PATTIRO2018 - Pelayanan Publik Bagi Disabilitas
PATTIRO2018 - Pelayanan Publik Bagi Disabilitas
Bagi Disabilitas
Kajian Praktik Baik dan Inovasi dari
Mitra Program Peduli Pilar Disabilitas
Fase 1 (tahun 2015-2016) di Lima Provinsi
pada Sektor Pelayanan Publik
Pelayanan Publik
Bagi Disabilitas
Kajian Praktik Baik dan Inovasi dari
Mitra Program Peduli Pilar Disabilitas
Fase 1 (tahun 2015-2016) di Lima Provinsi
pada Sektor Pelayanan Publik
Inovasi Pelayanan Publik Bagi Disabilitas
Kajian Praktik Baik dan Inovasi dari Mitra Program Peduli Pilar
Disabilitas Fase 1 (tahun 2015-2016) di Lima Provinsi
Tim Penulis
Novita Anggraeni
Sad Dian Utomo
Editor
Maya Rostanty
Kontributor
1. Bejo Untung
2. Diah Mardhotillah
3. Henny Warsilah
4. Nurjanah
5. Rohidin Sudarno
6. Sumyati
7. Wawanudin
Pengulas
1. Ade Siti Barokah
2. Rani Hapsari
Layout:
Agus Wiyono
Penerbit:
PATTIRO
Pusat Telaah dan Informasi Regional
Jl. Mawar Komplek Kejaksaan Agung Blok G35
Pasar Minggu Jakarta Selatan
Telp: 021-780 1314 | Fax: 021 782 3800
Email: info@pattiro.org
Website: www.pattiro.org
“Publikasi ini diterbitkan oleh PATTIRO melalui Program Peduli dengan dukungan
dari The Asia Foundation dan Kedutaan Besar Australia di Indonesia.”
ii
Kata Pengantar
ThE Asia Foundation
S
aat bertanya pada pimpinan masyarakat, tidak jarang kita dengar bahwa di
lingkungan mereka tidak ada anggota masyarakat penyandang disabilitas.
Hal itu dialami mitra The Asia Foundation beberapa tahun lalu, saat mereka
mengumpulkan data awal tentang masyarakat penyandang disabilitas. Pemimpin
masyarakat itu mungkin menyatakan yang sebenarnya – karena dia memang tak
memiliki data. Banyak penyebab mengapa data tak tersedia, namun di antara yang
paling menyedihkan adalah bahwa keluarga tidak melaporkan; mereka malu, takut
distigma dan lain sebagainya. Mereka juga kerap merasa tidak perlu malaporkan.
Lingkaran masalahpun menjadi langgeng: tanpa data, tidak ada layanan; tanpa
layanan, masyarakat tak merasa perlu melaporkan. Data dan layanan publik adalah
dua hal yang saling terkait. Maka, di sinilah langkah kita mulai. Dari pendataan.
Hingga saat ini data yang tersedia belum terintegrasi sehingga tidak mudah
bagi penyedia layanan untuk menjadikannya sebagai rujukan untuk penjangkauan
dan pelayanan. Survey Penduduk Antar Sensus (SUPAS, 2015) menunjukkan 8,56
persen penduduk Indonesia memiliki disabilitas; Survey Angkatan Kerja Nasional
(Sakernas 2015) menyebut 12.15%, atau setara dengan 30 juta jiwa; dan World
Health Organization (WHO) menyebut 15%.
Lepas dari angka. penyandang disabilitas pada umumnya adalah korban dari
miskonsepsi, stereotype, label dan prasangka yang berakibat pada diskriminasi,
eksklusi, treatment yang keliru, serta perampasan terhadap hak untuk mendapatkan
pendidikan, pekerjaan dan layanan yang setara (Azra, 2017). Stigma negatif yang
menganggap penyandang disabilitas tidak produktif juga menyebabkan hak-hak
dasarnya sebagai warga negara belum diprioritaskan pemenuhannya. Stigma lain
ditimpakan pada orang tua: anak terlahir dengan disabilitas karena kesalahan orang
tua. Lahirnya UU no 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas ternyata belum
menjamin terpenuhinya hak-hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan
pendidikan, kesehatan, informasi, prasarana yang aksesibel dan hak-hak lainnya.
Studi kolaborasi Pemerintah Australia dengan Indonesia menunjukkan bahwa
orang dengan disabilitas di Indonesia memiliki tingkat pendidikan yang lebih
rendah, akses kesehatan yang lebih buruk, akses permodalan/ekonomi yang
iv
Kata Pengantar
Yakkum
S
ejak berdiri tahun 1982, Pusat Rehabilitasi YAKKUM bermitra dengan berbagai
pihak, baik badan pemerintah maupun non pemerintah di tingkat global
sampai lokal untuk mewujudkan visi YAKKUM yaitu orang dengan disabilitas
yang mandiri terpenuhi hak dasarnya dalam masyarakat yang inklusif. Berbagai
upaya mulai rehabilitasi fisik, edukasi dan kampanye publik, penguatan organisasi
DPO sampai advokasi kebijakan public dilakukan dengan memanfaatkan berbagai
peluang yang ada. Lebih dari 15,000 penyandang disabilitas dan keluarganya
dari berbagai wilayah di Indonesia telah difasilitasi dalam upaya mereka meraih
kemandirian dalam berbagai bentuk dan tingkatan. Salah satu peluang yang sangat
bermakna bagi perjuangan pemenuhan hak disabilitas adalah dikeluarkannya
UU Disabilitas Nomor 8 tahun 2016 yang menjadi kerangka kerja legal untuk
memastikan komitmen negara dalam hal perlindungan dan pemenuhan hak dasar
disabilitas tersebut.
Tetapi legal framework saja tidak cukup, apalagi jika kita semua mengharapkan
lebih luas wilayah dan lebih banyak kelompok masyarakat yang terjangkau dan
memperoleh perlindungan dan pemenuhan hak dalam wujud layanan publik yang
lebih inklusif, yang di dalamnya termaktub prinsip-prinsip peningkatan kesadaran
(awareness), aksesibilitas, yang menyeluruh, partisipasi dan pendekatan khusus
dan umum (twin track approach). Dalam Program Peduli dimana 78 organisasi
masyarakat sipil (baik yang berperan sebagai organisasi mitra payung maupun
mitra pelaksana) di 75 kota/kabupaten dalam 21 provinsi, YAKKUM melakukan
pelatihan pengarusutamaan pembangunan yang inklusif disabilitas kepada mereka
(khususnya yang tidak specialized dalam isu disabilitas) agar semakin banyak pihak
yang mempunyai kesadaran terhadap isu disabilitas dan sepakat mewujudkan
inklusi sosial dalam berbagai aspek pembangunan. Selain itu dirasakan urgensi
penyusunan kajian dan pendokumentasian praktik baik dalam hal layanan
disabilitas agar tersedia referensi yang dapat diandalkan dan dapat menginspirasi
pihak-pihak lain dalam mengupayakan perlindungan dan pemenuhan hak dasar
disabilitas dalam bentuk layanan publik dan mereplikasikannya ke wilayah-wilayah
lain.
Salam inklusi
Arshinta
vi
Kata Pengantar
Direktur PATTIRO
T
erpenuhinya pelayanan publik dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan
mendapat dokumen kependudukan merupakan salah satu indikator
keadilan negara terhadap warga negaranya. Hak dasar ini mestinya diterima
secara adil dan merata untuk semua golongan masyarakat dengan berbagai situasi
dan latar belakang baik ekonomi, wilayah, dan fisik maupun mental. Hal ini perlu
ditekankan mengingat berbagai kelompok rentan masih mendapat hambatan
dalam upaya mengakses pelayanan publik dasar. Salah satunya karena mekanisme
pemberian layanan belum mengakomodasi kebutuhan khusus kelompok rentan,
contohnya penyandang disabilitas.
Pelayanan publik yang adil dan non-diskriminatif ini sebenarnya sudah
tercantum dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Ruang lingkup pelayanan publik meliputi pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan
usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan,
jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata,
dan sektor lain yang terkait. UU Pelayanan Publik ini dapat dilihat sebagai upaya
untuk mewujudkan pelayanan yang inklusif melalui asas-asas pelayanan yang
telah ditetapkan, antara lain kesamaan hak, partisipatif, persamaan perlakuan/
tidak diskriminatif, dan fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan. Hal
ini juga diperkuat dengan terbitnya UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas.
Namun demikian, dalam praktiknya, penyandang disabilitas masih banyak
mengalami hambatan dalam mengakses pelayanan dasar seperti kesehatan dan
pendidikan serta kependudukan. Dengan kata lain masih terjadi eksklusi dalam
pelayanan publik terhadap disabilitas. Sebagai contoh, pada pelayanan kesehatan,
disabilitas rungu dan wicara tidak bisa leluasa menyampaikan keluhannya (yang
dianggap hal-hal sensitif atau pribadi) saat memeriksakan kesehatannya, karena
tidak ada petugas yang memahami cara berkomunikasi dengan penyandang
disabilitas.
Direktur PATTIRO
Maya Rostanty
viii
Daftar Isi
BAB I Konteks......................................................................................................................... 1
A. Eksklusi Sosial dan Aksesibilitas Penyandang Disabilitas........................... 1
B. Metodologi Kajian..................................................................................................... 7
C. Kerangka Konseptual............................................................................................... 10
C.1 Inovasi................................................................................................................ 10
C.2 Pelayanan Publik / Inovasi Pelayanan Publik....................................... 11
C.3 Partisipasi Disabilitas.................................................................................... 12
D. Profil Program dan Mitra Program....................................................................... 20
D.1 Program Peduli Pilar Disabilitas................................................................ 20
D.2 Profil Lembaga Mitra Program Peduli Pilar Disabilitas..................... 22
D 2.1 SAPDA di Kota Banjarmasin........................................................... 22
D.2.2 SIGAB di Kulon Progo....................................................................... 22
D.2.3 KARINAKAS di Sukoharjo................................................................ 23
D.2.4 YASMIB di Bone................................................................................... 24
D.2.5 BAHTERA di Sumba Barat................................................................ 25
D.2.6 PATTIRO................................................................................................. 26
E. Batasan Kajian............................................................................................................. 27
x
C.1. YASMIB : Perencanaan dan Penganggaran Desa yang Responsif
Disabilitas......................................................................................................... 81
C.1.1. Jenis Inovasi dan Praktik Baik, Layanan, Proses dan Peran
Aktor....................................................................................................... 81
C.1.2. Hasil dan Dampak............................................................................... 85
C.1.3. Faktor Pendukung............................................................................... 88
C.1.4. Tantangan.............................................................................................. 88
C.1.5. Partisipasi Disabilitas......................................................................... 88
C.1.6. Penerimaan, Replikasi dan Rencana Pengembangan........... 89
C.2. BAHTERA: Perencanaan dan Penganggaran yang Pro Disabilitas. 90
C.2.1. Jenis Inovasi dan Praktik Baik, Layanan, Proses dan Peran
Aktor....................................................................................................... 90
C.2.2. Hasil dan Dampak............................................................................... 96
C.2.3. Faktor Pendukung............................................................................... 98
C.2.4. Tantangan.............................................................................................. 98
C.2.5. Partisipasi Disabilitas......................................................................... 98
C.2.6. Penerimaan, Replikasi dan Rencana Pengembangan........... 100
xii
Daftar Singkatan dan Istilah
xiv
Musrenbangdes : Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa
NGO : Non Government Organization
NPC : National Paralympic Committee
NTT : Nusa Tenggara Timur
NTB : Nusa Tenggara Barat
ODGJ : Orang Dengan Gangguan Jiwa
P3D : Pusat Pengembangan Potensi Disabilitas
PATTIRO : Pusat Telaah dan Informasi Regional
Pemda : Pemerintah Daerah
Pemdes : Pemerintah Desa
Penyandang Disabilitas : Setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik,
intelektual, mental, dan atau sensorik dalam jangka waktu
lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat
mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi
secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya
berdasarkan kesamaan hak.
Perda : Peraturan Daerah
PERMEN PU : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum
PKDTB : Pelayanan Kesehatan Disabilitas Terintegrasi dan
Berkelanjutan
Pertuni : Persatuan Tuna Netra Indonesia
Posyandu : Pos Pelayanan Terpadu
PPDI : Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia
PRB : Pengurangan Risiko Bencana
PSLD : Pusat Studi dan Layanan Disabilitas
Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat
Ramp : Jalur sirkulasi yang memiliki bidang dengan kemiringan
tertentu sebagai alternatif bagi orang yang tidak dapat
menggunakan tangga/penyandang disabilitas.
RBM : Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat
Renstra : Rencana Strategis
xvi
Daftar Bagan, Gambar, Grafik, dan Tabel
xviii
BAB I
Konteks
BAB I
Konteks
A. Eksklusi Sosial dan Aksesibilitas Penyandang Disabilitas
Konsep eksklusi sosial menonjol dalam wacana kebijakan di Perancis pada
pertengahan 1970-an. Konsep ini kemudian diadopsi oleh Uni Eropa pada
akhir 1980-an sebagai konsep kunci dalam kebijakan sosial dan dalam banyak
kasus menggantikan konsep kemiskinan. Eksklusi sosial adalah proses yang
memperlihatkan partisipasi dan solidaritas masyarakat menurun. Kondisi demikian
mencerminkan kurang memadainya kohesi sosial atau integrasi sosial. Pada
tingkat individual, mengacu pada ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam
kegiatan sosial dan membangun makna-hubungan sosial.1 Konsep eksklusi sosial
kemudian menyebar ke negara-negara berkembang, dengan cara melakukan
redefinisi konsep pembangunan ekonomi yang juga harus bertumpu kepada
pendekatan sosial. Konsep pembangunan sosial akan melihat banyak hal yang
harus diperjuangkan, yakni mulai dari pendidikan yang lebih baik, peningkatan
kesehatan dan standar gizi, pemberantasan kemiskinan, perbaikan kondisi
lingkungan, pemerataan kesempatan, pemerataan kebebasan individual, dan
penyegaran kehidupan budaya.
Bila eksklusi sosial berarti memarjinalkan masyarakat dari suatu proses
pembangunan, atau proses peminggiran masyarakat, maka inklusi sosial
berkonotasi sebaliknya. Pengertian inklusi digunakan sebagai sebuah pendekatan
untuk membangun dan mengembangkan sebuah lingkungan yang semakin
terbuka, mengajak masuk dan mengikutsertakan semua orang dengan berbagai
latar belakang, karakteristik, kemampuan, status, kondisi, etnik, dan budaya.
Terbuka dalam konsep lingkungan inklusi, berarti semua orang yang tinggal,
berada dan beraktivitas dalam lingkungan keluarga, sekolah ataupun masyarakat
merasa aman dan nyaman mendapatkan hak dan melaksanakan kewajibannya.
Jadi, lingkungan inklusi adalah lingkungan sosial masyarakat yang terbuka, ramah,
meniadakan hambatan dan menyenangkan, karena setiap warga masyarakat tanpa
terkecuali saling menghargai dan merangkul setiap perbedaan (Lenoir, 1974).
1 Gordon D et.al (2000).Poverty and Social Exclusion in Britain. Joseph Rowntree Foundation.York.
2
and Development Index 2017), Indonesia berada pada peringkat 22 dari 79 negara
berkembang. Peringkat ini berada di bawah Thailand (12), Tiongkok (15), dan
Malaysia (16). Menurut WEF, Indonesia memiliki masalah ketimpangan yang serius,
yang ditunjukkan dengan rendahnya nilai indikator inklusi (inclusion) yaitu 3,57
(dari skala 1 terendah dan 7 tertinggi), meliputi ketimpangan dalam pendapatan
bersih (net income inequality), ketimpangan kemakmuran (wealth inequality) dan
tingkat kemiskinan (poverty rate).
Dengan kata lain, pembangunan di Indonesia masih jauh untuk dikatakan
sebagai pembangunan yang inklusif. Pembangunan nasional sendiri bertujuan
mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif, yaitu
pertumbuhan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi
kemampuan generasi mendatang, terdistribusi di berbagai wilayah, dan dapat
mengurangi ketidaksetaraan pendapatan.
Konsep pembangunan inklusif ini dipandang tepat bagi Indonesia, karena
sejalan dengan konsep keadilan sosial yang tercakup dalam Sila Kelima Pancasila
yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, dan alinea keempat
Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah
darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Sebagai negara yang berkeadilan sosial,
maka negara berkewajiban melindungi hak-hak asasi warganya termasuk hak-
hak penyandang disabilitas, yang dapat dikatakan sebagai “kelompok yang
tidak diuntungkan” karena keterbatasan yang dimilikinya, dan memastikan
pembangunan yang dijalankan dapat dinikmati hasilnya oleh seluruh masyarakat,
termasuk penyandang disabilitas.
Selain pembangunan inklusif, perhatian pada kelompok rentan, salah satunya
penyandang disabilitas, juga diperlihatkan melalui paradigma pembangunan
berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan ini mencakup tiga dimensi, yaitu
dimensi sosial, yang mencakup keadilan sosial, kesetaraan gender atau
pemenuhan kebutuhan dasar bagi semua, termasuk di dalamnya penyandang
disabilitas; dimensi ekonomi, yang dapat diartikan sebagai pertumbuhan ekonomi
untuk pemenuhan kebutuhan dasar atau ekonomi kesejahteraan; dan dimensi
lingkungan, yang mencakup keseimbangan lingkungan dan lingkungan untuk
generasi sekarang dan yang akan datang (Gondokusumo dalam Budhy, 2005).
Implementasi pembangunan berkelanjutan ini dicanangkan secara global melalui
deklarasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/
SDGs) yang akan dilaksanakan hingga tahun 2030. SDGs merupakan kelanjutan
4
dasar. Hal tersebut disebabkan oleh mekanisme pemberian layanan belum
mengakomodasi kebutuhan khusus penyandang disabilitas, padahal pelayanan
publik yang adil dan non-diskriminatif ini sebenarnya sudah dijamin dalam
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (UU Pelayanan
Publik). Ruang lingkup pelayanan publik meliputi pendidikan, pengajaran,
pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan
hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya
alam, pariwisata, dan sektor lain yang terkait. Undang-Undang Pelayanan Publik ini
dapat dilihat sebagai upaya untuk mewujudkan pelayanan yang inklusif melalui
asas-asas pelayanan yang telah ditetapkan, antara lain kesamaan hak, partisipatif,
persamaan perlakuan/tidak diskriminatif, dan fasilitas serta perlakuan khusus bagi
kelompok rentan. Hal ini juga diperkuat dengan terbitnya UU nomor 8 tahun 2016
seperti Penyandang Disabilitas.
Namun, dalam praktiknya, penyandang disabilitas masih banyak mengalami
hambatan dalam mengakses pelayanan dasar, seperti kesehatan, pendidikan, dan
kependudukan. Dengan kata lain, masih terjadi eksklusi dalam pelayanan publik
terhadap disabilitas. Sebagai contoh, pada pelayanan kesehatan, penyandang
disabilitas rungu dan wicara tidak bisa leluasa menyampaikan keluhannya (terkait
hal-hal yang dianggap sensitif atau pribadi) saat memeriksakan kesehatannya,
karena tidak ada petugas yang memahami cara berkomunikasi dengan
penyandang disabilitas. Selain itu, penyandang disabilitas juga mengalami
kesulitan untuk mengakses langsung pelayanan di gedung unit pelayanan, karena
tidak ada pintu masuk atau lobi yang aksesibel bagi pengguna kursi roda. Hal ini
terjadi karena adanya prasangka (asumsi negatif ) dari pemberi pelayanan dan
pembuat kebijakan bahwa tidak perlu membuat pintu masuk atau lobi dimaksud
disebabkan jarang ada pasien penyandang disabilitas yang datang.
Dengan memperhatikan pemaparan di atas, maka pembangunan inklusif
dan berkelanjutan merupakan pendekatan yang tepat bagi Indonesia dalam
rangka memastikan proses dan hasil pembangunan dapat dirasakan oleh semua,
termasuk penyandang disabilitas, baik generasi sekarang maupun yang akan
datang. Perhatian kepada penyandang disabilitas ini menjadi sangat penting,
karena jumlahnya relatif besar dan menghadapi sejumlah tantangan.
Berikut fakta tentang penyandang disabilitas (ILO, tanpa tahun) “Secara global,
penyandang disabilitas berjumlah sekitar 15 persen dari jumlah penduduk di
dunia atau lebih dari satu miliar orang. Delapan puluh dua persen dari penyandang
disabilitas tersebut hidup di negara-negara berkembang dan berada di bawah
garis kemiskinan dan kerapkali menghadapi keterbatasan akses atas kesehatan,
6
diharapkan memberikan manfaat yang lebih banyak bagi penyandang disabilitas
di tanah air. Hasil kajian ini diharapkan menjadi bahan advokasi di tingkat nasional
dalam upaya perbaikan kebijakan terkait pelayanan publik yang ramah disabilitas,
sehingga dapat memberikan kontribusi yang lebih besar dan signifikan bagi
penyandang disabilitas di seluruh tanah air.
B. Metodologi Kajian
Kajian ini menggunakan metode deskriptif analitis. Kajian ini berupaya
mengumpulkan, meneliti dan mendeskripsikan berbagai inovasi dan praktik
baik yang telah dikembangkan oleh Mitra Peduli Fase 1 yang bersinergi dengan
pemerintah daerah dalam rangka pemenuhan hak penyandang disabilitas, dan
menganalisis faktor pendukung dan penghambat dalam rangka mengembangkan
inovasi dan praktik baik pelayanan publik bagi disabilitas, serta analisis terhadap
peluang dari praktik baik dimaksud untuk dikembangkan (scale up) ke tingkat
nasional dan menjadi masukan untuk penyusunan kebijakan pelayanan publik
yang ramah disabilitas.
Secara umum, dapat dikatakan paradigma yang memayungi kajian ini adalah
post positivism. Paradigma post-positivism memiliki karakteristik utama yaitu
pencarian makna di balik data (Denzin dan Lincoln: 1994). Dalam kajian ini,
pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, mengingat
secara tradisional, paradigma post-positivism berbasis pendekatan kualitatif (Ricucci,
2010). Oleh karena itu, dalam rangka memotret tahapan, berbagai indikator dalam
proses inovasi dan praktik baik pelayanan publik yang ramah disabilitas ditujukan
untuk memastikan bahwa data yang dihasilkan akan dikonfirmasi langsung kepada
Mitra Peduli, penyandang disabilitas atau organisasi penyandang disabilitas. Kajian
ini ini akan menghasilkan strategi model mikro (lokal), dan model regional (antar
provinsi) yang nantinya dapat diadvokasikan pada tingkat nasional, seperti terlihat
pada gambar berikut ini.
Tujuan Kebijakan
8
Ruang lingkup isi kajian inovasi dan praktik baik pelayanan publik ramah
disabilitas ini mencakup latar belakang inovasi yang dilakukan oleh Mitra Peduli;
proses dan pembagian peran dalam proses inovasinya; persepsi para pemangku
kepentingan (NGO pendamping, DPO, penyandang disabilitas, dan pemerintah
daerah yang didampingi); faktor pendukung dan penghambat inovasi; penerimaan
(buy-in) inovasi oleh pemerintah daerah dalam bentuk kebijakan, anggaran
dan lainnya; serta peluang inovasi atau praktik baik untuk direplikasi dan atau
dikembangkan ke tingkat yang lebih tinggi (scale up).
Kajian dilakukan di sebagian wilayah kerja Mitra Program Peduli Pilar Disabilitas
Fase 1, yaitu di Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Bone,
Kabupaten Lombok Barat, Kota Banjarmasin, dan Kabupaten Sumba Barat. Kajian
dilakukan selama enam bulan, dari bulan September 2017 hingga Januari 2018.
Berikut peta cakupan wilayah kajian yang dilakukan oleh PATTIRO:
Keterangan: Warna titik merah adalah peta cakupan wilayah kajian PATTIRO
Sumber: https://www.sejarah-negara.com/2015/02/peta-indonesia-terbaru-2015-peta-buta-
dan-peta-lengkap.html
Data dikumpulkan melalui data sekunder melalui studi pustaka, dan data primer
melalui wawancara mendalam dan observasi. Data sekunder dikumpulkan dari
Mitra Peduli, terutama terkait dengan laporan pelaksanaan inovasi dan dampak
inovasinya. Hasilnya dianalisis dan dituangkan dalam bentuk laporan desk study.
Hasil desk study ini didalami melalui wawancara mendalam dan observasi secara
langsung ke wilayah kerja Mitra Peduli.
C. Kerangka Konseptual
C.1 Inovasi
Menurut Suryani (2008:304), inovasi dapat berupa ide, cara-cara ataupun obyek
yang dipersepsikan oleh seseorang sebagai sesuatu yang baru. Inovasi juga sering
digunakan untuk merujuk pada perubahan yang dirasakan sebagai hal yang baru
oleh masyarakat yang mengalami. Kata inovasi dapat diartikan sebagai “proses”
atau“hasil” pengembangan dan atau pemanfaatan atau mobilisasi pengetahuan,
keterampilan (termasuk keterampilan teknologi) dan pengalaman untuk
menciptakan atau memperbaiki produk, proses yang dapat memberikan nilai
yang lebih berarti. Menurut Rosenfeld dalam Sutarno (2012:132), inovasi adalah
transformasi pengetahuan kepada produk, proses dan jasa baru, atau tindakan
menggunakan sesuatu yang baru.
Rogers (1983) inovasi adalah sebuah ide, praktek, atau objek yang dipahami
sebagai sesuatu yang baru oleh masing-masing atau unit pengguna lainnya. Rogers
juga menyatakan bahwa inovasi mempunyai atribut tertentu, yaitu 1) Keuntungan
Relatif. Sebuah inovasi harus mempunyai keunggulan dan nilai lebih dibandingkan
dengan inovasi sebelumnya. Selalu ada sebuah nilai kebaruan yang melekat dalam
inovasi yang menjadi ciri yang membedakannya dengan yang lain; 2) Kesesuaian.
Inovasi juga sebaiknya mempunyai sifat kompatibel atau kesesuaian dengan
inovasi yang digantinya. Hal ini dimaksudkan agar inovasi yang lama tidak dibuang
begitu saja, selain karena alasan faktor biaya yang tidak sedikit, juga karena inovasi
10
yang lama menjadi bagian dari proses transisi ke inovasi yang baru. Selain itu juga
dapat memudahkan proses adaptasi dan proses pembelajaran terhadap inovasi
itu secara lebih cepat; 3) Kerumitan. Dengan sifatnya yang baru, maka inovasi
mempunyai tingkat kerumitan yang boleh jadi lebih tinggi dibandingkan dengan
inovasi sebelumnya. Namun demikian, karena sebuah inovasi menawarkan cara
yang lebih baru dan lebih baik, maka tingkat kerumitan ini pada umumnya tidak
menjadi masalah penting; 4) Kemungkinan Dicoba. Inovasi hanya bisa diterima
apabila telah teruji dan terbukti mempunyai keuntungan atau nilai dibandingkan
dengan inovasi yang lama. Sehingga sebuah produk inovasi harus melewati fase “uji
publik”, dimana setiap orang atau pihak mempunyai kesempatan untuk menguji
kualitas dari sebuah inovasi; dan 5) Kemudahan diamati. Sebuah inovasi harus juga
dapat diamati, dari segi bagaimana sebuah inovasi bekerja dan menghasilkan
sesuatu yang lebih baik.
Agar inovasi ini bermanfaat bagi lebih banyak orang atau pihak, maka perlu
disebarluaskan. Diharapkan melalui penyebarluasan inovasi ini, inovasi dapat
ditiru atau direplikasi pihak lain. Dalam konteks penyebarluasan ini, Rogers
(1983) mengemukakan konsep difusi inovasi. Menurutnya, difusi adalah proses
dimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu dalam jangka
waktu tertentu di antara para anggota suatu sistem sosial. Di samping itu, difusi
juga dapat dianggap sebagai suatu jenis perubahan sosial yaitu suatu proses
perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi sistem sosial. Jadi difusi inovasi
menurut Rogers (1983) adalah suatu proses penyebar serapan ide-ide atau hal-hal
yang baru dalam upaya untuk mengubah suatu masyarakat yang terjadi secara
terus menerus dari suatu tempat ke tempat yang lain, dari suatu kurun waktu
ke kurun waktu yang berikut, dari suatu bidang tertentu ke bidang yang lainnya
kepada sekelompok anggota dari sistem sosial. Tujuan utama dari difusi inovasi
adalah diadopsinya suatu inovasi (ilmu pengetahuan, tekhnologi, dan bidang
pengembangan masyarakat) oleh anggota sistem sosial tertentu. Sistem sosial
dapat berupa individu, kelompok informal, organisasi sampai kepada masyarakat.
12
cukup lama jadi acuan pembangunan masyarakat, tetapi makna partisipasi itu
sendiri seringkali samar-samar atau kabur. Partisipasi sering dipersepsikan sebagai
bentuk mobilisasi dengan pendekatan cetak biru (blue print) atau pendekatan
yang datangnya dari atas, walaupun dalam perjalanannya terdapat beberapa
pandangan yang menganggap lebih dari sekadar pergerakan atau mobilisasi
masyarakat tetapi juga sebagai hak dari setiap warga.
Hal senada diungkap oleh Soetrisno (1995) yang menyatakan, partisipasi
sebelumnya dipahami sebagai kemauan rakyat untuk mendukung secara
mutlak program-program pemerintah yang dirancang dan ditentukan
tujuannya oleh pemerintah, padahal makna partisipasi adalah kerja sama antara
rakyat dan pemerintah dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan,
dan mengembangkan hasil pembangunannya. Mikkelsen (2001:64) bahkan
mengumpulkan berbagai tafsiran mengenai partisipasi. Pertama, partisipasi
adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa ikut serta dalam
pengambilan keputusan. Kedua, partisipasi adalah ”pemekaan” (membuat peka)
pihak masyarakat untuk meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan
untuk menanggapi proyek-proyek pembangunan. Ketiga, parsitipasi adalah suatu
proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok yang
terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasan untuk melakukan hal
itu. Keempat, partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat
dengan para staf yang melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek
agar memperoleh informasi mengenai konteks lokal, dan dampak-dampak sosial.
Kelima, partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan
yang ditentukannya sendiri. Keenam, partisipasi adalah keterlibatan masyarakat
dalam pembangunan diri, kehidupan dan lingkungannya.
Berbagai pendapat mengenai pengertian partisipasi itu lebih ditujukan
pada keterlibatan masyarakat dalam proyek-proyek pembangunan, mulai dari
perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasannya. Sementara itu, Schneider
(1995: 11) berpendapat bahwa:
“Partisipasi masyarakat sebagai salah satu pilar dari demokrasi dan value
based social development merupakan hal yang penting dalam diskursus
komunitas. Karena melalui partisipasi masyarakat ini diharapkan akan
tercapai pengambilan keputusan yang demokratis. Proses pengambilan
keputusan secara demokratis itu sendiri pada dasarnya dilakukan
berdasarkan sistem egaliter, dimana masing-masing pihak berusaha saling
melengkapi tanpa merasa menjadi yang super power.”
14
proses politik dan ekonomi untuk terlibat dalam penentuan masa depan dan
konsep pemberdayaan masyarakat sebagai upaya peningkatan kemampuan
dalam pengambilan keputusan dan mengontrol masa depan masyarakat sendiri.
Sementara itu, In Young Wang (dalam Makmur, 2003: 57) menyatakan partisipasi
merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan oleh seseorang/individu atau
kelompok orang dalam merumuskan/menyatakan kepentingan mereka dalam
memberikan/menyumbangkan tenaga dan sumberdaya lainnya kepada suatu
lembaga/institusi dan kepada sistem yang mengatur kehidupan mereka.
Dari beberapa definisi tersebut, tampak bahwa partisipasi memang merupakan
sebuah konsep yang problematis dan memiliki banyak makna dan dimensi,
tergantung situasinya, atau dari sudut mana memandangnya. Meski demikian,
partisipasi masyarakat dapat diinterpretasikan sebagai hak yang dimiliki
masyarakat untuk dapat terlibat secara demokratis dalam ikut menentukan
berbagai hal yang menyangkut kehidupannya. Ringkasnya, partisipasi dimaknai
sebagai adanya keterlibatan warga masyarakat dalam melakukan pengambilan
keputusan yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan, pemecahan masalah,
dalam kerangka peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraannya, termasuk
menyangkut pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah.
Tjokroamidjojo (1995:207) mengemukakan tiga bentuk partisipasi masyarakat
dalam pembangunan, yaitu partisipasi dalam perencanaan pembangunan,
partisipasi dalam pelaksanaan pembangunan, dan partisipasi dalam memanfaatkan
hasil-hasil pembangunan. Keith Davis dalam Sastropoetro (1988:16) menyatakan
bentuk-bentuk partisipasi adalah:
a. Sumbangan individu atau instansi yang berada di luar lingkungan tertentu
(dermawan, pihak ketiga)
b. Mendirikan proyek yang sifatnya mandiri dan dibiayai seluruhnya oleh
komunitas (biasanya diputuskan dalam rapat desa)
c. Aksi massa
d. Mengadakan pembangunan di kalangan desa sendiri
e. Membangun proyek komunitas yang bersifat otonomi
Keith juga menyatakan jenis-jenis partisipasi yaitu pikiran (psychological
participation); tenaga (physical participation); pikiran dan tenaga (psychological
and physical participation); barang (material participation); dan uang (money
participation).
Thoha sebagaimana dikutip oleh Tim Peneliti FIKB (2002: 6) lebih melihat
partisipasi dari sifatnya. Ia membagi partisipasi dalam dua jenis, yaitu partisipasi
otonom/mandiri dan partisipasi mobilisasi. Partisipasi otonom/mandiri yaitu suatu
16
akan dilakukan sangat tergantung pada kepentingan apa yang hendak dicapai.
Untuk pengambilan kebijakan strategis yang mempengaruhi hajat hidup orang
banyak, tentu masyarakat harus dilibatkan secara penuh. Akan tetapi, dalam
pengambilan keputusan yang lebih bersifat teknis mungkin pemberian informasi
kepada masyarakat sudah memadai.
Berbagai pendapat itu sebenarnya memperlihatkan adanya tingkatan dalam
partisipasi. Contohnya, pemberian informasi lebih rendah tingkatannya dari
pembuatan keputusan bersama. Namun, pendapat-pendapat tersebut belum
menunjukkan secara jelas tingkatan partisipasi dan bagaimana tingkatan itu
mempengaruhi pemerintah daerah atau penyelenggara pelayanan. Sherry R.
Arnstein (dalam Cahn, 1971:69-91) yang membagi secara jelas tingkatan partisipasi
masyarakat itu. Melalui teori the ladder of citizen participation, Arnstein membagi
partisipasi dalam beberapa tingkatan dengan mengumpamakan sebagai anak-
anak tangga dalam tangga partisipasi masyarakat. Berbagai anak tangga itu
bila dibandingkan satu dengan yang lainnya akan membentuk satu garis yang
terentang mulai dari non-partisipasi masyarakat hingga mencapai kontrol warga
masyarakat secara penuh. Anak tangga terendah dimulai dari partisipasi sebagai
kegiatan untuk memanipulasi sampai pada tingkat dimana masyarakat dapat
mengontrol pelaksanaan pemerintahan termasuk di dalamnya penyelenggaraan
pelayanan kepada masyarakat.
1. Manipulasi (manipulation). Partisipasi dimaksudkan untuk membangun
dukungan dengan memberi kesan bahwa pengambil kebijakan sudah
partisipatif, padahal keputusan tidak diambil berdasarkan masukan dari
proses partisipasi.
2. Terapi (therapy). Partisipasi tidak ditujukan untuk membuat masyarakat
dapat terlibat dalam perencanaan dan pelaksanaan program pelayanan
publik, tetapi lebih pada keinginan pemegang kekuasaan untuk “mengajari”
atau “mengobati” warga masyarakat dalam hal partisipasi. Terapi ini
sifatnya tidak jujur dan arogan. Contoh, bila ada kesalahan dari pejabat
publik tertentu, maka warga negara yang terkena dampaknya dianjurkan
untuk menemui pihak yang bertanggungjawab terhadap pengelolaan
pengaduan dan seolah-olah pengaduan tersebut ditindak lanjuti.
3. Pemberian informasi (informing). Partisipasi dimaknai sebagai
penyebarluasan informasi mengenai hak, tanggungjawab, dan pilihan
masyarakat. Namun, partisipasi dalam tingkat ini difungsikan sebagai
komunikasi satu arah dan tidak terbuka kesempatan untuk bernegosiasi
dan menyatakan pendapat. Pola ini biasanya digunakan dalam bentuk
18
masyarakat sudah memiliki kekuasaan yang lebih besar dibanding
penyelenggara negara. Contoh, jumlah keanggotaan masyarakat yang lebih
besar di dalam Dewan Kota atau adanya hak veto bagi masyarakat dalam
Dewan Transportasi Kota. Tantangannya adalah mewujudkan akuntabilitas
dan menyediakan sumber daya yang memadai bagi kelompok dimaksud.
Pada tingkatan ini, warga masyarakat memegang peranan kunci untuk
menjamin terjadinya akuntabilitas program-program yang dijalankan.
8. Kontrol warga (citizen control) adalah anak tangga tertinggi dari partisipasi
masyarakat. Pada anak tangga ini, warga masyarakat dapat mengendalikan
atau mengatur suatu program atau institusi dengan kendali penuh
dalam aspek kebijakan dan manajerial. Kontrol warga merupakan puncak
partisipasi, sehingga muncul kekhawatiran bahwa pada tingkat partisipasi
seperti ini akan timbul semangat separatisme, kekacauan dalam pelayanan
publik, dan kekhawatiran mengenai ketidakefisienan dan pemborosan.
Namun, sebenarnya kontrol yang dimaksud bukanlah kekuasaan tanpa
batas (absolute power).
Kontrol Warga
(Citizen Control)
Kekuasaan yang didelegasikan
(Delegated Power) Tingkat Kekuasaan Warga
(Degrees of citizen power)
Kemitraan
(Partnership)
Penenteraman
(Placation)
Konsultasi
(Consultation)
Pemberian Informasi Tingkat Pertanda Partisipasi
(Informing) (Degrees of tokenism)
Terapi
(Therapy)
Manipulasi Non-Partisipasi
(Manipulation) (Non-participation)
Sumber: Sherry R. Amstein, Eight Rungs on the Ladder of Citizen Participation dalam Cahn (1971:70)
20
berbasis agama; (4) Orang dengan disabilitas, (5) Hak Asasi Manusia dan Restorasi
Sosial, dan (6) Waria.
Pada Maret 2014, The Asia Foundation ditetapkan sebagai managing
partner dalam Program Peduli, dengan dana dari Pemerintah Australia melalui
Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia.
Program Peduli Pilar Disabilitas sebagai salah satu pilar Program Peduli fokus
pada upaya transformasi menuju inklusi sosial bagi disabilitas melalui pemenuhan
hak dasar. Bersama the Asia Foundation, Yayasan Kristen Untuk Kesehatan Umum
(Yakkum) berperan sebagai Mitra Payung pada Program Peduli Fase 2, sedangkan
PATTIRO sebagai salah satu mitra pelaksana program. Program Peduli Pilar Difabel
Fase 1 dan 2 yang berada di bawah koordinasi Kemenko PMK bersama The Asia
Foundation memiliki tiga outcome yang ingin dicapai, yaitu:
1. Peningkatan akses pelayanan publik dan bantuan sosial;
2. Peningkatan penerimaan dan pemberdayaan sosial; dan
3. Perbaikan kebijakan inklusi sosial. Sasaran dari program ini adalah kelompok
disabilitas dan pemerintah.
22
memperjuangkan hak-hak disabilitas di seluruh Indonesia hingga terwujud
kehidupan yang setara dan inklusif.
SIGAB didirikan karena sampai saat ini kehidupan warga disabilitas masih
dimarginalkan, baik secara struktural maupun kultural. Hak-hak warga disabilitas,
seperti hak pendidikan, pekerjaan, kesehatan, jaminan sosial, perlindungan
hukum, akses terhadap informasi dan komunikasi sampai pada penggunaan
fasilitas publik tidak pernah diterima secara layak. Dengan kata lain, telah terjadi
diskriminasi terhadap warga disabilitas.
SIGAB berpandangan bahwa pada hakikatnya manusia merupakan makhluk
yang diciptakan Tuhan dengan derajat kesempurnaan tertinggi dan mempunyai
hak yang sama dalam mengembangkan potensi diri untuk mencapai kesejahteraan
hidup. Oleh karena itu, tidak sepantasnya jika dalam kehidupan ini terdapat
sekelompok orang yang tersisihkan dari lingkungan sosialnya hanya karena
keadaan yang berbeda. Program SIGAB dengan jaringannya berusaha menciptakan
kehidupan yang menempatkan semua manusia dalam kesejajaran sehingga tidak
ada lagi yang tersisihkan.
Salah satu program yang dilaksanakan SIGAB adalah Program Peduli Pilar
Disabilitas Fase 1. Pada program tersebut, SIGAB memfasilitasi pengembangan
inovasi Puskesmas yang ramah disabilitas dan pelayanan kesehatan khusus dan
kolaboratif bagi Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Kabupaten Kulon Progo,
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
24
partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan dan pengawasan
kebijakan publik yang responsif gender dan pro-rakyat; d) Mewujudkan upaya
advokasi untuk melahirkan kebijakan yang memihak bagi kelompok perempuan,
rakyat miskin serta kelompok marjinal lainnya yang adil gender dan berkearifan
lokal.
Beberapa kegiatan dalam rangka mewujudkan visi dan misinya tersebut,
di antaranya melakukan riset, kajian, dan pengembangan sumber daya yang
berbasis potensi sumberdaya lokal, melakukan analisis dan advokasi anggaran dan
kebijakan publik, serta memfasilitasi peningkatan dan penguatan kapasitas bagi
kelompok basis.
Salah satu program yang dilaksanakan YASMIB adalah Program Peduli
Pilar Disabilitas Fase 1. Pada program tersebut, YASMIB dibantu oleh Lembaga
Pemberdayaan Perempuan (LPP) Bone, yaitu mitra YASMIB dalam melakukan
advokasi kebijakan dan anggaran di Kabupaten Bone terutama menyangkut
masalah perempuan, anak, dan kelompok rentan termasuk penyandang disabilitas.
Inovasi yang difasilitasi pengembangannya oleh YASMIB adalah perencanaan
dan penganggaran desa yang responsif disabilitas di Kabupaten Bone, Provinsi
Sulawesi Selatan.
D.2.6 PATTIRO
PATTIRO (Pusat Telaah dan Informasi Regional) adalah sebuah organisasi riset
dan advokasi yang resmi berdiri pada 17 April 1999 dan telah bekerja di lebih
dari 17 provinsi dan 70 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Selama ini, PATTIRO
memusatkan perhatiannya pada isu tata kelola pemerintahan daerah, terutama
isu desentralisasi. Melalui program kerjanya, PATTIRO aktif mendorong terciptanya
tata kelola pemerintah daerah yang baik, transparan, dan adil demi mewujudkan
kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Kegiatan yang dilakukan PATTIRO selain penelitian, juga pendampingan teknis
kepada pemerintah, dan membantu masyarakat dalam melakukan advokasi
dengan pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk mereformasi kebijakan,
memperbaiki pelayanan publik dan pengelolaan anggaran publik. PATTIRO
mempunyai visi “Menjadi pusat keunggulan untuk tata kelola pemerintah daerah
yang lebih baik”.
Dalam rangka mencapai visinya, PATTIRO menjalankan misi yakni: 1) Mendorong
terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat secara adil dalam penyelenggaraan
pelayanan publik dan alokasi anggaran publik; 2) Memperkuat kapasitas
masyarakat, warga, dan aparatur pemerintah dalam pembuatan keputusan publik
yang partisipatif dan berkualitas; dan 3) Mengembangkan model tata pemerintahan
lokal (local governance) yang baik untuk terwujudnya keadilan sosial.
Saat ini PATTIRO bekerja dalam 3 fokus area, yaitu : 1) Akuntabilitas Pelayanan
Publik , 2) Reformasi Pengelolaan Keuangan Publik, dan 3) Transparansi. Dari sekian
banyak program yang mendukung pencapaian misi, di antaranya adalah Program
Peduli Pilar Disabilitas Fase 1. Pada program tersebut, PATTIRO memfasilitasi
pengembangan inovasi dan praktik baik Rintisan Puskesmas Ramah Disabilitas
(RPRD) di Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat, dan Kabupaten
Sorong, Provinsi Papua.
26
E. Batasan Kajian
1. Batasan Lokasi. Kajian ini berlokasi di enam wilayah kerja Program Peduli
Fase 1, meski sejatinya wilayah kerja Program Peduli Fase 1 sendiri lebih dari
enam lokasi tersebut. Lokasi dan jenis inovasi yang dipilih dalam kajian ini
mempertimbangkan beberapa hal, yaitu sejauh mana inovasi dan praktik
baik itu telah berjalan dan diadopsi pemerintah, kolaborasi dan partisipasi
disabilitas dalam inovasi, dan representasi jenis inovasi dan sektor layanan
publik.
2. Batasan Cakupan Analisis. Setiap inovasi dan praktik baik pelayanan publik
bagi disabilitas ini memiliki karakter yang berbeda. Namun, ada beberapa
aspek umum yang dianalisis untuk memenuhi tujuan awal kajian ini
disusun, yaitu memberi potret dan pembelajaran terkait proses dan aktor,
pembagian peran, hambatan dan faktor pendukung, partisipasi disabilitas,
dan strategi agar praktik baik ini bisa direplikasi atau dikembangkan (scale
up) pada level yang lebih tinggi.
3. Batasan Waktu. Saat kajian ini disusun, proses pengembangan dan
perbaikan inovasi di beberapa wilayah masih berlangsung. Pembahasan
dalam kajian ini dibatasi hingga berakhirnya Program Peduli Fase 1 (akhir
tahun 2016), sehingga hasil dan temuan yang dianalisis dalam kajian itu
kini bisa jadi sudah berkembang.
4. Kajian pelayanan publik ini menggunakan metode stocktaking dan
wawancara mendalam dengan waktu pengambilan data yang terbatas,
sehingga data yang dihasilkan belum tentu bisa menggambarkan
keseluruhan aspek pelayanan publik yang dilakukan oleh mitra peduli.
5. Metodologi kajian. Kajian ini mengedepankan hal-hal kebaruan yang
dilakukan oleh mitra peduli sebagai inovasi, sehingga pengertian dan
aspek-aspek inovasi yang ada, bisa dimaknai berbeda oleh para pihak.
S
ejak awal, tujuan advokasi yang diupayakan setiap CSO yang menjadi mitra
Program Peduli Fase 1 adalah fokus pada upaya mengikis eksklusi bagi
penyandang disabilitas dalam berbagai aspek. Dalam rangka mewujudkan
tujuan ini, maka perbaikan pelayanan publik menjadi salah satu langkah awalnya.
Akses yang mudah dalam pemenuhan hak dasar akan menjadi tahapan awal
bagi disabilitas untuk memiliki akses yang layak dalam meningkatkan kualitas
hidupnya. Setiap inovasi yang dikembangkan di masing-masing wilayah memiliki
keunikan masing-masing. Hal ini berkembang sesuai dengan situasi di wilayah
masing-masing. Selain itu, pemilihan inovasi yang akan dibahas dalam kajian ini
mewakili berbagai sektor yang berbeda dengan model pendekatan yang berbeda
pula.
Wilayah dan cakupan inovasi ini dipilih dari beberapa wilayah dan capaian
Program Peduli Fase 1, mewakili berbagai wilayah di Indonesia hingga Indonesia
Timur. Meskipun beberapa mitra melaksanakan program di lebih dari satu
wilayah, tetapi hanya dipilih satu saja. Inovasi yang dipilih mewakili sektor yang
berpengaruh cukup besar pada pemenuhan hak dasar disabilitas, seperti pelayanan
kesehatan, pendidikan, dan integrasi kebutuhan disabilitas dalam perencanaan
dan penganggaran. Berikut nama inovasi dan praktik baik yang dibahas:
32
A. Inovasi dan Praktik Baik
Pelayanan Publik
di Sektor Kesehatan
Pelayanan di sektor kesehatan menjadi salah satu capaian pada Program Peduli
Fase 1. Capaian itu berupa inovasi lahirnya Rintisan Puskesmas Ramah Disabilitas
(RPRD) di Puskesmas Lingsar, Kabupaten Lombok Barat.
Lahirnya inovasi ini diawali dengan temuan dan hasil komunikasi dengan
puskesmas Lingsar dan Labuapi tentang ketiadaan layanan khusus yang responsif
kebutuhan disabilitas. Puskemas selama ini tidak memiliki data atau informasi
yang terbaru terkait jumlah dan situasi serta jenis disabilitas yang ada di wilayah
layanannya. Selain ketiadaan data, minimnya pemahaman tentang disabilitas dan
perpektif tentang pentingnya pelayanan kesehatan dan kebutuhan spesifik bagi
disabilitas yang belum terbangun di sisi pemberi layanan juga menjadi salah satu
hal yang menjadi hal yang menjadi perhatian pada awal intervensi program.
Pemahaman dan perpektif tersebut baru terbangun secara utuh selama
proses diskusi dan dialog antara puskesmas, kelompok disabilitas dan stakeholder
lainnya. Salah satu pemahaman kongkret yang dianggap sebagai tahapan penting
munculnya komitmen untuk mewujudkan rintisan puskesmas ramah disabilitas
didapat saat dilakukan pelatihan bahasa isyarat dan simulasi pemberian layanan
bagi berbagai disabilitas. Pada sesi tersebut, petugas dan penyedia layanan
melakukan simulasi untuk memahami hambatan-hambatan yang dialami
disabilitas, misalnya disabilitas netra dan daksa dalam usahanya mengakses
layanan.
Diawali dengan tumbuhnya kesadaran tentang mendesaknya pelayanan bagi
disabilitas dan berdasarkan data yang diterima dari PATTIRO, Puskesmas Lingsar
mulai bisa melihat berbagai kondisi penyandang disabilitas, baik jumlah, jenis
kebutuhan, maupun lokasi tempat tinggalnya sebagai bekal yang cukup untuk
meningkatkan pelayanan bagi disabilitas. Kesadaran Kepala Puskesmas tersebut
kemudian berlanjut menjadi sebuah komitmen khusus untuk menjadikan
Puskesmas Lingsar sebagai puskesmas yang menyediakan pelayanan yang
mengakomodir kebutuhan penyandang disabilitas dengan menjadi Rintisan
34
Puskesmas Ramah Disabilitas (RPRD). Disebut rintisan, karena selain saat itu di
Kabupaten Lombok Barat belum ada puskesmas ramah disabilitas, harapannya apa
yang dilakukan Puskesmas Lingsar ini bisa menjadi standar pelayanan puskesmas
yang bisa direplikasi di puskesmas lain di Kabupaten Lombok Barat. Selain itu,
penggunaan kata rintisan juga karena proses penyediaan pelayanannya dilakukan
secara bertahap.
Upaya penyediaan layanan
itu di mulai dengan perbaikan
“Bagi petugas pelayanan, dampak dari
infrastruktur dan menyiapkan inovasi RPRD adalah petugas sekarang lebih
layanan yang dilakukan secara mengutamakan sikap yaitu senyum, sapa,
bertahap serta terus melibatkan salam. Senyum, sapa, dan salam menjadi
kelompok disabilitas selama sikap kita sehari-sehari sebagai petugas
prosesnya. Inovasi RPRD sendiri layanan.”
terkait erat dengan visi Puskesmas
Kepala Puskesmas Lingsar, H. Billia
Lingsar, yaitu mengoptimalkan Malkan, S.ST.
masyarakat baik disabilitas dan
nondisabilitas ataupun yang mampu
dan tidak mampu untuk hidup sehat.
Selain memberi layanan, puskesmas RPRD juga menjalankan fungsinya dalam
turut mensosialisasikan pemahaman tentang hak-hak disabilitas ke masyarakat
dan kepada semua pihak.
Puskesmas Ramah Disabilitas adalah puskesmas yang diharapkan mampu
memberikan rasa nyaman dan aman serta pelayanan yang setara bagi disabilitas.
Inovasi yang dimaksud diwujudkan dalam infrastruktur dan pelayanan di
Puskesmas Lingsar yang diterapkan sesuai dengan indikator RPRD yang telah
disepakati dalam forum dialog multi stakeholder yang terdiri perwakilan keluarga
penyandang disabilitas, kelompok disabilitas (Komunitas Lingsar Bergerak), Unit
Layanan (Puskesmas Lingsar) dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait
yaitu Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Barat. Integrasi RPRD dalam program
Puskesmas berupa program layanan khusus, infrastruktur, petugas dan pemberian
informasi sesuai dengan indikator RPRD. Secara lebih rinci, perubahan yang
dilakukan adalah:
a. Penyediaan ramp khusus untuk kursi roda, yang sebelumnya hanya
menggunakan tangga;
b. Tulisan berjalan (running text) untuk memudahkan disabilitas rungu ketika
menunggu antrian;
c. Pegangan rambat (handrail);
36
Bagan 2.1. 1 Tahapan RPRD Puskesmas Lingsar
Tahapan RPRD
Nama Institusi/
Aktor Peran
Organisasi/Nama
Pemerintah Dinas Kesehatan Memberikan Kartu Indonesia Sehat (KIS) bagi
penyandang disabilitas
Puskesmas Labuapi Mendukung proses pembentukan puskesmas
ramah disabilitas :
• Terbuka dan bersedia menjadi puskesmas
percontohan pertama mulai saat diskusi
inisiasi sampai pengembangan dan
implementasi RPRD
• Aktif berpartisipasi dalam diskusi standar
layanan bagi disabilitas
• Mengalokasikan dana untuk RPRD
Puskesmas (Lingsar, Mendukung proses pembentukan puskesmas
Labuapi, Sigerongan, ramah disabilitas :
Parempuan) • Aktif berpartisipasi dalam diskusi standar
layanan bagi disabilitas
Dinas PU dan Menyusun perencanaan dan penganggaran
Bappeda untuk penyediaan infrastruktur yang ramah
disabilitas dalam APBD Kabupaten.
Dinas Sosial Aktif dalam forum diskusi yang difasilitasi
PATTIRO
Masyarakat Kader Posyandu • Aktif berdiskusi dalam perumusan standar
pelayanan RPRD
• Mensosialisasikan inovasi RPRD ke
masyarakat
Tokoh masyarakat, Menerima keberadaan penyandang disabilitas,
tokoh pemuda, dan dan berpartisipasi dalam kegiatan peringatan
masyarakat pada Hari Disabilitas Internasional (HDI)
umumnya
Organisasi Komunitas Lingsar Melakukan advokasi, uji akses, koordinasi
Penyandang Bergerak dengan pemerintah, dan melakukan sosialisasi
Disabilitas serta mengorganisir pelatihan cara berinteraksi
dengan penyandang disabilitas.
Pusat Melakukan advokasi, uji akses, koordinasi
Pengembangan dengan pemerintah, dan melakukan sosialisasi
Potensi Disabilitas serta mengorganisir pelatihan cara berinteraksi
(P3D) Kecamatan dengan penyandang disabilitas.
Labuapi
38
Fasilitator/ Menyelenggarakan pertemuan untuk para
Pendamping PATTIRO stakeholder, dan memfasilitasi peningkatan
kapasitas dalam rangka mendorong
terwujudnya RPRD.
Keluarga FKKADK Kabupaten Memberikan motivasi kepada penyandang
penyandang Lombok Barat disabilitas.
disabilitas
masyarakat bertanya tentang apa yang dimaksud disabilitas. Setelah itu, masyarakat
antusias untuk mengetahui lebih lanjut mengenai disabilitas dan terlibat dalam
kegiatan yang menyangkut penyandang disabilitas. Pihak puskesmas merespon
hal ini dengan menjadikan Puskesmas yang bukan hanya ramah disabilitas namun
juga sebagai media sosialisasi mengenai hak-hak penyandang disabilitas kepada
semua pihak termasuk masyarakat.
Implementasi RPRD sendiri dimulai sejak bulan Februari 2016 dan masih
terus dilakukan hingga kini. Mengingat RPRD ini merupakan inovasi unggulan
Puskesmas Lingsar dan digunakan sebagai tema akreditasi, maka pihak Puskesmas
Lingsar makin terpacu untuk meningkatkan semua fasilitas agar memenuhi standar
yang dapat digunakan oleh penyandang disabilitas. Selain RPRD yang merupakan
bagian dari UKP tingkat pertama, Puskesmas Lingsar juga menyelenggarakan
usaha kesehatan masyarakat tingkat pertama yang wajib dilaksanakan yang
meliputi pelayanan gizi, promosi kesehatan, kesehatan lingkungan, kesehatan ibu,
anak dan keluarga berencana, serta pencegahan dan pengendalian penyakit.
40
c. Penyandang disabilitas merasa lebih diperhatikan dan memiliki kepercayaan
diri karena berkesempatan untuk berpartisipasi dalam inovasi RPRD ini.
A.1.4. Tantangan
Tantangan yang dihadapi pada inovasi dan praktik baik RPRD ini di antaranya
adalah:
a. Belum mampu mempengaruhi Rumah Sakit yang tidak mau melayani
penyandang disabilitas yang tidak memiliki kartu BPJS Kesehatan atau
jaminan kesehatan lainnya, padahal beberapa penyandang disabilitas
belum terdata di administrasi kependudukan, sehingga belum
mendapatkan hak jaminan kesehatan dari Pemerintah;
b. Belum ada kebijakan daerah terkait penyandang disabilitas, sehingga
menyulitkan SKPD terkait untuk menganggarkan kebutuhan bagi
penyandang disabilitas;
42
Bagan 2.2.1 Partisipasi Disabilitas dalam Inovasi dan Praktik Baik di
Kabupaten Lombok
Partisipasi disabilitas dalam program inovasi ini, selain atas dasar tanggung-
jawab sebagai tim program, juga atas dasar kemauan dan inisiatif penyandang
disabilitas sendiri. Oleh karena itu, relatif mudah bagi PATTIRO untuk mengajak
disabilitas berpartisipasi, karena inisiatif dan kemauan penyandang disabilitas
cukup tinggi. Sejak awal proses inisiatif dan forum diskusi, penyandang disabilitas
aktif dalam menyampaikan kebutuhan mengenai akses layanan, sehingga
penyandang disabilitas, PATTIRO, dan penyedia layanan dapat berjalan seirama
dalam melaksanakan program inovasi RPRD dimaksud.
44
penyediaan infrastruktur standar yang ramah disabilitas. Sebagian besar Kantor
Pemerintah Kabupaten Lombok Barat sudah menyediakan akses bagi penyandang
disabilitas, sementara gedung puskesmas yang baru dan kantor pemerintah yang
baru ditekankan untuk mengikuti standar bangunan yang ramah disabilitas.
Dalam rangka replikasi ini, dukungan regulasi, penyediaan SDM dan komitmen
semua pihak sangat menentukan. Dialog antara pemerintah daerah dan kelompok
penyandang disabilitas juga sangat penting, agar aspirasi disabilitas dapat
tersampaikan dan pemerintah dapat mengakomodasinya. Hal lain yang diperlukan
untuk pengembangan inovasi RPRD ini adalah adanya kelompok yang dapat
memfasilitasi dan menjembatani komunikasi antara unit pelayanan publik yang
belum ramah disabilitas dengan penyandang disabilitas, sehingga diharapkan
unit pelayanan publik tersebut menjadi ramah disabilitas. Untuk dikembangkan ke
tingkat yang lebih tinggi, replikasi ini belum dapat dilakukan karena Pemerintah
Provinsi NTB belum terpapar informasi mengenai inovasi RPRD ini.
Pelayanan publik inklusif yang digagas oleh SIGAB pada Program Peduli Fase 1
adalah mengembangkan pelayanan kesehatan inklusif bagi disabilitas. Di bidang
kesehatan, SIGAB mengupayakan agar disabilitas yang belum memiliki jaminan
kesehatan dapat memilikinya. Seperti Jamkesus, Jamkesda, dan KIS. Tujuannya,
agar disabilitas dapat memperoleh bantuan layanan kesehatan. Selain itu, SIGAB
juga mendorong dua inovasi dalam pelayanan publik, yaitu puskesmas yang
menyediakan akses layanan publik yang ramah disabilitas dan pelayanan khusus
dan kolaboratif bagi ODGJ (Orang Dengan Gangguan Jiwa)
46
narasumber berasal dari SKPD (Dinas). Sumber daya manusia yang menjalankan
inovasi ini berasal dari fasilitator desa, kader kesehatan, petugas puskesmas, dan
kelompok disabilitas. SIGAB berperan mengembangkan panduan yang digunakan
penyedia pelayanan seperti panduan pembangunan unit pelayanan yang mudah
diakses dan ramah disabilitas. Panduan itu dikembangkan berdasarkan Peraturan
Menteri PU No. 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas
Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan.
Manfaat inovasi ini adalah mempermudah penyandang disabilitas dalam
mengakses layanan kesehatan di puskesmas. Bila sebelumnya penyandang
disabilitas merasa kesulitan untuk mengakses puskesmas, sehingga enggan
berobat, kini tidak ada lagi hambatan untuk berobat. Bila sebelumnya,
penyandang disabilitas harus antre cukup lama baik saat menunggu pemeriksaan
atau mengambil obat, sekarang pemeriksaan bagi penyandang disabilitas lebih
cepat dan diprioritaskan. Selain itu, ketika datang berobat ke puskesmas tidak
perlu didampingi banyak orang, karena sudah ada petugas puskesmas yang siap
membantu.
Dana renovasi fasilitas pelayanan agar mudah diakses disabilitas di puskesmas
ini menggunakan dana puskesmas, karena sejak awal pengusulan perubahan oleh
SIGAB dan kelompok disabilitas untuk perbaikan sarana yang akses Puskesmas
menggunakan alokasi anggaran sendiri. Berbeda dengan renovasi balai desa
untuk aksesibilitas penyandang disabilitas yang juga menjadi pusat dan tempat
pertemuan kelompok disabilitas desa yang merupakan bantuan dan bentuk
dukungan langsung dari SIGAB.
48
Gambar 2.2.1 Pelatihan
membuat kue bagi ODGJ
yang sudah sembuh dan
keluarga
50
Tabel 2.3.1 Peran Stakeholder dalam Penanganan ODGJ di Kabupaten Kulon
Progo
Nama
Aktor Institusi/ Peran
Organisasi
Pemerintah Pemerintah • Memfasilitasi pertemuan untuk dukungan kepada
Desa keluarga ODGJ;
• Mengalokasikan Dana Desa untuk penanganan
ODGJ (misalnya dalam program pelatihan khusus,
support group dan berbagai kegiatan yang bekerja
sama dengan puskesmas, dan anggaran untuk
penanganan darurat seperti transportasi saat ada
rujukan darurat dan sebagainya);
• Melakukan sosialisasi program penanganan ODGJ.
Puskesmas • Mengalokasikan anggaran untuk penanganan
ODGJ (dalam bentuk berbagai kegiatan baik yang
dilakukan dalam program puskesmas atau program
yang berbagi dengan desa, pembiayaan transportasi
seperti ganti bensin dan makan sukarelawan yang
mengantar pasien ODGJ saat ada kasus mendadak
yang butuh rujukan cepat, dsb);
• Melaksanakan pelatihan kader sehat jiwa;
• Bersama pemerintah desa melaksanakan forum
penanganan ODGJ yang melibatkan kepada dusun/
dukuh dan kader.
Dinas Mengalokasikan anggaran untuk penanganan ODGJ
Kesehatan (khususnya penyediaan obat).
Dinas Sosial • Melaksanakan pelatihan wirausaha bagi ODGJ yang
sudah sembuh.
• Menyediakan informasi bursa kerja bagi ODGJ yang
sudah sembuh.
Kelompok/ Kelompok Melakukan sosialisasi terkait pengobatan bagi ODGJ
organisasi Disabilitas (dilakukan oleh ODGJ yang sudah sembuh dan aktif di
disabilitas Desa (KDD) KDD, dan keluarga ODGJ)
Disabilitas mental berbeda dengan disabilitas fisik,
sehingga sebagian besar keterlibatan diwakili
keluarganya.
52
Forum Penanggulangan ODGJ dari Desa Bumirejo;
d. ODGJ mendapat Jamkesus dan KIS;
e. Keluarga disabilitas meningkat motivasi dan pengetahuannya tentang
penanganan anggota keluarganya yang ODGJ;
f. Mempermudah disabilitas dalam mengakses layanan kesehatan di
puskesmas;
g. Penyandang disabilitas, ketika berobat, tidak perlu didampingi banyak
orang, karena sudah ada petugas puskesmas yang siap membantu;
h. Petugas puskesmas menjadi lebih ramah dan lebih peka terhadap
penyandang disabilitas;
i. Penyandang disabilitas tidak perlu mengantri panjang, sehingga proses
pengobatan dan pemeriksaan kesehatan disabilitas menjadi lebih cepat.
j. Tenaga kesehatan memiliki kepekaan dan peningkatan pemahanan
tentang bagaimana memberi pelayanan bagi ragam disabilitas.
54
Bagan 2.3.1 Keterlibatan Disabilitas (KDD) dalam Proses Inovasi dan Praktik
Baik
Mengikuti
Membantu
pelatihan
mengawasi
Advokasi ke pelaksanaan
pemerintah desa perbaikan akses
Berpartisipasi
di Puskesmas dan
dalam Forum
Mengusulkan Balai Desa
Penanggulangan
perubahan akses
ODGJ
di Puskesmas dan
Balai Desa agar
ramah disabilitas Audit sosial ke Membantu
lokasi layanan pengawasan
Advokasi ke
publik penanganan
Puskesmas
ODGJ
Sosialisasi
program
56
mitra penyedia layanan kesehatan untuk memudahkan rujukan pelayanan
kesehatan. Upaya yang telah dilakukan Puskesmas adalah peningkatan kapasitas
SDM agar lebih terbuka dalam menerima masukan, adanya komunikasi intensif
antara puskesmas dengan desa setempat, dan adanya perawatan di rumah (home
care) untuk penyandang disabilitas.
Inovasi penanganan ODGJ ini menarik untuk direplikasi ke seluruh Puskesmas
dan desa di Kabupaten Kulonprogro, terutama ke desa-desa yang jumlah ODGJ-nya
tinggi. Pada saat yang sama, organisasi nirlaba, YAKKUM juga sedang menjalankan
program penanganan kesehatan jiwa di 11 kecamatan di Kulon Progo, sehingga
dapat disinergikan.
Selain itu, inovasi ini juga dapat dikembangkan ke tingkat yang lebih tinggi
baik ke tingkat kabupaten maupun provinsi. Hal ini dapat dilakukan melalui kerja
sama seluruh stakeholder yang telah terlibat dalam program dengan Pemerintah
Kabupaten Kulon Progo. Dalam rangka scaling up tersebut, perlu dilakukan
penyusunan panduan penanganan ODGJ dengan tahapan yang jelas dan rinci,
dan penyediaan data berupa angka penurunan ODGJ pasca pelaksanaan program
yang membuktikan bahwa program ini berhasil dan layak untuk direplikasi dan
dikembangkan ke tingkat yang lebih tinggi.
Gambar 2.3.1
Kartu Disabilitas
58
“Masih banyak warga disabilitas yang belum mendapatkan kartu JKN (Jaminan
Kesehatan Nasional). Mereka mengalami kesulitan saat mengurusnya, karena
harus ada surat keterangan dari Dinas Sosial. Selain itu, ada juga kendala yang
dirasakan oleh warga disabilitas dan keluarganya, yaitu harus melampirkan
surat dampingan dari Dinas Sosial, karena data disabilitas belum terkelola
dengan baik. Oleh karena itu, KARINAKAS memfasilitasi, sehingga Pemerintah
Kabupaten Sukoharjo kemudian menerbitkan regulasi mengenai disabilitas
dan Kartu DISABILITAS tahun 2015. Tahun 2015 kita membuat regulasi untuk
disabilitas sampai cetak kartu. Pencetakannya melalui Dinas Sosial tapi
difasilitasi oleh KarinaKas.”
Yuni, Dinas Kesehatan Kabupaten Sukoharjo
pemerintah desa, kecamatan dan Dinas Sosial. Setelah itu, baru permohonannya
dapat diajukan ke Dinas Kesehatan.
Di Kabupaten Sukoharjo sebagaimana juga di semua daerah, tidak semua
warga miskin bisa diakomodasi sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI) JKN karena
adanya keterbatasan kuota, termasuk bagi disabilitas. Sementara itu, Pemerintah
Kabupaten Sukoharjo melalui Dinas Kesehatan memiliki program Jaminan
Kesehatan Daerah (Jamkesda), yang menjamin semua penyandang disabilitas, baik
yang kategori mampu maupun tidak mampu, menjadi penerima manfaat Jamkesda.
Namun, dalam praktiknya, tidak mudah bagi disabilitas untuk mendaftarkan diri
sebagai penerima manfaat Jamkesda, karena harus mendapatkan rekomendasi
dari pemerintah desa, kecamatan dan Dinas Sosial. Bagi penyandang disabilitas,
tantangan itu terjadi karena adanya keterbatasan gerak, tenaga dan waktu,
jarak serta serta biaya transportasi bagi keluarga pendamping disabilitas untuk
mengurus rekomendasi dan pendaftaran tersebut.
Melalui diskusi intensif antara Dinas Kesehatan, Dinas Sosial dan KARINAKAS,
akhirnya disepakati solusi untuk mengatasi hambatan bagi disabilitas ini melalui
penerbitan Kartu DISABILITAS, yang bertujuan untuk memudahkan penyandang
disabilitas mendapatkan pelayanan kesehatan tanpa melalui proses rekomendasi
yang dianggap menyulitkan penyandang disabilitas. Pada awalnya, dinas kesehatan,
KARINAKAS dan Dinas Sosial berdiskusi solusi pemecahannya dan muncul solusi
penyerderhanaan, kemudian disepakati dengan cara membuat kartu disabilitas.
Tujuan utama awalnya untuk mempermudah rujukan dan mempermudah
disabilitas mendapat layanan kesehatan tanpa proses rekomendasi yang panjang.
4 Cerebral Palsy CP) adalah gangguan gerakan, otot, atau postur yang disebabkan oleh cedera atau
perkembangan abnormal di otak, yang mengakibatkan gangguan gerakan yang terkait dengan refleks
berlebihan atau kekakuan, postur tubuh yang abnormal, gerakan tak terkendali, kegoyangan saat
berjalan, atau beberapa kombinasi dari gangguan tersebut.Tanda dan gejala muncul selama masa
60
Gambar 2.4.1
Sosialisasi Deteksi Dini
Disabilitas
bayi atau prasekolah. Orang dengan CP sering memiliki kondisi lain yang berkaitan dengan kelainan
perkembangan otak, seperti cacat intelektual, masalah penglihatan dan pendengaran, atau kejang
(lihat www.mayoclinic.org).
5 Self Help Group (SHG) adalah kelompok yang beranggotakan penyandang disabilitas dan keluarganya.
Pada awalnya SHG lebih fokus pada kegiatan pemberdayaan ekonomi bagi penyandang disabilitas dan
keluarga disabilitas. Namun dalam perkembangannya, SHG bekerja sama dengan bidan desa dan kader
posyandu dalam melakukan upaya perbaikan pelayanan kesehatan bagi disabilitas khususnya ABK,
serta berperan penting dalam proses pelaksanaan Pelayanan Kesehatan Disabilitas Berkelanjutan dan
Terintegrasi (PKDBT).
62
Bagan 2.4 .1 Siklus Kesehatan bagi Disabilitas dalam Pelayanan Disabilitas
Terintegrasi dan Berkelanjutan
Pemeriksaan
Rujukan Pemeriksaan kesehatan ABK
Deteksi Dini Dirujuk ke
pemeriksaan kondisi anak di di Sanggar
RSUD
ke puskesmas puskesmas (1x per bulan)
Sanggar
dikelola SHG
Dilakukan oleh Difasilitasi Difasilitasi Difasilitasi oleh dan didukung
Kader dan Kader dan Kader dan puskesmas keluarga
Bidan Desa Bidan desa Bidan desa disabilitas dan
Dinas Kesehatan
Terapi sederhana
di sanggar
Saat ini, telah terbentuk empat sanggar di empat desa di Kabupaten Sukoharjo.
Tabel 2.4.1 Peran Aktor dalam inovasi dan praktik baik Kartu DISABILITAS
dan PKDTB
Nama
Aktor Institusi/ Peran
Organisasi
Pemerintah Dinas • Menyediakan tenaga fisioterapis di puskesmas dan
Kesehatan sanggar;
• Mengalokasikan anggaran Jaminan Kesehatan bagi
pemegang Kartu DISABILITAS, untuk mempermudah
sistem rujukan dan pelayanan kesehatan bagi
penyandang disabilitas;
• Memasukan kegiatan pengarusutamaan kebutuhan
disabilitas ke dalam program-program pelayanan
kesehatan di Dinas Kesehatan;
64
• Melakukan perencanaan dan penganggaran untuk
pelayanan di unit pelayanan kesehatan, memberikan
penanganan medis bagi disabilitas dengan kondisi
tertentu seperti katarak, melakukan inventarisasi
kursi roda dan alat bantu medis lain bagi disabilitas,
memfasilitasi home visit, penjemputan disabilitas di
rumah, pengadaan alat bantu dan jaminan kesehatan
bagi disabilitas (Bidang Pelayanan Kesehatan);
• Bidang Yankes (Pelayanan Kesehatan): Melakukan
perencanaan, perencanaan dan anggaran untuk
layanan ada di bagian Yankes. Lebih fokus ke medis,
penanganan kondisi disabilitas medis tertentu
(misalnya katarak), serta bagaimana menginventarisasi
kursi roda atau alat bantu medis lain, home visit,
penjemputan ke rumah. Alat bantu disabilitas,
penjaringan bantuan untuk gangguan pendengaran,
penglihatan, dan pelayanan alat bantu serta jaminan
kesehatan
• Pembinaan masyarakat dan posyandu, termasuk
pembinaan sanggar, pembinaan kesehatan ibu dan
anak, deteksi dini dan tumbuh kembang serta layanan
balita, penyuluhan dan pemberdayaan masyarakat
termasuk pemberdayaan kader dan pengelola sanggar;
• Melakukan deteksi dini balita, imunisasi dan
penanggulangan balita, termasuk anak balita
disabilitas;
• Fasilitasi perizinan dan sertifikasi kesehatan bagi usaha
yang dilakukan penyandang disabilitas;
• Menerbitkan aturan dan panduan tentang puskesmas
yang ramah disabilitas.
• Bidang Kesehatan Masyarakat membawahi program
posyandu dan pembinaan masyarakat. Sanggar
ini ada di bawah Bidang Kesehatan Masyarakat,
termasuk kesehatan ibu anak, deteksi dini dan tumbuh
kembang serta layanan balita Penyuluhan Masyarakat,
yaitu bentuknya penyuluhan dan peningkatan.
Pemberdayaan masyarakat, seperti pemberdayaan
kader termasuk terkait sanggar
66
• Memfasilitasi perwakilan penyandang disabilitas dan
keluarganya untuk berpartisipasi dalam Musrenbang
Desa;
• Mengintegrasikan kebutuhan disabilitas dalam
dokumen perencanaan dan penganggaran desa.
Bidan Desa • Mengkoordinasikan kader dan SHG dalam deteksi dini
di posyandu;
• Mengintegrasikan formulir deteksi dini kedisabilitasan
dalam standar pemeriksaan tumbuh kembang anak
pada saat melaksanakan kegiatan posyandu;
• Melakukan sosialisasi tentang hak kesehatan anak
disabilitas pada keluarga dan masyarakat;
• Melakukan home care dan kunjungan pada anak
disabilitas;
• Memberi rujukan ke puskesmas jika ada temuan
terkait kondisi anak yang diindikasikan memiliki
perkembangan berbeda.
Masyarakat Masyarakat • Menjadi TKSK dan sukarelawan membantu disabilitas
dan pendataan
• Menjadi kader Posyandu;
• Memberi dorongan positif bagi keluarga penyandang
disabilitas.
NGO/LSM KARINAKAS • Memfasilitasi peningkatan kapasitas bagi SHG,
termasuk cara mengelola sanggar bagi ABK;
• Melakukan pendampingan ke Dinas Kesehatan
dan klinik tentang tata cara pemberian pelayanan
kesehatan yang inklusif;
• Menghubungkan pemberi layanan seperti puskesmas
dengan kelompok disabilitas;
• Memfasilitasi pendirian awal sanggar (melalui Program
Peduli Pilar Disabilitas Fase 1);
• Melaksanakan sosialisasi dan pelatihan tentang
kedisabilitasan dan pelayanan terhadap disabilitas
kepada petugas puskesmas, bidan desa dan kader
posyandu, termasuk cara melakukan deteksi dini;
• Melakukan pendampingan pada kelompok disabilitas;
• Melakukan advokasi pada pemerintah desa hingga
pemerintah kabupaten.
68
4. Honor terapis, sebagian dialokasikan dari anggaran Dinas Kesehatan,
sebagian lagi dari iuran orang tua;
5. Kunjungan ke rumah (home visit) dilakukan oleh bidan desa dan kader
posyandu;
6. Biaya penjemputan pasien saat terjadi kondisi darurat, dapat diklaim ke
Dinas Kesehatan.
A.3.4. Tantangan
Beberapa tantangan yang dihadapi dalam inovasi dan praktik baik ini adalah:
a. Sebagian keluarga penyandang disabilitas yang ditemui cenderung
tertutup dan enggan memberikan informasi ketika diwawancarai;
b. Masih ada sebagian masyarakat yang memiliki stigma negatif terhadap
disabilitas;
c. Keterbatasan ekonomi penyandang disabilitas dan atau keluarganya
menjadi penghambat untuk hadir dan berpartisipasi dalam pertemuan-
pertemuan.
70
Bagan 2.5.1 Partisipasi Disabilitas SHG dan RBM dalam Inovasi dan Praktik
Baik
Sosialisasi
program Advokasi ke
pemerintah
Peer learning ke kabupaten
sesama disabilitas
Pada inovasi dan praktik baik ini, SHG berpartisipasi dalam tahap pelaksanaan
dan tindak lanjut. Pada tahap pelaksanaan, ikut serta dalam deteksi dini, bahkan
ada anggota SHG yang tergabung menjadi kader posyandu, selalu ikut proses
deteksi dini dan kunjungan ke rumah disabilitas (home visit) bersama bidan
desa. Selain itu, SHG juga terlibat dalam sosialisasi program ke masyarakat, peer
learning kepada sesama disabilitas, serta aktif mengelola sanggar. Pada tahap
tindak lanjut, disabilitas terlibat dalam proses advokasi hak penyandang disabilitas
kepada pemerintah desa hingga pemerintah kabupaten. Misalnya, hadir dan
menjadi peserta aktif dalam menyampaikan usulan pada pertemuan RBM serta
musyawarah perencanaan pembangunan desa (musrenbangdes). Keterlibatan
penyandang disabilitas yang tergabung dalam SHG ini dimulai sejak memperoleh
peningkatan kapasitas dan pendampingan dari KARINAKAS selama pelaksanaan
Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1. Sementara itu, pada tahap perencanaan dan
tahap monitoring dan evaluasi, penyandang disabilitas belum terlibat di dalamnya.
72
Gambar 2.4.2
Pemeriksaan disabilitas
pada saat Posyandu
setiap bulan sekali di
Desa Weru
74
Pendirian RBM dimulai dengan membentuk pengurus/Tim RBM di level desa
yang terdiri dari berbagai stakeholder di desa. Contohnya, perwakilan perangkat
desa, masyarakat, keluarga disabilitas, penyandang disabilitas, tokoh masyarakat
dan tokoh agama serta bidan desa. RBM ini merupakan strategi pemenuhan hak
disabilitas dalam berbagai aspek berbasis hak dalam upaya meningkatkan kualitas
kehidupan penyandang disabilitas atau keluarganya, aspek ekonomi, kesehatan,
dan penerimaan sosial. Di dalam RBM sendiri terdapat pokja-pokja yang fokus
pada isu masing-masing, salah satunya adalah seksi kesehatan.
Anggota dari disabilitas sendiri dan keluarganya terbentuk dalam kelompok
yang disebut Self Help Group (SHG). Selain fokus pada pemberdayaan ekonomi,
kelompok ini juga berperan penting pada pengembangan inovasi pelayanan
kesehatan bagi anak dan penyandang disabilitas.
76
B.1. SAPDA: Sekolah Dasar Inklusi
B.1.1. Jenis Inovasi dan Praktik Baik, Layanan, Proses dan Peran Aktor
Terbit SK Alokasi
tentang SD anggaran untuk
Inklusi honor GPK
78
Tabel 2.5.1 Peran Aktor dalam Proses dan Praktik Baik SD Inklusi
80
pengelola SD di dalamnya. Sekolah yang menjadi SD Inklusi adalah inisiatif dari
sekolah itu sendiri untuk mengajukan diri, bukan ditunjuk oleh Dinas Pendidikan.
Setelah diidentifikasi kelengkapannya, kemudian ditetapkan sebagai SD Inklusi.
Dukungan dari masyarakat juga sangat penting untuk mengkampanyekan dan
ikut mendorong agar keluarga ABK menyekolahkan anaknya di SD Inklusi.
B.1.4. Tantangan
Beberapa tantangan yang dihadapi dalam merealisasikan inovasi dan praktik
baik SD Inklusi ini adalah sebagai berikut:
a. Masih ada persepsi negatif (stigma) di masyarakat dan pemerintah bahwa
penyandang disabilitas adalah pihak yang akan meminta sumbangan atau
bantuan dari yang non disabilitas.
b. Sosialisasi mengenai kebijakan dan program pendidikan bagi penyandang
disabilitas masih terbatas, sehingga penyandang disabilitas di kawasan
miskin (slum area) belum mendapatkan pelayanan pendidikan yang
seharusnya diperoleh.
c. Sarana dan prasarana yang ramah disabilitas juga masih terbatas. Hal ini
terlihat dari belum tersedianya fasilitas bagi penyandang disabilitas seperti
ramp, pegangan rambat (handrail) kursi roda, dan buku berhuruf braille di
SD Inklusi dan di sarana publik seperti jalan menuju sekolah.
d. Partisipasi dari organisasi penyandang disabilitas (DPO) juga terbatas. Dari
lima DPO yang ada di Kota Banjarmasin, hanya dua yang aktif dalam upaya
mewujudkan SD Inklusi, bahkan itu hanya pada momen tertentu. Organisasi
penyandang disabilitas belum bergerak aktif di Kota Banjarmasin terutama
pada isu pendidikan. Pelayanan Publik Ramah Disabilitas ini harapannya
memberi ruang bagi penyandang disabilitas dalam mendapatkan
pendidikan dan kelak bisa mendorong meningkatnya partisipasi mereka
meskipun saat ini baru pada tahap pendidikan dasar.
Sosialisasi dan
Kampanye
Program
Advokasi Tidak Terlibat
Forum Belajar ke Dinas
Pendidikan
Mengadvokasi
ke Orang Tua
82
B.1.6. Penerimaan, Replikasi dan Rencana Pengembangan
Secara umum, penerimaan sekolah atas inovasi dan praktik baik SD Inklusi ini
sangat baik, karena pihak sekolah sendiri yang mengajukan diri menjadi SD Inklusi,
bukan ditunjuk oleh Dinas Pendidikan. Pihak sekolah sangat mendukung inovasi
ini meski pada awalnya belum memiliki GPK.
Penerimaan dari Dinas
Pendidikan juga relatif sangat
baik, karena SD Inklusi kemudian
“Inovasi dan praktik baik SD Inklusi ini
menjadi program dari Dinas
memberi manfaat besar bagi anak-anak
Pendidikan. Kini, setelah banyak penyandang disabilitas (ABK), karena
sekolah berencana mereplikasi sebelumnya SLB relatif jarang dan jauh
dan mengajukan diri menjadi lokasinya serta mengurangi beban orangtua
sekolah inklusi, Dinas Pendidikan ABK untuk biaya sekolah anaknya”.
mulai lebih ketat dalam menyeleksi Umi, Koordinator Program SAPDA.
sekolah tersebut, terutama
dilihat dari ketersediaan GPK di
sekolah yang bersangkutan. Hal ini
menunjukkan bahwa Dinas Pendidikan peduli untuk menjaga dan meningkatkan
kualitas SD Inklusi. Sementara itu, rencana yang telah disusun untuk mereplikasi
dan mengembangkan inovasi SD Inklusi ini adalah menyelenggarakan pelatihan
bagi semua guru, bukan hanya GPK, mengenai hak dan kebutuhan disabilitas,
sehingga diharapkan para guru memahami cara menangani disabilitas. Rencana
pengembangan lainnya adalah penyediaan sarana dan prasarana pendukung
SD Inklusi, baik gedung maupun media belajar, serta sinergi dengan pihak lain
termasuk pihak swasta untuk mendukung pembiayaan SD Inklusi ini.
84
C. Inovasi dan Praktik Baik
Pelayanan Publik melalui
Perencanaan dan Penganggaran
yang Responsif Disabilitas
Inovasi dan praktik baik yang difasilitasi YASMIB ini merupakan upaya
untuk mendorong perbaikan pelayanan publik yang ramah disabilitas melalui
perencanaan dan penganggaran yang responsif disabilitas di tingkat desa. Inovasi
yang dilakukan di Desa Mallari, Kabupaten Bone, Provinsi Sulawesi Selatan ini adalah
pengembangan dari upaya pengarusutamaan disabilitas dengan melibatkan
secara aktif penyandang disabilitas pada proses perencanaan dan penganggaran.
Inovasi dan praktik baik ini bertujuan untuk mendorong penerimaan sosial
masyarakat terhadap penyandang disabilitas di desa dan menyediakan ruang
interaksi langsung antara penyandang disabilitas dengan pemerintah, mulai dari
pemerintah desa hingga kabupaten. Proses pembentukan inovasi ini diawali
melalui interaksi yang intensif antara YASMIB, yang bekerja sama dengan mitra lokal
yakni LPP Bone, dengan pemerintah desa di lokasi Program Peduli Pilar Disabilitas
Fase 1, yaitu Desa Mallari dan Carigading. Pembahasan inovasi dan praktik baik
ini selanjutnya akan difokuskan
pada pelaksanaan di Desa Mallari.
Inovasi dan praktik baik ini dilakukan
untuk mendorong penerimaan
86
sosial masyarakat terhadap penyandang disabilitas di desa, serta mendorong
penyandang disabilitas memilikiruang interaksi langsung dengan Pemerintah
Desa, Pemerintah Kabupaten, serta OPD-OPD terkait.
Melalui interaksi dan koordinasi yang intensif, YASMIB dan LPP Bone
menyampaikan gagasan untuk mengakomodasi kebutuhan penyandang
disabilitas terhadap pelayanan publik. Salah satunya melalui pelibatan disabilitas
dalam proses perencanaan dan penganggaran di desa. Gagasan ini direspon positif
oleh Pemerintah Desa. Selain koordinasi, interaksi YASMIB dengan pemerintah
desa juga digunakan untuk meningkatkan kapasitas aparatur pemerintah desa
dalam proses perencanaan dan penganggaran inklusif melalui pelatihan dan
pendampingan secara intensif. Peningkatan kapasitas ini untuk memastikan
agar proses perencanaan dan penganggaran yang responsif disabilitas dapat
diimplementasikan dengan baik oleh pemerintah desa.
Selain dengan pemerintah desa, YASMIB dan LPP Bone juga membangun
interaksi yang intensif dengan warga masyarakat desa setempat. Hal ini dilakukan
untuk membangun kesadaran warga masyarakat mengenai pentingnya partisipasi
aktif penyandang disabilitas dalam perencanaan pembangunan di desa. Upaya
ini dilakukan melalui penyelenggaraan diskusi kampung. Diskusi ini dihadiri oleh
penyandang disabilitas, keluarga disabilitas, tokoh masyarakat, Ketua RT/RW,
Kepala Dusun dan Kepala Desa dan diselenggarakan dua kali setiap bulannya. Pada
diskusi tersebut, peserta menyampaikan aspirasi dan kebutuhan bagi penyandang
disabilitas dan membahas upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan disabilitas di desa, terutama melalui program-program pembangunan
desa. Selain itu, Tim LPP Bone juga melakukan diskusi-diskusi informal dengan
penyandang disabilitas dan pemerintah desa. YASMIB juga melakukan peningkatan
kapasitas melalui pelatihan kepada fasilitator Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1,
relawan disabilitas dan CSO lokal yang bekerja di desa. Pelatihan dimaksud adalah
perencanaan dan penganggaran desa, dan pelatihan advokasi untuk menguatkan
pemahaman aparat desa tentang isu disabilitas.
88
Dalam rangka memastikan disabilitas dapat berperan aktif dan memahami
dengan baik usulan-usulan yang akan disampaikan dalam musyarawarah
perencanaan pembangunan di tingkat dusun dan desa, maka sebelum mengikuti
musyawarah tersebut, YASMIB memfasilitasi kelompok disabilitas untuk melakukan
identifikasi masalah dan kebutuhan (sesuai dengan ragam disabilitasnya) yang
akan disampaikan pada musyawarah tersebut. Peningkatan kapasitas tersebut
selain mengenai isu disabilitas, juga tentang gender dan inklusi sosial. Dalam proses
peningkatan kapasitas, YASMIB menggunakan modul pelatihan perencanaan dan
penganggaran desa yang telah dikembangkan sebelumnya, sedangkan fasilitator
dan pelatih berasal dari YASMIB sendiri.
Disabilitas mulai terlibat dalam proses perencanaan di tingkat dusun berupa
Musyawarah Dusun (Musdus). Pada Musdus ini, penyandang disabilitas hadir
untuk menyampaikan kebutuhan-kebutuhannya. Hasil Musdus kemudian dibawa
oleh Kepala Dusun ke forum Musyawarah Desa (Musdes). Pada Musdes inilah,
ditentukan skala prioritas dari usulan dan kebutuhan penyandang disabilitas
tersebut.
Proses perencanaan dan penganggaran yang responsif disabilitas dapat dilihat
pada bagan berikut.
Peningkatan
Peningkatan Perencanaan
Kapasitas
Koordinasi Kapasitas dan
Pemdes dalam Diskusi
dengan Relawan, Penganggaran
Perencanaan dan Kampung
Pemdes Fasilitator Desa, Desa Responsif
Penganggaran
dan CSO lokal Disabilitas
Desa
Sementara itu, tahapan yang dilakukan dalam proses inovasi dan praktik baik
ini adalah:
1. Diskusi kampung. Melalui diskusi ini dilakukan penyadaran terhadap warga
tentang pentingnya warga terlibat dalam perencanaan dan penganggaran
di desa, termasuk warga penyandang disabilitas.
2. Peningkatan kapasitas pemerintah desa dan daerah dalam perencanaan
pembangunan, di antaranya:
90
3. Bagi warga bukan penyandang disabilitas, awalnya tidak memiliki empati
pada penyandang disabilitas dan bertindak diskriminatif misalnya dengan
menyebut seorang penyandang bukan dengan namanya, tetapi berdasarkan
ragam disabilitasnya (Si Buta, Si Bisu, dan sebagainya). Setelah proses inovasi
dilaksanakan, maka warga masyarakat mulai memahami bahwa pada dasar-
nya semua warga, baik disabilitas maupun bukan penyandang disabilitas
perlu mendapatkan perhatian dalam program pembangunan di desa.
4. Desa Mallari ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bone menjadi lokasi
Penyelenggaraan Kabupaten Sehat yaitu GEMAR LIDI (Gerakan Masyarakat
Peduli Disabilitas).
5. Dampak langsung yang dirasakan penyandang disabilitas adalah
dialokasikannya anggaran bagi penyandang disabilitas dalam APBDes
berupa:
a. Alokasi anggaran untuk membiayai transportasi bagi penyandang
disabilitas ke sekolah. Dana transportasi ini dialokasikan, karena
sebagian penyandang disabilitas tidak dapat melanjutkan sekolah
disebabkan adanya kendala transportasi;
b. Bantuan ternak dan bedah rumah;
c. Pembangunan dua pos pelayanan kesehatan khusus untuk penyandang
disabilitas. Pos pelayanan kesehatan ini membuka pelayanan khusus
bagi disabilitas pada tanggal 14 setiap bulannya.
C.1.4. Tantangan
Beberapa tantangan yang ditemui dalam proses inovasi dan praktik baik ini
adalah:
1. Masih ada perasaan rendah diri dari beberapa penyandang disabilitas dan
keluarganya.
2. Sebagian keluarga penyandang disabilitas masih enggan mengizinkan
disabilitas terlibat dalam kegiatan seperti hadir dalam Musdus dan Musdes.
92
C.1.5. Partisipasi Disabilitas
Partisipasi disabilitas dalam inovasi dan praktik baik ini relatif terbatas, yaitu
hanya pada tahap pelaksanaan berupa hadir dalam Musdes yang membahas
perencanaan dan penganggaran desa serta aktif menyampaikan aspirasi
kebutuhan disabilitas. Sementara pada tahap perencanaan, tindak lanjut serta
monitoring dan evaluasi tidak terlibat. Hal ini terjadi, karena pada awal pelaksanaan
Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1 atau tahap perencanaan inovasi penyandang
disabilitas di Desa Mallari belum terorganisir dalam sebuah kelompok, sehingga
disabilitas terlibat secara individu dalam kegiatan atau pertemuan seperti Musdus
dan Musdes. Keterlibatan penyandang disabilitas itu juga berasal dari dorongan
Pemerintah Desa, YASMIB dan LPP Bone melalui diskusi-diskusi kampung.
Bagan 2.9.1 Partisipasi Disabilitas dalam Proses Inovasi dan Praktik Baik di
Desa Mallari
Ikut serta
dalam Musdes
Perencanaan dan
Penganggaran
Desa
Tidak Terlibat Tidak Terlibat Tidak Terlibat
Menyampaikan
Aspirasi
Kebutuhan
Disabilitas
94
C.2. BAHTERA: Perencanaan dan Penganggaran yang Pro Disabilitas
C.2.1. Jenis Inovasi dan Praktik Baik, Layanan, Proses dan Peran Aktor
Hampir sama dengan inovasi yang difasilitasi YASMIB, pada inovasi Perencanaan
dan Penganggaran yang Pro Disabilitas yang difasilitasi Yayasan BAHTERA ini
juga dilakukan di tingkat desa. BAHTERA melibatkan masyarakat diawali dengan
mendorong kelompok perempuan di level desa. Berikutnya adalah bagaimana
agar penyandang disabilitas dapat terlibat yang dimulai pada tahun 2015,
melalui Program Peduli dengan inovasi Perencanaan dan Penganggaran yang Pro
Disabilitas dengan cara membangun kapasitas bagi disabilitas dan mendorong
serta memfasilitasi keterlibatan mereka. Kemudian, dimulailah pendataan secara riil
untuk mengetahui jumlah disabilitas yang ada di desa tersebut. Proses pendataan
yang mengawali inovasi ini dilakukan dengan cara mendatangi setiap rumah
tangga untuk mendata jumlah anggota keluarga yang disabilitas. Kegiatan yang
dilakukan di 11 desa di Kabupaten Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur ini adalah
langkah awal untuk mengetahui
kebutuhan disabililitas dengan
berpijak pada data yang riil. “Beberapa keluarga penyandang disabilitas
Setelah diketahui jumlah mengatakan bahwa setelah adanya program
dan karakteristik disabilitas, pendampingan terjadi perubahan positif pada
tahap selanjutnya adalah mulai disabilitas. Contohnya, yang sebelumnya putus
sekolah, sekarang sudah kembali bersekolah.
membangun interaksi antara
Bahkan, ada orang tua yang terharu, karena
sesama penyandang disabilitas anaknya yang disabilitas dapat mengikuti
dan antara penyandang salah satu acara yang dilaksanakan di
disabilitas dengan warga Yogyakarta, padahal sebelumnya tidak pernah
masyarakat pada umumnya. pergi jauh”
Hal ini dilakukan dengan Naomi, Pegiat BAHTERA
cara melibatkan penyandang
disabilitas pada berbagai
kegiatan, seperti forum-forum diskusi. Forum diskusi yang antara lain membahas
perencanaan dan penganggaran, nilai partisipasi, keterbukaan, transparansi, dan
96
Inovasi juga dapat dilihat pada bentuk program/ kegiatan yang diusulkan
oleh forum disabilitas di Musrenbang pada level Desa, Kecamatan dan Kabupaten
Tabel 2.8.1 Peran Aktor dalam Proses Inovasi dan Praktik Baik di Kabupaten
Sumba
98
Dinas • Mendorong implementasi inovasi dan praktik baik,
Pemberdayaan perencanaan dan penganggaran yang pro disabilitas
Masyarakat di 11 desa.
dan Desa • Menyiapkan Surat Edaran untuk seluruh desa di
(DPMD) Sumba Barat (63 Desa) agar menerapkan inovasi dan
praktik baik perencanaan dan penganggaran yang pro
disabilitas.
Pemerintahan • Menyelenggarakan proses musrenbang desa yang pro
Desa disabilitas
• Mendukung kerja-kerja forum warga dan kelompok
disabilitas di tingkat desa, dan menerima usulan
program serta kegiatan yang pro disabilitas
• Menyosialisasikan program kemasyarakat,
menetapkan kegiatan dan mengalokasikan anggaran
untuk penyandang disabililitas yang bersifat afirmatif
dan mainstreaming.
• Mengakomodasi aspirasi dan kebutuhan disabilitas
dalam dokumen perencanaan dan penganggaran desa
(RPJMDes, RKPDes, dan APBDes), serta menyiapkan
Peraturan Desa tentang Perlindungan Disabilitas.
• Mempromosikan inovasi dan praktik baik tentang
perencanaan dan penganggaran yang pro disabilitas
ke desa lainnya, ke pemerintah kecamatan dan
kabupaten.
Kelompok/ Forum • Menggerakkan dan memotivasi penyandang
organisasi Disabilitas di disabilitas untuk berpartisipasi aktif dalam proses
disabilitas tingkat Desa perencanaan dan penganggaran desa.
• Menyampaikan aspirasi dan kebutuhan warga
penyandang disabilitas kepada pemerintahan desa.
• Melaksanakan monitoring terhadap implementasi
program pembangunan yang responsif disabilitas
yang telah ditetapkan oleh pemerintah desa.
• Melakukan advokasi kepada pemerintahan desa,
kecamatan dan OPD terkait usulan perbaikan
pelayanan yang ramah disabilitas.
Masyarakat Tokoh • Mendukung inovasi dan praktik baik dengan cara
masyarakat, mempersilahkan hadir dan memberikan kesempatan
Tokoh agama, kepada disabilitas untuk menyampaikan aspirasi dan
Pemuda dll. kebutuhannya pada forum-forum diskusi.
• Menerima keberadaan disabilitas dan memahami
bahwa penyandang disabilitas juga berhak menikmati
program pembangunan baik dari desa maupun dari
kabupaten.
100
Tabel 2.9.1 Contoh Kegiatan yang Sudah Diakomodasi dalam Dokumen RKP
Desa Elu Loda, Kecamatan Tana Righu Kabupaten Sumba Barat tahun 2016.
Bantuan Sosial Dusun 17 Orang 2016 40.000.000 Dana Desa Jan s/d Des
Bagi Disabilitas I,II,III,IV 2016
Pengadaan Dusun 75 Unit 2016 150.000.000 Dana Desa Jan s/d Des
Rumah Layak I,II,III,IV 2016
Huni bagi
disabilitas dan
masyarakat
miskin
Dampak inovasi dan praktik baik yang dirasakan oleh pemerintah desa,
kecamatan dan kabupaten adalah:
a. Meningkatnya kesadaran dan pengakuan dari aparatur pemerintah
mengenai kebutuhan dan aspirasi disabilitas. Sebelumnya, ada pandangan
skeptis mengenai apa yang dapat dikontribusikan oleh disabilitas. Namun,
setelah terlibat dalam Program Peduli Pilar Disabilitas Fase 1, disabilitas
dapat menunjukkan kapasitasnya melalui kegiatan-kegiatan yang
dilakukan di tingkat desa hingga kabupaten, seperti menjadi peserta aktif,
narasumber, membuat testimoni mengenai apa yang sudah dan dapat
dilakukan disabilitas. Akhirnya, sedikit demi sedikit pandangan negatif itu
berubah menjadi pengakuan atas kemampuan disabilitas.
b. Pemerintahan desa dapat memastikan program dan kegiatan yang pro
disabilitas dapat berkelanjutan, karena sudah menjadi bagian dari program
pembangunan di desa.
c. Meningkatnya kualitas dan lebih partisipatifnya perencanaan dan
penganggaran, sehingga lebih jelas sasarannya, dan lebih sesuai dengan
kebutuhan masyarakat, termasuk penyandang disabiltas, baik di tingkat
desa maupun di kabupaten (OPD).
d. Pemerintah Kabupaten Sumba Barat termotivasi untuk mengembangkan
lebih jauh bentuk-bentuk inisiatif berupa program, kegiatan, dan regulasi
yang mengarah kepada kabupaten inklusi.
C.2.4. Tantangan
Secara umum, tidak ada tantangan yang berarti dalam pengembangan
inovasi dan praktik baik ini, kecuali pada awal pelaksanaan Program Peduli Pilar
Disabilitas Fase 1 para penyandang disabilitas kurang percaya diri, karena relatif
baru dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan perencanaan dan penganggaran di desa.
Namun, sekarang tantangan itu sudah teratasi.
102
Bagan 2.11. 1 Partisipasi Disabilitas dalam Proses Inovasi dan Praktik Baik di
Kabupaten Sumba
104
penyandang disabilitas telah diakomodasi sebagai bagian dari kegiatan OPD
seperti Dinas Sosial, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Dinas Pemberdayaan
Masyarakat dan Desa, Dinas Pendidikan inas PEMDES, Dinas Pendidikan, dan Dinas
Pertanian. Hal ini dilakukan sebagai respon atas advokasi yang dilakukan oleh
penyandang disabilitas yang didukung oleh BAHTERA. Misalnya, saat ditemukan
adanya disabilitas yang tidak memiliki identitas kependudukan, maka Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil langsung melaksanakan perekaman KTP dengan
mendatangi penyandang disabilitas dimaksud. Namun, hal ini belum diadopsi
menjadi program khusus yang rutin dilakukan dan berkelanjutan.
Pemerintah Kabupaten, khususnya Bappeda juga telah menjadikan isu
disabilitas sebagai arus utama dalam perencanaan program pembangunan. Hal ini
ditandai dengan adanya dorongan kepada OPD-OPD lain untuk mengakomodasi
usulan kegiatan bagi penyandang disabilitas yang berasal dari desa yang menjadi
bagian dari program atau kegiatan OPD masing-masing. Setidaknya, hal ini terlihat
pada indikator sasaran program/kegiatan yang sudah mempertimbangkan
kebutuhan penyandang disabilitas. Data yang valid tentang jumlah dan kondisi
penyandang disabilitas yang sudah terintegrasi dalam Sistem Administrasi dan
Informasi Desa dan Kelurahan (SAID/SAIK) sangat menentukan bagi OPD untuk
mengakomodasi aspirasi dan kebutuhan disabilitas.
Upaya replikasi inovasi dan praktik baik ini kepada desa-desa lain di Kabupaten
Sumba Barat sedang dibahas lebih lanjut oleh Pemerintah Kabupaten Sumba Barat.
Replikasi ini diharapkan dapat didukung melalui perluasan sasaran Program Peduli
Pilar Disabilitas Fase 1 dan dukungan dari ABPD Kabupaten. Dinas Pemberdayaan
Masyarakat dan Desa juga berencana untuk menerbitkan Surat Edaran (SE) tentang
penyelengaraan pendataan dan proses perencanaan dan pengganggaran di desa
yang pro disabilitas.
Inovasi dan praktik baik ini realistis untuk dikembangkan ke tingkat yang lebih
tinggi (scale up) melalui dukungan kebijakan dari Pemerintah Kabupaten berupa
Peraturan Bupati yang mengakomodasi proses perencanaan dan penganggaran
yang pro disabilitas, inovasi dan praktik baik ini dapat direplikasi ke desa-desa lain,
tetapi dapat diaplikasikan juga oleh kecamatan dan seluruh OPD melalui proses
perencanaan dan penganggaran yang pro disabilitas. Kebijakan ini sangat penting,
karena kendala bagi dinas teknis untuk merumuskan kegiatan dengan sasaran
khusus penyandang disabilitas disebabkan tidak ada acuan kebijakan khusus
mengenai hal tersebut. Kebijakan ini perlu dukungan dari DPRD dalam kerangka
perlunya alokasi anggaran khusus bagi penyandang disabilitas yang diakomodasi
dalam APBD Kabupaten. Sementara itu, pengembangan ke tingkat provinsi dan
nasional belum dilakukan, meskipun inovasi dan praktik baik ini mempunyai
peluang untuk dikembangkan ke tingkat yang lebih tinggi. Penyusunan
rekomendasi kebijakan di tingkat nasional, penyelenggaraan forum-forum diskusi
dan seminar serta dukungan media, baik media cetak maupun media elektronik
dengan lingkup kegiatan tentang penyandang disabilitas dapat menjadi sarana
untuk mensosialisasikan perencanaan dan penganggaran yang pro disabilitas di
tingkat nasional.
106
BAB III
Analisis dan
Model Inovasi
Bagan 3.1. 1 Alur Perubahan dalam Inovasi dan Praktik Baik pada Program
Peduli Pilar Disabilitas Fase 1 di Lima Provinsi
Memasukkan
Inovasi per sektor disabilitas dalam
program yang ada
Pendidikan
Memasukkan
Pelayanan publik
disabilitas sebagai
dasar bagi disabilitas
penerima manfaat
program yang ada
(existing)
Inovasi melalui Pengarusutamaan
perencanaan dan (mainstreaming) ke
Realokasi
penganggaran berbagai sektor
anggaran
Merencanakan dan
menganggarkan
program baru bagi
disabilitas
110
berikut.
2. Unit 3. Disabiltas,
Penyedia DPO, keluarga • Menyosialisasikan hak-
• Menyediakan hak dasar disabilitas
pelayanan yang Layanan disabilitas dan
• Menyampaikan
inklusif masyarakat kebutuhan dan aspirasi
• Menyusun standar disabilitas
pelayanan bagi • Melakukan konsolidasi
disabilitas dan advokasi
112
3. Disabilitas dan kelompok disabilitas (DPO), keluarga disabilitas serta
masyarakat
Aktor utama dari inovasi dan praktik baik yang dikembangkan adalah
penyandang disabilitas sendiri, baik secara individu maupun organisasi/
kelompok disabilitas (DPO). Peran disabilitas ini sangat menentukan dalam
proses inovasi dan praktik baik sebagai prasyarat penting untuk memastikan
perspektif dan kebutuhan disabilitas terakomodasi sesuai dengan kondisi
nyata disabilitas yang beragam.
Keluarga, terutama orang tua penyandang disabilitas, menjadi bagian
pendukung yang krusial dalam proses inovasi dan praktik baik, baik sebagai
pendamping disabilitas untuk disabilitas daksa atau netra, maupun mewakili
disabilitas itu sendiri, seperti disabilitas jiwa (ODGJ). Contohnya, orang tua
atau keluarga penyandang disabilitas jiwa berperan menyampaikan langsung
kebutuhan disabilitas yang tak dapat disampaikan oleh penyandang disabilitas
itu sendiri.
Respon positif dan dorongan masyarakat secara umum juga terbukti
berkontribusi besar pada pengembangan inovasi dan praktik baik tersebut.
Contohnya, pada inovasi penanganan bagi disabilitas jiwa dan ABK, perspektif
positif dari masyarakat (menggantikan stigma negatif ) ternyata turut
mendorong disabilitas untuk menghadapi tantangan atau resistensi yang ada.
Dukungan masyarakat kepada keluarga ataupun kepada disabilitas menjadi
pendorong disabilitas untuk lebih terbuka dan berupaya mencari pengobatan
pada kasus disabilitas jiwa dan ABK.
Secara garis besar, peran yang dimainkan dalam inovasi dan praktik baik
adalah:
a. Menyosialisasikan hak dasar disabilitas kepada para pemangku kepentingan
(stakeholders).
b. Menyampaikan kebutuhan disabilitas dan berbagi pengetahuan mengenai
kondisi dan penanganan disabilitas kepada pihak-pihak lain, seperti
pemerintah, penyedia layanan dan masyarakat umum.
c. Melakukan konsolidasi dalam rangka saling menguatkan disabilitas dan
keluarga disabilitas.
d. Melakukan advokasi kepada pemerintah daerah dalam rangka pemenuhan
kebutuhan disabilitas.
B. Partisipasi Disabilitas
B.1 Dinamika Partisipasi
Salah satu aspek penting bagi terwujudnya inovasi dan praktik baik pelayanan
publik yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan disabilitas adalah adanya
partisipasi dari penyandang disabilitas. Bila mengacu pada proses inovasi yang
telah dikembangkan, maka partisipasi disabilitas terjadi karena adanya perubahan
persepsi dari pemerintah, penyedia layanan dan masyarakat umum mengenai
disabilitas bukan sekadar obyek tetapi juga subyek yang berperan dalam
pemenuhan hak-haknya. Partisipasi disabilitas ini dapat dilihat sebagai bagian dari
warga masyarakat yang berhak menjadi penerima manfaat pembangunan.
Sejatinya partisipasi disabilitas sudah dijamin dalam kebijakan atau peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yaitu:
1. Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
yang telah diperbarui dengan UU No. 9 Tahun 2015;
2. Peraturan Pemerintah (PP) sebagai pelaksanaan dari UU No. 23 Tahun 2014
yaitu PP No. 45 Tahun 2017 tentang Partisipasi Masyarakat;
3. UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik;
4. Peraturan Menteri sebagai pelaksanaan dari UU No. 25 Tahun 2009 yaitu
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
No. 24 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan
Pengaduan Pelayanan Publik Secara Nasional;
5. UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional,
114
yang menyatakan bahwa dalam pelaksanaan Musrenbang melibatkan
masyarakat;
6. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang di dalamnya
menyatakan peran atau partisipasi masyarakat;
7. UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang mengamanatkan
bahwa adanya unit layanan disabilitas dan pelaksanaan pemenuhan hak
penyandang disabilitas.
Partisipasi disabilitas pada beberapa inovasi dan praktik baik yang dibahas
dalam buku ini berada pada tahapan dan kedalaman partisipasi yang berbeda.
Hal ini dapat dilihat dari empat tahapan, yaitu tahap perencanaan, pelaksanaan,
tindak lanjut serta monitoring dan evaluasi, sebagaimana dapat dilihat pada bagan
berikut ini.
Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi disabilitas ini adalah:
1. Kapasitas disabilitas
Kapasitas yang dimaksud meliputi kemampuan berbicara di depan publik,
kemampuan mengidentifikasi kebutuhan dan haknya dan menyampaikannya
116
ODGJ.
4. Kesempatan yang diberikan oleh pemerintah dan penyedia Layanan
Pemerintah yang terbuka merupakan faktor kunci terwujud dan efektifnya
inovasi yang ramah disabilitas, karena pemerintah, termasuk penyedia layanan
menyediakan kesempatan bagi disabilitas untuk berpartisipasi dan terbuka
menerima gagasan dalam rangka memperbaiki kualitas pelayanan publik agar
dapat memenuhi kebutuhan disabilitas. Bentuk kesempatan yang diberikan
antara lain pelibatan langsung disabilitas dan penerbitan kebijakan yang
menjamin pemenuhan hak dan kebutuhan disabilitas. Seperti yang dilakukan
oleh pemerintah desa dengan mengakomodasi kelompok disabilitas sebagai
peserta pada Musrenbang Desa hingga Musrenbang Kabupaten atau yang
dilakukan oleh puskesmas dalam inovasi dan praktik baik RPRD dengan
mengajak disabilitas dalam merencanakan perbaikan bangunan fisik agar
mudah diakses oleh disabilitas.
118
penyandang disabilitas belum cukup memiliki kekuasaan dalam posisinya sebagai
warga masyarakat, yang ditunjukkan oleh anak tangga kemitraan (partnership),
karena belum ada hubungan sinergi antara penyandang disabilitas dengan
pembuat kebijakan dan penyedia pelayanan untuk mewujudkan tujuan yang
disepakati bersama. Pada tahap kemitraan ini harus dicerminkan melalui kekuatan
yang sudah terbagi secara relatif seimbang antara masyarakat dan pemegang
kekuasaan serta komitmen antara kedua belah pihak untuk membicarakan
perencanaan dan pengambilan keputusan bersama-sama.
Dalam konteks masyarakat secara umum, sebetulnya tangga partnership
(kemitraan) sudah tercapai. Namun, bukan oleh penyandang disabilitas, tetapi
oleh organisasi Mitra Program Peduli, seperti yang ditunjukkan oleh PATTIRO pada
inovasi dan praktik baik Rintisan Puskesmas Ramah Disabilitas (RPRD) di Kabupaten
Lombok Barat; SIGAB pada inovasi Puskesmas Ramah Disabilitas dan Pelayanan
Khusus dan Kolaboratif bagi ODGJ di Kabupaten Kulon Progo; KARINAKAS pada
Pelayanan Kesehatan Disabilitas Terintegrasi dan Berkelanjutan (PKDTB) untuk
ABK di Kabupaten Sukoharjo; SAPDA pada inovasi Sekolah Dasar Inklusi di Kota
Banjarmasin, serta BAHTERA pada inovasi Perencanaan dan Penganggaran yang
Pro Disabilitas di Kabupaten Sumba Barat. Khusus untuk SIGAB dan SAPDA yang
merupakan organisasi penyandang disabilitas (DPO) sebenarnya dapat dikatakan
merepresentasikan penyandang disabilitas, tetapi dalam konteks Program Peduli,
keduanya bukan merupakan penerima manfaat.
Berdasarkan analisis mengenai partisipasi warga, maka menurut Arnstein,
partisipasi disabilitas berada pada tingkatan partisipasi warga (citizen participation).
Pada tingkatan partisipasi warga ini (di atas “non/tidak ada partisipasi” dan di
bawah “tingkat kekuasaan warga”) berarti penyandang disabilitas sudah dapat
mempengaruhi hasil penyelenggaraan pelayanan publik yang disediakan oleh
penyedia pelayanan, tetapi disabilitas belum dapat mempengaruhi kebijakan
pokok mengenai pelayanan publik itu agar sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan
penyandang disabilitas. Upaya mempengaruhi kebijakan pokok termasuk ang-
garan di dalamnya lebih tampak dilakukan oleh organisasi Mitra Program Peduli.
Adanya partisipasi disabilitas, yang bahkan mencapai anak tangga tertinggi
pada kelompok tangga tingkatan pertanda adanya partisipasi, sejatinya
mencerminkan adanya perubahan paradigma mengenai disabilitas. Penyandang
disabilitas tidak lagi dipandang sebagai pihak yang pasif, menjadi beban, dan
hanya bisa menerima bantuan, tetapi sudah memperlihatkan bahwa disabilitas
mampu memperjuangkan kepentingannya sendiri dan berkontribusi dalam
rangka mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas, dan nondiskriminatif.
D. Tantangan
Tantangan yang dihadapi dalam inovasi-inovasi dan praktik baik yang dibahas
pada buku ini dapat dibagi dari dua kategori, yaitu tantangan yang berasal dari
pemerintah dan penyedia layanan (supply side) serta tantangan dari masyarakat
dan disabilitas sendiri (demand side).
Tantangan yang berasal dari pemerintah daerah dan penyedia layanan adalah:
1. Adanya persepsi bahwa pembangunan yang ramah disabilitas kurang
ekonomis, karena penyandang disabilitas yang mengakses pelayanan dan
pembangunan itu jumlahnya terbatas, sedangkan untuk anggaran relatif
besar.
2. Sebagian besar disabilitas yang mengakses pelayanan publik jarang
melakukannya sendiri karena selalu ada pendamping dari keluarga
disabilitas, sehingga tidak perlu disediakan fasilitas khusus bagi disabilitas.
3. Pemahaman tentang kebutuhan disabilitas yang kurang tepat, terutama
menganggap bahwa disabilitas hanya memerlukan program bantuan
120
langsung seperti bantuan materi atau uang tunai (charity based program)
daripada program yang berupaya memfasilitasi kemandirian disabilitas.
4. Rotasi dan perubahan pejabat yang berwenang yang seringkali
mengakibatkan proses inovasi yang tengah berjalan harus terhenti atau
dimulai lagi dari awal, karena kurangnya pemahaman pejabat baru atas
inovasi dan praktik baik yang sedang dikembangkan.
E. Analisis Gender
Secara umum, pada proses inovasi dan praktik baik yang dikembangkan,
keterlibatan laki-laki dan perempuan terlihat cukup berimbang. Hal ini terlihat
sejak proses awal inovasi dan praktik baik di 6 lokasi ini, bahkan pada inovasi dan
praktik baik terkait ABK dan ODGJ, peran perempuan, yaitu ibu dari ABK dan ODGJ
relatif dominan dalam mewakili dan menyuarakan kebutuhan serta mendorong
pemenuhan hak disabilitas. Hal ini terjadi, karena para ibu itulah yang setiap hari
merawat dan menemani penyandang disabilitas ini.
Sementara itu, keterlibatan laki-laki terlihat dari prosentase aktor kunci dalam
inovasi dan praktik baik yang seringkali berperan sebagai narasumber pada
berbagai kegiatan dalam proses inovasi.
Perempuan
42%
Laki-laki
58%
Prosentase di atas dapat dimaknai bahwa sejak proses awal inovasi dan praktik
baik sudah terjadi pembagian peran yang relatif setara antara laki-laki dan
perempuan. Beberapa inovasi dan praktik baik, sedari awal telah menempatkan
perempuan sebagai aktor kunci, seperti kader posyandu, kader PKK, dan bidan
desa. Analisis keterlibatan dan penerimaan manfaat perempuan ini dapat dilihat
dari empat aspek, yaitu sebagai berikut.
1. Akses
Dimulai dengan memberikan akses informasi terkait hak disabilitas
baik perempuan, laki-laki dan anak-anak atau disabilitas lanjut usia. Akses
informasi ini ditindak lanjuti dengan pemberian akses atau kesempatan untuk
turut terlibat dan berkontribusi dalam proses inovasi, mulai dari sosialisasi,
pelaksanaan dan advokasi. Setelah itu, penyandang disabilitas perempuan
dapat memutuskan bagaimana bentuk partisipasi yang diinginkan.
Sebagian disabilitas perempuan kemudian aktif berpartisipasi dan menjadi
motor penggerak di komunitas. Hal ini terjadi melalui serangkaian kegiatan
peningkatan kapasitas, keterlibatan di forum-forum dan kerja berjejaring.
Sebagian lagi memilih sekadar cukup mengetahui dan menyampaikan
tentang hak disabilitas kepada keluarganya dan di sekitarnya.
2. Partisipasi
Partisipasi perempuan dalam proses mendorong inovasi dan praktik baik
ini relatif merata dari berbagai stakeholder, seperti dari kelompok disabilitas,
keluarga disabilitas, penyedia layanan, dan OPD Kabupaten/Kota seperti
122
Dinas Kesehatan. Sebagian disabilitas perempuan kemudian menjadi ketua
forum multistakeholder seperti Tim RBM di Kabupaten Sukoharjo, yang secara
kebetulan posisi ini melekat pada Ketua PKK.
Bentuk partisipasi perempuan juga relatif beragam, mulai dari hanya aktif
hadir di setiap pertemuan, atau sampai pada mengawasi jalannya inovasi dan
praktik baik serta bentuk inovasi itu sendiri.
Partisipasi perempuan dan laki-laki secara seimbang sudah
dipertimbangkan sedari awal oleh masing-masing organisasi mitra Program
Peduli Pilar Disabilitas Fase 1, dan diwujudkan dalam bentuk penilaian
(assesment) kebutuhan dan tim yang dilibatkan.
3. Kontrol
Disabilitas perempuan atau keluarga disabilitas perempuan dapat
menyampaikan kebutuhan sesuai dengan prioritasnya dalam inovasi serta
memiliki kontrol untuk menentukan jenis program atau kegiatan sesuai
dengan kebutuhan nyata disabilitas perempuan.
4. Manfaat
Selain berpartisipasi dalam setiap proses dan memiliki kontrol terkait inovasi
dan praktik baik yang dikembangkan, juga setiap inovasi yang dilakukan
mempertimbangkan pemerataan penerima manfaat antara perempuan,
anak-anak dan disabilitas dalam berbagai rentang usia.
Kebijakan
daerah
2. Implementasi
Komitmen
Sumber daya (SDM 1. Inisiasi
kepala daerah
dan lainnya)
Inovasi yang dikembangkan ini telah melalui berbagai tahapan mulai dari
perencanaan atau inisiasi awal, pelaksanaan, tindak lanjut serta monitoring dan
evaluasi. Dari semua tahapan tersebut, terdapat beberapa aspek yang menjadi
124
perhatian dari kesukesan setiap inovasi ini.
Pertama, dari sisi proses, bila ditinjau dari sisi proses maka proses yang paling
krusial adalah pada peningkatan kapasitas dan pemberian kesempatan bagi
disabilitas untuk berperan dalam proses inovasi. Hal ini menjadi proses penting
bagi meningkatnya kepercayaan diri dan kemampuan disabilitas, sehingga mampu
memainkan peran tertentu seperti menjadi kader posyandu dan melakukan
advokasi kepada pemangku kepentingan lain serta mewakili penyandang
disabilitas lainnya dalam proses inovasi.
Kedua, Pembagian peran, dalam konteks pembagian peran, maka agar
disabilitas dapat berperan aktif, perlu adanya kesepahaman dari para pemangku
kepentingan mengenai apa yang dimaksud disabilitas, hak dan kebutuhan
disabilitas, serta peran yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan, rentang usia, dan
jenis kedisabilitasannya masing-masing. Untuk itu, perlu adanya wahana berupa
forum atau organisasi yang dapat menjadi sarana para pemangku kepentingan
dalam berbagi informasi, pengetahuan dan pengalaman terkait pelayanan publik
yang ramah disabilitas.
Dari proses inovasi yang dilakukan, terbukti bahwa disabilitas dapat
berpartisipasi sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan ragam disabilitasnya.
Partisipasi disabilitas memberikan kontribusi signifikan untuk memastikan bahwa
inovasi pelayanan publik yang digagas dan dikembangkan sesuai dengan aspirasi
dan kebutuhan penyandang disabilitas itu sendiri. Partisipasi disabilitas ini juga
diharapkan dapat mengubah paradigma yang selama ini terbangun, bahwa
ternyata penyandang disabilitas dapat menjadi aset dan bukan beban.
Ketiga, dari strategi penerimaan, yaitu dengan pengarusutamaan isu
disabilitas pada aspek kebijakan dan prakarsa khusus melalui program
afirmasi. Paradigma pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan harus menjadi
arus utama (mainstream) dalam penyelenggaraan pembangunan di Indonesia,
sehingga aspirasi dan kebutuhan disabilitas dapat terpenuhi. Hal ini dapat dilakukan
melalui dua jalur, melalui kebijakan dan melalui aparatur pemerintah. Pertama
yaitu melalui kebijakan, bentuknya adalah kebijakan tentang pemenuhan hak
disabilitas hingga peraturan pelaksanaan mengenai teknis pelayanan publik yang
ramah disabilitas. Kedua, melalui aparaturnya, yaitu dengan mengarusutamakan
(mainstreaming) pemahaman tentang disabilitas kepada pembuat kebijakan, aparat
pemerintah dan penyedia pelayanan. Pemahaman itu diharapkan menjadikan
kebijakan ataupun standar pelayanan yang ramah disabilitas menjadi standar
dasar tanpa harus melalui pendekatan khusus lagi. Pengarusutamaan ini dapat
dilakukan melalui pemberian materi tentang kedisabilitasan dan pembangunan
Bagan 3.4. 1 Analisis Inovasi dan Praktik Baik Pelayanan Publik Ramah
Disabilitas
Pelayanan Publik
Partisipasi Disabilitas
Kebijakan
Anggaran
Aksesibilitas
Kohesi sosial
Modal sosial,
kohesi sosial,
trust, jejaring dan
kelembagaan Jejaring
126
BAB IV
Kesimpulan dan
Rekomendasi
B. Rekomendasi
Dalam rangka memastikan keberlanjutan dan pengembangan dari inovasi dan
praktik baik yang ramah disabilitas ini, beberapa rekomendasi yang perlu ditindak
lanjuti adalah sebagai berikut.
130
8. Pemerintah (c.q. Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi) perlu menetapkan pedoman mengenai
tenaga pendamping desa yang secara khusus bertugas mendampingi
peningkatan kapasitas bagi kelompok/organisasi disabilitas (DPO) di
tingkat desa dan warga desa penyandang disabilitas.
b. Pemerintah Daerah
1. Memastikan isu disabilitas menjadi isu prioritas pada Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
2. Menyusun dan menetapkan Peraturan Daerah atau Peraturan Kepala
Daerah tentang Penyandang Disabilitas atau Peraturan Kepala Daerah
tentang kabupaten / kota Inklusi, disertai peraturan teknis pelaksanaannya.
3. Memastikan indikator pembangunan inklusi secara jelas dapat
diterjemahkan menjadi program prioritas oleh OPD-OPD yang relevan dan
masuk dalam dokumen Renstra OPD, terutama OPD terkait pelayanan dasar
yaitu Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan dan Dinas Pekerjaan Umum (PU).
4. Memastikan usulan program/kegiatan berbasis kinerja yang bersifat
pengarusutamaan (mainstreaming) dan afirmatif bagi penyandang
disabilitas dan responsif gender dapat diakomodasi dalam APBD dengan
alokasi anggaran yang memadai.
5. Menjalankan pembinaan, monitoring dan pengawasan terhadap
implementasi peraturan perundang-undangan dan program yang responsif
terhadap penyandang disabilitas di seluruh OPD dan Pemerintah Desa.
6. Mengimplementasikan pembangunan sarana-parasana fisik khususnya
pada gedung atau kantor pelayanan publik seperti rumah sakit, puskesmas,
dan sekolah, dengan menyediakan sarana yang memudahkan akses bagi
penyandang disabilitas.
7. Mengintegrasikan perencanaan pembangunan inklusi ke dalam sistem
informasi daerah yang dapat diakses dengan mudah oleh publik.
8. Menyediakan berbagai bentuk media edukasi bagi masyarakat yang dapat
menumbuhkan kepedulian dan pemahaman yang menyeluruh tentang
disabilitas.
9. Memfasilitasi terbentuk dan berfungsinya forum disabilitas di tingkat
daerah dan forum disabilitas di lingkup sektoral, misalnya Forum Pendidikan
Inklusi.
10. Membuka ruang dan kesempatan lebih luas bagi masyarakat dan DPO
untuk terlibat dalam proses perumusan program atau menyusun program
yang melibatkan kelompok disabilitas sebagai subyek pembangunan.
132
• Memfasilitasi pembentukan forum multistakehoder yang melibatkan
dinas terkait, keluarga/orangtua anak disabilitas dan organisasi/
kelompok disabilitas.
• Memfasilitasi pengembangan sistem pengajaran dan kurikulum kelas
khusus yang inklusif.
• Mensosialisasikan perspektif kedisabilitasan pada semua aparatur
pemda, terutama pada Dinas Pendidikan.
4. Unit Pelayanan (sekolah) perlu melakukan:
• Fasilitasi pengembangan sistem pengajaran dan kurikulum yang
inklusif.
• Edukasi kepada masyarakat dan keluarga disabilitas mengenai
pentingnya pendidikan bagi penyandang isabilitas.
• Melakukan upaya perbaikan bangunan fisik serta sarana dan prasarana
sekolah yang ramah disabilitas sesuai dengan peraturan yang berlaku.
(Permen PU Nomor 14 Tahun 2017 tentang Persyaratan Kemudahan
Bangunan Gedung)
b. Kesehatan
1. Kementerian/Lembaga perlu melakukan upaya:
• Pengarusutamaan (mainstreaming) disabilitas kepada seluruh pejabat
dan aparatur Kementerian Kesehatan.
• Menjadikan aspek aksesibilitas dan pelayanan bagi disabilitas sebagai
salah satu aspek pengukuran kualitas dasar fasilitas kesehatan (standar
akreditasi).
• Memfasilitasi Pengarusutamaan (mainstreaming) dan sosialisasi
tentang isu kebutuhan disabilitas pada petugas kesehatan (dokter,
bidan, dan perawat).
2. Pemerintah Daerah (Provinsi, dan Kabupaten/Kota) perlu melakukan
upaya:
• Menyusun program kesehatan penjangkauan khusus (home care) bagi
disabilitas berat.
• Mengalokasikan anggaran bagi dukungan sarana dan prasarana ramah
disabilitas di perkantoran dan unit layanan kesehatan.
• Mendukung pengadaan tenaga fisioterapis di seluruh puskesmas di
wilayahnya.
• Melakukan edukasi pada sekolah-sekolah dan tenaga pendidik tentang
pengetahuan kedisabilitasan.
134
• Perlu mendorong tumbuhnya motivasi dan keterlibatan penyandang
disabilitas untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan di
desa.
136
3. Berperan aktif dalam setiap tahap pembangunan inklusif.
4. Berkolaborasi untuk meningkatkan kapasitas kelompok disabilitas
khususnya terkait hak dan mekanisme partisipasi dalam proses
pembangunan.
5. Melakukan sosialisasi untuk menghapus hambatan yang berasal dari
stigma negatif terhadap disabilitas baik itu dari sisi masyarakat, keluarga,
penyedia layanan maupun pembuat kebijakan.
138
Propiona, Jane Kartika, dkk. 2013. Implementasi HAM di Indonesia: Hak Kesehatan
dan Jaminan Sosial bagi Penyandang Disabilitas di Kabupaten Daerah Tertinggal
di Indonesia. Jakarta: PT Gading Inti Prima.
Propiona, Jane Kartika, dkk. 2014. Implementasi Hak Penyandang Disabilitas di
Indonesia: Analilis Pemenuhan Hak Warga Negara Penyandang Disabilitas di
Indonesia. Jakarta: PT Gading Inti Prima.
Re ne lenar. 1974. Les Exius: Un Francais Sur Dix. Paris: Seuil Publication.
Salim, Ishak, M. Syafi’ie, dan Nunung Elkisabeth. 2015. Indonesia Dalam Desa Inklusi:
Pembelajaran dari Temu Inklusi 2014. Yogyakarta: SIGAB.
Salim, Ishak, dkk. 2015. Difabel Merebut Bilik Suara: Kontribusi Gerakan Disabilitas
Dalam Pemilu Indonesia. Yogyakarta: SIGAB.
Sawinggih, Raden, ddk. 2016. Dari Bayan Untuk Indonesia Inklusif. Nusa Tenggara
Barat: Solidaritas Masyarakat Untuk Transparansi (SOMASI).
Suryanarayana, M.H. 2008. “Inclusive Growth: What is so exclusive about it?”. Indira
Gandhi Institute of Development Research, Mumbai.
Syafi’ie, M, dkk. 2015. Kumpulan Jurnal Difabel Volume 2 No.2 2015. “Analekta
Difabilitas: Sumbangsih untuk Pengayaan Rancangan Undang-undang
Difabilitas”. Yogyakarta: SIGAB.
Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Warsilah, Henny. 2017. Pembangunan Inklusif dan Kebijakan Sosial di Kota Solo, Jawa
Tengah. Jakarta: Yayasan Pusataka Obor Indonesia.
Wirutomo, Paulus. 2013. “Mencari Makna Pembangunan Sosial: Studi Kasus Sektor
Informal di Kota Solo”. Jurnal Ssosiologi Masyarakat Vol. 18, No.1 Januari 2013.
World Economic Forum. 2017. The Inclusive Growth and Development Report 2017.
Jl. Mawar Komplek Kejaksaan Agung Blok G35, Pasar Minggu Jakarta Selatan
Telp: 021-780 1314 | Fax: 021 782 3800
Email: info@pattiro.org | Website: www.pattiro.org