Disusun Oleh :
Kesy Zhulfa Kasi 2010069P
Semester 5A
71
Artikel 1
Jurnal Kedokteran Syiah Kuala ISSN: 1412-1026
Volume 17, Number 2, Agustus 2017 E-ISSN: 2550-0112
Pages: 71-74 DOI: https://doi.org/10.24815/jks.v17i2.8985
1
Dian Adi Syahputra, 2Bustanul Arifin Nawas, 2Dikki Drajat Kusmayadi
1
Divisi Bedah Anak, Bagian Ilmu Bedah, Fakultas Kedokteran, Universitas Syiah Kuala/
Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin, Banda Aceh
2
Divisi Bedah Anak, Bagian Ilmu Bedah, Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran
/Rumah Sakit Umum Dr. Hasan Sadikin, Bandung
E-mail: dianadi_bedah.anak@yahoo.co.id
Abstrak. Atresia esofagus merupakan bentuk kelainan kongenital yang memiliki tingkat mortalitas tinggi berkaitan dengan
berbagai komplikasi yang dapat muncul sebelum dan sesudah tindakan operasi definitif. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui faktor – faktor yang mempengaruhi luaran penanganan atresia esofagus. Penelitian ini adalah penelitian analitik
retrospektif dari data yang terdapat pada rekam medis pada tahun Januari 2002 hingga Agustus 2009 dari 2 rumah sakit di
Bandung, Jawa Barat. Uji Fisher's Exact Probability Test dan Kruskal Walis digunakan untuk menilai luaran masing –
masing kelompok. Pada penelitian ini terdapat 26 penderita (13 laki – laki dan 13 perempuan). Rentang usia saat penderita
datang ke rumah sakit yaitu 3 ± 1,41 hari. Berat badan lahir rata - rata adalah 2.475 ± 35,35 gram. Pada penelitian ini
terdapat hubungan yang signifikan antara keadaan sepsis pra operasi (p= 0.032) dan lama penggunaan ventilator (p= 0.022)
dengan luaran penderita atresia esofagus. Sementara tidak terdapat hubungan yang signifikan antara berat badan lahir (p=
0.11), kehadiran pneumonia (p=0.11) , kehadiran kelainan jantung bawaan (p= 0.99) dan jenis ruang rawatan (p=
0.683) terhadap luaran penderita atresia esophagus. (JKS 2017; 2: 71-74)
Abstract. Esophageal atresia is a congenital anomaly that have high mortality rate associated with complication appears
before and after definitive treatment. Analytic retrospective study to identified risk factors that influence outcome of
esophageal atresia. Data were reviewed from medical record of patients with esophageal atresia within January 2002 to
August 2009 that hospitalized in 2 hospitals in Bandung, West Java. Fisher's Exact Probability and Kruskal Walis Test
were used for the statistical analysis. There are 26 patients (13 boys and 13 girls) with average age when the patients came
to hospital is 3 ± 1,41 days old. Mean birth weight among all patients is 2.475 ± 35,35 grams. In this study, sepsis
condition before operation and lenght of using ventilator are significant to outcome with (p= 0.032) and (p= 0.022). While
birth weight, pneumonia, congenital heart disease, ward during treatment were not significant with (p= 0.11), (p=0.11),
(p= 0.99), and (p= 0.683). (JKS 2017; 2: 71-74)
Pendahuluan
Keywords : esophageal atresia, risk factors, outcome Sejarah atresia esofagus (AE) telah
dideskripsikan di berbagai literatur. Periode
sebelum tahun 1935 merupakan era presurvival.
Dengan meningkatnya angka harapan hidup,
variabel prognostik menjadi fokus perhatian.
Perkembangan perawatan intensif neonatal dan
72
anesthesia berkontribusi dalam manajemen bayi 2005)5, dan ruang perawatan sebelum operasi
“risiko tinggi” dengan AE1. Angka harapan definitive, dan lama penggunaan ventilator.
hidup bayi dengan atresia esofagus telah
meningkat tajam sejak tahun 1950 (< 40%) Analisa statistik dilakukan secara deskriptif dan
hingga saat ini mencapai 85 – 95%. Dengan analitik. Hubungan antara variabel dengan
tersedianya pelayanan intensive pada bayi, luaran penderita atresia esofagus dilakukan
maka kematian pada bayi dengan Berat Badan dengan menggunakan uji Fisher's
Lahir Rendah (BBLR) dapat ditekan. Namun Exact Probability Tes dan Kruskal Walist. Pada
tetap ada kelompok bayi dengan atresia penelitian ini menggunakan tingkat
esofagus yang memiliki harapan hidup rendah kepercayaan 95% atau nilai p < 0,05.4,6
karena disertai kelainan kongenital penyerta 1.
73
Pada penelitian ini bila menggunakan jantung bawaan bermakna terhadap luaran.
klasifikasi Spitz, maka survival rate nya yaitu Dengan menggunakan uji Kruskal Wallis maka
35% pada grup A, 40% pada grup B, dan 0% didapatkan rata – rata penggunaan ventilator
pada grup C (Tabel 1). pada kelompok yang hidup (Tabel 3) adalah 5 ±
Pada tabel 2, didapatkan bahwa sepsis pre 2,83 hari, sedangkan pada kelompok meninggal
operasi yang nilai p < 0,05, sehingga adalah 24,5 ± 21,92 hari. Diperoleh nilai p =
berpengaruh terhadap luaran atresia esophagus. 0,022 sehingga terdapat hubungan bermakna
Berdasarkan prevalence rate, perawatan di antara lama penggunaan ventilator
ruangan intensif pra operasi dan kelainan terhadapluaran.
Tabel 1. Survival Rate berdasarkan Klasifikasi Spitz
Survival
Grup Jumlah rate Hidup Persentase
(Spitz)
A 20 97% 7 35%
B 5 59% 2 40%
C 1 22% 0 0%
Tabel 2. Hubungan antara Berat Badan, Kehadiran Pneumonia, Kehadiran Kelainan Jantung Bawaan,
Jenis Ruang Rawatan dan Sepsis terhadap luaran pada penderita atresia esophagus
Variabel Luaran p Prevalence IK 95%
Hidup Meninggal rate
Berat badan >1500 gr 8 16 0,11 - -
<1500 gr 0 2
Pneumonia BP (+) 8 16 0,11 - -
BP (-) 0 2
Kelainan Jantung CHD (+) 2 3 0,99 1,4 0,30 –
Bawaan 4,98
CHD (-) 6 15
Perawatan pra NICU 4 7 0,683 1,364 0,43 –
Operasi 4,29
Bangsal 4 11
Sepsis pra operasi Sepsis (+) 3 15 0,032 0,27 0,08 –
0,854
Sepsis (-) 5 3
74
Pembahasan
Angka harapan hidup bayi dengan atresia esofagus telah meningkat tajam sejak tahun 1950 (< 40%)
hingga saat ini mencapai 85 – 95%. Dengan tersedianya pelayanan intensive pada bayi, maka kematian
pada bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dapat ditekan. 1 Prognosis pra operasi penting
dilakukan untuk memperkirakan angka harapan hidup pada penderita atresia esophagus. Saat ini
terdapat dua klasifikasi yang sering digunakan yaitu Klasifikasi Waterstone (1962) dan Klasifikasi
Spitz (1992).1,2,7 Kedua klasifikasi tersebut membandingkan keadaan pra operasi dengan luaran yang
dihasilkan sehingga dapat menentukan prognosis.
Klasifikasi Waterstone sudah jarang digunakan lagi, karena telah tersedinya pelayanan intensive care
pada bayi.2,8 Beberapa klasifikasi lain yang adalah Klasifikasi Prognosis Monteral yang
menghubungkan disfungsi pulmonal dengan lama penggunaan ventilator 9, klasifikasi Vagyu
menghubungkan antara respiratory distress dan bronkopneumonia
dengan luaran.9,10
Pada Klasifikasi Spitz, pneumonia tidak dimasukkan dalam faktor prognosis, tetapi di negara
berkembang yang tingkat pendidikan dan sosioekonomi yang masih rendah, kejadian pneumonia
sering ditemukan akibat keterlambatan diagnosis dan datang ke pusat rujukan.8,9,11. Pada penelitian ini,
pneumonia tidak signifikan (p = 0,11) menentukan luaran penderita atresia esophagus. Faktor berat
badan juga tidak signifikan secara statistik (p = 0,11) menentukan luaran penderita atresia esophagus.
Sedangkan kelainan jantung bawaan secara statistik bukan merupakan faktor yang menentukan luaran,
tetapi secara klinik (prevalance rate) merupakan salah satu faktor resiko meningkatnya mortalitas,
tetapi kematian bukan disebabkan oleh kelainan
jantung bawaan.1,12
Pada penelitian ini, berat badan dan kelainan jantung bawaan tidak signifikan secara statistik sebagai
faktor mortalitas karena kurangnya sample penelitian yang diperlukan. Oleh karena itu, diperlukan
sample yang lebih banyak lagi untuk bisa menentukan apakah berat badan dan kelainan jantung
bawaan sebagai faktor yang menentukan luaran.
Ruang perawatan pra operasi secara klinis (prevalance rate) bermakna sebagai faktor yang menetukan
luaran. Faktor ini diambil sebagai variabel dikarenakan kemajuan ilmu pengetahuan dan adanya
perawatan ruang intensive sangat menentukan angka survival rate. (1,2,8. Pada penelitian ini, dari 8
penderita yang hidup, 4 penderita (50%) dirawat di ruang intensive care saat pra operasi definitif.
Pada studi yang dilakukan Teich dan Apisarnthanarak,13,14 penggunaan ventilator lebih dari 30 hari
berpengaruh terhadap luaran yang dihasilkan. Mortalitas akan meningkat bila didapatkan pneumonia,
berat badan lahir rendah, dan premature. Pada penelitian ini, didapatkan rata – rata penggunaan
ventilator pada kelompok yang hidup adalah 5 ± 2,83 hari, sedangkan pada kelompok meninggal
75
adalah 24,5 ± 21,92 hari. Diperoleh nilai p = 0,022 sehingga terdapat hubungan bermakna antara lama
penggunaan ventilator terhadap luaran.
Kesimpulan
Pada penelitian ini, sepsis pra operasi dan lama penggunaan ventilator berpengaruh secara statistik
terhadap luaran atresia esophagus. Perawatan di ruang intensif dan kelainan jantung bawaan, secara
klinis merupakan faktor yang berpengaruh terhadap luaran
Daftar Pustaka
1. Harmon CM, Coran AG. Congenital anomalies of the esophagus. Dalam Grosfeld JL, O’neill JA, Coran
AG, Fonkalsrud EW. Pediatric surgery 6th edition. Mosby Elsevier. USA. 2006 p. 1051-1080.
2. Beasley SW. Esophageal Atresia and Tracheoesophageal Fistula. Oldham KT, Colombani PM, Foglia RP,
Skinner MA.Dalam
Principles and Practice of Pediatric Surgery, 4th Edition . Lippincott Williams & Wilkins. 2005 p. 1040-1052
3. Rokitansky AM, et al. Recent evaluation of prognostic risk factors in esophageal atresia--a multicenter
review of 223 cases. European journal of pediatric surgery. 1993-Aug; vol 3 (issue 4) : pp 196-201
4. Sastraasmoro S, Ismael S. Studi Cross Sectional. Dalam Dasar – Dasar Metodologi Penelitian Klinis edisi
ke -3. CV Sagung Seto. 2008 p. 112 – 126
5. Goldstein B, Giroir B, Randolph A. International pediatric sepsis consensus conference:Definitions for
sepsis and organ dysfunction in pediatrics. Pediatr Crit Care Med 2005 Vol. 6, No. 1
6. Dahlan, MS. Uji Fisher. Dalam Statistika Utuk Kedokteran dan Kesehatan. PT Arkansas. 2004. p. 124-127
7. Davari H, Esfandiari R, Talaei M. Surgical Luarans in Esophageal Atresia and Tracheoesophageal Fistula:
A Comparison between Primary and Delayed Repair. Journal of Research in Medical Sciences; Vol. 11,
No.1; Jan. & Feb. 2006
8. Verma RK, Nath SS, Sinha GK. Retrospective Study of Esophageal Atresia With Tracheo Esopahageal
Fistula – Three Years Experience.
Indian Journal Anaesth. 2003, 47 (2) : 111 – 115
9. Kumar P, Ojha P. Preoperative Prediction of Survival in Oesophageal Atresia: A New Approach. Indian
Journal of Surgery, Vol. 64, No. 6, Nov - Dec. 2002, pp. 511-515
10. Vagyu M. Gitter H, Richter B, et al. Esophageal atresia in Bremen, Germany-Evaluation of pre operative
risk classification in esophageal atresia. J Pediatr Surg. 2000; 35: 584-7.
11. Tandon RK, et al. Esophageal Atresia : Factors influencing Survival – Experience at Indian tertiary Centers.
J Indian Assoc Padiatric Surg / Jan – Mar 2008 / vol 13/ Isuue 1
12. Leonard H, Barrett AM, Scott JES, Wren C. The influence of congenital heart disease on survival of infants
with oesophageal atresia. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2001;85:F204–F206
13. Teich S, et al. Prognostic classification for esophageal atresia and tracheoesophageal fistula: Waterston
versus montreal. Volume 32, Issue 7, Pages 1075-1080 (July 1997)
14. Apisarnthanarak A, Holzmann-Pazgal G, Hamvas A, Olsen MA, Fraser VJ. Ventilatorassociated
pneumonia in extremely preterm neonates in a neonatal intensive care unit: characteristics, risk factors, and
luarans.
Pediatrics. 2003 Dec;112(6 Pt 1):1420-1
https://scholar.google.co.id/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=jurnal+atresia+esofagus&btnG=&rlz=#d=gs_qabs&u=%23p%3D2U5M3p-
6msAJ
76
Review Jurnal 1
Analisa statistik dilakukan secara deskriptif dan analitik. Hubungan antara variabel dengan
Subjek luaran penderita atresia esofagus dilakukan dengan menggunakan uji Fisher's
Penelitian Exact Probability Tes dan Kruskal Walist. Pada penelitian ini menggunakan tingkat
kepercayaan 95% atau nilai p < 0,05.4,6
Metode Penelitian analitik respektif yang bertujuan untuk menilai luaran anrasia esofagus di bagian
penelitian bedah.
Terdapat 5 penderita dengan kelainan jantung bawan antara lain kardiomegali yang diserta
dengan dextrocardia (n=2), Ventricle Septal Defect (n=1), PDA 4 mm (n=1),dan PDA 7 mm
Hasil dengan tricuspid dan mitral regurgitasi (n=1). Kelainan bawaan pada saluran cerna
ditemukan pada 2 pasien yaitu Malformasi Anorectal (n=1) dan Malformasi Anorctal
Penelitian dengan annulare pankreas (n=1). Jumlah penderita yang hidup setelah tindakan anastomosis
esophagus adalah 8 penderita (31 %).
Pada penelitian ini, sepsis pra operasi dan lama penggunaan ventilator berpengaruh secara
statistik terhadap luaran atresia esophagus. Perawatan di ruang intensif dan kelainan
Kesimpulan
jantung bawaan, secara klinis merupakan faktor yang berpengaruh terhadap luaran
77
Artikel 2
ABSTRACT
3-day-old neonate, given a diagnosis of esophageal atresia scope has been described. In most of the medical centers,
(EA) with tracheoesophageal fistula (TEF), which is large however, the pediatric fiberoptic scope may not be available.
and just above the carina, was scheduled for TEF repair. We present a case of a neonate undergoing type C EA/TEF
Routine anesthetic management focuses on adequate repair and describe a simple intra- operative technique that
ventilation and avoidance of gastric distension during positive could temporarily occlude the gastroesophageal junction,
pressure ventilation. Using a balloon-tipped embolectomy which allowing stable vital signs of the patient and definitive
catheter or a Fogarty catheter to block the fistula under repair of the tracheoesophageal fistula.
the guidance of fiberoptic
Keywords: Esophageal atresia (EA), tracheoesophageal fistula (TEF), repair, occlude, ligation
Cite This Article: Hanggorowati, A.D., Wiryana, M., Sinardja, K., Kurniyanta, P. 2018. Penatalaksaanaan anestesi pada koreksi
atresia esofagus.
ABSTRAK
Neonatus 3 hari, didiagnosis atresia esofagus (EA) Namun, di sebagian besar pusat kesehatan, cakupan
dengan fistula trakeoesofagus (TEF), yang berukuran serat optik anak mungkin tidak tersedia. Kami
besar dan tepat di atas carina, dijadwalkan untuk operasi menyajikan kasus bayi yang baru lahir yang menjalani
perbaikan TEF. Manajemen anestesi rutin berfokus perbaikan atresia esofagus tipe C/fistula transesofageal
pada ventilasi yang memadai dan menghindari dan menggambarkan teknik intraoperatif ligasi sederhana
distensi lambung selama ventilasi tekanan positif. Pada yang sementara dapat menutup persimpangan
beberapa kasus dikatakan dengan menggunakan gastroesofagus, yang memungkinkan tanda vital
kateter Fogarty untuk menghalangi fistula di bawah perbaikan fistula trakeoesofagus yang pasti.
panduan bronkoskopi serat optik.
Kata kunci: Atresia esofagus (EA), fistula trakeoesofagus (TEF), perbaikan, menutup, ligasi
78
Cite Pasal Ini: Hanggorowati, A.D., Wiryana, M., Sinardja, K., Kurniyanta, P. 2018. Penatalaksaanaan anestesi pada
koreksi atresia esofagus.
PPDS Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar
*
Correspondence to: Asterina Dwi Hanggorowati
PPDS Bagian Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Udayana asterina123@gmail.com
PENDAHULUAN
Atresia esofagus didefinisikan sebagai kelainan kongenital berupa gangguan kontinuitas pada lumen esofagus. Atresia
esofagus dapat disertai dengan fistula trakeoesofagus yaitu lumen peng- hubung antara bagian proksimal dan atau distal
esofagus dengan jalan nafas (trakea). Pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Gibson pada tahun 1967. Terjadi pada
2500-3000 kelahiran hidup, dua sampai tiga kali lebih sering terjadi pada anak kembar.1,2,3
Etiologi atresia esofagus merupakan multifak- torial dan masih belum diketahui dengan jelas. Adanya hubungan
atresia esofagus dengan berb- agai kelainan bawaan lainnya, menunjukkan bahwa
Bayi dengan atresia esofagus akan menun- jukkan gejala hipersalivasi dan sesak napas yang ditimbulkan akibat aspirasi
pneumonia. Ketika selang nasogastrik tidak dapat melewati esofagus maka dapat diduga adanya atresia. Pemeriksaan
radiologi memiliki peran penting dalam mendiag- nosis atresia esofagus, menegaskan atresia esofagus dengan fistula atau
tanpa fistula dan mendiagnosis anomali lainnya yang terkait dengan VACTERL.4,5 Pengetahuan dan kemampuan seorang
anestesi- ologis dalam menangani pasien-pasien dengan kelainan tersebut akan sangat memainkan peranan penting dalam
keberhasilan durante operasi. Pemahaman terhadap komplikasi yang mungk lesu ini terjadi akibat adanya gangguan
dalam terjadi dan hasil jangka panjang serta gejala si m
79
Jurnal Anestesiologi Indonesia
briogenesis, yang penyebab pastinya belum teridentifikasi .2yang muncul setelah operasi, akan
menentukan prognosis dari pasien tersebut. 1
Manajemen jalan napas perioperatif pada neonatus yang menjalani perbaikan fistula trake-
oesophageal (TEF) dapat menjadi tantangan bagi ahli anestesi. Kita perlu menempatkan
ujung pipa endotrakeal (ETT) di bawah fistula tapi di atas carina untuk memastikan
perlindungan saluran napas, ventilasi yang memadai dan menghindari dilatasi lambung
selama ventilasi tekanan positif (positive pressure ventilation/ PPV). Kesulitannya terletak
pada mempertahankan posisi ETT yang tepat selama manipulasi bedah terutama pada tipe
C, dengan atresia esofagus (EA) dan fistula besar tepat di atas carina. Untuk mencegah
dilatasi lambung pada bayi baru lahir, penerapan balon kateter embolektomi atau kateter
Fogarty dengan bantuan broncho fiberoptik dianjurkan untuk melalukan penutupan TEF.
Namun, di sebagian besar pusat medis, bronkoskop fiberop- tik anak mungkin tidak tersedia
dan prosedur ini memakan waktu lama. Ada kebutuhan mendesak untuk mencari strategi
alternatif untuk mengatasi masalah ini. Kami menghadirkan kasus bayi yang baru lahir yang
menjalani perbaikan C EA / TEF dan menggambarkan teknik intraoperatif seder- hana yang
sementara menutup fistula dan refluks yang menyebabkannya, memungkinkan tanda vital
yang stabil dari perbaikan fistula trakeoesofagus yang pasti.
ILUSTRASI KASUS
Pasien berusia 3 hari, 3010 gram, lelaki, lahir setelah usia gestasi 37 minggu dengan persalinan per
vagi- nam. Tabung nasogastrik tidak bisa dilewati ke perut, dan distensi abdomen progresif
diperhatikan. Pasien didiagnosis fistula trakeoesofagus (tipe C) dengan fistula besar (diameter 5
mm) tepat di atas carina. Tidak didapatkan anomali kongenital lain- nya. Bayi itu dijadwalkan
menjalani koreksi tinda- kan pembedahan. Anestesi umum diinduksi dengan sevofluran sampai 4%
tanpa relaksan otot. Setelah anestesi topikal dengan lidokain, pipa endotrakeal dimasukkan sampai
suara nafas terdengar baik kiri maupun kanan, yang berarti pipa ETT berada pada posisi yang tepat.
Kemudian pasien ditempatkan di posisi lateral kiri. Pembedahan dimulai dengan anestesi umum
yang dijaga dengan sevofluran. Dua dosis tambahan fentanil (0,5 μg / kg) diberikan (dosis 3 μg)
untuk suplemen anestesi perioperatif, sampai pasien tidak bereaksi terhadap thoracot- omy saat
mempertahankan respirasi otonom. Pada saat eksplorasi dan ligasi fistula, operator akan menjepit
bagian distal esofagus tepat di atas dengan bulldog clamp. Seluruh prosedur dilakukan dalam waktu
5 menit. Kemudian relaksan otot dan PPV normal diberikan. Tidak ada dilatasi lambung atau
perubahan hemodinamik yang signifikan yang terjadi selama operasi berlangsung. Pasien sembuh dan
dipulangkan satu minggu kemudian.
Kesimpulan
Atresia esofagus merupakan malformasi kongen- ital yang terjadi pada 2500-3000 kelahiran hidup.
Dua sampai tiga kali lebih sering terjadi pada anak kembar. Angka kejadian atresia esofagus di
Amerika Serikat sekitar satu pada 4500 kelahiran. Di Finlandia memiliki angka kejadiaan yang
tinggi yaitu satu pada 2440 kelahiran.2,4
Atresia esofagus lebih sering terjadi pada lelaki daripada perempuan. Walaupun beberapa kasus
bersifat sporadik, adanya riwayat keluarga dengan atresia esofagus telah dilaporkan. Sekitar 6%
bayi dengan atresi esofagus merupakan anak kembar. Orang tua yang memiliki satu bayi dengan
atresia esofagus, anak selanjutnya berisiko 0,5-2 % memi- liki atresia esofagus. Jika terdapat lebih
satu orang keluarga dengan atresia esofagus angka risiko memiliki kelainan yang sama sekitar
20%.4
Adanya hubungan atresia esofagus dengan berbagai kelainan bawaan lainnya, menunjukkan bahwa
lesi ini terjadi akibat adanya gangguan dalam embriogenesis, yang penyebab pastinya belum
teridentifikasi. Adanya gangguan organogenesis pada awal kehamilan dapat menyebabkan gangguan
perkembangan organ secara bersamaan, seperti jantung, musculoskeletal, gastrointestinal dan geni-
tourinari. Terdapat pola yang simultan dengan keja- dian atresia esofagus yang disebut sebagai
VACTERL dan CHARGE. VACTERL merupakan singkatan dari beberapa kelainan organ yaitu
vertebra, malfor- masi anorektal, malformasi cardiovascular, atresia esofagus, anomali renal dan limb
defect. CHARGE berhubungan dengan colobomata, penyakit jantung, atresia coana, retardasi mental,
hipoplasia genital dan kelainan telinga. 4,9,10,11
Etiologi atresia esofagus merupakan multifak- torial dan masih belum diketahui dengan jelas.
Kelainan kromosom seperti trisomi 18 dan 21, adanya agen infektif seperti kekurangan vitamin A
dan penggunaan dosis tinggi pil kontrasepsi yang mengandung progesteron selama kehamilan
diduga sebagai penyebab atresia esofagus. 2,4,7
Esofagus dan trakea berasal dari foregut prim- itif. Terjadi selama minggu ke empat dan kelima
perkembangan embrio. Pemisahan struktur tubular terjadi pada minggu keempat kehamilan dan
leng- kap pada 34-36 hari. Trakea sebagai divertikulum ventral dari faring primitif yaitu bagian
kaudal dari foregut. Septum trakeoesofageal berkembang pada tempat dimana lipatan
trakeoesofageal bersatu. Septum ini membagi foregut menjadi bagian ventral
https://scholar.google.co.id/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&as_vis=1&scioq=artikel+jurnal+atresia+e
sofagus&q=artikel+jurnal+atresia+esofagus&oq=#d=gs_qabs&
u=%23p%3D1PdNC780WagJ
Review Artikel 2
Subjek Perempuan yang menikah di usia dini atau belum cukup umur dan
Penelitian Anak perempuan usia 10-14 tahun yang memiliki risiko lima kali
Artikel 3
LAPORAN KASUS
ABSTRACT
Background: Esophageal atresia is a congenital medical condition (birth defect) which affects
the digestive tract. Congenital anatomical defect is caused by an abnormal embryological
development of esophageal fistula forming tracheoesofageal. Surgical repair is the definitive
treatment for EA and TEF. Due to fistula, the airway tract is altered and the anesthesiologist
should face a unique challenge on its management
Case : A baby boy, admitted to hospital with main complaint vomitus after breastfed. Physical
findings shown as crackles on breath sound. Intubation using awake technique. During
operation, hemodynamic was stable, maintanance with sevoflurane MAC 1%, fentanyl 4
µg/hr, and rocuronium 0,5 mg/hr. When desaturation occured, we stop the operation, we
check the tube in place, gave adequate ventilation, after a while the saturation rises and then
the operation procedure continued. However, anastomose of esophagus could not be done
because the distance between the defect was too far. Duration of the operation was about 4
hours. Awake intubation technique was used. Hemodynamic was stable during surgery, and
found TEF type C. After surgery patient was taken cared in NICU and 3 days later the patient
died.
Summary: Good anesthetic management using "awake intubation" and good ventilation is a
chosen technique in this case. The operation lasted 4 hours with stable hemodynamics.
However, because the operation did not successfully correct the defect, then the postoperative
outcome were futile.
ABSTRAK
Pendahuluan : Atresia esofagus adalah suatu kondisi medis bawaan ( cacat lahir ) yang
mempengaruhi saluran pencernaan . Cacat bawaan anatomi disebabkan oleh perkembangan
embrio abnormal fistula esofagus membentuk tracheoesofageal . Bedah perbaikan adalah
pengobatan definitif untuk EA dan TEF . Karena fistula , saluran napas diubah dan ahli
anestesi harus menghadapi tantangan unik pada manajemen Kasus : Seorang bayi laki-laki ,
masuk rumah sakit dengan keluhan utama muntah setelah disusui . Temuan fisik ditemukan
ronki basah kasar pada suara napas . Intubasi menggunakan teknik intubasi sadar . Selama
operasi , hemodinamik stabil , maintanance dengan sevofluran MAC 1 % , fentanil 4 mg /
jam , dan rocuronium 0,5 mg / jam . Durasi operasi adalah sekitar 4 jam . Hemodinamik
stabil selama operasi , dan menemukan TEF tipe C. Ketika desaturasi terjadi , kami
menghentikan sejenak operasi, kami memeriksa posisi ETTat , memberikan ventilasi yang
cukup , setelah beberapa saat saturasi naik dan kemudian operasi dilanjutkan . Meski
demikan anastomose esofagus gagal dilakukan karena jarak antara cacat itu terlalu jauh .
Setelah pasien operasi diambil dirawat di NICU dan 3 hari kemudian pasien meninggal.
Ringkasan: Manajemen anestesi baik menggunakan " intubasi sadar " dan ventilasi yang baik
adalah teknik yang dipilih dalam kasus ini . Operasi berlangsung 4 jam dengan hemodinamik
stabil. Namun, karena operasi tidak berhasil memperbaiki cacat tersebut , maka hasil pasca
operasi kurang baik.
atau adanya kebocoran yang luas akibat bronkoskopi melalui fistula ke esophagus.
penyegelan yang tidak mencukupi. Oklusi yang yang cukup pada fistula
Malposisi ETT juga dapat menyebabkan memperkecil kemungkinan distensi
pelebaran lambung dan aspirasi yang lambung dan memungkinkan positive
kemudian muncul, distensi lambung juga pressure ventilation (PPV)
dapat mengganggu ventilasi. Selain itu intraoperatif. 3
penyakit paru berat yang telah ada
Evaluasi adanya penyakit paru serta
sebelumnya baik dari aspirasi isi lambung
derajatnya perlu dilakukan preoperatif,
atau respirasi distress syndrome (ARDS)
khususnya untuk mencari adanya
akibat prematuritas. Patofisiologi dari
pneumonia aspirasi dan distres respirasi
anomali yang terkait, khususnya anomali
yang berkaitan dengan prematuritas.
jantung. Dan yang terakhir pertimbangan
Pemeriksaan rongent thorak dapat
prematuritas yaitu hipoglikemia,
menunjukkan adanya infiltrat.
hipokalsemi, berat lahir rendah,
apnea/bradikardi dan anemia1,3. Echocardiografi dapat mengetahui adanya
kelainan jantung mayor yang sangat
MANAJEMEN mempengaruhi survival dan akan
PREOPERATIVE berdampak pada pengelolaan anestesi.
tujuan lain adalah untuk melihat
Penegakan diagnosis fistula keberadaan arcus aorta right-sided (5%)
trakeoesofageal ditegakkan secara klinis disebelah kanan yang akan mengetahui
dan radiologis. Pada rontgen thorax, posisi dan pendekatan pembedahan
bayangan radioopak orogastic tube dapat dilakukan pada sisi yang berlawanan
terlihat di proksimal esophagus, dengan arcus aorta. Posisi left lateral
sedangkan pada pemeriksaan foto polos decubitus untuk torakotomi kanan
abdomen dapat menunjukkan adanya (torakotomi kiri untuk situs inversus).
udara dalam usus yang masuk melalui Pemeriksaan foto vertebra harus
fistel. Resiko aspirasi dapat terjadi pada dilakukan untuk menyingkirkan
penggunaan kontras untuk memeriksaan abnormalitas vertebra terutama bila
fistel sehingga hanya dilakukan bila direncanakan untuk pengelolaan nyeri
disgnosis belum jelas. Idealnya pemberian secara epidural. USG ginjal dilakukan
kontras dilakukan dengan bantuan untuk menyingkirkan abnormalitas seperti
bronkoskopi sehingga adanya aspirasi hidronefrosis. Pemeriksaan laboratorium
dapat segera diketahui. Pemeriksaan ini yang dilakukan adalah darah lengkap,
hanya bisa dilakukan bila bayi sudah analisa gas darah arteri dan elektrolit serta
cukup stabil dan dapat ditransfer ke ruang pengambilan sampel untuk pemeriksaan
tindakan. 2 golongan darah untuk cross-macth.
Koreksi asidosis respiratorik dan metabolik
Bronkoskopi rigid secepatnya sebelum yang terjadi,target yang akan dicapai
koreksi pembedahan sangat berguna adalah pH >7,4 dan PaCO2 < 30 mmHg 8
untuk mengkonfirmasi diagnosis dan
posisi fistula. Hal tersebut juga Antibiotik untuk terapi aspirasi
memungkinkan oklusi fistula dengan balon pneumonia harus diberikan secara tepat.
kateter Fogarty, yang dipasang dengan Ampixillin dan gentamisin dapat
diberikan sebagai profilaksis pada pasien mediastinum. Bila terjadi distress nafas
yang memiliki resiko pada jantung. atau sianosis, maka harus segera dilakukan
Untuk mengurangi resiko aspirasi dapat intubasi sadar (awake intubation) dan
dilakukan dengan cara : menghentikan kontrol nafas dengan relaksan dan sedasi.
pemberian makan secara oral (NPO), bayi Usahakan tercapai saturasi oksigen 95-
diposisikan semi-upright dan 98%.
kantung esophagus atas lendirnya di Penempatan ETT yang cukup dengan
suction terus menerus.2,3 ujung melampaui pembukaan fistula pada
trakhea diatas carina, setiap perubahan
Bila terjadi distress pernafasan dan posisi pasien (misalnya supinasi ke lateral)
hipoksemia muncul sebelum operasi tanpa penempatan ETT harus selalu diperiksa
etiologi yang jelas (sebagian besar ulang karena antara fistula, tepi ETT dan
disebabkan karena aspirasi) karina jaraknya pendek, hal ini dilakukan
maka intubasi trachea merupakan pilihan untuk menghindari distensi yang masif
yang harus segera dilakukan dan ventilasi dan ruptur lambung dan nafas
dipertahankan tetap spontan sampai
mekanik mungkin diperlukan. Kegagalan
fistula diligasi atau gastrostomi selesai.2,3,8
nafas dapat diakibatkan oleh aspirasi
pulmoner, ARDS, distensi lambung atau Akses vena perifer dan centralis melalui v.
gagal jantung kongestif, EET harus hatihati Jugularis interna atau subclavia. Cairan
dipasang untuk menghindari distensi infus yang diberikan harus mengandung
lambung dan aspirasi. Oksigenasi yang gula selama operasi. D10/0,2 NS diberikan
cukup dan ventilasi serta menghindari intravena dengan menggunakan infus
distensi lambung. NG-tube yang dikontrol dengan baik untuk
dengan ukuran sebesar mungkin (10Fr) menghindari terjadinya hipoglikemia.
Insensible water losses diperkirakan 3-4
untuk menghindari distensi lambung,
mL/kg/ jam dan diganti dengan cairan
karena bila terjadi distensi akan
isotonik. Urin output normalnya 1
mengakibatkan tekanan aliran udara tinggi mL/kg/jam namun akan sulit bila bayi
yang akan menurunkan functional residual berat lahir normal.
capacity (FRC) sehingga dapat terjadi
gangguan ventilasi, oksigenasi dan Hypothermia akan meningkatkan
meningkatkan kemungkinan aspirasi. konsumsi oksigen, temperatur lingkungan
dipertahankan tepat yaitu 30 C- 40 C.
Lakukan penghisapan pipa lambung
Ruang operasi harus dijaga
secara kontinyu.
kehangatannya, begitu juga dengan cairan
irigasi bedah dan darah harus dihangatkan
Berikan oksigen sungkup 100% , nafas
sebelum digunakan, hal ini sangat penting
spontan. Jangan lakukan ventilasi positif
karena neonatus sangat beresiko
dengan face-mask, karena akan
terjadinya hipotermi. Untuk mengurangi
menyebabkan distensi lambung rangsangan simpatis dapat digunakan
dan memperberat kompresi paru ipsi opioid (fentanyl)1,2.5
maupun kontralateral serta kompresi