Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penglihatan merupakan hadiah yang tidak ternilai yang diberikan oleh Tuhan.
Mata memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan. Saat ini, terdapat banyak
gangguan/penyakit pada mata.
Setiap 5 detik ditemukan 1 orang di dunia menderita kebutaan. Diperkirakan oleh
WHO terdapat lebih dari 7 juta orang menjadi buta setiap tahun. Saat ini diperkirakan
180 juta orang di seluruh dunia mengalami gangguan penglihatan, dari angka tersebut
terdapat antara 40-45 juta menderita kebutaan dan 1 diantaranya terdapat di South East
Asia. Oleh karena populasi yang terus bertambah dan oleh faktor usia, jumlah ini
diperkirakan akan bertambah 2 kali lipat di tahun 2020. Hal tersebut mempengaruhi
kualitas kehidupan dan status sosial-ekonomi dan menjadikan ekonomi bangsa terletak di
level rendah. Presentasi kebutaan mempengaruhi kontribusi ekonomi penduduk dalam
grup usia 50-65 tahun dan hasil kerja oleh karena ekonomi sosial pada keluarga.

Kondisi kesehatan mata di Indonesia, gambar bagan persentasi kebutaan di


Negara South East Asia di Indonesia. Dan salah satunya yang akan dibahas disini adalah
salah satu gangguan penglihatan pada mata yaitu rblasio retina. Penyakit ini merupakan
penyakit gawaat darurat, penderita tidak boleh terlalu banyak bergerak agar tidak
memperparah kondisi mata.
Ablasio retina terjadi bila ada pemisahan retina neurosensori dari lapisan epitel
bergpigmen retina dibawahnya karena retina neurosensori, bagian retina yang
mengandung batang dan kerucut, terkelupas dari epitel berpigmen member nutrisi, maka
sel fotosensitif ini tak mampu melakukan aktivitas fungsi visualnya dan berakibat
hilangnya penglihatan (C. Smelzer, Suzanne, 2002).
Insiden ablasio retina di Amerika Serikat adalah 1:15.000 populasi dengan
prevalensi 0,3%. Sumber lain menyatakan bahwa insiden ablasio retina di Amerika
Serikat adalah 12,5:100.000 kasus per tahun atau sekitar 28.000 kasus per tahun. Secara
internasional, faktor penyebab ablasio retina terbanyak adalah miopia 40-50%, operasi
katarak (afakia, pseudofakia) 30-40%, dan trauma okuler 10-20%. Ablasio retina lebih
banyak terjadi pada usia 40-70 tahun, tetapi bisa terjadi pada anak-anak dan remaja lebih
banyak karena trauma. Ablasio retina regmatogenosa merupakan ablasio retina yang
paling sering terjadi. Sekitar 1 dari 10.000 populasi normal akan mengalami ablasio
retina regmatogenosa. Kemungkinan ini akan meningkat pada pasien yang telah
menjalani operasi katarak, terutama jika operasi ini mengalami komplikasi kehilangan
vitreus, baru mengalami trauma mata berat.
Prevalensi meningkat pada beberapa keadaan miopi, afaksia dan trauma. Survei
berbasis populasi paada insiden ablasio retina di negara berkembang masih jarang dan
sedikit yang diketahui mengenai insiden ablasio retina. Bila tidak segera dilakukan
tindakan, lepasnya retina akan mengakibatkan cacat penglihatan atau kebutaan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari deskripsi latar belakang diatas, maka dapat ditarik suatu rumusan
masalah yag akan dibahas dalam makalah ini adalah asuhan keperawatan kegawat
daruratan sistem penglihtan yaitu ablasio retina.
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka yang
menjadi tujuan umum dari penulisan ini adalah untuk mengetahui asuhan
keperawatan kegawat daruratan sistem penglihatan yaitu ablasio retina.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengertian dari ablasio retiana.
b. Untuk mengetahui etiologi dari ablasio retina.
c. Untuk mengetahui manifestasi dari ablasio retina.
d. Untuk mengetahui patofisiologi dari ablasio retina.
e. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari ablasio retina.
f. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari ablasio retina.
g. Untuk mengetahui asuhan keperawatan dari ablasio retina.

D. Manfaat Penulisan
Dalam penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:
1. Institusi Pendidikan
Merupakan salah satu sumber informasi, bacaan serta acuan tentang pengetahuan
tentang asuhan keperawatan kegawat daaruratan pada pasien dengan ablasio retina.
2. Mahasiswa
Dapat membantu para mahasiswa untuk lebih memahami tentang asuhan keperawatan
kegawat daruratan sistem penglihatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Mata

1. Kornea
Kornea adalah jaringan berbentuk kubah transparan yang membentuk
bagian paling depan mata Anda. Kornea berfungsi sebagai jendela dan sebagai
jalan masuk cahaya ke mata Anda. Berkat kornea, mata Anda juga memulai
proses untuk mengatur proses sinar cahaya agar bisa melihat kata-kata dan
gambar secara jelas.
2. Iris dan Pupil
Iris dan pupil adalah bagian dari anatomi mata yang saling berhubungan
satu sama lain. Iris adalah membran berbentuk cincin di dalam mata yang
mengelilingi lubang di tengahnya. Nah lubang di tengahnya itulah yang disebut
dengan pupil. Pupil merupakan otot yang bisa tertutup dan terbuka atau mengecil
dan membesar.
Iris berfungsi mengatur sejumlah cahaya yang masuk ke mata dan
menyesuaikan dengan bukan pupil. Ketika diterpa cahaya terang, iris akan
menutup (atau menyempit) dan membuat pupil terbuka lebih kecil untuk
membatasi jumlah cahaya yang masuk ke mata Anda. Selain itu, irislah yang
menentukan warna mata Anda. Orang dengan mata cokelat memiliki iris
berpigmen tinggi, sementara orang dengan mata biru atau ringan memiliki iris
dengan pigmen yang sedikit.
3. Lensa
Lensa adalah sebuah jaringan transparan dan lentur yang terletak tepat di
belakang iris dan pupil. Ini adalah salah satu bagian kedua dari mata Anda, setelah
kornea. Fungsi lensa adalah membantu memusatkan cahaya dan gambar pada
retina Anda. Karena lensa mata ini lentur dan elastis, maka bentukanya bisa
berubah jadi melengkung dan fokus pada objek di sekitar, orang yang berada di
dekatnya atau dari kejauhan. Lensa ini memberikan 25-35 persen kekuatan fokus
mata Anda. Seiring bertambahnya usia, salah satu bagian penting dari anatomi
mata ini bisa kehilangan elastisitasnya serta kemampuan menangkap objek secara
fokus. Hal ini biasa disebut sebagai presbiopia atau mata tua, yaitu gangguan
penglihatan yang banyak dialami orang lanjut usia.
4. Retina dan Makula
Retina adalah sebuah jaringan yang peka terhadap cahaya. Retina ini
melapisi permukaan bagian dalam mata. Sel di retina bisa mengubah cahaya
masuk menjadi impuls listrik. Impuls listrik ini dibawa oleh saraf optik (yang
menyerupai kabel televisi Anda) ke otak, yang akhirnya menafsirkannya sebagai
gambar atau objek yang Anda lihat. Sedangkan makula adalah area sensitif kecil
di tengah retina yang memberikan penglihatan sentral yang jelas. Fovea terletak di
pusat makula dan fungsinya untuk memberikan penglihatan detail yang paling
tajam di mata Anda.

B. Defenisi
Ablasio retina adalah suatu penyakit dimana lapisan sensorik dari retina lepas.
Lepasnya bagian sensorik retina ini biasanya hampir selalu didahului oleh
terbentuknya robekan atau lubang didalam retina, lepasnya lapisan saraf retina dari
epitalium. Ini merupakan penyakit mata gawat darurat, penderita mengeluh ada kabut
dilapang pandangnya secara mendadak seperti selubung hitam.
Ablasio retina merupakan lepasnya retina, suatu membran yang mengandung
pembuluh darah yang terletak diantara retina dan sclera (bagian putih mata) menurut
Joyce. M Black. Sedangkan menurut Donna D. Ignativicius ablasio retina adalah
pelepasan retina dari lapisan epitalium neurosensoris retina dan lapisan epithelia
pigmen retina. Ablasio retina juga diartikan sebagai terpisahnya khoroid di daerah
posterior mata yang disebabkan oleh lubang pada retina, sehingga mengakibatkan
kebocoran cairan, sehingga antara khoroid dan retina kekurangan cairan menurut
Barbara L. Christensen, 1991.
Ablasio retina adalah lepasnya retina pada tempatnya, kejadian ini serupa
dengan wallpaper yang terkelupas dari dinding. Hal ini diawali oleh robeknya retina
yang diikuti menyusupnyaa cairan pada robekan tersebut. Cairan tersebut akan
menyusup terus diantara retina dan dinding bola mata yang berakibat terlepasnya
retina. Retina yang terlepas ini dapat menyebabkan kehilangan penglihatan secara
permanen. Ada tiga klasifikasi ablasio retina yaitu:
1. Ablasi retina regmatogenosa
Pada ablasi ini terjadi akibat adanyarobekan pada retina sehingga cairan
masuk ke belakang antara sel pigmen epitel dan retina. Terjadi
pendorongan retina oleh badan kaca cair yang masuk melalui robekan atau
lubang pada retina ke rongga subretina sehingga mengapungkan retina dan
terlepas dari lapis epitel pigmen koroid.
Ablasi ini terjadi pada mata yang mempunyai faktor predisisposisi untuk
terjadi ablasi retina. Trauma hanya merupakan faktor pencetus untuk
terjadinya ablasi retina pada mata yang berpotensi. Gejala yang timbul
adalah terdapatnya gangguan penglihatan kadaang-kadang terlihat sebagai
tabir yang menutup. Terdapatnya pijaran api (fotopsia) pada lapang
penglihatan. Ablasi retina yang berlokalisasi di daerah superotemporal
sangat berbahaya karena dapat mengangkat macula. Penglihatan akan
turun secara akut pada ablasi retina bila dilepasnya retina mengenai
macula lutea. Pada pemeriksaan fundoskopi akan terlihat retina yang
terangkat berwarna pucat dengan pembuluh darah diatasnya dan terlihat
adanya robekan retina dan terlihat adanya robekan retina berwarna merah.
Bila bola mata bergerak akan terlihat retina yang lepas bergoyang.
Kadang-kadang terdapat pigmen di dalam badan kaca. Pada pupil terpadat
adanya defek eferen pupil akibar penglihatan menurun.
2. Ablasi retina eksudatif
Ablasi ini terjadi akibat tertimbulnya eksudat di bawah retina dan
mengangkat retina. Penimbunan cairan subretina sebagai akibat keluarnya
cairan dari pembuluh darah retina dan koroid. Hal ini disebabkan penyakit
koroid, kelaianan ini dapat terjadi pada skleritis, koroiditis, tumor
retrobulbar, radang uvea, idiopati, toksemia gravidarum. Cairan di bawah
retina tidak dipengaruhi oleh posisi kepala. Permukaan retina yang
terangkat terlihat cincin. Penglihatan dapat berkurang dari ringan sampai
berat. Ablasi ini dapat hilang sampai menetap sampai bertahun-tahun
setelah penyebabnya berkurang atau hilang.
3. Ablasi retina traksi (tarikan)
Pada ablasi ini lepasnya jaringan retina terjadi akibat tarikanjaringan parut
pada badan kaca yang akan mengakibatkan ablasi retina dan penglihatan
turun tanpa rasa sakit. Pada badan kaca, terdapat jaringan fibrosis yang
dapat disebabkan diabetes mellitus, trauma, dan perdarahan badan kaca
dilakukan dengan melepaskan tarikan jaringan parut atau fibrosis didalam
badan kaca dengan tindakan vitrektomi.
C. Etiologi

Asam hyaluronic dalam vitreous menahan air dan menjaga fibril kolagen yang tidak
larut terdispersi dalam matriks gel.
A: Dengan penuaan, perubahan asam hialuronat menyebabkan kantong cairan cair,
meninggalkan fibril kolagen mengembun menjadi bundel serat yang lebih besar,
yang muncul sebagai floaters kronis.
B: Kantong cairan vitreous bergabung untuk membentuk ruang yang lebih besar.
Cacat di korteks vitreus membiarkan cairan ke dalam pesawat antara korteks vitreus
dan retina, memulai detasemen vitreus posterior.
C: Vitreous yang mengempiskan traksi mekanik pada retina dan saraf optik, yang
dapat dianggap sebagai lampu yang berkedip; kondensasi vitreous di sekitar saraf
optik dapat muncul sebagai floater berbentuk sabit (cincin Weiss). Traksi vitreous
dapat menyebabkan avulsi pembuluh darah atau pembentukan retina.
D: Cairan memasuki ruang subretinal melalui retina dan retinal detachment
berkembang.

Ablasi dapat terjadi secara spontan atau sekunder setelah trauma. Akibat adanya
robekan pada retina, cairan masuk ke belakang atau mendorong retina (regmatogen),
atau terjadi penimbunan eksudat dibawaah retina terangkat (nonregmatogen) atau
tarikan jaringan parut pada badan kaca (traksi). Penimbunan eksudat terjadi akibat
penyakit koroid, misalnya yang terjdi pada skleretitis, koroidititis, tumorretrobulbar,
uveitis dan toksemia gravidarum. Jaringan parut pada badan kaca dapat disebabkan
diabetes mellitus prolefiratif, trauma, infeksi atau pascabedah.
Faktor predisposisi
Yaitu mata dengan myopia tinggi, pasca retinitis, ekstraksi katarak, dan retina yang
memperlihatkan degenerasi di perifer.

D. Patofisiologi
Ablasio retina regmatogenesa terjadi akibat robekan atau lubang pada lapisan
neuronal. Keadaan tersebut biasanya terjadi pada pasien berusia lebih dari 45
tahun dan lebih sering terjadi pada laki-laki dari pada perempuan. Hal tersebut
dihubungkan dengan myopia degenerative, degenerasi lattice, riwayat
pembedahan katarak dan trauma. Ablasio eksudatif disebabkan oleh kondisi di
retina dan koroid yang yang merusak sawar darah-retina. Keadaan yang
menyebabkan ablasio retina jenis ini meliputi oklusi vena retina sentral, edema
papil, hipertensi, toksemia gravidarum, glomerulonefritis, vaskulitis, dan tumor
koroid. Ablasio retina traksi merupakan akibat dari pembentukan pita fibrosa pada
viterus. Kontraksi pita menarik menjauh retina dan epitel retina berpigmen.
Pathway

Inflamasi untraokuler/ timor Perubahan degenerative dalam


ina
viterus

Konsentrasi asam
hidlorunat

Peningkatan cairan eksudat

Vitreus menjadi makin cair

Tarikan retina Vitreus kolaps dan


bengkak ke depan

Robekan retina MK: resiko infeksi

Sel-sel retina dan


darah terlepas

Retina terlepas dari


epitel berpigmen

MK: Penurunan tajam pandang sentral ditandai dengan:


gangguan
persepsi -floater dipersepsikan sebagai titik-titik hitam kecil
penglihatan
-bayangan berkembang/ tirai bergerak di lapag pandang
E. Manifestasi Klinis
Ablasio retina dapat didahului oleh gejala ablasio vitreous posterior, termasuk
floater cahaya berkilat. Dengan onset ablasio retina itu sendiri pasien menyadari
perkembangan progresif defek lapang pandang, yang sering dideskripsikan sebagai
bayangan atau tirai. Progresi dapat cepat bila terdapat ablasio superior. Jika macula
terlepas maka terjadi penurunan tajam penglihatan bermakna.
Retina yang mengalami ablasio dapat dilihat dari oftalmoskop sebagai
membrane abu-abu merah muda yang sebagian menutupi gambaran vascular koroid.
Jika terdapat akumulasi cairan bermakna pada ruangan subretina, didapatkan
pergerakan undulasi retina ketika mata bergerak. Satu robekan pada retina terlihat
agak merah muda karena tabir yang menutupi penglihatan dan seperti melihat pijaran
api. Penglihatan menurun secara bertahap sesuai daerah mana yang terkena.
Penglihatan sentral akan terganggu setelah macula terkena dan biasanya tidak nyeri.

F. Penatalaksanaan
Pasien dirujuk segera ke dokter spesialis mata. Terapi ditujukan untuk menghindari
robekan lebih lanjut dengan memperhatikan penyebabnya.
1. Tirah baring, dan aktivitas diabatasi.
2. Bila kedua mata dibalut, perlu bantuan orang lain untuk mencegah cidera.
3. Jika terdapat gelombang udara di dalam mata, posisi yang dianjurkan harus
dipertahankan sehingga gas mampu memberikan tamponade yang efektif pada
robekan retina.
4. Pasien tidak boleh berbaring terlentang.
5. Dilatasi pupil harus dipertahankan untuk mempermudah pemeriksaan pasca
operasi.
a) Prosedur laser
Untuk menangani ablasio retina eksudat sehubungan dengan proses yang
berhubungan dengan tumor atau inflamasi yang menimbulkan cairan
subretinatanpa robekan retina.
A: Dalam operasi scleral buckle, retinal break dirawat dengan cryotherapy
atau terapi laser, dan eksplan (biasanya band atau strip silikon) dijahit pada
permukaan luar sclera untuk mengindentasi dinding globe. Ini mengganggu
aliran cairan melalui istirahat, memungkinkannya untuk menutup. Cairan
subretinal dikeringkan melalui sklerotomi kecil atau dibiarkan terserap ke
koroid.
B: Pendekatan vitrektomi melibatkan pencabutan vitreous melalui sclerotomi
yang dibuat di pars plana. Cairan subretinal terkuras secara internal, dan
terapi laser atau cryotherapy diterapkan di sekitar retina retakan diratakan.
Rongga vitreous diisi dengan tamponade (biasanya gas tetapi kadang-kadang
minyak silikon) untuk menahan retina di tempat sementara jaringan parut
berkembang di sekitar istirahat. Dalam beberapa kasus, pneumatic retinopexy
mungkin kurang invasif: gelembung gas disuntikkan ke dalam rongga
vitreous, dan kepala pasien diposisikan untuk menempatkan gelembung pada
retina break; setelah retina diratakan, istirahat dapat diobati dengan terapi
laser atau cryotherapy.

b) Pembedahan
Retinopati diabetika/ trauma dengan perdarahanvitreus memerlukan vitreus
untuk mengurangi gaya tarik pada retina yang ditimbulkan. Pelipatan
(bucking) sclera merupakan prosedur bedah primer untuk melekatkan kembali
retina.
c) Krioterapi transkleral
Dilakukan pada daerah sekitar tiap robekan retina menghasilka tiap adhesi
karioretina yang melipat robekan sehingga cairan vitreus tak maampu lagi
memasuki subretina.
Sebuah/beberapa silicon (pengunci) dijahitkan dan dilipatkan di dalam sclera,
secara fisik akanmelipat sclera, koroid, dan lapisan fotosensitif ke epitel
berpigmen, menahan robekan ketika retina dapat melekat kembali ke jaringan
pendukung dibawahnya, maka fungsi fisiologisnya normalnya dapat
dikembalikan (C. Smelzer, Suzzane, 2012).

G. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan oftalmologi
a) Pemeriksaan visus
Dapat terjadi penurunan tajam penglihatan akibat terlibatnya macula lutea ataupun
terjadi kekeruhan media penglihatan atau badan kaca yang menghambat sinar masuk.
b) Pemeriksaan lapangan pandang
Lapang pandang seperti tertutup tabir dan dapat terlihat skotoma relative sesuai
dengan kedudukan ablasio retina. Pada lapangan pandang akan terlihat pijaran api
seperti halilintar kecil dan fotopsi.
2. Pemeriksaan funduskopi
Cara terbaik untuk mendiagnosis ablasio retina dengan menggunakan binokuler indirek
oftamoskopi. Pada pemeriksaan ini ablasio retina dikenali dengan hilangnya reflex fundus
dan pengangkatan retina. Retina tampak keabu-abuan yang menutupi gambaran vaskuler
koroid. Jika terdapat akumulasi caairan bermakna pada ruang subretina, didapatkan
pergerakan undulasi retina ketika mata bergerak. Suatu robrkan pada retina terliht agak
merah muda karena terdapat pembuluh koroid dibawaahnya. Mungkin didapatkan debris
terkait pada vitreusnya yang terdiri dari darah dan pigmen dapat ditemukan mengambang
bebas.
3. Pemeriksaan penunjang
a) Pemeriksaan laboratorium
Ini dilakukan untuk mengetahui apakah pasien memiliki penyakit peneyerta antara
lain: glukoma, diabetes mellitus, maupun kelainan darah.
b) USG
Ocular B-scan ultrasonografi juga digunakan untuk mendiagnosis ablasio retina dan
keadaan paatologis lain yang menyertainya seperti poliverative vitreoretinopati,
benda asing intraocular.
c) Tes refraksi
d) Respon reflex pupil
e) Tekanan intraokuler

H. Komplikasi
1. Komplikasi awal setelah pembedahan:
a) Peningkatan tekanan intraocular
b) Glukoma
c) Infeksi
d) Kegagaalaan pelekatan retina
e) Abalsio retina berulang
2. Komplikasi lanjut
a) Infeksi
b) Vitreo retenpati proliveralif (jaringan parut yang mengenai retina)

Jika abalasio retina mengenai macula, peluang mendapaatkan kembali penglihatan sangat
berkurang. Abalasio retina rekuren membawa resiko ablasio membrane subretina dan
abalsio traksional skunder.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Data identitas pasien
a) Data biografi
Meliputi nama, umur untuk menegtahui kejadian pada usia keberapa, jenis
kelamin untuk membandingkan angka kejadian antara laaki-laki dan
perempuan, pekerjaan untuk mengrtahui apakah pasien sering
menggunakan tenaga secara berlebihan atau tidak.
b) Keluhan utama
Pada pengkajiaan ini yang perlu dikaji adanya keluhan pada penglihatan
seperti:
- Penglihatan kabur
- Melihat kilatan-kilatan kecil
- Adanya tirai hitam yang menutupi area penglihatan
- Adanya penurunan tajam penglihatan
c) Riwayat penyakit terdahulu
Adakah riwayat penyakit dahulu yang diderita pasien yang berhubungan
dengan adanya ablasio retina seperti miopi tinggi, trauma mata dan
retinopati.
d) Riwayat penyakit keluarga
Adakah anggota keluarga yang mengalami penyakit seperti yang dialami
pasien dan miopi tinggi.
2. Persepsi dan penanganan kesehatan
a) Tanyakan gambaran terhadap sakit yang dirasakan klien, penyebabnya,
dan penanganan yang dilakukan.
b) Tanyakan apa dan bagaimana tindakan yang dilakukan pasien dalam
menjaga kesehatannya
c) Tanyakan kepada pasien apakah ia memiliki kebiasaan merokok, alcohol.
3. Pola nutrisi dan metabolik
a) Tanyakan pada pasien apakah memiliki riwayat alergi.
b) Tanyakan pada pasien makanan apa yang sering ia makan dan berapa kali
sehari.
4. Pola eliminasi
a) Tanyakan pada pasien bagaimana kebiasaan defekasi dan eliminasinya.
b) Tanyakan pada pasien apakah ada gangguan selama proses defekasi dan
eliminasinya.
5. Pola tidur dan istirahat
a) Kaji berapa lama tidur, kebiasaan disaat tidur dan gangguan selama tidur
b) Kaji bagaimana pasien melakukan aktivitas sehari hari lainya.
6. Kognitif dan persepsi
a) Kaji status mental dan bicara pasien,
b) Tanyakan apakah pasien mengalami kesulitan dalam mendengar dan
melihat.
7. Pola hubungan dan peran
a) Bagaimana hubungan pasien dengan keluarga dan lingkungan sekitar
b) Tanyakan apakah peran pasien dalam keluarga dan masyarakat.
8. Konsep diri
a) Bagaimana body image, harga diri, ideal diri dan identitas pasien.
b) Apakah ada perasaan negative pada dirinya dan bagaimana pasien
menyikapi kondisinya
9. Pola penanggulaangan stress
a) Bagaimana pasien memecahkaan masalah yang dihadapi dan stressor yang
paling sering muncul pada diri psien.
10. Nilai kepercayaan
a) Tanyakan agama klien dan bagaimana pengaruh agama paada kehidupan
sehari-hari pasien.
11. Pemeriksaan Fisik
- status kesehatan umum
- tanda-tanda vital paisen
- pemeriksaan mata berdasarkan segmen
B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan luka post operasi ablasio
retina.
2. Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan adanya luka operasi.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan bed rest total.
4. Ansietas berhubungan dengan ancaman penglihatan penglihatan
5. Resiko cedera berhubugan dengan penurunan tajam penglihatan.

C. Intervensi Keperawatan
Preoperasi

No Diagnosa keperawatan NIC NOC


1 Resiko cedera bd penurunan -klien terbebas dari -sediakan
trajam penglihatan cedera lingkungan yang
- klien mampu aman untuk klien
menjelaskan cara -menghindarakan
mncegah injury klien dari lokasi
- mampu memodifikasi berbahaya
gaya hidup untuk -menyediakan
mencegah injury tempat tidur yang
-menggunakan fasilitas nyaman dan
kesehatan yang ada bersih
-memberikan
penerangan yang
cukup
2 Ansietas bd ancaman -ansietas berkurang
kehilangan penglihatan dengan klien mampu
mengontrol ansietas
-menunjukan
kemampuan untuk
berfokus
Polkinghorne PJ, Craig JP. Northern New Zealand rhegmatogenous retinal detachment
study: epidemiology and risk factors. Clin Experiment Ophthalmol 2004;32:159-63

Anda mungkin juga menyukai