Anda di halaman 1dari 18

HUKUM DAN ETIKA BISNIS

“PASAL 7, 7A DAN 7B UUD 1945”


Dibuat Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Hukum Dan Etika Bisnis (Nomor 5)

Disusun Oleh :

Nama : Eka Puji Sri Rahayu

NIM : 2162201018

Jurusan : Akuntansi

Dosen : Drs. H. Sutisna Djaharudin M.M

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
TANGGERANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
serta hidayah kepada kita semua, sehingga berkat karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan
makalah ”Pasal 7, 7A dan 7B UUD 1945”.
Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk
menyelesaikan tugas mata kuliah Hukum dan Etika Bisnis di Universitas Muhammadiyah
Tangerang. Dalam penulisan makalah ini, penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih
kepada semua  pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tugas makalah ini sehingga
dapat selesai tepat waktu. Penulis menyadari bahwa keterbatasan pengetahuan dan
pemahaman dalam membuat makalah ini belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi kesempuranaan
makalah ini.
Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri maupun
kepada pembaca umumnya. Setidaknya untuk sekedar membuka cakrawala berpikir kita
tentang pengetahuan Hukum dan Ekonomi Bisnis. Penulis juga berharap makalah ini
bermanfaat dan memberikan kesan positif terhadap pembaca.

Tanggerang, 30 September 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................ii
BAB I :  PENDAHULUAN.......................................................................1
1.1 Latar Belakang............................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan.........................................................................2
BAB II : PEMBAHASAN..........................................................................3
2.1 Bahas dan bandingkan ketentuan pasal 7 ini dengan
aturan sebelum amandemen...............................................................3
2.2 Mengapa Presiden dan atau Wakil presiden dapat diberhentikan
dan bagaimana proses pemberhentiannya…......................................5
2.3 Bandingkan dengan cara pemberhentian Presiden sebelum
Diamandemen………………………………………………………11
BAB III:  PENUTUP..................................................................................12
3.1 Kesimpulan..................................................................................12
3.2 Saran............................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................14

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden (WaPres) Republik Indonesia diatur
dalam Pasal 7 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Tercatat, ada perubahan masa jabatan
sebelum dan setelah amandemen.
Dalam perjalanannya, aturan masa jabatan Presiden dan Wapres mengalami beberapa
perubahan. Pada aturan awal, masa jabatan dibatasi selama 5 tahun pada setiap periode dan
dapat dipilih kembali.
Pada tahun 1963, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mengeluarkan
ketetapan Nomor III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia
Bung Karno Menjadi Presiden Seumur Hidup. Ini menjadi aturan dalam sejarah
kepemimpinan masa Orde Lama.

Dalam ketetapan tersebut, tertulis bahwa pribadi Bung Karno memenuhi syarat-syarat sebagai
presiden baik ditinjau dari segi revolusi, konstitusi 1945, maupun agama Islam. MPRS menilai, Bung
Karno merupakan perwujudan perpaduan pimpinan revolusi dan pimpinan negara. Selain itu, Bung
Karno disebut sebagai pemersatu dari seluruh kekuatan rakyat revolusioner.

Setelah masa Orde Lama berakhir, aturan masa jabatan Presiden dan WaPres kembali
pada amanat pasal 7 UUD 1945. Namun, pasal tersebut tidak membatasi berapa lama
presiden bisa menjabat. Presiden bisa menjabat lebih dari dua periode.

Berikut bunyi pasal 7 UUD 1945 sebelum amandemen dikutip dari situs resmi DPR RI:

"Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan
sesudahnya dapat dipilih kembali."

Pasal tersebut menjadi salah satu penyebab kekuasaan Soeharto langgeng sampai 32
tahun. Begitu masuk masa Reformasi, terjadi perombakan beberapa aturan.

Pada tahun 1999, MPR melakukan perubahan terhadap pasal 7 UUD 1945. Sejak
masa Reformasi hingga saat ini, pemerintah telah melakukan empat kali amandemen terhadap
UUD 1945.

1
1.2  Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dalam makalah ini akan dibahas beberapa
rumusan masalah, yaitu:
1. Bahas dan bandingkan ketentuan pasal 7 ini dengan aturan sebelum diamandemen.
2. Mengapa Presiden dan atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dan bagaimana proses
pemberhentiannya?
3. Bandingkan dengan cara pemberhentian Presiden sebelum diamandemen.

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.


1. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan pengaturan pembatasan masa jabatan
Presiden dan Wakil Presiden dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 .
2. Untuk mengetahui bagaimana urgensi dan pentingnya pengaturan pembatasan masa
jabatan Presiden dan Wakil Presiden dalam UndangUndang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Bahas dan bandingkan ketentuan pasal 7 ini dengan aturan sebelum amandemen
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 adalah konstitusi Negara Indonesia yang
disahkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
Sebelum diamandemen : “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya
selama masa lima tahun dan sebelumnya dapat dipilih kembali”.
Setelah diamandemen : “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan
selama lima tahun dan sebelumnya dapat dipiih kembali dalam jabatan yang sama, hanya
untuk satu kali masa jabatan”.
Pasal 7A :
“Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”.

Pasal 7B :

(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu
mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden.

(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai

Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan
Dewan Perwakilan Rakyat.

3
(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya
dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan
Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-
kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya
terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari
setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.

(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk
meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat.

(6) Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan


usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis
Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.

(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang
dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-
kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden
diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis
Permusyawaratan Rakyat.

4
2.2 Mengapa Presiden dan atau Wakil presiden dapat diberhentikan
dan bagaimana proses pemberhentiannya

Proses Negara Republik Indonesia menuju negara dengan kematangan berdemokrasi


dan berdasakan hukum dapat terekam melalui upaya perubahan ketiga (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan melakukan penambahan Pasal 7A,
Pasal 7B, Pasal 7C, dan Pasal 8. Upaya perubahan ketiga (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dengan melakukan penambahan Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal
7C, dan Pasal 8. Upaya tersebut dimaksudkan agar proses “Pemberhentian” dan “Pergantian”
Presiden dan/atau Wakil Presiden memiliki dasar hukum yang jelas dan tidak bersifat multi
tafsir. Hal tersebut berkaitan pula dengan upaya dalam menjamin kepastian hukum seorang
Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Kata “Pemberhentian”, “Pemakzulan”, dan “Impeacment” selalu dimaknai sama. Hal


tersebut telah banyak dijelaskan oleh para akademisi-akademis bahwa ketiga kata tersebut
memiliki arti “Pemaknaan” yang berbeda satu dengan lainnya. Kesalahan penafsiran
mengenai peristilahan-peristilahan tersebut sering ditemui.

Pertama kata “Pemberhentian” merupakan kata resmi yang dipergunakan dalam


ketentuan UUD NRI Tahun 1945. Dilihat dari sudut bentuk kata “Pemberhentian” berasal
dari kata “berhenti” yang mendapat beberapa imbuhan (affic), secara sekaligus (simulfix)
berupa awalan (prefix): “pe” dan “pem”, serta akhirnya “sufix an” yang berarti upaya
seseorang yang memerintahkan untuk tidak melakukan sesuatu kepada orang lain. Sedangkan
apabila dimaknai “berhenti” dapat bersifat timbul dari dalam diri pribadi “otonom” atau
timbul karena paksaan dari luar diri pribadi “otonom”. Setidak-tidaknya terdapat sekitar
delapan (8) pengguna kata “berhenti” khusus terhadap jabatan Presiden dan/atau Wakil
Presiden dan secara umum terdapat tigabelas (13) pengguna kata “berhenti” dalam UUD NRI
Tahun 1945. Hal tersebut didasarkan pada perubahan ketiga-keempat (3-4) UUD NRI Tahun
1945 pada tanggal 09 November 2001- 10 Agustus 2002 menambahkan dalam Bab II Majelis
Permusyawaratan Rakyat Pasal 3 ayat (3), Bab III Kekuasaan Pemerintah Negara Pasal
7A,7B,dan 7C, serta merubah dan menambahkan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2).

Proses “Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya” di


Republik Indonesia menghadirkan mekanisme ikut sertanya Mahkamah Konstitusi dalam
memeriksa, mengadili, memutus pendapat (Impeachment) Dewan Perwakilan Rakyat (atas

5
dasar dukungan sekurangkurangnya 2/3 jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang
hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah
anggotan Dewan Perwakilan Rakyat) bahwa “Presiden dan/atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hokum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidanaya berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden”.

Kendati hal tersebut kemudian menjadi pertentangan sistem penegakan hukum pidana
di sisi lain dan penegakan hukum konstitusi di sisi lainnya. Hal tersebut dapat terlihat apabila
Presiden dan/atau Wakil Presiden kemudian diadili pada saat yang bersamaan oleh dua (2)
badan peradilan yaitu Peradilan Pidana seperti Peradilan TindakPidana Korupsi untuk
memerika, memutus, dan mengadili dugaan tindak pidana korupsi maupun dalam ranah
Peradilan Konstitusi yaitu Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, memutus, mengadili
dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden atas tindakan
melakukan perbuatan pidana dan/atau tidak memenuhi lagi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden.

Para ahli hukum kemudian bertanya-tanya mengenai bagaimanakah status seseorang


yang tengah diadili oleh dua (2) peradilan yang berbeda tapi memiliki pokok perkara yang
sama apakah tidak bertentangan dengan asas nebis in idem. Penulisan ini lebih mendasarkan
kepada ketentuan UUD NRI Tahun 1945 Bab IX Kekuasaan Kehakiman Pasal 24, Pasal 24A,
Pasal 24B, Pasal 24C dan Pasal 25 kendati secara implisit menegaskan lingkungan Peradilan
Tindak Pidana Korupsi dan Mahkamah Konstitusi itu berbeda karena telah dipisahkan dalam
konsep pemisah kekuasaan “separation of power” maka hal tersebut telah nyata berbeda
maksud dan tujuan masing-masing, Peradilan Tindak Pidana Korupsi memiliki tujuan
mengawal pemerintah yang sehat “good governance” tanpa korupsi, kolusi, dan nepotisme
dengan mengadili dan menjatuhkan hukuman pidana. Sedangkan Mahkamah Konstitusi
memiliki tujuan mengawal konstitusi yang sehat tanpa adanya pelanggaran terhadap
konstitusi “the guardian of the constitutions”

Dampak Proses Hukum Terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden . Kedua, kata
“Pemakzulan” merupakan kata yang sering didengar di kalangan akademisi akan tetapi
awam bagi kalangan masyarakat luas. Menurut Hamdan Zoelva ditegaskan bahwa pada saat
terjadi perubahan UUD NRI Tahun 1945 pada tahun 1999-2002 (empat kali perubahan)

6
sebagian kalangan mengusulkan penggunaan kata “Pemakzulan” dalam Pasal 7A dan 7B.
Akan tetapi hal tersebut ditolak dengan alasan istilah tersebut belum familiar dipergunakan
baik di dalam wacana akademik maupun sebagai istilah hukum pada umumnya.6 Hal tersebut
dapat juga berdampak (inkonsistensi penggunaan bahasa hukum perundang-undangan) pada
perlunya perubahan ketentuan-ketentuan yang terkait penggunaan kata “Berhenti” seperti
Bab II Majelis Permusyawaratan Rakyat Pasal 3 ayat (3), Bab III Kekuasaan Pemerintahan
Negara Pasal 7A, 7B, Pasal 8 ayat (1) dan ayat (3), Bab V Kementerian Negara Pasal 17 ayat
(2), Bab VII Dewan Perwakilan Derah Pasal 22B ayat, Bab VIIA Dewan Perwakilan Daerah
Pasal 22D ayat (4), Bab IX Kekuasaan Kehakiman Pasal 24B ayat (3), Pasal 24C ayat (6).

Peristiwa “Pemakzulan” lebih diterima oleh kalangan akademis karena lebih


mewakili arti sebenarnya dibandingkan dengan istilah pemakzulan. Hal tersebut dinyatakan
oleh Hamdan Zoelva bahwa: Istilah pemakzulan sebagai istilah hukum dan akademik lebih
mewakili makna yang dikehendaki dibanding istilah pemberhentian. Pemakzulan berasal dari
kata “azala” yang memiliki dua arti yaitu: 1) to isolate, set apart, separate, seclude, dan 2)
dismis, discharge, recall, remove (from office). Jadi, pemakzulan presiden adalah proses
pemecatan, penyingkiran atau penurunan seseorang presiden dari kursi tahta atau jabatannya.
Sedangkan pemberhentian mengandung makna yang lebih luas seperti: proses, cara,
perbuatan memberhentikan atau tempat berhenti.

Ketiga, kata “Impeachment” yang dijelaskan oleh Martin Basiang dalam Law
Dictionary menegaskan “Impeachment” berasal dari bahasa Inggris dengan kata dasar
“Impeach” yang berarti mendakwah atau menuduh (accuse of crime) dan dalam Bahasa
Belanda disebut dengan aanklagen, beschuldigen. 8 Kemudian kata, “Impeachment” berarti
tuduhan, dakwaan yang dilakukan parlemen kepada pejabat publik atau kepala negara karena
melakukan perbuatan pidana atau melanggar konstitusi (beschuldigin atau aanklacht dalam
Bahasa Belanda).

Berdasarkan hal tersebut, kata Pemakzulan dan Impeachment memiliki pengertian


yang sama yaitu proses/upaya/mekanisme (cara) yang dilakukan oleh parlemen yaitu Dewan
Perwakilan Rakyat (House of Representative-U.S, dan House of Commons-U.K) sebagai
tindak lanjut terhadap tindakan kepala negara yang patut diduga atau didakwa telah
melakukan pelanggaran hukum yang bersifat pidana (korupsi, penyuapan) dan/atau tata
negara (penghianatan terhadap negara, perbuatan tercela, tidak memenuhi syarat menjadi
Presiden dan/atau Wakil Presiden) dan apabila dugaan atau dakwaan tersebut diterima oleh

7
Majelis Permusyawaratan Rakyat (Senat-U.S, dan House of Lords-U.K) setelah mendapatkan
putusan dari badan peradilan yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutus dugaan
atau dakwaan tersebut Majelis Permusyawaratan Rakyat (Senat-U.S, dan House of Lords-
U.K) melakukan pemberhentian atau pemecatan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden
dengan terlebih dahulu Majelis Permusyawaratan Rakyat (Senat-U.S, dan House of Lords-
U.K) mempersilahkan Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk menyampaikan penjelasan
dihadapan majelis (an extraordinary legislative checks and balances principles).

Sejarah ketatanegaraan di Republik Indonesia Tahun 1945-2015 merefleksikan


terjadinya polemik dan paradoks pergantian dan pemberhentian Presiden (Pemberhentian
Presiden Soekarno, Soeharto, Bacharuddin Jusuf Habibie, dan Abdurrahman Wahid terjadi
sebelum masa jabatan berakhir) dan/atau Wakil Presiden. Pasca perubahan konstitusi (1999-
2002) khusunya perubahan ketiga (3) pada tanggal 9 November 2001 Undang-Undang Dasar
NRI Tahun 1945, pengaturan tentang Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
diberlakukan sebagai bentuk komitmen mencegah terjadinya kesalahan masa lalu tentang
penafsiran konstitusi di Republik Indonesia. Hal tersebut diatur dalam Pasal 7A dan Pasal 7B
UUD NRI Tahun 1945, kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala
Pemerintahan serta Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat dan hanya dapat
diberhentikan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat berdasarkan usul Dewan Perwakilan
Rakyat yang terlebih dahulu diajukan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-


adilnya perkara sejak diterima oleh Mahkamah Konstitusi paling lama sembilan puluh hari
(hari biasa dan bukan hari kerja). Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusan Mahkamah Konstitusi tersebut bersifat final (final and
binding: Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945). Apabila putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
dalam amar putusannya menyatakan terbukti bersalah dalam arti terbukti sebagaimana diatur
dalam Pasal 7B ayat (5) maka putusan tersebut menjadi dasar usulan DPR bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum (pidana dan/atau tata negara)
dan/atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden (incompetent).

8
Maka tidaklah mungkin apabila dalam amar putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak
terbukti DPR tetap mengusulkan kepada MPR untuk melakukan rapat Paripurna dengan
agenda “Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden”.

DPR berdasarkan salinan putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa


Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi
memenuhi syarat menjadi Presiden dan/atau Wakil Presiden maka sejak diterimanya usul
tersebut oleh MPR, MPR menyelenggarakan sidang paling lambat tiga puluh hari (hari biasa).
Kemudian MPR mengadakan Rapat Paripurna dengan agenda “Pemberhentian Presiden
dan/atau Wakil Presiden” dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 jumlah anggota MPR, dan
disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir dengan terlebih dahulu
memberikan kesempatan kepada Presiden dan Wakil Presiden untuk menyampaikan
penjelasan dalam Rapat Paripurna tersebut. Konsekuensi logis dalam penggunaan kata
“dan/atau” sebagai sifat komulatif dan alternative (dalam Pasal 7B ayat (7) UUD NRI Tahun
1945), maka baik dalam prosedur impeachment Presiden, Wakil Presiden, atau kedua-
duanya. Presiden dan/atau Wakil Presiden berhak menyampaikan penjelasan dalam Rapat
Paripurna tersebut.10 Terbuktinya Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam melakukan
pelanggaran hukum pidana yang tidak mengesampingkan bahwa peradilan pidana tidak
berwenang untuk tidak memeriksa, mengadili, memutus dengan dasar “jurisriction dan asas
praduga tidak bersalah/presumtion of innocent” karena Mahkamah Konstitusi menerima,
mengadili, dan memutus tentang terbukti atau tidak terbukti dugaan DPR terhadap
pelanggaran hukum atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Keterikatan lembaga yudiskatif atau “Lembaga Kekuasaan Kehakiman” dalam


mekanisme Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden yaitu Mahkamah Konstitusi
merupakan bentuk penerapan dari asas perimbangan dan pengawasan kekuasaan “check and
balances principles” antar lembaga tinggi negara. Hal tersebut dituangkan dalam Undang
undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi serta Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor
21/PMK/2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Memutus Pendapat DPR mengenai Dugaan
Pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden. Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat
diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan
Perwakilan Rakyat apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum yaitu:

9
1. Penghianatan terhadap negara (lihat Konstitusi Amerika Serikat, Article I Section 2 (5),
Section 3 (6) dan (7), Article II Section 2, Section 3 Section 4 (...) Treason, Bribery, or other
high Crimes and Misdemeanors;);

2. Korupsi (lihat);

3. Penyuapan;

4. Tindak pidana berat lainnya;

5. Perbuatan tercela.

Serta terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Berdasarkan perbandingan konstitusi yang dilakukan, terdapat setidaktidaknya alasan
Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Setidaktidaknya berdasarkan penjelasan
sebelumnya, terdapat dua (2) dasar hukum dalam mekanisme Pemakzulan/Impeachment di
Republik Indonesia, yaitu pertama terbukti melakukan pelanggaran hukum (berupa
penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, dan
perbuatan tercela), kedua terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden (atau dapat disebut dengan incompetent. Setidak-tidaknya terdapat enam (6)
alasan Majelis Permusyawaratan Rakyat melakukan Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden. Kemudian proses perkara “Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden” lebih
lanjut diatur dengan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4316 sebagaimana telah diubah oleh Undang-undang Nomor 8
Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226 vide.

Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2009 tentang


Pedoman Beracara Dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan
Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

10
2.3 Bandingkan dengan cara pemberhentian Presiden sebelum Diamandemen

Dalam sistem pemerintahan presidensiil yang dianut Indonesia terdapat ketentuan


yang tertulis dalam konstitusi yakni UUD 1945. Dalam sejarah ketatanegaraanya, UUD 1945
telah di amandemen yakni pada masa era reformasi. Dalam UUD 1945 sebelum dan sesudah
amandemen terdapat pengaturan tentang pemberhentian Presiden dari jabatannya. Namun
terdapat perbedaan proses pengaturan pemberhentian dalam peraturan tersebut. Sebelum
amandemen, Presiden dan wakil Presiden diangkat dan diberhentikan oleh MPR, bertanggung
jawab kepada MPR, dan menjalankan GBHN sesuai mandat dari MPR.
Sedangkan sesudah amandemen, Presiden dan wakil Presiden dipilih oleh rakyat,
bertanggungjawab kepada rakyat, dan menjalankan program pemerintah sesuai kehendak
Presiden. Kedudukan Presiden, MPR dan DPR adalah sejajar, sehingga masing-masing
lembaga negara tidak dapat membubarkan lembaga lainnya. Sebelum amandemen, Presiden
dapat dijatuhkan hanya dengan melalui proses politik di MPR, sedangkan sesudah
amandemen, Presiden dapat dijatuhkan apabila telah terbukti di Mahkamah Konstitusi
melanggar ketentuan yang berlaku.
Hasil putusan tersebut akan dibawa ke Sidang Istimewa MPR untuk pengambilan
keputusan dan hasil keputusan sidang Istimewa MPR itulah yang akan menentukan nasib
Presiden apakah diberhentikan atau tidak. Mengingat latar belakang yang telah disampaikan,
maka penulis akan mengemukakan beberapa permasalahan yang di bahas dalam penulisan
Tugas Akhir Skripsi ini, yaitu: Bagaimanakah pengaturan pemberhantian Presiden menurut
UUD 1945 sebelum Amandemen, bagaimanakah pengaturan pemberhentian Presiden
menurut UUD 1945 sesudah amandemen, dan apakah pengaturan pemberhentian Presiden
menurut UUD 1945 sebelum dan sesudah amandemen sesuai dengan sisitem pemerintahan
prsidensiil.

11
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan Hasil Pembuatan Makalah, maka dapat diambil kesimpula sebagai


berikut :

1. Perkembangan penganturan pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden


dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang pertama
dilihat dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) sebelum amandemen
pengaturan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden terdapat dalam Pasal 7 UUD
1945, merujuk pada Pasal 7 UUD 1945 tersebut dapat diketahui bahwa rumusan Pasal
tersebut hanya mengatur terkait masa jabatan Presiden, namun tidak memberi batasan
yang konkret terkait batasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia,
sehingga padawaktu itu banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan terkait
pengaturan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia diantaranya yaitu
mengangkat Soekarno menjadi Presiden seumur hidup dan juga memberi peluang
kepada Soeharto untuk dipilih berulang kali oleh MPR. Selanjutnya dalam UUD 1945
setelah amandemen yang mana pengaturan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden
terdapat dalam Pasal 7 dan dapat dikatakan pengaturan masa jabatan Presiden dan
Wakil Presiden ini menjadi agenda utama proses amandemen karena Pasal 7 dalam
UUD 1945 ini dipandang terlalu fleksibel untuk ditafsirkan, dan pada tanggal 19
Oktober 1999 rancangan rumusan Pasal 7 disahkan sebagai bagian dari perubahan
pertama. Pada rumusan setelah amandemen terkait pengaturan masa jabatan Presiden
dan Wakil Presiden lebih tegas dinyatakan secara eksplisit bahwa Presiden dan Wakil
Presiden memegang jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih
kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Perubahan
Pasal ini merupakan suatu langkah yang tepat untuk mengakhiri perdebatan mengenai
periodesasi jabatan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia.
2. Pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden sangat dibutuhkan karena
berangkat dari sejarah pemerintah jika dipimpin dengan pemimpin yang sama dalam
jangka waktu yang panjang, maka akan menimbulkan pemerintah yang otoriter dan

12
absolut, maka diberikan batasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden untuk
menghindari pemerintah yang otoriter dan absolut, sehingga Presiden yang menjabat
tidak akan dapat menduduki jabatan yang sama setelah dua periode menjabat. Selain
itu dengan adanya pengaturan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia
juga akan menciptakan Check and Balance antar lembaga-lembaga Negara di
Indonesia yang artinya kekuasaan Presiden menjadi tidak dominan lagi, karena jika
seseorang berada dalam jabatan yang sama dalam waktu yang panjang ia
berkecenderungan untuk menyalahgunakan jabatannya baik fasilitas, financial
maupun yangpengaruh ia miliki sebagai seorang pemimpin.

3.2 Saran
1. Dengan selesainya makalah ini, inshaAllah makin jelas kegunaan pembatasan masa
Presiden dalam Undang-Undang Dasar 1945 sesudah amandemen ke 1 yang mana
urgensinya adalah untuk membentuk sistem pemerintahan demokrasi yang baik tanpa
ada otoriterisme kepemimpinan di Indonesia. Penulis berharap dengan adanya
pembatasan masa jabatan Presiden di Innesia ke depan dapat mewujudkan tatanan
pemerintahan yang kuat sehingga tercapai cita-cita Negara yaitu mempersatukan
bangsa dan Negara dalam kepemimpinan yang jauh lebih baik.
2. Diharapkan dengan adanya batasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden di
Indonesia dapat mencegah keotoriteran dan jugakekuasaan tanpa batas dari Presiden
sehingga adanya Check and Balance dalam lembaga-lembaga Negara.
3. Diharapkan kepada setiap warga Negara Indonesia untuk memahami dan mengetahui
pentingnya pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia
karena berkaca pada sejarah dengan tidak adanya pembatasan masa jabatan Presiden
dan Wakil Presiden ini terjadinya pemerintahan yang otoriter dan tidak adanya Check
and Balance antar lembaga Negara.

13
Daftar Pustaka
https://tirto.id/bunyi-isi-pasal-7-uud-1945-tentang-masa-jabatan-presiden-wapres-gbih

https://tirto.id/isi-perubahan-pasal-7-uud-1945-sebelum-dan-sesudah-amandemen-f8et

https://media.neliti.com/media/publications/53499-ID-pemberhentian-presiden-danatau-wakil-
pre.pdf

14

Anda mungkin juga menyukai