MUNGKIN tidak ada objek astronomi yang sepopuler lubang hitam (black hole). Di dalam
arena diskusi dengan masyarakat luas di setiap kesempatan, pertanyaan mengenai objek
eksotik yang satu ini seakan tidak pernah lupa untuk dilontarkan. Siapa sangka, istilah yang
pertama kali diberikan oleh John Archibald Wheeler pada 1969 sebagai ganti nama yang
terlalu panjang, yaitu completely gravitational collapsed stars, ini menjadi sedemikian akrab
di kalangan awam sekalipun?
Bila kita mencoba menggelindingkan sebuah bola pingpong di atas hamparan lembaran
karet tersebut, bola akan bergerak lurus dengan hanya memberi sedikit tekanan pada
lembaran karet. Sebaliknya, bila kita letakkan bola biliar yang massanya lebih besar (masif)
dibandingkan bola pingpong, akan kita dapati lembaran karet melengkung dengan
cekungan di pusat yang ditempati oleh bola biliar tersebut. Semakin masif bola yang kita
gunakan, akan semakin besar tekanan yang diberikan dan semakin dalam pula cekungan
pusat yang dihasilkan pada lembaran karet.
Sudah menjadi pengetahuan publik bila gerak Bumi dan planet-planet lain dalam tata surya
mengorbit Matahari sebagai buah kerja dari gaya gravitasi, sebagaimana yang telah
dibuktikan oleh Isaac Newton pada tahun 1687 dalam Principia Mathematica-nya. Melalui
persamaan matematika yang menjelaskan hubungan antara kelengkungan ruang dan
distribusi massa di dalamnya, Einstein ingin memberikan gambaran tentang gravitasi yang
berbeda dengan pendahulunya tersebut. Bila sekarang kita menggulirkan bola yang lebih
ringan di sekitar bola yang masif pada lembaran karet di atas, kita menjumpai bahwa bola
yang ringan tidak lagi mengikuti lintasan lurus sebagaimana yang seharusnya, melainkan
mengikuti kelengkungan ruang yang terbentuk di sekitar bola yang lebih masif. Cekungan
yang dibentuk telah berhasil "menangkap" benda bergerak lainnya sehingga mengorbit
benda pusat yang lebih masif tersebut. Inilah deskripsi yang sama sekali baru tentang
penjelasan gerak mengorbitnya planet-planet di sekitar Matahari a la relativitas umum.
Dalam kasus lain bila benda bergerak menuju ke pusat cekungan, benda tersebut tentu
akan tertarik ke arah benda pusat. Ini juga memberi penjelasan tentang fenomena jatuhnya
meteoroid ke Matahari, Bumi, atau planet-planet lainnya.
Radius kritis
Melalui persamaan matematisnya yang berlaku untuk sembarang benda berbentuk bola
sebagai solusi eksak atas persamaan medan Einstein, Schwarzschild menemukan bahwa
terdapat suatu kondisi kritis yang hanya bergantung pada massa benda tersebut. Bila jari-
jari benda tersebut (bintang misalnya) mencapai suatu harga tertentu, ternyata
kelengkungan ruang-waktu menjadi sedemikian besarnya sehingga tak ada satupun yang
dapat lepas dari permukaan benda tersebut, tak terkecuali cahaya yang memiliki kelajuan
300.000 kilometer per detik! Jari-jari kritis tersebut sekarang disebut Jari-jari Schwarzschild,
sementara bintang masif yang mengalami keruntuhan gravitasi sempurna seperti itu, untuk
pertama kalinya dikenal dengan istilah lubang hitam dalam pertemuan fisika ruang angkasa
di New York pada tahun 1969.
Untuk menjadi lubang hitam, menurut persamaan Schwarzschild, Matahari kita yang berjari-
jari sekira 700.000 kilometer harus dimampatkan hingga berjari-jari hanya 3 kilometer saja.
Sayangnya, bagi banyak ilmuwan kala itu, hasil yang diperoleh Schwarzschild dipandang
tidak lebih sebagai sebuah permainan matematis tanpa kehadiran makna fisis. Einstein
termasuk yang beranggapan demikian. Akan terbukti belakangan, keadaan ekstrem yang
ditunjukkan oleh persamaan Schwarzschild sekaligus model yang diajukan fisikawan
Amerika Robert Oppenheimer beserta mahasiswanya, Hartland Snyder, pada 1939 yang
berangkat dari perhitungan Schwarzschild berhasil ditunjukkan dalam sebuah simulasi
komputer.
Bagaimana proses fisika hingga terbentuknya lubang hitam? Bagi mahasiswa tingkat
sarjana di Departemen Astronomi, mereka mempelajari topik ini di dalam perkuliahan
evolusi Bintang. Waktu yang diperlukan kumpulan materi antarbintang (sebagian besar
hidrogen) hingga menjadi "bintang baru" yang disebut sebagai bintang deret utama (main
sequence star), bergantung pada massa cikal bakal bintang tersebut. Makin besar
massanya, makin singkat pula waktu yang diperlukan untuk menjadi bintang deret utama.
Energi yang dimiliki "calon" bintang ini semata-mata berasal dari pengerutan gravitasi.
Karena pengerutan gravitasi inilah temperatur di pusat bakal bintang menjadi meninggi.
Dari mana bintang-bintang mendapatkan energi untuk menghasilkan kalor dan radiasi,
pertama kali dipaparkan oleh astronom Inggris Sir Arthur Stanley Eddington. Sir Eddington
juga yang pernah memimpin ekspedisi gerhana Matahari total ke Pulau Principe di lepas
pantai Afrika pada 29 Mei 1919 untuk membuktikan ramalan teori relativitas umum tentang
pembelokan cahaya bintang di dekat Matahari. Meskipun demikian, fisikawan nuklir Hans
Bethe-lah yang pada tahun 1938 berhasil menjelaskan bahwa reaksi fusi nuklir
(penggabungan inti-inti atom) di pusat bintang dapat menghasilkan energi yang besar. Pada
temperatur puluhan juta Kelvin, inti-inti hidrogen (materi pembentuk bintang) mulai bereaksi
membentuk inti helium. Energi yang dibangkitkan oleh reaksi nuklir ini membuat tekanan
radiasi di dalam bintang dapat menahan pengerutan yang terjadi. Bintang pun kemudian
berada dalam kesetimbangan hidrostatik dan akan bersinar terang dalam waktu jutaan
bahkan milyaran tahun ke depan bergantung pada massa awal yang dimilikinya.
Semakin besar massa awal bintang, semakin cepat laju pembangkitan energinya sehingga
semakin singkat pula waktu yang diperlukan untuk menghabiskan pasokan bahan bakar
nuklirnya. Manakala bahan bakar tersebut habis, tidak akan ada lagi yang mengimbangi
gravitasi, sehingga bintang pun mengalami keruntuhan kembali.
Nasib akhir sebuah bintang ditentukan oleh kandungan massa awalnya. Artinya, tidak
semua bintang akan mengakhiri hidupnya sebagai lubang hitam. Untuk bintang-bintang
seukuran massa Matahari kita, paling jauh akan menjadi bintang katai putih (white dwarf)
dengan jari-jari lebih kecil daripada semula, namun dengan kerapatan mencapai 100 hingga
1000 kilogram tiap centimeter kubiknya! Tekanan elektron terdegenerasi akan menahan
keruntuhan lebih lanjut sehingga bintang kembali setimbang. Karena tidak ada lagi sumber
energi di pusat bintang, bintang katai putih selanjutnya akan mendingin menjadi bintang
katai gelap (black dwarf).
Untuk bintang-bintang dengan massa awal yang lebih besar, setelah bintang melontarkan
bagian terluarnya akan tersisa bagian inti yang mampat. Jika massa inti yang tersisa
tersebut lebih besar daripada 1,4 kali massa Matahari (massa Matahari: 2x10 pangkat 30
kilogram), gravitasi akan mampu mengatasi tekanan elektron dan lebih lanjut
memampatkan bintang hingga memaksa elektron bergabung dengan inti atom (proton)
membentuk netron. Bila massa yang dihasilkan ini kurang dari 3 kali massa Matahari,
tekanan netron akan menghentikan pengerutan untuk menghasilkan bintang netron yang
stabil dengan jari-jari hanya belasan kilometer saja. Sebaliknya, bila massa yang dihasilkan
pasca ledakan bintang lebih dari 3 kali massa Matahari, tidak ada yang bisa menahan
pengerutan gravitasi. Bintang akan mengalami keruntuhan gravitasi sempurna membentuk
objek yang kita kenal sebagai lubang hitam. Bila bintang katai putih dapat dideteksi secara
fotografik dan bintang netron dengan teleskop radio, lubang hitam tidak akan pernah dapat
kita lihat secara langsung!
Bila memang lubang hitam tidak akan pernah bisa kita lihat secara langsung, lantas
bagaimana kita bisa meyakini keberadaannya? Untuk menjawab pertanyaan ini, John
Wheeler sebagai tokoh yang mempopulerkan istilah lubang hitam, memiliki sebuah
perumpamaan yang menarik. Bayangkan Anda berada di sebuah pesta dansa di mana para
pria mengenakan tuksedo hitam sementara para wanita bergaun putih panjang. Mereka
berdansa sambil berangkulan, dan karena redupnya penerangan di dalam ruangan, Anda
hanya dapat melihat para wanita dalam balutan busana putih mereka. Nah, wanita itu ibarat
bintang kasat mata sementara sang pria sebagai lubang hitamnya. Meskipun Anda tidak
melihat pasangan prianya, dari gerakan wanita tersebut Anda dapat merasa yakin bahwa
ada sesuatu yang menahannya untuk tetap berada dalam "orbit dansa".
Demikianlah para astronom dalam mengenali keberadaan sebuah lubang hitam. Mereka
menggunakan metode tak langsung melalui pengamatan bintang ganda yang
beranggotakan bintang kasat mata dan sebuah objek tak tampak. Beruntung, semesta
menyediakan sampel bintang ganda dalam jumlah yang melimpah. Kenyataan ini bukanlah
sesuatu yang mengherankan, sebab bintang-bintang memang terbentuk dalam kelompok.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa di galaksi kita, Bima Sakti, terdapat banyak bintang
yang merupakan anggota suatu gugus bintang ataupun asosiasi.
Telah disebutkan di atas bahwa medan gravitasi lubang hitam sangat kuat, jauh lebih kuat
daripada bintang kompak lainnya seperti bintang “katai putih” maupun bintang netron.
Dalam sebuah sistem bintang ganda berdekatan, objek yang lebih masif dapat menarik
materi dari bintang pasangannya. Demikian pula dengan lubang hitam. lubang hitam
menarik materi dari bintang pasangan dan membentuk cakram akresi di sekitarnya
(bayangkan sebuah donat yang pipih bentuknya). Bagian dalam dari cakram yang bergerak
dengan kelajuan mendekati kelajuan cahaya, akan melepaskan energi potensial
gravitasinya ketika jatuh ke dalam lubang hitam. Energi yang sedemikian besar diubah
menjadi kalor yang akan memanaskan molekul-molekul gas hingga akhirnya terpancar
sinar-X dari cakram akresi tersebut. Sinar-X yang dihasilkan inilah yang digunakan oleh
para astronom untuk mencurigai keberadaan sebuah lubang hitam dalam suatu sistem
bintang ganda. Untuk lebih meyakinkan bahwa bintang kompak tersebut benar-benar
lubang hitam alih-alih bintang “katai putih” ataupun bintang netron, astronom menaksir
massa objek tersebut dengan perangkat matematika yang disebut fungsi massa. Bila
diperoleh massa bintang kompak lebih dari 3 kali massa Matahari, besar kemungkinan
objek tersebut adalah lubang hitam.