KEWAJIBAN HUKUM
Disusun oleh :
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS WIDYATAMA
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik dan Hinayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam
bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu
untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Auditing 1.
Harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat serta membantu menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca.
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki
sangat kurang. Oleh kerena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan
masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Penulis
PEMBAHASAN
Auditor secara umum sama dengan profesi lainnya merupakan subjek hukum dan
peraturan lainnya. Auditor akan terkena sanksi atas kelalaiannya, seperti kegagalan untuk
mematuhi standar profesional di dalam kinerjanya. Profesi ini sangat rentan terhadap penuntutan
perkara (lawsuits) atas kelalaiannya yang digambarkan sebagai sebuah krisis.
Litigasi terhadap kantor akuntan publik dapat merusak citra atau reputasi bagi kualitas
dari jasa-jasa yang disediakan kantor akuntan publik tersebut. Kewajiban hukum auditor dalam
pelaksanaan audit apabila adanya tuntutan ke pengadilan yang menyangkut laporan keuangan
adalah sebagai berikut:
a. Kewajiban kepada klien (Liabilities to Client) Kewajiban akuntan publik terhadap klien
karena kegagalan untuk melaksanakan tugas audit sesuai waktu yang disepakati,
pelaksanaan audit yang tidak memadai, gagal menemui kesalahan, dan pelanggaran
kerahasiaan oleh akuntan publik.
b. Kewajiban kepada pihak ketiga menurut Common Law (Liabilities to Third party)
Kewajiban akuntan publik kepada pihak ketiga jika terjadi kerugian pada pihak
penggugat karena mengandalkan laporan keuangan yang menyesatkan.
c. Kewajiban Perdata menurut hukum sekuritas federal (Liabilities under securities laws)
Kewajiban hukum yang diatur menurut sekuritas federal dengan standar yang ketat.
d. Kewajiban kriminal (Crime Liabilities) Kewajiban hukum yang timbul sebagai akibat
kemungkinan akuntan publik disalahkan karena tindakan kriminal menurut undang-
undang.
Sedangkan kewajiban hukum yang mengatur akuntan publik di Indonesia secara eksplisit
memang belum ada, akan tetapi secara implisit hal tersebut sudah ada seperti tertuang dalam
Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP), Standar Akuntansi Keuangan (SAK), Peraturan-
Peraturan mengenai Pasar Modal atau Bapepam, UU Perpajakan dan lain sebagainya yang
berkenaan dengan kewajiban hukum akuntan.
Dapat disimpulkan bahwa kewajiban hukum bagi seorang akuntan publik adalah bertanggung
jawab atas setiap aspek tugasnya sehingga jika memang terjadi kesalahan yang diakibatkan oleh
kelalaian pihak auditor, maka akuntan publik dapat dimintai pertanggung jawaban secara hukum
sebagai bentuk kewajiban hukum auditor.
Walaupun seorang Akuntan Publik telah dikenai sanksi administrasi sebagai konsekuensi
dari pelanggaran PMK No. 17/PMK.01/2008, namun tetap saja pertangungjawaban untuk
mengganti kerugian pihak-pihak yang dirugikan akibat dari pelanggaran tersebut, dapat
dilakukan oleh pihak-pihak yang berhak atas pemenuhan ganti rugi berdasarkan pasal 1365
KUHPerdata.
Kewajiban bagi sebuah perusahaan untuk memberikan gambaran yang benar tentang status
kesehatan keuangannya, sangat berhubungan dengan konsekuensi hukum dari aktivitas berbisnis
(sebagai suatu hubungan hukum). Dimana konsekuensi hukum itu mengharuskan masing-masing
pihak yang terikat didalamnya untuk dapat memenuhi setiap kewajiban yang diikatkan
kepadanya, tepat seperti yang telah disepakati. Dalam keadaan yang terburuk, kegagalan dalam
pemenuhan kewajiban tersebut, baik sebagai akibat dari tindakan wan prestasi (1243
KUHPerdata) ataupun Perbuatan Melawan Hukum (1365 KUH Pedata) yang secara hukum (by
law) berdasarkan pasal 1131 KUHPerdata, akan memberikan konsekuensi penghukuman bagi
pihak yang telah melakukan tindakan wanprestasi ataupun melawan hukum tersebut untuk
membayar seluruh kerugian dari pihak-pihak yang dirugikan dengan menggunakan seluruh harta
miliknya, tidak saja yang telah ada akan tetapi juga yang akan ada.
Dari penjelasan tersebut di atas, terlihat begitu pentingnya keberadaan dari seorang Akuntan
Publik sebagai perwakilan dari kepentingan publik dalam suatu aktivitas perekonomian, yang
tidak saja melibatkan pelaku-pelaku bisnis pribadi akan tetapi juga melibatkan negara untuk
suatu jangkauan serta konsekuensi aktivitas dan hukum komersial yang berskala nasional
maupun internasional.
Banyak profesional akuntansi dan hukum percaya bahwa penyebab utama tuntutan
hukum terhadap kantor akuntan publik adalah kurangnya pemahaman pemakai laporan keuangan
tentang perbedaan antara kegagalan bisnis dan kegagalan audit, dan antara kegagalan audit, dan
risiko audit. Berikut ini defenisi mengenai kegagalan bisnis, kegagalan audit dan risiko audit
menurut Loebbecke dan Arens (1999,h.787) :
1) Kegagalan bisnis : kegagalan yang terjadi jika perusahaan tidak mampu membayar
kembali utangnya atau tidak mampu memenuhi harapan para investornya, karena kondisi
ekonomi atau bisnis, seperti resesi, keputusan manajemen yang buruk, atau persaingan
yang tak terduga dalam industri itu.
2) Kegagalan audit :kegagalan yang terjadi jika auditor mengeluarkan pendapat audit yang
salah karena gagal dalam memenuhi persyaratan-persyaratan standar auditing yang
berlaku umum.
3) Risiko audit :adalah risiko dimana auditor menyimpulkan bahwa laporan keuangan
disajikan dengan wajar tanpa pengecualian, sedangkan dalam kenyataannya laporan
tersebut disajikan salah secara material.
Bila di dalam melaksanakan audit, akuntan publik telah gagal mematuhi standar profesinya,
maka besar kemungkinannya bahwa business failure juga dibarengi oleh audit failure. Dalam hal
yang terakhir ini, akuntan publik harus bertanggung jawab. Sementara, dalam menjalankan
tugasnya, akuntan publik tidak luput dari kesalahan.
Lingkungan Yuridis
Dalam hal terjadinya pelangaran yang dilakukan oleh seorang Akuntan Publik dalam
memberikan jasanya, baik atas temuan-temuan bukti pelanggaran apapun yang bersifat
pelanggaran ringan hingga yang bersifat pelanggaran berat, berdasarkan PMK No.
17/PMK.01/2008 hanya dikenakan sanksi administratif, berupa: sanksi peringatan, sanksi
pembekuan ijin dan sanksi pencabutan ijin seperti yang diatur antara lain dalam pasal 62, pasal
63, pasal 64 dan pasal 65. Penghukuman dalam pemberian sanksi hingga pencabutan izin baru
dilakukan dalam hal seorang Akuntan Publik tersebut telah melanggar ketentuan-ketentuan yang
diatur dalam SPAP dan termasuk juga pelanggaran kode etik yang ditetapkan oleh IAPI, serta
juga melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan yang berlaku yang berhubungan
dengan bidang jasa yang diberikan, atau juga akibat dari pelanggaran yang terus dilakukan
walaupun telah mendapatkan sanksi pembekuan izin sebelumya, ataupun tindakan-tindakan yang
menentang langkah pemeriksaan sehubungan dengan adanya dugaan pelanggaran
profesionalisme akuntan publik.
Akan tetapi, hukuman yang bersifat administratif tersebut walaupun diakui merupakan suatu
hukuman yang cukup berat bagi eksistensi dan masa depan dari seorang Akuntan Publik ataupun
KAP, ternyata masih belum menjawab penyelesaian permasalahan ataupun resiko kerugian yang
telah diderita oleh anggota masyarakat, sebagai akibat dari penggunaan hasil audit dari Akuntan
Publik tersebut.
Mendeteksi kecurangan
Lebih jauh Soedarjono dalam Sarsiti (2003) mengungkapkan bahwa auditor memiliki beberapa
tanggung jawab yaitu:
1) Tanggung jawab terhadap opini yang diberikan. Tanggung jawab ini hanya sebatas opini
yang diberikan, sedangkan laporan keuangan merupakan tanggung jawab manajemen.
Hal ini disebabkan pengetahuan auditor terbatas pada apa yang diperolehnya melalui
audit. Oleh karena itu penyajian yang wajar posisi keuangan, hasil usaha dan arus kas
sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku umum, menyiratkan bagian terpadu
tanggung jawab manajemen.
4) Tanggung jawab untuk mengungkapkan kecurangan. Bila ada kecurangan yang begitu
besar tidak ditemukan, sehingga menyesatkan, akuntan publik harus bertanggung jawab.
5) Tanggung jawab terhadap pihak ketiga, seperti investor, pemberi kredit dan sebagainya.
Contoh dari tanggung jawab ini adalah tanggung jawab atas kelalaiannya yang bisa
menimbulkan kerugian yang cukup besar, seperti pendapat yang tidak didasari dengan
dasar yang cukup.
6) Tanggung jawab terhadap pihak ketiga atas kecurangan yang tidak ditemukan. Dengan
melihat lebih jauh penyebabnya, jika kecurangan karena prosedur auditnya tidak cukup,
maka auditor harus bertanggung jawab.
Tanggung jawab hukum seorang akuntan public lazimnya berkenaan dengan perikatan
asurans, khususnya perikatan audit. Namun, KAP yang memberikan jasa nir-asurans seperti
konsultasi perpajakan, juga berpotensi menghadapi tuntutan hokum.
Apa penyebab akuntan public berhadapan dengan tuntutan hukum? Jawaban singkatnya,
ketidakpatuhan atau pelanggaran undang-undang. Undang-undang yang dilanggar bisa undang-
undang Negara lain. Contoh, seorang akuntan public yang terlibat dalam penyuapan pejabat
Indonesia, dalam “menangani” masalah perpajakan, bisa terkena FCPA (Foregin Corrupt
Practices Act). Perubuatan dilakukan di Indonesia, mengenai urusan pajak Indonesia. Namun,
perseroan Indonesia ini adalah anak perusahaan dari induk perusahaan yang surat berharganya
(saham, obligasi, dan lain-lain) diperdagangkan atau dicatat di pasar modal Amerika.
Penyebab lain mengapa akuntan public berhadapan dengan tuntutan hukum, adalah
karena ia merupakan sasaran empuk untuk tuntutan ganti rugi. Khususnya, jaringan kantor
akuntan global dan internasional yang melindungi diri mereka dengan asuransi atau
pertanggungan professional atau professional indemnity insurance (PII).
Common law seringkali diartikan sebagai hukum yang tidak tertulis. Hukum ini berdasarkan
atas keputusan pengadilan dan bukan atas hukum yang dibuat dan disahkan oleh pihak
legislative. Common law berasal dari prinsip-prinsip yang berdasarkan keadilan, alasan, dan hal-
hal yang masuk akal dan bukannya hukum yang absolute, tetap dan kaku. Prinsi-prinsip common
law ditentukan oleh kebutuhan social masyarakat. Oleh karena itu, perubahan pada common law
merupakan tanggapan atas kebutuhan masyarakat.
Dalam kasus-kasus yang spesifik, kewajiban seorang akuntan akan ditentukan oleh putusan
pengadilan Negara bagian atau federal yang mendorong untuk diterapkannya yurisprudensi yang
dirasakan mampu mengendalikan. Karena di Amerika Serikat terdapat 51 yurisdiksi yang
independen, maka mungkin akan timbul keputusan-keputusan pengadilan yang berbeda satu
sama lain untuk masalah yang relative serupa. Dalam kasus common law, hakim memiliki
fleksibilitas untuk mempertimbangkan factor-faktor social , ekonomi, politik maupun
yurisprudensi yang pernah ada. Menurut common law, kewajiban para CPA berkaitan luas
dengan dua pihak, yaitu para klien dan pihak ketiga.
Seorang CPA berada dalam hubungan kontraktual langsung dengan klien. Dengan
menyetujui untuk melaksanakan jasa bagi klien, CPA berperan sebagai kontraktor independen.
Jasa-jasa spesifik yang akan diberikan, sebaiknya disebutkan dalam surat perikatan. Istilah
hubungan pribadi dalam kontrak (privity of contract) menunjuk pada hubungan kontraktual yang
ada antara dua atau lebih pihak yang terlibat dalam kontrak. Cirri khas suatu perikatan audit
adalah anggapan bahwa audit akan dilakukan sesuai dengan standar professional, yaitu, standar
auditing yang berlaku umum (GAAS), kecuali kontrak menyebutkan kalimat lain yang berarti
sebaliknya. Seorang akuntan bertanggung jawab kepada klien sesuai dengan hokum kontrak atau
tort law (hukum yang mengatur tentang tuntutan ganti rugi).
Seorang auditor bertanggung jawab kepada klien atas pelanggaran kontrak (breach of
contract), apabila ia:
· Tidak mengirimkan laporan audit sesuai dengan batas waktu yang telah disepakati
Kewajiban auditor harus atas pelanggaran kontrak dapat meluas sampai subrogee.
Subrogee ialah pihak yang memperoleh hak pihak lain melalui substitusi. Sebagai contoh,
jaminan karyawan dianggap merupakan bagian yang penting dari lingkungan pengendalian
intern perusahaan. Apabila terjadi penggelapan, perusahaan penjamin akan membayar kerugian
yang diasuransikan. Selanjutnya sesuai dengan hak subrogasi terhadap klaim kontraktual yang
diasuransikan, CPA dapat digugat atas kegagalannya menemukan kecurangan tersebut.
Apabila terjadi pelanggaran kontrak, penggugat akan mencari satu atau lebih jalan keluar sebagai
berikut :
3. Kerugian terkait dan kerugian sebagai konsekuensi yang merupakan akibat tidak langsung
atas pelanggaran tersebut.
Hukum Kerugian (Tort Law)
Seorang CPA juga bertanggung jawab kepada klien menurut hukum kerugian. Tindakan
merugikan (tort action) adalah tindakan salah yang merugikan milik, badan, atau reputasi
seseorang. Tindakan merugikan dapat dilakukan berdasarkan salah satu penyebab berikut ini :
1) Kelainan yang biasa (ordinary negligence), yaitu kelalaian untuk menerapkan tingkat
kecermatan yang biasa dilakukan secara wajar oleh orang lain dalam kondisi yang sama.
2) Kelalaian kotor (gross negligence), kelalaian untuk menerapkan tingkat kecermatan yang
paling ringan dalam suatu kondisi tertentu.
Menurut hukum kerugian, biasanya pihak yang dirugikan mencari kerugian keuangan. Kertas
kerja auditor sangat penting untuk membuktikan bahwa tuntutan pelanggaran kontrak dan
pelanggaran tugas adalah tidak benar menurut hukum kerugian. Dalam banyak kasus, penggugat
memiliki hak untuk menuntut dengan menggunakan pasal-pasal kontrak atau menggunakan
hukum kerugian.
Kewajiban auditor kepada pihak ketiga menurut common low merupakan hal yang
penting dalam setiap pembahasan tentang kewajiban auditor. Pihak ketiga (third party) dapat
didefinisikan sebagai seseorang yang tidak mengetahui tentang pihak-pihak yang ada di dalam
kontrak. Menurut sudut pandang hukum, terdapat dua kelompok pihak ketiga, yaitu : pemegang
utama dan pemegang hak lainnya. Pemegang hak utama (primery beneficiary) adalah seorang
yang namanya telah diketahui oleh seorang auditor sebelum audit dilaksanakan sebagai penerima
utama laporan auditor. Sebagai contoh, pada saat surat perikatan di tandatangani, bahwa klien
melaporkan bahwa akan digunakan untuk mendapatkan pinjaman dari City National Bank, maka
bank tersebut akan menjadi pemegang hak utama. Sebaliknya, pemegang hak lainnya (uder
beneficiaries) adalah pihak ketiga yang namanya tidak disebutkan, seperti para kreditor,
pemegang saham, dan investor potensial.
Auditor bertanggung jawab kepada semua pihak ketiga atas semua kelalaian kotor dan
kecurangan menurut hukum kerugian (tort law). Sebaliknya kewajiban auditor atas kelalaian
biasa pada umumnya berbeda antara kedua kelompok pihak ketiga tersebut.
Doktrin hubungan pribadi dalam kontrak meluas pada pemegang hak utama atas
pekerjaan auditor. Kasus yang bersejarah yang terjadi pada tahun 1931, Ultramares Corp. V.
Touche berikut temuan-temuan pentingnya akan disampaikan berikut ini :
Ultramares Corp. V. Touche (1931) kewajiban atas kelalain. Touche adalah auditor yang
digugat akan kegagalannya untuk menemukan transaksi fiktif yang menyebabkan terjadinya
lebih saji atas aktiva dan ekuitas pemegang saham sebesar $700 dalam audit laporan keuangan
Fred Stern & Co. setelah menerima laporan keuangan yang telah diaudit tersebut, Ultramares
memberikan pinjaman sejumlah besar uang kepada Stern, yang kemudian tidak mampu
mengembalikan pinjaman tersebut, karena memang benar-benar tidak mampu memenuhi
kewajiban-kewajibannya. Kemudian Ultramares menggugat kantor CPA yang mengaudit dengan
pasal kelalaian dan kecurangan.
Pada dasarnya kasus Ultramares mendukung doktrin hubungan pribadi dalam kontrak,
dimana pihak ketiga tidak dapat mengugat auditor untuk kelalaian biasa. Namun keputusan hakin
Cardozo memberikan hak kepada para pemegang hak utama sebagai yang mengetahui tentang
kontrak. Oleh karena itu, sebagai pemegang hak utama, Ultramares dapat menggugat dang anti
rugi terhadap kelalaian biasa seorang auditor.
Sebuah analisis atas keputusan tersebut menunjukkan adanya beberapa factor lingkungan
signifikan yang secara khusus menarik dalam pandangan lingkungan hukum yang diuraikan
sebelumnya. Pertama, hakim mengakui bahwa kewajiban yang diperluas atas kelalaian biasa
kepada pihak ketiga dapat menyurutkan langkah orang-orang untuk memasuki profesi akuntan,
sehingga dapat menghalangi masyarakat mendapatkan layanan yang bernilai. Kedua, dia menjadi
takut bahwa gangguan yang lebih luas atas doktrin hubungan pribadi dalam kontrak akan
berdampak juga kepada professional lainnya sebagai pengacara atau dokter. Ketiga, keputusan
tersebut menegaskan kembali kewajiban auditor kepada pihak ketiga atas terjadinya kelalaian
kotor atau kecurangan.
Factor-faktor lingkungan berikut telah memberikan sumbangan yang cukup berarti atas
terjadinya perubahan tersebut :
1) Konsep kewajiban telah berubah secara lambat namun signifikan untuk mewajibkan
perlindungan pelanggan dari kesalahan pabrikan (kewajiban produk) dari kesalahan
professional (kewajiban jasa),
2) Perusahaan bisnis dan kantor-kantor akuntan telah bertumbuh dalam ukuran yang
memungkinkan merekan memikul lebih baik tanggung jawab yang baru,
3) Jumlah individu dan kelompok yang mengandalkan laporan keuangan yang telah di audit
telah bertumbuh dengan mantab.
Putusan-putusan pengadilan telah mengakui adanaya 2 kategori pihak ketiga lain sebagai
pemegang hak sebagai berikut :
Pergeseran pertama dari doktrin Ultramares terjadi dalam bentuk penerimaan pengadilan
secara spesifik atas konsep golongan yang telah diketahui sebelumnya (foreseen class). Konsep
ini dijelaskan dalam Restatement (second) of Torts 552 sebagai berikut :
2) Kecuali seperti yang dinyatakan dalam ayat 3, kewajiban yang dinyatakan dalam ayat 1
terbatas pada kerugian yang diderita,
a) Oleh seseorang atau suatu kelompok terbatas yang mendapatkan manfaat dan
pedoman yang dimaksudkan dengan memberikan informasi atau mengetahui
bahwa penerima bermaksud untuk memberikan informasi tersebut
3) Kewajiban seseorang yang sedang dalam tugas public untuk memberikan informasi luas
yang dimaksudkan untuk melindungi pihak-pihak yang menderita kerugian dalam bentuk
transaksi oleh kelompok yang mendapat manfaat yang ceritakan dari tugas tersebut.
Srs dan tanggung jawab hukum
SRO (self-regulating organization) dan SRS (self-regulating system) adalah salah satu
ciri organisasi professional. Dengan SRS profesi mengeluarkan aturan-aturan internal seperti
kode etik, standar pengendalian mutu, standar audit dan asurans, pengembangan professional
berkelanjutan.
Namun, perikatan KAP, baik asurans maupun nir-asurans dilakukan dengan pihak lain
yang tidak berkaitan dengan profesi. Dalam melaksanakan perkatan ini, KAP (rekan/partner dan
stafnya) berpotensi membuat kekeliruan, baik dengan maupun yang tidak sengaja, yang dapat
merugikan pihak-pihak lain.
Pengadilan yang berhak menangani kasus yang dihadapi akuntan public tergantung pada:
Penyebab jarang sekali mendengar atau melihat atau membaca kasus Akuntan Publik di
Indonesia:
Berkenaan dengan BUMN yang gagalatau kinerjanya di bawah harapan, dalam upaya
IPO (Initial Public Offering)
Kegagalan atau kekurangan keberhasilan (misalnya harga penawaran saham yang jauh di
bawah harga yang sebelumnya di publikasi ke media) menyebabkan DIreksi atau pejabat
BUMN terkena sanksi jabatan.
KAP partner melakukan perlawanan yang keras, termasuk penggunaan hak jawab.
Apakah suatu bangsa atau masyarakat lebih litigious dari masyarakat lain? Pertanyaan ini
dibahas dalam bagian mengenai “litigation culture” (budaya litigasi). Pembahasan ini
menyajikan pendapat pakar-pakar dari Amerika Serikat, Inggris dan Jepang. Dari pembahasan
ini pembaca dapat memikirkan kondisi Indonesia.
Akuntan public atau KAP yang menghadapi tuntutan hukum, tidak serta-merta berarti ia
(akuntan public atau KAP) pasti bersalah. Apa peranan profesi ? di pengadilan apa saja ia bisa
diadili? Berapa lama? Apakah SRO (self regulation organization) dan SRS (self regulating
systems) yang dimiliki asosiasi profesi bisa membantunya? Setiap tuntutan hukum, apakah KAP,
akuntan publik atau KAP kemudian terbukti bersalah atau tidak, berdampak negatif terhadap
reputasi KAP.
Jika kita batasi pada penugasan audit, apa kiranya potensi penyebab tuntutan hukum
terhadap akuntan publik atau KAP di Indonesia? Meskipun belum pernah ada kasus hukum
temuan PPAJP yang dilaporkan Bank Dunia (ROSC) menarik untuk disimak.
ROSC 2012 melibatkan berbagai pemangku kepentingan di bidang akuntansi dan audit di
Indonesia. ROSC tersebut menyebutkan tingkat kesesuaian dengan standar audit yang berbeda
diantara Kantor Akuntan Publik dengan ukuran yang berbeda. KAP kecil biasanya lebih sulit
menerapkan pengendalian mutu karena keterbatasan sumber daya.
KAP besar yang berafiliasi dengan the Big Four, dianggap mampu memenuhi standar
internasional namun ada beberapa kasus dimana pengendalian mutu juga tidak diterapkan
dengan baik karena proses audit lebih banyak dilakukan oleh akuntan junior.
ROSC 2010 tersebut berisi wawancara dengan PPAJP pada Kementrian Keuangan.
PPAJP menemukan bahwa dari KAP yang ada (lebih dari 400), hanya sedikit yang mampu
memenuhi standar audit dengan baik. Ada kesenjangan dalam kepatuhan terhadap standar
(compliance gap) seperti berikut ini .
Litigation Culture
Tanyakan kepada para sarjana yang bukan sarjana hukum: “apakah Indonesia mempunyai
‘budaya’ tuntut-menuntut di antara sesama kita?” yang ditanya tidak langsung memahami
pertanyaannya. Ketika dijelaskan, ia berusaha mencari contoh dari kehidupan sehari-harinya.
Kemudian menjawab: “Engga tuh, ga ada budaya kayak gitu”.
Istilah budaya tuntut-menuntut atau budaya litigasi diterjemahkan dari bahasa inggris,
“litigation culture”. Masyarakat dengan “budaya” seperti itu disebut litigious society. Meskipun
banyak orang tidak setuju dengan istilah “budaya litigasi” atau “budaya korupsi”.
Kembali ke pertanyaan diatas, sarjana yang ditanya, mungkin akan memberi ulasan mengenai
negara lain: “Indonesia bukan ligitious society seperti masyarakat Amerika Serikat”. Besar
kemungkinannya yang menjawab pertanyaan itu ialah akuntan publik, yang membaca kasus-
kasus gagal audit, Sarbanes-Oxley Act, dan lenyapnya Arthur Andersen dari peta Big Five.
Bagian ini akan mengutip pendapat pakar-pakar dari tiga bangsa yang berbeda, mengenai
apakah masyarakatnya litigious society, dan mengapa atau mengapa tidak. Pendapat ketiga pakar
tidak selalu mewakili pandangan masyarakat yang mereka wakili.
I’m going to go a completely different direction with this. The american legal system is
accessible, predictable, and not corrupt. Second, Americans overwhelmingly believe that
people should obey the rules, and accordingly the rules are fairly reasonable. So if
somebody does not obey the rules, they are more likely to try to work it out within the
legal system instead of using force, violence, pressure, etc. This is a cultural issue. Just
look at the sport of American football. Each play is preceded by a few minutes of
planning, a few seconds of action, and then a detailed review of the rules resulting in a
decision by the referees about who is entitled to what. Americans turn to the law to
resolve their disputes, not politics, and not criminals or intimidation.
Other say that the non-litigious society exists because of a systematic problem in the
Japanese civil and commercial procedure which has been criticised for its inefficiency in
time costs.
Penulis tidak mempunyai referensi dari pakar hukum Indonesia mengenai apakah kita
berbudaya litigasi atau tidak.
Sebagaimana profesi yang lain, seperti dokter dan pengacara, dewasa ini para CPA juga
menjalankan praktiknya di dalam iklim kebijakan public nasional yang sedang menekankan pada
pentingnya perlindungan bagi konsumen (masayarakat umum) dari pekerjaan di bawah standar
yang dilakukan oleh para professional. Dari hasil analisis atas berbagai kasus pengadilan yang
melibatkan para CPA, direkomendasikan sejumlah tindak pencegahan yang perlu diambil oleh
seorang CPA untuk meminimalkan risiko terjerarat dalam litigasi, yaitu:
1) Menggunakan surat perikatan untuk semua jenis jasa professional. Surat-surat terssebut
akan menjadi dasar persetujuan kontraktual serta meminimalkan risiko kesalahpahaman
tentang jasa yang telah disepakati.
2) Melakukan investigasi yang menyeluruh atas klien prospektif. Investigasi ini penting
untuk meminimalkan kemungkinan CPA dikaitkan dengan klien yang manajemennya
tidak memiliki integritas.
6) Menetapkan dan menjaga standar yang tinggi atas pengendalian mutu. Kantor CPA dan
para auditor secara perorangan jelas dinyatakan bertanggung jawab atas pengendalian
mutu. Review sejawat (peer review) akan memberikan keyakinan independen tentang
mutu dan efektivitas berkanjut prosedur yang telah dirumuskan.
8) Mewaspadai risiko audit. Dalam pertemuan konsultatif antara para staf AICPA dengan
Dewan Standar Auditing (ASB) yang dilaksanakan secara periodic, dibahas tentang
masalah-masalah risiko audit yang harus diwaspadai. Risiko audit yang harus diwaspadai
mengandung informasi penting tentang perkembangan ekonomi dan kebijakan dalam
industry tertentu yang dapat mempengaruhi pemeriksaan auditor dan pertimbangan
professional. Mengenali resiko audit yang harus diwaspadai akan sangat membantu
dalam menilai kelayakan dan kewajaran laporan keuangan seorang klien dalam industry
tertentu.
LAMPIRAN
IS Deskripsi
A
20 Ruang lingkup tujuan keseluruhan auditor independen dalam
0 pelaksanaan suatu audit berdasarkan ISA mencakup pemberian
opini atas kewajaran pelaporan keuangan dan kepatuhan bahwa
laporan keuangan telah disusun sesuai dengan pedoman standar
yang berlaku. Dalam melakukan audit sesuai dengan ISA,
auditor harus memperhatikan aspek kepatuhan dan kewajaran
penyajian laporan keuangan. Dalam GAAS auditor hanya
dituntut untun menyatakan kewajaran atas penyajian laporan
keuangan
21 A) Auditor harus mengirimkan surat perikatan audit kepada klien
0 sebelum dimulainya audit untuk menghindari kesalahpahaman
yang mungkin terjadi antara auditor dan klien sehubungan
dengan proses audit. Dalam ISA 201 terdapat suatu kondisi
dimana manajemen yang diatur dalam paragraf 11-12. Peraturan
perundang-undangan mungkin telah mengatur tentang tujuan
dan lingkup audit serta tanggungjawab manajemen sehinggan
dalam paragraf 11 dijelaskan bahwa auditor tidak perlu
memasukan ketentuan perikatan audit tertentu ke dalam surat
perikatan audit. Dalam paragraf 12, surat perikatan tersebut
harus menggunakan kata-kata yang sesuai dengan aturan
perundang-undangan jika tanggung jawab manajemen diatur
dalam peraturan tersebut. Persyaratan tersebut tidak termasuk
dalam GAAS.
B) Paragraf 18 menjelaskan bahwa auditor harus
mempertimbangkan apakah terdapat benturan standar pelaporan
keuangan dan ketentuan tambahan yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan. Jika terdapat suatu benturan,
auditor harus berdiskusi dengan manajemen mengenai sifat
ketentuan tambahan tersebut saat mengambil tindakan. Ketika
tidak terdapat tindakan yang dapat dilakukan, auditor harus
mempertimbangkan untuk melakukan modifikasi opin auditor.
Persyaratan ini tidak terdapat dalam GAAS.
22 A) Dalam ISA 220 paragraf 21 berisi ketentuan yang berhubungan
0 dengat audit pada perusahaan yang tercatat dibursa, yairu
review atas quality control yang dilakukan oleh kementrian
keuangan (PPAPJ) harus mempertimbangkan beberapa hal
seperti evaluasi atas independensi firm dalam perikatan audit,
konsultasi atas hal yang menimbulkan perbedaan pendapat telah
dilakukan dan dokumentasi audit yang dipilih untuk review
telah mewakili pekerjaan yng dilakukan persyaratan ini tidak
terdapat dalam GAAS.
B) Dalam ISA paragraf 19, dijelaskan bahwa review atas quality
control harus dilaksanakan sebelum laporan auditor diterbitkan.
Dalam GAAS persyaratan ini tidak dijelaskan secara rinci
karena menurut ASN review atas quality control merupakan
review yang independen.
23 A) Dalam ISA paragraf 14, auditor diwajibkan untuk menyusun
0 dokumentasi audit dalam sebuah berkas audit dan melengkapi
proses administrative yang diperlukan secara tepat waktu dan
baas waktu untuk menyelesaikan kumpulan berkas audit final
adalah tidak lebih dari 60 hari setelah tanggal laporan auditor.
hal ini diatur dalam standar audit terdahulu.
B) Dalam ISA dijelaskan bahwa setelah penyusunan berkas audit
final selesai, auditor tidak boleh menghapus atau membuang
dokumentasi audit dalam sifat apapun sebelum akhir periode
retensi. Periode retensi untun perikatan audit biasanya tidak
lebih pendek dari lima tahun sejak tanggal laporan auditor pada
laporan keuangan entitas maupun konsolidasian.
26 ISA menghapuskan auditor untuk mengkomunikasikan masalah
0 tertentu mengenai independensi. Hal ini dijelaskan dalam SA
260 paragraf 13 dan 17 bahwa auditor harus memenuhi
persyaratan etika yang relevan, termasuk yang berkaitan dengan
independensi, sehubungan dengan perikatan auditnatas laporan
keuangan. Persyaratan tersebut tidak terdapat dalam GAAS.