posterior fossa, atau bilateral convexity
hematomas sedikit lebih sering dan sulit untuk didiagnosa secara klinis, meskipun tanda yang
diharapkan pada setiap kerusakan wilayah biasanya dapat dideteksi. Perdarahan yang dapat
menyebabkan hematoma yang besar aslinya merupakan vena, meskipun perdarahan arterial tambahan
ditempat terkadang ditemukan pada saat operasi dan beberapa hematoma yang besar memang berasal dari
arteri. Dan patofisiologi dari Hematoma subdural adalah

Cedera kepala berat

Bergesernya seluruh parenkim otak

Kerusakan arteri kortikalis

Perdarahan jaringan otak

Meningkatnya jaringan otak dan herniasi batang otak diforamen magnum

Deficit neurologis progresif tulang batang otak

Kelemahan motorik gangguan pernapasan darah dan nadi


Proses Keperawatan
I. Pengkajian

Tanggal 17 april 2010

Data Objektif :

• Klien kecelakaan lalu lintas sepeda motor , ditemukan pingsan.

• GCS 10

• Gelisah

• Mata lamban

• Luka pada frontal kanan

• TD 130/90 mmHg

• N : 110x/mnit

• S: 36,2 derajat C

• Hasil CT scan menunjukkan ada perdarahan yang cukup banyak diantara otak dan
durameter pada area frontal kanan.

Tanggal 18 april 2010

• Klien GCS menurun menjadi 7

• N = 65 x/menit

• P = 10x/menit

• TD 160/100mmHg

• S= 38,5 derajat C

• refleks pupil kanan/kiri midriasis

• ditemukan kelemahan pada ekstremitas kiri dan kilen gelisah.

II. Wawancara
Jika pasien tidak sadar/koma maka data-data yang diperlukan untuk mengetahui riwayat
keperawatan yang dapat diambil dari keluarga, teman atau orang-orang yang dekat dengan
pasien, terutama yang berada disekitar kejadian untuk mengetahui :
• Kapan waktu kejadian?
• Apa penyebab terjadinya trauma kepala?
• Bagaimana posisi saat kejadian?
• Bagaimana kecepatan proyektilnya?
• Apakah terjadi pingsan/riwayat kehilangan kesadaran?
• Apakah ada perdarahan melalui mulut, hidung dan telinga?
• Riwayat lain yang perlu dikaji yaitu riwayat medis dan pembedahan, penggunaan
alkohol atau obat-obatan?
• Riwayat kesehatan sebelumnya?
• Pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian?

III. Pemeriksaan fisik


• Kaji tanda-tanda vital
• Suhu meningkat, bisa mencapai 40 derajat Celsius,
• Nadi bradikardi, pada keadaan berat nadi takhikardi,
• Pernafasan tidak teratur bradipnea, pada keadaan berat cheyne stokes, bila
kontusio terjadi karena incisura tentorial maka pernafasan mengorok.
• Pada tekanan darah terdapat peningkatan darah sistolik dengan tekanan
darah diastolik yang stabil/turun.
• Pada pemeriksaan kepala dan leher, pemeriksaan seluruh kepala untuk
mengetahui adanya fraktur tengkorak, perdarahan lubang hidung, telinga dan
mulut. Bila ada cairan keluar berwarna putih menunjukkan adanya kebocoran
pada cerebrospinal.
• Periksa leher pasien dan tentukan apakah ada tanda-tanda fraktur di daerah
servical. Dian dan James mengatakan bahwa 20 % pasien trauma kepala juga
mengalami fraktur servikal. Hal ini penting diketahui karena jika ada kecurigaan
maka resusitasi (tindakan memperlancar pernafasan pasien) hendaknya tanpa
hiperekstensi leher atau rotasi, terutama pada fraktur cervical tinggi dapat
mengakibatkan kematian mendadak.
• Pengkajian tingkat kesadaran, pada pasien trauma kepala terutama kontusio
karena merupakan prediktor dan indikator prognosis yang sensitif. Alat yang
dipakai untuk menentukan atau mengukur tingkat kesadaran yaitu : Skala Coma
Glasgow.
• Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot,
hiperventilasi, ataksik)
• Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
• Fungsi sensori-motor adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan diskriminasi
suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia, riwayat kejang.
• Sistem pencernaan : Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks
menelan, kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Jika
pasien sadar tanyakan pola makan?
• Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik, hemiparesis/plegia, gangguan
gerak volunter, ROM, kekuatan otot.
• Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan, disfagia atau afasia
akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
IV. Pemeriksaan penunjang

• Hasil CT scan menunjukkan ada perdarahan yang cukup banyak diantara otak dan
durameter pada area frontal kanan
laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai normal
Darah lengkap
• Leukosit 10.000 L 4.700 – 10.300 P 4.500 – 11.300
• Eritrosit 4,0 L 4,33 – 5,95 P 3,9 – 4,5
• Hb 12 mg/dl L 13,4 – 17,7 P 11,4 – 15,1
• Trombosit 190 150 – 350
17 mm/jam L < 15 P < 20
• LED

3,16 mmol/l <3,75 mmol/24 jam


• Kalsium
136 mmol/l 135 – 145 mmol/l
• Natrium

AGD
7, 00 7,35 – 7,45
• PH 30 mmHg 35 – 45 mmHg
• PCO2 110 mmHg 95 – 100 mmHg
• PO2 23 21- 28
• HCO3
II. Diagnosa Keperawatan

1. Pola napas tak efektif b.d kerusakan neurovaskuler yang dimanifestasikan oleh P =
10x/menit
2. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d penghentian aliran darah oleh SOL
(hemoragi,hematoma) yang dimanifesatasikan oleh perubahan ingkat kesadaran, gelisah,
Klien GCS menurun menjadi 7, N = 65 x/menit, P = 10x/menit, TD 160/100mmHg, dan
S= 38,5 derajat C
3. Risiko tinggi nutiris kurang dari kebutuhan tubuh b.d penurunan tingkat kesadaran, status
hipermetabolik.
4. Risiko tinggi kerusakan mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan atau tahanan yang
dianifestasikan oleh kelemahan pada ekstremitas kiri
III.Perencanaan
Diagnosa 1 : Pola napas tak efektif b.d kerusakan neurovaskuler yang dimanifestasikan oleh
P = 10x/menit
Tujuan :
• pola nafas efektif
• mencegah/meminimalkan komplikasi
Kriteria hasil:
• pola nafas normal/efektif
• bebas sianosis
• GDA dalam batas normal

Paraf
Perencanaan Rasional
perawat
Mandiri
1. Pantau frekuaensi, irama, kedalaman 1. Perubahan dapat
pernapasan. Catat ketidakteraturan menandakan awitan
pernapasan komplikasi pulmonal
(umumnya mengikuti
cedera otak) atau
menandakan lokasi/luasnya
keterlibatan otak.
Pernapasan lambat, periode
apnea dapat menandakan
perlunya ventilasi mekanis
2. Anjurkan pasien untuk melakukan 2. Mencegah/menuru
napas dalam yang efektif jika pasien nkan atelektasis
sadar.
3. Auskultasi suara nafas, perhatikan 3. Untuk
daerah hiperventilasi dan adanya mengidentifikasi adanya
suara-suara tambahan yang tidak masalah paru seperti
normal (krekels, ronki, mengi) atelektasis, kongesti, atau
obstruksi jalan napas yang
membahayakan oksigenasi
serebral dan/atau
menandakan terjadinya
infeksi paru (umumnya
merupakan komplikasi dari
cedera kepala)
4. Pantau penggunaan dari obat-obat 4. Dapat
depresan pernapasan, seperti sedative meningkatkan
gangguan/komplikasi
Kolaboratif pernapasan
Pantau atau gambarkan analisa gas darah,
tekanan oksimetri 1. Menentukan kecukupan
pernapasan, keseimbangan
asam basa dan kebutuhan
Lakukan ronsen toraks ulang akan terapi
2. Melihat kembali keadaan
ventilasi dan tanda-tanda
komplikasi yang
berkembang (seperti
atelektasis dan
Berikan oksigen bronkopneumonia)
3. Memaksimalkan oksigen
pada darah arteri dan
membantu dalam
pencegahan hipoksia. Jika
pusat pernapasan tertekan,
mungkin diperlukan
ventilasi mekanik

Diagnosa 2 : Perubahan perfusi jaringan serebral b.d penghentian aliran darah oleh SOL
(hemoragi,hematoma) yang dimanifesatasikan oleh perubahan ingkat kesadaran, gelisah, Klien
GCS menurun menjadi 7, N = 65 x/menit, P = 10x/menit, TD 160/100mmHg, dan S= 38,5
derajat C
Tujuan :
• Memaksimalkan perfusi atau fungsi serebral
• Mencegah atau meminimalkan komplikasi
Kriteria hasil :
• Mempertahankan tingkat kesadaran biasa atau perbaikan, kognisi, dari fungsi
motorik/sensori
• Tanda vital dalam batas normal
• Tak ada peningkatan tekanan intracranial
Paraf
Perencanaan Rasional
Perawat
Mandiri
1. Otak Tentukan faktor-faktor yang Menentukan pilihan intervensi.
berhubungan dengan kedaan tertentu Penurunan tanda /gejala
atau yang menyebabkan neurologis atau kegagalan dalam
koma/penurunan perfusi jaringanotak pemulihannya setelah serangan
dan potensial peningkatan tekanan awal mungkin menunjukkan
intrakranial bahwa pasien itu perlu
dipindahkan ke perawatan
intensif untuk memantau TIK
dan/atau pembedahan.
2. Pantau/catat status neurologis secara 2. Mengkaji adanya
teratur dan bandingkan dengan nilai kecenderungan pada
standar (misalnya skala koma tingkat kesadaran dan
glascow) potensial peningkatan TIK
dan bermanfaat dalam
menentukan lokasi,
perluasan, dan
3. Pantau Td, catat adanya hipertensi perkembangan kerusakan
sistolik secara terus-menerus dan SSP
tekanan nadi yang semakin berat. 3. Peningkatan tekanan
darah sistemik yang
diikuti oleh penurunan
4. Frekuensi jantung, catat adanya tekanan darah diastolic
bradikardi, takikardi atau bentuk (nadi yang membesar)
disritmia lainnya. merupakan tanda
terjadinya peningkatan
TIK.
4. Perubahan ritme (paling
sering bradikardi) adan
5. Pantau pernafasan meliputi pola dan disritmia dapat timbul
iramanya. yang mencerminkan
adanya depresi/trauma
pada batang otak pada
6. Evaluasi keadaan pupil. pasien yang mempunyai
kelainan jantung
sebelumnya.
5. Nafas yang tidak teratur
dapat menunjukkan lokasi
7. Kaji perubahan penglihatan adanya gangguan
serebral/peningkatan TIK.
6. Reaksi pupil diatur oleh
saraf cranial okulomotor
(III) dan berguna untuk
menentukan apakah
batang otak masih baik.

8. Pantau suhu lingkungan dan atur 7. Gangguan penglihatan


suhu lingkungan sesuai indikasi. yang dapat diakibatkan
oleh kerusakan
9. Pantau pemasukan dan pengeluaran. mikroskopik pada otak,
mempunyai konsekuensi
terhadap keamanan dan
juga kan mempengaruhi
10. Pertahankan kepala/leher pada posisi pilihan intervensi.
tengah atau pada posisi netral, sokong 8. Demam dapat
dengan gulungan handuk kecil atau mencerminkan kerusakan
bantal kecil. Hindari pemakaian pada hipotalamus.
bantal besar pada kepala. 9. Bermanfaat sebagai
indicator dari cairan total
11. Perhatikan adanya gelisah yang tubuh yang terintegrasi
meningkat, peningkatan keluhan dan dengan perfusi jaringan.
tingkah laku yang tidak sesuai 10. Kepala yang miring pada
lainnya. salah satu sisi menekan
vena jugularis dan
menghambat aliran darah
vena, yang selanjutnya
kan meningkatkan TIK.
Kolaborasi 11. Petunjuk nonverbal ini
Berian oksigen tambahan sesuai indikasi mengindikasikan adanya
peningkatn TIK atau
menandakan adanya nyeri
ketika pasien tidak dapat
Pantau GDA/oksimetri mengungkapkan
keluhannya secara verbal.
Berikan obat sesuai indikasi :
Anti konvulsan (fenotoin, dilantin) • Menurunkan hipoksemia,
yang mana dapat
Sedative , difenhidramin meningkatkan vasodilatasi
dan volume serebral yang
Antipiretik , asetaminofen (tylenol) meningkatkan TIK.
• Menetukan kecukupan
pernapasan
• Untuk mengatasi dan
mencegah terjadinya
aktivitas kejang.
• Untuk mengendalikan
Diuretik (manitol) kegelisahan, agitasi
• Menurunkan atau
mengendalikan demam
dan mempunyai pengaruh
meningkatkan
Persiapan untuk melakukan pembedahan metabolisme serebral atau
peningkatan terhadap
kebutuhan oksigen.
• Dapat digunakan pada
fase akut untuk
menurunkan air dari sel
otak, menurunkan edema
otak dan TIK.
• Kraniotomi atau trefinasi
mungkin diperlukan untuk
memindahkan fragmen
tulang, evakuasi
hematoma,
mengendalikan
hemoragik, dan
membersihkan jaringan
nekrotik.

Diagnosa 3 : Risiko tinggi nutiris kurang dari kebutuhan tubuh b.d penurunan tingkat
kesadaran, status hipermetabolik.
Tujuan : nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh tidak terjadi
Kriteria hasil :
• Tidak mengalami tanda-tanda gangguan nutrisi, dengan nilai laboratorium dalam
rentang normal
• Pemeliharaan dan kemajuan peningkatan berat badan sesuai tujuan
Paraf
Perencanaan Rasional
perawat
Mandiri
1. Kaji kemampuan pasien dalam menelan, 1. Factor ini menentukan
mengunyah, batuk, dan mengatasi peilihan jenis makanan
sekresi. sehingga pasien harus
terlindungi dari aspirasi.
2. Auskultasi bising usus , catat adanya 2. Fungsi saluran pencernaan
penurunan / hilangnya suara yang bisanya tetap baik pada
hiperaktif kasus cedera kepala
3. Jaga keamanan saat memberikan 3. Menurunkan regurgitasi
makanan pada pasien dan/atau terjadinya
aspirasi
4. Kaji feses, cairan lambung, muntah darah 4. Perdarahan sub akut/akut
dan sebagainya dapat terjadi dan perlu
intervensi dan metoda
alternative pemberian
makanan.

Kolaborasi
Konsultasi dengan ahli gizi
• Merupakan sumber yang
efektif untuk
mengidentifikasi
kebutuhan kalori/ nutrisi
Pantau pemerisaan lab (albumin, zat besi,
• Mengidentifikasi efisiensi
elektrolit darah)
nutrisi, fungsi organ, dan
respon terhadap terapi
nutrisi tersebut.
Berikan makanan dengan cara yang sesuai
• Pemilihan rute dan jenis
(NGT, oral, cair , lunak)
makanan tergantung pada
kebutuhan dan
kemampuan pasien

Diagnosa 4 : Risiko tinggi kerusakan mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan atau tahanan
yang dianifestasikan oleh kelemahan pada ekstremitas kiri
Tujuan : kerusakan mobilitas fisik tidak terjadi
Kriteria hasil :
• Mempertahan / meningkatakan fungsi bagian tubuh yang sakit dan atau
kompensasi.
• Mempertahankan intregitas kulit, kandung kemih, dan fungsi usus
Paraf
Perencanaan Rasional
perawat
Mandiri
1. Periksa kembali kemampuan 1. Mengidentifikasi kemungkinan
dan keadaan secara fungsional kerusakan secara fungsional dan
pada kerusakan yang terjadi mempengaruhi pilihan intervensi
yang akan dilakukan.
2. Letakkan pasien dalam posisi 2. Perubahan posisi yang teratur
tertentu untuk menghindari menyebabkan penyebarab terhadap
kerusakan karena tekanan. berat badan dan meningkatkan
sirkulasi pada seluruh tubuh.
3. Pemakaian kateter Foley selama
3. Pantau haluaran urine. Catat fase akut mungkin dibutuhkan
warna dan bau urine untuk jangka waktu panjang
sebelum memungkinkan untuk
melakukan latihan kandung kemih.
4. Berikan cairan dalam batas- 4. Sesaat setelah fase akut cedera
batas yang dapat ditoleransi kepala dan jika pasien tidak
(contoh toleransi oleh memiliki factor kontraindikasi yang
neurologis dan jantung) lain.
5. Berikan perawatan kulit 5. Meningkatkan sirkulasi dan
dengan cermat elastisitas kulit dan menurunkan
risiko terjadinya eksoriasi kulit.

Dari kasus diatas maka pelaksanaan yang dapat dilakukan adalah :


• Konservatif
a. Sebagaimana dengan pasien trauma lain, resusitasi dimulai dengan ABCs (airway,
breathing, circulation).
o Semua pasien dengan skor GCS kurang dari 8 harus dilakukan intubasi untuk
perlindungan jalan nafas.
o Setelah menstabilkan fungsi jalan nafas, lakukan pemeriksaan neurologis.
Respirasi yang adekuat sebaiknya dilakukan dan dijaga untuk menghindari
hipoksia. Hiperventilasi dapat digunakan jika sindrom herniasi tampak.
o Tekanan darah pasien harus dijaga pada kadar normal atau tinggi dengan
menggunakan salin isotonic, penekan, atau keduanya. Hipoksia dan hipotensi,
dimana penting pada pasien dengan trauma kepala, merupakan predictor yang
independen untuk hasil yang buruk.
b. Pasien juga sebaiknya dihiperventilasikan ringan (pCO2 adalah 30-35 mm Hg).
c. Jangan memberikan steroid, sebagaimana mereka telah ditemukan tidak efektif
pada pasien dengan trauma kepala
d. Pemberian obat :
• Diuretik : untuk menurunkan air dari sel otak, menurunkan edema otak, dan TIK
• Anti konvulsan : untuk mencegah aktivitas kejang
• Sedatif : euntuk mengendalikan kegelisahan, agitasi. Sedatif kerja singkat dan
paralitik digunakan hanya ketika diperlukan untuk memfasilitasi ventilasi adekuat
atau ketika peningkatan tekanan intracranial dicurigai. Jika pasien menampakkan
tanda sindrom herniasi, berikan manitol 1grkg dengan cepat melalui intravena
• Antipiretik : menurunkan dan mengendalikan deman
• Operatif
Tindakan eksploratif burrhole dilanjutkan tindakan kraniotomi, pembukaan dura,
evakuasi hematoma dengan irigasi memakai cairan garam fisiologis. Sering tampak
jaringan otak edematous.
Disini dura dibiarkan terbuka, namun tetap diperlukan penutupan ruang likuor hingga
kedap air. Ini dijalankan dengan bantuan periost. Perawatan pascabedah ditujukan pada
faktor-faktor sistemik yang memungkinkan lesi otak sekunder.
Fraktur impresi terbuka (compound depressed fracture). Indikasi operasi
terutama adalah debridement, mencegah infeksi. Operasi secepatnya dikerjakan.
Dianjurkan sebelum lewat 24 jam pertama. Pada impresi tertutup, indikasi operasi tidak
mutlak kecuali bila terdapat kemungkinan lesi massa dibawah fraktur atau penekanan
daerah motorik (hemiparesis dan lain-lain).
Indikasi yang lain (lebih lemah), ialah kosmetik dan kemungkinan robekan dura.
Diagnosis dengan x foto kepala 2 proyeksi, kalau perlu dengan proyeksi tangensial.
Impresi lebih dari tebal tulang kepala pada x foto tangensial, mempertinggi kemungkinan
robekan dura. X foto juga diperlukan untuk menentukan letak fragmen-fragmen dan
perluasan garis fraktur; dengan ini ditentukan pula apakah fraktur menyilang
sinus venosus. Impresi fraktur tertutup yang menyilang garis tengah merupakan
kontra indikasi relatif untuk operasi, dalam arti sebaiknya tidak diangkat bila tidak
terdapat gejala yang mengarah pada kemungkinan lesi massa atau penekanan otak.
Dalam hal fraktur impresi terbuka yang menyilang sinus venosus maka persyaratan untuk
operasi bertambah dengan :
• bila luka sangat kotor.
• bila angulasi besar.
• bila terdapat persediaan darah cukup.
• bila terdapat ketrampilan (skill)dan peralatan yang cukup.
Indikasi dari dekompresi mendesak untuk subdural hematoma akut telah dilakukan
sebelumnya, dan managemen operasi didiskusikan dengan ringkas.
Standar kebalikan pertanyaan menandakan insisi untuk memberikan akses yang besar
terhadap wilayah frontal, temporal dan parietal.
• Pasien diposisikan supine dengan kepala menghadap sisi yang perlu. Penahan bahu
ditempatkan untuk mencegah vena jugularis. Alat Fiksasi kepala 3 titik digunakan
pada pasien dengan fraktur medulla spinalis yang tidak stabil.
• Seluruh kepala dicukur duntuk memfasilitasi penempatan monitor tekanan
intracranial pada sisi kontralateral, jika diinginkan.
Pelubangan eksplorasi jarang diindikasikan tetapi terkadang digunakan sebagai
pengukuran untuk keselamatan hidup. Pasien dengan trauma kepala dapat secara cepat
ditriasekan dan dievakuasi dengan pusat trauma melalui CT Scan, membuat perlubangan
eksplorasi manjadi ketinggalan. Bagaimanapun, perlubangan kepala dapat digunakan untuk
dekompresi mendesak pada pasien yang menunjukkan herniasi cepat jika akses untuk studi
radiografi tidak ada.
SDH seringkali dikaitkan dengan pembengkakan otak akut. Secara ironis, dekompresi
cepat subdural hematom melalui craniotomy pada pasien ini dapat menyebabkan kerusakan
terhadap otak dengan menjadi herniasi melalui defek kraniotomi. Metode novel untuk
dekompresi dianjurkan untuk mencegah otak dari kerusakan melalui defek kiraniotomi.
Sumbatan dapat dipindahkan melalui pembukaan dura yang kecil.

Anda mungkin juga menyukai