PERTEMUAN 1
PENGERTIAN KEPEMIMPINAN
Dari pengertian di atas kepemimpinan mengandung beberapa unsur pokok antara lain:
1) Kepemimpinan melibatkan orang lain dan adanya situasi kelompok atau organisasi
tempat pemimpin dan anggotanya berinteraksi,
2) Di dalam kepemimpinan terjadi pembagian kekuasaan dan proses mempengaruhi
bawahan oleh pemimpin, dan
3) Adanya tujuan bersama yang harus dicapai.
PERTEMUAN II
terbangun sebagai seorang pemimpin adalah kita harus berani dekat dan mendekat kepada
orang-orang yang kita pimpin.
Dari proses ini, kita bisa belajar bahwa untuk menjadi seorang yang memiliki arti di
tengah masyarakat luas yang bisa menarik dan menggerakkan masyarakat diperluakan
sikap konsisten dalam hidupnya. Jangan sampai sebagai seorang pemimpin penggerak kita
mudah terombang-ambing pada suatu kondisi. Hal ini membahayakan karena pengikut kita
akan bingung untuk mengikuti kita. Inkonsistensi inilah yang harus senantiasa kita hindari
baik secara sikap maupun tindakan.Apalagi, sebagai seorang pemimpin yang memiliki
banyak pengikut.
Akhirnya, untuk menjadi seorang pemimpin yang bisa menarik dan menggerakkan kita
perlu belajar pada proses pembuatan besi menjadi magnet. Berani dekat dengan orang
yang ia pimpin dan konsisten dalam sikap maupun tindakan. yakinlah, jika kedua sikap ini
senantiasa dipegang oleh seorang pemimpin, maka ia akan bisa menarik dan
menggerakkan rakyatnya ataupun orang yang ia pimpin ibarat seorang magnet yang
menggerakkan dan menarik besi-besik di sekitarnya. (Wayhu Priambodo/ Ktbr infopublik-
lmj)
PERTEUMUAN III
PERTEMUAN IV-V
KESALAHAN MANUSIA (HUMAN ERROR)
Faktor manusia merupakan hal yang penting dalam dunia maritim. Kapal memiliki
lingkungan kerja yang tidak biasa dan bahkan terkadang tidak ramah bagi manusia.
Kurangnya kontak dengan keluarga, berbagai budaya yang hidup bersama, dan tingkat
kejenuhan yang tinggi menyebabkan resiko terjadinya kesalahan dalam bekerja.
Rita Grech menggambarkan sebuah piramida untuk menjelaskan terjadinya kecelakaan
yang pada umumnya didasari dari tindakan atau kebiasaan yang tidak aman. Dari gambar
dibawah ini dapat dilihat bahwa kecelakaan (accident) merupakan puncak dari beberapa
kejadian (incident). Diperlukan usaha yang komprehensif guna meminimalisir terjadinya
kecelakaan / nyaris (Near Misses), dan usaha tersebut harus berawal dari mengurangi
kebiasaan-kebiasaan atau tindakan tidak aman (unsafe acts) yang dilakukan oleh personil
diatas kapal.
Accidents
Incidents
Near Misses
Unsafe Acts
2. Pendekatan Sistem
Pandangan dasar pendekatan ini adalah manusia dapat berbuat salah dan
kesalahan merupakan hal yang wajar terjadi, bahkan di organisasi terbaik
sekalipun. Kesalahan dipandang sebagai konsekuensi, bukan penyebab.
Penanggulangannya berdasar pada asumsi bahwa kita tidak dapat mengubah
kondisi manusia, namun kita dapat mengubah kondisi dimana manusia bekerja. Ide
pokoknya adalah pertahanan terhadap sistem. Semua tekhnologi memiliki sisi
positif dan negatif, hambatan dan perlindungan. Ketika suatu kesalahan terjadi,
masalah penting bukan tentang siapa yang salah namun mengapa dan bagaimana
system pertahanan gagal dilaksanakan.
HUMAN FAILURE
Error Non-Compliance
pelanggaran
Thinking
Action Error
Error
tidak Routine Situational Exceptional
direncanakan
direncanakan
1. Action Error
3. Non-compliance
Penyimpangan terhadap aturan dan prosedur secara disengaja, disebut juga dengan
“pelanggaran”. Hal ini dapat berupa mengambil jalan pintas, atau tidak mengikuti
prosedur demi menghemat waktu dan tenaga. Biasanya tujuannya memang baik,
namun dapat menyebabkan potensi terjadinya kecelakaan. Seringkali diperburuk
oleh dorongan pimpinan yang ingin sebuah pekerjaan segera diselesaikan.
a. Routine.
Penyimpangan telah menjadi hal yang wajar dilakukan sehari-hari, terdapat
consensus bahwa aturan sudah tidak berlaku, tidak ada pihak yang menegakkan
aturan. Misalnya sehari-hari tidak mengenakan safety harness saat memanjat
karena dianggap ribet dan membuat pekerjaan menjadi lama.
b. Situational
Pelanggaran yang dilakukan karena situasi tertentu, misalnya karena beban
kerja, peralatan dan perlengkapan yang kurang memadai, kondisi cuaca.
Pelanggaran menjadi satu-satunya solusi untuk menyelesaikan suatu
permasalahan yang berat.
c. Exceptional
Seseorang mencoba menyelesaikan masalah yang sangat tidak biasa (seringkali
dalam kondisi emergensi) dengan mengambil resiko melanggar peraturan.
Cara menanggulangi:
• Meningkatkan pemahaman dan kepekaan terhadap resiko dan konsekuensi
misalnya dengan mencantumkan peringatan / resiko dalam prosedur.
• Meningkatkan pengawasan
• Menghilangkan alasan-alasan untuk memotong prosedur, misalnya dengan
memperbaiki desain pekerjaan, menghapus aturan-aturan dan prosedur yang
tidak diperlukan dan tidak realistis, mengelola beban kerja dengan baik.
• Memperbaiki budaya organisasi misalnya dengan cara mendorong keaktifan
personil dalam budaya keselamatan, membiasakan pelaporan terhadap
pelanggaran yang dilakukan.
PERTEMUAN VI-VII
KEPEMIMPINAN DAN KERJASAMA TIM (TIM WORK)
A. Teori Kepemimpinan
Kepemimpinan di atas kapal merupakan aspek yang sangat penting.
Kelancaran dan keselamatan operasi kapal akan sangat bergantung kepada
bagaimana nahkoda sebagai pemimpin tertinggi di atas kapal mampu memimpin dan
mengorganisir para kru kapal.
Banyak penelitian yang dilakukan untuk menjelaskan tentang kepemimpinan.
Apakah kepemimpinan merupakan karakter bawaan? Atau sejatinya kepemimpinan
itu dapat dipelajari dan dilatih? Apakah setiap orang mampu menjadi pemimpin?
Apakah ada trik atau gaya khusus yang dapat diterapkan untuk bisa menjadi seorang
pemimpin yang sukses? Menurut Handy (1993, hal. 97) masalah kepemimpinan
dapat dijelaskan melalui 3 (tiga) pendekatan, yakni :
a) Trait Theories
Teori ini berasumsi bahwa individu lebih penting dibandingkan dengan
situasi. Apabila kita dapat mengidentifikasi karakteristik pemimpin yang
sukses, maka kita dapat memecahkan masalah terkait kepemimpinan.
Apabila kita tidak dapat membuat “good leader”, setidaknya kita bisa
memilih “good leader”. Menurut teori ini, karakteristik pemimpin yang
baik adalah sebagai berikut:
a. Kecerdasan diatas rata-rata tetapi tidak perlu mencapai level genius.
Khususnya harus memiliki kemampuan yang baik dalam
memecahkan masalah yang kompleks dan abstrak.
b. Memiliki inisiatif, yakni kemampuan untuk melihat perlunya
melakukan suatu aksi dan keberanian untuk menjalankan aksi
tersebut.
c. Memiliki kepercayaan diri yang tinggi terhadap kompetensi dan
aspirasi yang dimiliki diri sendiri.
d. “Helicopter factor” yakni kemampuan untuk melihat lebih tinggi
sebuah situasi dan melihat hubungannya dengan lingkungan secara
keseluruhan.
e. Memiliki kesehatan prima.
Kepemimpinan, etos kerja dan Kerjasama Tim
“AKADEMI MARITIM CIREBON” 2020
14
Dr. Fereddy Siagian, M.Th.,M.M.
b) Style Theories
Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa bawahan akan bekerja
lebih giat dan lebih efektif untuk atasan yang menggunakan gaya
kepemimpinan tertentu dibandingkan dengan gaya kepemimpinan lainnya.
Dengan kata lain gaya kepemimpinan yang digunakan mempengaruhi
kesuksesan seseorang dalam memimpin.
Menurut Grech (2008, hal.85) terdapat 4 gaya kepemimpinan. Gaya
kepemimpinan ini dikategorikan berdasarkan karakteristik komunikasi
antara atasan-bawahan.
a. Autocratic
Nahkoda atau perwira bekerja dan mengambil keputusan sendiri, tidak
memperhatikan pendapat orang lain, tidak mendengarkan, tidak
berbagi tugas, tidak memberikan informasi kepada kru. Gaya ini juga
ditandai dengan kurangnya perencanaan. Kapten atau perwira
cenderung kelebihan beban (overloaded) jika ada sebuah masalah atau
situasi kritis terjadi. Gaya autocratic dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yakni:
• Kesenjangan dalam hal senioritas dan kemampuan teknis
• Tradisi
• Kepribadian (memandang negatif terhadap aspek kerjasama
dan menolaknya)
• Kepribadian autocratic yang dominan dari kapten / perwira.
• Karakter bawahan / kru yang lemah dan memandang rendah
diri sendiri.
d. Democratic
Seorang nahkoda yang demokratis akan bertanya kepada perwiranya
terkait pendapat mereka tentang keputusan-keputusan penting. Para
perwira akan menganggap hal tersebut sebagai dorongan positif untuk
dapat berkontribusi memberikan pendapat mereka. Diskusi sangat
diperbolehkan dan pertukaran informasi sangat tinggi. Gaya
kepemimpinan demokratis secara tidak disadari dapat berubah
menjadi laissez-faire sehingga penting bagi nahkoda untuk terlibat
aktif dalam diskusi, mengemukaan pendapat dan menunjukkan
pilihannya secara jelas dan tegas.
Gaya kepemimpinan mana yang paling baik? Jawabannya tergantung
dari situasi. Penting bahwa seluruh kru bekerja sama untuk menciptakan
sinergi. Sinergi didapatkan saat smua kru bekerja bersama sebagai tim,
mendukung satu sama lain melalui komunikasi dan saling berbagi
informasi. Gaya kepemimpinan democratic dapat mendorong tercapainya
sinergi sehingga umumnya menjadi pilihan dalam situasi dan kondisi
operasi kapal yang normal. Namun demikian, di bawah kondisi tertentu
penting untuk beralih dari gaya democratic menjadi gaya lainnya, misalnya
autocratic. Ketika berada pada situasi emergency, seorang pemimpin harus
bertindak tegas dalam memutuskan sesuatu. Dalam kondisi seperti itu,
diskusi tidak efektif untuk dilakukan karena suatu keputusan harus segera
diambil dan sebuah tindakan harus segera dilakukan untuk menghindari
terjadinya hal-hal yang lebih buruk.
Seorang pemimpin yang baik memiliki kemampuan untuk mengubah
gaya kepemimpinan sesuai dengan kondisi sehingga dapat mengambil
manfaat dari sisi positifnya dan menghindari sisi negatifnya.
C. Team Work
Dalam dunia pelayaran, sangat penting untuk bekerja bersama dalam sebuah
tim. Sebuah tim membutuhkan suatu tujuan yang sama dan rencana untuk dapat
meraihnya. Setiap anggota nya memiliki peran yang sudah ditentukan. Mereka
harus dapat bekerja dengan fleksibel dan saling mendukung satu sama lain saat
dibutuhkan. Manfaat dari sebuah tim adalah bekerja bersama akan terasa lebih
lebih mudah untuk bekerja sendiri dari pada bekerja dengan orang lain karena
kemungkinan terjadinya konflik, komunikasi yang buruk, dan cara kerja yang
Dalam berkerja bersama orang lain, kita harus menyadari bahwa pada
dasarnya setiap manusia suka dipuji ketika mereka dapat melakukan sesuatu
dengan baik. Sebuah kata pujian akan menjadi sangat berarti. Oleh sebab itu, tidak
berdekatan satu sama lain setiap harinya. Saling membantu, saling sabar, dan
saling berbagi pengalaman sangat dibutuhkan agar terwujud suatu hubungan yang
harmonis.
Bagan di bawah ini menunjukkan komponen apa saja yang dibutuhkan untuk
Dari gambar di atas, dapat dilihat bahwa untuk dapat mengambil manfaat terbaik dari
sebuah tim, terdapat beberapa aspek yang harus dipenuhi, yakni:
a. Mutual help (memberikan bantuan yang saling menguntungkan)
b. Help each other succeed (membantu kesuksesan orang lain)
c. Share resources (berbagi sumber daya)
d. Reach our goals (mencapai tujuan bersama)
e. Deal with conflict effectively (menghadapi konflik dengan efektif)
f. Share responsibility (berbagi tanggungjawab)
g. Harmonious atmosphere (suasana kerja yang harmonis)
h. Shared workload (berbagi beban kerja)
PERTEMUAN IX
KOMUNIKASI EFEKTIF
kru berkomunikasi baik dengan verbal maupun dengan bahasa tubuh. Hal ini
penting mengingat kondisi kapal yang berisik sehingga sulit bagi penerima pesan
untuk mendengar pesan secara verbal.
➢ Receiver (penerima) merupakan pihak yang menerima pesan. Receiver harus
dapat menginterpretasikan pesan yang mereka terima dengan tepat agar komunikasi
berjalan dengan efektif.
➢ Interference (gangguan) biasanya berasal dari pengaruh lingkungan (dapat
menyebabkan kebisingan, kelelahan atau stress). Gangguan ini dapat menyebabkan
distorsi terhadap pesan asli dan menyebabkan penerimaan dan interpretasi yang
salah.
Menurut Devito (1986), gangguan dapat berupa:
a. Gangguan Fisik. Gangguan ini merupakan gangguan eksternal dan di luar
kontrol pengirim dan penerima pesan. Gangguan ini mempengaruhi proses
pengiriman pesan. Misalnya suara bising di kamar mesin menyebabkan sulit
mendengar apa yang dikatakan kru lain.
b. Gangguan Fisiologis. Gangguan ini dapat terjadi baik pada pengirim atau
penerima pesan. Gangguan ini berkaitan dengan fungsi fisiologis tubuh.
Misalnya gangguan pada telinga menyebabkan seseorang tidak dapat
mendengar dengan baik, kelelahan tubuh menyebabkan sulit berkonsentrasi
mendengarkan perintah dan instruksi.
c. Gangguan Psikologis. Gangguan ini berkaitan dengan kondisi psikologis
seseorang. Misalnya ketika sedang sedih atau marah, seseorang menjadi sulit
untuk mendengarkan atau berkomunikasi dengan orang lain. Prasangka juga
termasuk dalam gangguan psikologis.
d. Gangguan Semantik. Gangguan ini berkaitan dengan bahasa. Kapal yang
mempekerjakan kru dari berbagai Negara (multi-national crew) dapat
mengalami gangguan dapat mengalami gangguan komunikasi apabila kru di
kapal tersebut tidak dibekali dengan kemampuan bahasa inggris yang
memadai.
➢ Feedback (umpan balik) dari penerima sangat penting bagi pengirim untuk
memastikan bahwa pesan telah diterima dan diinterpretasikan sesuai dengan
keinginan si pengirim.
Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi suatu proses komunikasi. Oleh sebab itu, penting bagi pengirim dan
penerima pesan untuk selalu memperhatikan berbagai aspek dalam berkomunikasi
untuk memastikan bahwa suatu pesan dapat diterima dengan baik.
B. Closed-Loop Communication
Berbagai interference atau gangguan yang ada di kapal seringkali menyebabkan
miskomunikasi, ditambah lagi dengan perbedaan latar belakang dan karakter masing-
masing kru. Salah satu strategi untuk menghindari miskomunikasi di atas kapal adalah
dengan menggunakan closed-loop communication. Karakteristik dari closed-loop
communication ini adalah:
1. Perintah atau pesan dikatakan dengan keras dan jelas.
2. Penerima perintah atau pesan mengulangi pesan sama persis dengan aslinya.
3. Pengirim perintah / pesan mengkonfirmasi jika pesan yang diulang adalah benar.
Contoh :
1. Lookout: “Fishing vessel ahead 45 degrees to port!
2. Officer on Watch (OOW): “Fishing vessel ahead 45 degrees to port!”
3. Lookout : “Roger!”
Atau :
1. OOW : “Steady on 203!”
2. Helmsman : “Steady on 203!”
3. OOW : “Thank you!”
Strategi closed-loop communication memiliki beberapa manfaat. Ketika sebuah
perintah atau pesan diucapkan dengan lantang dan jelas, semua orang yang ada
disekitar akan mendengarnya. Hal ini dapat meningkatkan kesadaran setiap orang
terhadap situasi (situation awareness). Sehingga apabila terdapat kesalahan, dapat
segera dibetulkan. Seringkali lebih mudah bagi kita untuk menyadari kesalahan kata-
kata kita apabila kata-kata tersebut kita ucapkan dengan keras atau ketika kita
mendengar respon dari orang lain yang mengulangi kata-kata yang kita ucapkan.
D. Menghadapi Konflik
Situasi yang dapat menyebabkan konflik harus dapat dikenali dan dicari
solusinya bersama pihak-pihak yang terlibat dengan mempertimbangkan prosedur
yang ada di kapal.
Gesekan emosi merupakan hal yang normal terjadi diantara orang-orang yang
bekerja bersama-sama di lingkungan yang terbatas. Di bawah kondisi stress dan
kelelahan, masalah kecil dapat menjadi besar dan dapat mengancam keselamatan.
Beberapa hal dibawah ini dapat menyebabkan terjadinya konflik:
1. Nilai-nilai, kepercayaan dan sikap yang berbeda-beda.
2. Prasangka, stereotype dan asumsi yang salah terhadap orang lain.
3. Kelelahan, stress, beban kerja terlalu banyak, dan tekanan.
4. Perbedaan kepribadian, cara kerja dan kompetisi di tempat kerja.
5. Konflik antara komitmen pribadi dan aturan yang ada.
6. Kegagalan komunikasi karena instruksi yang buruk atau kurang nya
perhatian.
Respon melawan ditandai dengan perilaku agresi dan usaha untuk mendominasi pihak
lain. Orang dapat saling berteriak, saling berkata kasar, saling mengancam atau bahkan
memukul.
Respon menghindar ditandai dengan tindakan pasif, menarik diri. Orang yang
memiliki respon menghindar umumnya akan menunduk, merendahkan suara, dan
melipat lengan. Baik respon melawan atau menghindar, sama-sama menyebabkan
kenaikan denyut jantung, suhu tubuh, dan tekanan darah. Dapat juga menyebabkan
gemetar, pusing, mual atau sakit perut akibat tubuh melepaskan adrenalin ke dalam
aliran darah.
Respon melawan umumnya dapat menyebabkan konflik menjadi semakin besar.
Pihak lain akan melindungi dirinya dengan menjadi agresif atau justru menghindar
dimana kedua hal tersebut tidak dapat menyelesaikan konflik yang ada. Respon
menghindar tidak akan menghilangkan masalah, karena kemarahan akan menumpuk
dalam diri seseorang yang pada suatu titik akan dapat meledak.
Menemukan cara yang tenang dan rasional dalam menghadapi konflik sangatlah
penting untuk dilakukan. Ketika dalam kondisi marah, seseorang disarankan untuk
bernafas dengan pelan dan dalam, menghitung dalam hati satu sampai dengan sepuluh,
sebelum memberikan respon. Ambil waktu untuk mendengarkan maksud pihak lain
dan nyatakan maksud kita dengan tenang.
2. Aggressive Communication
Kebalikan dari passive communication, individu yang memiliki pola perilaku
aggressive dalam berkomunikasi seringkali mengekspresikan perasaan dan
pendapatnya dengan melukai orang lain, baik secara verbal maupun fisik. Pola
perilaku ini biasanya berhubungan dengan rendahnya “self-esteem”, luka emosional
yang belum sembuh, dan perasaan tidak berdaya. Orang dengan aggressive
communication seringkali berperilaku:
a. Berusaha mendominasi orang lain.
b. Mengkritik, menyalahkan atau menyerang orang lain.
c. Tidak dapat mengendalikan diri.
d. Memiliki batas toleransi yang rendah.
e. Berbicara dengan suara yang keras.
f. Bersikap mengancam dan kasar.
g. Tidak mau mendengarkan.
h. Suka menginterupsi.
i. Selalu menyalahkan orang lain.
3. Passive-aggressive Communication
Individu yang memiliki pola komunikasi ini biasanya terlihat pasif di luar, namun
memendam kemarahan di dalam. Individu ini secara diam-diam melakukan
perlawanan terhadap sistem, padahal dari luar terlihat kooperatif. Individu seperti ini
seringkali:
a. Mengeluh sendiri, tidak langsung menyampaikan keberatannya kepada orang
lain.
b. Kesulitan untuk mengakui kemarahannya.
c. Menunjukkan ekspresi wajah yang tidak sesuai dengan apa yang dirasakan.
Misalnya: tersenyum ketika marah.
d. Sarkastik.
e. Tidak mengakui adanya masalah.
f. Terlihat kooperatif padahal melakukan tindakan untuk mengganggu.
4. Assertive Communication
Individu yang assertive dapat menyatakan pendapat dan perasaannya dengan jelas
tanpa menyakiti orang lain. Individu ini memiliki “self-esteem” yang tinggi. Mereka
dapat menghargai diri sendiri dan diri orang lain.
Individu yang assertive akan:
Kepemimpinan, etos kerja dan Kerjasama Tim
“AKADEMI MARITIM CIREBON” 2020
29
Dr. Fereddy Siagian, M.Th.,M.M.
PERTEMUAN X-XI
KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA
Kapal merupakan sebuah lingkungan kerja yang unik dimana berbagai individu
bekerja bersama dan hidup bersama dalam sebuah lingkungan yang sempit dengan segala
keterbatasan yang harus dihadapi sehari-hari. Setiap kru yang bekerja di kapal memiliki
karakteristik yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh latar belakang budaya individu
yang bersangkutan.
Budaya dapat mempengaruhi bagaimana seseorang berinteraksi dan melakukan
kegiatan sehari-hari. Biasanya seorang individu tidak menyadari sepenuhnya bahwa latar
belakang budaya yang dimilikinya sangat bepengaruh terhadap bagaimana dia bersikap dan
berperilaku. Perbedaan baru akan terasa ketika individu tersebut melakukan kontak
dengan individu lain dengan latar belakang budaya yang berbeda. Pada saat itu, barulah
terasa apabila pola sikap dan perilaku yang dimilikinya tidaklah sama dengan yang dimiliki
orang lain.
Lingkungan kerja di kapal yang sempit dan memiliki banyak keterbatasan dapat
menimbulkan konflik bagi seorang individu ketika dirinya harus menghadapi individu lain
yang memiliki budaya yang berbeda dengan yang dimilikinya. Hal ini lebih terasa bagi
pelaut yang bekerja di ocean going vessel yang mempekerjakan kru yang berasal dari
berbagai negara.
Sartosa mengatakan bahwa komunikasi antar budaya adalah proses negosiasi atau
pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi
mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok.
Selanjutnya komunikasi antar budaya dapat dilakukan dengan negosiasi untuk
melibatkan manusia di dalam pertemuan antar budaya yang membahas satu tema
(penyampaian tema melalui simbol) yang sedang dipertentangkan. Simbol tidak
sendirinya mempunyai makna tetapi dia dapat berarti ke dalam satu konteks dan
makna-makna itu dinegosiasikan. Melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung
dari persetujuan antar subjek yang terlibat dalam komunikasi, sebuah keputusan dibuat
untuk berpartisipasi dalam proses pemberian makna yang sama.
Ringkasnya, komunikasi antar budaya menjelaskan interaksi antar individu dan
kelompok yang memiliki persepsi yang berbeda dalam perilaku komunikasi dan
perbedaan dalam interpretasi.
Untuk mencapai komunikasi antar budaya yang efektif, individu dapat
mengembangkan kompetensi antar budaya, yakni keterampilan yang dibutuhkan untuk
mencapai komunikasi antar budaya yang efektif. Jandt (1998, 2004)
mengidentifikasikan empat keterampilan sebagai bagian dari kompetensi antar budaya,
yaitu personality strength, communication skills, psychological adjustment and
cultural awareness.
B. Cultural Awareness
Cultural awareness merupakan dasar komunikasi dan melibatkan kemampuan
individu untuk menilai diri sendiri dan peka terhadap nilai budaya, kepercayaan dan
persepsi diri sendiri. Bagaimana kita melihat dunia? Mengapa kita melihat dunia
seperti kita melihatnya sekarang ini? Mengapa kita bereaksi dengan pola perilaku
tertentu? Cultural awareness menjadi penting ketika kita harus berinteraksi dengan
orang-orang yang memiliki budaya yang berbeda. Orang melihat, menginterpretasi
dan mengevaluasi sesuatu dengan cara yang berbeda. Apa yang dianggap baik dalam
suatu budaya belum tentu dianggap baik dalam budaya lainnya. Orang-orang suku
jawa menganggap bahwa alon-alon waton klakon. Artinya ketika melakukan sesuatu
lebih baik pelan-pelan asalkan bisa selesai dengan baik dan sempurna. Bagi orang
yang berasal dari budaya lain, mungkin menganggap pekerjaan orang jawa seperti itu
cenderung lambat dan kurang cekatan. Selain itu, dalam hal komunikasi budaya jawa
juga ada istilah ewuh pakewuh. Ketika mau menyampaikan sesuatu dengan terus
terang merasa tidak enak hati, sehingga umumnya orang jawa berputar-putar dulu
dalam menjelaskan sesuatu sebelum menuju ke pokok masalah. Bagi orang Batak
yang terbiasa to the point dalam berkomunikasi, terkadang hal ini membuat mereka
tidak sabar. Demikian juga sebaliknya, gaya bicara orang batak yang ceplas ceplos
dapat membuat orang jawa sakit hati. Contoh lain adalah orang Italia menganggap
orang amerika sebagai orang yang selalu bekerja, bicara bisnis dalam waktu makan
siang, bahkan minum kopi sambil berjalan. Sedangkan orang Italia umumnya
meminum kopi di bar atau di café dengan rileks. Apakah hal itu berarti orang Italia
pemalas dan orang amerika hiperaktif? Tentu saja tidak. Hal tersebut berarti bahwa
orang dapat memberikan makna yang berbeda terhadap suatu kegiatan yang sama,
misalnya terkait makan. Di Italia, dimana persaudaraan dan pertemanan dianggap
sebagai sesuatu yang sangat berharga, waktu makan siang, makan malam atau coffee
break memiliki konotasi sosial dimana orang-orang saling berkumpul untuk berbicara
dengan rileks. Sedangkan di Amerika waktu dianggap sebagai uang, sehingga saat
makan siang seringkali digunakan untuk membicarakan bisnis atau kontrak.
Kesalahan interpretasi dapat terjadi ketika kita tidak memiliki awareness
(kepekaan) terhadap pola perilaku kita sendiri dan menggunakannya untuk menilai
pola perilaku orang lain. Ketika tidak memiliki pengetahuan yang cukup, kita
cenderung berasumsi, bukan menilai secara obyektif makna dari suatu perilaku. Peka
terhadap dinamika budaya sendiri merupakan hal yang tidak mudah karena budaya
termasuk hal yang tidak kita sadari. Sejak lahir, kita belajar melihat dan melakukan
banyak hal. Pengalaman kita, nilai-nilai kita, dan latar belakang budaya membuat kita
melihat dan melakukan sesuatu dengan cara tertentu. Terkadang kita perlu untuk
“keluar” dari batasan budaya agar dapat menyadari dampak budaya terhadap perilaku
kita. Akan sangat baik apabila kita bertanya atau meminta feedback dari teman-teman
yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda dengan kita.
Meningkatkan cultural awareness berarti melihat baik sisi positif maupun sisi
negatif perbedaan budaya. Keragaman budaya dapat menjadi sumber masalah
terutama apabila organisasi membutuhkan personil untuk berpikir dan bertindak
dengan cara yang sama. Keragaman menigkatkan level kompleksitas dan kebingungan
dan membuat sulit mencapai persetujuan. Di sisi lain, keragaman budaya dapat
memberikan manfaat ketika organisasi ingin mengembangkan solusi dan ingin
menggunakan pendekatan yagn berbeda untuk memecahkan masalah. Keragaman
dalam hal ini dapat menciptakan berbagai masukan dan keterampilan baru.
Orang-orang yang memiliki cultural awareness menyadari bahwa:
PERTEMUAN XII-XIII
PENGAMBILAN KEPUTUSAN
C. Jenis-jenis Keputusan
1. Keputusan Terprogram dan Tidak Terprogram
a. Keputusan Terprogram
Keputusan terprogram merupakan keputusan rutin dan berulang dan dibuat di
dalam kerangka aturan dan kebijakan organisasi. Kebijakan dan aturan ini
diterapkan dengan baik untuk menyelesaikan masalah di dalam organisasi.
Keputusan terprogram memiliki dampak jangka pendek. Umumnya diambil
pada tingkat manajemen yang lebih rendah.
b. Keputusan Tidak Terprogram
Keputusan yang tidak terprogram merupakan keputusan yang diambil untuk
menyelesaikan masalah yang tidak umum atau unik dimana alternatif tidak
dapat diputuskan segera. Keputusan ini memiliki kepentingan yang tinggi dan
memiliki konsekuensi jangka panjang. Umumnya keputusan ini dibuat oleh top
manajemen.
2. Keputusan Strategis dan Taktis
a. Keputusan Strategis
Keputusan strategis merupakan keputusan yang sangat penting. Keputusan
strategis berkaitan dengan alokasi sumber daya dan kontribusi terhadap
pencapaian tujuan organisasi
b. Keputusan Taktis
Keputusan taktis merupakan keputusan yang rutin dan berulang. Keputusan ini
diturunkan dari keputusan strategis. Karakteristik keputusan taktis adalah
sebagai berikut:
• Berhubungan dengan operasi sehari-hari organisasi dan harus diambil
secara berkala.
• Biasanya sudah terprogram atau terencana.
• Outcome nya memiliki dampak jangka pendek dan hanya
mempengaruhi sebagian kecil organisasi.
• Wewenang untuk mengambil keputusan taktis dapat di delegasikan
pada manajer dengan tingkat lebih rendah.
Pemilihan
Hasil Tindakan
alternatif
PERTEMUAN XIV
PROGRAM PELATIHAN
A. Tujuan Pelatihan
Tujuan pelatihan di atas kapal adalah untuk memperbaiki efektifitas kerja kru
dalam mencapai hasil hasil kerja yang telah ditetapkan. Perbaikan efektivitas kerja
dapat dilakukan dengan cara memperbaiki pengetahuan kru, ketrampilan kru maupun
sikap kru itu sendiri terhadap tugas-tugasnya.
Alasan utama bagi perusahaan untuk melaksanakan pelatihan adalah
memastikan perusahaan mendapatkan imbalan yang terbaik dari modal yang ditanam
pada sumber yang paling penting (dan seringkali yang paling mahal): yaitu sumber
daya manusianya. Dengan memperhitungkan efek ini, maka tujuan dari setiap
pelatihan adalah meraih perubahan dalam pengetahuan, pengalaman, tingkah laku,
atau sikap yang akan meningkatkan keefektifan kru dalam bekerja.
Secara khusus pelatihan akan digunakan untuk :
✓ mengembangkan keahlian dan kemampuan individu untuk memperbaiki
kinerja
✓ membiasakan kru dengan sistem, prosedur dan metode bekerja yang baru
✓ membantu kru dan pendatang baru menjadi terbiasa dengan persyaratan
pekerjaan tertentu dan persyaratan organisasi
Kru yang kurang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup tentang
bidang kerjanya (terutama kru baru) akan bekerja dengan tersendat sendat. Hal ini
tentunya tidak diinginkan oleh perusahaan karena pekerjaan di kapal banyak berkaitan
dengan keselamatan serta memiliki modal yang besar. Pemborosan tenaga, waktu,
pikiran serta perilaku tidak aman dapat diperbuat oleh orang yang belum memiliki
pengetahuan dan keterampilan yang memedai untuk mengerjakan suatu tugas tertentu.
Oleh sebab itu, pengetahuan dan keterampilan kru harus diperbaiki dan
dikembangkan agar mereka tidak berbuat sesuatu yang merugikan usaha pencapaian
tujuan dengan sukses.
Perlu diingat bahwa pengetahuan dan ketrampilan saja belumlah cukup untuk
menjamin suksesnya pencapaian tujuan. Sikap kru terhadap pelaksanaan tugas, juga
merupakan faktor kunci dalam mencapai sukses. Oleh karena itu pengembangan sikap
juga harus diusahakan dalam program pelatihan. Hal ini terutama penting dalam hal
keselamatan. Seorang kru mungkin saja mengetahui dan mampu melaksanakan suatu
prosedur keselamatan. Namun apakah dia bersedia menjalankan prosedur tersebut?
Hal seperti itulah yang perlu dipupuk agar setiap kru selain memiliki pengetahuan dan
keterampilan, juga memiliki sikap yang bertanggungjawab terhadap aturan dan
keselamatan.
C. Prinsip-prinsip pembelajaran
Seorang pemimpin yang bertanggungjawab tehadap pengelolaan dan pelatihan
personil di atas kapal harus mengetahui dan memahami prinsip-prinsip pembelajaran
agar dapat merancang suatu program pelatihan yang efektif.
1. Perhatian dan Motivasi
Perhatian mempunyai peranan yang penting dalam kegiatan belajar. Dari
kajian teori belajar pengolahan informasi terungkap bahwa tanpa adanya
perhatian tidak mungkin terjadi belajar. Perhatian terhadap pelatihan akan
timbul pada peserta apabila bahan pelatihan sesuai dengan kebutuhannya. Di
samping perhatian, motivasi mempunyai peranan penting dalam kegiatan
belajar. Motivasi adalah tenaga yang menggerakkan dan mengarahkan aktivitas
seseorang. Motivasi mempunyai kaitan yang erat dengan minat. Adanya
tidaknya motivasi dalam diri peserta dapat diamati dari observasi tingkah
lakunya.
2. Keaktifan
Menurut teori kognitif, belajar menunjukkan adanya jiwa yang aktif, jiwa
mengolah informasi yang kita terima, tidak hanya menyimpan saja tanpa
mengadakan transformasi. Semakin seseorang aktif terlibat dalam proses
belajar atau pelatihan, maka materi yang disampaikan akan lebih mudah
diterima.
3. Keterlibatan Langsung/Pengalaman
Belajar haruslah dilakukan sendiri oleh individu, belajar adalah
mengalami dan tidak bisa dilimpahkan pada orang lain. Edgar Dale dalam
penggolongan pengalaman belajar mengemukakan bahwa belajar yang paling
baik adalah belajar melalui pengalaman langsung. Dalam belajar melalui
pengalaman langsung seseorang tidak hanya mengamati, tetapi ia harus
menghayati, terlibat langsung dalam perbuatan dan bertanggung jawab
terhadap hasilnya. Pentingnya keterlibatan langsung dalam belajar
dikemukakan oleh John Dewey dengan "learning by doing"-nya. Belajar
sebaiknya dialami melalui perbuatan langsung dan harus dilakukan oleh
seorang individu secara aktif. Hal ini ada kaitannya dengan pendapat yang
dikemukakan oleh seorang filsuf Cina Confucius, bahwa:
apa yang saya dengar, saya lupa; apa yang saya lihat, saya ingat; dan
apa yang saya lakukan saya paham
Kepemimpinan, etos kerja dan Kerjasama Tim
“AKADEMI MARITIM CIREBON” 2020
42
Dr. Fereddy Siagian, M.Th.,M.M.
4. Pengulangan
Thordike hukum "law of exercise"-nya yang menyatakan bahwa belajar
memerlukan adanya latihan-latihan. Hubungan stimulus dan respon akan
bertambah erat jika sering dipakai dan akan berkurang bahkan lenyap jika tidak
pernah digunakan. Artinya dalam kegiatan belajar diperlukan adanya latihan-
latihan dan pembiasaan agar apa yang dipelajari dapat diingat lebih lama.
Semakin sering berlatih maka akan semakin paham.
5. Tantangan
Teori medan (Field Theory) dari Kurt Lewin mengemukakan bahwa
individu ketika belajar berada dalam suatu medan. Dalam situasi belajar
seseorang menghadapi suatu tujuan yang ingin dicapai, tetapi selalu terdapat
hambatan dalam mempelajari bahan belajar, maka timbullah motif untuk
mengatasi hambatan itu dengan mempelajari bahan belajar tersebut. Apabila
hambatan itu telah diatasi, artinya tujuan belajar telah tercapai, maka ia akan
masuk dalam medan baru dan tujuan baru, demikian seterusnya. Menurut teori
ini belajar adalah berusaha mengatasi hambatan-hambatan untuk mencapai
tujuan.
6. Feedback dan Penguatan
Prinsip belajar yang berkaitan dengan feedback dan penguatan adalah teori
belajar operant conditioning dari B.F. Skinner. Kunci dari teori ini adalah
hubungan stimulus dan respon akan bertambah erat, jika disertai perasaan
senang atau puas dan sebaliknya bisa lenyap jika disertai perasaan tidak
senang. Artinya jika suatu perbuatan itu menimbulkan efek baik, maka
perbuatan itu cenderung diulangi. Sebaliknya jika perbuatan itu menimbulkan
efek negatif, maka cenderung untuk ditinggalkan atau tidak diulangi lagi.
7. Perbedaan Individual
Manusia merupakan makhluk individu yang unik yang mana masing-
masing mempunyai perbedaan yang khas, seperti perbedaan intelegensi, minat
bakat, hobi, tingkah laku maupun sikap, mereka berbeda pula dalam hal latar
belakang kebudayaan, sosial, dan ekonomi. Perlu disadari bahwa hasil suatu
pelatihan dapat berbeda pada masing-masing peserta. Oleh sebab itu pimpinan
harus melakukan supervisi terhadap perkembangan kemampuan dan
keterampilan anak buahnya.
PERTEMUAN XV
kru yang berkualitas dan berpengalaman. Fasilitas pendidikan dan pelatihan maritim
tidak selalu tersedia sebagaimana pendidikan umum lainnya sehingga orang-orang
kapal mungkin harus bepergian jauh untuk mengikuti kursus untuk meningkatkan
kompetensi yang dimiliki.
Kapal beroperasi selama 24 jam setiap hari dan awak kapalnya disusun dengan
sistem pergantian (shift) jaga. Mereka harus diatur untuk mengoperasikan kapal
dengan efektif dan aman, terutama dalam hal:
• Jaga laut dan jaga pelabuhan
• Penanganan muatan
• Perawatan kapal dan perlengkapannya
• Tugas-tugas pada saat tiba dan berangkat serta tugas-tugas pada saat
berlabuh.
• Tugas-tugas terkait keselamatan seperti : fire fighting, penyelamatan diri.
C. Prinsip-prinsip Manajemen
Prinsip-prinsip dalam manajemen bersifat lentur dalam arti bahwa perlu
dipertimbangkan sesuai dengan kondisi-kondisi khusus dan situasi-situasi yang
berubah. Menurut Henry Fayol, seorang pencetus teori manajemen yang berasal dari
Perancis, prinsip-prinsip umum manajemen ini terdiri dari:
1. Pembagian kerja (division of work)
Kepemimpinan, etos kerja dan Kerjasama Tim
“AKADEMI MARITIM CIREBON” 2020
46
Dr. Fereddy Siagian, M.Th.,M.M.
di negara lain hal itu merupakan hal yang biasa. Hal-hal seperti ini dapat
menyebabkan kesalahpahaman dan konflik antar budaya apabila tidak diatasi
dengan baik.
2. Budaya Profesi
Budaya profesi berkaitan dengan atribut suatu pekerjaan dan mencakup
berbagai faktor seperti: tradisi, proses pelatihan, resiko pekerjaan, wewenang
dan tanggungjawab serta karakteristik pekerja yang terlibat di dalamnya.
Dalam dunia pelayaran, kru kapal tidak hanya bekerja namun juga hidup di
atas kapal dalam jangka waktu yang cukup lama. Hal ini mengakibatkan
kurangnya kontak sosial dengan keluarga, teman dan menciptakan lingkungan
organisasi yang terpencil. Terdapat pekerjaan harian yang terjadwal dengan
ketat beserta peraturan dari otoritas yang lebih tinggi. Hal tersebut tentunya
memiliki dampak terhadap kondisi kerja di kapal.
3. Budaya Organisasi
Budaya organisasi ditemukan dapat mempengaruhi sikap dan perilaku
seseorang terhadap pekerjaan. Sama dengan budaya nasional, di dalam sebuah
organisasi juga dapat berkembang berbagai norma, nilai, dan kepercayaan yang
tercermin dalam strategi dan sikap manajemen terkait aspek-aspek seperti
komunikasi, kerjasama tim, dan pelatihan. Beberapa kecelakaan dapat secara
tidak langsung dapat diakibatkan oleh kebijakan dan keputusan organisasi yang
dapat mengarah pada human error misalnya kurangnya kesadaran dan
kepekaan terhadap situasi, tingkat kelelahan yang tinggi, beban pekerjaan yang
berlebihan, dsb.
4. Budaya Keselamatan
Keselamatan (safety) tidak mudah untuk didefinisikan karena memiliki
banyak dimensi. Banyak yang menghubungkan budaya keselamatan dengan
rendahnya tingkat kecelakaan. Memang benar bahwa organisasi dengan budaya
keselamatan yang baik umumnya memiliki tingkat kecelakaan yang rendah,
namun kebalikannya belum tentu selalu begitu. Organisasi yang memiliki
budaya keselamatan yang kurang baik mungkin saja beruntung dan memiliki
tingkat kecelakaan yang rendah. Dalam konteks ini, budaya keselamatan
berkaitan dengan sejauh mana orang-orang dan kelompok dalam suatu
organisasi berusaha untuk meningkatkan dan mengkomunikasikan keselamatan
Budaya Organisasi
Budaya Keselamatan
`
Gambar : Diagram Hubungan Antara Budaya Nasional dan Budaya Profesi
dalam Mempengaruhi Budaya Organisasi dan Budaya Keselamatan
Perbaikan
berkelanjutan
Generative
(keselamatan adalah yang
utama)
Budaya Proactive
keselamatan (mengatasi masalah yang
masih ditemukan)
Bureaucratic
(memiliki sistem untuk
menghadapi kecelakaan) Meningkatkan feedback
Reactive dan kepercayaan
(Bertindak saat ada
Memiliki potensi
kecelakaan)
bahaya
Pathological
(Tidak ingin tahu)
Seperti yang dapat dilihat pada gambar 17 di atas, sebuah organisasi dapat
mengalami serangkaian evolusi terkait cara merespon budaya keselamatan, dimulai dari
pathological menjadi generative. Sebuah organisasi dapat bergerak dari system yang tidak
aman menjadi system yang aman dan hanya apabila telah mencapai level tertentu maka
organisasi tersebut dapat dikatakan telah menghandle keselamatan dengan serius untuk
meraih budaya keselamatan.
Organisasi yang pathological adalah organisasi yang tidak aman. Terdapat
kecenderungan untuk saling menyalahkan ketika terjadi kesalahan atau kecelakaan.
Jelasnya, organisasi ini tidak memperhatikan keselamatan sama sekali. Organisasi yang
reactive mulai memikirkan keselamatan sebagai isu penting. Hal ini seringkali didorong
oleh faktor eksternal dan internal, mungkin karena insiden dan kecelakaan yang seringkali
terjadi. Pada organisasi bureaucratic, faktor resiko dan keselamatan direview setelah
terjadinya kecelakaan. Pada tahap ini, tekhnik analisa kuantitative digunakan untuk menilai
keselamatan dan mengukur efektifitasnya. Meskipun demikian, keselamatan masih
dianggap sebagai “tambahan”. Organisasi proactive memiliki pendekatan yang lebih
proaktif terhadap keselamatan. Misalnya dengan mengadakan pelatihan manajemen sistem
keselamatan. Kelemahan organisasi ini adalah kurang mampu belajar dari bukti kongrit
yang dikumpulkan setelah terjadinya kecelakaan. Pada akhirnya, organisasi generative
secara penuh mengintegrasi perilaku yang aman ke dalam seluruh kegiatan organisasi.
Mereka juga menggunakan informasi, observasi dan ide-ide baru untuk dimasukkan ke
dalam sistem. Salah satu perbedaan penting antara level akhir dengan level sebelumnya
adalah pada level akhir ini faktor manusia dianggap mencakup individu dan juga
organisasi.
Mashall (2006, dalam Grech, 2008) menyatakan bahwa tantangan untuk berpindah
dari level pathological menjadi generative melibatkan komitmen yang kuat dari
manajemen organisasi. Mereka tidak cukup hanya menerima namun juga menunjukkan
komitmen mereka melalui dukungan aktif terhadap sistem manajemen keselamatan. Begitu
suatu organisasi dapat mencapai tahap generative, organisasi tersebut akan menghadapi
banyak tantangan untuk tetap berada pada level tersebut.
DAFTAR PUSTAKA