Anda di halaman 1dari 96

BAHAN AJAR/DIKTAT

BAHASA INDONESIA
KPKI62104
2 SKS

NONI FEBRIANA, M.Pd

PROGRAM STUDI SISTEM KOMPUTER


FAKULTAS ILMU KOMPUTER
UNIVERSITAS PUTRA INDONESIA “YPTK”
PADANG
2020
VERIFIKASI BAHAN AJAR

Pada hari ini, Sabtu, 29 Agustus 2020 Bahan Ajar Mata Kuliah .Bahasa Indonesia Program
Studi Sistem Komputer Fakultas Ilmu Komputer telah diverifikasi oleh Ketua Jurusan/ Ketua
Program Studi Sistem Komputer
Padang, 29 Agustus 2020
Ketua Jurusan/ Ketua Prodi Sistem Komputer Penulis

Retno Devita, S.Kom., M.Kom. Desi Afrianti, S.S., M.Hum


NIDN.1004038101 NIDN. 1001048602

Diketahui oleh.
Dekan Fakultas,

Dr. Ir. Sumijan, M.Sc.


NIDN.0005076607

BAB I
IHWAL BAHASA INDONESIA
(SEJARAH DAN
PERKEMBANGANNYA)

A. Deskripsi Singkat
Hal-hal yang dibahas dalam BAB ini meliputi: asal-usul bahasa Indonesia, peresmian nama
bahasa Indonesia, peristiwa-peristiwa penting dalam perkembangan bahasa Indonesia, dan
perkembangan bahasa Indonesia terkini

B. Capaian Pembelajaran Matakuliah


Setelah mempelajari materi ini mahasiswa diharapkan mampu memahami dan menjelaskan
kembali asal-usul bahasa Indonesia, peristiwa-peristiwa penting dalam perkembangan
bahasa Indonesia, pertimbangan penggunaan nama Indonesia sebagai nama bahasa
menggantikan nama Melayu, serta perkembangan bahasa Indonesi terkini.

C. Isi Materi Perkuliahan


1. Asal-usul Bahasa Indonesia
Bahasa merupakan salah satu unsur identitas suatu bangsa. Begitu pula bahasa Indonesia
merupakan salah satu identitas nasional bagi bangsa dan negara Indonesia. Bahasa
Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia dan bahasa persatuan bangsa
Indonesia. Bahasa Indonesia diresmikan penggunaannya satu hari setelah Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada tanggal 18 Agustus 1945, bersamaan dengan mulai
berlakunya Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945.
Dari sudut pandang linguistik, bahasa Indonesia adalah salah satu dari banyak ragam
bahasa Melayu. Ragam yang dipakai sebagai dasar bagi bahasa Indonesia adalah bahasa
Melayu Riau. Prijana dalam predvisnya pada kongres bahasa Indonesia yang diadakan
pada tahun 1954 di Medan berkata: “Bahasa Indonesia tumbuh dari bahasa Melayu, tetapi
tidak sama lagi dengan bahasa Melayu. Bahasa Indonesia bukan sama, tetapi bukan
berlainan juga dengan bahasa Melayu” (Tarigan, 1989:96).
Pada Abad ke-19, bahasa Melayu merupakan bahasa penghubung antaretnis dan suku-
suku di kepulauan nusantara. Selain menjadi bahasa penghubung antaretnis dan suku-
suku, dulu bahasa Melayu juga menjadi bahasa penghubung dalam kegiatan perdagangan
internasional di wilayah nusantara.
Trasaksi antarpedagang, baik yang berasal dari pulau-pulau di wilayah nusantara maupun
orang asing, menggunakan bahasa pengantar bahasa Melayu. Bahasa melayu kala itu
adalah lingua franca (bahasa pengantar dalam pergaulan) antarwarga nusantara dan
dengan pendatang dari manca negara. Penggunaan bahasa Melayu sebagai lingua franca
atau bahasa pergaulan bagi suku-suku di wilayah nusantara dan orang-orang asing yang
datang ke wilayah nusantara dibuktikan dalam berbagai temuan prasasti dan sumber-
sumber dokumen. Dari dokumen-dokumen yang ditemukan diketahui bahwa orang-orang
Cina, Persia dan Arab, pernah datang ke kerajaan Sriwijaya di Sumatera untuk belajar
agama Budha.
Pada sekitar abad ke-7 kerajaan Sriwijaya merupakan pusat internasional pembelajaran
agama Budha, dan negara yang terkenal sangat maju perdagangannya. Kala itu, bahasa
Melayu merupakan bahasa pengantar dalam pembelajaran agama Budha dan perdagangan
di Asia Tenggara. Bukti-bukti yang menyatakan hal itu adalah prasasti-prasasti yang
ditemukan di Kedukan Bukit di Palembang (683 M), Talang Tuwo di Palembang (684 M),
Kota Kapur (686 M), Karang Birahi di Jambi (688 M). Prasasti-prasasti itu bertuliskan huruf
Pranagari dan berbahasa Melayu Kuno. Bahasa Melayu Kuno ternyata tidak hanya dipakai
pada masa kerajaan Sriwijaya saja karena di Jawa Tengah (Ganda Suli) juga ditemuka
prasasti berangka tahun 832 M dan di Bogor berangka tahun 942 M yang juga
menggunakan bahasa Melayu kuno.
Pada masa keemasan kerajaan Sriwijaya, bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa
kebudayaan dan pendidikan. Waktu itu bahasa Melayu dipakai dalam buku-buku pelajaran
agama Budha. Seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing yang belajar agama Budha di Sriwijaya,
antara lain menyatakan bahwa di Sriwijaya kala itu ada bahasa yang bernama Koen Loen
yang berdampingan dengan bahasa Sanskerta. Sebutan Koen-Luen bermakna bahasa
perhubungan (lingua franca), yaitu bahasa Melayu (Ali Syahbana, 1971).
Sejarah bahasa Melayu yang telah lama menjadi lingua franca tampak makin jelas dari
peninggalan-peninggalan kerajaan Islam, antara lain tulisan pada batu nisan di Minye Tujah,
Aceh (tahun 1380 M) dan karya sastra abad 16-17, misalnya syair Hamzah Fansuri yang
berisi hikayat raja-raja Pasai dan buku Sejarah Melayu, yaitu Tajussalatin dan
Bustanussalatin. Selanjutnya, bahasa Melayu menyebar ke seluruh pelosok nusantara
bersama dengan menyebarnya agama Islam di wilayah.
Keberadaanya sebagai bahasa pergaulan/ lingua franca membuat bahasa melayu dikenal
luas oleh berbagai kelompok masyarakat. Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa
bahasa Melayu ditetapkan sebagai dasar bagi bahasa Indonesia.
Alasan lain mengapa bahasa Melayu dipilih menjadi bahasa nasional bagi negara Indonesia
adalah karena hal-hal sebagai berikut. Dibandingkan dengan bahasa daerah lain, misalnya
bahasa Jawa, sesungguhnya jumlah penutur bahasa Melayu tidak lebih banyak. Dipandang
dari jumlah penuturnya, bahasa Jawa jauh lebih besar karena menjadi bahasa ibu bagi
sekitar setengah penduduk Indonesia; sedangkan bahasa Melayu dipakai tidak lebih dari
sepersepuluh jumlah penduduk Indonesia. Bahasa Melayu ragam Riau merupakan bahasa
yang kurang berarti. Bahasa itu diperkirakan dipakai hanya oleh penduduk kepulauan Riau,
Linggau, dan penduduk pantai-pantai di Sumatera. Namun di sinilah letak kearifan para
pemimpin kita dahulu. Mereka tidak memilih bahasa daerah yang besar sebagai dasar bagi
bahasa Indonesia karena dikhawatirkan akan dirasakan sebagai pengistimewaan yang
berlebihan.
Jadi, alasan kedua, mengapa bahasa Melayu dipilih sebagai dasar bagi bahasa Indonesia
adalah karena bahasa itu sederhana sehingga lebih mudah dipelajari dan dikuasai. Bahasa
Jawa lebih sulit dipelajari dan dikuasai karena kerumitan strukturnya, tidak hanya secara
fonetis dan morfologis tetapi juga secara leksikal. Seperti diketahui, bahasa Jawa memiliki
ribuan morfem leksikal dan stuktur gramatikal yang banyak dan rumit. Penggunaan bahasa
Jawa juga dipengaruhi oleh struktur budaya masyarakat Jawa yang cukup rumit.
Ketidaksederhaan itulah yang menjadi alasan mengapa bukan bahasa Jawa yang dipilih
sebagai dasar bagi bahasa Indonesia. Yang sangat menggembirakan adalah bahwa orang-
orang Jawa pun menerima dengan ikhlas kebedaraan bahasa Melayu sebagai dasar bagi
bahasa Indonesia, meskipun jumlah orang Jawa jauh lebuih banyak daripada suku-suku
lain.
Secara singkat, alasan pemilihan bahasa Melayu sebagai dasar pembentukan bahasa
Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Bahasa Melayu adalah lingua franca (dalam transaksi perdagangan)
b. Bahasa melayu memiliki struktur yang sederhana
c. Suku-suku lain menerima dengan baik
Perkembangan Islam di Nusantara juga berperan besar dalam perkembangan bahasa
Melayu. Selain itu, kehadiran para pedagang dari Portugis, Belanda, Spanyol, Inggris, dan
Cina. Bahasa Melayu perlahan mengenal kosa kata baru hasil akulturasi bahasa dengan
berbagai bahasa asing tersebut.
Tonggak penting bagi bahasa Melayu terjadi ketika pada pertengahan abad ke-19 Raja Ali
Haji dari istana Riau-Johor (pecahan Kesultanan Melaka) menulis kamus bahasa Melayu.
Sejak saat itu kedudukan bahasa Melayu menjadi setara dengan bahasa-bahasa lain di
dunia, karena memiliki kaidah dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas. Hingga
akhir abad ke-19 dapat dikatakan terdapat paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu yang
dikenal masyarakat Nusantara, yakni bahasa Melayu Pasar yang kolokial dan tidak baku
serta bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya tetapi memiliki standar. Bahasa ini
dapat dikatakan sebagai lingua franca, tetapi kebanyakan berstatus sebagai bahasa kedua
atauketiga.
Dengan mengamati perkembangannya, pemerintah kolonial Hindia-Belanda menyadari
bahwa bahasa Melayu dapat dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai
pribumi karena penguasaan bahasa Belanda para pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan
menyandarkan diri pada bahasa Melayu Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab rujukan)
sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam standardisasi bahasa. Pengenalan bahasa
Melayu pun dilakukan di sejumlah institusi pemerintah, seperti sekolah-sekolah dan lembaga
pemerintahan. Sastrawan juga mulai menulis karyanya dalam bahasa Melayu. Sebagai
dampaknya, terbentuklah cikal-bakal bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai
terpisah dari asal-usulnya, yaitu bahasa Melayu Riau.
Pada awal abad ke-20 perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu mulai terlihat.
Di tahun 1901, Indonesia (sebagai Hindia-Belanda) mengadopsi ejaan Van Ophuijsen. Pada
tahun 1904 wilayah Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari Malaysia) di
bawah jajahan Inggris mengadopsi ejaanWilkinson.
Tahun 1896 dimulai penyusunan ejaan Van Ophuysen yang diawali penyusunan Kitab Logat
Melayu (dimulai tahun 1896) oleh van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan
Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Menyadari akan pentingnya kedudukan bahasa Melayu,
campur tangan pemerintah semakin kuat. Pada tahun 1908 pemerintah kolonial membentuk
Commissie voor de Volkslectuur atau “Komisi Bacaan Rakyat” (KBR). Lembaga ini
merupakan embrio Balai Poestaka. komisi ini. Di bawah pimpinan D.A. Rinkes, pada tahun
1910 KBR melancarkan program Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil
di berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi pemerintah. Perkembangan program ini
sangat pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar 700 perpustakaan. Cara ini ditempuh
oleh pemerintah kolonial Belanda karena melihat kelenturan bahasa Melayu Pasar yang
dapat mengancam eksistensi jajahanannya. Pemerintah kolonial Belanda berusaha
meredamnya dengan mempromosikan bahasa Melayu Tinggi, diantaranya dengan
penerbitankarya sastra dalam Bahasa Melayu Tinggi oleh Balai Pustaka. Namun, bahasa
Melayu Pasar sudah telanjur berkembang dan digunakan oleh banyak pedagang dalam
berkomunikasi.
Pada tahun 1917 pemerintah kolonial belanda mengubah KBR menjadi Balai Pustaka.
Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel, seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-
buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit
membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.

2. Peresmian Nama Bahasa Indonesia


Pada tahun 1928 bahasa Melayu mengalami perkembangan yang luar biasa. Pada tahun
tersebut para tokoh pemuda dari berbagai latar belakang suku dan kebudayaan membuat
ikrar untuk menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan Indonesia. Ikrar ini
dicetuskan melalui Sumpah Pemuda. Ikrar Sumpah Pemuda dilakukan karena perjuangan
rakyat yang telah dilakukan bertahun-tahun untuk kemerdekaan belum juga berhasil. Sebab
utama gagalnya perjuangan mencapai kemerdekaan karena sifatnya masih kedaerahan.
Egoisme suku dandaerah menjadi penghalang munculnya persatuan. Kesadaran itu
kemudian memotivasi para pemuda dari berbagai daerah di nusantara untuk berkumpul dan
membuat ikrar yang kemudian dikenal dengan nama “Sumpah Pemuda”. Ikrar para pemuda
itulah yang menjadi penyemangat muncul gerakan persatuan rakyat untuk mencapai
kemerdekaan, yang akhirnya membuahkan hasil berupa kemerdekaan Republik Indonesia
pada 17 Agustus 1945.
Satu hari setelah kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada tanggal 18 Agustus 1945, bahasa
bahasa Indonesia secara yuridis-formal diakui sebagai bahasa resmi negara dan bahasa
persatuan bangsa. Pada saat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, usul agar bahasa Melayu
diangkat sebagai bahasa nasional disampaikan oleh Muhammad Yamin, seorang
politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di
Jakarta, Muhammad Yamin mengatakan: “Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa
yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan
menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa
Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan.”
Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh
sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir
Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak
mengisi dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa
Indonesia. Penamaan dari "Bahasa Indonesia“ diawali sejak adanya Sumpah Pemuda, 28
Oktober 1928, guna menghindari "imperialisme bahasa" jika nama dari bahasa Melayu
dipertahankan.

3. Peristiwa-peristiwa Penting dalam Perkembangan Bahasa Indonesia


Peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan tonggak sejarah dan perkembangan bahasa
Indonesia, antara lain sebagai berikut.
a. Tahun 1901 disusunlah ejaan resmi bahasa Melayu oleh Ch. A. Van Ophuijsen yang
dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Ejaan
ini dimuat dalam Kitab Logat Melayu.
b. Balai Pustaka di didirikan oleh Belanda. Tahun 1908 pemerintah kolonial Belanda
mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku bacaan yang diberi nama Commissie
voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian pada tahun 1917
diubah menjadi Balai Pustaka. Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel, seperti
Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun
memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di
kalangan masyarakat luas.
c. Bahasa Indonesia (bahasa melayu) digunakan untuk pertama kali dalam sidang
Volksraad (dewan rakyat) pada 16 Juni 1927 oleh Jahja Datoek Kayo.
d. Peristiwa “Sumpah Pemuda” yang salah satu hasilnya adalah pengakuan terhadap
eksistensi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (poin ke tiga dalam ikrar)
pada 28 Oktober 1928.
e. Lahirnya angakata sastra “Pujangga Baru” pada 1933 yang kemudian menyusun
“Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia pada 1936. Pujangga Baru adalah angkatan
sastrawan muda yang yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana.
f. Kongres Bahasa Indonesia I di Solo pada 25-28 Juni 1938 dilangsungkan. Salah
satu hasil kongres itu adalah kesimpulan tentang perlunya usaha pembinaan dan
pengembangan bahasa Indonesia yang dilakukan secara sadar oleh cendekiawan
dan budayawan Indonesia saat itu.
g. Bahasa Indonesia diresmikan sebagai bahasa Negara pada 18 Agustus 1945 (Pasal
36 UUD 1945). Hal ini ditantandai dengan ditandatangani Undang-Undang Dasar
1945.
h. Peresmian penggunaan ejaan Republik (ejaan soewandi) pada 19 Maret 1947
sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.
i. Kamus Bahasa Indonesia berhasil disusun untuk pertama kalinya oleh W.J.S
Poerwodarminta pada tahun 1953. Dalam kamus tersebut tercatat jumlah lema (kata)
dalam bahasa Indonesia mencapai 23.000.
j. Kongres Bahasa Indonesia II di Medan pada tanggal 28 Oktober s.d.2 November
1954 merupakan salah satu perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk terus-
menerus menyempurnakan bahasa Indonesia baik dalam kedudukannya sebagai
bahasa kebangsaan maupun sebagai bahasa bahasa negara.
k. Peresmian penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD) pada
16 Agustus 1972 oleh Presiden Republik Indonesia H. M. Soeharto, dalam pidato
kenegaraan di hadapan sidang DPR yang dikuatkan pula dengan Keputusan
Presiden No. 57, tahun 1972.
l. Penetapan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan dan
Pedoman Umum Pembentukan pada 31 Agustus 1972 oleh Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan. Mulai saat itu pedoman tersebut berlaku di seluruh wilayah Indonesia.
Momentum tersebut dikenal sebagai Wawasan Nusantara.
m. Kongres bahasa Indonesia V di Jakarta pada tanggal 28 Oktober s.d. 3 November
1988 yang dihadiri oleh kira-kira tujuh ratus pakar bahasa Indonesia dari dalam
negeri dan peserta tamu dari negara sahabat seperti Brunei Darussalam, Malaysia,
Singapura, Belanda, Jerman, dan Australia. Kongres itu ditandatangani dengan
dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
kepada pencinta bahasa di Nusantara, yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan
Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
n. Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta pada tanggal 28 Oktober s.d. 2 November
1993 yang diharidi 770 pakar bahasa Indonesia dalam negeri dan 53 peserta tamu
dari Australia, Brunei Darussalam, Jerman, Hongkong, India, Italia, Jepang, Rusia,
Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Kongres mengusulkan agar Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga
Bahasa Indonesia, serta mengusulkan disusunnya Undang-Undang Bahasa
Indonesia.
Selain beberapa peristiwa penting yang diuraikan di atas, terdapat beberapa gerakan
kemasyarakatan yang berperan besar dalam perkembangan Bahasa Indonesia. Berikut
uaraiannya:
a. Budi Oetomo
Pada tahun 1908, Budi Oetomo (BU) yang merupakan organisasi sosialpolitik nasional yang
pertama berdiri. Dalam organisasi ini banyak kaum terpelajar bangsa Indonesia berkumpul
dan menyalurkan aspirasi politiknya. Mereka pada umumnya menuntut persamaan hak
untuk belajar di sekolahsekolah Belanda sebagaimana pemuda-pemuda Belanda. Pada
permulaan abad ke-20, pemuda Indonesia bisa belajar di sekolah-sekolah Belanda jika
menguasai bahasa Belanda. Para pemuda menuntut agar syarat itu diperingan bagi warga
pribumi.
b. Balai Pustaka
Balai Pustaka (BP) didirikan pada 1908, dan untuk pertama kali dipimpin Dr. G.A.J. Hazue.
Mulanya badan ini bernama Commissie Voor De Volkslectuur. Baru pada tahun 1917
namanya berubah menjadi Balai Pustaka. Selain menerbitkan buku-buku, balai pustaka juga
menerbitkan majalah.Peranan BP dalam mengembangkan bahasa Indonesia, antara lain:
1) Memberikan kesempatan kepada pengarang-pengarang pribumi untuk menulis
karyanya dalam bahasa Melayu.
2) Memberikan kesempatan kepada rakyat Indonesia untuk membaca hasil ciptaan
bangsanya sendiri dalam bahasa Melayu.
3) Menjembatani hubungan antara sastrawan dengan masyarakat, sebab melalui
karangannya sastrawan melukiskan hal-hal yang dialami oleh bangsanya dan hal-hal
yang menjadi cita-cita bangsanya
4) BP juga mempengaruhi perkembangan bahasa Melayu sebab diantara syarat-syarat
yang harus dipenuhi oleh karangan yang akan diterbitkannya ialah tulisan yang
disusun dalam bahasa Melayu yang baik.
c. Sumpah Pemuda
Kongres pemuda yang paling dikenal ialah kongres pemuda ke II yang diselenggarakan
pada tahun 1928 di Jakarta. Sebelumnya, yaitu tahun 1926, telah pula diadakan kongres
pemuda I di Jakarta. Bagi bahasa Indonesia memontum ini sangat berpengaruh karena
mulai saat itu bangsa Indonesia memiliki bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Secara
politis, Kongres Pemuda 1928 menjadi cikal bakal munculnya gerakan politik nasional
seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, dan Jong Sumatrenen Bond. Gerakan politik itulah yang
menjadi pendukung utama munculnya semangat kemerdekaan. Pada tahun itu juga
organisasi-organisasi pemuda memutuskan bergabung dalam wadah yang lebih besar, yaitu
Gerakan Indonesia Muda.
Peristiwa Sumpah Pemuda 1928 ini dianggap sebagai awal lahirnya bahasa Indonesia yang
sebenarnya, karena sejak saat itu bahasa Indonesia menjadi media dan sebagai simbol
kemerdekaan bangsa. Tidak bisa dipungkiri bahwa cita-cita kemerdekaan mulai mengkristal
dan menunjukkan kenyataannya sejak Sumpah Pemuda 1928. Mulai saat itu bahasa
Indonesia tidak hanya menjadi media kesatuan dan politik, melainkan juga menjadi bahasa
pengantar dalam bidang sastra.
Ikrar sumpah pemuda:
Pertama: Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu,
tanahIndonesia.
Kedua: Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Ketiga: Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
d. Sarikat Islam
Gerakan Sarekat Islam (SI) yang berdiri pada tahun 1912 memiliki arti penting bagi
perkembangan bahasa Indonesia. SI yang pada awalnya hanya bergerak dibidang
perdagangan, kemudian berkembang menjadi gerakan sosial dan politik. Sejak berdirinya,
SI bersifat non kooperatif dengan pemerintah Belanda. Untuk mewujudkan sikapnya itu para
tokoh dan anggota SI tidak pernah mau menggunakan bahasa Belanda. Mereka
menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi, baik pada situasi resmi maupun
pergaulan sehari-hari. Gerakan SI menjadi pendukung utama penggunaan bahasa
Indonesia jauh sebelum Sumpah Pemuda dilaksanakan.

4. Perkembangan Bahasa Indonesia Terkini


Sejak bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa resmi negara pada 18 Agustus 1945
melalui Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 36 bab XV yang berbunyi: “Bahasa negara ialah
bahasa Indonesia”, maka bahasa Indonesia mengalami babak baru perkembangannya.
Pada 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan Ejaan Republik (Ejaan Soewandi) sebagai
pengganti Ejaan van Ophuijsen yang berlaku di era penjajahan. Dengan demikian, bahasa
Indonesia
resmi memiliki ejaan sendiri.
Pada tahun 1953 Kamus Bahasa Indonesia berhasil disusun untuk pertama kalinya oleh
W.J.S Poerwodarminta. Dalam kamus tersebut tercatat jumlah lema (kata) dalam bahasa
Indonesia mencapai 23.000. Pada tahun 1976, Pusat Bahasa menerbitkan Kamus Bahasa
Indonesia, dan terdapat penambahan 1.000 kata baru. Pada tahun 1988 terjadi loncatan
yang luar bisa dalam Bahasa Indonesia. Dari 23.000 kata telah berkembang menjadi
62.000. Selain itu, setelah bekerja sama dengan Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei,
berhasil dibuat 340.000 istilah baru di berbagai bidang ilmu.
Pada tahun 1980-an ketika terjadi ledakan kegiatan ekonomi di Indonesia, yaitu saat banyak
produk asing masuk ke Indonesia, banyak istilah asing masuk ke Indonesia. Istilah asing
marak digunakan sehingga pemerintah menjadi khawatir. Pada tahun 1995 terjadi
pencanangan berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Nama-nama gedung, perumahan
dan pusat perbelanjaan yang berbau asing diganti dengan nama yang berbahasa Indonesia.
Perkembangan bahasa Indonesia di era reformasi diawali dengan Kongres Bahasa
Indonesia VII yang diselenggarakan di Hotel Indonesia, Jakarta pada 26-30 Oktober 1998.
Kongres itu mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa dengan ketentuan
sebagai berikut: (a) Keanggotaannya terdiri dari tokoh masyarakat dan pakar yang
mempunyai kepedulian terhadap bahasa dan sastra, (b) Tugasnya memberikan nasihat
kepada Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa serta mengupayakan peningkatan
status kelembagaan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Sampai tahun 2007
Pusat Bahasa berhasil menambah kira-kira 250.000 kata baru. Dengan demikian, sudah ada
590.1 kata di berbagai bidang ilmu. Sementara kata umum telah berjumlah 78.000.
Namun, di sisi lain angin reformasi yang muncul sejak tahun 1998 justru membawa
perubahan buruk bagi bahasa Indonesia. Kerancuan penggunaan bahasa Indonesia makin
buruk kala itu. Penggunaan bahasa asing kembali marak dan bahasa Indonesia sempat
terpinggirkan.
Pada zaman reformasi salah satu pihak yang memiliki andil dalam perkembangan bahasa
Indonesia adalah media massa baik cetak maupun elektronik. Ada dua kecenderungan
dalam pers saat ini yang dapat menimbulkan kekhawatiran akan perkembangan bahasa
Indonesia. Pertama, bertambahnya jumlah kata-kata singkatan (akronim). Kedua, banyak
penggunaan istilah-istilah asing atau bahasa asing dalam surat kabar. Namun, di sisi lain
pers juga telah berjasa dalam memperkenalkan istilah baru, kata-kata dan ungkapan baru .
Selain itu, saat ini bahasa Indonesia sudah mulai bergeser menjadi bahasa kedua setelah
bahasa Inggris ataupun bahasa gaul. Di kalangan pelajar dan remaja sendiri lahir sebuah
bahasa baru yang merupakan pencampuran antara bahasa asing, bahasa Indonesia, dan
bahasa daerah. Bahasa tersebut biasa disebut dengan bahasa gaul. Keterpurukan bahasa
Indonesia tersebut umumnya terjadi pada generasi muda. Bahkan sudah ada beberapa
kalangan yang beranggapan dan meyakini bahwa kaum intelek adalah mereka-mereka yang
menggunakan bahasa asing dalam kehidupan sehari-hari mereka, baik yang total memakai
bahasa asing ataupun mencampuradukkan bahasa asing tersebut ke dalam bahasa
Indonesia.
Maraknya penggunaan jejaring sosial atau media sosial seperti sms, chating, internet, dan
alat-alat teknologi informasi dan komunikasi menambah carutmarutnya
bahasa Indonesia. Dengan alasan globalisasi, percampuran bahasa Indonesia dengan
bahasa asing justru semakin marak. Kata-kata seperti “new arrival”, “sale”, “best buy”,
“discount”, terpampang dengan jelas di berbagai toko dan pusat perbelanjaan. Media pun
ikut mempengaruhi penggunaan bahasa Indonesia yang salah. Malahan tidak sedikit media
yang memberikan judul acara dengan kata-kata dalam bahasa asing.
Penggunaan bahasa Indonesia baik oleh masyarakat umum maupun orangorang terdidik
saat ini mengalami pasang surut yang nyata. Di satu sisi, pesatnya perkembangan IPTEK
saat ini membuat penyebaran bahasa Indonesia hingga ke pelosok daerah semakin mudah
dan berkembang pesat. Bahasa Indonesia semakin dikenal masyarakat. Jika pada awalnya
masyarakat Indonesia yang terdiri dari multisuku, multietnis, multiras, dan multiagama susah
bergaul antarsesama karena terdapat perbedaan bahasa, kini dengan meratanya
penyerbarluasan bahasa Indonesia, maka kendala komunikasi antaranggota masyarakat
dapat diatasi. Hal ini merupakan salah satu bentuk kemajuan dalam bahasa Indonesia.
Di sisi lain, sebagai dampak perkembangan IPTEK yang pesat, penyebarluasan bahasa
gaul dan bahasa asing sampai ke pelosok negeri dikhawatirkan akan dapat mengancam
eksistensi bahasa bahasa Indonesia baku. Ancaman itu justru diperparah oleh sikap
masyarakat dan kalangan terpelajar di Indonesia sendiri. Banyak yang menganggap sepele
bahasa Indonesia dan lebih mementingkan bahasa asing seperti bahasa Inggris, bahasa
Spanyol, bahasa Arab, bahasa Perancis, bahasa Jerman, bahasa Mandarin, bahasa Korea,
dan bahasa lainnya. Kebanyakan dari mereka mengganggap bahasa Indonesia terlalu kaku,
tidak bebas dan terasa kurang akrab. Mereka lebih menyukai bahasa baru yang dikenal
dengan bahasa gaul yang merupakan campuran dari bahasa daerah, bahasa asing, dan
bahasa Indonesia.
Sebagai dampak dari sikap menganggap sepele pelajaran bahasa Indonesia, banyak dari
pelajar itu sendiri mendapatkan nilai yang rendah dalam pelajaran bahasa Indonesia.
Beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat dan pelajar Indonesia menganggap remeh
pelajaran bahasa Indonesia:
a. Adanya anggarapan tidak perlu lagi belajar bahasa Indonesia karena karena
mereka sudah terbiasa menggunakan bahasa Indonesia dalam kehidupan
sehari-hari, meskipun bahasa Indonesia seadanya. Padahal, penguasaan
bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi tingkat masyarakaty melainkan juga
mencerminkan karakter, budaya, sikap, perilaku, dan jatidiri bangsa.
b. Kemunduran dan kemerosotan ekonomi dan moral bangsa Indonesia sejak
beberapa tahun terakhir. Menimbulkan rasa malu berbahasa dan sebagai orang
Indonesia di kalangan masyarakat Indonesia dalam pergaulan internasional.
c. Kekeliruan menyikapi goblasisasi dalam percaturan dan pergaulan. Banyak
kalangan masyarakat Indonesia yang berhasil menjalin hubungan pergaulan
internasional, yang menyebabkan mereka tidak lagi suka menggunakan bahasa
Indonesia, dan lebih suka menggunakan bahasa asing.
D. Rangkuman
1. Bahasa Indonesia dideklarasikan secara umum ke publik pada tanggal 28
Oktober 1928 melalui ikrar sumpah pemuda. Bahasa Indonesia diakui secara
resmi pada tanggal 18 Agustus 1945 (bab XV pada pasal 36 UUD 1945).
2. Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Dilihat dari sudut pandang
linguistik, sejarah bahasa Indonesia merupakan ragam dari bahasa Melayu.
Dasar yang digunakan ialah bahasa Melayu Riau (Kepulauan Riau) dari abad ke-
19 yang dalam perkembangannya mendapat pengaruh/ penambahan kosakata
dari berbagai bahasa, baik daerah atau asing
3. Alasan bahasa Melayu menjadi dasar bahasa Indonesia
a. Lingua franca
b. Sederhana
c. Diterima oleh suku-suku lain di Nusantara
d. bahasa kesusastraan
4. Bahasa Melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan
menyebarnya agama Islam di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu mudah
diterima oleh masyarakat Nusantara sebagai bahasa perhubungan antarpulau,
antarsuku, antarpedagang, antarbangsa, dan antarkerajaan karena bahasa
Melayu tidak mengenal tingkat tutur.
5. Perkembangan bahasa Melayu di wilayah Nusantara mempengaruhi dan
mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia.
6. Kebangkitan nasional mendorong perkembangan bahasa Indonesia dengan
pesat. Peranan kegiatan politik, perdagangan, persuratkabaran, dan majalah
sangat besar dalam memodernkan bahasa Indonesia.

E. Pertanyaan/Diskusi
1. Pelajari dan pahami dengan baik materi di atas, kemudian buatlah diagram alir
(flowchart) tentang sejarah, kedudukan, dan fungsi bahasa Indonesia. Diagram
alir hendaknya berisi rincian materi secara lengkap dan mencerminkan
pemahaman Anda terhadap materi tersebut.
2. Berdasarkan pengamatan dan pengalaman saudara, jelaskanlah bagaimana
perkembangan bahasa Indonesia saat ini! (perkembangan ke arah yang positif
dan negatif)
3. Carilah refrensi mengenai perkembngan bahasa Indonesi di luar negeri dan
tuliskanlah resumenya!
BAB II
FUNGSI DAN KEDUDUKAN BAHASA INDONESIA

A. Deskripsi singkat
Hal-hal yang dibahas dalam BAB ini meliputi: hakikat dan fungsi bahasa, hubungan bahasa
dan budaya, kedudukan bahasa Indonesia (bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan
bahasa negara), penting atau tidaknya bahasa Indonesia: dipandang dari jumlah penutur,
luas penyebarannya, dan dipakainya sebagai sarana ilmu, budaya, dan susastra.

B. Capaian pembelajaran matakuliah


Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami, menjelaskan,
dan membedakan bahasa dan bukan bahasa, fungsi umum dan khusus bahasa, hubungan
bahasa dan budaya, kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa
negara, serta penting atau tidaknya keberadaan bahasa Indonesia.
C. Isi Materi perkuliahan
1. Hakikat dan Fungsi Bahasa secara Umum
Berbicara tentang bahasa, tentunya kita akan dihadapkan juga dengan istilah yang tidak
jauh berbeda, yakni berbahasa. Secara sederhana bahasa dapat diartikan sebagai alat
verbal yang digunakan untuk berkomunikasi, sedangkan berbahasa dapat diartikan sebagai
proses penyampaian informasi dalam komunikasi. Jadi, bahasa adalah nomina, sedangkan
berbahasa adalah verba yang merupakan hasil penggabungan imbuhan ber- dan bentuk
asal “bahasa”.
Apa yang dimaksud dengan bahasa? Pertanyaan tersebut seharusnya selalu dijadikan
langkah awal dalam memahami bahasa bagi pembelajar bahasa. Pemahaman tentang
hakikat bahasa adalah pondasi dalam pembelajaran bahasa. Kondisi yang bertolak
belakang justru berkembang di tengah masyarakat bahasa. Jamak ditemui masyarakat
bahasa sering kali abai terhadap hal-hal yang bersifat elementer perihal bahasa yang pada
akhirnya berdampak pada kemampuan berbahasa yang dimiliki, tidak lengkap.
Beberapa poin yang dapat dijadikan sebagai patokan dalam menjelaskan hakikat/
mendefiniskan bahasa adalah sebagai berikut:
a. Bahasa sebagai sarana interaksi sosial (alat komunikasi antar anggota
masyarakat)
b. Bahasa adalah ujaran
c. Bahasa terdiri dari dua unsur, yaitu: bunyi sesuatu yang dihasilkan oleh alat-alat
ucap, yaitu getaran yang bersifat fisik yang merangsang alat pendengaran kita;
arti atau makna: adalah isi yang terkandung di dalam arus bunyi yang
menyebabkan adanya reaksi.
d. Setiap struktur bunyi ujaran tertentu akan mempunyai arti tertentu pula
Kridalaksana dalam Chaer (2003:32) menyatakan bahwa bahasa adalah sistem lambang
bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh kelompok sosial untuk bekerjasama, berkomunikasi
dan mengidentifikasi diri. Sementara itu, Widjono (2012: 20) mengemukakan bahwa bahasa
adalah sistem lambang bunyi ujaran yang digunakan untuk berkomunikasi oleh masyarakat
pemakainya.
Bahasa hanya ada pada manusia. Bahasa sebagai alat komunikasi secara genetis hanya
ada pada manusia. Manusia mampu membentuk lambang atau memberi nama guna
menandai setiap kenyataan, sedangkan binatang tidak.
Bahasa sebagai alat komunikasi mengandung beberapa sifat:
 Sistematik: bahasa memiliki pola dan kaidah yang harus ditaati agar dapat dipahami
oleh pemakainya
 Mana suka: unsur-unsur bahasa dipilih secara acak tanpa dasar, tidak ada hubungan
logis antara bunyi dan makna yang disimbolkannya. Pilihan suatu kata disebut kursi,
meja, guru, murid dan lain-lain ditentukan bukan atas dasar kriteria atau standar
tertentu, melainkan secara mana suka
 Ujar: bentuk dasar bahasa adalah ujaran, karena media bahasa terpenting adalah
bunyi
 Manusiawi: karena bahasa menjadi berfungsi selama manusia yang
memanfaatkannya, bukan makhluk lainnya
 Komunikatif: karena fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi atau alat
penghubung antara anggota-anggota masyarakat
Untuk apa (ber-) bahasa? Pertanyaan tersebut tentunya sering terlintas dalam kepala setiap
pengguna bahas. Fungsi utama bahasa adalah sebagai sarana komukasi dan berinteraksi
(alat komunikasi tulis maupun lisan). Menurut Santoso, dkk (2004), bahasa merupakan alat
komunikasi yang mempunyai fungsi antara lain:
 Fungsi ekspresi diri: mendapatkan perlakuan terhadap sesama anggota masyarakat.
 Fungsi informasi: untuk mengungkapkan perasaan.
 Fungsi adaptasi dan integrasi: terkait hubungan manusia dengan lingkungan social
 Fungsi kontrol sosial: berfungsi untuk mengatur tingkah laku.

Sementara itu, menurut Hallyday (1992) Fungsi bahasa sebagai alat komunikasi untuk
keperluan:
 Fungsi instrumental, bahasa digunakan untuk memperoleh sesuatu
 Fungsi regulatoris, bahasa digunakann untuk mengendalikan prilaku orang lain
 Fungsi intraksional, bahasa digunakan untuk berinteraksi dengan orang lain
 Fungsi personal, bahasa dapat digunakan untuk berinteraksi dengan orang lain
 Fungsi heuristik, bahasa dapat digunakan untuk belajar dan menemukan sesuatu
 Fungsi imajinatif, bahasa dapat difungsikan untuk menciptakan dunia imajinasi
 Fungsi representasional, bahasa difungsikan untuk menyampaikan informasi

2. Bahasa dan Ke-budaya-an


Membahas bahasa tidak lengkap jika tidak mengikutsertakan budaya. Sebuah pepatah
menyatakan “Bahasa menunjukkan bangsa”. Bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan,
segala hal yang ada dalam kebudayaan akan tercermin di dalam bahasa. Bahasa sangat
dipengaruhi kebudayaan dan cara berpikir manusia atau masyarakat penuturnya.
Koentjaraningrat dalam Abdul Chaer dan Leonie pada buku Sosiolinguistik menyatakan
bahwa bahasa bagian dari kebudayaan. Hubungan antara bahasa dan kebudayaan
merupakan hubungan yang subordinatif, di mana bahasa berada dibawah lingkup
kebudayaan. Bahasa merupakan produk budaya. Bahasa adalah wadah dan refleksi
kebudayaan masyarakat pemiliknya. Koentjoroningrat dalam Chaer (1995:217) menyatakan
kebudayaan itu hanya dimiliki manusia dan tumbuh bersama berkembangnya masyarakat.
Namun pendapat lain ada yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai
hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya sama
tinggi.
Hubungan bahasa dan budaya dapat dilihat dari diagram berikut:

masyarakat

bahasa budaya

3. Kedudukan Bahasa Indonesia


Sesuai ikrar Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928, Bahasa Indonesia diangkat sebagai
bahasa nasional, dan sesuai dengan bunyi UUD 45, BabXV, Pasal 36, Bahasa Indonesia
dinyatakan sebagai Bahasa Negara. Hal ini berarti bahwa Bahasa Indonesia mempunyai
kedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Yang dimaksud dengan
kedudukan bahasa ialah status relatif bahasa sebagai sistem lambang nilai budaya, yang
dirumuskan atas dasar nilai sosialnya; sedangkan fungsi bahasa adalah nilai pemakaian
bahasa tersebut di dalam kedudukan yang diberikan.
a. Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional
Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional yang diselenggarakan di Jakarta pada
25-28 Februari 1975, antara lain, menegaskan bahwa dalam kedudukannya sebagai bahasa
nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai:
1) Lambang Kebanggaan Nasional
Dalam fungsinya sebagai lambang kebanggaan nasional, bahasa Indonesia memancarkan’
nilai-nilai sosial budaya luhur bangsa Indonesia. Dengan keluhuran nilai yang dicerminkan
bangsa Indonesia, kita harus bangga dengannya; kita harus menjunjungnya; dan kita harus
mempertahankannya. Sebagai realisasi kebanggaan kita terhadap bahasa Indonesia, kita
harus memakainya tanpa ada rasa rendah diri, malu, dan acuh tak acuh. Kita harus bngga
memakainya dengan memelihara dan mengembangkannya.
2) Lambang Identitas Nasional
Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia merupakan ‘lambang’ bangsa
Indonesia. Ini beratri, dengan bahasa Indonesia akan dapat diketahui siapa kita, yaitu sifat,
perangai, dan watak kita sebagai bangsa Indonesia. Karena fungsinya yang demikian itu,
maka kita harus menjaganya jangan sampai ciri kepribadian kita tidak tecermin di dalamnya.
Jangan sampai bahasa Indonesia tidak menunjukkan gambaran bangsa Indonesia yang
sebenarnya.
3) Alat Pemersatu masyarakat yang berbeda-beda latar belakang sosial budaya
dan Bahasa
Dengan fungsi sebagai alat pemersatu masyarakat yang berbeda-beda latar belakang sosial
budaya dan bahasanya, memungkinkan masyarakat Indonesia yang beragam latar belakang
sosial budaya dan berbeda-beda bahasanya dapat menyatu dan bersatu dalam
kebangsaan, cita-cita, dan rasa nasib yang sama. Dengan bahasa Indonesia, bangsa
Indonesia merasa aman dan serasi hidupnya, sebab mereka tidak merasa bersaing dan
tidak merasa lagi ‘dijajah’ oleh masyarakat suku lain. Apalagi dengan adanya kenyataan
bahwa dengan menggunakan bahasa Indonesia, identitas suku dan nilai-nilai sosial budaya
daerah masih tercermin dalam bahasa daerah masing-masing. Kedudukan dan fungsi
bahasa daerah masih tegar dan tidak bergoyah sedikit pun. Bahkan, bahasa daerah
diharapkan dapat memperkaya khazanah bahasa Indonesia.
4) Alat perhubungan antarbudaya antardaerah
Sebagai alat perhubungan antarbudaya antardaerah, bahasa Indonesia sering kita rasakan
manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Bayangkan saja apabila kita ingin berkomunikasi
dengan seseorang yang berasal dari suku lain yang berlatar belakang bahasa berbeda,
mungkinkah kita dapat bertukar pikiran dan saling memberikan informasi? Bagaimana cara
kita seandainya kita tersesat jalan di daerah yang masyarakatnya tidak mengenal bahasa
Indonesia? Bahasa Indonesialah yang dapat menanggulangi semuanya itu. Dengan bahasa
Indonesia kita dapat saling berhubungan untuk segala aspek kehidupan. Bagi pemerintah,
segala kebijakan dan strategi yang berhubungan dengan ideologi, politik, ekonomi, sosial,
budaya, pertahanan, dan kemanan (disingkat: ipoleksosbudhankam) mudah diinformasikan
kepada warganya. Akhirnya, apabila arus informasi antarkita meningkat berarti akan
mempercepat peningkatan pengetahuan kita. Apabila pengetahuan kita meningkat berarti
tujuan pembangunan akan cepat tercapai.
b. Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara
Berkaitan dengan statusnya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai:
1) Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaraan
Sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa Indonesia digunakan sebagai
bahasa pengantar dalam komunikasi resmi dalam tata kelola Negara. Praktik pertama dari
kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dibuktikan dengan digunakannya
bahasa Indonesia dalam naskah proklamasi kemerdekaan RI 1945 dan UUD 1945. Mulai
saat itu dipakailah bahasa Indonesia dalam segala upacara, peristiwa, dan kegiatan
kenegaraan baik dalam bentuk lisan maupun tulis. Selain itu, pidato presiden di hadapan
raykat Indonesia dalam bahasa Indonesia, penggunaan bahasa Indonesia dalam berbagai
dokumen kenegaraan adalaha perwujudan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa
resmi negara.
2) Bahasa Indonesia sebagai alat pengantar dalam dunia pendidikan
Bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar di lembaga pendidikan dari taman
kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Pembicaraan lisan tenaga pendidik dalam
menjelaskan materi pelajaran dan materi pelajaran yang berbentuk media cetak juga harus
berbahasa Indonesia. Penulisan/ penerjemahan buku harus menggunakan bahasa
Indonesia. Cara ini akan sangat membantu dalam meningkatkan perkembangan bahasa
Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknolologi (iptek)
3) Bahasa Indonesia sebagai penghubung pada tingkat nasional untuk
kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta
pemerintahan
Bahasa Indonesia digunakan dalam hubungan antar badan pemerintah dan penyebarluasan
informasi kepada masyarakat. Sehubungan dengan itu hendaknya diadakan penyeragaman
sistem administrasi dan mutu media komunikasi massa. Tujuannya agar isi atau pesan yang
disampaikan dapat dengan cepat dan tepat diterima oleh masyarakat.
4) Bahasa Indonesia sebagai sarana pengembangan kebudayaan nasional, ilmu,
dan teknologi
Bahasa Indonesia digunakan dalam penyebaran ilmu pengetahuan dan teknologi, baik
melalui buku-buku pelajaran, buku-buku populer, majalah-majalah ilmiah maupun media
cetak lainnya. Karena sangatlah tidak mungkin bila suatu buku yang menjelaskan tentang
suatu kebudayaan daerah, ditulis dengan menggunakan bahasa daerah itu sendiri, dan
menyebabkan orang lain belum tentu akan mengerti.

4. Penting atau tidaknya bahasa Indonesia


a. Dipandang dari Jumlah Penutur
Paling tidak ada dua bahasa yang digunakan sebagai sarana komunikasi masnyarakat di
Indonesia, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Bahasa Indonesia lahir sebagai
bahasa kedua bagi sebagian besar warga bangsa Indonesia. Yang pertama kali muncul
atas diri seseorang adalah bahasa daerah (bahasa ibu). Bahasa Indonesia baru di kenal
anak-anak sekolah setelah mereka sampai pada usia sekolah (taman kanak-kanak).
Berdasarkan keterangan di atas, penutur bahasa Indonesia yang mengggunakan bahasa
Indonesia sebagai “bahasa ibu (utama)” tidak besar jumlahnya. Mereka hanya terbatas pada
orang-orang yang lahir dari orang tua yang mempunyai latar belakang bahasa daerah yang
berbeda, sebagian orang yang lahir di kota-kota besar, dan orang yang mempunyai latar
belakang bahasa melayu. Dengan demikian, kalau kita memandang bahasa Indonesia
sebagai “bahasa ibu”, jumlah penutur yang di maksud adalah jumlah penutur yang
menggunakan bahasa Indonesia sebagai “bahasa kedua”. Data ini akan membuktikan
bahwa penutur bahasa Indonesia adalah 240 juta orang (2008) di tambah dengan penutur-
penutur yang berada diluar Indonesia. Hal ini menunjukan bahwa bahasa Indonesia amat
penting kedudukkannya di kalangan masyarakat.
b. Dipandang dari Luas Penyebarannya
Penyebaran suatu bahasa tentu ada hubungannya dengan penutur bahasa itu. Oleh karena
itu, tersebarnya suatu bahasa tidak dapat dilepaskan dari segi penutur. Penutur bahasa
Indonesia yang berjumlah 240 juta itu tersebar dari Sabang sampai Merauke. Jumlah
penutur ini juga masih ditambah dengan penutur yang ada di negara tetangga kita yaitu
Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Serta di Negara-negara lain seperti di
Australia, Belanda, Jepang, Rusia. Luas penyebaran ini dapat dinilai pula pada beberapa
universitas di luar negeri yang membuka jurusan bahasa Indonesia sebagai salah satu
jurusan. Luas penyebaran ini juga membuktikan bahwa bahasa Indonesia amat penting
kedudukannya di antara bahasa-bahasa dunia.
c. Dipandang dari Dipakainya sebagai Sarana Ilmu, Budaya, dan Susastra
Sejalan dengan jumlah penutur dan luasnya daerah penyebarannya, pemakaian suatu
bahasa sebagai sarana ilmu, budaya, dan susastra dapat juga menjadi ukuran penting atau
tidaknya bahasa itu. Kalau kita memandang bahasa daerah seperti, bahasa Minang di
Sumatera Barat, kita dapat menelusuri seberapa jauh bahasa itu dapat dipakai sebagai
sarana susastra, budaya, dan ilmu. Tentang susastra, bahasa Minang digunakan dalam
karya sastra. Susastra Minang telah memasyarakat ke seluruh pelosok daerah Sumatera
Barat. Dengan demikian bahasa Minang telah dipakai sebagai sarana dalam susastra.
Tentang budaya, bahasa Minang telah dipakai pula walaupun hanya dalam berkomunikasi,
bertutur adat, bernyanyi, berpantun, dan sebagainya. Tentang ilmu pengetahuan, bahasa
Minang belum mampu memecahkannya. Jika hendak menulis surat, orang Minang memakai
bahasa Indonesia, bukan bahasa Minang. Hal ini membuktikan bahwa bahasa Minang
belum mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana ilmu. Ketiga hal diatas, sarana ilmu
pengetahuan, budaya, dan susastra, telah dijalankan oleh bahasa Indonesia dengan sangat
sempurna dan baik. Hal ini membuktikan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang
penting.
D. Rangkuman
Bagian ini berisi ringkasan pokok-pokok materi.

E. Pertanyaan/Diskusi
Bagian ini berisi pertanyaan sebagai bahan diskusi atau latihan untuk memperkaya
pemahaman mahasiswa
BAB III
RAGAM DAN LARAS BAHASA

A. Deskripsi Singkat
Hal-hal yang dibahas dalam BAB ini meliputi: hakikat dan jenis ragam bahasa, hakikat dan
jenis laras bahasa, bahasa indonesia baku, dan bahasa indonesia yang baik dan benar.

B. Capaian Pembelajaran Matakuliah


Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami dan menjelaskan
hakikat ragam bahasa dan laras bahasa, mengidentifikasi dan menjelaskan jenis ragam dan
laras bahasa, memahami, mengidentifikasi, dan menjelaskan bahasa baku atau tidak, serta
mengidentifikasi dan mempraktikkan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam
kehidupan.

C. Isi Materi Perkuliahan


1. Ragam Bahasa
a. Pengertian Ragam Bahasa
Ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian yang berbeda-beda menurut
topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara, orang yang
dibicarakan, serta menurut medium pembicara (Bachman, 1990). Ragam bahasa adalah
variasi bahasa yang terbentuk karena pemakaian bahasa. Pemakaian bahasa itu dibedakan
berdasarkan media yang digunakan, topik pembicaraan, dan sikap pembicaranya.
Istilah ragam bahasa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2005:920) bermakna
variasi bahasa menurut pemakaian, topik yang dibicarakan, hubungan pembicara dan mitra
bicara, dan medium pembicaraannya. Berdasarkan makna istilah ragam bahasa ini, maka
dalam berkomunikasi seseorang perlu memperhatikan aspek: (1) situasi yang dihadapi, (2
permasalahan yang hendak disampaikan, (3) latar belakang pendengar atau pembaca yang
dituju, dan (4) medium atau sarana bahasa yang digunakan. Dari keempat aspek dalam
ragam bahasa tersebut, yang lebih diutamakan adalah aspek situasi yang dihadapi dan
aspek medium bahasa yang digunakan dibandingkan kedua aspek yang lain.
Kemunculan ragam bahasa disebabkan oleh berbagai faktor yang terdapat dalam
masyarakat, seperti usia, pendidikan, agama, bidang kegiatan dan profesi, latar belakang
budaya daerah, dan sebagainya.

b. Jenis Ragam Bahasa


Penggolongan ragam bahasa didasari atas beberapa kriteria seperti cara
penyampaiaannya: ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis, situasi pemakaiannya:
ragam bahasa formal, ragam bahasa semiformal, dan ragam bahasa nonformal,
berdasarkan isinya: ragam bahasa ilmiah, ragam bahasa semi ilmiah, dan ragam bahasa
nonilmiah.
Dalam paraktiknya, ragam bahasa formal juga disebut ragam bahasa resmi; sebaliknya
ragam bahasa nonformal dikenal juga sebagai ragam bahasa tidak resmi. Setiap ragam
bahasa dapat diidentifikasikan ke dalam situasi pemakaiannya. Misalnya, ragam bahasa
lisan diidentifikasikan sebagai ragam bahasa formal, semiformal, atau nonformal. Begitu
juga ragam tulis juga dapat didentifikasikan ke dalam ragam bahasa formal, semiformal,
atau nonformal.
Ciri-ciri ragam bahasa formal adalah sebagai berikut:
1) Memiliki kemantapan dinamis dalam pemakaian kaidah sehingga tidak kaku,
dan dimungkinkan adanya perubahan kosa kata dan istilah yang lebih tepat
dan benar.
2) Menggunakan fungsi-fungsi gramatikal secara konsisten dan eksplisit.
3) Menggunakan bentukan kata yang lengkap dan tidak disingkat.
4) Menggunakan imbuhan (afiksasi) secara eksplisit dan konsisten.
5) Menggunakan ejaan yang baku pada ragam bahasa tulis dan lafal yang baku
pada ragam bahasa lisan.
Berdasarkan kriteria ragam bahasa formal di atas, pembedaan antara ragam formal, ragam
semiformal, dan ragam nonformal dapat diamati dari hal berikut:
1) Pokok masalah yang sedang dibahas
2) Hubungan antara pembicara dan pendengar
3) Medium bahasa yang digunakan lisan atau tulis
4) Area atau lingkungan pembicaraan terjadi
5) Situasi ketika pembicaraan berlangsung

a) Ragam Lisan
Ragam bahasa lisan adalah bahasa yang dilafalkan langsung oleh penuturnya kepada
pendengar atau mitra bicaranya. Makna yang terkandung dalam ragam bahasa lisan
ditentukan oleh intonasi, seperti pada contoh kalimat: (1) Bapak saya akan datang besok
pagi. Kalimat (1) bisa dimakna “bapak yang akan datang besok pagi” jika intonasinya: (1a)
Bapak/ saya akan datang besok pagi. Sebaliknya, makna kalimat (1) bisa “bapak saya yang
akan datang besok pagi” jika intonasinya: (1b) Bapak saya/ akan datang besok pagi.
Kemungkinan ke-3 makna kalimat (1) adalah “bapak dan saya yang akan datang besok
pagi” jika intonasinya menjadi: (1c) Bapak/ saya/ akan datang besok pagi.
b) Ragam Tulis
Ragam bahasa tulis adalah ragam bahasa yang ditulis atau dicetak dengan memperhatikan
penempatan tanda baca dan ejaan secara benar. Ragam bahasa tulis dapat bersifat formal,
semiformal, dan nonformal. Dalam penulisan makalah seminar dan skripsi, penulis harus
menggunakan ragam bahasa formal; sedangkan ragam bahasa semiformal digunakan
dalam perkuliahan, dan ragam bahasa nonformal digunakan interaksi keseharian secara
informal.
Menurut Moeliono (1988, dalam Abidin, 2010:1), ragam lisan yaitu ragam bahasa yang
diungkapkan melalui media lisan yang terikat oleh kondisi, ruang dan waktu sehingga situasi
saat pengungkapan dapat membantu pemahaman pendengar., sedangkan ragam tulis
adalah ragam bahasa yang dipergunakan melalui media tulis, yang tidak terikat oleh ruang
dan waktu.
Perbedaan bahasa ragam lisan dan tulisan dapat dilihat pada tabel berikut:

Lisan Tulisan

 Perlu kehadiran lawan tutur  Tidak perlu kehadiran lawan


 Unsur gramatikal tidak tutur
lengkap  Unsur gramatikal lengkap
 Terikat ruang dan waktu  Tidak terikat ruang dan waktu
 Dipengaruhi pungtuasi,  Dipengaruhi oleh tanda baca/
jeda, ritme suara ejaan

2. Laras Bahasa
a. Pengertian Laras Bahasa
Laras bahasa adalah kesesuaian antara bahasa dan fungsi pemakaiannya. Laras bahasa
juga dikenal dengan gaya atau style. Dalam ilmu sosiolinguistik, laras bahasa juga disebut
register (Hudson, 1980: 48), yaitu satu istilah teknik untuk menerangkan perlakuan bahasa
(linguistik behaviour) seorang individu dalam berbahasa. Laras bahasa terkait langsung
dengan lingkung bidang (home style) pemakainya. Para ilmuwan menggunakan bahasa
ilmiah laras keilmuan yang ditandai dengan pemakaian kosa kata, istilah kelimuan, dan
kalimat-kalimat yang mencerminkan kelompok mereka. Sementara di kalangan para
politikus digunakan bahasa laras politik yang dicirikan dengan penggunaan kosa kata,
istilah, atau kalimat-kalimat bernuansa politik.
Laras bahasa biasanya berubah-ubah mengikut situasi. Ciri-ciri laras yang penting ialah
perbendaharaan kata, susunan kalimat dan frasa yang digunakan. Sesuatu laras tertentu
digunakan untuk keadaan atau situasi tertentu. Berdasarkan fungsi penggunaannya laras
bahasa dapat dipilah menjadi laras biasa atau laras umum, laras akademik atau laras ilmiah,
laras perniagaan, laras perundangan, laras sastera, laras iklan, dan sebagainya. Hal ini
karena terdapat hubungan yang erat antara susunan bahasa dengan situasi-situasi yang
menyebabkan terjadinya laras.
a) Laras biasa/ Umum
Laras bahasa umum adalah laras bahasa yang diperguanakan dalam situasi keseharian
atau situasi umum. Kosa kata, istilah, dan bentuk-bentuk gramatika yang digunakan tidaklah
bersifat khusus dan mereferensi bidang bidang ilmu tertentu. Ciri-cirinya adalah bebas dan
mudah dipahami dan aspek tatabahasanya kurang terjaga kebakuannya. Istilah yang
digunakan mencerminkan keakraban, misalnya menggunakan kata ganti orang aku, kamu,
dia. Kalimat yang digunakan pendek dan ringkas. Acapkali kalimat yang digunakan
bermakna ganda (ambigu), karena itu makna kalimat harus diselaraskan dengan
pengetahuan penutur dan pendengar. Misalnya, kalimat “Mari makan!” tidak selalu berarti
mengajak makan, tetapi hanya sekedar basa-basi sehingga orang yang diajak tidak perlu
memaknainya sebagai ajakan makan.

b) Laras Akademik/ Ilmiah


Laras akademik dipilah dalam beberapa jenis berdasarkan bidang ilmu yang
melatarbelakanginya. Jenis laras akademik, misalnya laras bahasa sains, laras ekonomi,
laras sastra, laras pendidikan, laras hukum, laras pertanian, laras kedokteran, dan
sebagainya. Laras-laras tersebut terbagi lagi ke dalam beberapa sub-bidang. Misalnya pada
laras sains, terdapat laras kimia, biologi, fisika, matematika, dan sebagainya. Pada laras
pendidikan terbagi lagi ke dalam laras psikologi, laras linguistik, laras paedagogi, dan
sebagainya.
Laras akademik memiliki ciri-ciri khusus dengan kehadiran istilah-istilah khusus atau kosa
kata bidang akademik yang berkaitan dengan bidang akademik yang disampaikannya.
Contohnya dalam bidang ekonomi terdapat istilah-istilah khusus seperti permintaan,
penawaran, cost, modal, buruh, dan sebagainya. Contoh laras sains dalam bidang kimia
misalnya: hidrogen, oksigen (H2O), asam, zat, dan sebagainya. Contoh laras pendidikan
bidang paedagogi, antara lain pembelajaran, penilaian, guru, siswa, mahasiswa, ebtanas,
ujian nasional, dan sebagainya.

c) Laras Niaga/ Ekonomi


Gaya bahasa yang digunakan biasanya bersifat membujuk dan mempromosikan barang
yang dijual. Istilah-istilah yang digunakan juga khas istilah perniagaan. Kata-kata seperti
laba, untung, komoditas, jual-beli, pelanggan, dan sebagainya menjadi kosa kata umum
pada laras ini. Kalimat yang digunakan umumnya pendek-pendek dan mencerminkan slogan
dunia perniagaan, yaitu efisien dan efektif. Kalimat panjang yang kurang bermanfaat
dihindari. Sifat laras ini pada umumnya memperngaruhi pembaca atau pendengarnya untuk
mengikuti saran atau anjuran penulis atau pembicaranya.
d) Laras Undang-undang
Laras undang-undang merupakan salah satu dari laras ilmiah. Kosa kata dan istilah yang
diguanakan pada laras ini sangat khas. Kalimat dan ungkapan yang dipakai juga berbeda
dengan laras bahasa lainnya. Laras undang-undang yang digunakan di Indonesia masih
banyak yang mengadopsi bahasa Belanda karena undang-undang di negara kita
merupakan peninggalan penjajahan Belanda. Namun demikian, pada perkembangan
selanjutnya undang-undang Republik Indonesia sedikit-demi sedikit sudah mulai
meninggalkan modelundang-undang Belanda, tetapi masih banyak istilah khas bahasa
Belanda yang tetap dipakai, misalnya kata rechstat yang berarti kekuasaan negara, pledoi
(pembelaan), rekuisitor (tuntutan), dan sebagainya.
e) Laras Media Massa
Bahasa yang digunakan dalam media massa, misalnya televisi, koran, dan radio berbeda
dengan bahasa umum. Meskipun kosa katanya banyak bersifat ilmiah namun berita di
media massa tidak dikatakan sebagai tulisan ilmiah karena pada umumnya tidak ditulis
berdasarkan langkah-langkah ilmiah. Kalimat yang digunakan dalam media massa pada
umumnya bersifat informatif, artinya memberikan informasi kepada para pembaca atau
pendengarnya secara efektif dan efisien. Kalimat yang dipakai dalam media massa lebih
mempertimbangkan unsur informatifnya daripada struktur dan kebakuan bahasanya. Bahas
media massa adalah bahasa yang “segar”, sederhana, informatif, dan bersifat melaporkan
suatu peristiwa yang terjadi. Bahasa media massa juga menyumbangkan banyak istilah
khusus yang kemudian memperkaya khasanah bahasa Indonesia, seperti istilah diamankan
(dipenjara), disesuaikan (dinaikkan/ untuk harga), diatasi (dimusnahkan/ untuk musuh), sdan
sebagainya.
f) Laras Sastra
Seperti laras-laras bahasa yang lain, laras bahasa sastra juga mementingkan istilah-istilah
khusus dan teknis. Bedanya, bidang yang disampaikan ialah tentang bahasa dan
kesusastraan serta hubungan antara kedua-dua. Bahasa sastra berbeda dengan bahasa
umum. Banyak kosa kata atau istilah khusus yang hanya ada dalam dunia satra dan seni. Di
samping itu, dalam beberapa hal struktur bahasa satra tidak lazim digunakan pada bahasa
umum. Laras bahasa sastra terbagi juga dalam beberapa jenis. Ada laras bahasa puisi,
laras bahasa prosa, laras bahasa lagu, laras bahasa film, dan sebagainya.
g) Laras Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK)
Seiring dengan perkembangan dan kemajuan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK), khususnya bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK), akhir-akhir ini muncul
laras baru dalam penggunaan bahasa. Laras tersebut dipicu dengan maraknya penggunaan
media jejaring sosial (social net media) seperti sms (short messeges service) atau pesan
singkat, BBB (blackberry messenger), chating, e-mail, facebook, twitter, dan sebagainya.
Penggunaan laras TIK ini marak mulai sekitar tahun 1980-an, yaitu sejak berkembang
pesatnya penggunaan alat TIK sepwerti handphone (hp) dan perangkat internat. Laras
bahasa TIK ini sangat khas, bukan hanya pada penggunaan kosa kata dan struktur
bahasanya, melainkan juga pada teknis atau cara menulis dan menyampaikan informasi.
Kata-kata yang ditulis kebanyakan disingkat dan kosa kata yang dipilih adalah kosa kata
baru yang hanya dikenal dalam dunia TIK. Kosa kata seperti send, reject, lobat, cas, dan
sebagainya adalah kosa kata khas yang ada pada laras TIK ini.

3. Bahasa Indonesia Baku


Bahasa baku adalah bentuk bahasa yang telah mengalami proses standardisasi, yaitu tahap
menegakkan tata bahasa dan kamus normatif. Bahasa Indonesia baku ialah bahasa
Indonesia yang digunakan orang-orang terdidik dan yang dipakai sebagai tolak bandingan
penggunaan bahasa yang dianggap benar. Ragam bahasa Indonesia yang baku ini
biasanya ditandai oleh adanya sifat kemantapan dinamis dan ciri kecendekiaan. Yang
dimaksud dengan kemantapan dinamis ini ialah bahwa bahasa tersebut selalu mengikuti
kaidah atau aturan yang tetap dan mantap namun terbuka untuk menerima perubahan yang
bersistem. Ciri kecendekiaan bahasa baku dapat dilihat dari kemampuannya dalam
mengungkapkan proses pemikiran yang rumit di berbagai bidang kehidupan dan ilmu
pengetahuan. Bahasa Indonesia baku dipakai dalam:
a. Komunikasi resmi, seperti dalam surat-menyurat resmi, peraturan
pengumuman instansi resmi atau undang-undang.
b. Penulisan ilmiah, seperti laporan penelitian, makalah, skripsi, disertasi dan
bukubuku ilmu pengetahuan;
c. Pembicaraan di muka umum, seperti dalam khotbah, ceramah, kuliah pidato;
dan pembicaraan dengan orang yang dihormati atau yang belum dikenal.
Penetapan bahasa baku biasanya melibatkan kodifikasi norma kebahasaan dan
sistem ejaan, serta penerimaan konvensi ini oleh khalayak umum. Standarisasi atau
pembakuan dalam bahasa Indonesia adalah sesuatu yang mutlak demi perkembangan
bahasa Indonesia di masa mendatang. Hal ini dirasa perlu karena sudah banyaknya kosa
kata asing maupun daerah yang masuk ke dalam bahasa Indonesia, yang pemakaiannya
belum diatur dengan suatu kaidah yang bisa dijadikan pedoman oleh para pemakai bahasa
Indonesia. Apabila keadaan di atas dibiarkan begitu saja, tanpa ada usaha pembakuan,
tentu salah tafsir terhadap pemakaian kosa kata tersebut akan menimbulkan persoalan baru
yang barangkali membingungkan kita sebagai pemilik bahasa Indonesia itu.
Pemerintah dalam hal ini memang sudah melakukan usaha yang dapat menyamakan
tafsiran para pemakai bahasa Indonesia. Usaha tersebut meliputi berbagai bidang yang
membangun bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, bahasa negara, bahasa persatuan,
bahasa kesatuan, dan bahasa nasional. Usaha ke arah pembakuan itu pun dilakukan
secara bertahap karena luasnya bidang yang dicakup dalam pemakaian bahasa Indonesia.
Usaha pembakuan bahasa dimulai dengan diterbitkannya Keputusan Presiden No.57 tahun
1972, dengan diresmikannya Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) untuk seluruh Indonesia.
Kemudian, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan berusaha memperkuat pembakuan
dengan mengeluarkan “Pedoman Umum Ejaan Yang Disempurnakan dan Pedoman
Pembentukan Istilah”, sebagai lampiran keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
tanggal 27 Agustus 1975 No.0196/u/ 1975.
a. Fungsi Pembakuan Bahasa
Usaha pembakuan bahasa Indonesia memiliki fungsi yang sangat penting, yakni:
a) Fungsi pemersatu bagi seluruh bangsa Indonesia
Sebagai bahasa nasional, bahasa negara, dan bahasa resmi, bahasa Indonesia harus
mampu mengikat suku-suku yang ratusan jumlahnya di Indonesia dan harus mampu
menjadi wahana pengungkap kebudayaan nasional yang berasal dari segala macam tradisi,
adat, dan suku yang tersebar di seluruh Nusantara.
b) Penanda kepribadian
Sebuah bahasa yang berketaruran atau bahasa baku dan bangsa yang beradab akan
terlihat jika dipergunakan dalam pergaulan dengan bangsa asing. Kita ingin menyampaikan
identitas kita lewat bahasa Indonesia. Jika fungsi ini sudah dijalankan dan dipraktikkan
secara luas, maka bahasa Indonesia dapat dianggap telah melaksanakan perannya yang
penting sebagai bahasa nasional yang baku.
c) Penambahan kewibawaan
Jika masyarakat mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar dalam pergaulan
internasional, maka gengsi bahasa Indonesia juga akan meningkat. Fungsi ini akan
terlaksana dengan baik jika bahasa Indonesia telah menjadi bahasa pengantar dalam
pergaulan internasional dan menjadi bahasa pengantar bagi hasil-hasil teknologi modern
dan unsur kebudayaan baru.
d) Sebagai kerangka acuan (frame of reference)
Bahasa baku dipakai sebagai standar ukuran tentang tepat tidaknya pemakaian bahasa di
dalam situasi tertentu. Hal ini akan tercapai bila bahasa Indoensia digunakan secara luas di
bermacam-macam bidang seperti: surat-menyurat resmi, bentuk surat-surat keputusan dan
akte-akte, risalah-risalah dan laporan, undangan, iklan, pengumuman, kata-kata sambutan,
ceramah, pidato dan lain-lain.
b. Ciri Bahasa Indonesia Baku
Bahasa baku ialah bahasa yang terpelihara dalam pemakaian kaidahnya dan bersih dari
pengaruh langsung berbagai unsur bahasa daerah serta bahasa asing lainnya. Untuk ini,
Anton Muliono mengatakan bahwa “bahasa baku memiliki ciri sifat dinamis yang cukup
terbuka untuk menampung: a) perubahan yang bersistem di bidang kosa kata dan
peristilahan, dan b) perkembangan berjenis ragam dan gaya bahasa dibidang kalimat dan
makna”. Adapun sifat-sifat bahasa Indonesia baku yang terpenting adalah:
a) Yang diterangkan terletak di depan yang menerangkan (Hukum DM) – rumah makan
– sekolah tinggi. Bila kata majemuk terdiri dari dua kata yang sama-sama
menunjukkan waktu boleh dipertukarkan tempatnya menurut kepentingannya. (Jika
diletakkan di depan berarti itu lebih penting dari kata yang dibelakangnya).
b) Bahasa Indonesia tidak mempunyai kata penghubung untuk menyatakan kepunyaan.
Jadi ‘rumah guru” bukan “rumah dari guru”.
c) Bahasa Indonesia tidak mengenal tasrifr atau perubahan bentuk pada pokok kata
atau kata dasar.
d) Bahasa Indonesia tidak mengenal perbedaan jenis kelamin kata
e) Imbuhan (awalan, akhiran, sisipan) memainkan peranan yang penting dalam bahasa
Indonesia, sebab imbuhan dapat mengubah jenis kata menjadi jenis lain. Misalnya
kata: tunjuk (kata benda), menunjuk (kata kerja aktif), ditunjuk (kata kerja pasif),
petunjuk, penunjuk, telunjuk, pertunjukan, dan lain-lain.

4. Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar


Sering kita dengar ungkapan ‘gunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar”. Terhadap
ungkapan itu timbul banyak reaksi. Pertama, orang mengira bahwa kata baik dan benar
dalam ungkapan itu mengandung arti atau makna yang sama atau identik. Sebenarnya
tidak, karena justu ungkapan itu memberikan kesempatan dan hak kepada pemakai bahasa
secara bebas sesuai dengan keinginannya dan kemampuannya dalam berbahasa.
Bahasa yang benar adalah bahasa yang sesuai dengan kaidah tata bahasa, sedangkan
bahasa yang baik adalah bahasa yang sesuai dengan situasi dan kondisi (Wiyanto,
2012:84). Berbahasa yang baik adalah berbahasa sesuai dengan ‘lingkungan” bahasa itu
digunakan. Dalam hal ini, beberapa faktor menjadi penentu. Pertama, orang yang berbicara;
kedua orang yang diajak bicara; ketiga, situasi pembicaraan apakah situasi itu formal atau
nonformal (santai); keempat, masalah atau topik pembicaraan. Bahasa yang sesuai seperti
yang dijelaskan di atas itulah yang disebut bahasa yang baik, baik karena cocok dengan
situasinya. Kalau kita menggunakan ragam bahasa yang lain yang tidak sesuai dengan
situasinya, maka bahasa yang kita gunakan itu dikatakan bahasa yang tidak baik.
Bahasa yang benar adalah bahasa yang sesuai dengan kaidahnya, bentuk dan strukturnya.
Berbahasa Indonesia baku harus seperti bahasa yang kaidahnya tertulis dalam buku-buku
tata bahasa yang diajarkan di sekolah-sekolah. Sebaliknya, bila menggunakan salah satu
dialek, dialek Jakarta misalnya, harus betul-betul bahasa Jakarta seperti yang digunakan
oleh penduduk asli Jakarta. Itulah yang dimaksud dengan kata benar. Jadi, kita tidak dituntut
agar sepanjang hari dengan siapa saja berbahasa Indonesia ragam resmi. Di rumah, kita
bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa seperti yang biasa kita gunakan dalam
lingkungan keluarga kita. Biasanya bahasa di setiap keluarga tidak sama. Kita juga tidak
dituntut berbahasa Indonesia yang baku dengan tukang sayur. Kalau kita menggunakan
bahasa baku dengan mereka, maka bahasa yang kita gunakan itu bukanlah bahasa yang
baik walaupun benar. Begitu pula dalam percakapan antaranggota keluarga, misalnya, tentu
akan kelihatan sangat lucu dan kaku jika menggunakan bahasa baku.

Kapan bahasa Indonesia dikatakan baik dan benar?

Baik
nilai rasa tepat sesuai konteks situasi pemakaiannya

Benar
menerapkan kaidah dengan konsisten

D. Rangkuman
1. Bahasa yang benar adalah bahasa yang sesuai dengan kaidah tata bahasa,
sedangkan bahasa yang baik adalah bahasa yang sesuai dengan situasi dan
kondisi.
2. Ragam bahasa adalah variasi bahasa menurut pemakaian yang berbeda-beda
menurut topik yang dibicarakan, menurut hubungan pembicara, kawan bicara,
orang yang dibicarakan, serta menurut medium pembicara.
3. Penggolongan ragam bahasa didasari atas beberapa kriteria seperti cara
penyampaiaannya: ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis, situasi
pemakaiannya: ragam bahasa formal, ragam bahasa semiformal, dan ragam
bahasa nonformal, berdasarkan isinya: ragam bahasa ilmiah, ragam bahasa semi
ilmiah, dan ragam bahasa nonilmiah.
4. Laras bahasa adalah kesesuaian antara bahasa dan fungsi pemakaiannya. Laras
bahasa juga dikenal dengan gaya atau style. Laras bahasa biasanya berubah-
ubah mengikut situasi.
5. Berdasarkan fungsi penggunaannya laras bahasa dapat dipilah menjadi laras
biasa atau laras umum, laras akademik atau laras ilmiah, laras perniagaan, laras
perundangan, laras sastera, laras iklan.
6. Bahasa baku adalah bentuk bahasa yang telah mengalami proses standardisasi,
yaitu tahap menegakkan tata bahasa dan kamus normatif.
7. Standarisasi atau pembakuan dalam bahasa Indonesia adalah sesuatu yang
mutlak demi perkembangan bahasa Indonesia di masa mendatang. Terutama
untuk menyaring masuknya istilah asing dan pemertahanan kosakata bahasa
Indonesia.
8. Bahasa yang baik adalah bahasa yang sesuai dengan situasi dan kondisi,
sedangkan Bahasa yang benar adalah bahasa yang sesuai dengan kaidahnya,
bentuk dan strukturnya.

E. Pertanyaan/Diskusi
Bagian ini berisi pertanyaan sebagai bahan diskusi atau latihan untuk memperkaya
pemahaman mahasiswa

BAB IV
PILIHAN KATA/ DIKSI
A. Deskripsi singkat
Hal-hal yang dibahas dalam BAB ini meliputi hakikat dan fungsi pemilihan kata, syarat
ketepatan pemilihan kata, makna denotasi dan konotasi, gaya bahasa dan idiom.

B. Capaian pembelajaran matakuliah


Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami dan menjelaskan
pengertian dan fungsi diksi, memahami, mengidentifikasi, dan menjelaskan syarat
kesesuaian diksi, memahami, membedakan, dan menjelaskan makna denotasi dan
konotasi, gaya bahasa dan Idiom, serta mampu mengaplikasikan prinsip-prinsip diksi dalam
berbahasa.

C. Isi Materi perkuliahan


1. Hakikat dan Fungsi Pemilihan Kata
Diksi adalah kata-kata yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, cara
menggabungkan kata-kata yang tepat, dan gaya yang paling baik digunakan dalam situasi
tertentu (Keraf, 2002: 14). Pilihan kata atau diksi pada dasarnya merupakan hasil dari upaya
memilih kata tertentu untuk dipakai dalam suatu tuturan bahasa. Pemilihan kata dilakukan
apabila tersedia sejumlah kata yang artinya hampir sama atau bermiripan. Dari senarai kata
itu dipilih satu kata yang paling tepat untuk mengungkapan suatu pengertian.
Pemakaian kata bukanlah sekadar memilih kata yang tepat, melainkan juga kata yang
cocok. Cocok dalam hal ini berarti sesuai dengan konteks di mana kita berada, dan
maknanya tidak bertentangan dengan nilai rasa masyarakat pemakainya. Sebagai contoh,
kata mati bersinonim dengan mampus, meninggal, wafat, mangkat, tewas, gugur,
berpulang, kembali ke haribaan, Tuhan, dan lain sebagainya. Akan tetapi, kata-kata
tersebut tidak dapat bebas digunakan. Mengapa? Ada nilai rasa nuansa makna yang
membedakannya. Kita tidak akan mengatakan Kucing kesayanganku wafat tadi malam.
Sebaliknya, kurang tepat pula jika kita mengatakan Menteri Fulan mati tadi malam. Dalam
uraian di atas ada tiga hal yang dapat kita petik. Pertama, kemahiran memilih kata hanya
dimungkinkan bila seseorang menguasai kosakata yang cukup luas. Kedua, diksi atau
pilihan kata mengandung pengertian upaya atau kemampuan membedakan secara tepat
kata-kata yang memiliki nuansa makna serumpun. Ketiga, diksi atau pilihan kata
menyangkut kemampuan untuk memilih kata-kata yang tepat dan cocok untuk situasi
tertentu.
Pemilihan kata/ diksi dalam kegiatan berbahasa tentunya memiliki tujuan tersendiri selain
sekedar memberi kesan penggunaan kosakata yang variatif/ beragam. Berikut beberapa
Fungsi pemilihan kata/ diksi
a. Membuat pembaca atau pendengar mengerti secara benar dan tidak salah
paham terhadap apa yang disampaikan oleh pembicara atau penulis.
b. Mencapai target komunikasi yang efektif
c. Melambangkan gagasan yang di ekspresikan secara verbal
d. Membentuk gaya ekspresi gagasan yang tepat (sangat resmi, resmi, tidak
resmi) sehingga menyenangkan pendengar atau pembaca

2. Syarat Ketepatan Pemilihan Kata


Diksi yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan kosakata yang banyak.
Hal-hal yang memengaruhi pemilihan kata/ diksi adalah pengguna bahasa harus memiliki/
mampu memenuhi beberapa Syarat. Berikut syarat ketepaatan dalam pemilihan kata
menurut menurut Keraf (1994: 88):
a. Dapat membedakan antara denotasi dan konotasi.
Contoh:
Bunga edelweis hanya tumbuh di tempat yang tinggi (gunung).
Jika bunga bank tinggi, orang enggan mengambil kredit bank.
b. Dapat membedakan kata-kata yang hampir bersinonim.
Contoh:
Siapa pengubah peraturan yang memberatkan pengusaha?
Pembebasan bea masuk untuk jenis barang tertentu adalah peubah peraturan yang selama
ini memberatkan pengusaha.
c. Dapat membedakan kata-kata yang hampir mirip dalam ejaannya.
Contoh:
intensif-insentif
interferensi-inferensi karton-
kartun preposisi-proposisi
korporasi-koprasi
d. Dapat memahami dengan tepat makna kata-kata abstrak.
Contoh:
keadilan, kebahagiaan, keluhuran,
kebajikan, kebijakan, kebijaksanaan
e. Dapat memakai kata penghubung yang berpasangan secara tepat.
Contoh:
Pasangan yang salah Pasangan yang benar
antara ... dengan ... antara ... dan ...
tidak ... melainkan ... tidak ... tetapi ...
baik ... ataupun ... baik ... maupun ...
bukan ... tetapi ... bukan ... melainkan ...

Contoh pemakaian kata penghubung yang salah


*Antara hak dengan kewajiban pegawai haruslah berimbang.
*Korban PHK itu tidak menuntut bonus, melainkan pesangon.
*Baik dosen ataupun mahasiswa ikut memperjuangkan reformasi.
*Bukan aku yang tidak mau, tetapi dia yang tidak suka.

Contoh pemakaian kata penghubung yang benar


Antara hak dan kewajiban pegawai haruslah
berimbang. Korban PHK itu tidak menuntut bonus,
tetapi pesangon.
Baik dosen maupun mahasiswa ikut memperjuangkan reformasi.
Bukan aku yang tidak mau, melainkan dia yang tidak suka.
f. Dapat membedakan antara kata-kata yang umum dan kata-kata yang khusus.
Kata melihat adalah kata umum yang merujuk pada perihal ‘mengetahui sesuatu melalui
indera mata’. Kata melihat tidak hanya digunakan untuk menyatakan membuka mata serta
menunjuk objek tertentu, tetapi juga untuk mengetahui hal yang berkenaan dengan objek
tersebut. Untuk lebih jelasnya perhatikan dan bandingkan contoh berikut ini.
Contoh:
Kata umum: melihat;
Kata khusus: melotot, membelalak, melirik, mengerling, mengintai, mengintip,
memandang, menatap,memperhatikan, mengamati, mengawasi, menonton, meneropong.

Selain beberapa syarat yang telah diuraikan di atas, beberapa syarat berikut juga dirasa
penting untuk diperhatikan untuk mencapai ketepatan dalam pemilihan kata/ diksi
(kesesuaian) adalah sebagai berikut:
a. Hindari bahasa atau unsur substandar dalam situasi yang formal
Bahasa standar adalah bahasa yang cenderung digunakan oleh masyarakat berpendidikan
dan menduduki status sosial yang cukup tinggi. Meliputi pejabat-pejabat pemerintah, ahli
bahasa, ahli hukum, dokter, pedagang, guru, penulis, penerbit, seniman, insinyur, dan lain
sebagainya. dipakai dalam tulisan, resmi, efektif. Sementara itu, bahasa nonstandard
biasanya digunakan oleh masyarakat yang tidak memperoleh pendidikan yang cukup dan
kedudukan sosial yang tinggi dipakai untuk pergaulan biasa, tidak di pakai dalam tulisan.
Kadang digunakan juga oleh para kaum pelajar dalam bersenda gurau, dan berhumor, tidak
efektif, dan berlaku untuk suatu wilayah yang luas dalam wilayah bahasa standar. Bahasa
non standar biasanya cukup untuk digunakan dalam kebutuhan-kebutuhan umum.
b. Gunakan kata-kata ilmiah dalam situasi yang khusus saja
Berhubungan dengan kesempatan, situasi yang dihadapi. Kata Ilmiah bersifat spesifik
sesuai dengan bidang yang dibahas, sedangkan kata popular bersifat umum atau
merupakan bagian terbesar dari kosa kata sebuah bahasa, terdiri dari kata-kata yang umum
yang dipakai oleh semua lapisan masyarakat, baik yang terpelajar maupun orang awam.
c. Hindari jargon dalam tulisan untuk pembaca umum
Jargon adalah suatu bahasa, dialek, atau struktur yang dianggap kurang sopan atau aneh.
Bahasa atau dialek yang timbul dari percampuran bahasa-bahasa, dan sekaligus dianggap
sebagai bahasa perhubungan atau lingua franca. Jargon dapat pula ditageorikan sebagai
kata-kata teknis atau rahasia dalam suatu bidang ilmu tertentu, seni, perdagangan,
kumpulan rahasia, atau kelompok-kelompok khusus lainnya.
d. Hindari pemakaian kata-kata slang
Kata Slang adalah kata-kata non standar yang disusun secara khas; bertenaga dan jenaka
yang dipakai dalam percakapan. Kadang kala kata slang yang dihasilkan dari salah ucap
yang disengaja. Kemungkinan terdapat pada semua lapisan masyarakat.
e. Dalam penulisan jangan mempergunakan kata percakapan
Kata percakapan adalah kata-kata yang biasa dipakai dalam percakapan atau pergaulan
orang-orang yang terdidik. Kata percakapan tidak dapat disejajarkan dengan bahasa yang
tidak benar, tidak terpelihara atau tidak disenangi. lebih luas dari pengertian kata-kata
populer, kata-kata percakapan mencakup pula sebagian kata-kata ilmiah yang biasa dipakai
oleh golongan terpelajar.
f. Hindari ungkapan-ungkapan usang (idiom yang mati)
Pola struktural yang menyimpang dari kaidah-kaidah bahasa yang umum, biasanya
berbentuk frase, sedangkan artinya tidak bisa diterangkan secara logis, dengan bertumpu
pada makna kata-kata yang membentuknya.
Contoh:
makan tangan = kena tinju, dipukuli, dikeroyok

Memasukkan sesuatu ke dalam Bagian tubuh, dari lengan sampai jari dipukul, kena
mulut (dikunyah)
tinju

makan tangan
makan tangan

g. Jauhkan kata-kata atau bahasa yang artfisial


Bahasa Rtifisal adalah bahasa yang disusun secara seni. Berikut perbandingan bahasa
artifisial da bahasa biasa:
Artifisial: Ia mendengar kepak sayap kalelawar dan guyuran sisa hujan dari dedaunan,
karena angin kepada kemuning.
Biasa: Ia mendengar bunyi sayap kelelawar dan sisa hujan yang ditiup angin di daun.
Artifisial: Ia mendengar resah kuda serta langkah pedati ketika langit bersih kembali
menampakkan bima sakti yang jauh.
Biasa: Ia mendengar derap kuda dan pedati ketika langit mulai terang.

3. Diksi dalam Kalimat


Diksi dalam Kalimat adalah pilihan kata yang tepat untuk ditempatkan dalam kalimat sesuai
makna, kesesuaian, kesopanan, dan dapat mewakili maksud atau gagasan. Secara leksikal,
makna kata banyak yang sama, tetapi penggunaanya tidak sama.
Contoh:
• penelitian, penyelidikan, pengamatan. Kata-kata tersebut bersinonim (mempunyai
arti yang sama), tetapi tidak bisa ditempatkan dalam kalimat yang sama.
Contoh dalam kalimat:
• “Sebagai seorang ilmuan, keseharian Prof. John tidak terlepas dari kegiatan
penelitian”;
• ”KPK melakukan penyelidikan terkait isu keterlibatan menpora dalam kasus
Hambalang”;
• Berdasarkan pengamatan di lapangan, kondisi Jakarta pascabanjir cukup
memprihatinkan;
• hasil penyidikan polisi mempertegas dugaan masyarakat tentang keterlibatan A
dalam kasus…, terlebih dengan ditemukannya beberapa barang bukti di TKP.
• Dari segi kesopanan, kata mati, meninggal, gugur, mangkat, wafat, tewas, dan
pulang ke rahmatullah, dipilih berdasarkan jenis mahluk, tingkat sosial, dan waktu.
Contoh:
 Ribuan unggas mati karena terjangkit virus flu burung;
 Tetagganya meninggal sore kemarin;
 Banyak pahlawan yang gugur karena peristiwa bersejarah itu;
 Beliau wafat pada 1428H.
 Lima orang korban ditemukan tewas di bawah puing reruntuhan gedung.
Beranjak dari makna yang dimiliki, penggunaan kata juga dipengaurhi oleh penggunaan
kata sebelumnya, pasangan yang selaras.
Misalnya:
Kata Islam dan muslim sering salah penggunaanya dalam kalimat. Kita pernah mendengar
orang berkata, “Setelah menjadi Islam dia rajin bersedekah”. Seharusnya, “Setelah masuk
Islam dia rajin bersedekah”. Jika ingin menggunakan kata menjadi maka selanjutnya harus
menggunakan kata muslim. Contoh, “Setelah menjadi muslim dia rajin bersedekah”. Islam
adalah nama agama yang berarti lembaga, sedangkan muslim adalah orang yang beragama
Islam. Kata menjadi dapat dipasangkan dengan orangnya dan kata masuk tepat
dipasangkan dengan lembaganya. Pada contoh lain dapat dilihat pula keberadaan diksi
dalam kalimat yangsangat berpengaruh pada kejelasan makna. Ditinjau dari segi makna,
kata jam dan pukul sering salah penggunaanya dalam kalimat. Kalimat yang sering kita lihat
adalah “Kami berangkat ke Jakarta jam 07.40 WIB dengan Garuda”., seharusnya, “Kami
berangkat ke Jakarta pukul 07.40 WIB dengan Garuda”. Kata pukul merujuk pada waktu
yang ditunjukkan, sedangkan kata jam merujuk pada satuan waktu atau benda/alat yang
berfungsi sebagai penujuk waktu.

4. Makna Denotatif dan Konotatif


Pemahaman akan makna adalah hal yang mutlak dimiliki jika seseorang ingin menerapkan
pemilihan kata/ diksi dalam bahasanya. Jenis makna yang harus dipahami agar pilihan kata/
diksi mampu mewakili informasi sesuai dengan keinginnya penggunanya minimal adalah
makna denotatif dan konotatif.
Makna denotatif ialah arti harfiah suatu kata tanpa ada satu makna yang menyertainya,
sedangkan makna konotatif adalah makna kata yang mempunyai tautan pikiran, perasaan,
dan lain-lain yang menimbulkan nilai rasa tertentu. Hal ini dipertegas oleh pendapat Chaer
(2009:65), yaitu perbedaan makna denotatif dan konotatif didasarkan pada ada atau tidak
adanya “nilai rasa” (istilah dari Slametmuliana (dalam Chaer, 2009:65)) pada sebuah kata.
Dengan kata lain, makna denotatif adalah makna yang bersifat umum, sedangkan makna
konotatif lebih bersifat pribadi dan khusus (Arifin dan Tasai,2010:29-30).
Menurut Arifin dan Tasai (2010:28), makna denotatif adalah makna dalam alam wajar
secara eksplisit. Makna wajar ini adalah makna yang sesuai dengan apa adanya. Selain itu,
Chaer (2009:65-66) menegaskan bahwa makna denotatif (sering juga disebut makna
denotasional, makna konseptual, atau kognitif karena dilihat dari sudut yang lain) pada
dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna denotatif ini lazim diberi penjelasan
sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman,
pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut
informasiinformasi faktual objektif.
Sementara itu, makna konotatif adalah makna asosiatif, makna yang timbul sebagai akibat
dari sikap sosial, sikap pribadi, dan kriteria tambahan yang dikenakan pada sebuah makna
konseptual. Makna konotatif adalah makna yang dikaitkan dengan suatu kondisi dan situasi
tertentu (Arifin dan Tasai,2010:28). Jika makna denotatif mengacu pada makna asli atau
makna sebenarnya dari sebuah kata atau leksem, maka makna konotatif adalah makna lain
yang “ditambahkan” pada makna denotatif tadi yang berhubungan dengan nilai rasa dari
orang atau sekelompok orang yang menggunakan kata tersebut (Chaer, 2012:292).
Selanjutnya, Chaer (2009:65) mengemukakan bahwa sebuah kata disebut mempunyai
makna konotatif apabila kata itu mempunyai “nilai rasa”, baik positif maupun negatif. Jika
tidak memiliki nilai rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi. Chaer (2009:69), juga
mengemukakan bahwa makna konotasi sebuah kata dapat berbeda dari satu keolompok
masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yanglain, sesuai dengan pandangan
hidup dan norma-norma penilaian kelompok masyarakat tersebut.

D. Rangkuman
1. Diksi adalah kata-kata yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, cara
menggabungkan kata-kata yang tepat, dan gaya yang paling baik digunakan dalam
situasi tertentu.
2. Penggunaan diksi siyaratkan oleh:
Diksi yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan kosakata yang banyak/
cukup.
3. Penerapan pemilihan kata/ Diksi dipengaruhi oleh hal-hal seperti penguasaan
sejumlah kosa kata (perbendaharaan kata), ketepananmemilih kata, serta
kemampuan untuk membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna sesuai dengan
gagasan yang ingin disampaikan.
4. Diksi dalam Kalimat adalah pilihan kata yang tepat untuk ditempatkan dalam kalimat
sesuai makna, kesesuaian, kesopanan, dan dapat mewakili maksud atau gagasan.
5. Penerapan diksi dalam kalimat sangat penitng, mengingat secara leksikal makna
kata banyak yang sama, tetapi penggunaanya tidak sama.
6. Pemahaman dan kemampuan membedakan jenis makna sebuah sanagat penting
dalam prakti pemilihan kata/ diksi.
7. Maka denotatif adalah makna sebenranya yang melekat pada sebuah kata, sesuai
dengan apa yang diacu, sedangkan makna denotatif adalah makna yang bersifat
tidak sebenarnya/ asosiatif.
8. Perbedaan makna denotatif dan konotatif secara sederhana dapat dilihat dari ada
atau tidaknya nilai rasa yang terkandung pada sebuah kata. Jika sebuah kata
mengandung nilai rasa, maka jenis maknanya konotatif, serta sebaliknya.

E. Pertanyaan/Diskusi
Bagian ini berisi pertanyaan sebagai bahan diskusi atau latihan untuk memperkaya
pemahaman mahasiswa

BAB V
EJAAN DALAM BAHASA INDONESIA

A. Deskripsi singkat
Hal-hal yang dibahas dalam BAB ini adalah sejarah ejaan dalam bahasa Indonesia, fungsi
dan kedudukan ejaan dalam bahasa Indonesia, ruang lingkup ejaan dalam pedoam umum
ejaan bahasa Indonesia (PUEBI), dan fenomena kesalahan penggunaan ejaan dalam
bahasa Indonesia.

B. Capaian pembelajaran matakuliah


Setelah memperlajari materi ini mahasiswa diharapkan mampu memahami dan menjelaskan
sejarah perkembangan bahasa Indonesia, memahami dan menjelaskna ruang lingkup Ejaan
Bahasa Indonesia (PUEBI), serta mampu mengindentifikasi dan mengoreksi kesalaha
penggunaan ejaan dalam bahasa Indonesia.

C. Isi Materi perkuliahan


Pada hakikatnya ejaan itu adalah konvensi grafis, perjanjian di antara anggota masyarakat
pemakai suatu bahasa untuk menuliskan bahasanya. Bunyi bahasa yang seharusnya
diucapkan diganti dengan lambang-lambang huruf dan tanda-tanda lain. Bahasa Indonesia,
dan banyak bahasa lain di dunia, menggunakan abjad Latin untuk menuliskan bahasanya.
Walaupun abjad yang digunakan sama, tetapi karena sistem bunyi bahasa-bahasa itu tidak
sama dan karena juga penggunaan huruf-huruf itu bersifat arbitrer, sistem ejaannya pun
menjadi tidak sama.
Ditinjau dari pengertianya, dalam KBBI,(2008:353) dijelaskan bahwa ejaan adalah kaidah
atau cara menggambarkan bunyi-bunyi (kata, kalimat, dsb.) dalam bentuk tulisan (huruf-
huruf) serta penggunaan tanda baca. Selain itu ejaan dapat diartikan sebagai seperangkat
aturan tentang cara menuliskan bahasa dengan menggunakan huruf, kata, dan tanda baca
sebagai sarananya. Seperangkat aturan/kaidah pelambangan bunyi bahasa, pemisahan,
penggabungan, dan penulisannya dalam suatu bahasa.
1. Sejarah Ejaan dalam Bahasa Indonesia
Sejak masa perkembangan awal sampai kini bahasa Indonesia memiliki beberapa jenis
ejaan sebagai berikut.
a. Ejaan Van Ophuijsen (1901-1947)
Ejaan van Ophuijsen merupakan ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin. Charles Van
Ophuijsen yang dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan
Ibrahim menyusun ejaan baru ini pada tahun 1896 dan secara resmi mulai diberlakukan
pada 1901. Ejaan ini digunakan untuk menuliskan kata-kata Melayu menurut model yang
dimengerti oleh orang Belanda, yaitu menggunakan huruf Latin dan bunyi yang mirip
dengan tuturan Belanda, antara lain:
a) huruf 'j' untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang
b) huruf 'oe' untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer
c) tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata
ma'moer, ‘akal, ta’, pa’, dinamaï.
Ciri-ciri Ejaan van Ophuijsen

1) Bunyi ‘u’ dilambangkan dengan dua fonem /oe/, spt. goeroe=guru.


2) Menggunakan 2 fonem untuk melambangkan bunyi fonem tertentu, spt. /tj/
melambangkan 'c': tjutji=cuci, /dj/ melambangkan 'j': djarak=jarak
3) bunyi tertentu dilambangkan dengan fonem yang berbeda, spt. ‘y' dilambangkan
/j/: sajang=sayang; 'ny’ dilambangkan 'nj': njamuk=nyamuk; 'sy' dilambangkan
/sj/: sjarat=syarat;
4) 'kh‘ dilambangkan dengan /ch/: akhir=achir
5) bunyi hamzah dan bunyi sentak dilambangkan dengan /‘/, seperti pada: ta’, pa’,
ma’lum, ra’jat.
6) kata ulang boleh ditulis dengan angka 2, seperti ubur2, ber-main2, ke-barat2-an.
7) awalan 'di-' dan kata depan 'di' kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang
mengikutinya. Kata depan 'di' pada contoh dirumah, disawah, tidak dibedakan
dengan imbuhan 'di-' pada dibeli, dimakan.

b. Ejaan Republik (Edjaan Republik)/ Ejaan Soewandi (1947-1972)


Ketentuan ejaan dalam bahasa Indonesia yang berlaku sejak 17 Maret 1947 dikenal dengan
nama edjaan Soewandi. Ejaan ini mengganti ejaan sebelumnya, yaitu Ejaan Van Ophuijsen
yang mulai berlaku sejak tahun 1901.
Ciri-Ciri Ejaan Republik

1) Bunyi ‘u’ yang semula dilambangkan dengan dua fonem /oe/ tidak berlaku lagi
2) Masih menggunakan 2 fonem untuk melambangkan bunyi fonem tertentu, spt.
/tj/ melambangkan 'c': tjutji=cuci, /dj/ melambangkan 'j': djarak =jarak
3) bunyi tertentu dilambangkan dengan fonem yang berbeda, spt. ‘y' dilambangkan
/j/ : sayang=sajang; 'ny’ dilambangkan 'nj': njamuk=nyamuk; 'sy' dilambangkan
/sj/: sjarat=syarat;
4) 'kh‘ dilambangkan dengan ch: akhir= achir
5) awalan /di-/ dan kata depan /di/ tidak dibedakan penulisannya.
6) bunyi hamzah dan bunyi sentak yang sebelumnya dinyatakan dengan /‘/ ditulis
dengan /k/, seperti pada kata-kata tak, pak, maklum, rakjat.

c. Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) (1972-2015)


Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) yang ditetapkan dengan keputusan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Republik Indonesia No. 03/A.1/72, tanggal 20 Mei 1972, dan diresmikan
penggunaannya dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 57, tanggal
17 Agustus 1972. Ejaan ini adalah yang dihasilkan dari penyempurnaan atas ejaan-ejaan
sebelumnya.
Selama masa pemberlakuannya, Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) mengalami beberapa
kali revisi:
a) Revisi 1987
Pada tahun 1987, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0543a/U/1987 tentang Penyempurnaan "Pedoman
Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan". Keputusan menteri ini
menyempurnakan EYD edisi 1972.
b) Revisi 2009
Pada tahun 2009, Menteri Pendidikan Nasional mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan. Dengan dikeluarkannya peraturan menteri ini, maka EYD edisi 1987 diganti
dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Ciri-ciri Ejaan Yang Disempurnakan (EYD)
1) Penggunaan 2 fonem secara bersamaan untuk melambangkan fonem-
fonem tertentu tidak berlaku lagi, seperti: /tj/ menjadi /c/ : tjutji → cuci, /dj/
menjadi /j/ : djarak → jarak
2) 'sj' menjadi 'sy' : sjarat → syarat, 'ch' menjadi 'kh' : achir → akhir
3) awalan 'di-' dan kata depan 'di' dibedakan penulisannya. Kata depan 'di'
pada contoh "di rumah", "di sawah", penulisannya dipisahkan dengan spasi,
sementara 'di-' pada dibeli, dimakan ditulis serangkai dengan kata yang
mengikutinya
Perbadingan Ejaan vO, Republik, dan EYD
Van Ophuijsen Republik EYD
• goeroe • guru • guru
• ta’, pa’, ma’lum, • tak, pak, maklum, rakjat • tak, pak, maklum, rkyat
ra’jat. • tjutji, djarak • cuci, jarak
• tjutji, djarak • sajang, njamuk, sjarat • sayang, nyamuk, syarat
• sajang, njamuk, • achir • akhir
sjarat • ubur2, ber-main2, ke- • ubur-ubur, bermain-main,
• achir barat2-an. kebarat-baratan
• ubur2, ber-main2, • dirumah, disawah; dibeli, • di rumah, di sawah;
• barat2-an. dimakan. dibeli,dimakan
• dirumah, disawah;
dibeli, dimakan.

Catatan:
Perbedaan antara EYD dengan PUEBI tidak begitu mencolok, hanya terjadi beberapa
penambahan

d. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) (2015-Sekarang)


Perkembangan EYD dan Proses Perubahan Menjadi PUEBI melalui Revisi 2015. Ejaan ini
berlaku sejak 30 November 2015, Permendiknas Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pedoman
Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku lagi. Permendiknas tersebut digantikan oleh Permendikbud Nomor 50 Tahun 2015
tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI). Dengan demikian, kaidah dalam
bahasa Indonesia yang berlaku saat ini adalah PUEBI, bukan EYD.
PUEBI adalah penyempurnaan dari EYD. Ejaan bahasa Indonesia sudah direvisi sebanyak
tiga kali yaitu 1987, 2009, dan 2015. Revisi I (1987), berdasarkan Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0543a/U/1987. Revisi II (2009), berdasarkan Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 46 Tahun 2009. Revisi III (2015), dinamakan Pedoman
Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) yang berdasar pada Peraturan Menteri Pendidikan
Dan Kebudayaan Nomor 50 Tahun 2015, telah diterbitkan pada tahun 2015 dan disebarkan
melalui situs web resmi Kemendikbud tertanggal 21 Januari 2016.
Perbedaan Mendasar EYD dengan PUEBI
1) Penambahan huruf vokal diftong ei, dalam EYD hanya ada tiga yaitu ai, au, dan
ao.
2) Penulisan huruf kapital pada EYD digunakan dalam penulisan nama orang tidak
termasuk julukan, sedangkan pada PUEBI huruf kapital digunakan sebagai huruf
pertama unsur nama orang, termasuk julukan.
3) Penulisan huruf tebal tidak dipakai dalam cetakan untuk menegaskan atau
mengkhususkan huruf, bagian kata, kata, atau kelompok kata, untuk keperluan
itu digunakan huruf miring pada EYD, sedangkan pada PUEBI huruf tebal
dipakai untuk menegaskan bagian tulisan yang sudah ditulis miring.
4) Penggunaan partikel pun pada EYD ditulis terpisah kecuali yang sudah lazim
digunakan, maka penulisannya ditulis serangkai, sedangkan pada PUEBI
partikel pun tetap ditulis terpisah, kecuali mengikuti unsur kata penghubung,
maka ditulis serangkai.
5) Penggunaan bilangan, pada PUEBI, bilangan yang digunakan sebagai unsur
nama geografi ditulis dengan huruf, sedangkan pada EYD tidak ada hal yang
mengaturnya.
6) Penggunaan titik koma (;) pada EYD digunakan dalam perincian tanpa
penggunaan kata dan, sedangkan dalam PUEBI penggunaan titik koma (;) tetap
menggunakan kata dan.
7) Penggunaan tanda titik koma (;) pada PUEBI dipakai pada akhir perincian yang
berupa klausa, sedangkan pada EYD tidak ada hal yang mengaturnya.
8) Penggunaan tanda hubung (-) pada PUEBI tidak dipakai di antara huruf dan
angka, jika angka tersebut melambangkan jumlah huruf, sedangkan pada EYD
tidak ada hal yang mengaturnya. Misalnya: LP2M LP3I.
9) Tanda hubung (-) pada PUEBI digunakan untuk menandai bentuk terikat yang
menjadi objek bahasan, sedangkan pada EYD tidak ada hal yang mengaturnya
Misalnya: …pasca-, -isasi.
10) Penggunaan tanda kurung [( )] dalam perincian pada EYD hanya digunakan
pada perincian ke kanan atau dalam paragraf, tidak dalam perincian ke bawah,
sedangkan pada PUEBI tidak ada hal yang mengaturnya.
11) Penggunaan tanda elipsis ( … ) dalam EYD dipakai dalam kalimat yang
terputus-putus, sedangkan dalam PUEBI tanda elipsis digunakan untuk menulis
ujaran yang tidak selesai dalam dialog.

2. Fungsi dan Kedudukan Ejaan dalam Bahasa Indonesia


a. Fungsi utama/ Umum Ejaan
Ejaan berperan penting dalam menunjang pembakuan tata bahasa Indonesia baik kaitannya
dengan kosa kata maupun dengan peristilahan.
b. Fungsi Khusus Ejaan
a) Sebagai landasan pembakuan tata bahasa
b) Sebagai landasan pembakuan kosa kata dan peristilahan
c) Sebagai alat penyaring dari masuknya unsur-unsur bahasa lain baik berupa
kosa kata maupun istilah ke dalam Bahasa Indonesia

3. Ruang Lingkup Ejaan dalam Pedoam Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI)
Penulisan Kata

Pemakaian Pemakaian
Huruf
PUEBI Tanda Baca

Penulisan Unsur
Serapan

a. Pemakaian Huruf
1) Abjad
Abjad dapat diartikan sebagai kumpulan huruf yang digunakan dalam sebuah bahasa
tertentu (terutama ranah tulis). Hingga saat ini bahasa Indonesi mengenal 26 huruf dalam
sistem abjad. Jumlah huruf yang digunaka bisa saja mengalami perubahan, tergantung
kebutuhan bahasa dan konvensi masyarat bahasa. Berikut daftar huruf dalam abjad bahasa
Indonesia dan namanya:

huruf nama huruf nama Huruf nama

A a a J j je S s es
B b be K k ka T t te
C c ce L l el U u u
D d de M m em V v ve
E e e N n en W w we
F f ef O o o X x eks
G g ge P p pe Y y ye
H h ha Q q ki Z z zet
Ii i R r er

2) Vokal
Huruf Vokal adalah huruf yang melambangkan vokal dalam bahasa. Vokal dalam
bahasa Indonesia menjadi syarat pembentukan suku kata. Huruf-huruf yang tergolong
vokal tersebut adalah a, e, i, o, dan u. Berikut uraian lengkapnya:

Huruf Vokal Pemakaian dalam kata


Awal Tengah Akhir

A ayah panah mata


e* elok merah sate
I elang megah tipe
O irit pipih janji
U ongkos boros tempo
Usang Pulang baru

Dalam pengajaran lafal kata, dapat digunakan tanda aksen jika ejaan kata menimbulkan
keraguan.
Misalnya:
• Anak-anak bermain di teras (téras).
• Upacara itu dihadiri pejabat teras pemerintah.
• Kami menonton film seri (séri)
• Pertandingan itu berakhir seri.

3) Konsonan
Huruf Konsonan adalah huruf yang melambangkan konsonan dalam bahasa Indonesia
terdiri atas huruf-huruf b, c, d, f, g, h, j, k, l, m, n, p, q, r, s, t, v, w, x, y, dan z.

Contoh pemakaian dalam kata


Huruf Konsonan
di awal di tengah di akhir

b buku abu adab


c cara acara -
d damai adat abad
dst

4) Diftong
Diftong adalah dua vokal yang diucapkan sekaligus, sehingga dua vokal yang diucapkan
tersebut membentuk bunyi baru atau menghasilkan satu bunyi saja. Dua vokal yang berderetan
dapat dikategorikan sebagai diftong jika berada dalam satu suku kata yang sama. Diftong
seringkali diistilah dengan vokal rangkap yang tergolong dalam satu suku kata. Hingga saat ini, bahasa
Indonesia memiliki lima diftong yang dilambangkan dengan ai, au, oi, dan ei.
Contoh pemakaian dalam kata
Huruf Diftong

di awal di tengah di akhir

ai ain syaitan pandai


au aula saudara harimau
oi Boikot amboi
ei geiser survei

5) Gabungan konsonan
Dalam bahasa Indonesia terdapat empat gabungan huruf yang melambangkan konsonan,
yakni: kh, ng, ny, dan sy. Masing-masing gabungan konsonan tersebut melambangkan satu
bunyi konsonan.

Gabungan Pemakaian dalam kata


huruf konsonan
Di awal Di tengah
Di akhir

kh khusus akhir tarikh


ng ngilu bangun senang
ny nyata hanyut -
sy syarat isyarat arasy

Untuk ruang lingkup penulisan kata, pemakaian tanda baca, dan penulisan unsur serapan
tidak akan diuraikan di sini mengingat panjangnya uraian. Untuk lebih lengkapnya silakan
saudara unduh pedoman penggunaan ejaan bahasa Indonesia terbaru pada link berikut:
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/sites/default/files/PUEBI.pdf

D. Rangkuman
1. Ejaan adalah kaidah atau cara menggambarkan bunyi-bunyi (kata, kalimat, dsb.)
dalam bentuk tulisan (huruf-huruf) serta penggunaan tanda baca.
2. Sejauh ini bahasa Indonesi telah beberapa kali melakukan penggantian sistem
ejaan, ejaan-ejaan tersebut adalah Ejaan Van Ophuijsen (1901-1947), Ejaan
Republik/ Ejaan Soewandi (1947-1972), Ejaan Yang Disempurnakan (EYD)
(1972-2015), dan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) (2015-
Sekarang)
3. Perkembangan EYD dan Proses Perubahan Menjadi PUEBI melalui Revisi pada
2015. Pengesahan penggunaannya melalui Permendikbud Nomor 50 Tahun 2015
tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI).
4. Ruang lingkup ejaan dalam PUEBI meliputi pemakaian huruf, penulisan kata,
pemakaian tanda baca, dan penulisan unsur serapan.
5. Ejaan dalam bahasa Indonesia memiliki berfungsi sebagai penunjang pembakuan
tata bahasa Indonesia baik kaitannya dengan kosa kata maupun dengan
peristilahan.

E. Pertanyaan/ Diskusi
Carilah minimal sepuluh data kebahasaan yang di dalamnya terdapat bentuk-bentuk
penggunaa bahasa yang tidak sesuai dengan aturan yang telah dirumuskan dalam PUEBI.
Kemudian buatlah analisis untuk melihat dan menjelaskan bentuk-bentuk kesalahan
penerapan ejaan yang terjadi. Setelah itu, berikan komentar dan pandangan saudar
mengenai alasan/ penyebab terjadinya kesalahan penerapan ejaan serta solusi agar
kesalahan penerapan ejaan dapat diminimlisasi atau tidak lagi terjadi dalam bahasa
Indonesia.

BAB VI
KALIMAT DALAM BAHASA INDONESIA

A. Deskripsi singkat
Hal-hal yang dibahas dalam BAB ini meliputi hakikat dan unsur-unsur kalimat, jenis-jenis
kalimat, kalimat efektif, dan masalah penggunaan kalimat bahasa Indonesia.

B. Capaian pembelajaran matakuliah


Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami dan menjelaskan
hakikat dan unsur-unsur kalimat, memahami, menjelaskan, dan mengidentifikasi kalimat
berdasarkan jenisnya, memahami, menjelaskan, mengidentifikasi, dan mengoreksi
ketidakefektifan kalimat, serta mampu mengidentifikasi, menjelaskan, dan mengoreksi
kesalahan penggunaan kalimat dalam bahasa Indonesia.

C. Isi Materi perkuliahan


1. Hakikat dan Unsur-Unsur Kalimat
a. Hakikat Kalimat
Kalimat adalah satuan bahasa terkecil, dalam wujud lisan atau tulisan, yang
mengungkapkan pikiran yang utuh. Menurut Kridalaksana (1982:72), kalimat adalah satuan
bahasa yang secara relatif berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi final dan secara aktual
dan potensial terdiri dari klausa. Menurut Alwi, dkk. (2003:311), kalimat adalah satuan
bahasa terkecil, dalam wujud lisan atau tulisan yang mengungkapkan pikiran yang utuh.
Dalam wujud lisan kalimat diucapkan dengan suara naik turun, dan keras lembut, disela
jeda, dan diakhiri dengan intonasi akhir. Dalam wujud tulisan berhuruf latin kalimat dimulai
dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik (.), tanda tanya (?), dan tanda seru (!)
(Alwi, dkk., 2003:311).
Widjono (2007:147), menjelaskan ciri-ciri kalimat sebagai berikut.
 Dalam bahasa lisan diawali dengan kesenyapan dan diakhiri dengan
kesenyapan. Dalam bahasa tulis diawali dengan huruf kapital dan diakhiri
dengan tanda titik, tanda tanya, atau tanda seru.
 Sekurang-kurangnya terdiri atas subjek dan predikat.
 Predikat transitif disertai objek, predikat intransitif dapat disertai pelengkap.
 Mengandung pikiran yang utuh.
 Mengandung urutan logis, setiap kata atau kelompok kata yang mendukung
fungsi (subjek, predikat, objek, dan keterangan) disusun dalam satuan menurut
fungsinya.
 Mengandung satuan makna, ide, atau pesan yang jelas.
 Dalam paragraf yang terdiri dari dua kalimat atau lebih, kalimat-kalimat disusun
dalam satuan makna pikiran yang saling berhubungan.
Berikut ini adalah beberapa pola kalimat dasar bahasa Indonesia:
 KB + KK : Mahasiswa berdiskusi.
 KB + KS : Dosen itu ramah.
 KB + Kbil : Harga buku itu sepuluh ribu rupiah.
 KB + (KD + KB) : Tinggalnya di Palembang.
 KB1 + KK + KB2 : Mereka menonton film.
 KB1 + KK + KB2 + KB3 : Paman mencarikan saya pekerjaan.
 KB1 + KB2 : Rustam peneliti.

b. Unsur-Unsur Kalimat Bahasa Indonesia

Unsur kalimat adalah fungsi sintaksis yang dalam buku-buku tata bahasa Indonesia lama
lazim disebut jabatan kata dan kini disebut peran kata, yaitu subjek (S), predikat (P), objek
(O), pelengkap (Pel), dan keterangan (Ket). Kalimat bahasa Indonesia baku sekurang-
kurangnya terdiri atas dua unsur, yakni S dan P. Unsur yang lain (O, Pel, dan Ket) dalam
suatu kalimat dapat wajib hadir, tidak wajib hadir, atau wajib tidak hadir.
1) Subjek
Subjek (S) adalah bagian kalimat yang menunjukkan pelaku, tokoh, sosok (benda), sesuatu
hal, atau suatu masalah yang menjadi pangkal/pokok pembicaraan. Subjek biasanya diisi
oleh jenis kata/frasa benda (nominal), klausa, atau frasa verbal.
 Ayahku sedang melukis.
 Meja direktur besar.
 Yang berbaju batik dosen saya.
 Berjalan kaki menyehatkan badan.
 Membangun jalan layang sangat mahal.
Selain ciri di atas, S dapat juga dikenali dengan cara bertanya dengan memakai kata tanya
siapa (yang)… atau apa (yang)… kepada P. Kalau ada jawaban yang logis atas pertanyaan
yang diajukan, itulah S. Jika ternyata jawabannya tidak ada atau tidak logis berarti kalimat
itu tidak mempunyai S. Contoh “kalimat” yang tidak mempunyai S karena tidak ada/tidak
jelas pelaku atau bendanya:
 Bagi siswa sekolah dilarang masuk. (yang benar: Siswa sekolah dilarang
masuk)
 Di sini melayani resep obat generik. (yang benar: Toko ini melayani resep
obat generik).
 Melamun sepanjang malam. (yang benar: Dia melamun sepanjang
malam)
2) Predikat
Predikat (P) adalah bagian kalimat yang memberi tahu melakukan (tindakan) apa atau
dalam keadaan bagaimana S (pelaku/tokoh atau benda di dalam suatu kalimat). Selain
memberi tahu tindakan atau perbuatan S, prediksi dapat pula menyatakan sifat, situasi,
status, ciri, atau jatidiri S.
Contoh tuturan yang memiliki predikat:
 Kuda meringkik.
 Ibu sedang tidur siang.
 Putrinya cantik jelita.
 Kota Jakarta dalam keadaan aman.
 Kucingku belang tiga.
 Robby mahasiswa baru.
 Rumah Pak Hartawan lima.
Contoh tuturan yang tidak memiliki predikat
Tuturan di bawah ini tidak memilik P karena tidak ada kata-kata yang menunjuk perbuatan,
sifat, keadaan, ciri dan status pelaku/bendanya.
 Adik saya yang gendut lagi lucu itu.
 Kantor kami yang terletak di Jln. Gatot Subroto.
 Bandung yang terkenal sebagai kota kembang.
3) Objek
Objek (O) adalah bagian kalimat yang melengkapi P. Objek pada umumnya diisi oleh
nominal, frasa nominal, atau klausa. Letak O selalu di belakang P yang berupa verba
transitif, yaitu verba yang menuntut wajib hadirnya O seperti pada contoh dibawah ini.
 Nurul menimang............(bonekanya)
 Arsitek merancang................(sebuah gedung bertingkat)
 Juru masak menggoreng..............(bawang merah)
Jika P diisi oleh verba intransitif, O tidak diperlukan.
 Nenek sedang tidur.
 Komputerku rusak.
 Tamunya pulang.
Obyek dalam kalimat aktif dapat berubah menjadi S jika kalimatnya dipasifkan. Perhatikan
contoh kalimat berikut yang letak O-nya di belakang dan lihat ubahan posisinya bila
kalimatnya dipasifkan.
(1) a. Serena Williams mengalahkan Angelique Wijaya [O].
b. Angelique Wijaya [S] dikalahkan oleh Serena Williams.
(2) a. Orang itu menipu adik saya [O].
b. Adik saya [S] ditipu orang itu.
(3) a. Ibu Tuti mencupit pipi Sandra [O]
b. Pipi Sandra [S] dicubit oleh ibu Tuti.
(4) a. John Smith memberi barang antik [O].
b. Barang antik [S] dibeli oleh John Smith.
4) Pelengkap
Pelengkap (Pel) atau komplemen adalah bagian kalimat yang melengkapi P. Letak Pel.
umumnya di belakang P yang berupa verba. Posisi seperti itu juga ditempati oleh O, dan
jenis kata yang mengisi Pel. dan O juga sama, yaitu dapat juga berupa nominal, frase
nominal, atau klausa. Namun, antara Pel dan O terdapat perbedaan. Perhatikan contoh di
bawah ini.
 Ketua MPR // membacakan // Pancasila.
S P O
 Banyak orsospol // berlandaskan // Pancasila.
S P Pel
 Pancasila // dibacakan // oleh Ketua MPR. S
P O
Beda Pel. dan O adalah Pel. tidak dapat dipasifkan menjadi subjek, sedangkan O dapat
dipasifkan menjadi subjek.
Posisi Pancasila sebagai Pel pada contoh no. 2 di atas tidak dapat dipindahkan ke depan
menjadi S dalam kalimat pasif.
Contoh yang salah :
 Pancasila dilandasi oleh banyak orsospol (X)
Akan tetapi Pancasila sebagai O pada contoh no. 1 di atas dapat dibalik menjadi S dalam
kalimat pasif.
Contoh : Pancasila dibacakan oleh Ketua MPR.
S P O
Hal lain yang membedakan Pel dan O adalah jenis pengisinya.Selain diisi oleh nomina dan
frase nominal, Pel. dapat pula diisi oleh frase adjektival dan frase preposisional. Di samping
itu, letak Pel. tidak selalau persis di belakang P. Kalau dalam kalimatnya terdapat O, letak
Pel. adalah di belakang O sehingga urutuan penulisan bagian kalimat menjadi S-P-O-Pel.

5) Keterangan
Keterangan (Ket.) adalah bagian kalimat yang menerangkan berbagai hal mengenai S,P,O,
dan Pel. Posisinya bersifat manasuka, dapat di awal, di tengah, atau di akhir kalimat.
Pengisi Ket adalah frase nominal, frase preposional, adverbial, atau klausa.
 Sekretaris itu mengambilkan atasannya air minum dari kulkas. (ket.
Tempat)
 Rustam Lubis sekarang sedang belajar. (ket. Waktu)
 Lia memotong roti dengan pisau. (ket. alat)

2. Jenis Kalimat
Berdasarkan bentuknya, kalimat dapat dikelompokkan atas dua jenis:
a. Kalimat tunggal
Kalimat tunggal adalah kalimat yang terdiri atas satu klausa. Kalimat tunggal merupakan
kalimat yang tersusun atas satu pola yakni terdiri dari satu subjek, satu predikat dan dapat
pula dilengkapi dengan objek dan keterangan. Kalimat tunggal dapat pula disebut dengan
kalimat sederhana. Karena struktur hanya terdiri dari satu klausa, kalimat tunggal hanya
berisikan satu informasi inti dan tidak mempunyai anak kalimat.
Kalimat tunggal dapat diidentfifkasi berdasarkan beberapa ciri-ciri sebagai berikut:
 Hanya menerangkan satu peristiwa pokok
 Tidak memakai kata sambung (konjungsi) dan tidak memakai tanda baca koma (,)
dikalimatnya.
 Hanya terdapat satu struktur penyusun kalimat, yaitu masing-masingnya satu subjek,
predikat, objek, keterangan atau pelengkap. Apabila ada lebih dari satu struktur
kalimat, maka tidak lagi disebut sebagai kalimat tunggal, teapi telah memasuki
kalimat majemuk.
Contoh:
– Dia akan tidur.
– Kami mahasiswa pascasajana UPI YPTK.
– Ia menjadi dosen bahasa Indonesia di luar negeri.

b. Kalimat majemuk
Kalimat majemuk adalah kalimat yang mempunyai lebih dari satu klausa. Menurut Alwi dkk
(1998: 385), kalimat majemuk adalah kalimat yang mengandung satu klausa atau lebih yang
hubungan atar klausanya ditandai dengan kehadiran konjungtor (kata hubung) pada awal
salah satu klausa tersebut dengan adanya pelesapan bagian dari klausa khususnya subjek.

Kalimat majemuk dibedakan menjadi tiga, yaitu:


1) Kalimat Majemuk Koordinatif (Setara)
Kalimat majemuk yang klausa-klausanya memiliki status yang sama, yang setara atau, yang
sederajat. Klausa-klausa dalam kalimat majemuk subordinatif dihubungkan dengan
konjungsi koordinatif, seperti dan, atau, tetapi, dan lalu.
Ciri-Ciri kalimat majemuk setara :
 Klausa pembentuknya dapat dipisahkan menjadi kalimat tunggal tanpa
adanya perubahan maksud kalimat
 Kedudukan pola-pola kalimat, sama derajatnya.
 Penggabungannya disertai perubahan intonasi.
 Menggunakan kata penghubung, yangbersifat kesetaraan.
 Pola umum uraian jabatan kata : S-P+S-P
Contoh:

 Ani membereskan kamar, Ibu memasak, dan Ayah membaca koran.


 Dia pergi ke dapur, lalu membuatkan kami makan malam.
 Dia selalu mengatakan serius, tetapi kenyataannya tidak seperti itu.
2) Majemuk Subordinatif (Bertingkat)
Merupakan kalimat majemuk yang hubungan antar klausa-klausanya tidak setara atau
sederajat. Klausa yang satu merupakan klausa inti, dan klausa yang lain adalah klausa
penjelas. Kedua klausa tersebut biasanya dihubungkan dengan konjungsi subordinatif
seperti kalau, ketika, meskipun, dan karena.
Ciri-ciri kalimat majemuk bertingkat :
 Ada kesenyapan antara intonasi.
 Perluasan bagian kalimat tunggal membentuk pola baru.
 Bagian pola kalimat baru menjadi anak kalimat.
 Bagian yang tetap menjadi induk kalimat.
 Anak kalimat bergantung pada induk kalimat (bertingkat).
 Nama anak kalimat sesuai dengan bagian jabatan yang diperluas.
Contoh:

 Kalau Dinda pergi, Rina pun akan pergi.


 Adik bermain sendiri ketika kakaknya sedang belajar.
 Meskipun aku dilarang oleh orangtua, aku pergi juga ke Jakarta.
 Karena banyak yang terlambat, arisan diundur.
3) Kalimat Majemuk Kompleks (Campuran)
Kalimat majemuk kompleks (campuran) adalah kalimat yang terdiri dari tiga klausa atau
lebih, di mana ada yang dihubungkan secara koordinatif dan ada pula yang dihubungkan
secara subordinatif.
Contoh:
 Siska membaca novel karena Rina sedang belajar matematika dan
tidak ada buku lain yang bisa dibaca.
 Ibu mengambil tas kecilnya, lalu mengambil sapu tangan untuk
mengelap keringat yang membasahi wajahnya.
c. Kalimat minor
Kalimat minor diartikan sebagai kalimat yang hanya mengandung satu unsur pusat saja.
Unsur pusat dalam hal ini adalah predikat. Kalimat minor merupakan kalimat yang hanya
berisi predikat saja. Penggunaan jenis kalimat ini biasanya pada sebuah jawaban atas suatu
pertanyaan, perintah, ajakan, larangan, seruan, dll.
Kalimat minor dalam bahasa Indonesia memiliki beberapa jenis, yaitu berupa kalimat
tambahan, kalimat jawaban, kalimat salam, kalimat panggilan, kalimat seruan, kalimat judul,
kalimat inskripsi, kalimat tanggapan, kalimat perintah, dan kalimat slogan. Untuk lebih
memahami masing-masing bentuk kalimat minor tersebut, perhatikanlah contoh berikut:
Jenis Kalimat
Minor Contoh Kalimat
kalimat tambahan Cita-cita tidak akan tercapai tanpa ada mimpi.Tanpa ada
doa.Tanpa ada ikhtiar
Aku akan menyendiri. Selama sebulan. Dalam gua. Bersama alam
kalimat jawaban (Siapa namamu?) Nini.
(Apa yang kau bawa?) Uang.
kalimat salam Selamat pagi
Sampai jumpa
kalimat panggilan Bu Guru!
Pak RT!
kalimat seruan Awas!
Syukurlah!
kalimat judul Habis Gelap Terbitlah Terang
Naga Bonar
kalimat inskripsi Teruntuk ayah dan ibu
Tanda kasih untuk Ling Ling
kalimat (Mungkin ia tidak akan datang.) Tidak mungkin.
tanggapan
(Sebaiknya aku yang menggantikanmu.) Tidak usah.
kalimat perintah Lari!
Ambillah!
kalimat slogan Tiada rotan akar pun jadi.
Jujur dan istiqomah

3. Kalimat efektif
a. Hakikat Kalimat Efektif
Kalimat efektif adalah kalimat yang dapat menyampaikan pesan (informasi) secara singkat,
lengkap, dan mudah diterima oleh pendengar (Wiyanto, 2004:48). Kalimat efektif adalah
kalimat yang sesuai dengan kaidah bahasa, jelas, dan mudah dipahami oleh pendengar
atau pembaca. Kalimat efektif adalah kalimat yang sesuai dengan kaidah bahasa baik ejaan
maupun tanda bacanya sehingga mudah dipahami oleh pembaca atau pendengarnya.
Dengan kata lain, kalimat efektif mampu menimbulkan kembali gagasan-gagasan pada
pendengar atau pembacanya seperti apa yang dimaksudkan oleh penulis. Sebuah kalimat
dapay dikatakan efektif jika memenuhi beberapa syarat sebagai berikut:
 Mudah dipahami oleh pendengar atau pembacanya.
 Tidak menimbulkan kesalahan dalam menafsirkan maksud sang penulis.
 Menyampaikan pemikiran penulis kepada pembaca atau pendengarnya
dengan tepat.
 Sistematis dan tidak bertele-tele.
b. Ciri-Ciri Kalimat Efektif
 Keutuhan, kesatuan, kelogisan, atau kesepadanan makna dan struktur
Ditandai dengan adanya kesepadanan struktur dan makna kalimat.
Kalimat secara gramatikal mungkin benar, akan tetapi secara makna salah.
Misal:
– Saya saling memaafkan.
– Rumput makan kuda di sawah.
 Kesejajaran bentuk kata, dan (atau) struktur kalimat secara gramatikal
Kesamaan bentuk yang digunakan secara konsisten
Misal:
– Polisi segera menangkap pencuri itu karena sudah diketahui
sebelumnya. (tidak efektif)
– Polisi segera menangkap pencuri itu karena sudah mengetahui
sebelumnya. (efektif)
 Kefokusan pikiran sehingga mudah dipahami
Memfokuskan pesan terpenting agar mudah dipahami maksudnya, jika tidak makna kalimat
akan sulit dipahami dan menghambat komunikasi.
Misal:
 Sulit ditingkatkan kualitas dan kuantitas produk holtikultura ini. (tidak
efektif)
 Produk holtikultura ini sulit ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya.
(efektif)
 Pandai bergaul, pandai berbicara, dan pandai membujuk orang
adalah modal utama pemasar produk. (tidak efektif)
 Pandai bergaul, berbicara, dan membujuk orang adalah modal utama
pemasar produk. (efektif).
 Kehematan penggunaan unsur kalimat
Dalam hal ini setiap unsur kalimat harus berfungsi dengan baik, unsur yang tidak
mendudkung makna kalimat (mubazir) harus dihindarkan, seperti:
a. Subjek ganda
– Buku itu saya sudah baca (tidak efektif)
– Saya sudah baca buku itu (efektif)
b. Kecermatan dan kesantunan
Ketepatan memilih kata sehingga menghasilkan komunikasi yang baik, tepat, tanpa
gangguan emosional pada pembaca atau pendengar.
Contoh:
Kecermatan
– Manusia ialah mahkluk yang berakal budi (salah, tidak cermat)
Kata ialah harus diikuti sinonim bukan definisi
– Manusia ialah orang (benar, karena manusia bersinonim dengan
orang)
– Manusia adalah mahkluk yang berakal (benar)
– Kata adalah harus diikuti definisi, bukan sinonim
Kesantunan

• Dia adalah orang yang disegani di kampung ini. (salah)


• Beliau adalah orang yang disegani di kampung ini (benar)
• Kata beliau adalah kata ganti orang ketiga tunggal bagi seseorang
yang dihormati (memiliki kedudukan/ status sosial lebih tinggi)
 Kevariasian kata dan struktur sehingga menghasilkan kesegaran bahasa
 Kalimat melepas
Kami tidak datang ke kampus, karena hari hujan.
 Kalimat berimbang
Ibu memasak di dapur dan Ayah membaca koran di ruang tamu.
 Kalimat klimaks
Karena tidak belajar, kami tidak dapat menjawab soal ujian dengan benar.
 Ketepatan diksi
Diksi adalah pilihan kata yang tepat dan sesuai dalam membangun atau menyampaikan
suatu gagasan.
Diksi berhubungan dengan pemahaman sejumlah kosakata yang berada dalam lingkungan
makna yang sama atau bersinonim
Contoh:
mati, tewas, meninggal, wafat, gugur, mangkat, mampus, berpulang (bersinonim, tetapi tidak
selalu dapat saling menggantikan posisi sinonimnya dalam sebuah kalimat)
• Kucing kesayanganku tewas tertabrak sepeda motor. (salah)
• Kucing kesayanganku mati tertabrak sepeda motor. (benar)
• Setelah dirawat beberapa hari di rumah sakit, tetanggaku gugur
akibat penyakit kronis yang dideritanya beberapa bulan terakhir.
(salah)
• Setelah dirawat beberapa hari di rumah sakit, tetanggaku meninggal
akibat penyakit kronis yang dideritanya beberapa bulan terakhir.
(benar)

 Ketepatan ejaan
Ketepatan penggunaan tanda baca berakibat pada kualitas penyajian data dan menghindari
ambiguitas (kesimpangsiuran makna)
Misalnya:
• Ia membayar dua puluh lima ribuan.
Makna kalimat tersebut mencakup dua hal berikut:
• 20 X 5.000,_
• 25 X 1.000, _
Sebaiknya, jika yang dimaksud 20 X 5.000,_ bunyi kalimatnya:
• Ia membayar dua puluh, lima ribuan.
• Paman kami belum menikah.
Kalimat di atas tergolong ambigu, terdapat tiga kemungkinan informasi di dalamnya. Oleh
karena itu, untuk menghindari kesalahpahaman pembaca, tanda baca harus digunakan
sesuai dengan infomaasi yang akan disampaikan.

Bandingkan:

• Paman, kami belum menikah.


• Paman belum menikah.
kami,
• Paman, kami, belum menikah.
 Kelogisan/Nalar
Informasi dalam kalimat dapat diterima oleh akal atau nalar. Logis atau tidaknya kalimat
dilihat dari segi maknanya, bukan strukturnya. Suatu kalimat dikatakan logis apabila
gagasan yang disampaikan masuk akal, hubungan antar gagasan dalam kalimat masuk
akal.
Contoh kalimat salah nalar:
– Waktu dan tempat dipersilahkan. (siapa yang dipersilahkan)
– Silakan maju ke depan. (maju selalu ke depan)

4. Masalah Pemakaian Kalimat Bahasa Indonesia


Kesalahan yang sering terjadi dalam penggunaan kalimat bahasa Indonesia meliputi:

a. Kesalahan Struktur Aktif atau pasif


b. Kekaburan bentuk Subjek dan keterangan
c. Pengantar kalimat dan predikat
d. Kekekliruan dalam menyusun Kalimat majemuk setara dan bertingkat
e. Kekeliruan dalam menyusun Induk kalimat dan anak kalimat

D. Rangkuman
Bagian ini berisi ringkasan pokok-pokok materi.

E. Pertanyaan/Diskusi
Bagian ini berisi pertanyaan sebagai bahan diskusi atau latihan untuk memperkaya
pemahaman mahasiswa
BAB VII
PARAGRAF DALAM BAHASA INDONESIA

A. Deskripsi singkat
Hal-hal yang dibahas dalam BAB ini meliputi hakikat dan unsur-unsur paragraf, syarat
pembentukan paragraf, jenis-jenis paragraf

B. Capaian pembelajaran matakuliah


Mahasiswa dapat menjelaskan konsep paragraf dan megindentifikasi paragraf berdasarkan
jenisnya, serta memiliki kemampuan dalam menulis paragraf yang baik dalam berbagai
jenis/pola pengembangan paragraf.

C. Isi Materi perkuliahan


1. Hakikat Paragraf
Secara sederhana, paragraf dapat dikatakan sebagai:
 Kumpulan dari beberapa kalimat
 Bagian dari bab karangan
 Satuan bahasa dibawah tataran wacana
Lebih lengkapnya, paragraf dapat diartikan sebagai bagian karangan yang terdiri atas
kalimat-kalimat dengan susunan logis, runtun (sistematis), terpadu, serta membentuk satu
kesatuan pikiran.
Paragraf adalah bagian dari suatu karangan yang terdiri atas sejumlah kalimat yang
mengungkapkan satuan informasi dengan ide pokok sebagai pengendalinya Ramlan (dalam
Rohmadi dan Nasucha, 2010: 23). Menurut Arifin dan S. Amran Tasai (2006:125) “Paragraf
adalah seperangkat kalimat yang membicarakan suatu gagasan atau topik”. Kalimat dalam
paragraf memperlihatkan kesatuan pikiran atau mempunyai keterkaitan dalam membentuk
gagasan atau topik tersebut.
Paragraf adalah suatu kesatuan pikiran, suatu kesatuan yang lebih tinggi atau lebih luas dari
kalimat. Ia merupakan himpunan dari kalimat-kalimat yang bertalian dalam suatu rangkaian
untuk membentuk sebuah gagasan. Dalam alinea itu gagasan tadi diperjelas dengan uraian-
uraian tambahan, dengan maksud agar pokok pikiran yang ingin disampaikan dapat diterima
dengan baik oleh pembaca atau pendengar.

2. Unsur-Unsur Paragraf
Sebuah paragraf dibangun oleh komponen-komponen/ unsur yang saling berkaitan satu dan
lainnya. Komponen-komponen/ unsur tersebut adalah sebagai berikut.
a. Ide Pokok
Ide pokok adalah ide/gagasan yang menjadi pokok pengembangan paragraf.
Ide pokok terdapat dalam kalimat utama. Nama lain ide pokok adalah gagasan utama,
gagasan pokok. Dalam satu paragraf hanya ada satu ide pokok.
b. Kalimat Utama
Kalimat utama (di dalamnya terdapat/ terkandung gagasan utama/ ide pokok)
Diletakkan pada awal, tengah, maupun akhir paragraf.
Inti dari ide atau gagasan pada sebuah paragraf.
Berisi pernyataan yang akan dijelaskan lebih lanjut oleh kalimat lainnya (kalimat penjelas).
Ciri-Ciri Kalimat Utama
• Mengandung permasalahan yang potensial untuk diuraikan lebih lanjut.
• Merupakan kalimat lengkap yang dapat berdiri sendiri.
• Mempunyai arti yang jelas tanpa dihubungkan dengan kalimat lain.
• Dapat dibentuk tanpa kata sambung atau transisi.
c. Kalimat Penjelas
Kalimat yang memberikan penjelasan tambahan, detail atau rincian dari kalimat pokok suatu
paragraf.
Ciri-Ciri Kalimat Penjelas
• Tidak dapat berdiri sendiri.
Contoh: • Arti kalimat baru jelas setelah dihungkan dengan kalimat lain dalam satu
paragraf.
• Umumnya memerlukan bantuan kata sambung, frasa penghubung, atau
kata transisi.
• Berisi rincian, keterangan, contoh, dan data lain yang bersifat mendukung
kalimat topik.

(1) Terdapat beberapa varian dendeng dalam masakan khas Minang, dimana salah satunya
adalah dendeng balado. (2)Makanan ini terbuat dari daging sapi yang dipotong tipis dan
melebar. (3)Daging sapi yang dipotong tersebut kemudian dijemur di bawah sinar matahari
hingga kering. (4)Setelah dikeringkan, daging sapi pun digoreng lalu kemudian diberi bumbu
berbahan dasar cabai yang dikenal dengan nama bumbu balado.
 Ide pokok/ gagasan utama: Dendeng balado salah satu varian
dendeng khas Minang
 Kalimat Utama: Terdapat beberapa varian dendeng dalam masakan
khas Minang, dimana salah satunya adalah dendeng balado.
 Kalimat Penjelas: kalimat (1), (2), dan (3)
d. Kalimat Penyimpul (hanya ada pada paragraf campuran)
Kesimpulan yang bisa ditarik dari kesatuan sebuah paragraf.
Dapat berupa perulangan kalimat utama yang di-paraphrase, maksudnya ditulis kembali
dengan pendekatan kata-kata yang berbeda.
Contoh : (kalimat penyimpul adalah yang bercetak tebal)
“Di fakultas A Terdapat Mahasiswa yang Gagah tapi Aneh”. Salah satu mahasiswa
yang terkenal karena gagahnya adalah Irfan alias inyong. Beliau dikenal luas sebagai
mahasiswa yang paling sering ngebanyol. Selain itu, ada juga Arizal alias Icang yang suka
sama mata kuliah fisika dan suka mengajak teman satu kelas berdebat, Arinda dari Berau
yang pendiam beserta jenderalnya si Rey alias Higuane, Rizaludin, Eggy si phobia
wanita, Arie, Sandy, dan Rio yang sangar, Niko Tamtama, si Okky yang kental logat
daerahnya tapi baik dan lucu, si Aam yang suka bertanya, denny, Muhklis dan masih banyak
lagi. Ternyata para Mahasiswa di fakultas A hampir semua adalah mahasiswa yang
terkenal gagah tapi juga aneh.

3. Syarat-syarat Paragraf yang Baik


a. Kesatuan (kohesi)
Yang dimaksud dengan kesatuan dalam alinea adalah bahwa semua kalimat yang membina
alinea itu secara bersama-sama menyatakan suatu hal, suatu tema tertentu.Tiap alinea
mengandung satu gagasan pokok atau topik. Kalimat atau unsur lain dalam paragraf harus
relevan dengan topik. Kesatuan di sini tidak boleh diartikan bahwa ia hanya memuat satu hal
saja. Sebuah alinea yang memiliki kesatuan bisa saja mengandung beberapa hal atau
beberapa perincian, tetapi unsur tadi haruslah bersama-sama digerakkan untuk menunjang
sebuah maksud tunggal atau sebuah tema tunggal. Maksud tunggal itulah yang ingin
disampaikan oleh penulis dalam alinea itu. Karena fungsi setiap paragraf adalah untuk
mengembangkan sebuah gagasan tunggal, maka tidak boleh terdapat unsur-unsur yang
sama sekali tidak mempunyai pertalian dengan maksud tunggal tadi.
b. Kepaduan (koherensi)
Hubungan yang harmonis antara satu kalimat dengan kalimat yang lainnya dalam sebuah
alinea. Ketiadaan Koherensi menyulitkan pembaca untuk menghubungkan satu kalimat
dengan kalimat lainnya.

Contoh:
Buku merupakan investasi masa depan. Buku adalah jendela ilmu pengetahuan yang bisa
membuka cakrawala seseorang. Dibanding media pembelajaran audiovisual, buku lebih
mampu mengembangkan daya kreativitas dan imajinasi anak-anak karena membuat otak
lebih aktif mengasosiasikan simbol dengan makna. Radio adalah media alat elektronik
yang banyak didengar di masyarakat. Namun demikian, minat dan kemampuan
membaca tidak akan tumbuh secara otomatis, tetapi harus melalui latihan dan pembiasaan.
Menciptakan generasi literal membutuhkan proses dan sarana yang kondusif.
Paragraf di atas dikatakan tidak koheren karena terdapat satu kalimat yang melenceng dari
gagasan utamanya yaitu kalimat yang dicetak tebal.
c. Sistematis atau urutan gagasan
Setiap kalimat dalam kesatuan paragraf tersusun dengan urutan yang semestinya
d. Pengembangan
Paragraf didukung oleh kalimat secukupnya, sehingga mampu menyampaikan informasi
dengan lengkap atau jelas. Dalam hal ini tidak ada batasan yang baku mengenai jumlah
minimal dan maksimal kalimat dalam sebuah pargraf. Indikatornya adalah ketuntasan
pembahasan/ kejelasan informasi yang disampaikan. Jika dengan beberapa kalimat saja
paragraf tersebut sudah mampu menyampaikan informasi dengan lengkap, berarti paragraf
tersebut harus berhenti dengan jumlah kalimat yang ada. Jika dipaksakan, maka paragraf
menjadi tidak mengandung kesatuan lagi.

4. Jenis-Jenis Paragraf
1. Paragraf Berdasarkan Letak Kalimat Topik
Berdasarkan letak kalimat topiknya, sebuah paragraf dikelompokkan menjadi paragraf
deduktif, induktif, dan campuran. Berikut penjelasnnya:
1) Kalimat Topik di Awal Paragraf (deduktif)
Paragraf yang dimulai dengan mengemukakan persoalan pokok atau kalimat topik,
kemudian diikuti dengan kalimat-kalimat penjelas.
Contoh:
Sebagian besar ruas jalan lintas Sumatera mengalami kerusakan. Kerusakan tersebut
bervariasi, mulai dari ringan hingga berat. Seperti munculnya lubang, kontur aspal yang
bergelombang, hingga retakan di ruas jembatan. Keadaan ini adalah hal yang lumrah terjadi
di ruas jalan penghubung antar provinsi di Pulau Sumatera tersebut, mengingat mobilitas
kendaraan berat yang melintas cukup tinggi.

Gadis itu cantik sekali. Wajahnya ayu dan bercahaya. Matanya bulat dan berbulu lentik.
Hidungnya mancung dan bibirnya tipis merekah. Rambut panjang terurai kian menambah
pesonanya.

2) Kalimat Topik di Akhir Paragraf (induktif)


Paragraf yang dimulai dengan mengemukakan penjelasan-penjelasan kemudian diakhiri
dengan kalimat topik.
Paragraf Induktif juga terbagi atas beberapa jenis seperti:
 Generalisasi
Pengembangan paragraf yang menggunakan beberapa fakta khusus untuk mendapatkan
kesimpulan yang bersifat umum.
Contoh :
Setelah karangan anak-anak kelas tiga diperiksa, ternyata Ali, Toto, Alex, dan Burhan,
mendapat nilai delapan.Anak-anak yang lain mendapat nilai tujuh. Hanya Maman yang
enam dan tidak seorang pun mendapat nilai kurang. Oleh karena itu, boleh dikatakan
anak-anak kelas tiga cukup pandai mengarang.
 Analogi
Penyusunan paragraf yang berisi perbandingan dua hal yang memiliki sifat sama. Pola ini
berdasarkan anggapan bahwa jika sudah ada persamaan dalam berbagai segi, maka akan
ada persamaan pula dalam bidang yang lain.
Contoh :
Seseorang yang menuntut ilmu sama halnya dengan mendaki gunung. Sewaktu mendaki,
ada saja rintangan seperti jalan yang membuat seseorang terjatuh. Adapula semak belukar
yang sukar dilalui. Dapatkah seseorang melaluinya?. Begitu pula menuntut ilmu, seseorang
akan mengalami rintangan seperti kesulitan memahami pelajaran,kesulitan ekonomi, dan
lain sebagainya. Apakah seseorang sanggup melaluinya?. Jadi menuntut ilmu sama halnya
dengan mendaki gunung untuk mencapai puncaknya."

 Hubungan Kausal
Pola penyusunan paragraf dengan menggunakan fakta-fakta yang memiliki pola hubungan
sebab-akibat.
Contoh:
Penumpukan sampah kian hari tidak bisa diatasi. Ditambahkan dengan kebiasaan warga
membuang sampah secara sembarang yang semakin memperburuk keadaan.
Pemerintahpun terkesan tidak sigap mengambil tindakan mengatasi problematika bersama
ini. Dan hasilnya, banjir tiap tahun merupakan menu wajib di ibukota. Banyak rumah yang
terendam. Dan juga alur perekonomian pun perlahan mati suri.
3) Kalimat Topik di Awal dan di Akhir Paragraf (Paragraf Campuran)
Paragraf yang dimulai dengan mengemukakan persoalan pokok atau kalimat topik,
kemudian diikuti kalimat-kalimat penjelas dan diakhiri dengan kalimat topik. Kalimat topik
yang ada pada akhir paragraf merupakan penegasan dari awal paragraf.
Contoh:
Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak dapat dilepaskan dari komunikasi.
Kegiatan apapun yang dilakukan manusia pasti menggunakan sarana komunikasi, baik
sarana komunikasi yang sederhana, maupun yang modern. Kebudayaan dan peradaban
manusia tidak akan bisa maju seperti sekarang ini tanpa adanya sarana komunikasi.
4) Kalimat Topik Tersirat dalam Keseluruhan Paragraf (Paragraf naratif/
deskriptif/ menyebar)
Paragraf ini tidak memiliki kalimat utama secara spesifik. Pikiran utamanya menyebar pada
seluruh paragraf atau tersirat pada kalimat-kalimat penjelas.
Contoh:
Pagi ini terlihat sangat sibuk, di jalan-jalan terlihat ibu-ibu yang tengah berjalan menuju
pasar untuk berjualan sayuran. Tetanggaku yang seorang peternak bebek juga tidak kalah
sibuknya dengan orang-orang. Pagi-pagi sekali dia berjalan menggiring bebek-bebeknya
kerawa dekat sawah untuk mencari makanan. Bebek-bebek yang pintar, mereka berbaris
dengan rapi di samping pengembalanya. Sungguh pemandangan yang sangat menarik
dilihat ketika kita bangun tidur.

2. Paragraf Menurut Fungsinyaa


1) Paragraf Pembuka
Paragraf jenis ini biasanya memiliki sifat ringkas, menarik, dan bertugas menyiapkan pikiran
pembaca kepada masalah yang akan diuraikan.
2) Paragraf Pengembangan
Paragraf ini berisi inti masalah yang hendak disampaikan kepada pembaca (uraian isi/ inti).
3) Paragraf Penutup
Paragraf penutup biasanya berisi simpulan (untuk argumentasi) atau penegasan kembali
(untuk eksposisi) mengenai hal-hal yang dianggap penting.

3. Paragraf Menurut Teknik Pemaparannya


1) Paragraf Narasi
Paragraf yang menceritakan suatu kejadian atau peristiwa.
Ciri-cirinya:
 ada kejadian,
 pelaku, dan
 waktu kejadian.
Contoh:
Anak itu berjalan cepat menuju pintu rumahnya karena merasa khawatir seseorang akan
memergoki kedatangannya. Sedikit susah payah dia membuka pintu itu. Ia begitu terkejut
ketika daun pintu terbuka, seorang lelaki berwajah buruk tiba-tiba berdiri dihadapannya.
Tanpa berpikir panjang ia langsung mengayunkan tinjunya ke arah perut lelaki misterius itu.
Ia semakin terkejut karena ternyata lelaki itu tetap bergeming. Raut muka lelaki itu semakin
menyeramkan, bagaikan seekor singa yang siap menerkam. Anak itu pun memukulinya
berulang kali hingga ia terjatuh tak sadarkan diri.

 Seorang pemuda melangkah di tengah gelapnya malam. Angin kencang


disertai gerimis tak menyurutkan langkahnya menembus jalan bebatuan di
tengah rindangnya pohon karet. Sosoknya begitu kontras dengan suasana
malam itu karena pakaian serba putih yang melekat di badannya.

2) Paragraf Deskripsi
Paragraf deskirp adalah yang menggambarkan suatu objek sehingga pembaca seakan bisa
melihat, mendengar, atau merasa objek yang digambarkan itu. Objek yang dideskripsikan
dapat berupa orang, benda, atau tempat.
Ciri-cirinya:
ada objek yang digambarkan.
Contoh:
Ruangan berukuran 9m x 8m ini sungguh sangat nyaman ditempati. Sebuah kursi bambu
berwarna coklat dengan meja bambu berada di tengah ruangan. Sementara itu, rak buku
berisi beberapa novel dan buku-buku ilmiah diletakkan mepet dengan dinding sebelah
selatan bersanding dengan sebuah pot berisi pohon bonsai kecil yang seakan-akan
menyatu dengan tembok yang dicat dengan warna merah muda. Di luar ruangan, terdapat
sebuah kolam kecil berukuran 2,5m x 2m berisi beberapa ikan gurame yang berseliweran.
Suara gemericik air dari kolam menambah sejuknya suasana di ruang tamu milik Pak Habib.
3) Paragraf Eksposisi
Paragraf yang menginformasikan suatu teori, teknik, kiat, atau petunjuk sehingga orang
yang membacanya akan bertambah wawasannya.
Ciri-cirinya:
ada informasi.
Contoh:
Hingga saat ini, bantuan untuk para korban letusan Gunung Merapi belum merata. Hal ini
bisa disaksikan di beberapa wilayah Sleman. Misalnya, di Desa P. Sampai saat ini, warga
Desa P hanya makan singkong. Mereka mengambilnya dari beberapa kebun warga. Jika
ada warga yang makan nasi, itu adalah sisa-sisa beras yang mereka kumpulkan di balik
reruntuhan bangunan. Keadaan seperti ini menunjukkan bahwa bantuan pemerintah belum
merata
4) Paragraf Argumentasi
Paragraf yang mengemukakan suatu pendapat beserta alasannya.
Ciri-cirinya:
ada pendapat dan alasannya
Contoh:
Beban ekonomi masyarakat dewasa ini kian meningkat. Kebijakan pemerintah menaikan
harga BBM dan TDL yang digadang-gadang sebagai solusi penyelamatan ekonomi Nasional
dari keterpurukan, justru menjadi bumerang bagi masyarakat. Harga sembako dan
kebutuhan pokok lainnya meroket. Angka pengangguran serta-merta juga bertambah
sebagai dampak krisis yang dialami berbagai perusahaan akibat meningkatnya biaya
produksi.
5) Paragraf Persuasif
Paragraf yang mengajak, membujuk, atau mempengaruhi pembaca agar melakukan
sesuatu.
Ciri-cirinya:
ada bujukan atau ajakan untuk berbuat sesuatu
Contoh:
Sebaiknya pemerintah melakukan penghematan. Selama ini, pemerintah boros dengan cara
tiap tahun membeli ribuan mobil dinas baru serta membangun kantor-kantor baru dan guest
house. Pemerintah juga selalu menambah jumlah PNS tanpa melakukan perampingan,
membeli alat tulis kantor(ATK) secara berlebihan, dan sebagainya. Padahal, dana yang
dimiliki tidak cukup untuk itu.
d. Paragraf Efektif
Sebuah paragraf dikategorikan efektif jika paragraf tersebut memenuhi ciri paragraf yang
baik. Berikut ciri-ciri paragraf yang efektif:
 Terdiri atas satu pikiran utama dan lebIh dari satu pikiran penjelas
 Tidak boleh ada kalimat sumbang, harus ada koherensi antar kalimat.

D. Rangkuman
1. Paragraf adalah bagian karangan yang terdiri atas kalimat-kalimat dengan
susunan logis, runtun (sistematis), terpadu, serta membentuk satu kesatuan
pikiran.
2. Sebuah paragraf dibangun oleh komponen-komponen/ unsur yang saling
berkaitan satu dan lainnya, seperti ide pokok, kalimat utama, dan beberapa
kalimat penjelas.
3. Sebuah paragraf yang baik harus memenuhi beberapa syarat, seperti kesatuan
(kohesi), kepaduan (koherensi), urutan gagasan (sistematis), pengembangan
(ketuntasan).
4. Paragraf memiliki banyak jenis. Penggolong paragrafmengacu pada beberapa hal,
seperti: berdasarkan letak kalimat topiknya, menurut fungsinya, dan menurut
teknik pemaparannya.

E. Pertanyaan/Diskusi
Tulislah masing-masing satu paragraf dengan jenis:
1. Paragraf campuran
2. Pargraf generalisasi
3. Paragraf narasi
4. Paragraf deskripsi
5. Paragraf persuasi
Berdasarkan pargraf-pargraf tersebut, temukan dan jelaskanlah:
 Ide pokok, kalimat utama, dan kalimat penjelas (lengkap dengan alasan mengapa
hal tersebut dikatakan ide pokok, kalimat utama, dan kalimat penjelas.
 Apakah paragraf tersebut telah memenuhi syarat kesatuan (kohesi), kepaduan
(koherensi), sistematis, dan ketuntasan

BAB VIII
KARANGAN DAN PERENCANAANNYA

A. Deskripsi Singkat
Hal-hal yang dibahas dalam BAB ini meliputi pengertian karangan dan mengarang, jenis dan
karakteristik karangan, langkah-langkah penyusunan karangan, dan kerangka karangan
B. Capaian Pembelajaran Matakuliah
Setelah memahami materi ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami dan menjelaskan
hakikat dan jenis karangan, mampu mengidentfikasi dan membedakan karangan
berdasarkan karakteristiknya, memahami dan mengaktualisasikan langkah-langkah dalam
penulisan karangan, menguasai pertimbangan pemilihan, dan syarat tema, topik, dan judul,
serta mampu mengaplikasikannya dalam penulisan karangan untuk berbagai kepentingan.
C. Isi Materi Perkuliahan
1. Pengertian Karangan dan Mengarang
Karangan merupakan hasil akhir dari pekerjaan merangkai kata, kalimat, dan alinea untuk
menjabarkan atau mengulas topik dan tema tertentu (Finoza, 2004:192). Mengarang berarti
‘menyusun’ atau ‘merangkai’. mengarang tidak hanya dan tidak harus tertulis. Seperti halnya
berkomunikasi, kegiatan mengarang yang juga menggunakan bahasa sebagai mediumnya
dapat berlangsung secara lisan. Seseorang yang berbicara, misalnya dalam sebuah diskusi
atau berpidato secara serta-merta (impromtu), otaknya terlebih dahulu harus mengarang
sebelum mulutnya berbicara. Pada saat berbicara, sang pembicara itu sebetulnya “bekerja
keras” mengorganisasikan isi pembicaraannya agar teratur, terarah/terfokus, sambil
memikir-mikirkan susunan kata, pilihan kata, struktur kalimat; bahkan cara penyajiannya
(misalnya deduktif atau induktif, klimaks atau antiklimaks). Apa yang didengar atau yang
ditangkap orang dari penyajian lisan itu, itulah karangan lisan.
mengarang adalah pekerjaan merangkai kata, kalimat, dan alinea untuk menjabarkan dan
atau mengulas topik dan tema tertentu guna memperoleh hasil akhir berupa karangan.
Widyamartaya dan Sudiarti (1997: 77), menyatakan bahwa mengarang adalah “keseluruhan
rangkaian kegiatan seseorang untuk mengukapkan gagasan dan menyampaikannya melalui
bahasa tulis kepada pembaca untuk dipahami”.

2. Jenis-jenis Karangan dan Karaktersitiknya


a. Penggolongan Karangan Menurut Bobot Isinya
1) Karangan Ilmiah, Semiilmiah, dan Nonilmiah
Berdasarkan bobot isinya, karangan dapat dibagi atas tiga jenis, yaitu (1) karangan ilmiah,
(2) karangan semiilmiah atau ilmiah populer, dan (3) karangan nonilmiah. Yang tergolong ke
dalam karangan ilmiah antara lain laporan, makalah, skripsi, tesis, disertasi; yang tergolong
ke dalam karangan semiilmiah antara lain artikel, editorial, opini, feature, tips, reportase; dan
yang tergolong ke dalam karangan nonilmiah antara lain anekdot, dongeng, hikayat, cerpen,
cerber, novel, roman, puisi, dan naskah drama.
Ketiga jenis karangan tersebut di atas memiliki karakteristik yang berbedabeda. Karangan
ilmiah memiliki aturan baku dan sejumlah persyaratan khusus yang menyangkut metode dan
penggunaan bahasa. Kebalikan dari karangan ilmiah adalah karangan nonilmiah, yaitu
karangan yang tidak terikat pada aturan baku tadi; sedangkan karangan semiilmiah berada
diantara keduanya. Yang akan dibahas dalam buku ini hanya dua jenis karangan, yaitu
karangan ilmiah dan semiilmiah/ilmiah populer karena kedua jenis karangan inilah yang
banyak diperlukan oleh mahasiswa.
Antara karangan ilmiah dan karangan ilmiah populer tidak banyak perbedaan yang
mendasar. Perbedaan yang paling jelas hanya pada pemakaian bahasa, struktur, dan
kodifikasi karangan. Dalam karangan ilmiah digunakan kosakata yang khusus berlaku di
bidang ilmu tertentu. Dalam karangan ilmiah populer bahasa yang terlalu teknis tersebut
terkadang dihindari. Sebagai gantinya digunakan kata atau istilah yang umum. Jika kita
perhatikan dari segi sistematika penulisan, karangan ilmiah menanti kaidah konvensi
penulisan dengan kodifikasi secara ketat dan sistematis, sedangkan karangan ilmiah
populer agak longgar, meskipun tetap sistematis.
2) Karakteristik Karangan Nonilmih
 Berusaha menghidupkan perasaan atau menggugah emosi pembacanya.
 Lebih dipengaruhi oleh subjektifitas pengarangnya.
 Bahasanya bermakna denotatif, konotatif, dan asosiatif (makna tidak
sebenarnya). Selain itu juga bermakna ekspresif (membanyangkan
suasana pribadi pengarang).
 Bahasanya juga sugestif, yaitu bersifat mempengaruhi pembaca dan
plastis yaitu bersifat indah untuk menggugah perasaan pembaca.
3) Karakteristik Karangan Ilmiah
 Berusaha mencapai taraf objektifitas yang tinggi, berusaha menarik, dan
menggugah nalar (pikiran) pembaca.
 Bahasanya bersifat denotatif dan menunjukan pada pengertian yang
sudah terbatas sehingga tidak bermakna ganda.
b. Penggolongan Karangan Menurut Cara Penyajian dan Tujuan
Penyampaiannya
Berdasarkan cara penyajian dan tujuan penyampaiannya, karangan dapat dibedakan atas
enam jenis, yaitu:
1) Deskripsi (perian)
Karangan deskripsi merupakan karangan yang lebih menonjolkan aspek pelukisan sebuah
benda sebagaimana adanya. Hal ini sesuai dengan asal katanya, yaitu describere (bahasa
Latin) yang berarti ‘menulis tentang, membeberkan sesuatu hal, melukiskan sesuatu hal’.
Penggambaran sesuatu dalam karangan deskripsi memerlukan kecermatan pengamatan
dan ketelitian. Hasil pengamatan itu kemudian dituangkan oleh penulis dengan
menggunakan kata-kata yang kaya akan nuansa dan bentuk. Dengan kata lain, penulis
harus sanggup mengembangkan suatu objek melalui rangkaian kata-kata yang penuh arti
dan kekuatan sehingga pembaca dapat menerimanya seolah-olah melihat, mendengar,
merasakan, menikmati sendiri objek itu.
2) Narasi (kiasan)
Karangan narasi (bearasal dari narration = bercerita) adalah suatu bentuk tulisan yang
berusaha menciptakan, mengisahkan, merangkaikan tindak-tanduk perbuatan manusia
dalam sebuah peristiwa secara kronologis atau yang berlangsung dalam suatu kesatuan
waktu. karangan narasi memiliki dua macam sifat, yaitu (1) narasi ekspositoris/narasi
faktual, dan (2) narasi sugestif/narasi berplot. Narasi yang hanya bertujuan untuk memberi
informasi kepada pembaca agar pengetahuannya bertambah luas disebut narasi
ekspositoris; sedangkan narasi yang mampu menimbulkan daya khayal, disebut narasi
sugestif. Contoh narasi sugestif adalah novel atau cerpen, sedangkan contoh narasi
ekspositoris adalah kisah perjalanan, otobiografi, kisah perampokan, dan cerita tentang
peristiwa pembunuhan.
3) Eksposisi (paparan)
Karangan eksposisi merupakan wacana yang bertujuan untuk memberi tahu, mengupas,
menguraikan, atau menerangkan sesuatu. Dalam karangan eksposisi, masalah yang
dikomunikasikan terutama adalah pemberitahuan atau informasi.Karangan eksposisi tidk
memaksa pembaca untuk menerima pendapat penulis, tetapi setiap pembaca sekadar diberi
tahu bahwa ada orang yang berpendapat demikian. Mengingat karangannya bersifat
memaparkan sesuatu, eksposisi juga dapat disebut karangan paparan.
4) Argumentasi (bahasan)
Tujuan utama karangan argumentasi adalah untuk meyakinkan pembaca agar menerima
atau megambil suatu doktrin, sikap, dan tingkah laku tertentu. Syarat utama untuk menulis
karangan argumentasi adalah penulisannya harus terampil dalam bernalar dan menyusun
ide yang logis. Karangan argumentasi memiliki ciri:
 Mengemukakan alasan atau bantahan sedemikian rupa dengan tujuan
mempengaruhi keyakinan pembaca agar menyetujuinya
 Mengusahakan pemecahan suatu masalah
 Mendiskusikan suatu persoalan tanpa perlu mencapai satu penyelesaian
5) Persuasi (ajakan)
Karangan persuasi adalah karangan yang bertujuan membuat pembaca percaya, yakin, dan
terbujuk akan hal-hal yang dikomunikasikan yang mungkin berupa fakta, suatu pendirian
umum, suatu pendapat/gagasan ataupun perasaan seseorang. Dalam karangan persuasi,
fakta-fakta yang relevan dan jelas harus diuraikan sedemikian rupa sehingga kesimpulannya
dapat diterima secara meyakinkan. Di samping itu, dalam menulis karangan persuasi harus
pula diperhatikan penggunaan diksi yang berpengaruh kuat terhadap emosi dan perasaan
pembaca.
6) Campuran/kombinasi
Karangan campuran atau kombinasi biasanya dapat merupakan gabungan eksposisi
dengan deskripsi, atau eksposisi dengan argumentasi. Dalam wacana yang lain sering kita
temukan narasi berperan sebagai ilustrasi bagi karangan eksposisi atau persuasi.

3. Langkah Penyusunan Tulisan Ilmiah


Ada tiga tahapan yang mesti dilalui dalam penyusunan tulisan ilmiah. Ketiga tahapan itu
adalah tahapan persiapan (prapenulisan), tahapan penulisan, dan tahapan penyuntingan
(revisi). Ketiga tahapan tersebut terlihat tumpang tindih dalam pembuatan tulisan pendek.
Tahapan itu akan dilalui dengan lebih teratur dalam penyusunan makalah atau tulisan yang
lebih panjang yang terdiri atas beberapa bab. Kegiatan yang dilakukan pada tahapan
persiapan adalah penentuan topik, pembatasan topik (perumusan masalah), penentuan
judul, penentuan tujuan, penentuan bahan, dan pembuatan kerangka karangan. Tahapan ini
pada prinsipnya merupakan tahapan penentuan topik yang dipilih. Penentuan itu akan
membatasi dan mengarahkan tulisan yang akan dibuat. Penentuan topik merupakan
pemilihan pokok persoalan (tema) sebuah tulisan. Topik itu adapat diperoleh dari berbagai
sumber, yaitu pengamatan, pengalaman, atau pernalaran (logika).

4. Kerangka Karangan
Kerangka karangan adalah suatu rencana kerja yang memuat garis besar suatu tulisan yang
akan digarap dalam menyusun makalah, seorang penulis harus merencanakan kerangka
tulisannya terlebih dahulu.
Agar dapat dipublikasikan sebagai karya ilmiah ada ketentuan struktur atau format tulisan
yang kurang lebih bersifat baku. Ketentuan itu merupakan kesepakatan sebagaimana
tertuang dalam International Standardization Organization (ISO). Publikasi yang tidak
mengindahkan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam ISO memberikan kesan bahwa
publikasi itu kurang absah sebagai terbitan ilmiah ISO 5966 (1982) menetapkan bahwa
karya tulis ilmiah (Soehardjan, 1997: 38) terdiri atas:
 Judul,
 Nama penulis,
 Abstrak,
 Kata kunci,
 Pendahuluan,
 Inti tulisan (teori, metode, hasil, dan pembahasan),
 Kesimpulan dan usulan,
 Ucapan terima kasih, dan
 Daftar pustaka

Kerangka karangan ilmiah terdiri atas tiga bagian besar. Masing-masing adalah
PENDAHULUAN, ISI, dan PENUTUP atau KESIMPULAN. Dapat saja terjadi variasi dalam
perinciannya, karena tidak terlepas kemungkinan bahwa setiap bidang ilmu memiliki
peraturan mereka masing-masing. Penulis harus memperhatikan agar setiap bagian atau
bab berkaitan satu sama lain dan berada di bawah satu payung besar, yakni TESIS. Setiap
bagian tulisan, pada dasarnya, merupakan bagian yang lebih kecil atau subbawahan bagi
satuan tulisan yang lebih besar. Isi setiap bagian kurang lebih adalah sebagai berikut.
a. Fungsi Kerangka Karangan
Kerangka karangan sebenarnya adalah suatu rencana kerja yang memuat garis besar suatu
tulisan yang akan digarap. Oleh karena itu, selama menulis, kita dapat saja mengubah
susunan kerangka karangan kita dan menggunakan tesis sebagai tolok ukur perkembangan
pemikiran kita selama menulis. Jadi, singkat kata dapat dikatakan bahwa Kerangka tulisan
bermanfaat bagi penulis sebagai alat kontrol dalam menulis.
Ada empat manfaat kerangka karangan dalam proses menulis.
1) Tulisan dapat disusun secara teratur
Penyajian menjadi terarah dengan alur yang jelas dan rapi. Gagasan yang penting
diletakkan di awal, diikuti oleh gagasan bawahan.
2) Tulisan tidak mengalami pengulangan
Dengan adanya kerangka tulisan penulis akan mengetahui hal-hal apa yang sudah
dituangkan dan hal-hal apa saja yang belum dituangkan dalam tulisannya.
3) Memudahkan mencari informasi pendukung
Data, kasus, atau rujukan dengan mudah dapat dicari sesuai dengan kepentingan
penulisan. Penulis dengan mudah dapat mencari materi pembantu.
4) Miniatur atau prototipe tulisan
Kerangka tulisan berfungsi sebagai miniatur atau prototipe tulisan yang akan memudahkan
pembaca melihat wujud, gagasan, struktur, serta nilai umum tulisan itu. Kelak, pada akhir
penulisan, kerangka tulisan itu akan menjadi daftar isi karya ilmiah kita.
b. Syarat Kerangka Karangan Yang Baik
Ada empat syarat yang harus dipenuhi agar penulis dapat menghasilkan kerangka karangan
yang baik.
1) Tesis harus jelas
Langkah yang paling sulit dalam penulisan karya ilmiah adalah perumusan tesis. Akan
tetapi, jika tesis sudah jelas, penulisan karya ilmiah akan sangat mudah dan lancar karena
semua telah terpikirkan secara matang.
2) Hanya mengandung satu gagasan
Tiap unit dalam kerangka hanya mengandung satu gagasan yang akan diuraikan secara
tuntas. Rangkaian antara gagasan sentral dan gagasan bawahan tersusun dengan baik.
Gagasan bawahan harus mengandung dukungan dan alasan bagi gagasan sentralnya.
Dengan demikian, fakta yang terhimpun akan berbicara dengan sendirinya dalam
pembahasan sebuah gejala yang diteliti.
3) Pokok-pokok tulisan harus disusun secara logis
Hanya dengan penyusunan yang logis, kita dapat mencapai tujuan dengan baik. Rangkaian
sebab-akibat harus tersusun dengan baik agar pembaca mudah menarik kesimpulan.
4) Harus menggunakan pasangan simbol yang konsisten
Setiap unit, baik unit utama dan subunit, harus menggunakan pasangan simbol yang
konsisten (I, A, 1, a, dst.). Akan tetapi, yang lebih penting lagi adalah bahwa penamaan
setiap unit dan subunit dalam kerangka tulisan harus bersifat sejajar atau paralel.
b. Langkah Penyusunan Kerangka Karangan
1) Merumuskan tesis
2) Menginventarisasi gagasan bawahan
3) Mengevaluasi semua gagagsan
4) Melakukan langkah ke-2 dan ke-3 berulang kali
5) Menentukan pola susunan yang paling cocok.

5. Tema, Topik, dan Judul


a. Tema
Tema adalah pokok persoalan, permasalahan atau pokok pembicaraan yang mendasari
suatu karangan. Tema merupakan gagasan pokok / ide yang menjadi dalam penulisan
karangan. Tema dapat juga diartikan sebagai perumusan dari topik yang akan dijadikan
landasan pembicaraan dan tujuan yang akan dicapai melalui topik. Ditinjau dari karangan
yang telah selesai, tema adalah amanat utama yang diampaikan oleh penulis melalui
karangannya. Sementara itu, jika ditinjau dari karangan yang masih dalam proses
penyusunan, tema merujuk pada apa pokok pembicaraannya atau apa tujuan/ tesis yang
akan dicapai dari karanan tersebut.

b. Topik
Dalam Keraf (1997), dikatakan bahwa topik berasal dari kata Yunani, topoi. Topoi berarti
‘tempat’. Jadi, kita menempatkan pokok persoalan atau pembahasan. Oleh karena itu,
dalam tulis-menulis, topik adalah ‘pokok pembicaraan’.
Topik adalah arah pembicaraan yang lebih sppesifik dari tema (khusus/ konkret), merupakan
penjabaran lebih lanjut dari tema, bersifat umum dan belum terurai, serta merupakan
sesuatu yang nyata/ tidak abstrak
1) Pertimbangan dalam Memilih Topik Karangan
Ada empat syarat pemilihan topik, yaitu
• menarik minat penulis
Hal ini sangat penting sebelum memutuskan meilih topik tertntu untuk penulisan karangan.
Tanpa ada minat pribadi penulis, pembahasan dalam sebuah karya tulis ilmiah tidak akan
mendalam dan tuntas. Penulis dapat kehilangan kemampuan dan kegairahan
mengembangkan gagasan. Oleh karena itu, persyaratan penting dalam penulisan ilmiah
adalah kegairahan dan minat penulis untuk menguraikan fakta yang ditemukannya dan,
kemudian, menghimpunnya dalam sebuah karya ilmiah.
• Diketahui dan dikuasai oleh penulis
Topik diketahui dan dikuasai penulis merupakan penunjang bagi persyaratan pertama.
Tanpa penguasaan dari penulis, usaha untuk menyusun karya ilmiah akan merupakan
beban yang berat bagi penulis. Penulis masih harus mempelajari teori atau penelitian lain.
Dengan demikian, penulis akan kehilangan banyak waktu hanya dalam hal mempersiapkan
diri untuk penguasaan materi. Akibatnya, penulis akan mengalami kesulitan dalam
menetapkan luas cakupan penelitian.
• Terbatas ruang lingkupnya
Topik harus cukup sempit dan terbatas, persyaratan ini bersifat relatif dan bergantung pada
pengetahuan dan kemampuan penulis. Sebuah topik yang sangat sempit dapat
menghasilkan sebuah karya tulis ilmiah yang menghabiskan beratus-ratus halaman.
Sebaliknya, topik yang luas tidak menjamin ketebalan sebuah tulisan jika tidak disertai
dengan pemahaman dan penguasaan yang mendalam mengenai pokok pembicaraan.
Sering kali, topik yang luas juga tidak menjamin ketuntasan pembahasan. Jadi, topik yang
sempit dan terbatas berkaitan erat dengan penguasaan penulis atas topik yang dipilihnya.
• Tidak terlalu baru, teknis, atau kontroversial
Topik jangan terlalu baru, teknis, atau kontroversial merupakan persyaratan mutlak bagi
penulis pemula. Topik yang terlalu baru akan menyulitkan seorang penulis pemula karena
kelangkaan pustaka penunjang atau kekurangan data lapangan. Jika tidak melakukan
penelitian yang komprehensif, penulis akan menghadapi masalah dalam mempertanggung-
jawabkan keilmiahan tulisannya. Untuk penulis pemula, diharapkan bahwa tulisannya tidak
bersifat terlalu teknis. Maksudnya, jangan sampai penulis tidak menguasai istilah-istilah dan
konsep-konsep yang digunakan dalam tulisannya. Terakhir, topik jangan terlalu
kontroversial. Maksudnya, jangan sampai seorang penulis pemula memilih sebuah topik
yang kontroversial yang akan menjebaknya dalam polemik yang berkepanjangan, tanpa
adanya kemampuan dalam diri penulis untuk mempertahankan diri atau membuktikan
kebenaran pendapatnya.
2) Fungsi Topik
• Mengikat keseluruhan isi
• Menjiwai seluruh pembahasan
• Mengendalikan variabel: Misal, topik yang terikat dua variabel,
pembahasanya juga terdiri atas dua bagian
• Memudahkan pengembangan ide bagi penulis dan memudahkan
pemahaman bagi pembaca
• Menjadi daya tarik pembaca.

3) Topik yang Baik


• Bagi penulis
• Menguasai permasalahan
• Memberi manfaat
• Bagi pembaca
• mengembangkan potensi
• Meningkatkan pengetahuan
4) Indikator Topik yang Baik
• Manarik untuk ditulis dan dibaca
• Dikuasai dengan baik
• Terbatas
• Didukung data

c. Judul
Judul adalah kepala atau identitas karangan. Judul lebih mengacu pada penjelasan awal
(penunjuk singkat) isi karangan yang akan ditulis. Judul adalah merupakan
penjabaran/perincian dari topic, kepala/ identitas karangan, lebih spesifik, dan mengandung
permasalahan yang lebih jelas atau lebih terarah
1) Jenis-jenis Judul
• Judul Langsung
Judul langsung adalah jenis judul yang memiliki bahasa sama, identik, senada (berada
dalam satu lingkungan makna dengan tema dan topik) dengan bahasa tema dan topik
karangan
• Judul Tidak Langsung
Judul tidak langsung adalah judul yang memiliki bahasa berlainan/ tidak sama, identik,
senada (berada dalam satu lingkungan makna dengan tema dan topik), dengan bahasa
tema, dan topik karangan, bahasanya berupa kiasan dan perumpamaan.
2) Syarat-Syarat Judul yang Baik
• Relevan/ bertalian dengan tema
Judul harus mampu mewakili sebuah karangan secara baik. Hal ini dapat tergambar dari
pemahaman umum yang didapat oleh pembaca tentang isi karangan ketika membaca judul
karangan tersebut.
• Provokatif/ menarik
Judul harus mampu menarik minat dan menggugah rasa ingin tahu pembaca. Sehingga
pada akhirnya pembaca memutuskan untuk membaca sebuah karangan secara lengkap.
• Efektif/ singkat
Judul tidak boleh bertele tele. Judul adalah daya tarik atau citra sebuah karangan. Judul
yang singkat dan menarik tentunya akan menimbulkan kesan tersendiri dari pembaca pada
karangan, serta sebaliknya. Jadi, dapat disimpulkan, judul adalah salah satu hal yang
menjadi tolok ukur keterbacaan sebuah karangan.

D. Rangkuman
a. Karangan merupakan hasil akhir dari pekerjaan merangkai kata, kalimat, dan
alinea untuk menjabarkan atau mengulas topik dan tema tertentu
b. mengarang adalah keseluruhan rangkaian kegiatan seseorang untuk
mengukapkan gagasan dan menyampaikannya melalui bahasa tulis kepada
pembaca untuk dipahami
c. mengarang tidak terbatas dalam bentuk tertulis. Aktivitas lisan juga masuk
kategori mengarang. Seseorang yang berbicara, misalnya dalam sebuah
diskusi atau berpidato secara serta-merta (impromtu), otaknya terlebih dahulu
harus mengarang sebelum mulutnya berbicara.
d. Karangan memilik banyak jenis, penggolongan karangan dapat dilakukan
atas beberapa dasar, seperti Penggolongan Karangan Menurut Bobot Isinya
dan Penggolongan Karangan Menurut Cara Penyajian dan Tujuan
Penyampaiannya
e. Ada tiga tahapan yang mesti dilalui dalam penyusunan tulisan ilmiah. Ketiga
tahapan itu adalah tahapan persiapan (prapenulisan), tahapan penulisan, dan
tahapan penyuntingan (revisi).
f. Penulisan karangan akan lebih mudah dan terarah jika diawali dengan
perumusan kerangka karangan.
g. Kerangka karangan adalah suatu rencana kerja yang memuat garis besar
suatu tulisan yang akan digarap dalam menyusun makalah, seorang penulis
harus merencanakan kerangka tulisannya terlebih dahulu.
h. Penentuan tema, topik, dan judul adalah langkah awal yang harus dilakukan
oleh penulis sebelum menyusun karangan.
i. Tema adalah pokok pikiran, topik adalah pokok pembicaraan, serta judul
adalah nama atau identitas dari sebuah karangan.

E. Pertanyaan/Diskusi
Bagian ini berisi pertanyaan sebagai bahan diskusi atau latihan untuk memperkaya
pemahaman mahasiswa
BAB IX
KUTIPAN DAN NOTASI ILMIAH

A. Deskripsi Singkat
Hal-hal yang dibahasa dalam BAB ini meliputi Hakikat Kutipan, Fungsi Kutipan, Jenis dan
Teknis Penulisan Kutipan, Notasi Ilmiah (Footnote, Innote, dan Endnote), Daftar Pustaka,
dan Plagiarisme.

B. Capaian Pembelajaran Matakuliah


Setelah mempelajari materi ini mahasiswa mampu memahami hakikat dan jenis kutipan dan
notasi ilmiah serta mampu menulis kutipan dan beragam jenis notasi ilmiah sebagai
pendukung atau sumber informasi lebih lanjut atas kutipan dalam sebuah karya tulis ilmiah.

C. Isi Materi Perkuliahan


1. Hakikat Kutipan
Kutipan adalah gagasan, ide, atau pendapat yang diambil dari berbagai sumber Kutipan,
saduran (parafrasa) adalah salinan kalimat, paragraf, atau pendapat dari seorang
pengarang atau ucapan orang terkenal karena keahliannya, baik yang terdapat dalam buku,
jurnal, baik yang melalui media cetak atau elektronik (Widjono, 2012:92). Mengutip bertujuan
untuk memberi Pengokohan argumentasi dalam sebuah karangan. Sementara itu, Keraf
(2001:179), mengemukakan bahwa kutipan adalah pinjaman kalimat atau pendapat dari
seorang pengarang atau ucapan seseorang yang terkenal baik yang terdapat dalam buku-
buku maupun majalahmajalah
Kutipan adalah bagian dari pernyataan, pendapat, buah pikiran, definisi, rumusan, atau hasil
penelitian dari penulis lain atau penulis sendiri yang telah terdokumentasi. Kutipan akan
dibahas dan ditelaah berkaitan dengan materi penulisan. Kutipan dari pendapat berbagai
tokoh merupakan esensi dalam penulisan sintesis.
Dalam mengutip, seorang penulis harus memiliki dasar/ pertimbangan yang baik. Berikut
beberapa pertimbanganyang harus dimiliki dalam Mengutip
• Penulis mempertimbangkan bahwa kutipan itu perlu
• Penulis bertanggung jawab penuh terhadap ketepatan dan ketelitian kutipan
• Kutipan dapat terkait dengan penemuan teori
• Jangan terlalu banyak mempergunakan kutipan langsung
• Penulis mempertimbangkan jenis kutipan kaitannya dengan sumber rujukan

2. Fungsi Kutipan
Kutipan memiliki fungsi sebagai berikut:
a. untuk menegaskan isi uraian
b. untuk membuktikan kebenaran dari sebuah pernyataan yang dibuat
oleh penulis
c. untuk memperlihatkan kepada pembaca materi dan teori yang
digunakan penulis
d. untuk mengkaji interpretasi penulis terhadap bahan kutipan yang
digunakan
e. untuk menunjukkan bagian atau aspek topik yang akan dibahas
f. untuk mencegah penggunaan dan pengakuan bahan tulisan orang
lain sebagai milik sendiri (plagiat).

3. Jenis dan Teknis Penulisan Kutipan


a. Kutipan Langsung
Kutipan langsung adalah cuplikan tulisan orang lain tanpa perubahan ke dalam karya tulis
kita. Prinsip yang harus diperhatikan pada saat mengutip langsung adalah:
1) tidak boleh mengadakan perubahan terhadap teks asli yang dikutip.
2) Harus menggunakan tanda [sic!], jika ada kesalahan dalam teks asli.
3) Menggunakan tiga titik berspasi [. . .] jika ada bagian dari kutipan yang
dihilangkan.
4) Mencantumkan sumber kutipan dengan sistem MLA, APA, atau sistem
yang berlaku sesuai dengan selingkung bidang.

Ada dua cara melakukan kutipan langsung, yaitu kutipan langsung pendek dan kutipan
langsung panjang.
1) Kutipan Langsung Pendek (tidak lebih dari empat baris) dilakukan
dengan cara:
 diintegrasikan langsung dengan teks,
 diberi berjarak antarbaris yang sama dengan teks
 diapit oleh tanda kutip
 menuliskan sumber kutipan
2) Kutipan Langsung Panjang (lebih dari empat baris) dilakukan dengan
cara:
 dipisahkan dari teks dengan spasi (jarak antarbaris) lebih dari teks
 diberi berjarak rapat antarbaris dalam kutipan
 menuliskan sumber kutipan
 boleh diapit tanda kutip, boleh juga tidak.

b. Kutipan Tak Langsung (Inti Sari Pendapat)


Kutipan tak langsung adalah kutipan yang diuraikan kembali dengan kata-kata sendiri. Untuk
dapat melakukan kutipan jenis itu, pengutip harus memahami inti sari dari bagian yang
dikutip secara tidak langsung itu. Kutipan tidak langsung dapat dibuat secara panjang
maupun pendek dengan cara:
1) diintegrasikan dengan teks
2) diberi jarak antarbaris yang sama dengan teks
3) tidak diapit tanda kutip
4) mencantumkan sumber kutipan

4. Notasi Ilmiah
Notasi ilmiah adalah ilmu tentang sistem lambang (tanda) yang menggambarkan bilangan nada atau ujaran
dengan tanda huruf. Dalam sebuah karangan ilmiah, penggunaan notasi ilmiah dimaksudkan untuk
menghindari tuduhan plagiat dan untuk memberikan kemudahan bagi peneliti maupun penerima untuk
mengetahui sumber rujukan, terutama jika diperlukan penelitian ulang atau penilitian lanjutan di kemudian
hari. Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa notasi ilmiah adalah pencantuman sumber rujukan yang
digunakan dalam sebuah karya ilmiah.
Ada tiga teknik yang populer yang banyak digunakan di berbagai perguruan tinggi baik PTN
maupun PTS, yakni footnote, bodynote, dan endnote.
a. Footnote
Footnote adalah catatan pada kaki halaman untuk menyatakan sumber suatu kutipan,
pendapat, buah pikiran, fakta-fakta, atau ikhtisar. Footnote dapat juga berisi komentar
mengenai suatu hal yang dikemukakan di dalam teks, seperti keterangan wawancara, pidato
di televisi, dan yang sejenisnya. Gelar akademik dan gelar kebangsawanan tidak disertakan
serta nama pengarang/penulis tidak dibalik.
1) Nomor Footnote
Footnote atau catatan kaki diberi nomor sesuai dengan nomor kutipan dengan
menggunakan angka Arab kecil (1, 2, 3, dst.) yang diketik naik setengah spasi. Footnote
pada tiap bab diberi nomor urut, mulai dari angka 1 sampai dengan selesai dan dimulai
dengan nomor satu lagi pada bab-bab berikutnya.
2) Bentuk Footnote Dalam footnote, urutan penulisannya ada beberapa
macam cara. Namun, di sini hanya disebutkan dua macam cara
sebagaimana yang sering digunakan di mayoritas perguruan tinggi.
Cara pertama urutannya adalah nama pengarang koma (,), nama buku
koma (,), nomor jilid buku (jika ada) koma (,), nama kota tempat terbit
buku titik dua (:), nama penerbit koma (,), tahun penerbitan koma (,),
halaman-halaman yang dikutip atau yang berkenaan dengan teks titik
(.).
Contoh:
1 David Hopkins, A Teacher’s Guide Classroom Research, (Buckingham Philadelphia: Open
University Press, 1993), h.36.
2 Ana Roggles Care, Writing and Learning, (New York: Macmilan Publishing Company,
1985), h.4.
3) Footnote yang Berkaitan dengan Jumlah dan Nama Pengarang
 Pengarang satu orang (lihat contoh di atas).
 Pengarang dua atau tiga orang: nama pengarang dicantumkan
semua.
Contoh:

3 Charles W. Bridges dan Ronald F. Lunsford, Writing: Discovering Form and Meaning
(California: Wadsworth, 1984), hl.7.
 Jika pengarang lebih dari tiga orang yang dicantumkan hanya
nama pengarang pertama dan di belakangnya ditulis et al. atau
dkk. et al. asalnya dari et alii ‘dengan orang lain’.
Contoh:
6 Sabarti Akhadiah, dkk, Menulis (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat
Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah bagan Proyek Penataran Guru SLTP Setara D3,
1997/1998), h. 8-9.

3) ibid., op. cit., dan loc. cit.


(1) ibid.
Ibid., merupakan dingkatan dari ibidem ‘pada tempat yang sama’ dipakai apabila suatu
kutipan diambil dari sumber yang sama, halaman sama atau berbeda dengan yang
langsung mendahuluinya dengan tidak disela oleh sumber lain.
Contoh:
4 Dewa Gde Satrya, Creative Writing (Jakarta: Prestasi Pustakarya, 2011), h. 36
5 Ibid., h. 45 (berarti dari buku yang tersebut di atas).

(2) op. cit.


Op. cit., merupakan singkatan dari opere citato ‘dalam karangan yang telah disebut atau
dikutip’ dipakai apabila suatu kutipan diambil dari sumber yang sama, tetapi halaman
berbeda dan telah diselingi oleh sumber-sumber lain.
Contoh:
6 Dewa Gde Satrya, Creative Writing (Jakarta: Prestasi Pustakarya, 2011), h. 36
7 Nurudin, Kiat Meresensi Buku di Media Cetak (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2009),
h, 44 – 61
8 Dewa Gde Satrya, op. cit. h. 109 (buku yang telah disebut di atas).
(3)loc. cit.
Loc. cit., adalah singkata dari loco citato ‘pada tempat yang telah disebut atau dikutip’
digunakan apabila suatu kutipan diambil dari sumber yang sama, halaman sama dan telah
diselingi oleh sumber-sumber lain.
Contoh:
9 Dewa Gde Satrya, Creative Writing (Jakarta: Prestasi Pustakarya, 2011), h. 36
10 Nurudin, Kiat Meresensi Buku di Media Cetak (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada,
2009), h, 44—61
11 Dewa Gde Satrya, loc. cit. (menunjuk kepada halaman yang sama dengan yang disebut
terakhir, yakni h. 36).

b. Bodynote
Pada teknik ini, sumber kutipan ditulis atau diletakkan sebelum bunyi kutipan atau diletakkan
dalam narasi atau kalimat sehingga menjadi bagian dari narasi atau kalimat. Pada bodynote,
ketentuannya adalah sebagai berikut.
1) Membuat pengantar kalimat sesuai dengan keperluan
2) Menulis nama akhir pengarang
3) Mencantumkan tahun terbit, titik dua, dan nomor halaman di dalam kurung
4) Menampilkan kutipan, baik dengan kutipan langsung maupun kutipan tidak
langsung.
Contoh:
Meresensi buku merupakan kegiatan ilmiah yang dilakukan untuk memberikan
tanggapan dan penilian terhadap isi sebuah buku. Menurut Keraf (2001: 247), resensi
adalah pertimbangan buku, pembicaraan buku, atau ulasan buku atau dengan bahasa
yang agak mentereng, berarti membedah, menganalisis, dan mencari roh/inti buku.
Pada contoh di atas, notasi ilmiahnya mencakup: Keraf 2001:247. Keraf adalah pengarang
buku yang dikutip, 2001 adalah tahun terbit buku yang dikutip, dan 247 adalah halaman
tempat teks yang dikutip.

c. Endnote
Pada teknik endnote, nama pengarang diletakkan setelah bunyi kutipan atau dicantumkan di
bagian akhir narasi, dengan ketentuan sebagai berikut.
a. Membuat pengantar kalimat sesuai dengan keperluan.
b. Menampilkan kutipan, baik dengan kutipan langsung maupun kutipan tidak langsung.
c. Menulis nama akhir pengarang, tanda koma, tahun terbit, titik dua, dan nomor
halaman di dalam kurung, dan akhirnya diberi titik.
Contoh:
Plagiat merupakan pengambikan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan
menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat) sendiri, misalnya menerbitkan karya tulis
orang lain atas nama dirinya sendiri. (Soelistyo, 2011:19)

Pada contoh di atas, notasi ilmiahnya meliputi: Soelistyo, 2011:19. Soelistyo adalah nama
akhir pengarang buku yang dikutip, 2011 adalah tahun terbit buku yang dikutip, dan 19
adalah halaman teks yang dikutip.

5. Daftar Pustaka
Daftar pustaka merupakan daftar yang berisi semua buku atau tulisan ilmiah yang menjadi
rujukan dalam melakukan penelitian. Daftar pustaka penting peranannya dalam sebuah
karya tulis. Sebuah karya tulis yang tidak memiliki daftar pustaka bisa saja diragukan
kebenarannya.
a. Fungsi daftar pustaka
Fungsi daftar pustaka adalah:
1) membantu pembaca mengenal ruang lingkup studi penulis
2) memberi informasi kepada pembaca untuk memperoleh pengetahuan
yang lebih lengkap dan mendalam daripada kutipan yang digunakan oleh
penulis
3) membantu pembaca memilih referensi dan materi dasar untuk studinya.
b. Teknik Penulisan Daftar Pustaka
Teknik penulisan daftar pustaka adalah sebagai berikut.
1) Baris pertama dimulai pada pias (margin) sebelah kiri, baris kedua dan
selanjutnya dimulai dengan 3 ketukan ke dalam
2) Jarak antarbaris adalah 1,5 spasi
3) Daftar pustaka diurut berdasarkan abjad huruf pertama nama keluarga
penulis. (Akan tetapi, cara mengurut daftar pustaka amat bergantung pada
bidang ilmu. Setiap bidang ilmu memiliki gaya selingkung.)
4) Jika penulis yang sama menulis beberapa karya ilmiah yang dikutip, nama
penulis itu harus dicantumkan ulang.
c. Unsur-Unsur Daftar Pustaka
Berikut ini adalah unsur-unsur yang ada dalam sebuah penulisan daftar pustaka:
1) Nama Penulis
Dalam menulis nama penulis buku, nama penulis buku tersebut harus dibalik. Unsur yang
dibalik adalah unsur nama terakhir.
Contoh:
Sugono, Dendy. 1997. Berbahasa Indonesia dengan Benar. Jakarta: Puspa Swara.
Dendy Sugono → ditulis menjadi Sugono, Dendy
Jika penulis buku terdiri dari dua atau tiga orang, penulis pertama namanya ditulis dibalik,
tetapi penulis kedua dan ketiga namanya tidak perlu dibalik. Jika penulisnya lebih dari tiga,
maka nama penulis pertama tetap dibalik, kemudian ditambahkan singkatan dkk. atau et.all.
Contoh:
 Dendy Sugono dan Gorys Keraf → ditulis menjadi Sugono, Dendy dan
Gorys Keraf
 Dendy Sugono, Gory Keraf, Abdul Chaer, Harimurti Kridalaksana,
Masnur Muslich → ditulis menjadi Sugono, Dendy dkk. atau Sugono,
Dendy et.all
Jika terdapat beberapa buku yang ditulis oleh seorang pengarang, nama pengarang cukup
ditulis sekali pada buku yang disebut pertama. Selanjutnya, cukup dibuat garis sepanjang 10
ketukan dan diakhiri dengan tanda titik.
Contoh:
 Sugono, Dendy.
 .
 .
Tanda garis tersebut menyatakan bahwa penulisnya sama yakni Hadi Setiadi.
2) Tahun
Tahun dalam penulisan daftar pustaka ditulis setelah nama penulis buku dan diakhiri tanda
titik (.)
Contoh:
Sugono, Dendy. 1997.
3) Judul Buku
Judul buku ditempatkan sesudah tahun terbit dengan dicetak miring atau diberi garis bawah.
Sugono, Dendy. 1997. Berbahasa Indonesia dengan Benar.
4) Kota Penerbit
Kota penerbit ditulis setelah judul buku dan diakhiri tanda titik dua (:).
Contoh:
Sugono, Dendy. 1997. Berbahasa Indonesia dengan Benar. Jakarta:
5) Penerbit
Penerbit merupakan PT atau CV tempat buku tersebut diterbitkan. Ditulis setelah kota
penerbit dan diakhiri tanda titik (.).
Contoh:
Sugono, Dendy. 1997. Berbahasa Indonesia dengan Benar. Jakarta: Puspa Swara.

6. Plagiarisme
Plagiat adalah pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan
menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri, misalnya
menerbitkan karya tulis orang lain atas nama dirinya sendiri; jiplakan. Menurut Soelistyo
(2011:19), plagiat merupakan pengambikan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain
dan menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat) sendiri, misalnya menerbitkan karya
tulis orang lain atas nama dirinya sendiri. Menurut Peraturan Menteri Pendidikan RI Nomor
17 Tahun 2010 dikatakan:“Plagiat adalah perbuatan sengaja atau tidak sengaja dalam
memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan
mengutip sebagian atau seluruh karya dan atau karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai
karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai”.
Secara hukum, di Indonesia, tindak plagiat dapat didakwa melanggar undang-undang
Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Terutama Bagian Keempat tentang Ciptaanyang
dilindungi Pasal 12 dan Pasal 13.

D. Rangkuman
1. Kutipan adalah gagasan, ide, atau pendapat yang diambil dari berbagai sumber.
Kutipan dapat diartikan sebagai meminjam pendapat orang lain untuk digunakan
dalam tulisan yang kita susun dengan mencantumkan sumbernya secara jela.
2. Mengutip bertujuan untuk memberi Pengokohan argumentasi dalam sebuah
karangan
3. Kutipan terbagi atas kutipan langsung dan kutipan tak langsung
4. Kutipan langsung adalah memindahkan tulisan orang lain ke dalam karya tulis kita
tanpa sedikitpun melakukan perubahan (persis sama dengan sumbernya)
5. Kutipan tidak langsung adalah kutipan yang mengulas pendapat orang lain
dengan redaksi bahasa sendiri.
6. notasi ilmiah adalah pencantuman sumber rujukan yang digunakan dalam sebuah
karya ilmiah.
7. Notasi Ilmiah dapat dikelompokkan menjadi: Footnote, Bodynote, Endnote dan
daftar pustaka
8. Daftar pustaka adalah daftar yang berisi semua buku atau tulisan ilmiah yang
menjadi rujukan/ sumber dalam melakukan penelitian atau penulisan karangan.
9. Plagiat adalah pengambilan karangan (pendapat dan sebagainya) orang lain dan
menjadikannya seolah-olah karangan (pendapat dan sebagainya) sendiri

E. Pertanyaan/Diskusi
Bagian ini berisi pertanyaan sebagai bahan diskusi atau latihan untuk memperkaya
pemahaman mahasiswa

BAB X
KARANGAN ILMIAH

A. Deskripsi Singkat
Hal-hal yang dibahas dalam BAB ini meliputi Hakikat dan Tujuan Karangan Ilmiah, Jenis-
jenis karya Ilmiah, Sistematika Karangan Ilmiah, dan Bahasa Indonesia dalam Karangan
Ilmiah

B. Capaian Pembelajaran Matakuliah


Mahasiswa mampu memahami dan menyusun karya tulis ilmiah yang baik dengan
memperhatikan jenis, sistematika, dan syarat sebuah karya tulis ilmiah.

C. Isi Materi perkuliahan


1. Hakikat dan Tujuan Karangan Ilmiah
Karangan ilmiah merupakan suatu karangan atau tulisan yang diperoleh sesuai dengan sifat
keilmuannya dan didasari oleh hasil pengamatan, peninjauan, penelitian dalam bidang
tertentu, disusun menurut metode tertentu dengan sistematika penulisan yang bersantun
bahasa dan isinya dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya/ keilmiahannya (Susilo,
1995:11). Karya tulis ilmiah merupakan hasil rangkaian fakta yang berupa hasil pemikiran,
gagasan, peristiwa, gejala, dan pendapat. Jadi, seorang penulis karya ilmiah menyusun
kembali pelbagai bahan informasi menjadi sebuah karangan yang utuh. Oleh sebab itu,
penulis karya ilmiah tidak disebut pengarang melainkan disebut penulis (Soeseno, 1993: 1).
Menurut Brotowidjoyo (195:8-9), “Karya Ilmiah adalah karangan ilmu pengetahuan yang
menyajikan fakta dan ditulis menurut metodelogi penulisan yang baik dan benar”. Pada
hakikatnya, karangan ilmiah mengemukakan kebenaran melalui metodenya yang sistematis,
metodologis, dan konsisten.
Penulisan sebuah karangan ilmiah bertujuan untuk memberi penjelasan, komentar,
penilaian, saran, atau sanggahan serta membuktikan hipotesa. Dalam menulis karya ilmiah,
seorang penulis harus memenuhi beberapa persayaratan sebagai berikut:
 Motivasi dan displin yang tinggi
 Kemampuan mengolah data
 Kemampuan berfikir logis (urut) dan terpadu (sistematis)
 Kemampuan berbahasa ilmiah
Perbedaan antara karya ilmiah dan nonilmiah sangatlah kontras. Namun demikian, guna
menghindari kekeliruan, perlu diuraikan sifat karya ilmiah sebagai berikut:
 Lugas dan tidak emosional: mempunyai satu arti, sehingga tidak ada tafsiran
sendiri-sendiri (interprestasi yang lain).
 Logis: disusun berdasarkan urutan yang konsisten.
 Efektif: satu kebulatan pikiran, ada penekanan dan pengembagan.
 Efisien: hanya mempergunakan kata atau kalimat yang penting dan mudah
dipahami .
Syarat karya ilmiah Brotowidjojo
1) Karya ilmiah menyajikan fakta objektif secara sistematis atau
menyajikan aplikasi hukum alam pada situasi spesifik.
2) Karya ilmiah ditulis secara cermat, tepat, benar, jujur, dan tidak
bersifat terkaan. Dalam pengertian jujur terkandung sikap etik
penulisan ilmiah, yakni pencantuman rujukan dan kutipan yang jelas.
3) Karya ilmiah harus disusun secara sistematis, setiap langkah
direncanakan secara terkendali, konseptual, dan prosedural.
4) Karya ilmiah menyajikan rangkaian sebab-akibat dengan pemahaman
dan alasan yang indusif yang mendorong pembaca untuk menarik
kesimpulan.
5) Karya ilmiah mengandung pandangan yang disertai dukungan dan
pembuktian berdasarkan suatu hipotesis.
6) Karya ilmiah ditulis secara tulus. Hal itu berarti bahwa karya ilmiah
hanya mengandung kebenaran faktual sehingga tidak akan
memancing pertanyaan yang bernada keraguan. Penulis karya ilmiah
tidak boleh memanipulasi fakta, serta tidak bersifat ambisius dan
berprasangka. Penyajiannya tidak boleh bersifat emotif.
7) Karya ilmiah pada dasarnya bersifat ekspositoris. Jika pada akhirnya
timbul kesan argumentatif dan persuasif, hal itu ditimbulkan oleh
penyusunan kerangka karangan yang cermat. Dengan demikian, fakta
dan hukum alam yang diterapkan pada situasi spesifik itu dibiarkan
berbicara sendiri. Pembaca dibiarkan mengambil kesimpulan sendiri
berupa pembenaran dan keyakinan akan kebenaran karya ilmiah
tersebut.

2. Jenis-jenis Karya Ilmiah


Menurut Arifin (2003), jenis karya ilmiah di perguruan tinggi dibedakan menjadi:
a. Makalah
Makalah adalah karya tulis ilmiah yang menyajikan suatu masalah yang pembahasannya
berdasarkan data dilapangan yang bersifat empiris-objektif. makalah menyajikan masalah
dengan melalui proses berpikir deduktif atau induktif. Makalah dalam tradisi akademik
adalah karya ilmuwan atau mahasiswa yang sifatnya paling sederhana dari jenis karya
ilmiah lainnya. Kesederhanaan bukan berhubungan dengan isi melainkan dengan
strukturnya. Makalah disusun dengan struktur yang lebih sederhana dibandingkan dengan
skripsi, tesis, atau disertasi.
b. Kertas kerja
Kertas kerja adalah karya tulis ilmiah yang bersifat lebih mendalam dan tajam daripada
makalah dengan menyajikan data di lapangan atau kepustakaan yang bersifat empiris dan
objektif. Kertas kerja dibuat dengan analisis lebih dalam dan tajam. Kertas kerja ditulis untuk
dipresentasikan pada seminar atau lokakarya, yang biasanya dihadiri oleh para ilmuwan.
c. Skripsi
Skripsi adalah karya tulis (ilmiah) mahasiswa untuk melengkapi syarat mendapatkan gelar
sarjana (S1). Skripsi memiliki bobot tertentu sesuai kurikulum yang diterapkan pada
perguruan tinggi bersangkutan. Pengerjaannya dibantu oleh dosen pembimbing. Dosen
pembimbing berperan sebagai fasilitator dan pengarah bagi mahasiswa dalam menulis
skripsi, dari awal sampai akhir. Untuk memastikan kadar keilmiahannya, skripsi biasanya
diuji oleh suatu tim penguji skripsi. Kemampuan mahasiswa dalam menulis dan
mengutarakan gagasannya akan diuji pada kesempatan tersebut. Keberhasilan mahasiswa
dalam menulis skripsi akan bergantung pada keberhasilannya mempertahankan skripsi yang
ditulisnya itu. Skripsi ditulis berdasarkan pendapat atau teori orang lain. Hal ini berbeda
dengan tesis dan disertasi yang biasanya sudah pada tahap menghasilkan teori. Pendapat
tersebut didukung data dan fakta empirisobjektif, yang dapat dicari dalam tiga ranah, yaitu:
(1) melalui penelitian lapangan, (2) melalui uji laboratorium, dan (3) melalui studi
kepustakaan. Jadi, data atau fakta empiris-objektif dapat dicari pada ketiga ranah tersebut.
d. Tesis
Tesis adalah jenis karya ilmiah yang bobot ilmiahnya lebih dalam dan tajam dibandingkan
skripsi. Tesis dibuat untuk menyelesaikan pendidikan Strata 2 (S2) atau pascasarjana.
Pembuatan tesis biasanya berawal dari suatu teori tertentu, kemudian berlandaskan teori
penulis membuat teori baru. Dalam membuat tesis, mahasiswa melakukan penelitian
mandiri, menguji satu atau lebih hipotesis dalam mengungkapkan ‘pengetahuan baru’,
kemudian dari hal itu mahasiswa mengemukakan teori baru. Tesis atau ditulis berdasarkan
metodologi tertentu, baik berupa metode penelitian maupun metode penulisan. Berbeda
dengan penulisan skripsi, pada penulisan tesis fungsi pembimbing lebih terbatas.
Mahasiswa dituntut untuk secara mandiri membuat perencanaan, merumuskan masalah,
masuk ke situs penelitian, menggunakan instrumen, mengumpulkan dan menjajikan data,
menganalisis, sampai mengambil kesimpulan dan rekomendasi. Karena itu, mahasiswa
dituntut kemampuan dalam merancang dan melaksanakan penelitian, menguasai teknik
penulisan, menguasai bidang ilmu yang dikajinya, dan memiliki pengetahuan yang cukup
tentang hal-hal yang terkait dengan motode penelitian.
e. Disertasi
Disertasi adalah karya ilmiah yang memiliki urutan tertinggi dalam hierarki kangan ilmiah
pendidikan (di atas skripsi dan tesis). Disertasi yang dibuat guna mencapai gelar akademik
tertinggi, yaitu Doktor. Gelar Doktor dimungkinkan manakala mahasiswa program strata 3
telah mempertahankan disertasi dihadapan dewan penguji disertasi yang terdiri dari profesor
atau doktor dibidang masing-masing. Disertasi ditulis berdasarkan penemuan tentang suatu
cabang ilmu orisinil, dimana penulis mengemukakan dalil yang dibuktikan berdasarkan data
dan fakta emprisobjektif, dengan disertai analisis terinci. Disertasi ditulis berdasarkan
metodolologi penelitian yang mengandung filosofi keilmuan yang tinggi. Mahahisiswa (S3)
harus mampu secara mandiri (tanpa bimbingan) menentukan masalah, berkemampuan
berpikikir abstrak serta menyelesaikan masalah praktis. Disertasi memuat penemuan-
penemuan baru, pandangan baru yang filosofis, teknik atau metode baru tentang sesuatu
sebagai cerminan pengembangan ilmu yang dikaji dalam taraf yang tinggi.

3. Unsur-unsur Karya ilmiah


a. Kelengkapan Awal
• Cover
• Halaman judul
• Halaman pengesahan
• Abstraksi
• Kata pengantar
• Daftar isi
• Daftar lampiran
• Daftar tabel/gambar/grafik,
b. Kelengkapan Isi
• BAB I PENDAHULUAN
BAB I berisi pendahuluan. Bagian ini berisi gambaran tentang topik penelitian yang hendak
dibahas. Pendahuluan memuat beberapa sub bab yaitu:
• 1.1 Latar Belakang Masalah
Bagian ini menguraikan fakta dan informasi yang menjadi alasan mengapa penelitian perlu
dilakukan dan mengapa penulis tertarik dengan objek yang ditetliti. Bagian ini mencerminkan
kepekaan penulis dalam meperhatikan fenomena-fenomena yang mutakhir di bidang yang
sedang dikaji.
• 1.2 Rumusan Masalah
Pada bagian ini penulis mengemukakan butir-butir masalah yang menjadi fokus kajian
karena pada bagian latar belakang biasanya hal itu belum disampaikan. Agar penelitian
tidak melebar ke mana-mana, maka penulis perlu membatasi masalah pada hal-hal yang
spesifik yang mungkin dilakukan.
• 1.3 Tujuan Penelitian
Pada bagian ini penulis hendaknya mengemukakan hal-hal yang menjadi tujuan penelitian.
Rumusan tujuan penelitian biasanya merupakan pernyataan yang menjawab pertanyaan
yang dirumuskan dalam bagian rumusan masalah. Tujuan penelitian hendaknya relevan
dengan rumusan masalah yang ditetapkan. Jika ada lima rumusan masalah, maka tujuan
penelitian pun lima pernyataan.
• 1.4 Manfaat Penelitian
Pada bagian ini disampaikan manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian dimaksud.
Manfaat perlu disampaikan dalam dua kategori, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis.
Manfaat teoretis menyangkut kegunaan hasil penelitian ditinjau dari aspek teori dan
relevansi hasil penelitian dengan teori-teori yang telah ada. Manfaat praktis menyangkut
kegunaan hasil penelitian bagi kehidupan manusia sehari-hari.
• 1.5 Batasan Masalah
Batasan masalah adalah ruang lingkup masalah atau upaya membatasi ruang lingkup
masalah menjadi lebih spesifik sehingga penelitian menjadi lebih fokus
• 1.6 Definisi Istilah (Boleh disertakan dan boleh tidak disertakan)
Definisi istilah atau penjelasan istilah merupakan penjelasan makna dari masing-masing
kata kunci yang terdapat pada judul dan fokus (rumusan masalah) penelitian
berdasarkan maksud dan pemahaman peneliti.
• 1.7 Hipotesis
Hipotesis atau anggapan dasar adalah jawaban sementara terhadap masalah yang masih
bersifat praduga karena masih harus dibuktikan kebenarannya.

• BAB II KAJIAN PUSTAKA/ LANDASAN TEORI


Pada BAB II ini berisi teori-teori yang digunakan dalam penelitian, biasanya memuat
beberapa sub bab antara lain:
• 2.1 Kajian Teoretis
• 2.2 Kerangkan Pemikiran
• 2.3 Hipotesis
• BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Pada BAB III ini diuraian metode dan teknik yang digunakan dalam proses penelitian,
uraiannya meliputi:
• 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
• 3.2 Metode dan Rancangan Penelitian
• 3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
• 3.4 Instrumen Penelitian
• 3.5 Metode Pengumpulan Data
• 3.6 Analisis Data
• BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada BAB IV ini dipaparkan temuan penelitian serta dilanjutkan dengan pembahasan,
secara rinci terbagi atas:
• 4.1 Hasil Penelitian
• 4.2 Pembahasan Penelitian

4. Bahasa Indonesia dalam Karangan Ilmiah


Jika berbicara tentang bahasa Indonesia dalam karangan Ilmiah, maka kita akan
dihadapkan dengan bahasa Indonesia baku. Bahasa baku cenderung bermakna denotatif,
hal ini senada dengan karangan ilmiah yang harus bersifat lugas dan menuntut kejelasa
makna.
Penggunaan bahasa dalam karya ilmiah menuntut kecermatan pemilihan kata dan struktur
bahasanya, harus memenuhi ragam baku atau ragam standar (formal), dan bukan bahasa
informal atau bahasa pergaulan sehari-hari. Ragam bahasa ilmiah hendaknya mengikuti
kaidah bahasa untuk menghindari ketaksaan atau ambiguitas makna. Ada tiga yang harus
menjadi perhatian dalam bahasa karangan ilmiah penggunaan: (a) Ejaan Bahasa Indonesia
(EBI), (b) penggunaan kata baku, (c) dan penggunaan kalimat efektif. Selain hal tersebut di
atas, penyusunan karangan ilmiah hendaknya juga memperhatikan penyusunan paragraf
yang baik, yaitu memenuhi syarat kesatuan, koherensi, dan pengembangan.
Masalah ilmiah biasanya menyangkut hal yang bersifat abstrak dan konseptual, yang sulit
dicari alat peraga atau analoginya dengan keadaan nyata. Untuk mengungkapkan hal
semacam itu, diperlukan struktur bahasa dan kosa kata yang canggih. Ciri-ciri bahasa
keilmuan adalah kemampuannya untuk menjelaskan suatu gagasan atau pengertian dengan
ekspresi yang cermat sehingga makna yang dimaksud oleh penulis dapat diterima persis
oleh pembaca. Untuk itu, bahasa ilmiah memiliki ciri-ciri:
1) Isinya bermakna
2) uraiannya jelas
3) memiliki kepanduan yang tinggi
4) singkat dan padat
5) memenuhi standar bahasa baku
6) memenuhi standar penulisan ilmiah
7) komunikatif secara ilmiah.

Ketentuan penggunaan bahasa dalam penyusunan karya ilmiah adalah sebagai berikut :
1) Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia baku sebagaimana termuat
dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indoensia (PUEBI).
2) Struktur kalimat yang dibuat lengkap, dalam arti ada subyek, predikat, obyek
dan/atau keterangan. Kalimat juga tidak boleh disingkatsingkat, seperti: “Bahan
baku pakan ternak terdiri atas jagung, bekatul, dll”. Kalimat yang benar adalah:
“Bahan baku pakan ternak terdiri atas jagung, bekatul, dan lain-lain”.
3) Satu aline terdiri dari minimal dua kalimat, yakni kalimat inti dan kalimat penjelas.
Tidak boleh ada satu paragraf yang hanya terdiri atas satu kalimat meskipun
panjang.
4) Istilah yang digunakan adalah istilah Indonesia atau yang sudah di-Indonesiakan.
Jika ada istilah asing maka harus dilengkapi terjemahan dari istilah tersebut. Istilah
(terminologi) asing boleh digunakan jika memang belum ada padanannya dalam
bahasa Indonesia, atau bila dirasa perlu sekali (sebagai penjelas/konfirmasi istilah,
diletakkan dalam kurung), dan diketik dengan menggunakan huruf miring.
5) Kutipan dalam bahasa asing diperkenankan namun harus diterjemahkan atau
dijelaskan maksudnya, dan ditulis dengan huruf miring (italic).

D. Rangkuman
1. Karangan ilmiah merupakan suatu karangan atau tulisan yang diperoleh sesuai
dengan sifat keilmuannya dan didasari oleh hasil pengamatan, peninjauan,
penelitian dalam bidang tertentu, disusun menurut metode tertentu dengan
sistematika penulisan yang bersantun bahasa dan isinya dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya/ keilmiahannya.
2. Sebuah karangan ilmiah memiliki karakteritik Lugas dan tidak emosional, Logis,
Efektif, dan Efisien
3. Jenis-jenis karangan ilmiah yang seringkali ditemui dan berhubungan dengan
mahasiswa adalah Makalah,Kertas kerja, Skripsi, Tesis, dan Disertasi.
4. Bahasa yang digunakan dalam karangan Ilmiah, adalah bahasa Indonesia baku.
Bahasa baku cenderung bermakna denotatif, hal ini senada dengan karangan
ilmiah yang harus bersifat lugas dan menuntut kejelasa makna.
5. penggunaan bahasa dalam karya ilmiah menuntut kecermatan pemilihan kata dan
struktur bahasanya, harus memenuhi ragam baku atau ragam standar (formal),
dan bukan bahasa informal atau bahasa pergaulan sehari-hari.

E. Pertanyaan/Diskusi
Bagian ini berisi pertanyaan sebagai bahan diskusi atau latihan untuk memperkaya
pemahaman mahasiswa

Daftar Pustaka
Alwi, Hasan, dkk. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai
Pustaka.

Arifin, E. Zaenal dan S. Amran Tasai. 2006. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta:
Akademika Pressindo.

Chaer, Abdul. 2006. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Dwiloka, Bambang dan Rati Riana. 2005. Teknis Menulis Karya Ilmiah. Jakarta: Rineka
Cipta.

Keraf, Gorys. 2001. Komposisi. Ende: Nusa Indah.

. 2002. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia


Pustaka Utama.

Muslich, Masnur dan I Gusti Ngurah Oka. 2010. Perencanaan Bahasa di Era Globalisasi.
Jakarta: Bumi Aksara.

Rahardi, Kunjana. 2009. Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Erlangga.

Ramlan, M. 1993. Paragraf: Alur Pikiran dan Kepaduannya dalam Bahasa Indonesia.
Yogyakarta: Andi Offset.

Sugono, Dendy. 1997. Berbahasa Indonesia dengan Benar. Jakarta: Puspa Swara.

Suyatno, dkk. 2017. Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi (Membangun Karakter
Mahasiswa melalui Bahasa). Bogor: In Media

Widjono HS. 2012. Bahasa Indonesi (Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan
Tinggi) Edisi Revisi. Jakarta: Grasindo.

Semua tulisan yang memiliki kaitan dengan topik perkuliahan (buku, makalah, jurnal, artikel,
dll.)

Anda mungkin juga menyukai