Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH AUDITING I

KEWAJIBAN HUKUM

Disusun oleh :

Rommy Setiawan (0116101435)

Sani Sanjaya (0116101436)

Astri Fauziah (0116101437)

Wirla Juliana (0116101438)

Nisa Nadhira (0116101441)

Ririn Juliastuti (0116101442)

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS WIDYATAMA

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik dan Hinayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam
bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu
untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Auditing 1.

Harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat serta membantu menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca.

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki
sangat kurang. Oleh kerena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan
masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Bandung, Oktober 2018

Penulis
PEMBAHASAN

Kewajiban hukum akuntan publik

Auditor secara umum sama dengan profesi lainnya merupakan subjek hukum dan
peraturan lainnya. Auditor akan terkena sanksi atas kelalaiannya, seperti kegagalan untuk
mematuhi standar profesional di dalam kinerjanya. Profesi ini sangat rentan terhadap penuntutan
perkara (lawsuits) atas kelalaiannya yang digambarkan sebagai sebuah krisis.
Litigasi terhadap kantor akuntan publik dapat merusak citra atau reputasi bagi kualitas
dari jasa-jasa yang disediakan kantor akuntan publik tersebut. Kewajiban hukum auditor dalam
pelaksanaan audit apabila adanya tuntutan ke pengadilan yang menyangkut laporan keuangan
adalah sebagai berikut:
a. Kewajiban kepada klien (Liabilities to Client) Kewajiban akuntan publik terhadap klien
karena kegagalan untuk melaksanakan tugas audit sesuai waktu yang disepakati,
pelaksanaan audit yang tidak memadai, gagal menemui kesalahan, dan pelanggaran
kerahasiaan oleh akuntan publik.
b. Kewajiban kepada pihak ketiga menurut Common Law (Liabilities to Third party)
Kewajiban akuntan publik kepada pihak ketiga jika terjadi kerugian pada pihak
penggugat karena mengandalkan laporan keuangan yang menyesatkan.
c. Kewajiban Perdata menurut hukum sekuritas federal (Liabilities under securities laws)
Kewajiban hukum yang diatur menurut sekuritas federal dengan standar yang ketat.
d. Kewajiban kriminal (Crime Liabilities) Kewajiban hukum yang timbul sebagai akibat
kemungkinan akuntan publik disalahkan karena tindakan kriminal menurut undang-
undang.

Sedangkan kewajiban hukum yang mengatur akuntan publik di Indonesia secara eksplisit
memang belum ada, akan tetapi secara implisit hal tersebut sudah ada seperti tertuang dalam
Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP), Standar Akuntansi Keuangan (SAK), Peraturan-
Peraturan mengenai Pasar Modal atau Bapepam, UU Perpajakan dan lain sebagainya yang
berkenaan dengan kewajiban hukum akuntan.
Dapat disimpulkan bahwa kewajiban hukum bagi seorang akuntan publik adalah bertanggung
jawab atas setiap aspek tugasnya sehingga jika memang terjadi kesalahan yang diakibatkan oleh
kelalaian pihak auditor, maka akuntan publik dapat dimintai pertanggung jawaban secara hukum
sebagai bentuk kewajiban hukum auditor.
Walaupun seorang Akuntan Publik telah dikenai sanksi administrasi sebagai konsekuensi
dari pelanggaran PMK No. 17/PMK.01/2008, namun tetap saja pertangungjawaban untuk
mengganti kerugian pihak-pihak yang dirugikan akibat dari pelanggaran tersebut, dapat
dilakukan oleh pihak-pihak yang berhak atas pemenuhan ganti rugi berdasarkan pasal 1365
KUHPerdata.
Kewajiban bagi sebuah perusahaan untuk memberikan gambaran yang benar tentang status
kesehatan keuangannya, sangat berhubungan dengan konsekuensi hukum dari aktivitas berbisnis
(sebagai suatu hubungan hukum). Dimana konsekuensi hukum itu mengharuskan masing-masing
pihak yang terikat didalamnya untuk dapat memenuhi setiap kewajiban yang diikatkan
kepadanya, tepat seperti yang telah disepakati. Dalam keadaan yang terburuk, kegagalan dalam
pemenuhan kewajiban tersebut, baik sebagai akibat dari tindakan wan prestasi (1243
KUHPerdata) ataupun Perbuatan Melawan Hukum (1365 KUH Pedata) yang secara hukum (by
law) berdasarkan pasal 1131 KUHPerdata, akan memberikan konsekuensi penghukuman bagi
pihak yang telah melakukan tindakan wanprestasi ataupun melawan hukum tersebut untuk
membayar seluruh kerugian dari pihak-pihak yang dirugikan dengan menggunakan seluruh harta
miliknya, tidak saja yang telah ada akan tetapi juga yang akan ada.
Dari penjelasan tersebut di atas, terlihat begitu pentingnya keberadaan dari seorang Akuntan
Publik sebagai perwakilan dari kepentingan publik dalam suatu aktivitas perekonomian, yang
tidak saja melibatkan pelaku-pelaku bisnis pribadi akan tetapi juga melibatkan negara untuk
suatu jangkauan serta konsekuensi aktivitas dan hukum komersial yang berskala nasional
maupun internasional.

Tanggapan Profesi Terhadap Kewajiban Hukum


AICPA dan profesi mengurangi resiko terkena sanksi hukum dengan langkah-langkah berikut :
a. Riset dalam auditing
b. Penetapan standar dan aturan.
c. Menetapkan persyaratan untuk melindungi auditor.
d. Menetapka persyaratan penelaahan sejawat.
e. Melawan tuntutan hukum.
f. Pendidikan bagi pemakai laporan.
g. Memberi sanksi kepada anggota karena hasil kerja yang tak pantas.
h. Perundingan untuk perubahan hukum.

Tanggapan Akuntan Publik Terhadap Kewajiban Hukum


Dalam meringankan kewajibannya auditor dapat melakukan langkah-langkah berikut :
a. Hanya berurusan dengan klien yang memiliki integritas.
b. Mempekerjakan staf yang kompeten dan melatih serta mengawasi dengan pantas.
c. Mengikuti standar profesi.
d. Mempertahankan independensi.
e. Memahami usaha klien.
f. Melaksanakan audit yang bermutu.
g. Mendokumentasika pekerjaan secara memadai.
h. Mendapatkan surat penugasan dan surat pernyataan.
i. Mempertahankan hubungan yang bersifat rahasia.
j. Perlunya asuransi yang memadai.
k. Mencari bantuan hukum

Pemahaman Hukum dalam Kewajiban Auditor

Banyak profesional akuntansi dan hukum percaya bahwa penyebab utama tuntutan
hukum terhadap kantor akuntan publik adalah kurangnya pemahaman pemakai laporan keuangan
tentang perbedaan antara kegagalan bisnis dan kegagalan audit, dan antara kegagalan audit, dan
risiko audit. Berikut ini defenisi mengenai kegagalan bisnis, kegagalan audit dan risiko audit
menurut Loebbecke dan Arens (1999,h.787) :

1) Kegagalan bisnis : kegagalan yang terjadi jika perusahaan tidak mampu membayar
kembali utangnya atau tidak mampu memenuhi harapan para investornya, karena kondisi
ekonomi atau bisnis, seperti resesi, keputusan manajemen yang buruk, atau persaingan
yang tak terduga dalam industri itu.
2) Kegagalan audit :kegagalan yang terjadi jika auditor mengeluarkan pendapat audit yang
salah karena gagal dalam memenuhi persyaratan-persyaratan standar auditing yang
berlaku umum.

3) Risiko audit :adalah risiko dimana auditor menyimpulkan bahwa laporan keuangan
disajikan dengan wajar tanpa pengecualian, sedangkan dalam kenyataannya laporan
tersebut disajikan salah secara material.

Bila di dalam melaksanakan audit, akuntan publik telah gagal mematuhi standar profesinya,
maka besar kemungkinannya bahwa business failure juga dibarengi oleh audit failure. Dalam hal
yang terakhir ini, akuntan publik harus bertanggung jawab. Sementara, dalam menjalankan
tugasnya, akuntan publik tidak luput dari kesalahan.

Lingkungan Yuridis

Dalam hal terjadinya pelangaran yang dilakukan oleh seorang Akuntan Publik dalam
memberikan jasanya, baik atas temuan-temuan bukti pelanggaran apapun yang bersifat
pelanggaran ringan hingga yang bersifat pelanggaran berat, berdasarkan PMK No.
17/PMK.01/2008 hanya dikenakan sanksi administratif, berupa: sanksi peringatan, sanksi
pembekuan ijin dan sanksi pencabutan ijin seperti yang diatur antara lain dalam pasal 62, pasal
63, pasal 64 dan pasal 65. Penghukuman dalam pemberian sanksi hingga pencabutan izin baru
dilakukan dalam hal seorang Akuntan Publik tersebut telah melanggar ketentuan-ketentuan yang
diatur dalam SPAP dan termasuk juga pelanggaran kode etik yang ditetapkan oleh IAPI, serta
juga melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan yang berlaku yang berhubungan
dengan bidang jasa yang diberikan, atau juga akibat dari pelanggaran yang terus dilakukan
walaupun telah mendapatkan sanksi pembekuan izin sebelumya, ataupun tindakan-tindakan yang
menentang langkah pemeriksaan sehubungan dengan adanya dugaan pelanggaran
profesionalisme akuntan publik.

Akan tetapi, hukuman yang bersifat administratif tersebut walaupun diakui merupakan suatu
hukuman yang cukup berat bagi eksistensi dan masa depan dari seorang Akuntan Publik ataupun
KAP, ternyata masih belum menjawab penyelesaian permasalahan ataupun resiko kerugian yang
telah diderita oleh anggota masyarakat, sebagai akibat dari penggunaan hasil audit dari Akuntan
Publik tersebut.

Selama melakukan audit, auditor juga bertanggungjawab (Boynton,2003,h.68):

Mendeteksi kecurangan

1) Tanggungjawab untuk mendeteksi kecurangan ataupun kesalahan-kesalahan yang tidak


disengaja, diwujudkan dalam perencanaan dan pelaksanaan audit untuk mendapatkan
keyakinan yang memadai tentang apakah laporan keuangan bebas dari salah saji material
yang disebabkan oleh kesalahan ataupun kecurangan.

2) Tanggungjawab untuk melaporkan kecurangan jika terdapat bukti adanya kecurangan.


Laporan ini dilaporkan oleh auditor kepada pihak manajemen, komite audit, dewan
direksi

Tindakan pelanggaran hukum oleh klien

1) Tanggungjawab untuk mendeteksi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh klien.


Auditor bertanggungjawab atas salah saji yang berasal dari tindakan melanggar hukum
yang memiliki pengaruh langsung dan material pada penentuan jumlah laporan keuangan.
Untuk itu auditor harus merencanakan suatu audit untuk mendeteksi adanya tindakan
melanggar hukum serta mengimplementasikan rencana tersebut dengan kemahiran yang
cermat dan seksama.

2) Tanggungjawab untuk melaporkan tindakan melanggar hukum. Apabila suatu tindakan


melanggar hukum berpengaruh material terhadap laporan keuangan, auditor harus
mendesak manajemen untuk melakukan revisi atas laporan keuangan tersebut. Apabila
revisi atas laporan keuangan tersebut kurang tepat, auditor bertanggungjawab untuk
menginformasikannya kepada para pengguna laporan keuangan melalui suatu pendapat
wajar dengan pengecualian atau pendapat tidak wajar bahwa laporan keuangan disajikan
tidak sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum.

Lebih jauh Soedarjono dalam Sarsiti (2003) mengungkapkan bahwa auditor memiliki beberapa
tanggung jawab yaitu:
1) Tanggung jawab terhadap opini yang diberikan. Tanggung jawab ini hanya sebatas opini
yang diberikan, sedangkan laporan keuangan merupakan tanggung jawab manajemen.
Hal ini disebabkan pengetahuan auditor terbatas pada apa yang diperolehnya melalui
audit. Oleh karena itu penyajian yang wajar posisi keuangan, hasil usaha dan arus kas
sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku umum, menyiratkan bagian terpadu
tanggung jawab manajemen.

2) Tanggung jawab terhadap profesi. Tanggung jawab ini mengenai mematuhi


standar/ketentuan yang telah disepakati IAI, termasuk mematuhi prinsip akuntansi yang
berlaku, standar auditing dan kode etik akuntan Indonesia.

3) Tanggung jawab terhadap klien. Auditor berkewajiban melaksanakan pekerjaan dengan


seksama dan menggunakan kemahiran profesionalnya, jika tidak dia akan dianggap lalai
dan bisa dikenakan sanksi.

4) Tanggung jawab untuk mengungkapkan kecurangan. Bila ada kecurangan yang begitu
besar tidak ditemukan, sehingga menyesatkan, akuntan publik harus bertanggung jawab.

5) Tanggung jawab terhadap pihak ketiga, seperti investor, pemberi kredit dan sebagainya.
Contoh dari tanggung jawab ini adalah tanggung jawab atas kelalaiannya yang bisa
menimbulkan kerugian yang cukup besar, seperti pendapat yang tidak didasari dengan
dasar yang cukup.

6) Tanggung jawab terhadap pihak ketiga atas kecurangan yang tidak ditemukan. Dengan
melihat lebih jauh penyebabnya, jika kecurangan karena prosedur auditnya tidak cukup,
maka auditor harus bertanggung jawab.

Tanggung jawab hukum seorang akuntan public lazimnya berkenaan dengan perikatan
asurans, khususnya perikatan audit. Namun, KAP yang memberikan jasa nir-asurans seperti
konsultasi perpajakan, juga berpotensi menghadapi tuntutan hokum.

Apa penyebab akuntan public berhadapan dengan tuntutan hukum? Jawaban singkatnya,
ketidakpatuhan atau pelanggaran undang-undang. Undang-undang yang dilanggar bisa undang-
undang Negara lain. Contoh, seorang akuntan public yang terlibat dalam penyuapan pejabat
Indonesia, dalam “menangani” masalah perpajakan, bisa terkena FCPA (Foregin Corrupt
Practices Act). Perubuatan dilakukan di Indonesia, mengenai urusan pajak Indonesia. Namun,
perseroan Indonesia ini adalah anak perusahaan dari induk perusahaan yang surat berharganya
(saham, obligasi, dan lain-lain) diperdagangkan atau dicatat di pasar modal Amerika.

Penyebab lain mengapa akuntan public berhadapan dengan tuntutan hukum, adalah
karena ia merupakan sasaran empuk untuk tuntutan ganti rugi. Khususnya, jaringan kantor
akuntan global dan internasional yang melindungi diri mereka dengan asuransi atau
pertanggungan professional atau professional indemnity insurance (PII).

Kewajiban Menurut Hukum Kebiasaan (Common Law)

Common law seringkali diartikan sebagai hukum yang tidak tertulis. Hukum ini berdasarkan
atas keputusan pengadilan dan bukan atas hukum yang dibuat dan disahkan oleh pihak
legislative. Common law berasal dari prinsip-prinsip yang berdasarkan keadilan, alasan, dan hal-
hal yang masuk akal dan bukannya hukum yang absolute, tetap dan kaku. Prinsi-prinsip common
law ditentukan oleh kebutuhan social masyarakat. Oleh karena itu, perubahan pada common law
merupakan tanggapan atas kebutuhan masyarakat.

Dalam kasus-kasus yang spesifik, kewajiban seorang akuntan akan ditentukan oleh putusan
pengadilan Negara bagian atau federal yang mendorong untuk diterapkannya yurisprudensi yang
dirasakan mampu mengendalikan. Karena di Amerika Serikat terdapat 51 yurisdiksi yang
independen, maka mungkin akan timbul keputusan-keputusan pengadilan yang berbeda satu
sama lain untuk masalah yang relative serupa. Dalam kasus common law, hakim memiliki
fleksibilitas untuk mempertimbangkan factor-faktor social , ekonomi, politik maupun
yurisprudensi yang pernah ada. Menurut common law, kewajiban para CPA berkaitan luas
dengan dua pihak, yaitu para klien dan pihak ketiga.

Kewajiban Kepada Klien

Seorang CPA berada dalam hubungan kontraktual langsung dengan klien. Dengan
menyetujui untuk melaksanakan jasa bagi klien, CPA berperan sebagai kontraktor independen.
Jasa-jasa spesifik yang akan diberikan, sebaiknya disebutkan dalam surat perikatan. Istilah
hubungan pribadi dalam kontrak (privity of contract) menunjuk pada hubungan kontraktual yang
ada antara dua atau lebih pihak yang terlibat dalam kontrak. Cirri khas suatu perikatan audit
adalah anggapan bahwa audit akan dilakukan sesuai dengan standar professional, yaitu, standar
auditing yang berlaku umum (GAAS), kecuali kontrak menyebutkan kalimat lain yang berarti
sebaliknya. Seorang akuntan bertanggung jawab kepada klien sesuai dengan hokum kontrak atau
tort law (hukum yang mengatur tentang tuntutan ganti rugi).

Hukum Kontrak (Contract Law)

Seorang auditor bertanggung jawab kepada klien atas pelanggaran kontrak (breach of
contract), apabila ia:

· Menerbitkan laporan audit standar tanpa melakukan audit sesuai GAAS

· Tidak mengirimkan laporan audit sesuai dengan batas waktu yang telah disepakati

· Melanggar hubungan kerahasiaan klien

Kewajiban auditor harus atas pelanggaran kontrak dapat meluas sampai subrogee.
Subrogee ialah pihak yang memperoleh hak pihak lain melalui substitusi. Sebagai contoh,
jaminan karyawan dianggap merupakan bagian yang penting dari lingkungan pengendalian
intern perusahaan. Apabila terjadi penggelapan, perusahaan penjamin akan membayar kerugian
yang diasuransikan. Selanjutnya sesuai dengan hak subrogasi terhadap klaim kontraktual yang
diasuransikan, CPA dapat digugat atas kegagalannya menemukan kecurangan tersebut.

Apabila terjadi pelanggaran kontrak, penggugat akan mencari satu atau lebih jalan keluar sebagai
berikut :

1. Kewajiban spesifik tergugat dalam kontrak,

2. Kerugian keuangan langsung yang terjadi akibat pelanggaran tersebut,

3. Kerugian terkait dan kerugian sebagai konsekuensi yang merupakan akibat tidak langsung
atas pelanggaran tersebut.
Hukum Kerugian (Tort Law)

Seorang CPA juga bertanggung jawab kepada klien menurut hukum kerugian. Tindakan
merugikan (tort action) adalah tindakan salah yang merugikan milik, badan, atau reputasi
seseorang. Tindakan merugikan dapat dilakukan berdasarkan salah satu penyebab berikut ini :

1) Kelainan yang biasa (ordinary negligence), yaitu kelalaian untuk menerapkan tingkat
kecermatan yang biasa dilakukan secara wajar oleh orang lain dalam kondisi yang sama.

2) Kelalaian kotor (gross negligence), kelalaian untuk menerapkan tingkat kecermatan yang
paling ringan dalam suatu kondisi tertentu.

3) Kecurangan (fraud), yaitu penipuan yang direncanaka, misalnya salah saji,


menyembunyikan,mengungkapkan sehingga dapat merugikan pihak lain.

Menurut hukum kerugian, biasanya pihak yang dirugikan mencari kerugian keuangan. Kertas
kerja auditor sangat penting untuk membuktikan bahwa tuntutan pelanggaran kontrak dan
pelanggaran tugas adalah tidak benar menurut hukum kerugian. Dalam banyak kasus, penggugat
memiliki hak untuk menuntut dengan menggunakan pasal-pasal kontrak atau menggunakan
hukum kerugian.

Kewajiban Kepada Pihak Ketiga

Kewajiban auditor kepada pihak ketiga menurut common low merupakan hal yang
penting dalam setiap pembahasan tentang kewajiban auditor. Pihak ketiga (third party) dapat
didefinisikan sebagai seseorang yang tidak mengetahui tentang pihak-pihak yang ada di dalam
kontrak. Menurut sudut pandang hukum, terdapat dua kelompok pihak ketiga, yaitu : pemegang
utama dan pemegang hak lainnya. Pemegang hak utama (primery beneficiary) adalah seorang
yang namanya telah diketahui oleh seorang auditor sebelum audit dilaksanakan sebagai penerima
utama laporan auditor. Sebagai contoh, pada saat surat perikatan di tandatangani, bahwa klien
melaporkan bahwa akan digunakan untuk mendapatkan pinjaman dari City National Bank, maka
bank tersebut akan menjadi pemegang hak utama. Sebaliknya, pemegang hak lainnya (uder
beneficiaries) adalah pihak ketiga yang namanya tidak disebutkan, seperti para kreditor,
pemegang saham, dan investor potensial.

Auditor bertanggung jawab kepada semua pihak ketiga atas semua kelalaian kotor dan
kecurangan menurut hukum kerugian (tort law). Sebaliknya kewajiban auditor atas kelalaian
biasa pada umumnya berbeda antara kedua kelompok pihak ketiga tersebut.

Kewajiban Kepada Pemegang Hak Utama

Doktrin hubungan pribadi dalam kontrak meluas pada pemegang hak utama atas
pekerjaan auditor. Kasus yang bersejarah yang terjadi pada tahun 1931, Ultramares Corp. V.
Touche berikut temuan-temuan pentingnya akan disampaikan berikut ini :

Ultramares Corp. V. Touche (1931) kewajiban atas kelalain. Touche adalah auditor yang
digugat akan kegagalannya untuk menemukan transaksi fiktif yang menyebabkan terjadinya
lebih saji atas aktiva dan ekuitas pemegang saham sebesar $700 dalam audit laporan keuangan
Fred Stern & Co. setelah menerima laporan keuangan yang telah diaudit tersebut, Ultramares
memberikan pinjaman sejumlah besar uang kepada Stern, yang kemudian tidak mampu
mengembalikan pinjaman tersebut, karena memang benar-benar tidak mampu memenuhi
kewajiban-kewajibannya. Kemudian Ultramares menggugat kantor CPA yang mengaudit dengan
pasal kelalaian dan kecurangan.

Pengadilan menyatakan auditor bersalah atas kelalaian yang di perbuatnya, namun


akuntan tidak harus bertanggung jawab kepada pihak ketiga, kecuali kepada pemegang hak
utama. Hakim Cardozo menyatakan : seandainya ada kelalaian berupa kesalahan kecil atau
kesalahan besar yang bodoh atas kegagalan mendeteksi adanya pencurian atau pemalsuan dibalik
ayat-ayat jurnal yang fiktif, hal ini dapat menyeret seorang akuntan pada kewajiban dalam
jumlah yang tidak pasti, waktu yang tidak pasti, dan kelompok yang tidak pasti. Bahaya yang
ditimbulkan oleh bisnis yang di jalankan dengan persyaratan tersebut sangatlah besar sehingga
dapat membangkitkan keraguan apakah tidak terdapat kesalahan dalam kaitan tugas yang
membawa konsekuensi ini. Pengadilan juga menetapkan bahwa dengan adanya kelalaian, tidak
serta merta membebaskan para akuntan dari konsekuensi kecurangan. Kasus ini termasuk
kelalaian kotor yang berbentuk kecurangan.

Pada dasarnya kasus Ultramares mendukung doktrin hubungan pribadi dalam kontrak,
dimana pihak ketiga tidak dapat mengugat auditor untuk kelalaian biasa. Namun keputusan hakin
Cardozo memberikan hak kepada para pemegang hak utama sebagai yang mengetahui tentang
kontrak. Oleh karena itu, sebagai pemegang hak utama, Ultramares dapat menggugat dang anti
rugi terhadap kelalaian biasa seorang auditor.

Sebuah analisis atas keputusan tersebut menunjukkan adanya beberapa factor lingkungan
signifikan yang secara khusus menarik dalam pandangan lingkungan hukum yang diuraikan
sebelumnya. Pertama, hakim mengakui bahwa kewajiban yang diperluas atas kelalaian biasa
kepada pihak ketiga dapat menyurutkan langkah orang-orang untuk memasuki profesi akuntan,
sehingga dapat menghalangi masyarakat mendapatkan layanan yang bernilai. Kedua, dia menjadi
takut bahwa gangguan yang lebih luas atas doktrin hubungan pribadi dalam kontrak akan
berdampak juga kepada professional lainnya sebagai pengacara atau dokter. Ketiga, keputusan
tersebut menegaskan kembali kewajiban auditor kepada pihak ketiga atas terjadinya kelalaian
kotor atau kecurangan.

Kewajiban Kepada Pemegang Hak Lainnya

Factor-faktor lingkungan berikut telah memberikan sumbangan yang cukup berarti atas
terjadinya perubahan tersebut :

1) Konsep kewajiban telah berubah secara lambat namun signifikan untuk mewajibkan
perlindungan pelanggan dari kesalahan pabrikan (kewajiban produk) dari kesalahan
professional (kewajiban jasa),

2) Perusahaan bisnis dan kantor-kantor akuntan telah bertumbuh dalam ukuran yang
memungkinkan merekan memikul lebih baik tanggung jawab yang baru,

3) Jumlah individu dan kelompok yang mengandalkan laporan keuangan yang telah di audit
telah bertumbuh dengan mantab.
Putusan-putusan pengadilan telah mengakui adanaya 2 kategori pihak ketiga lain sebagai
pemegang hak sebagai berikut :

1) Golongan yang telah diketahui sebelumnya (foreseen class)

2) Pihak-pihak yang telah diketahui sebelumnya (foreseeable parties)

Golongan Yang Diketahui Sebelumnya

Pergeseran pertama dari doktrin Ultramares terjadi dalam bentuk penerimaan pengadilan
secara spesifik atas konsep golongan yang telah diketahui sebelumnya (foreseen class). Konsep
ini dijelaskan dalam Restatement (second) of Torts 552 sebagai berikut :

1) Seseorang yang memiliki kepentingan dalam melaksanakan usahanya, profesinya, atau


pekerjaan, atau dalam transaksi lainnya, dimana ia memiliki kepentingan keuangan,
ternyata memberikan informasi tidak benar yang akan menjadikan pedoman yang lain
dalam melakukan transaksi bisnisnya, akan bertanggungjawab atas kerugian keuangan
yang disebabkan oleh diandalkannya secara beralasan informasi tersebut, apabila ia gagal
kecermatan, atau kompetensi yang memadai dalam mendapatkan atau
mengkomunikasikan informasi tersebut.

2) Kecuali seperti yang dinyatakan dalam ayat 3, kewajiban yang dinyatakan dalam ayat 1
terbatas pada kerugian yang diderita,

a) Oleh seseorang atau suatu kelompok terbatas yang mendapatkan manfaat dan
pedoman yang dimaksudkan dengan memberikan informasi atau mengetahui
bahwa penerima bermaksud untuk memberikan informasi tersebut

b) Yang terjadi karena mengandalkan informasi tersebut dalam transaksi yang


dimaksudkan dapat di pengaruhi oleh informasi tersebut atau mengetahui bahwa
penerima bermaksud menggunakan informasi tersebut untuk mempengaruhi
transaksi yang substainsial.

3) Kewajiban seseorang yang sedang dalam tugas public untuk memberikan informasi luas
yang dimaksudkan untuk melindungi pihak-pihak yang menderita kerugian dalam bentuk
transaksi oleh kelompok yang mendapat manfaat yang ceritakan dari tugas tersebut.
Srs dan tanggung jawab hukum

SRO (self-regulating organization) dan SRS (self-regulating system) adalah salah satu
ciri organisasi professional. Dengan SRS profesi mengeluarkan aturan-aturan internal seperti
kode etik, standar pengendalian mutu, standar audit dan asurans, pengembangan professional
berkelanjutan.

Namun, perikatan KAP, baik asurans maupun nir-asurans dilakukan dengan pihak lain
yang tidak berkaitan dengan profesi. Dalam melaksanakan perkatan ini, KAP (rekan/partner dan
stafnya) berpotensi membuat kekeliruan, baik dengan maupun yang tidak sengaja, yang dapat
merugikan pihak-pihak lain.

Pihak-pihak yang merasa dirugikan, dapat menyeret ke “meja hijau”,

 Rekan KAP yang memimpin penugasan (partner-in charge)


 Rekan lain (misalnya yang melakukan concurring review dalam rangka kendali mutu)
 Staff pada jenjang yang tinggi (misalnya audit manager)
 Pimpinan KAP (CEO/managing paertner, umumnya KAP yang tidak terlalu besar);
dan/atau
 KAP itu sendiri (sebagai partnership, biasanya KAP besar)

Istilah “meja hijau” digunakan dalam arti seluas-luasnya, bisa:

 Di dalam pengadilan maupun diluar pengadilan (misalnya arbitrage), atau di


“pengadilan” profesi;
 Di pengadilan pun bisa bermacam-macam, seperti pengadilan perdata (dalam tuntutan
ganti rugi), pengadilan pidana, pengadilan administrative (misalnya oleh PPAJP, SEC
atau OJK, PCAOB, atau oleh BPK untuk KAP yang memeriksa untuk dan atas nama
BPK);
 Di pengadilan Indonesia atau di luar Indonesia. Contoh diluar Indonesia, kasus-kasus
Foreign Corrupt Practices Act yang ditangani DOJ (department of juctice) atau SEC di
Amerika Serikat berkenaan dengan kasus pajak yang ditangani rekan di bidang
perpajakan (tax partner) dari KAP Indonesia. Atau, jika ada gagal audit pada perusahaan
yang menjual atau mencatat surat berharganya di bursa luar negeri (misalnya wall street).
Kasus FCPA yang menyangkut partner Indonesia, sudah ada. Kasus di pasar modal luar
negeri, belum ada.

Pengadilan yang berhak menangani kasus yang dihadapi akuntan public tergantung pada:

 Ketentuan hukum yang berlaku di yudisdiksi yang bersangkutan (misalnya kasus


satyam di pengadilan profesi di India, pengadilan pidana di India, pengadilan
administrasi di U.S SEC, dan pengadilan perdata di New York)
 Siapa yang menemukan kasus tersebut (misalnya PPAJP di Indonesia, PCAOB untuk
emiten yang tercatat di pasar modal Amerika Serikat yang berdomisili dimana saja)
 “kelincahan” pengadilan professional setempat, yang seringkali membatasi
pemeriksaan sebatas pelanggaran kode etik, dan sanksinya sebatas peringatan,
teguran, larangan praktik dalam jangka waktu tertentu, atau larangan praktik seumur
hidup

Penyebab jarang sekali mendengar atau melihat atau membaca kasus Akuntan Publik di
Indonesia:

 Kelemahan penegakan hukum menyebabkan pihak yang merasa dirugikan lebih


suka tidak berurusan dengan hukum (di dalam atau diluar pengadilan)
 Meskipun penegakan hukum lemah, jika ada budaya litigasi (tuntutan hukum),
para penegak hukum akan memanfaatkan sebesar-besarnya peluang ini, karena
fee mereka yang dikaitkan dengan jumlah tuntutan yang diputuskan pengadilan.
 Kasus-kasus yang menyangkut pemberi tugas bukan lembaga atau badan usaha
milik negara, tidak diselesaikan melalui jalur hukum. Sekalipun dalam hal ini,
pihak yang dirugikan adalah bank-bank BUMN.
 Kasus Indonesia yang punya nilai jual untuk di publikasikan hanyalah kasus yang
di adili di luar Indonesia seperti kasus penyuapan pejabat pajak oleh perusahaan
public AS

Kasus-kasus Indonesia yang menarik perhatian public (melalui media) umumnya:

 Berkenaan dengan BUMN yang gagalatau kinerjanya di bawah harapan, dalam upaya
IPO (Initial Public Offering)
 Kegagalan atau kekurangan keberhasilan (misalnya harga penawaran saham yang jauh di
bawah harga yang sebelumnya di publikasi ke media) menyebabkan DIreksi atau pejabat
BUMN terkena sanksi jabatan.
 KAP partner melakukan perlawanan yang keras, termasuk penggunaan hak jawab.

Bank Dunia mendokumentasikan temuan-temuan PPAJP dalam suatu laporannya


mengenai accounting dan auditing di Indonesia. Laporan ini (ROSC 2010) mengistilahkan
temuan-temuan PPAJP, yang merupakan ketidakpatuhan, sebagai compliance gap. ROSC dini
disarikan dibawah. Temuan PPAJP ini tidak terkesan dahsyat, namun mengindikasikan tantangan
akuntan public kita dalam melaksanakan penugasan audit.

Apakah suatu bangsa atau masyarakat lebih litigious dari masyarakat lain? Pertanyaan ini
dibahas dalam bagian mengenai “litigation culture” (budaya litigasi). Pembahasan ini
menyajikan pendapat pakar-pakar dari Amerika Serikat, Inggris dan Jepang. Dari pembahasan
ini pembaca dapat memikirkan kondisi Indonesia.

Akuntan public atau KAP yang menghadapi tuntutan hukum, tidak serta-merta berarti ia
(akuntan public atau KAP) pasti bersalah. Apa peranan profesi ? di pengadilan apa saja ia bisa
diadili? Berapa lama? Apakah SRO (self regulation organization) dan SRS (self regulating
systems) yang dimiliki asosiasi profesi bisa membantunya? Setiap tuntutan hukum, apakah KAP,
akuntan publik atau KAP kemudian terbukti bersalah atau tidak, berdampak negatif terhadap
reputasi KAP.

Jika kita batasi pada penugasan audit, apa kiranya potensi penyebab tuntutan hukum
terhadap akuntan publik atau KAP di Indonesia? Meskipun belum pernah ada kasus hukum
temuan PPAJP yang dilaporkan Bank Dunia (ROSC) menarik untuk disimak.

ROSC : Temuan PPAJP


Laporan Bank Dunia (Report on the Observance of Standards and Codes tahun 2010,
disingkat ROSC 2010) tentang Accounting and Auditing membuat catatan tentang kualitas
akuntansi public di Indonesia.

ROSC 2012 melibatkan berbagai pemangku kepentingan di bidang akuntansi dan audit di
Indonesia. ROSC tersebut menyebutkan tingkat kesesuaian dengan standar audit yang berbeda
diantara Kantor Akuntan Publik dengan ukuran yang berbeda. KAP kecil biasanya lebih sulit
menerapkan pengendalian mutu karena keterbatasan sumber daya.

KAP besar yang berafiliasi dengan the Big Four, dianggap mampu memenuhi standar
internasional namun ada beberapa kasus dimana pengendalian mutu juga tidak diterapkan
dengan baik karena proses audit lebih banyak dilakukan oleh akuntan junior.

ROSC 2010 tersebut berisi wawancara dengan PPAJP pada Kementrian Keuangan.
PPAJP menemukan bahwa dari KAP yang ada (lebih dari 400), hanya sedikit yang mampu
memenuhi standar audit dengan baik. Ada kesenjangan dalam kepatuhan terhadap standar
(compliance gap) seperti berikut ini .

a) Banyak auditor tidak melakukan audit planning dengan baik.


b) Banyak dokumentasi yang diperlukan tidak disiapkan. Bahkan, meskipun proses audit
dilakukan dengan benar, dokumentasi yang seharusnya mendukung hasil audit tersebut,
tidak lengkap.
c) Banyak auditor tidak berupaya mendeteksi manipulasi (fraud).
d) Banyak auditor tidak memerika asumsi going concern yang digunakan oleh manajemen.
e) Banyak auditor tidak menerapkan prosedur untuk mengenal, menilai, dan menanggapi
risiko salah saji yang material, misalnya yang timbul akibat hubungan istimewa (related
party transaction)
f) Auditor sering kali menerima begitu saja penilaian manajemen.
g) Auditor juga sering menerima begitu saja penilaian auditor lain.

Litigation Culture
Tanyakan kepada para sarjana yang bukan sarjana hukum: “apakah Indonesia mempunyai
‘budaya’ tuntut-menuntut di antara sesama kita?” yang ditanya tidak langsung memahami
pertanyaannya. Ketika dijelaskan, ia berusaha mencari contoh dari kehidupan sehari-harinya.
Kemudian menjawab: “Engga tuh, ga ada budaya kayak gitu”.

Istilah budaya tuntut-menuntut atau budaya litigasi diterjemahkan dari bahasa inggris,
“litigation culture”. Masyarakat dengan “budaya” seperti itu disebut litigious society. Meskipun
banyak orang tidak setuju dengan istilah “budaya litigasi” atau “budaya korupsi”.

Kembali ke pertanyaan diatas, sarjana yang ditanya, mungkin akan memberi ulasan mengenai
negara lain: “Indonesia bukan ligitious society seperti masyarakat Amerika Serikat”. Besar
kemungkinannya yang menjawab pertanyaan itu ialah akuntan publik, yang membaca kasus-
kasus gagal audit, Sarbanes-Oxley Act, dan lenyapnya Arthur Andersen dari peta Big Five.

Bagian ini akan mengutip pendapat pakar-pakar dari tiga bangsa yang berbeda, mengenai
apakah masyarakatnya litigious society, dan mengapa atau mengapa tidak. Pendapat ketiga pakar
tidak selalu mewakili pandangan masyarakat yang mereka wakili.

Penjelasan pakar Amerika Serikat:

I’m going to go a completely different direction with this. The american legal system is
accessible, predictable, and not corrupt. Second, Americans overwhelmingly believe that
people should obey the rules, and accordingly the rules are fairly reasonable. So if
somebody does not obey the rules, they are more likely to try to work it out within the
legal system instead of using force, violence, pressure, etc. This is a cultural issue. Just
look at the sport of American football. Each play is preceded by a few minutes of
planning, a few seconds of action, and then a detailed review of the rules resulting in a
decision by the referees about who is entitled to what. Americans turn to the law to
resolve their disputes, not politics, and not criminals or intimidation.

Pakar ini menekankan empat hal berikut ini.

a) Kehebatan sistem hukum di negaranya dengan tiga adjektiva: accessible, predictable,


and not corrupt! Butir ini perlu menjadi cerminan sistem hukum Nusantara.
b) Keyakina orang Amerika pada umumnya, yaitu: hormati aturan! Mengendarai sepeda
motor di kaki lima, bukan urusan tuntutan hukum di bidsng akuntansi dan audit. Namun,
perilaku ini memberikan pencerahan mengenai kurang sadarnya “banyak anggota
masyarakat” terhadap aturan.
c) Ia menganggap tuntut-menuntut adalah budaya. This is cultural issue, katanya. Kemudian
ia memberi ilustrasi dari permainan sepak bola Amerika (American football bukan
soccer).
d) Dalam butiran terakhir, ia berbicara tentang tujuan litigasi. Americans turn to the law to
resolve their disputes, not politics, and not criminals or intimidation. Masyarakat
mernagkul hukum untuk menyelesaikan masalah di antara mereka. Ini bukan
mempolitasi, mengkriminalisasi, atau mengintimidasi. [apakah pakar ini pernah
berpraktik di Indonesia?]

Penjelasan pakar Inggris:


In the UK, the balance struck is that, because losers in a law suit will pay the other side’s
legal fees (in addition to their own), many people who have been legitimately wronged
might be deterred from bringing suits. Maybe the case is tough to make and there is a
high risk of losing, so they don’t do it. But then, the UK system also discourages
frivolous law suits, too; no one wants to bring a case they will lose or deserve to lose.

Pakar ini menekankan tiga hal berikut ini.


a) Pihak yang kalah wajib membayar fee untuk dirinya dan untuk pihak yang menang.
Singkatnya, legal fee (dan beban terkait) sangat mahal. Ini akan menjadi penghalang
(deterrent) seseorang yang benar sekalipun, untuk menuntut.
b) Jika kasusnya berat, dan ada risiko besar untuk kalah, pihak yang benar sekalipun,
memilih untuk tidak menuntut.
c) Sistem di UK itu sendiri tidak mendukung (discourages) tuntutan yang remeh-remeh
(frivolous law suits).

Penjelasa pakar Jepang:


Japan is said to be a non-litigious society. Some say thi is due to the general nature of
Japanese people, who try to avoid confrontation or do not wish their problems to be
exposed to the public and settled by an outsider. This is true not only of individuals but
also of companies.

Other say that the non-litigious society exists because of a systematic problem in the
Japanese civil and commercial procedure which has been criticised for its inefficiency in
time costs.

Pakar ini menjelaskan sebagai berikut:


a) Jepang bukan masyarakat yang suka litigasi.
b) Pertama, sifat orang Jepang pada umumnya, menghindari konfrontasi dan tidak suka
masalah internal dibuka kepada publik dan diselesaikan “orang luar” (pengacara,
penuntut hukum, hakim, pengadilan).
c) Kedua, masalah sistemis dengan prosedur hukum perdata dan hukum dagang yang
dikritik sebagai tidak efisien dalam artian waktu. Bahkan, dalam bagian lain dari tulisan
mereka, mereka menyatakan bahwa pengacara Jepang sangan kesulitan meyakinkan klien
mereka melakukan tuntutan hukum, sekalipun peluang untuk memenangkan perkaranya
sangat tinggi.

Penulis tidak mempunyai referensi dari pakar hukum Indonesia mengenai apakah kita
berbudaya litigasi atau tidak.

Meminimalkan Risiko Litigasi

Sebagaimana profesi yang lain, seperti dokter dan pengacara, dewasa ini para CPA juga
menjalankan praktiknya di dalam iklim kebijakan public nasional yang sedang menekankan pada
pentingnya perlindungan bagi konsumen (masayarakat umum) dari pekerjaan di bawah standar
yang dilakukan oleh para professional. Dari hasil analisis atas berbagai kasus pengadilan yang
melibatkan para CPA, direkomendasikan sejumlah tindak pencegahan yang perlu diambil oleh
seorang CPA untuk meminimalkan risiko terjerarat dalam litigasi, yaitu:
1) Menggunakan surat perikatan untuk semua jenis jasa professional. Surat-surat terssebut
akan menjadi dasar persetujuan kontraktual serta meminimalkan risiko kesalahpahaman
tentang jasa yang telah disepakati.

2) Melakukan investigasi yang menyeluruh atas klien prospektif. Investigasi ini penting
untuk meminimalkan kemungkinan CPA dikaitkan dengan klien yang manajemennya
tidak memiliki integritas.

3) Lebih menekankan mutu jasa daripada pertumbuhan. Kemampuan sebuah koantor


akuntan public untuk menetapkan staf dengan tepatr pada suatu perikatan merupakan hal
yang penting bagi mutu pekerjaan yang akan dihasilkan. Penerimaan tugas dengan objek
usaha baru yang akan menimbulkan perlunya kerja lembur yang berlebihan, beban kerja
di atas normal, serta kurangnya supervise dari professional yang berpengalaman
sebaiknya ditolak.

4) Mematuhi sepenuhnya ketentuan professional. Kepatuhan pada Statement on Auditing


Standard (SAS) merupakan hal yang penting. Seorang auditor harus mampu memberikan
alasan terjadinya setiap penyimpangan dari pedoman yang telah ditetapkan.

5) Mengakui keterbatasan ketentuan professional. Pedoman professional tidak mencakup


semuanya. Selainitu, pengujian subjektif atas kelayakan dan kewajaran akan digunakan
oleh para hakim, juri, dan pejabat pemerintah dalam menimbang pekerjaan auditor.
Auditor harus menggunakan pertimbangan professional yang mantap selama audit
berlangsung dan dalam penerbitan laporan audit.

6) Menetapkan dan menjaga standar yang tinggi atas pengendalian mutu. Kantor CPA dan
para auditor secara perorangan jelas dinyatakan bertanggung jawab atas pengendalian
mutu. Review sejawat (peer review) akan memberikan keyakinan independen tentang
mutu dan efektivitas berkanjut prosedur yang telah dirumuskan.

7) Memperhatikan tindak pencegahan dalam perikatan tentang keterlibatan klien dalam


kesulitan keuangan. Ancaman atas keadaan klien yang tidak solven ataupun kepailitan
dapat mengarah kepada kesengajaan salah saji dalam laporan keuangan. Banyak gugatan
hukum yang dilancarrkan terhadap auditor berawal dari kepailitan perusahaan yang
terjadi setelah terbitnya laporan auditor. Auditor harus menimbang dengan cermat
kecukupan dan kompetensi bukti yang diperoleh ketika mengaudit perusahaan tersebut.

8) Mewaspadai risiko audit. Dalam pertemuan konsultatif antara para staf AICPA dengan
Dewan Standar Auditing (ASB) yang dilaksanakan secara periodic, dibahas tentang
masalah-masalah risiko audit yang harus diwaspadai. Risiko audit yang harus diwaspadai
mengandung informasi penting tentang perkembangan ekonomi dan kebijakan dalam
industry tertentu yang dapat mempengaruhi pemeriksaan auditor dan pertimbangan
professional. Mengenali resiko audit yang harus diwaspadai akan sangat membantu
dalam menilai kelayakan dan kewajaran laporan keuangan seorang klien dalam industry
tertentu.

LAMPIRAN

ISA YANG MENGATUR KEWAJIBAN DAN TANGGUNG JAWAB HUMUM


AKUNTAN PUBLIK

IS Prinsip-prinsip Umum dan Tanggng Jawab


A
200 Tujuan Keseluruhan Auditor Independen dan Pelaksanaan
Audit Sesuai dengan Standar Internasional tentang Audit
210 Persetujuan Atas Ketentuan Perikatan Audit
220 Pengendalian Mutu untuk Audit Atas Laporan Keuangan
230 Dokumentasi Audit
240 Tanggung Jawab Auditor yang Berkaitan dengan Kecurangan
dalam Audit Laporan Keuangan
250 Pertimbangan Hukum dan Peraturan dalam Audit Laporan
Keuangan
260 Komunikasi dengan Pihak yang Bertanggung Jawab Atas Tata
Kelola
265 Pengkomunikasian Defisiensi dalam Pengendalian Internal
kepada Pihak yang Bertanggung Jawab Atas Kelola dan
Manajemen

IS Deskripsi
A
20 Ruang lingkup tujuan keseluruhan auditor independen dalam
0 pelaksanaan suatu audit berdasarkan ISA mencakup pemberian
opini atas kewajaran pelaporan keuangan dan kepatuhan bahwa
laporan keuangan telah disusun sesuai dengan pedoman standar
yang berlaku. Dalam melakukan audit sesuai dengan ISA,
auditor harus memperhatikan aspek kepatuhan dan kewajaran
penyajian laporan keuangan. Dalam GAAS auditor hanya
dituntut untun menyatakan kewajaran atas penyajian laporan
keuangan
21 A) Auditor harus mengirimkan surat perikatan audit kepada klien
0 sebelum dimulainya audit untuk menghindari kesalahpahaman
yang mungkin terjadi antara auditor dan klien sehubungan
dengan proses audit. Dalam ISA 201 terdapat suatu kondisi
dimana manajemen yang diatur dalam paragraf 11-12. Peraturan
perundang-undangan mungkin telah mengatur tentang tujuan
dan lingkup audit serta tanggungjawab manajemen sehinggan
dalam paragraf 11 dijelaskan bahwa auditor tidak perlu
memasukan ketentuan perikatan audit tertentu ke dalam surat
perikatan audit. Dalam paragraf 12, surat perikatan tersebut
harus menggunakan kata-kata yang sesuai dengan aturan
perundang-undangan jika tanggung jawab manajemen diatur
dalam peraturan tersebut. Persyaratan tersebut tidak termasuk
dalam GAAS.
B) Paragraf 18 menjelaskan bahwa auditor harus
mempertimbangkan apakah terdapat benturan standar pelaporan
keuangan dan ketentuan tambahan yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan. Jika terdapat suatu benturan,
auditor harus berdiskusi dengan manajemen mengenai sifat
ketentuan tambahan tersebut saat mengambil tindakan. Ketika
tidak terdapat tindakan yang dapat dilakukan, auditor harus
mempertimbangkan untuk melakukan modifikasi opin auditor.
Persyaratan ini tidak terdapat dalam GAAS.
22 A) Dalam ISA 220 paragraf 21 berisi ketentuan yang berhubungan
0 dengat audit pada perusahaan yang tercatat dibursa, yairu
review atas quality control yang dilakukan oleh kementrian
keuangan (PPAPJ) harus mempertimbangkan beberapa hal
seperti evaluasi atas independensi firm dalam perikatan audit,
konsultasi atas hal yang menimbulkan perbedaan pendapat telah
dilakukan dan dokumentasi audit yang dipilih untuk review
telah mewakili pekerjaan yng dilakukan persyaratan ini tidak
terdapat dalam GAAS.
B) Dalam ISA paragraf 19, dijelaskan bahwa review atas quality
control harus dilaksanakan sebelum laporan auditor diterbitkan.
Dalam GAAS persyaratan ini tidak dijelaskan secara rinci
karena menurut ASN review atas quality control merupakan
review yang independen.
23 A) Dalam ISA paragraf 14, auditor diwajibkan untuk menyusun
0 dokumentasi audit dalam sebuah berkas audit dan melengkapi
proses administrative yang diperlukan secara tepat waktu dan
baas waktu untuk menyelesaikan kumpulan berkas audit final
adalah tidak lebih dari 60 hari setelah tanggal laporan auditor.
hal ini diatur dalam standar audit terdahulu.
B) Dalam ISA dijelaskan bahwa setelah penyusunan berkas audit
final selesai, auditor tidak boleh menghapus atau membuang
dokumentasi audit dalam sifat apapun sebelum akhir periode
retensi. Periode retensi untun perikatan audit biasanya tidak
lebih pendek dari lima tahun sejak tanggal laporan auditor pada
laporan keuangan entitas maupun konsolidasian.
26 ISA menghapuskan auditor untuk mengkomunikasikan masalah
0 tertentu mengenai independensi. Hal ini dijelaskan dalam SA
260 paragraf 13 dan 17 bahwa auditor harus memenuhi
persyaratan etika yang relevan, termasuk yang berkaitan dengan
independensi, sehubungan dengan perikatan auditnatas laporan
keuangan. Persyaratan tersebut tidak terdapat dalam GAAS.

Anda mungkin juga menyukai