Hernia Nukleus pulposus (HNP) adalah suatu keadaan dimana terjadi penonjolan pada
diskus intervertebralis ke dalam kanalis vertebralis (protrusi diskus ) atau nucleus pulposus
yang terlepas sebagian tersendiri di dalam kanalis vertebralis (rupture discus).
2. Etiologi
Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya HNP adalah sebagai berikut:
• Riwayat trauma
• Riwayat pekerjaan yang perlu mengangkat beban beban berat, duduk, mengemudi
dalam waktu lama.
• Sering membungkuk.
• Posisi tubuh saat berjalan.
• Proses degeneratif (usia 30-50 tahun).
• Struktur tulang belakang.
• Kelemahan otot-oto perut, tulang belakang.
3. Patofisiologi
Sebagian besar heniasi diskus, terjadi di daerah lumbal di antara ruang L4 ke L5 atau L5 ke
S1. Protrusi atau ruptur nukleus pulposus biasanya didahului dengan perubahan degeneratif
yang terjadi pada proses penuaan. Kehilangan protein polisakarida dalam diskus
menurunkan kandungan air nukleus pulposus. Perkembangan pecahan yang menyebar di
anulus melemahkan pertahanan pada herniasi nukleus. Setela trauma (jatuh, kecelakaan,
dan stress minor berulang seperti mengangkat) kartilago dapat cedera.
Pada kebanyakan pasien, gejala trauma segera bersifat khas dan singkat, dan gejala ini
disebabkan oleh cedera pada diskus yang tidak terlihat selama beberapa bulan maupun
tahun. Kemudian pada degenerasi pada diskus, kapsulnya mendorong ke arah medula
spinalis atau mungkin ruptur dan memungkinkan nukleus pulposus terdorong terhadap
sakus dural atau terhadap saraf spinal saat muncul dari kolumna spinal.
Hernia nukleus pulposus ke kanalis vertebralis berarti bahwa nukleus pulposus menekan
pada radiks yang bersama-sama dengan arteria radikularis berada dalam bungkusan dura.
Hal ini terjadi kalau tempat herniasi di sisi lateral. Bilamana tempat herniasinya ditengah-
tengah tidak ada radiks yang terkena. Lagipula,oleh karena pada tingkat L2 dan terus
kebawah sudah tidak terdapat medula spinalis lagi, maka herniasi di garis tengah tidak
akan menimbulkan kompresi pada kolumna anterior.
Setelah terjadi hernia nukleus pulposus sisa duktus intervertebralis mengalami lisis
sehingga dua korpora vertebra bertumpang tindih tanpa ganjalan.
4. Macam-macam HNP
a. HNP sentral
HNP sentral akan menimbulkan paraparesis flasid, parestesia, dan retensi urine
b. HNP lateral
Rasa nyeri terletak pada punggung bawah, ditengah-tengah antara pantat dan betis,
belakang tumit dan telapak kaki. Ditempat itu juga akan terasa nyeri tekan. Kekuatan
ekstensi jari ke V kaki berkurang dan refleks achiler negatif. Pada HNP lateral L 4-5
rasa nyeri dan tekan didapatkan di punggung bawah, bagian lateral pantat, tungkai
bawah bagian lateral, dan di dorsum pedis. Kekuatan ekstensi ibu jari kaki berkurang
dan refleks patela negatif. Sensibilitas [ada dermatom yang sdesuai dengan radiks yang
terkena menurun. Pada percobaan lasegue atau test mengnagkat tungkai yang lurus
(straigh leg raising) yaitu mengangkat tungkai secara lurus dengan fleksi di sendi
panggul, akan dirasakan nyeri disepanjang bagian belakang (tanda lasefue positif).
Valsava dab nafsinger akan memberikan hasil posistif .
Arah tersering dari herniasi nucleus pulposus adalah posteolateral. Karena aka saraf di
daerah lumbal, miring ke bawah sewaktu keluar melalui foramen saraf. Herniasi diskus
antara L5 dan S1 lebih mempengaruhi akar saraf S1. Herniasi diskus antara L4 dan L5
menekan saraf L5.
6. Penatalaksanaan
a. Konservatif bila tidak dijumpai defisit neurologik :
• Tidur diatas kasur yang keras
• Exercise digunakan untuk mengurangi tekanan atau kompresi saraf.
• Terapi obat-obatan : muscle relaxant, nonsteroid, anti inflamasi drug dan analgetik.
• Terapi panas dingin.
• Imobilisasi atau brancing, dengan menggunakan lumbosacral brace atau korset
• Terapi diet untuk mengurangi BB.
• Traksi lumbal
• Transcutaneus Elektrical Nerve Stimulation (TENS).
b. Pembedahan
Macam-macam pembedahan
• Laminectomy hanya dilakukan pada penderita yang mengalami nyeri menetap dan
tidak dapat diatasi, terjadi gejala pada kedua sisi tubuh dan adanya gangguan
neurology utama seperti inkontinensia usus dan kandung kemih serta foot droop.
Laminectomy adalah suatu tindakan pembedahan atau pengeluaran atau
pemotongan lamina tulang belakang dan biasanya dilakukan untuk memperbaiki
luka pada spinal. Laminectomy adalah pengangkaan sebagian dari discus lamina
(Barbara C. Long, 1996).Laminectomy adalah memperbaiki satu atau lebih lamina
vertebra, osteophytis, dan herniated nucleus pulposus.
• Disektomi : Mengangkat fragmen herniasi atau yang keluar dari diskus
intervertebral
• Faraminotomi.
Pembedahan diskus dan permukaan sendi untuk mengangkat tulang yang menekan
syaraf.
• Mikrodisektomi
Penggunaan mikroskop saat operasi untuk melihat potongan yang mengganggu dan
menekan serabut syaraf
Indikasi pembedahan:
• Pasien yang mengalami nyeri rekalsitran persisten
• Pasien yang sering mengalami nyeri meskipun telah dilakukan terapi konservatif
• Pasien dengan gangguan neurologic besar, seperti: kelemahan motorik progresif
akibat cedera akar saraf atau inkontinensia urine atau alvi.
7. Komplikasi
• Kelemahan dan atropi otot
• Trauma serabut syaraf dan jaringan lain
• Kehilangan kontrol otot sphinter
• Paralis / ketidakmampuan pergerakan
• Perdarahan
• Infeksi dan inflamasi pada tingkat pembedahan diskus spinal
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
KASUS 4
Tn. Munir (48 th) mengeluh nyeri pinggang menjalar ke kaki. Kedua kaki seperti kesemutan
sejak 2 minggu yang lalu. Hasil pemeriksaan fisik ditemukan postur berjalan normal, saat duduk
Tn. Munir selalu memilih kursi dengan senderan punggung dan tangan. Lab menunjukan hasil
normal.
Pengkajian
1. Wawancara
a. Pola aktivitas/istirahat:
Klien mengatakan:
• mengemudi dalam waktu lama, karena pekerjaannya sebagai pengemudi truk
sampah
• penurunan rentang gerak dari ekstermitas pada salah satu bagian tubuh, tidak
mampu melakukan aktivitas yang biasanya dilakukan.
b. Eliminasi : klien mengatakan mengalami kesulitan BAB sejak 2 hari yang lalu
c. Nyeri / kenyamanan :
Klien mengatakan:
• Nyeri seperti tertusuk pisau
• Nyeri pinggang yang menjalar ke kaki, bokong (lumbal)
• tidak dapat membungkuk ke depan.
d. Neurologi: Klien mengatakan kakinya seperti kesemutan sejak 2 minggu yang lalu.
Kesemutan yang dirasakan pada kaki terdapat di jari-jari kaki.
2. Pemeriksaan fisik
a. TTV: TD 130/90 mmHg, S: 37˚C, N: 90 x/menit, P: 18x/menit
b. BB: 57 kg TB: 165 cm
c. Postur berjalan normal
d. Saat duduk membutuhkan kursi dengan senderan
e. Penurunan reflex lutut dan pergelangan kaki
3. Pemeriksaan penunjang
a. Laboraturium
-Darah lengkap:
Eritrosit: 5jt/CU.mm
Trombosit: 180.000 mm3/ dl
Leukosit: 9000 / dl
b. Foto polos lumbosakral: memperlihatkan penyempitan pada keping sendi
c. CT scan lumbosakral : dapat memperlihatkan letak disk protusion.
d.MRI ; dapat memperlihatkan perubahan tulang dan jaringan lunak divertebra serta
herniasi. Ada herniasi.
e.Lumbal punctur : untuk mengetahui kondisi infeksi dan kondisi cairan serebro spinal.
Analisa Data
Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri b.d Kompresi saraf yang dimanifestasikan oleh klien mengatakan nyeri pada
bagian punggung yang menjalar ke kaki
2. Risiko gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan neuromuskulus
3. Ansietas b.d tidak efektifnya koping individual
Renpra HNP
Pendidikan kesehatan
• Edukasi pada pasien dan
keluarga pentingnya
ambulasi dini
• Edukasi pada pasien dan
keluarga tahap ambulasi
• Berikan reinforcement
positip atas usaha yang
dilakukan pasien.
Ansietas b.d tidak Setelah dilakukan askep, Penurunan kecemasan :
efektifnya koping cemas terkontrol dengan • Bina hubungan saling
individual percaya dengan klien /
KH: keluarga
• Secara verbal dapat • Kaji tingka kecemasan
mendemonstrasikan klien.
teknik menurunkan • Tenangkan klien dan
cemas. dengarkan keluhan klien
• Mencari informasi dengan atensi
yang dapat • Jelaskan semua prosedur
menurunkan cemas tindakan kepada klien
• Menggunakan setiap akan melakukan
teknik relaksasi tindakan
untuk menurunkan • Dampongi klien dan ajak
cemas berkomunikasi yang
• Menerima status terapeutik
kesehatan. • Berikan kesempatan
pada klien untuk
mengungkapkan
perasaannya.
• Ajarkan teknik relaksasi
• Bantu klien untuk
mengungkapkan hal-hal
yang membuat cemas.
• Kolaborasi dengan tim
kesehatan lain untuk
pemberian obat
penenang, jika di
perlukan
Jika klien akan dilakukan operasi, maka diagnosa yang mungkin muncul adalah:
a. Pre Operasi:
Diagnosa Keperawatan
• Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan kompresi syaraf, spasme otot.
• Intoleransi aktivitas berhubungan dengan nyeri dan ketidakmampuan spasme otot,
therapi restriktif (tirah baring, traksi),kerusakan neuromuskular.
• Koping indifidu inefektif, cemas berhubungan dengan krisis situasi, status
kesehatan, status sosioekonomik, peran fungsi gangguan nyeri berulang,
ketidakkuatan relaksasi dan metode koping.
• Kurang pengetahuan mengenai sumber-sumber informasi.
Rencana Asuhan Keperawatan
Diagnosa Tujuan Intervensi
Gangguan rasa nyaman : Setelah dilakukan • Kaji adanya keluhan
nyeri berhubungan tindakan keperawatan, nyeri, catatan lokasi,
dengan kompresi syaraf, gangguan rasa nyaman : lamanya, faktor
spasme otot nyeri dapat teratasi. pencetus, intensitas
Kriteria hasil (skala 0-10);
Melaporkan nyeri pertahankan tirah
hilang / terkontrol. (skala baring selama fase
0-3) dapat melakukan akut, posisi
tehnik relaksasi semifowler dengan
tulang spinal,
pinggang dan lutut
fleksi, posisi
terlentang atau lateral
• Gunakan logroll
(papan)
selamamelakukan
perubahan posisi
• Bantu pemasangan
brace / korset;
• Batasi aktivitas selama
fase akut sesuai
dengan kebutuhan
• Letakan senua
kebutuhan agar mudah
di jangkau pasien
• Anjurkan untuk
melakukan mekanika
tubuh yang tepat
• Berikan analgesik
sesuai indikasi.
Intoleransi aktivitas Setalah dilakukan • Berikan tindakan
berhubungan dengan tindakan keperawatan, pengamanan sesuai
nyeri dan aktivitas klien bertahap. indikasi
ketidakmampuan spasme • Bantu pasien untuk
otot, therapi restriktif Kriteria Hasil melakukan latihan
(tirah baring, Pemahaman tentang rentang gerak aktif-
traksi),kerusakan situasi / faktor resiko dan pasif, anjurkan pasien
neuromuskular. aturan therapi, untuk melatih kaki
Mempertahankan atau bagian bawah, catat
meningkatkan kekuatan adanya edema,
dan fungsi tubuh yang eritma, dan tanda
sakit. homan,
• Berikan perawatan
kulit dengan baik /
message dan periksa
keadaan kulit di
bawah korset pada
priode tertentu,
berikan obat
penghilang rasa nyeri
kurang lebih 30 menit
sebelum / sesudah
ambulasi.
b. Post Operasi
Diagnosa Keperawatan:
• Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan / terhentinya aliran
darah (edema area operasi, pembentukan hematoma), hipovolemia.
• Resiko tinggi trauma (spinal) berhubungan dengan kelemahan temporer dari
kolumna spinal, kesulitan keseimbangan, perubahan dalam koordinasi otot.
• Pola nafas inefekif behubungan dengan obstuksi / edema trakeal, bronkial,
penurunan ekspansi paru paru, nyeri.
• Gangguan rasa nyaman : nyeri behubungan dengan tindakan pembedahan,
edema, inflamasi.
• Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kerusakan neuromoskular, keterbatasan
akibat kondisi, nyeri.
• Gangguan eliminasi fekal : Konstipasi berhubungan dengan nyeri dan bengkak
pada area bedah, imobilisasi, penurunan aktivitas fisik, perubahan stimulasi
syaraf, stres emosi, kurang privasi, perubahan / pembatasan masukan diet.
• Resiko tinggi gangguan eliminasi urine : retensi berhubungan dengan nyeri dan
bengkak pada area operasi, kebutuhan terhadap tetap berbaring di tempat tidur.
Terapi Medis
Terapi medis yang dapat diberikan, adalah Morfin atau Ketorolac
• Analgetik Narkotik (Morfin)
Indikasi: penatalaksanaan nyeri kronik pada pasien yang perlu analgesic opioid
Dosis: (-) opioid: 10-15 mg.
KI: depresi pernapasan, penyakit obstruksi jalan napas, penyakit hati akut
ES: hipoventilasi, mual, muntah
• OAINS (ketorolac)
Indikasi:
Pengobatan jangka pendek terhadap rasa nyeri akut yang sifatnya sedang sampai berat
setelah operasi. Lama penggunaan Ketorolak tidak boleh lebih dari 5 hari. Disarankan
Ketorolak parenteral diberikan segera sesudah operasi. Pada penderita, pemberian
Ketorolak harus diganti ke analgesik alternatif sesegera mungkin tetapi lama terapi
dengan ketorolak tidak boleh lebih dari 5 hari. Ketorolak tidak dianjurkan untuk
digunakan sebagai obat kebidanan sebelum operasi atau sebagai analgesik kebidanan
karena belum cukup diadakan penelitian yang adekuat mengenai hal ini dan karena
diketahui efek obat tersebut menghambat biosintesis prostaglandin pada kontraksi rahim
dan sirkulasi fetus.
Dosis:
Dosis awal yang dianjurkan (dewasa):
10 mg dilanjutkan dengan 10-30 mg setiap 4-6 jam sesuai dengan kebutuhan. Harus
diberikan dosis efektif terendah. Dosis total sehari tidak boleh lebih dari 90 mg untuk
dewasa dan 60 mg untuk usia lanjut, gagal ginjal dan penderita <50 kg. Durasi
maksimum dari pengobatan tidak boleh lebih dari 2 hari. Dosis efektif terendah dan
sesingkat mungkin harus dipakai untuk semua penderita. Total dosis dalam sehari tidak
boleh lebih dari 90 mg (60 mg untuk usia lanjut, penderita dengan gagal ginjal dan
penderita <50 kg).
Instruksi Dosis Khusus:
Penderita usia lanjut:
Untuk penderita >65 tahun, dianjurkan memakai batas dosis terendah. Dosis total sehari
tidak boleh melebihi 60 mg.
• Efek samping
• Sistem Syaraf (23% dari pemberian IV) : Sakit kepala, pusing, cemas, depresi,
sulit berkonsentrasi, nervous, kejang , tremor bermimpi, halusinasi, insomnia vertigo,
psikosis.
• Gastro Intestin : (12-13% ) Mual, diare, konstipasi, sakit lambung, perasaan
kenyang, muntah, kembung, luka lambung, tidak ada nafsu makan, sampai pendarahan
lambung & saluran pembuangan
• Kulit : (2-4% dari pemberian IV) Sakit di daerah tmp. Penyuntikan (IM),
kemerahan, hematoma gatal, berkeringat
• Reaksi sensitifitas : Syok anafilaksis Ginjal, elektrolit & efek genitourinari :
Kerusakan fungsi ginjal pada pemberian jangka panjang (2-3%)
• Efek pada hati : Kenaikan konsentrasi SGOT & SGPT dalam serum Efek ke
Jantung & saluran darah : (4% dari pemberian IV) hipertensi, hipotensi, pembengkakan.
• Efek pada darah : meningkatkan risiko pendarahan, trombositopenia,
• Efek pada mata & telinga : Gangguan penglihatan & pendengaran Sindrom
Stevens-Johnson
RESPON SCORING
1. Pengertian
Sindroma Guillain Barre (SGB) merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis
flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah
saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis.
Sindroma Guillain Barre adalah penyakit yang menyerang radiks saraf yang bersifat akut dan
yang menyebabkan kelumpuhan yang gejalanya dimulai dari tungkai bagian bawah dan meluas
keatas sampai tubuh dan otot-otot wajah. Penyakit ini dapat mengancam jiwa yaitu berupa
kelemahan yang dimulai dari anggota gerak distal yang dengan cepat dapat merambat ke
proximal. Nama lain dari sindroma Guillaain Barre adalah Poli radikulo neuropati inflamasi
akut atau PIA.
2. Sejarah
Pada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry pertama kali menulis
tentang penyakit ini, sedangkan istilah landry ascending paralysis diperkenalkan oleh Westphal.
Osler menyatakan terdapatnya hubungan SGB dengan kejadian infeksi akut. Pada tahun 1916,
Guillain, Barre dan Strohl menjelaskan tentang adanya perubahan khas berupa peninggian
protein cairan serebrospinal (CSS) tanpa disertai peninggian jumlah sel. Keadaan ini disebut
sebagai disosiasi sitoalbuminik.
Nama SGB dipopulerkan oleh Draganescu dan Claudian. Menurut Lambert dan Murder
mengatakan bahwa untuk menegakkan diagnosa SGB selain berdasarkan gejala
klinis,pemeriksaan CSS, juga adanya kelainan pada pemeriksaan EMG dapat membantu
menegakkan diagnosa. Terdapat perlambatan kecepatan hantar saraf pada EMG.
3. Etiologi
Teori yang berlaku sekarang menganggap GBS, merupakan suatu npenyakit autoimun
oleh karena adanya antibody antimyelin yang biasannya didahului dengan faktor pencetus.
Sedangkan etiologinya sendiri yang pasti belum diketahui, diduga oleh karena :
Pada dasarnyaguillain barre adalah “self Limited” atau bisa timbuh dengan sendirinya.
Namun sebelum mencapai kesembuhan bisa terjadi kelumpuhan yang meluas sehingga pada
keadaan ini penderita memerlukan respirator untuk alat Bantu nafasnya.
4. Patofisiolagi
Gullain Barre Syndrome diduga disebabkan oleh kelainan system imun lewat mekanisme
limfosit medialed delayed hypersensivity atau lewat antibody mediated demyelinisation. Masih
diduga, mekanismenya adalah limfosit yang berubah responya terhadap antigen.
Limfosit yang berubah responnya menarik makrofag ke saraf perifer, maka semua saraf
perifer dan myelin diserang sehingga selubung myelin terlepas dan menyebabkan system
penghantaran implus terganggu.
Karena proses ditujukan langsung pada myelin saraf perifer, maka semua saraf perifer
dan myelin saraf perifer, maka semua saraf dan cabangnya merupakan target potensial, dan
biasannya terjadi difus. Kelemahan atau hilangnya system sensoris terjadi karena blok konduksi
atau karena axor telah mengalami degenerasi oleh karena denervasi. Proses remyelinisasi
biasannya dimulai beberapa minggu setyelah proses keradangan terjadi.
5. Pemerisaan penunjang
LP secara spesifik digunakan untuk demyelinasi sugestif (dengan kata lain, menilai
protein yang menigkat) yang tidak disertai bukti adanya infeksi atau peradangan aktif (ketiadaan
CSF pleocytosis), seperti yang dikatakan oleh Guillain dan Barré pada awalnya.
Pada pemeriksaan lumbal pungsi, kebanyakan pasien (90%), tetapi tidak pada semua
pasien terjadi peninggian protein likuor (>400 mg/L) (>550 ) tanpa disertai peninggian sel
likuor. Pada waktu 24–48 jam , likuor bisa masih normal dan setelah satu minggu baru
meninggi. Walaupun disebutkan , bahwa tidak ada peningkatan dalam jumlah sel (kurang dari 10
leukosit per cc), namun kadang-kadang pada beberapa pasien bisa naik sedikit.
Protein likuor yang normal tidak menyingkirkan adanya SGB, sebab pada 10 % kasus
protein tetap normal dan peninggian protein likuor baru terlihat sampai 1 – 2 minggu setelah
permulaan kelumpuhan. Peningkatan sel dalam likuor pasien SGB yang tipikal , meningkatkan
kemungkinan adanya Lyme´s disease, neoplasma, infeksi HIV , meningitis sarkoid dan penyakit-
penyakit lain 6. Pemeriksaan antibodi juga dapat dilakukan karena bisa terdapat antibodi terhadap
saraf perifer dan sentral. Pasien dengan varian Miller–Fisher bisa mempunyai antibodi terhadap
GQ1b dan pasien-pasien yang menpunyai antibodi terhadap subtipe GM1 mempunyai prognosis
yang lebih buruk.
Pada pemeriksaan CSF dalam 48 jam gejala pertama, kadang tidak didapatkan kelainan
dan adakalanya protein tidak meningkat dalam satu minggu. Kebanyakan pada pasien terjadi
sedikit peningkatan kurang lebih 10 leukosit/cc, tetapi adakalanya meningkat 10 sampai 50
sel/cc.
Pada hasil pungsi lumbal dan analisa cairan otak, pada pasien ini didapatkan peningkatan
protein yang cukup bermakna, sedangkan pemeriksaan antibodi saraf tidak dilakukan karena
sudah dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya selain itu terbentur dengan
masalah keuangan dari pasien.
Foto
MRI : Pada hari ke-13 setelah terlihat gejala, Lumbosacral MRI menunjukkan
peningkatan pada akar nervus cauda equina dengan peningkatan pada gadolinium. Hasil sensitif
sampai 83% untuk GBS akut dan terjadi pada 95% kasus yang khas.
a. EKG
Pemeriksaan Elektrokardiogram dapat terlihat berbagai kelainan pada EKG, termasuk
blok atrioventrikuler (AV-block) derajat 2 dan 3, kelainan pada T-wave, depresi ST, melebarnya
QRS dan berbagai gangguan pada ritme jantung
b. EMG
EMG dapat membantu menetapkan diagnosis pada SGB, dengan jalan mengukur
aktivitas listrik dari otot terhadap respons stimulasi listrik. Juga akan diukur kecepatan hantar
saraf (KHS / NCV) sepanjang suatu saraf. EMG dilakukan dengan elektrode jarum dan KHS /
NCV diukur dengan menempatkan elektrode tempel pada kulit dan merangsang saraf perifer.
Penurunan / perlambatan pada KHS / NCV kadang-kadang baru bisa terlihat setelah 2-3 minggu.
Penurunan KHS sampai hanya 20% dari normal, dihubungkan dengan suatu prognosis
yang buruk. Menurut guideline National Institute of Neurological and Communicative Disorders
and Stroke (NINDS); maka penemuan elektrodiagnostik yang cenderung kearah GBS adalah
hilangnya H-refleks, CMAP sensorik dengan amplitudo rendah atau hilang dan F-wave yang
abnormal
c. Pemeriksaan lain
• Tanda vital, kapasitas pernapasan dan output dari air seni pasien harus dimonitor
• Intubasi dan mekanisme ventilasi harus dipertimbangkan ketika kapasitas vital berada
dibawah 15 mL/kg/BB atau tekanan oksigen pada arteri berada dibawah 70 mmHg (atau
pasien terlihat kelelahan).
• Dalam keadaan akut, hipotensi orthostatik dan retensi air seni juga bisa menyebabkan
permasalahan penting.
• Pada minggu kedua, potensi penurunan tindakan berbagai otot (CMAP, 100%),
perpanjangan distal laten (92%) dan penurunan kecepatan konduksi motor (84%).
Penatalaksanaan pasien SGB seringkali sangat rumit dan pengobatan medis dan
perawatan yang baik sangat mempengaruhi keluaran (outcome). Dalam fase dini yang masih
progresif, harus dilakukan observasi yang seksama dan perawatan di rumah sakit adalah wajib.
Karena terjadi perbaikan spontan pada kebanyakan kasus, maka penatalaksanaan
terutama ditujukan pada perawatan yang baik dan menghindari komplikasi infeksi sekunder,
namun penatalaksanaan tetap rumit dan melelahkan.
Walaupun dalam kepustakaan disebutkan, bahwa hanya 2 jenis terapi (plasmaferesis dan
Imunoglobulin) yang secara spesifik dapat mempengaruhi jalannya penyakit, namun terdapat
tindakan2 lain yang membantu untuk mencegah terjadinya komplikasi yang sering menyertai
penyakit ini.Pengobatan medikamentosa pada saat ini terutama ditujukan pada imunomodulasi.
Menurut petunjuk guideline dari American Academy of Neurology (AAN), maka pengobatan
SGB yang dimulai secara dini dalam waktu 2 – 4 minggu setelah gejala pertama timbul, dapat
mempercepat waktu penyembuhan. Hanya plasmaferesis (plasma exchange therapy) dan
imunoglobulin intravena (IVIg 7s) yang terbukti efektif. Kedua modalitas pengobatan ini telah
terbukti dapat memperpendek waktu penyembuhan sampai 50 % , namun harganya mahal dan
ada kesukaran dalam cara memberi dan efektivitas ke 2 regimen pengobatan itu hampir sama dan
komparabel.
Sekarang ini pengobatan lebih diarahkan pada imunomodulasi. Terapi yang lebih efektif
yaitu dengan pemberian imunogobulin secara intravena (IVIG, intravenous immunoglobin).
IVIG, telah digunakan untuk terapi gejala Sindrom Guillain-Barré. IVIG sangat
menolong dalam mengurangi beratnya penyakit terutama pada durasi dari gejala penyakit
tersebut. Tidak berpengaruh apa-apa pada pemberian jangka panjang.
IVIg terdiri dari antibodi eksogen yang dikumpulkan (pooled exogenous antibodies) yang
didapatkan dari beribu-ribu donor. Mekanismenya belum begitu diketahui, namun antibody
eksogen tersebut ber-interaksi pada beberapa tempat yang berlainan , termasuk pengikatan (
binding) pada oto-antibodi pada tempat-tempat antigenik yang idiotipik dan pada sel T untuk
memodulasi sitem imun. Dosis yang direkomendasi dalam sebulan adalah 2g/kg dibagi dalam
dosis selama 5 hari, yang diberikan secara perlahan-lahan untuk menghindari efek samping.
Dosis ulangan biasanya 1 g / kg selama 1 – 2 hari. Dosis yang paling efektif belum ditemukan
secara pasti, namun half-life dari IVIg adalah sekitar 4 minggu dan pengulangan pemberian
setiap bulan dapat diterima ( reasonable) dengan tujuan untuk mengurangi dosis secara perlahan-
lahan (slowly tapering) berdasarkan keadaan klinisnya pasien. Respons terjadi dalam 2-4
minggu
IVIG biasanya dipakai 5 hari pada 0.4 g/kg/d, yang mengakibatkan peningkatan setelah
2-3 hari terapi atau dengan pemberian IVIG 2 g/kg à single dose. Plasmapharesis, biasanya pasa
anak-anak pemberian plasmapharesis bisa menurunkan gejala berat dan memperpendek durasi
dari Sindrom Guillain-Barré. Perawatan dengan plasmapharesis diberikan antara 4 sampai 5 kali
selama lebih dari 7 sampai 10 hari. Komplikasi potensial termasuk kelainan saraf otonom,
hiperkalsemia dan defesiensi faktor perdarahan dan pembekuan.
Hasil dari pemberian plasmapharesis dan IVIG sama saja, tetapi IVIG lebih kecil efek
sampingnya. Steroid sebelumnya digunakan untuk pengobatan Sindrom Guillain-Barré, tetapi
kurang efektif. Konsultasi dengan dokter ahli saraf harus dipertimbangkan untuk
mengkonfirmasikan suatu hasil diagnosa. Pasien yang mendapatkan jangka penyembuhan yang
lama, bisa konsultasi dengan dokter spesialis rehabilitasi. Aktivitas, sekecil apapun harus
didukung. Pada pasien dengan kelemahan, gejala otonom (misalnya, hipotensi orthostatik)
aktivitas sebaiknya dibatasi.
Selain itu terjadi efek samping pada 10% pasien , dengan gejala-gejala seperti flu, yaitu
nausea, febris, menggigil , artralgia atau keluhan GI yang biasanya langsung hilang, bila
pengobatan dihentikan.
Supresi sumsum tulang terjadi pada semua pasien, namun jarang menjadi penyebab
penghentian terapi bila dilakukan monitoring dengan baik
Terdapat suatu kekhawatiran akan adanya peninggian risiko terjadinya kanker , terutama
limfoma setelah terapi selama 10 – 20 tahun.
A. Kasus
Tn. kamto usia 45 thn berkerja wiraswastawan, bangun tidur dipagi hari mengeluh tidak bisa
berjalan . sebelumnya dia mengalami diare-diare 2hari dan demam kira-kira 1 minggu
sebelumnya. Sebelum sakit Tn kamto sangat aktif baik dalam pekejaannya, olahraga lari pagi,
berkebun, mengendarai kendaraan dan merawat dirinya.dia belum pernah dirawat di RS
sebelumnya. Hasil pemeriksaan fisik tidak di temukan tanda-tanda obyektif yang menunjukan
stroke. Dua hari kemudian kondisi Tn. Kamto bertambah buruk , tidak mampu menelan air
liurnya, kelemahan pada kedua ekstermitas atasnya dan akhirnya menggunakan alat bantu
pernafasan (ventilator) dan kemungkinan dipasang tracheostomi. Hasil lumbal punctie pada
cairan cerebrospinal di temukan protein tinggi dan tekanan meningkat,leokositosis.
B. Pengkajian
1. Pengkajian Data
4. Pemeriksaan Diagnostik
Analisa Data
menggunakan ventilator
DS: imobilisasi Paralisis pada
ektrimitas
Bangun tidur di pagi hari bawah, otot
mengeluh tidak bisa berjalan aksesori
pernapasan serta
DO: otot kranial X
(vagus)
Kelemahan pada kedua
ekstremitas atasnya
Kekuatan otot
D. Diagnosa
2. Nutrisi perubahan: Kurang dari kebutuhan b.d kerusakan otat vagus sehingga
menyebabkan kesulitan dalam menelan
E. Implementasi
Dx Tujuan dan KH Implementasi
Pola Napas tidak Membuat / Selidiki Etiologi gagal Pemahaman penyebab
Efektif b.d mempertahankan pernapasan masalah pernapasan
kelemahan/ paralisis pola pernafasan penting untuk
otot pernapasan efektif melalui perawatan pasien
ventilator
Pantau Frekuensi, Peningkatan distress
kedalaman dan pernapasan men
kesimetrisan unjukan adanya
pernapasan, catat kelelahan pada otot
peningkatan napas dan pernapasan
observasi warna kulit
Periksa selang Lipatan selang
terhadap obstr,uksi . mencegah penerimaan
Contoh terlipat atau volume adekuat dan
akumulasi air . Alirkan meningkatkan tekanan
selang sesuai indikasi , jalan napas . Air
hindari aliran ke pasien mencegah distribusi
atau kembali kedalam gas dan pencetus
wadah pertumbuhan bakteri
Periksa fungsi alaram Sangat penting apabila
Ventilator, Jangan terdapat tanda- tanda
matikan alaram , distres pernafasan atau
meskipun untuk henti napas
penghisapan, Yakinkan
bahwa alaram
terdengar ke kantor
perawat
Kolaborasi
Kaji volume tidal ( 10- Mengawasi jumlah
15 ml /kg ) Yakinkan udara inspirasi dan
fungsi spirometer ekspirasi . Perubahan
baik . Catat perubahan dapat menunjukkan
dari pemberian volume gannguan komplain
yang terbaca pada paru atau kebocoran
komputer melalui mesin.
Observasi persentasi Nilai untuk
konsentrasi oksigen , mempertahankan
yakinkan bahwa aliran
persentase oksigen
olsigen tepat , awasi
yang dapat diterima
analisa oksigen ataudan saturasi untuk
lakukan analisa
kondisi pasien ( 21%
oksigen periodik sampai 100% ) .
Karena mesin tidak
selalu akurat, analiser
oksigen dapat
digunakan untuk
memastikan apakah
pasien menerima
konsentrasi oksigen
yang diinginkan
Nutrisi perubahan: Menunjukan berat Kaji kemampuan Kelemahan otot yang
Resiko Kurang dari badan stabil, mengunyah, menelan, hipotensi menunjukan
kebutuhan b.d normalisasi nilai- batuk pada keadaan kebutuhan akan
kerusakan otat vagus nilai lab, tidak teratur penggunaan NG
sehingga yanda-tanda mal
menyebabkan nutrisi
kesulitan dalam
menelan
Auskultasi bising Usus
Perubahan pungsi
lambung dapat terjadi
akibat paralisis
Catat masukan kalori Menidentifikasi
tiap hari kekurangan makanan
dan kebutuhannya.
Timbang BB tiap hari Mengkaji keefektipan
aturan diet
Kolaborasi
Berikan makanan Makanan suplementasi
TKTP dapat meningkatkan
pemasukan nutrisi
Pasang pertahankan Diaberikan jika pasien
selang NG. berikan tidak bisa menelan
makanan enteral
Mobilitas Fisik b.d Tujuan: Kaji kekuatan R/ Menentukan
paralisis syaraf Untuk motorik / kemampuan perkembangan/
mempertahankan secara fungsional munculnya kembali
posisi fungsi dengan dengan menggunakan tanda yang
tak ada komplikasi skala 0-5. menghambat
( kontraktur , tercapainya tujuan /
dekubitus) harapan pasien
KH: Klien dapat
meningkatkan
kekuatan dan fungsi
bagian yang sakit
Tindakan
keperawatan
Berikan posisi pasien R/ Menurunkan
yang menimbulkan kelelahan ,
rasa nyaman . Lakukan meningkatkan
perubahan posisi relaksasi . Menurunkan
dengan jadwal yang resiko terjadinya
teratur sesuai iskemia / kerusakan
kebutuhan secara pada kulit
individual
Banyak pasein sindroma SGB mengalami pemulihan yang sempurna dalam beberapa
minggu atau bulan. Pasiean-pasien yang pernah mengalami paralisis total dan tahan lama
mungkin membutuhkan rehabilitasi yang terus dilakukan setelah kleian keluar dari RS. Program
yang luas akan bergantung pada pengkajian yang dibutuhkandibuat oleh anggota tim kesehatan.
Alternatif program yang komperhensif bagi pasien jika dikurangi adalah penting dan dukungan
sosial dibatasi untuk program dirumah terhadap terapi fisik dan okupasi
Fase penyembuhan mungkin lama dan akan membutuhkan kesabaran dan keterlibatan semua
pihak dan keluarga untuk mengembalikan kamampuan sebelumny. Awitan yang akut dan
perkembangan yang dramatic dari gejala-gejala yang tidak dapat dilakukan penyelesaianya
dengan tiba-tiba dalam mengubah fungsi-fungsi. Kelompok pendukung SGB dapat membantu
selama fase pemulihan
Ajarkan keluarga untuk sering menggerak-gerakan bagian tubuh yang paralisis, serta
selalu melakukan perubahan posisi tubuh klien untuk mencegah dekubitus. Menyarankan untuk
membersihkan selang NG dengan mengaliri air putih setelah makan. Hal ini untu menjaga
kebersihan selang. Mengajarkan keluarga untuk terus berkomunikasi dengan klien, mengajarkan
klien berbicara, karena paralisis pada bagian mulut akan menyababkan klien sulit berbicara.
Berikan bakanan tinggi kalori dan tinggi protein.
Menjaga klien dari infeksi merupakan hal yang penting, hindarkan berhubungan dengan
orang yeng mempunyai penyakit infeksi. Karena pakaian imunodepresan mengurangi
kemampuan klien untuk melawan virus dan bakteri.
KASUS III
Tn. Meni usia 23 tahun ditemukan jatuh dan kejang-kejang seluruh tubuh keluar busa,
inkotinensia urine dan fesesnya selama kurang lebih 1-2 menit kemudian pingsan beberapa saat.
Dia dibawa ke rumah sakit oleh temannya yang berjalan bersamanya. Dari hasil interview
keluarganya kondisi ini sering berulang dan berlangsung sejak usia anak-anak. Hasil
pemeriksaan fisik dan penunjang N: 90x/menit, TD: 120/70mmHg, S:36,40C, P:22x/menit, EEG
abnormal, MRI terdapat focal abnormal.
Dx medis : Epilepsi
Epilepsi adalah gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi otak berat yang
dikarakteristikan oleh kejang berulang. Keadaan ini dapat dihubungkan dengan tingkat
kesadaran, gerakan berlebihan atau hilangnya tonus otot atau gerakan dan gangguan perilaku,
alam perasaan, sensasi, dan persepsi. Sehingga epilepsy bukan penyakit tetapi suatu gejala.
Masalah dasarnya diperkirakan dari gangguan listrik (disritmia) pada sel saraf pada salah satu
bagian otak, yang menyebabkan sel ini mengeluarkan muatan listrik abnormal, berulang, dan
tidak terkontrol. Karakteristik kejang epileptic adalah suatu manifestasi muatan neuron
berlebihan ini.
Pesan dari tubuh dibawa oleh neuron-neuron (sel-sel saraf) dari otak diartikan dalam bentuk
pelepasan energi elektrokimia sepanjang jalan neuron-neuron. Impuls-impuls ini terjadi dalam
bentuk ledakan sewaktu-waktu sebuah sel saraf yang mempunyai tugas untuk melakukannya.
Kadang-kadang sel-sel ini atau kelompok sel terus menerus memancar
setelah tugas selesai. Selama periode pelepasan yang tidak diinginkan,
bagian-bagian tubuh dikontrol oleh pesan-pesan sel yang dapat
dipindahkan. Hasilnya menyebabkan ketidaknyamanan dan gangguan
fungsi direntang dari ringan sampai tidak mampu fisik, dan biasanya
menyebabkan ketidaksadaran. Bila hal ini tak terkontrol, pelepasan
abnormal terjadi dengan cepat, dan seseorang dikatakn menuju kearah
epilepsi. Gerakan-gerakan fisik yang tak teratur disebut kejang.
Etiologi
Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi adalah faktor yang mempermudah terjadinya serangan, yaitu:
1. faktor sensoris: cahaya yang berkedip-kedip, bunyi-bunyi yang mengejutkan, air panas
2. faktor sistemis: demam, penyakit infeksi, obat-obatan tertentu misalnya golongan
fenotiazin, klorpropamid, hipoglikemia, kelelahan fisik
3. faktor mental: stres, gangguan emosi
Patofisiologi
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksimal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang
atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang
sebagian bergantung pada lokasi muatan yang berlebihan tersebut. Lesi di otak tengah, talamus,
dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat apileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan
batang otak umumnya tidak memicu kejang.
Di tingkat membran sel, sel fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi,
termasuk yang berikut :
• Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
• Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan
apabila terpicu akan melepaskan muatan menurun secara berlebihan.
• Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam
repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-
aminobutirat (GABA).
• Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit, yang
mengganggu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan depolarisasi neuron.
Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter
aksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian
disebabkan oleh meningkatkannya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama
kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik
dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi
dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis (CSS) selama dan setelah
kejang. Asam glutamat mungkin mengalami deplesi selama aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti histopatologik
menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan struktural. Belum ada faktor
patologik yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal pada metabolisme kalium dan
asetilkolin dijumpai di antara kejang. Fokus kejang tampaknya sangat peka terhadap asetikolin,
suatu neurotransmitter fasilitatorik, fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan
asetilkolin.
Jenis Epilepsi:
1. Epilepsi Umum
2. Epilepsi Parsial/fokal
a. Sederhana (tanpa gangguan kesadaran) Umumnya, berupa kejang-kejang dan
kadang-kadang kesemutan atau rasa kebal pada satu tempat. Berlangsung beberapa
menit/jam. Bila serangan hanya terjadi di satu lokasi dan berlangsung beberapa saat,
disebut Parisialis Kontinua
b. Kompleks (disertai gangguan kesadaran) Diawali dengan Parsial Sederhana,
penyandang seperi bermimpi, dan daya ingatnya terganggu, halusinasi, atau kosong
pikiran seringkali diikuti oleh otomatisme. Misalnya, mengulang-ulang ucapan,
melamun, atau berlari-lari tanpa tujuan
c. Umum Sekunder Perkembangan dari parsial sederhana atau kompleks menjadi
umum.
Manifestasi Klinis
- Fokal motorik tidak menjalar: sawan terbatas pada satu bagian tubuh saja
- Fokal motorik menjalar : sawan dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar meluas
ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.
- Versif : sawan disertai gerakan memutar kepala, mata, tubuh.
- Postural : sawan disertai dengan lengan atau tungkai kaku dalam sikap tertentu
- Disertai gangguan fonasi : sawan disertai arus bicara yang terhenti atau pasien
mengeluarkan bunyi-bunyi tertentu
• Dengan gejala somatosensoris atau sensoris spesial; sawan disertai halusinasi sederhana yang
mengenai kelima panca indera dan bangkitan yang disertai vertigo.
• Dengan gejala atau tanda gangguan saraf otonom (sensasi epigastrium, pucat, berkeringat,
membera, piloereksi, dilatasi pupil).
- Disfagia : gangguan bicara, misalnya mengulang suatu suku kata, kata atau bagian
kalimat.
- Dimensia : gangguan proses ingatan misalnya merasa seperti sudah mengalami,
mendengar, melihat, atau sebaliknya. Mungkin mendadak mengingat suatu peristiwa di
masa lalu, merasa seperti melihatnya lagi.
- Kognitif : gangguan orientasi waktu, merasa diri berubah.
- Afektif : merasa sangat senang, susah, marah, takut.
- Ilusi : perubahan persepsi benda yang dilihat tampak lebih kecil atau lebih besar.
- Halusinasi kompleks (berstruktur) : mendengar ada yang bicara, musik, melihat suatu
fenomena tertentu, dll.
• Serangan parsial sederhana diikuti gangguan kesadaran : kesadaran mula-mula baik kemudian
baru menurun.
- Dengan gejala parsial sederhana A1-A4 : gejala-gejala seperti pada golongan A1-A4
diikuti dengan menurunnya kesadaran.
- Dengan automatisme. Yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan
sendirinya, misalnya gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah seringkali seperti
ketakutan, menata sesuatu, memegang kancing baju, berjalan, mengembara tak menentu,
dll.
c. Sawan Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik, klonik)
Pada sawan ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak membengong, bola
mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara. Biasanya sawan ini berlangsung
selama ¼ - ½ menit dan biasanya dijumpai pada anak.
c. Sawan Mioklonik
Pada sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau lemah
sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat dijumpai pada
semua umur.
d. Sawan Klonik
Pada sawan ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tunggal
multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali pada anak.
e. Sawan Tonik
Pada sawan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku pada wajah dan
bagian tubuh bagian atas, fleksi lengan dan ekstensi tungkai. Sawan ini juga terjadi pada anak.
f. Sawan Tonik-Klonik
Sawan ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan nama grand
mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului suatu sawan.
Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku berlangsung kira-kira
¼ - ½ menit diikuti kejang kejang kelojot seluruh tubuh. Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri.
Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang
meningkat, mulut menjadi berbusa karena hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika
mendapat serangan. Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun
dengan kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-
pegal, lelah, nyeri kepala.
g. Sawan atonik
Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien terjatuh.
Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Sawan ini terutama sekali dijumpai pada
anak.
Pemeriksaan diagnostik
CT Scan untuk mendeteksi lesi pada otak, fokal abnormal, serebrovaskuler abnormal,
gangguan degeneratif serebral
Diagnosa banding
Pencegahan
Upaya sosial luas yang menggabungkan tindakan luas harus ditingkatkan untuk
pencegahan epilepsi. Resiko epilepsi muncul pada bayi dari ibu yang menggunakan obat
antikonvulsi yang digunakan sepanjang kehamilan. Cedera kepala merupakan salah satu
penyebab utama yang dapat dicegah. Melalui program yang memberi keamanan yang tinggi dan
tindakan pencegahan yang aman, yaitu tidak hanya dapat hidup aman, tetapi juga
mengembangkan pencegahan epilepsi akibat cedera kepala. Ibu-ibu yang mempunyai resiko
tinggi (tenaga kerja, wanita dengan latar belakang sukar melahirkan, pengguna obat-obatan,
diabetes, atau hipertensi) harus di identifikasi dan dipantau ketat selama hamil karena lesi pada
otak atau cedera akhirnya menyebabkan kejang yang sering terjadi pada janin selama kehamilan
dan persalinan. Program skrining untuk mengidentifikasi anak gangguan kejang pada usia dini,
dan program pencegahan kejang dilakukan dengan penggunaan obat-obat anti konvulsan secara
bijaksana dan memodifikasi gaya hidup merupakan bagian dari rencana pencegahan ini.
Hal yang harus dilakukan pada saat penderita terkena serangan adalah:
Pengobatan
Pengobatan epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Penderita akan diberikan obat
antikonvulsan untuk mengatasi kejang sesuai dengan jenis serangan. Penggunaan obat dalam
waktu yang lama biasanya akan menyebabkan masalah dalam kepatuhan minum obat
(compliance) serta beberapa efek samping yang mungkin timbul seperti pertumbuhan gusi,
mengantuk, hiperaktif, sakit kepala, dll.
Penyembuhan akan terjadi pada 30-40% anak dengan epilepsi. Lama pengobatan tergantung
jenis epilepsi dan etiologinya. Pada serangan ringan selama 2-3th sudah cukup, sedang yang
berat pengobatan bisa lebih dari 5th. Penghentian pengobatan selalu harus dilakukan secara
bertahap. Tindakan pembedahan sering dipertimbangkan bila pengobatan tidak memberikan efek
sama sekali.
Penanganan terhadap anak kejang akan berpengaruh terhadap kecerdasannya. Jika terlambat
mengatasi kejang pada anak, ada kemungkinan penyakit epilepsi, atau bahkan keterbalakangan
mental. Keterbelakangan mental di kemudian hari. Kondisi yang menyedihkan ini bisa
berlangsung seumur hidupnya
Penatalaksanaan
Non farmakologi
Terapi non farmakologi Dilakukan secara manual, juga diarahkan untuk mencegah terjadinya
kejang bisa dengan melakukan diet, Pembedahan untuk pasien epilepsi akibat tumor otak, abses,
kista atau adanya anomali vaskuler dan vagal nerve stimulation (VNS) yaitu implantasi dari
perangsang saraf vagal, makan makanan yang seimbang (kadar gula darah yang rendah dan
konsumsi vitamin yang tidak mencukupi dapat menyebabkan terjadinya serangan epilepsi),
istrirahat yang cukup karena kelelahan yang berlebihan dapat mencetuskan serangan epilepsi,
belajar mengendalikan stress dengan menggunakan latihan tarik nafas panjang dan teknik
relaksasi lainnya.
Farmakologi
Untuk terapi farmakologis yaitu dengan menggunakan Obat Anti Epilepsi (OAE).
Pengobatan dilakukan tergantung dari jenis kejang yang dialami. Pemberian obat anti epilepsi
selalu dimulai dengan dosis yang rendah, dosis obat dinaikkan secara bertahap sampai kejang
dapat dikontrol atau tejadi efek kelebihan dosis. Pada pengobatan kejang parsial atau kejang
tonik-klonik rata-rata keberhasilan lebih tinggi menggunakan fenitoin, karbamazepin, dan asam
valproat. Pada sebagian besar pasien dengan 1 tipe/jenis kejang, kontrol memuaskan dapat
dicapai dengan 1 obat anti epilepsi. Pengobatan dengan 2 macam obat mungkin ke depannya
mengurangi frekuensi kejang, tetapi biasanya toksisitasnya lebih besar. Pengobatan dengan lebih
dari 2 macam obat, hampir selalu membantu penuh kecuali kalau pasien mengalami tipe kejang
yang berbeda. Jenis obat yang sering digunakan :
a. Phenobarbital (luminal).
b. Primidone (mysolin)
Di hepar primidone di ubah menjadi phenobarbital dan phenyletylmalonamid.
Dari kelompok senyawa hidantoin yang paling banyak dipakai ialah DPH. Berhasiat
terhadap epilepsi grand mal, fokal dan lobus temporalis.
Efek samping yang dijumpai ialah nistagmus,ataxia, hiperlasi gingiva dan gangguan
darah.
d. Carbamazine (tegretol).
Sifat ini menguntungkan penderita epilepsi lobus temporalis yang sering disertai
gangguan tingkah laku.
Efek samping yang mungkin terlihat ialah nistagmus, vertigo, disartri, ataxia, depresi
sumsum tulang dan gangguan fungsi hati.
e. Diazepam.
f. Nitrazepam (inogadon).
g. Ethosuximide (zarontine).
h. Na-valproat (dopakene)
i. Acetazolamide (diamox).
Kadang-kadang dipakai sebagai obat tambahan dalam pengobatan epilepsi. Zat ini
menghambat enzim carbonic-anhidrase sehingga pH otak menurun, influks Na berkurang
akibatnya membran sel dalam keadaan hiperpolarisasi.
j. ACTH
Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan sesuai dengan jenis bangkitan.
Pemberian obat dimulai dengan dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif
tercapai atau timbul efek samping. Bila dengan penggunaan dosis maksimum obat pertama tidak
dapat mengontrol bangkitan maka perlu ditambahkan OAE kedua. Bila OAE telah mencapai
kadar terapi maka OAE pertama diturunkan bertahap (tapering off) perlahan-lahan.
Penghentian OAE:
• dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah bebas dari bangkitan
selama minimal 2 tahun.
• gambaran EEG normal.
• harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dari dosis semula, setiap bulan
dalam jangka waktu 3-6 bulan.
• penghentian dimulai dari 1 OAE yang bukan utama.
Pembahasan Kasus
PENGKAJIAN
Ds:
• ditemukan jatuh dan kejang-kejang
• seluruh tubuh keluar busa,
• inkotinensia urine dan fesesnya selama kurang lebih 1-2 menit kemudian pingsan
beberapa saat.
• Dari hasil interview keluarganya kondisi ini sering berulang dan berlangsung sejak usia
anak-anak.
Do:
ANALISA DATA
Do:
• Hasil pemeriksaan
fisik dan penunjang
N: 90x/menit, TD:
120/70mmHg,
S:36,40C,
P:22x/menit, EEG
abnormal, MRI
terdapat focal
abnormal.
Tindakan pre dan post diagnostic
Edukasi pasien: memberikan penjelasan tentang test dan prosedur pemeriksaan yang akan
dilakukan sampai pasien mengerti.
Diagnosa keperawatan
Komplikasi
1. Kerusakan otak akibat hipeksia dan retardasi mental dapat timbul akibat kejang yang berulang
“EPILEPSI”
3. lak
ukan penilaian
neurologis/tanda-tanda vital
setelah kejang, misal: tingkat
kesadaran, orietasi, TD, nadi
dan pernapasan
Rasional: mencatat keadaan
posiktal dan waktu
penyembuhan pada keadaan
normal
4. orientasikan kembali pasien
terhadap aktivitas kejang
yang dialaminya
Rasional: pasien mungkin
menjadi bingung,
disorientasi, dan mungkin
juga mengalami amnesia
setelah kejang dan
memerlukan bantuan untuk
dapat mengontrol lagi dan
menghilangkan ansietas
5.Observasi munculnya tanda –
tanda status epileptikus,
seperti kejang tonik klonik
setelah jenis yang lain
muncul dengan cepat dan
cukup meyakinkan
Rasional: hal ini merupakan
keadaan dapat menyebabkan
henti napas, darurat yang
mengancam hidup yang
hipoksia berat, dan/atau
kerusakan pada otak dan sel
saraf.
6.Diskusikan adanya tanda-tanda
serangan kejang(jika
memungkinkan) dan pola
kejang yang biasa dialami.
Rasional: memberikan
kesempatan pasien untuk
melindungi diri sendiri dan
trauma dan mengenali
perubahan yang perlu di
sampaikan pada dokter/pada
intervensi selanjutnya.
Kolaborasi
7. berikan obat sesuai indikasi:
Obat antiepilepsi meliputi
fenitoin (dilantin), primidon
(mysoline), karbamazepin
(tegretol), klonazepam
(klonopin)
Rasional: obat antiepilepsi
meningkatkan ambang kejang
dengan menstabilkan membran
sel saraf, yang menurunkan
eksitasi neuron atau melalui
aktivitas langsung pada sistem
limbik
8. pantau kadar sel darah,
elektrolit, dan glukosa
Rasional: mengidentifikasi
faktor-faktor yang
memperberat/menurunkan
ambang kejang.
3. Beri kesempatan
pada klien dan keluarga
untuk menanyakan hal yang
belum dimengerti.
a) Definisi Stroke
Stroke adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh berhentinya supalai darah
kebagian otak. (Brunner & Sudarth, 2002)
Stroke adalah defisit neurologis yang mempunyai awitan mendadak atau berlangsung 24 jam
sebagai akibat dari cerebrovaskular desease (CVD) atau penyakit cerebrovaskular. (Hudak and
Gallo)
Stroke/penyakit serebrovaskuler menunjukan adanya beberapa kelainan otak baik secara
fungsional maupun struktural yang disebabkan oleh keadaan patologis dari pembuluh darah
serebral atau dari seluruh sistem pembuluh darah otak. (Marilyn E. Doenges)
Etiologi
Trombosis adalah bekuan darah dalam pembuluh darah otak atau leher: Arteriosklerosis
serebral.
Embolisme serebral adalah bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak dari
bagian tubuh yang lain: endokarditis, penyakit jantung reumatik, infeksi polmonal.
Iskemia adalah penurunan aliran darah ke area otak: Kontriksi ateroma pada arteri.
Hemoragi Serebral adalah Pecahnya pembuluh darah serebral dengan perdarahan kedalam
jaringan otak atau ruang sekitar otak
d) Pemeriksaan Diagnostik
Angiografi Serebral : Membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti
perdarahan, obstruksi arteri, adanya titik oklusi/ ruptur.
Scan CT : Memperlihatkan adanya edema, hematoma, iskemik, dan adanya infark.
Fungsi Lumbal : Menunjukan adanya tekanan normal dan biasanya ada trombosis,
emboli serabral dan TIA, sedangkan tekanan meningkat dan cairan yang mengandung
darah menujukan adanya hemoragi suaraknoid intrakranial. Kadar protein meningkat
pada kasus trombosis sehubungan dengan adanya proses imflamasi.
MRI : Menunjukan daerah yang mengalami infark, hemoragik, malformasi arteriovena
(MAV)
EEG : Mengidentifikasi masalah didasarkan pada gelombang otak dan mungkin adanya
daerah lesi yang spesifik.
Sinar X tengkorak : Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang
berlawanan dari masa yang meluas; kalsifikasi karotis interna terdapat pada trombosis
serebral.
Ultrasonografi Doppler : Mengidentifikasi penyakit arteriovena (masalah sistem arteri
karotis), aliran darah / muncul plak (arteriosklerotik)
Tindakan medis terhadap pasien stroke meliputi diuretic untuk menurunkan edema
serebral, yang mencapai tingkat maksimum 3 sampai 5 hari setelah infark serebral.
Antikoagulan dapat diresepkan untuk mencegah terjadinya atau memberatnya thrombosis
atau embolisasi dari tempat lain dalam sistem kardivaskuler.
Medikasi anti trombosit dapat diresepkan, karena trombosit memainkan peran yang
sangat penting dalam pembentukan thrombus dan embolisasi.
g) Komplikasi
Hipoksia serebral
Bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan integritas pembuluh darah
serebral. Hidrasi yang adekuat harus menjamin viskositas darah dan memperbaiki aliran
darah serebral. Hipertensi atau hipotensi ekstrem harus dihindari untuk mencegah
perubahan pada aliran darah serebral dan potensi meluasnya area cedera.
Embolisme serebral
Dapat terjadi setelah infark miokard atau fibrilasi atrium atau dapat berasal dari katup
jantung prostetik. Embolisme akan menurunkan aliran darah ke otak dan selanjutnya
menurunkan aliran darah serebral.
A. DISLIPIDEMIA
Pengertian
Diagnosis
PEMBAHASAN KASUS
A. KASUS
Tn.Agus (21 tahun) mengeluh pipi dan mata seperti kedutan dan mencong-mencong ke arah kiri
ketika bangun pagi (asimetri pada wajah), rasa baal/ kebas diwajah, air mata tidak dapat
dikontrol dan sudut mata turun. Hasil pemeriksaan kehilangan refleks konjungtiva SE (tidak
dapat menutup mata, sulit untuk berbicara, air menetes saat minum atau setelah membersihkan
gigi, dan Kehilangan rasa di bagian depan lidah, tanda-tanda vital normal, pernafasan normal,
jantung normal.
Tugas:
2. Data-data subyektif maupun pemeriksaan fisik apa yang perlu difokuskan pada kasus diatas
dan bagaimana hasil pemeriksaan fisik dan interview tersebut?
3. Sebutkan pemeriksaan penunjang yang tepat dan sebaiknya dilakukan pada kasus diatas
4. Sebutkan tindakan pre dan post pemeriksaan serta hasil-hasil pemeriksaan penunjang tersebut
6. Jelaskan tentang pelaksanaan medis yang sebaiknya dilakukan dan efek samping pemberian
masing-masing obat
Kasus Tn.A mengarah pada gangguan serebrovaskuler stroke, kemungkinan besar termasuk
stroke non.hemoragik karena tidak diiringi oleh hipertensi. Kelompok kami mengarahkan
pada riwayat gangguan dislipidemia sebelumnya.
2. Data-data subyektif maupun pemeriksaan fisik perlu difokuskan pada kasus Tn.A dan
hasil pemeriksaan fisik dan interview.
Data Objektif:
• Kehilangan reflex konjungitva SE (tidak dapat
menutup mata)
• Keadaan umum: sedang
• CM
• Konjungtiva anemis (-)
• Reflex patella (+/-)
• Sulit untuk bicara
• Air menetes saat minum atau setelah
membersihkan gigi
• Kehilangan rasa di bagian depan lidah
• TD 120/90 mmHg
• N 75 x/menit
• RR 20 x/menit
• Suhu : 36,70C
• BB : 97 kg
• TB : 180 cm
• IMT : 29.93 berdasarkan IMT yang dikeluarkan
WHO Tn.A termasuk obese I
• Bunyi napas vesikuler
• Bunyi jantung normal
• Pupil anisokord (tidak terjadi konstriksi pada
pupil kiri.
3. Pemeriksaan penunjang yang tepat dan sebaiknya dilakukan pada kasus Tn.A :
HEMATOLOGI
Hematologi Hasil Rujukan Satuan
Hemoglobin 14 13.2-17.3 g/dL
Hematokrit 37 34-45 %
Leukosit 7.7 5.0-10.5 Ribu/uL
LED 5 0-10.0 Mm
LEMAK SERUM
JANTUNG
FUNGSI GINJAL
DIABETES
ELEKTROLIT SERUM
Angiografi serebral:
Hasil :
o Oklusi total pada beberapa pembuluh kecil di lobus oksipital dan frontal di hemisfer
kanan
Sinar X tengkorak :
Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah yang berlawanan dari masa
yang meluas; kalsifikasi karotis interna terdapat pada trombosis serebral.
Hasil :
Tidak ada persiapan khusus untuk prosedur yang akan dilakukan pada Tn.A, tetapi beberapa
persiapan umum tetap perlu dilakukan:
Edukasi pasien: memberikan penjelasan tentang test dan prosedur pemeriksaan yang akan
dilakukan sampai pasien mengerti.
Untuk prosedur angiografi, bisa dilakukan untuk pemeriksaan lamanya pembekuan darah
untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya perdarahan pasca-prosedur.
Penurunan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan oklusi arteri karotid interna
akibat peningkatan kadar lipid.
Imobilisasi berhubungan dengan hemiplegia bagian tubuh sebelah kiri dan hemiparesi.
Hemiparesis: Kelemahan pada satu sisi tubuh terjadi karena kerusakan area mata pada
kortek atau pada saluran serat piramidal.
Hemiplegia: Kelumpuhan pada satu sisi tubuh terjadi karena kerusakan area mata pada
kortek atau pada saluran serat piramidal.
Apraksia: suatu kondisi dimana klien dapat menggerakan bagian yang terkena tetapi tidak
dapat digunakan untuk pergerakan dengan tujuan spesifik (berjalan, bicara, pembersihan)
Afasia: kerusakan dalam menggunakan dan interpretasi simbol bahasa. Afasia mungkin
meliputi beberapa atau semua aspek dari penggunaan bahasa seperti berbicara, membaca,
menulis, dan mengerti pembicaraan.
Disatria adalah kesulitan dalam bentuk kata.
Disfagia adalah kesulitan dalam menelan
Homonimus hemianopisa (kehilangan setengah lapang penglihatan pada sisi yang sama)
Diplopia : penglihatan ganda
Agnosia : ketidakmampuan mengidentifikasi lingkungan melalui indera. Melalui visual,
pendengaran atau taktil.
A. Cedera Kepala
1. Pengertian
Cidera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan
garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi - decelerasi ) yang
merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan
faktor dan penurunan kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga
oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan.
Cedera Kepala adalah setiap trauma pada kepala yang menyebabkan cedera pada kulit
kepala, tulang tengkorak maupun otak.
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak
atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala.
(Suriadi & Rita Yuliani, 2001).
Cedera kepala bisa dikelompokkan sebagai cedera kepala tertutup atau terbuka
(penetrasi, luka tembus). Pada cedera kepala tertutup, kepala menerima suatu dorongan
tumpul karena membentur suatu benda. Pada cedera kepala terbuka, suatu benda
berkecepatan tinggi menembus tulang tengkorak dan masuk ke dalam otak.
Cedera kepala dan komplikasinya merupakan penyebab dari sejumlah besar kematian
akibat cedera pada anak-anak. Cedera kepala hebat juga bisa menyebabkan kerusakan yang
serius pada otak yang sedang berkembang, sehingga mempengaruhi perkembangan fisik,
kecerdasan dan emosional anak dan menyebabkan cacat jangka panjang.
Cedera kepala paling sering ditemukan pada anak-anak yang berumur kurang dari 1 tahun
dan pada remaja diatas 15 tahun, serta lebih banyak terjadi pada anak laki-laki.
Setiap cedera kepala berpotensi menimbulkan akibat yang serius, karena itu setiap anak yang
mengalami cedera kepala sebaiknya diperiksa secara seksama.
2. Klasifikasi Trauma
Klasifikasi trauma kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (SKG):
a. Minor
• SKG 13 – 15
• Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
• Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
b. Sedang
• SKG 9 – 12
• Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang
dari 24 jam.
• Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Berat
• SKG 3 – 8
• Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
• Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
3. Etiologi
• Cedera kepala yang berat biasanya disebabkan oleh kecelakaan mobil dan motor.
• Cedera kepala yang ringan terutam disebabkan karena anak terjatuh di dalam dan
di sekitar rumah.
• Kecelakaan pada saat olah raga.
• Cedera akibat kekerasan
4. Tanda dan gejala
Tanda-tanda dan gejala cedera kepala bisa terjadi segera atau timbul secara
bertahap selama beberapa jam. Jika setelah kepalanya terbentur, seorang anak segera
kembali bermain atau berlari-lari, maka kemungkinan telah terjadi cedera ringan.
Tetapi anak harus tetap diawasi secara ketat selama 24 jam karena gejalanya mungkin
saja baru timbul beberapa jam kemudian.
Cedera kepala ringan bisa menyebabkan muntah, pucat, rewel atau anak tampak
mengantuk, tanpa disertai penurunan kesadaran maupun tanda-tanda lain dari
kerusakan otak. Jika gejala terus berlanjut sampai lebih dari 6 jam atau jika gejala
semakin memburuk, segera dilakukan pemeriksaan lebih jauh untuk mengetahui
apakah telah terjadi cedera kepala yang berat.
Gejala berikut menunjukkan adanya cedera kepala serius yang memerlukan
penanganan medis segera:
• penurunan kesadaran
• perdarahan
• laju pernafasan menjadi lambat
• linglung
• kejang
• patah tulang tengkorak
• memar di wajah atau patah tulang wajah
• keluar cairan dari hidung, mulut atau telinga (baik cairan jernih maupun
berwarna kemerahan)
• sakit kepala (hebat)
• hipotensi (tekanan darah rendah)
• tampak sangat mengantuk.
• Rewel
• penurunan kesadaran
• perubahan perilaku/kepribadian
• gelisah
• bicara ngawur
• kaku kuduk
• pembengkakan pada daerah yang mengalami cedera
• penglihatan kabur
• luka pada kulit kepala
• perubahan pupil .
Kontusio (gegar otak) adalah suatu penurunan kesadaran sementara yang terjadi
segera setelah mengalami cedera kepala.
Cedera kepala bisa menyebabkan memar atau robekan pada jaringan otak maupun
pembuluh darah di dalam atau di sekitar otak, sehingga terjadi perdarahan dan
pembengkakan di dalam otak.
Cedera yang menyebar menyebabkan sel-sel otak membengkak sehingga tekanan
di dalam tulang tengkorak meningkat. Akibatnya penderita kehilangan kekuatan
maupun sensasinya, menjadi mengantuk atau pingsan.
Gejala-gejala tersebut merupakan pertanda dari cedera otak yang berat, dan
kemungkinan akan menyebabkan kerusakan otak yang permanen sehingga pasien
perlu menjalani rehabilitasi.
Jika pembengkakan semakin memburuk, tekanan akan semakin meningkat
sehingga jaringan otak yang sehatpun akan tertekan dan menyebabkan kerusakan
yang permanen atau kematian.
5. Perdarahan yang sering ditemukan
• Epidural Hematoma
Adalah suatu perdarahan diantara tulang tengkorak dan selaputnya/duramater.
Perdarahan ini terjadi akibat kerusakan pada arteri atau vena pada tulang tengkorak.
Perdarahan menyebabkan meningkatnya tekanan di dalam otak sehingga lama-lama
kesadaran anak akan menurun.
Terdapat pengumpulan darah di antara tulang tengkorak dan duramater akibat
pecahnya pembuluh darah / cabang - cabang arteri meningeal media yang terdapat di
duramater, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena itu sangat
berbahaya. Dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 1-2 hari. Lokasi yang paling
sering yaitu di lobus temporalis dan parietalis. Diagnosis dini sangat penting dan
biasanya tergantung kepada CT Scan darurat.
Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang di dalam
tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian dan
penyumbatan sumber perdarahan.
Gejala-gejala yang terjadi adalah penurunan tingkat kesadaran,nyeri kepala
kadang menghilang, tetapi beberapa jam kemudian muncul lagi dan lebih parah dari
sebelumnya,Muntah, Hemiparesis, Dilatasi pupil ipsilateral, Pernapasan dalam cepat
kemudian dangkal irreguler, Penurunan nadi, Peningkatan suhu.
• Subdural Hematoma
Adalah perdarahan dibawah duramater, biasanya disertai dengan cedera pada
jaringan otak. Gejalanya berupa rasa mengantuk sampai hilangnya kesadaran,
hilangnya sensasi atau kekuatan dan pergerakan abnormal (termasuk kejang).
Terkumpulnya darah antara duramater dan jaringan otak, dapat terjadi akut dan
kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena / jembatan vena yang biasanya
terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi
dalam 48 jam - 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau
beberapa bulan.
Tanda-tanda dan gejalanya adalah : nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik
diri, berfikir lambat, kejang dan udema pupil.Perdarahan intracerebral berupa
perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler, vena.
Tanda dan gejalanya adalah nyeri kepala, penurunan kesadaran, komplikasi
pernapasan, hemiplegia kontra lateral, dilatasi pupil, perubahan tanda-tanda vital.
• Hematoma intraventrikuler (perdarahan di dalam rongga internal/ventrikel),
Hematoma intraparenkimal (perdarahan di dalam jaringan otak) maupun
hematoma subaraknoid (perdarahan di dalam selaput pembungkus otak), merupakan
pertanda dari cedera kepala yang berat dan biasanya menyebabkan kerusakan otak
jangka panjang.
6. Patofisiologi
Trauma secara langsung akan menyebabkan cedera yang disebut lesi primer. Lesi
primer ini dapat dijumpai pada kulit dan jaringan subkutan, tulang tengkorak,
jaringan otak, saraf otak maupun pembuluh-pembuluh darah di dalam dan di sekitar
otak. Pada tulang tengkorak dapat terjadi fraktur linier (±70% dari fraktur tengkorak),
fraktur impresi maupun perforasi. Penelitian pada lebih dari 500 penderita trauma
kepala menunjukkan bahwa hanya ± 18% penderita yang mengalami fraktur
tengkorak. Fraktur tanpa kelainan neurologik, secara klinis tidak banyak berarti.
Fraktur linier pada daerah temporal dapat merobek atau menimbulkan aneurisma
pada arteria meningea media dan cabang-cabangnya; pada dasar tengkorak dapat
merobek atau menimbulkan aneurisma a. karotis interna dan terjadi perdarahan lewat
hidung, mulut dan telinga. Fraktur yang mengenai lamina kribriform dan daerah
telinga tengah dapat menimbulkan rinoroe dan otoroe (keluarnya cairan serebro spinal
lewat hidung atau telinga.
Tekanan dan trauma pada kepala akan menjalar lewat batang otak kearah kanalis
spinalis; karena adanya foramen magnum, gelombang tekanan ini akan disebarkan ke
dalam kanalis spinalis. Akibatnya terjadi gerakan ke bawah dari batang otak secara
mendadak, hingga mengakibatkan kerusakan-kerusakan di batang otak.
Saraf otak dapat terganggu akibat trauma langsung pada saraf, kerusakan pada
batang otak, ataupun sekunder akibat meningitis atau kenaikan tekanan intrakranial.
• Dari saraf-saraf penggerak otot mata, yang sering terkena adalah saraf VI
karena letaknya di dasar tengkorak. Ini menyebabkan diplopia yang dapat
segera timbul akibat trauma, atau sesudah beberapa hari akibat dari edema
otak.
• Gangguan saraf III yang biasanya menyebabkan ptosis, midriasis dan refleks
cahaya negatif sering kali diakibatkan hernia tentorii.
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
Kasus 2
Nn. Noni (20 tahun) masuk UGD dengan kecelakaan lalu lintas sepeda motor, ditemukan
pingsan , GCS 10, gelisah, mata lebam, dan luka pada frontal kanan, TD 130/90 mmHg, N=
110 x/menit, S= 36,2 derajat C. Hasil CT scan menunjukkan ada perdarahan yang cukup
banyak diantara otak dan durameter pada area frontal kanan. Nn.noni diputuskan untuk
dirawat di ruang intermediate care. Keesokan harinya ditemukan Klien GCS menurun
menjadi 7, N = 65 x/menit, P = 10x/menit, TD 160/100mmHg, S= 38,5 derajat C, refleks
pupil kanan/kiri midriasis, ditemukan kelemahan pada ekstremitas kiri dan kilen gelisah.
Pembahasan kasus :
Diagnosa medis : Cedera Kepala berat pada daerah subdural hematoma
Hematoma subdural adalah akumulasi darah dibawah lapisan duramater dan di atas
lapisan arakhnoid, penyebabnya adalah robekan permukaan vena atau pengeluaran kumpulan
darah vena. Kelompok lansia dan kelompok alkoholik merupakan kelompok yang mempunyai
frekuensi jatuh yang tinggi serta derajat atrofi kortikal yang menempatkan struktur jembatan
vena yang menimbulkan permukaan otak dibawah tekanan lebih besar.
Hematoma Subdural Akut
Trauma yang merobek duramater dan arachnoid sehingga darah dan CSS masuk ke dalam
ruang subdural. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan
herniasi batang otak. Keadaan ini menimbulkan berhentinya pernafasan dan hilangnya kontrol
denyut nadi dan tekanan darah. Cedera ini menunjukkan gejala dalam 24 – 48 jam setelah
trauma. Diagnosis dibuat dengan arteriogram karotis dan ekoensefalogram / CT Scan.
Pengobatan terutama tindakan bedah.
Lebih dari sepertiga pasien mempunyai lucid interval yang berakhir dalam menit atau
hitungan jam sebelum koma, tetapi kebanyakan komatose didapatkan dari saat kejadian. Trauma
cranial langsung dapat minor dan tidak dibutuhkan perdarahan subdural akut untuk timbul,
terutama pada orang tua dan mereka yang menggunakan medikasi antikoagulan. Tahanan
Akselerasi sendiri, dari kejadian, terkadang cukup untuk menimbulkan suatu perdarahan
subdural. Nyeri kepala sebelah dan pembesaran pupil pada sisi yang sama adalah lebih sering
tetapi tidak tampak seringnya. Stupor atau koma, hemiparesis, dan pembesaran pupil merupakan
tanda dari hematoma yang besar. Pada pasien deteriorisasi akut, burr holes atau pada craniotomy
dibutuhkan. Hematoma subdural kecil dapat menjadi asimptomatik dan biasanya tidak
membutuhkan evakuasi.
b. Hematoma Subdural Subakut
Perdarahan ini menyebabkan devisit neurologik yang bermakna dalam waktu lebih dari 48
jam. Peningkatan tekanan intra kranial disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan
herniasi ulkus / sentral dan melengkapi tanda – tanda neurologik dari kompresi batang otak.
Pengobatan ini dengan pengangkatan bekuan darah. Sindrom yang melibatkan sub akut akibat
sindroma hematom subdural timbul berhari-hari setelah gangguan dengan nyeri kepala, atau
hemiparesis ringan; hal ini biasanya meningkat pada alkoholik dan pada orang tua, seringkali
setelah trauma minor.
Pada studi imaging tampak pengumpulan crescentik melewati konveksitas pada satu atau
kedua hemisfer, tetapi lebih sering pada wilayah frontotemporal, dan sedikit sering pada fosa
mid inferior atau melalui oksipital. Interhemispheric, posterior fossa, atau bilateral convexity
hematomas sedikit lebih sering dan sulit untuk didiagnosa secara klinis, meskipun tanda yang
diharapkan pada setiap kerusakan wilayah biasanya dapat dideteksi. Perdarahan yang dapat
menyebabkan hematoma yang besar aslinya merupakan vena, meskipun perdarahan arterial tambahan
ditempat terkadang ditemukan pada saat operasi dan beberapa hematoma yang besar memang berasal dari
arteri. Dan patofisiologi dari Hematoma subdural adalah
Data Objektif :
• GCS 10
• Gelisah
• Mata lamban
• TD 130/90 mmHg
• N : 110x/mnit
• S: 36,2 derajat C
• Hasil CT scan menunjukkan ada perdarahan yang cukup banyak diantara otak dan
durameter pada area frontal kanan.
• N = 65 x/menit
• P = 10x/menit
• TD 160/100mmHg
• S= 38,5 derajat C
II. Wawancara
Jika pasien tidak sadar/koma maka data-data yang diperlukan untuk mengetahui riwayat
keperawatan yang dapat diambil dari keluarga, teman atau orang-orang yang dekat dengan
pasien, terutama yang berada disekitar kejadian untuk mengetahui :
• Kapan waktu kejadian?
• Apa penyebab terjadinya trauma kepala?
• Bagaimana posisi saat kejadian?
• Bagaimana kecepatan proyektilnya?
• Apakah terjadi pingsan/riwayat kehilangan kesadaran?
• Apakah ada perdarahan melalui mulut, hidung dan telinga?
• Riwayat lain yang perlu dikaji yaitu riwayat medis dan pembedahan, penggunaan
alkohol atau obat-obatan?
• Riwayat kesehatan sebelumnya?
• Pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian?
• Hasil CT scan menunjukkan ada perdarahan yang cukup banyak diantara otak dan
durameter pada area frontal kanan
laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai normal
Darah lengkap
• Leukosit 10.000 L 4.700 – 10.300 P 4.500 – 11.300
• Eritrosit 4,0 L 4,33 – 5,95 P 3,9 – 4,5
• Hb 12 mg/dl L 13,4 – 17,7 P 11,4 – 15,1
• Trombosit 190 150 – 350
17 mm/jam L < 15 P < 20
• LED
AGD
7, 00 7,35 – 7,45
• PH 30 mmHg 35 – 45 mmHg
• PCO2 110 mmHg 95 – 100 mmHg
• PO2 23 21- 28
• HCO3
II. Diagnosa Keperawatan
1. Pola napas tak efektif b.d kerusakan neurovaskuler yang dimanifestasikan oleh P =
10x/menit
2. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d penghentian aliran darah oleh SOL
(hemoragi,hematoma) yang dimanifesatasikan oleh perubahan ingkat kesadaran, gelisah,
Klien GCS menurun menjadi 7, N = 65 x/menit, P = 10x/menit, TD 160/100mmHg, dan
S= 38,5 derajat C
3. Risiko tinggi nutiris kurang dari kebutuhan tubuh b.d penurunan tingkat kesadaran, status
hipermetabolik.
4. Risiko tinggi kerusakan mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan atau tahanan yang
dianifestasikan oleh kelemahan pada ekstremitas kiri
III.Perencanaan
Diagnosa 1 : Pola napas tak efektif b.d kerusakan neurovaskuler yang dimanifestasikan oleh
P = 10x/menit
Tujuan :
• pola nafas efektif
• mencegah/meminimalkan komplikasi
Kriteria hasil:
• pola nafas normal/efektif
• bebas sianosis
• GDA dalam batas normal
Paraf
Perencanaan Rasional
perawat
Mandiri
1. Pantau frekuaensi, irama, kedalaman 1. Perubahan dapat
pernapasan. Catat ketidakteraturan menandakan awitan
pernapasan komplikasi pulmonal
(umumnya mengikuti
cedera otak) atau
menandakan lokasi/luasnya
keterlibatan otak.
Pernapasan lambat, periode
apnea dapat menandakan
perlunya ventilasi mekanis
2. Anjurkan pasien untuk melakukan 2. Mencegah/menuru
napas dalam yang efektif jika pasien nkan atelektasis
sadar.
3. Auskultasi suara nafas, perhatikan 3. Untuk
daerah hiperventilasi dan adanya mengidentifikasi adanya
suara-suara tambahan yang tidak masalah paru seperti
normal (krekels, ronki, mengi) atelektasis, kongesti, atau
obstruksi jalan napas yang
membahayakan oksigenasi
serebral dan/atau
menandakan terjadinya
infeksi paru (umumnya
merupakan komplikasi dari
cedera kepala)
4. Pantau penggunaan dari obat-obat 4. Dapat
depresan pernapasan, seperti sedative meningkatkan
gangguan/komplikasi
Kolaboratif pernapasan
Pantau atau gambarkan analisa gas darah,
tekanan oksimetri 1. Menentukan kecukupan
pernapasan, keseimbangan
asam basa dan kebutuhan
Lakukan ronsen toraks ulang akan terapi
2. Melihat kembali keadaan
ventilasi dan tanda-tanda
komplikasi yang
berkembang (seperti
atelektasis dan
Berikan oksigen bronkopneumonia)
3. Memaksimalkan oksigen
pada darah arteri dan
membantu dalam
pencegahan hipoksia. Jika
pusat pernapasan tertekan,
mungkin diperlukan
ventilasi mekanik
Diagnosa 2 : Perubahan perfusi jaringan serebral b.d penghentian aliran darah oleh SOL
(hemoragi,hematoma) yang dimanifesatasikan oleh perubahan ingkat kesadaran, gelisah, Klien
GCS menurun menjadi 7, N = 65 x/menit, P = 10x/menit, TD 160/100mmHg, dan S= 38,5
derajat C
Tujuan :
• Memaksimalkan perfusi atau fungsi serebral
• Mencegah atau meminimalkan komplikasi
Kriteria hasil :
• Mempertahankan tingkat kesadaran biasa atau perbaikan, kognisi, dari fungsi
motorik/sensori
• Tanda vital dalam batas normal
• Tak ada peningkatan tekanan intracranial
Paraf
Perencanaan Rasional
Perawat
Mandiri
1. Otak Tentukan faktor-faktor yang Menentukan pilihan intervensi.
berhubungan dengan kedaan tertentu Penurunan tanda /gejala
atau yang menyebabkan neurologis atau kegagalan dalam
koma/penurunan perfusi jaringanotak pemulihannya setelah serangan
dan potensial peningkatan tekanan awal mungkin menunjukkan
intrakranial bahwa pasien itu perlu
dipindahkan ke perawatan
intensif untuk memantau TIK
dan/atau pembedahan.
2. Pantau/catat status neurologis secara 2. Mengkaji adanya
teratur dan bandingkan dengan nilai kecenderungan pada
standar (misalnya skala koma tingkat kesadaran dan
glascow) potensial peningkatan TIK
dan bermanfaat dalam
menentukan lokasi,
perluasan, dan
3. Pantau Td, catat adanya hipertensi perkembangan kerusakan
sistolik secara terus-menerus dan SSP
tekanan nadi yang semakin berat. 3. Peningkatan tekanan
darah sistemik yang
diikuti oleh penurunan
4. Frekuensi jantung, catat adanya tekanan darah diastolic
bradikardi, takikardi atau bentuk (nadi yang membesar)
disritmia lainnya. merupakan tanda
terjadinya peningkatan
TIK.
4. Perubahan ritme (paling
sering bradikardi) adan
5. Pantau pernafasan meliputi pola dan disritmia dapat timbul
iramanya. yang mencerminkan
adanya depresi/trauma
pada batang otak pada
6. Evaluasi keadaan pupil. pasien yang mempunyai
kelainan jantung
sebelumnya.
5. Nafas yang tidak teratur
dapat menunjukkan lokasi
7. Kaji perubahan penglihatan adanya gangguan
serebral/peningkatan TIK.
6. Reaksi pupil diatur oleh
saraf cranial okulomotor
(III) dan berguna untuk
menentukan apakah
batang otak masih baik.
Diagnosa 3 : Risiko tinggi nutiris kurang dari kebutuhan tubuh b.d penurunan tingkat
kesadaran, status hipermetabolik.
Tujuan : nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh tidak terjadi
Kriteria hasil :
• Tidak mengalami tanda-tanda gangguan nutrisi, dengan nilai laboratorium dalam
rentang normal
• Pemeliharaan dan kemajuan peningkatan berat badan sesuai tujuan
Paraf
Perencanaan Rasional
perawat
Mandiri
1. Kaji kemampuan pasien dalam menelan, 1. Factor ini menentukan
mengunyah, batuk, dan mengatasi peilihan jenis makanan
sekresi. sehingga pasien harus
terlindungi dari aspirasi.
2. Auskultasi bising usus , catat adanya 2. Fungsi saluran pencernaan
penurunan / hilangnya suara yang bisanya tetap baik pada
hiperaktif kasus cedera kepala
3. Jaga keamanan saat memberikan 3. Menurunkan regurgitasi
makanan pada pasien dan/atau terjadinya
aspirasi
4. Kaji feses, cairan lambung, muntah darah 4. Perdarahan sub akut/akut
dan sebagainya dapat terjadi dan perlu
intervensi dan metoda
alternative pemberian
makanan.
Kolaborasi
Konsultasi dengan ahli gizi
• Merupakan sumber yang
efektif untuk
mengidentifikasi
kebutuhan kalori/ nutrisi
Pantau pemerisaan lab (albumin, zat besi,
• Mengidentifikasi efisiensi
elektrolit darah)
nutrisi, fungsi organ, dan
respon terhadap terapi
nutrisi tersebut.
Berikan makanan dengan cara yang sesuai
• Pemilihan rute dan jenis
(NGT, oral, cair , lunak)
makanan tergantung pada
kebutuhan dan
kemampuan pasien
Diagnosa 4 : Risiko tinggi kerusakan mobilitas fisik b.d penurunan kekuatan atau tahanan
yang dianifestasikan oleh kelemahan pada ekstremitas kiri
Tujuan : kerusakan mobilitas fisik tidak terjadi
Kriteria hasil :
• Mempertahan / meningkatakan fungsi bagian tubuh yang sakit dan atau
kompensasi.
• Mempertahankan intregitas kulit, kandung kemih, dan fungsi usus
Paraf
Perencanaan Rasional
perawat
Mandiri
1. Periksa kembali kemampuan 1. Mengidentifikasi kemungkinan
dan keadaan secara fungsional kerusakan secara fungsional dan
pada kerusakan yang terjadi mempengaruhi pilihan intervensi
yang akan dilakukan.
2. Letakkan pasien dalam posisi 2. Perubahan posisi yang teratur
tertentu untuk menghindari menyebabkan penyebarab terhadap
kerusakan karena tekanan. berat badan dan meningkatkan
sirkulasi pada seluruh tubuh.
3. Pemakaian kateter Foley selama
3. Pantau haluaran urine. Catat fase akut mungkin dibutuhkan
warna dan bau urine untuk jangka waktu panjang
sebelum memungkinkan untuk
melakukan latihan kandung kemih.
4. Berikan cairan dalam batas- 4. Sesaat setelah fase akut cedera
batas yang dapat ditoleransi kepala dan jika pasien tidak
(contoh toleransi oleh memiliki factor kontraindikasi yang
neurologis dan jantung) lain.
5. Berikan perawatan kulit 5. Meningkatkan sirkulasi dan
dengan cermat elastisitas kulit dan menurunkan
risiko terjadinya eksoriasi kulit.