Anda di halaman 1dari 34

Nama nurhalija

Npm 19320042

Tugas filsafat ilmu

“Resume akuntansi multiparadigma”

Sistem pencatatan atau pembukuan transaksi ekonomi yang saat ini dikenal dengan
sebutan akuntansi sebenarnya sudah dikenal dan diterapkan sejak tahun 3600 SM (zaman
mesopotamia) dengan bentuk pencatatan sederhana pada media tulis berupa batu, kulit
kayu dan sebagainya. Kita tidak tahu siapa yang menciptakan akuntansi. Namun, kita tahu
bahwa sistem tata buku berpasangan secara bertahap mulai muncul selama abad ke-13 dan
ke-14 di beberapa pusat perdagangan di Italia. Pada abad ke-15 muncul orang pertama
yang mengkodifikasikan akuntansi yaitu Bruder Luca Paciolli. Luca Paciolli adalah seorang
guru matematika di Universitas Roma yang memopulerkan sistem pembukuan berganda
(double entry system). Buku yang ditulis Paciolli berjudul Summa de Arithmetica,
Geometrica, Proportioni et Proportionalita, dimana buku ini tidak hanya berisi mengenai
matematika saja, namun juga berisi mengenai tata buku berpasangan yang disebut
Particularis de Computis et Scripturis.

Sistem akuntansi seturut dengan perkembangan zaman berkembang semakin


kompleks sesuai dengan kebutuhan para pelaku ekonomi dan bisnis. Perkembangan sistem
akuntansi tersebut tidak terlepas dari peran keberadaan teori akuntansi dan penelitian-
penelitian di bidang akuntansi yang mendasari munculnya berbagai paradigma dan
pemikiran-pemikiran baru dalam dunia akuntansi.

Penelitian akuntansi sebenarnya dapat dibagi kedalam dua perioda besar yaitu
perioda sebelum Ball & Brown (1968) dan perioda setelahnya. Artikel Ball & Brown
memberikan dampak yang luar biasa bagi penelitian akuntansi setelahnya. Sebelum perioda
Ball and Brown, penelitian akuntansi lebih bersifat normatif yaitu bagaimana seharusnya
suatu kejadian ekonomis dicatat dan dilaporkan. Setelah Ball & Brown (1968) melakukan
penelitian empiris mengenai dampak dari angka laba terhadap harga saham, penelitian
akuntansi mulai bergeser kearah positif. Riset seperti ini lebih difokuskan kepada prediksi
bagaimana dampak dari informasi akuntansi terhadap perekonomian.

Artikel-artikel yang diterbitkan oleh The Accounting Review sejak tahun 1926 hingga
tahun 1960-an lebih banyak fokus kepada bagaimana kejadian-kejadian ekonomi dilaporkan
dan prinsip-prinsip apa saja yang mendasarinya. Tema-tema normatif lebih fokus kepada sisi
teknis dari akuntansi dan bagaimana hal tersebut harus diterapkan secara ideal. Pada era
tersebut, dapat dikatakan bahwa artikel yang diterbitkan di jurnal tersebut masih terasa
sangat akuntansi. Pada tahun 1940-an bahkan terdapat buku yang membahas Matematika
Akuntansi. Buku yang membahas tentang seluk beluk teknis akuntansi yang diturunkan dari
ilmu mapan matematika. Tema-tema seperti itu sangat jarang sekali kita jumpai lagi pada
artikel-artikel di jurnal-jurnal top akuntansi saat ini. Penelitian positif masa kini lebih banyak
meminjam teori-teori dan kutipan-kutipan dari disiplin ilmu lain seperti ekonomi,
managemen, keuangan, psikologi dan statistika.
Pendekatan klasikal yang lebih menitikberatkan pada pemikiran normatif mengalami
kejayaannya pada tahun 1960-an. Dalam tahun 1970-an terjadi pergeseran pendekatan
dalam penelitian akuntansi. Desain sistem akuntansi yang dihasilkan dari penelitian normatif
dalam kenyataannya tidak dipakai di dalam praktik. Sebagai akibatnya muncul anjuran
untuk memahami secara deskriptif berfungsinya sistem akuntansi didalam praktik nyata.
Harapannya dengan pemahaman dari praktik langsung akan muncul desain sistem akuntansi
yang lebih berarti.

Beberapa pemikir akuntansi dari Rochester dan Chicago mengembangkan apa yang
disebut dengan Positive Accounting theory yang menjelaskan why accounting is what it is,
why accountants do what they do, dan apa pengaruh dari fenomena ini terhadap manusia
dan penggunaan sumber daya (Jensen, 1976 dalam Chariri dan Gozhali, 2003). Beberapa
bentuk teori akuntansi positif yang turut memberikan warna baru bagi penelitian empiris di
bidang ekonomi khususnya akuntansi adalah hipotesis pasar yang efisien (efficient market
hypothesis) dan teori agensi (agency theory). Perkembangan penelitian secara empiris oleh
para peneliti akuntansi juga menghasilkan banyak hasil-hasil penelitian dalam bidang
akuntansi manajemen dan akuntansi keperilakuan yang memberikan kontribusi bagi
perkembangan bidang akuntansi dunia di era modern saat ini.

Apabila diamati secara empiris bahwa perkembangan suatu teori ternyata sangat
komplek dan rumit dan tidak sesederhana yang digambarkan oleh pandangan kaum
induktifis dan falsifikasionis. Dengan hanya memusatkan perhatian pada hubungan antara
teori dengan keterangan observasi, mereka gagal memerhitungkan kompleksitas yang
terdapat dalam teori ilmiah. Baik penekanan kaum induktifis yang menarik teori secara
induktif dari hasil observasi, maupun cara kaum falsifikasionis yang melakukan dugaan dan
falsifikasi, tidak mampu mengarakterisasi dengan memadai asal mula dan pertumbuhan
teori-teori yang komplek secara realistis. Perumusan yang lebih layak seyogyanya
memandang teori sebagai suatu struktur yang utuh.

Ada dua orang filosof yang mengajukan teori sebagai suatu struktur adalah Lakatos
(1974) dengan teorinya Riset Program dan Kuhn (1972) dengan teorinya yang sangat
terkenal yaitu Paradigma dan Revolusi. Riset akuntansi yang selama ini dilakukan,
cenderung menggunakan model yang berbeda-beda dan model tersebut dapat saling
menggantikan. Model inilah yang diinterpretasikan sebagai research programme-nya
Lakatos. Beberapa kasus menunjukkan bahwa research programmes dihasilkan kembali dan
kemudian dibatalkan oleh peneliti, misalnya riset yang berkaitan dengan income smoothing
hypothesis, akuntansi sumber daya manusia, akuntansi pertanggungjawaban sosial, dan
riset tentang hubungan antara variabel akuntansi dengan harga saham yang didasarkan
pada efficient market hypothesis. Begitu juga dengan Paradigma Kuhn yang telah digunakan
oleh Wells (1976) dan SATTA (1977) untuk menjelaskan perkembangan akuntansi saat ini.
Belkaoui (1981, 1985) menggunakan untuk menggambarkan akuntansi sebagai multi-
paradigm science. SATTA (1977) juga mengakui selain pandangan Kuhn, perspektif lain
seperti Lakatos (1974) dapat digunakan.

Pendekatan teori normatif dan positif hingga saat ini masih mendominasi dalam
penelitian akuntansi. Artikel-artikel yang terbit di Journal The Accounting Review, Journal of
Accounting Research maupun Journal of Business Research juga menggunakan kedua jenis
pendekatan tersebut sebagai dasar penelitian. Di samping itu, pada tahun 1980-an telah
muncul beragam pemikiran baru yang berlawanan dengan pendekatan teori normatif dan
positif dalam rangka menghasilkan penelitian-penelitian akuntansi yang baru dan berbeda
dengan sebelumnya. Pendekatan lain yang muncul selain pendekatan utama ini pada
dasarnya tidak memercayai dasar filosofi yang digunakan oleh pengikut pendekatan teori
normatif dan positif, sebagai gantinya mereka meminjam metodologi dari ilmu-ilmu sosial
yang lain seperti filsafat, sosiologi, antropologi untuk memahami akuntansi (Gozhali, 2000).

Sejarah Pergeseran Arah Akuntansi

Pendekatan klasikal yang lebih menitikberatkan pada pemikiran normatif mengalami


kejayaannya pada tahun 1960-an. Dalam tahun 1970-an terjadi pergeseran pendekatan
dalam penelitian akuntansi. Alasan yang mendasari pergeseran ini adalah bahwa
pendekatan normatif yang telah berjaya selama satu dekade tidak dapat menghasilkan teori
akuntansi yang siap dipakai di dalam praktik sehari-hari. Desain sistem akuntansi yang
dihasilkan dari penelitian normatif dalam kenyataannya tidak dipakai di dalam praktik.
Sebagai akibatnya muncul anjuran untuk memahami secara deskriptif berfungsinya sistem
akuntansi di dalam praktik nyata. Harapannya dengan pemahaman dari praktik langsung
akan muncul desain sistem akuntansi yang lebih berarti.

Alasan kedua yang mendasari usaha pemahaman akuntansi secara empiris dan
mendalam adalah adanya “move” dari komuniti peneliti akuntansi yang menitikberatkan
pada pendekatan ekonomi dan perilaku (behavior). Perkembangan financial economics dan
khususnya munculnya hipotesis pasar yang efisien (efficient market hypothesis) serta teori
keagenan (agency theory) telah menciptakan suasana baru bagi penelitian empiris
manajemen dan akuntansi. Beberapa pemikir akuntansi dari Rochester dan Chicago
mengembangkan apa yang disebut dengan Positive Accounting Theory yang menjelaskan
why accounting is, what it is, why accountants do what they do, dan apa pengaruh dari
fenomena ini terhadap manusia dan penggunaan sumber daya (Jensen, 1967).

Pendekatan normatif maupun positif hingga saat ini masih mendominasi dalam
penelitian akuntansi. Artikel-artikel yang terbit di jurnal The Accounting Review maupun
Journal of Accounting Research, Journal of Business Research hampir semuanya
menggunakan pendekatan mainstream dengan ciri khas menggunakan model matematis
dan pengujian hipotesis. Walaupun pendekatan mainstream masih mendominasi penelitian
manajemen dan akuntansi hingga saat ini, sejak tahun 1980-an telah muncul usaha-usaha
baru untuk menggoyang pendekatan mainstream. Pendekatan ini pada dasarnya tidak
memercayai dasar filosofi yang digunakan oleh pengikut pendekatan mainstream. Sebagai
gantinya, mereka meminjam metodologi dari ilmu-ilmu sosial yang lain seperti filsafat,
sosiologi, antropologi untuk memahami akuntansi.

Klasifikasi Metodologi Penelitian

Untuk memudahkan memahami dasar filosofi pendekatan penelitian akuntansi, akan


digunakan rerangka pengelompokan yang dikembangkan oleh Burrell dan Morgan (1979)
yang mereview dan mengelompokkan penelitian dalam bidang ilmu organisasi menurut teori
yang melandasi dan anggapan-anggapan filosofinya. Pengelompokan ini akan dipakai untuk
mengelompokkan dan mereview penelitian-penelitian yang berhubungan dengan aspek-
aspek sosial dan organisasi manajemen dan akuntansi.

Kerangka Burrel dan Morgan (1979) disusun dari dua dimensi independen berdasar
atas anggapan-anggapan dari sifat ilmu sosial dan sifat masyarakat. Dimensi ilmu sosial
dibagi menjadi empat elemen yang saling berhubungan yaitu sebagai berikut.

1. Ontologi

Ialah cabang metafisika mengenai realitas yang berusaha mengungkapkan ciri-ciri segala
yang ada, baik ciri-ciri yang universal, maupun yang khas. Jadi, landasan ontologi suatu
pengetahuan mengacu kepada apa yang digarap dalam penelaahannya; dengan kata lain,
apa yang hendak diketahui melalui kegiatan penelaahan itu. Ontologi berhubungan dengan
sifat dari realitas. Pada satu sisi social world dan strukturnya dapat dipandang memiliki
keberadaan secara empiris dan konkret diluar serta terpisah dari individu yang ingin
memelajarinya. Pada sisi yang lain, keberadaan suatu realitas merupakan produk dari
kesadaran individual-social world terdiri dari konsep dan label-label yang diciptakan oleh
manusia untuk membantu memahami realitas.

2. Epistemologi

Ialah cabang filsafat yang menyelidiki secara kritis hakekat, landasan, batas-batas, dan
patokan kesahihan (validitas) pengetahuan. Ia lebih mendasar daripada metodologi. Karena
itu asumsi-asumsi epistemologi suatu bentuk pengetahuan, tercermin pada metodologi yang
diterapkan dalam pengembangan pengetahuan tersebut. Landasan epistemologi
menentukan cara-cara yang dipakai untuk memeroleh dan menvalidasi pengetahuan.
Epistemologi berhubungan dengan sifat dari ilmu pengetahuan – apa bentuknya dan
bagaimana mendapatkannya serta menyebarkannya. Pada satu sisi ilmu pengetahuan
dianggap dapat diperoleh lewat observasi dan disusun secara sepotong-sepotong. Pada satu
sisi ekstrim yang lain, ilmu pengetahuan dapat dikaitkan dengan unsur subyektif dan bersifat
personal-social world yang hanya dapat dipahami dengan cara pertama-tama mendapatkan
ilmu pengetahuan dari subyek yang sedang diinvestigasi.

3. Aksiologi

Ialah telaah tentang nilai-nilai, sedangkan teologi telaah tentang tujuan pemanfaatan
pengetahuan. Landasan aksiologi/teologi mangacu kepada nilai-nilai yang dipegang dalam
menentukan pengembangan, memilih dan menentukan prioritas bidang penelitian, dan
menerapkan serta memanfaatkan pengetahuan.

Sifat Manusia

Anggapan tentang sifat manusia menunjuk pada hubungan antara manusia dengan
lingkungannya. Perilaku manusia dan pengalaman-pengalamannya ditentukan dan dibatasi
oleh lingkungannya. Pada sisi yang lain, manusia dapat dipandang memiliki otonomi dan
kebebasan dan mampu menciptakan lingkungan yang dikehendakinya.
Oleh Burrell dan Morgan (1979) anggapan tentang sifat ilmu pengetahuan ini
dikelompokkan menjadi dimensi obyektif-subyektif. Pada sisi obyektif menitikberatkan pada
sifat obyektif dari realitas, ilmu pengetahuan dan perilaku manusia. Sedang pada sisi yang
lain menitikberatkan pada sifat subyektif dari realitas, ilmu pengetahuan dan perilaku
manusia.

Pada dimensi yang lain, ada dua alternatif pendekatan terhadap keberadaan
masyarakat. Pertama berkaiatan dengan keteraturan, order dan stabilitas yang digunakan
untuk menjelaskan mengapa masyarakat cenderung untuk selalu dalam kebersamaan.
Kedua, lebih menitikberatkan pada pembagian mendasar dari kepentingan, konflik dan
ketidak adilan distribusi kekuasaan yang pada gilirannya menimbulkan perubahan radikal.
Kedua dimensi yang independen ini digabung membentuk kerangka klasifikasi metodologi
penelitian manajemen dan akuntansi

Pendekatan mainstream masuk dalam kelompok ini. Pendekatan mainstream


memercayai adanya realitas fisik yang obyektif dan terlepas dari manusia. Apa yang ada
“diluar sana” (obyek) dianggap independen dari subyek yang ingin mengetahuinya, dan ilmu
pengetahuan diperoleh apabila subyek menemukan realitas obyektif ini. Oleh karena
pembedaan obyek-subyek ini, individu atau peneliti manajemen dan akuntansi tidak
menciptakan realitas di sekelilingnya.

Manusia tidak dipandang sebagai pencipta realitas sosial mereka. Manusia dianalisis
sebagai kesatuan yang secara pasif digambarkan dengan cara yang obyektif. Pandangan
seperti ini tercermin dari hasil penelitian akuntansi seperti contigency theory of management
accounting (Govindarajan, 1984; Hayes, 1977; Khandwalla, 1972), information-processing
machanism (Libby, 1975), efficient capital market research (Ball and Brown, 1968), dan
agency theory (Baiman, 1982). Semua teori ini muncul dalam rangka usaha untuk
menentukan realitas obyektif.

Anggapan adanya obyek yang terpisah dari subyek mambawa konsekuensi adanya
pembedaan antara observasi dan teori yang digunakan untuk menggambarkan realitas
empiris. Ada observasi terhadap dunia nyata yang terpisah dari teori, dan observasi tersebut
digunakan untuk menguji validitas ilmiah dari teori. Di dalam filsafat, pengujian empiris ini
dinyatakan dalam dua cara (Chua, 1986):

Dalam pandangan aliran positivis ada teori dan seperangkat pernyataan hasil
observasi independen yang digunakan untuk membenarkan atau memverifikasi kebenaran
teori.Dalam pandangan Popperian karena pernyataan hasil observasi merupakan teori
dependent dan fallible, maka teori-teori ilmiah tidak dapat dibuktikan kebenarannya tetapi
memungkinkan untuk ditolak (falsified).

Walaupun terdapat dua cara dalam pengujian empiris yaitu apakah teori itu “verified” atau
“falsified”, tampaknya para peneliti manajemen dan akuntansi menggunakan cara pertama
yaitu dengan metoda hypothetico-deductive untuk menjelaskan ilmiah tidaknya suatu
penelitian. Suatu penjelasan dikatakan ilmiah apabila memenuhi tiga komponen. Pertama,
harus memasukkan satu atau lebih prinsip-prinsip umum atau hukum. Kedua, harus ada
pra-kondisi yang biasanya diwujudkan dalam bentuk pernyataan-pernyataan hasil observasi.
Ketiga, harus ada satu pernyataan yang menggambarkan sesuatu yang sedang dijelaskan.
Hypothetico-deductive dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pendekatan mainstream juga beranggapan bahwa keberadaan masyarakat selalu dapat
dikendalikan. Misalnya, adanya konflik tujuan antara prinsipal dan agen dalam teori agency
dan konflik diantara departemen fungsional, semuanya diakui oleh pendekatan mainstream
dan hal ini dianggap bisa dikendalikan oleh manajemen. Adalah tugas manajer untuk
menghindari munculnya konflik-konflik ini melalui desain sistem pengendalian manajemen
yang tepat seperti anggaran dan biaya standar. Adanya konflik dipandang sebagai perilaku
dysfunctional dalam hubungannya dengan tujuan perusahaan secara keseluruhan.
Pendekatan mainstream menganggap bahwa organisasi dan pasar bebas (free market)
memiliki kecenderungan untuk mencapai kestabilan masyarakat.

Pendekatan-Pendekatan Dalam Penelitian Akuntans

1. Interpretive

Pendekatan interpretive berasal dari filsafat Jerman yang menitikberatkan pada peranan
bahasa, interpretasi, dan pemahaman didalam ilmu sosial. Pendekatan ini memfokuskan
pada sifat subyektif dari social world dan berusaha memahaminya dari kerangka berpikir
obyek yang sedang dipelajarinya. Jadi, fokusnya pada arti individu dan persepsi manusia
pada realitas bukan pada realitas independen yang berada diluar mereka. Manusia secara
terus-menerus menciptakan realitas sosial mereka dalam rangka berinteraksi dengan yang
lain (Schutz, 1967). Tujuan pendekatan interpretive tidak lain adalah menganalisis realitas
sosial semacam ini dan bagaimana realitas sosial tersebut terbentuk.

Metodologi penelitian yang berdasar pada desain eksperimental dan statistical surveys yang
memerlakukan social world adalah obyektif dan terukur sehingga tidak sesuai dengan dasar
filosofi pendeketan interpretive. Metoda kualitatif lebih cocok untuk pendekatan interpretive.
Manfaat hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti mainstream accounting terhadap
praktik dunia usaha telah banyak dipertanyakan oleh beberapa akademisi. Bahkan komite
“schism” dari The American Accounting Association pada tahun 1977-1978 meragukan
apakah para akademis dan praktisi akuntansi benar-benar memahami artikel-artikel yang
dipublikasikan di Journal of Accounting Research dan The Accounting Review. Penelitian
yang dilakukan oleh Bourne, et al,. (1983) menunjukkan bahwa para peneliti akuntansi
hanya tahu sedikit tentang akuntansi dalam praktik nyata, bagaimana interaksinya dengan
proses organisasi yang lain, dan bagaimana kontribusinya terhadap efektivitas organisasi.

Atas dasar alasan inilah muncul permintaan akan penggunaan pendeketan interpretive
dalam melakukan penelitian dengan memberi tekanan pada persepsi dan penjelasan yang
diberikan oleh partisipan. Harapannya akan didapatkan pemahaman akuntansi yang lebih
baik. Disamping itu dengan munculnya research questions dari proses penelitian diharapkan
masalah yang diteliti dapat didekati secara nyata.

2. Radical Humanism dan Strukturalism

Dibandingkan dengan pendekatan fungsional dan interpretive, pendekatan radical


memandang masyarakat terdiri dari elemen-elemen yang saling bertentangan satu sama
lain dan diatur oleh sistem kekuasaan yang pada gilirannya menimbulkan ketidakadilan dan
keterasingan (alienation) dalam segala aspek kehidupan. Pendekatan ini berhubungan
dengan pengembangan pemahaman akan dunia sosial dan ekonomi (social and economic
world) dan juga membentuk kritik terhadap status quo. Dengan menerima ideologi yang
dominan dan tidak memertanyakan hakaket dasar dari kapitalisme, pendekatan fungsional
dan interpretive dipandang memertahankan dan melegitimasi tatanan sosial, ekonomi dan
politik yang ada saat ini. Oleh sebab itu, teori akuntan tradisional dipandang menerima
kerangka acuan manajerial dan mendukung status quo (Cooper, 1983; Tinker, et al., 1982).

Tema sentral dari pendekatan radikal adalah sifat dan prinsip organisasi suatu masyarakat
secara keseluruhan tercermin dan terbentuk oleh setiap aspek dari masyarakat itu. Radikal
Strukturalis memfokuskan pada konflik mendasar sebagai produk hubungan antara struktur
industri dan ekonomi seperti surplus value, hubungan kelas, struktur pengendalian.
Sementara itu Radikal Humanis menitikberatkan pada kesadaran individu, keterasingan
manusia, dan bagaimana kedua hal ini didominasi oleh pengaruh ideologi. Perbedaan antara
Radikal Strukturalis dan Humanis terletak pada dimensi obyektif-subyektif. Radikal
Strukturalis memerlakukan social world sebagai obyek eksternal dan memiliki hubungan
yang terpisah dari manusia tertentu, sementara itu Radikal Humanis memfokuskan pada
persepsi individu dan interpretasi-interpretasinya.

3. Mainstream atau Positivis

Dominasi pendekatan positivisme sampai saat ini tidak dapat dilepaskan dari perkembangan
filsafat ilmu sejak abad 17 dengan munculnya pertentangan antara rasionalisme dan
empirisme. Kaum rasionalis menegaskan bahwa dengan menggunakan prosedur tertentu
dari akal manusia kita dapat menemukan pengetahuan dalam arti yang paling ketat, yaitu
pengetahuan yang dalam arti apapun tak mungkin salah. Pengetahuan yang pasti secara
mutlak tidak dapat ditemukan hanya dengan pengalaman inderawi dan itu harus dicari
dalam alam pikiran (in the realm of the mind).

Sebagai reaksi teori rasionalis timbul teori empiris. John Locke, Berkeley dan David Hume
berharap menemukan suatu basis untuk pengetahuan kita dari pengalaman inderawi, tetapi
mereka menemukan bahwa pengalaman inderawi menghasilkan informasi tentang dunia
jauh kurang daripada yang mereka harapkan (dikutip oleh Taryadi, 1991). Hume lebih jauh
menyatakan bahwa pandangan kita mengenai apa yang terjadi disekitar kita semata-mata
diakibatkan oleh konstitusi psikologis yang aneh dari makhluk manusia. Apa yang menurut
anggapan kita merupakan pengetahuan tidak lain hanyalah suatu cara mengatur
pengalaman yang tersodor kepada kita.

Pandangan Hume telah mengilhami dua macam perkembangan. Pertama, penyempurnaan


teori empiris. Kedua, usaha mencari suatu cara untuk memodifikasi kesimpulan-kesimpulan
agar dapat mengembangkan suatu teori kompromi yaitu menerima tuntutan kaum empiris
dan mencoba menyelamatkan beberapa unsur dari teori rasionalis. Golongan filsuf yang
berusaha menggabungkan empirisme dengan rasionalisme adalah apa yang sering disebut
Positivisme. Ada dua epistemologi kaum positivis yang selalu dikaitkan dengan metodologi
penelitian akuntansi yaitu Logical Empiricism/Logical Positivism dan Falsificationism yang
selanjutnya dikembangkan lagi menjadi teori sebagai suatu struktur oleh Kuhn (1970) dan
Lakatos (1970), dan Anarki Epistemologi menurut Feyeraband (1975).

4. Induktivisme (Logical Positivis)

Menurut Chalmers (1991) selama tahun 1920-an positivisme telah berkembang menjadi
filsafat ilmu dalam bentuk positivisme logis (logical positivism). Kelompok ini dikembangkan
oleh Lingkaran Vienna (Vienna Circle) yang merupakan kelompok ilmuwan dan filosof yang
dipimpin oleh Schlick (1920). Logical Positivism menerima doktrin utama “verification theory
of meaning” yang dikembangkan oleh Wittgenstein (1951). Teori verifikasi menyatakan
bahwa pernyataan atau proposisi memiliki arti hanya jika mereka dapat diverifikasi secara
empiris. Kriteria ini digunakan untuk membedakan antara pernyataan scientific (meaningful)
dan pernyataan metafisis (meaningless).

Wujud interpretasi induktif, logical positivism menganggap bahwa hipotesis harus dibuktikan
(confirmed) dengan penelitian. Atas dasar pendekatan ini, teori dikembangkan berdasarkan
suatu masalah yang harus dipecahkan. Setelah masalah ditentukan, masalah tersebut
dinyatakan dalam bentuk hipotesis, yaitu pernyataan yang menunjukkan antara dua
fenomena/variabel atau lebih. Apabila hipotesis telah dirumuskan, peneliti akan
membuktikan kebenaran hipotesis tersebut. Metoda pembuktiannya adalah dengan cara
membandingkan hipotesis tersebut dengan hasil observasi yang dilakukan di dunia nyata.
Jika hasil pengamatan di dunia nyata sesuai dengan hipotesis, maka hipotesis tersebut
terbukti kebenarannya sehingga terbentuk suatu teori.

Proses pengambilan kesimpulan umum (universal) yang didasarkan pada hasil observasi
dinamakan induksi. Pemakaian induksi untuk membuat suatu kesimpulan umum dapat
diterima kebenarannya jika kondisi tertentu dipenuhi. Kondisi tersebut menurut (Chalmers,
1978) adalah sebagai berikut:

jumlah observasi banyak,observasi harus diulang pada kondisi yang luas (berbeda-beda),

hasil observasi tidak ada yang bertentangan dengan teori universal yang dihasilkan.Apabila
kondisi tersebut tidak dipenuhi, maka kesimpulan yang dihasilkan menjadi tidak valid.

Dalam perkembangannya, logical positivism mengalami masalah induksi. Menurut logical


positivism suatu pernyataan scientific dinyatakan benar jika mereka dapat dibuktikan secara
empiris padahal tidak ada jumlah tes empiris yang pasti (jumlah observasi harus seberapa
banyak) akan menjamin kebenaran suatu pernyataan universal. Oleh sebab itu inferensi
induktif tidak dapat dibenarkan hanya atas dasar logika.

Untuk mengatasi masalah logical positivism, Carnap (1929) mengembangkan positivism


yang lebih moderat dan sering disebut dengan Empirisme Logis. Pandangan ini
mendominasi pemikiran selama 20 tahun dan mengalami penurunan dalam tahun 1960-an
walaupun pengaruhnya masih sangat kuat sampai saat ini. Carnap mengganti konsep
verifikasi dengan konfirmasi yang makin meningkat secara gradual. Menurut Carnap jika
verifikasi berarti “complete and definitive establishment of truth”, maka pernyataan universal
atau teori tidak akan pernah dapat diverifikasi, tetapi mungkin dapat dikonfirmasi melalui
keberhasilan tes-tes empiris.

Empirisme Logis memiliki ciri menggunakan metoda statistik induktif dan pandangan ini
beranggapan bahwa ilmu berawal dari observasi, dan teori pada akhirnya dibenarkan lewat
akumulasi observasi yang memberikan dukungan pada konklusi. Seperti halnya Positivisme
Logis, Empirisme Logis juga menghadapi masalah yaitu sebagai berikut.

1. Pertama, observasi selalu berkaitan dengan kesalahan pengukuran.


2. Kedua, bahwa suatu teori tergantung dari observasi dan observasi selalu
diinterpretasikan dalam kontek pengetahuan sebelumnya.

Falsifikasionisme (Falsificationism)

Pendekatan falsifikasi dikembangkan oleh Popper (1959), yang tidak puas dengan
pendekatan induktif. Menurut Popper, tujuan penelitian ilmiah adalah untuk membuktikan
kesalahan (falsify) hipotesis, bukannya membuktikan kebenaran hipotesis tersebut. Oleh
karena itulah pendekatan ini dinamakan falsifikasionisme. Untuk mengatasi masalah yang
dihadapi Empirisme Logis, Popper menawarkan metoda alternatif untuk menjustifikasi suatu
teori.

Popper (1959) menerima kenyataan bahwa observasi selalu diawali oleh suatu sistem yang
diharapkan. Proses ilmu pengetahuan berawal dari observasi yang berbenturan dengan teori
yang ada atau prakonsepsi (praconception). Jika hal ini terjadi, maka kita dihadapkan pada
masalah ilmu pengetahuan. Teori kemudian diajukan untuk memecahkan masalah ini dan
hipotesis diuji secara empiris yang tujuannya untuk menolak hipotesis. Jika peramalan teori
itu disalahkan (falsify), maka teori tersebut ditolak. Teori yang tahan uji dari falsifikasi
dikatakan bahwa teori itu kuat dan diterima sementara sebagai teori yang benar. Proses ini
secara jelas dapat dan dapat di katakan Dengan kata lain, teori menurut pendekatan ini
adalah hipotesis yang belum dibuktikan kesalahannya. Teori bukanlah sesuatu yang benar
atau faktual, tetapi sesuatu yang belum terbukti salah. Jika suatu teori diterima, maka teori
tersebut harus menyajikan hipotesis yang mungkin dapat dibuktikan kesalahannya. Dengan
kata lain, hipotesis yang tidak dapat dibuktikan salah dengan cara observasi, maka akan
dihasilkan teori yang tidak valid. Menurut Falsifikasionisme ilmu berkembang secara
pendugaan (conjecture) dan penolakan (refutation) atau secara trial and error. Tujuan ilmu
adalah memecahkan masalah. Pemecahan masalah tadi diwujudkan dalam teori yang
mungkin akan disalahkan secara empiris. Teori yang bertahan dan tidak dapat disalahkan
akan diterima secara tentative untuk memecahkan masalah.

Teori Sebagai Struktur

Apabila diamati secara empiris bahwa perkembangan suatu teori ternyata sangat komplek
dan rumit dan tidak sesederhana yang digambarkan oleh pandangan kaum induktifis dan
falsifikasionis. Dengan hanya memusatkan perhatian pada hubungan antara teori dengan
keterangan observasi, mereka gagal memerhitungkan kompleksitas yang terdapat dalam
teori ilmiah. Baik penekanan kaum induktifis yang menarik teori secara induktif dari hasil
observasi, maupun cara kaum falsifikasionis yang melakukan dugaan dan falsifikasi, tidak
mampu mengarakterisasi dengan memadai asal mula dan pertumbuhan teori-teori yang
komplek secara realistis. Perumusan yang lebih layak seyogyanya memandang teori sebagai
suatu struktur yang utuh. Dua orang filosof yang mengajukan teori sebagai suatu struktur
adalah Lakatos (1974) dengan teorinya Riset Program dan Kuhn (1972) dengan teorinya
yang sangat terkenal Paradigma dan Revolusi.

Riset Program Imre Lakatos

Konsep Lakatos tentang “research programme” beralih dari teori tunggal. Teori dipandang
sebagai sebuah struktur yang terdiri dari asumsi-asumsi dasar, dan seperangkat hipotesis
tambahan (auxiliary hypotheses) yang khusus didesain untuk melindungi inti teori dari
falsifikasi (penolakan). Struktur seperti ini memberikan arahan riset ke depan. Dengan
teorinya ini Lakatos percaya bahwa dia menawarkan “a new rational reconstruction of
science”. Dia percaya bahwa perkembangan suatu ilmu tidak dapat dinilai oleh teori yang
terisolasi, tetapi oleh berbagai teori. Teori riset program menurut Lakatos akan terdiri dari:
hard core dan negative heuristic, a protective belt of auxiliary hypotheses, positive heuristic,
dan elemen-elemen yang menunjukkan perkembangan atau kemunduran suatu program.

Hard Core dan Negative Heuristic

Hard Core merupakan komponen inti dari riset program yang berisi asumsi-asumsi dasar
dari riset program. Asumsi-asumsi ini berisi definisi karakteristik dari program dari berupa
hipotesis teoretis secara umum sebagai dasar pengembangan program. Asumsi ini harus
diterima untuk melaksanakan riset program dan asumsi ini tidak dapat ditolak atau
difalsifikasi. Kesepakatan oleh anggota riset program untuk tidak memertanyakan hard core
ini disebut “negative heuristic”. Hard Core tidak boleh ditolak atau dimodifikasi selama
pengembangan program tersebut berlangsung.

Protective Belt of Auxiliary Hypotheses

Hard Core dari riset program tidak dapat difalsifikasi dan dilindungi pula oleh “negative
heuristic” mereka juga dikelilingi oleh seperangkat asumsi tambahan yang oleh Lakatos
disebut “protective belt of auxiliary hypotheses”. Hipotesis tambahan inilah yang perlu
mengalami penyesuaian-penyesuaian untuk melindungi Hard Core.

Positive Heuristic

Berlawanan dengan “negative heuristic”, “positive heuristic” merupakan bagian dari riset
program yang memberikan arahan bagaimana ilmuan bekerja di sekeliling protective belt of
auxiliary hypotheses. “Positive heuristic” mendefinisikan masalah, pembentukan hipotesis
tambahan, dan melihat anomali.

Perkembangan dan Kemunduran Riset Program

Lakatos (1974) juga menetapkan cara untuk menilai apakah suatu program mengalami
perkembangan atau kemunduran. Suatu riset program dianggap ilmiah dan berkembang
berdasarkan dua kondisi. Pertama, harus memiliki tingkat koherensi untuk memetakan
program bagi riset masa datang. Kedua, dengan arahan “positive heuristic”, riset program
tadi harus mampu menemukan fenomena baru. Jika suatu riset program tidak memenuhi
kedua kriteria tadi, maka riset program tersebut dianggap mengalami kemunduran.

Paradigma dan Revolusi Thomas Kuhn

Seperti halnya Lakatos (1974), Kuhn (1972) menyadari bahwa pandangan tradisional
tentang ilmu, apakah induktivis atau falsifikasionis, semuanya tidak mampu bertahan dalam
sejarah. Sejak itu teori Kuhn tentang ilmu kemudian dikembangkan sebagai usaha untuk
menjadikan teori tentang ilmu lebih cocok dengan situasi sejarah sebagaimana ia
melihatnya. Satu segi utama dari teorinya adalah penekanannya pada sifat revolusioner dari
suatu kemajuan ilmiah-revolusi yang membuang suatu struktur teori dan menggantinya
dengan yang lain-dan bertentangan dengan yang semula. Segi penting lainnya dari teori
Kuhn adalah peranan penting yang dimainkan oleh sifat-sifat sosiologis masyarakat ilmiah.

Kuhn (1972) mengatakan bahwa kemajuan pengetahuan bukan merupakan hasil evolusi
(seperti yang ada pada induktivisme dan falsifikasionisme). Kemajuan pengetahuan
merupakan hasil revolusi. Teori dapat diganti dengan teori lain yang tidak cocok dengan
teori tersebut. Kemajuan pengetahuan merupakan kemajuan yang berakhir terbuka (open-
ended progress). Artinya sebuah akhir yang selalu terbuka untuk diperbaiki atau
dikembangkan lebih lanjut. Proses ini dimulai dari pre-science, diikuti normal science, krisis,
revolusi, new normal science, krisis baru dan seterusnya.

Filsafat Ilmu Dan Perkembangan Akuntansi

Walaupun filsafat ilmu awalnya digunakan di dalam ilmu alam, tetapi saat ini telah dipinjam
untuk menjelaskan disiplin ilmu lain. Akuntansi misalnya telah menggunakan metoda
scientific di dalam proyek riset. Juga ada usaha menggunakan filsafat ilmu untuk
menggambarkan akuntansi. Paradigm Kuhn telah digunakan oleh Wells (1976) dan SATTA
(1977) untuk menjelaskan perkembangan akuntansi saat ini. Belkaoui (1981, 1985)
menggunakan untuk menggambarkan akuntansi sebagai multi-paradigm science. SATTA
(1977) juga mengakui selain pandangan Kuhn, perspektif lain seperti Lakatos (1974) dapat
digunakan.

Banyak peneliti akuntansi yang mengganggap bahwa inductivist interpretation merupakan


filsafat ilmu yang relevan untuk akuntansi. Hal ini disebabkan peneliti akuntansi
merumuskan hipotesis dan berusaha membuktikan kebenaran hipotesis tersebut. Dalam
literatur metodologi penelitian akuntansi, kata ”induction” sering digunakan sebagai
padanan scientific approach (Most, 1977). Lebih lanjut, Caplan (1972) mengatakan bahwa
kemajuan dalam konstruksi teori memerlukan adanya berbagai metoda untuk
mengidentifikasi berbagai pendapat yang valid. Contoh penelitian yang relevan adalah
penelitian yang dilakukan Ball, Walker dan Whittred (1979) yang menguji hipotesis: tipe
kualifikasi audit tertentu berhubungan dengan perubahan penilaian pemegang saham atas
harga sekuritas.

Falsifikasi Popper juga sering disinggung dalam metodologi penelitian akuntansi, meskipun
sangat sulit untuk membuktikan bahwa interpretasi ini dapat diterima dalam akuntansi.
Falsifikasi Popper dalam penelitian akuntansi mungkin dapat dilihat dalam bentuk hipotesis
nol, yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara variabel-variabel yang diteliti.
Contohnya, Purdy, Smith, dan Gray (1969) meneliti pengaruh metoda disclosure dalam
laporan keuangan yang menyimpang dari standar akuntansi terhadap visibilitas laporan
tersebut. Dengan kata lain apakah pemakai laporan keuangan akan mengetahui
penyimpangan tersebut jika hanya diungkapkan pada satu tempat? Peneliti menyatakan
masalah tersebut dalam bentuk hipotesis nol dan hasil penelitian tidak menolak hipotesis
nol. Pemakaian hipotesis nol pada awalnya terdapat dalam teori statistik tetapi hipotesis
tersebut dapat diinterpretasikan konsisten dengan pandangan Popper. Falsifikasi cenderung
lebih obyektif dalam penelitian dibandingkan membuktikan kebenaran hipotesis (lihat Hines,
1988).

Paradigma Kuhn (1972) juga sering disinggung dalam literatur akuntansi. Wells (1976) dan
Flamholtz (1979) berpendapat bahwa revolusi Kuhn sangat tepat untuk digunakan dalam
memahami perkembangan akuntansi saat ini. Kuhn mengatakan bahwa revolusi science
terjadi dalam lima tahap yaitu sebagai berikut.

1. Akumulasi Anomaly (Pre-Science)


2. Perioda Krisis.
3. Perkembangan dan Perdebatan Alternatif Ide.
4. Identifikasi Alternatif dari Berbagai Pandangan.

Paradigma Baru yang D

Dalam tulisannya, Wells (1976) berusaha mengaitkan tahapan revolusi dengan akuntansi
dan berpendapat bahwa akuntansi berada pada empat tahap yang pertama meninggalkan
paradigma cost historis. Setelah beberapa tahun terjadi krisis dan perdebatan berbagai
alternatif pengukuran, dia menyimpulkan bahwa akuntansi akan mencapai tahap akhir yang
menghasilkan paradigma baru seperti current cost accounting. Meskipun demikian, Danos
(1977) tidak setuju dengan pendapat Wells dan melihat bahwa akuntansi sebenarnya
berada pada tahap “pre-science” dan selama ini tidak ada paradigm penting yang muncul
dan mendominasi akuntansi.

Ada juga bukti yang mendukung pendekatan research programmes yang dikemukakan
Lakatos. Riset akuntansi yang selama ini dilakukan, cenderung menggunakan model yang
berbeda-beda dan model tersebut dapat saling menggantikan. Model inilah yang
diinterpretasikan sebagai research programme-nya Lakatos. Beberapa kasus menunjukkan
bahwa research programmes dihasilkan kembali dan kemudian dibatalkan oleh peneliti,
misalnya riset yang berkaitan dengan income smoothing hypothesis, akuntansi Sumber Daya
Manusia, akuntansi pertanggungjawaban sosial, dan riset tentang hubungan antara variabel
akuntansi dengan harga saham yang didasarkan pada efficient market hypothesis.
Akuntansi Sumber Daya Manusia merupakan salah satu research programmes yang muncul
berdasarkan sudut pandang ekonomi berkaitan dengan aktiva. Research Programmes ini
dikembangkan atas dasar keyakinan sebagai berikut.

Karyawan adalah salah satu sumber ekonomi yang paling penting bagi entitas.

Kegagalan akuntansi dalam mengungkapkan aktiva ini merupakan suatu kelemahan.

Dua keyakinan tersebut menunjukkan hard core yaitu negative heuristic dari research
programmes. Hard Core tersebut dikelilingi berbagai hipotesis/masalah yang berkaitan
dengan hal sebagai berikut.

Cara terbaik untuk mengimplementasikan akuntansi Sumber Daya Manusia.

Bagaimana Sumber Daya Manusia dinilai.

Cost untuk mengumpulkan informasi Sumber Daya Manusia.

Manfaat penyajian informasi Sumber Daya Manusia dalam Laporan Keuangan, dan lain-lain.

Dari berbagai pandangan di atas jelas bahwa dalam perkembangannya akuntansi dapat
ditinjau dari berbagai pendekatan dan melibatkan filsafat ilmu yang selama ini sering
digunakan dalam ilmu alam

Komplesitas Informasi dalam Akuntansi Keuangan Dan Pelaporan

Lingkungan akuntansi keuangan dan pelaporan adalah sangat kompleks dan sangat
menantang. Disebut kompleks, karena produk akuntansi adalah informasi (suatu komoditas
yang sangat berarti dan penting). Sebab-sebab kompleksitas informasi adalah sebagai
berikut.

Bahwa para individu tidak sama dalam reaksi mereka atas informasi. Sebagai contoh,
seorang investor yang canggih mungkin bereaksi positif terhadap penilaian harta tertentu
suatu perusahaan pada nilai pasar dengan alasan bahwa hal tersebut dapat membantu
memrediksi kinerja perusahaan yang akan datang. Sedangkan investor-investor yang lain
mungkin bereaksi kurang positif, dikarenakan mungkin mereka merasa bahwa informasi nilai
pasar tidak terpercaya, atau semata-mata mereka biasa memergunakan informasi kos
historis. Dilain pihak para manajer yang harus melaporkan nialai-nilai pasar, mungkin
bereaksi sangat negatif. Nilai pasar dirasakan oleh para manajer diluar kontrol mereka,
padahal kinerja mereka diukur, setidak-tidaknya, berdasar laba bersih yang dilaporkan, yang
dapat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan nilai pasar.

Bahwa informasi tidak hanya memengaruhi keputusan-keputusan individual. Dalam


memengaruhi keputusan-keputusan, informasi juga memengaruhi operasi pasar-pasar,
seperti pasar-pasar surat berharga, pasar-pasar tenaga manajerial. Operasi pasar-pasar
tersebut secara tepat adalah penting untuk efisiensi dan kewajaran ekonomi informasi.

Tantangan bagi akuntan keuangan adalah, harus tetap hidup atau bertahan dan berhasil
baik atau berkembang di lingkungan yang kompleks yang dicirikan dengan tekanan-tekanan
yang bertentangan dari kelompok-kelompok yang berbeda yang berkepentingan di bidang
pelaporan keuangan. Rahmawati (2012) berargumen bahwa prospek untuk terus hidup dan
berhasil baik akan meningkat bila para akuntan keuangan memiliki kepedulian yang kritis
mengenai pengaruh pelaporan keuangan terhadap para investor, para manajer, dan
perekonomian. Kebalikan dari kepedulian adalah menerima lingkungan pelaporan sebagai
hal yang given; akan tetapi ini adalah strategi jangka pendek, karena lingkungan secara
konstan berubah dan berkembang.

Riset Akuntansi

Peranan teori dalam akuntansi sangat berbeda dengan peranan teori yang digunakan dalam
ilmu pasti (natural science), dalam ilmu pasti teori dikembangkan dari hasil observasi
empiris. Akuntansi cenderung dikembangkan atas dasar pertimbangan nilai (value
judgment), yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan tempat akuntansi dipraktikkan. Teori
tersebut kemudian dituangkan dalam bentuk kebijakan sebagai landasan dalam praktik
akuntansi. Hubungan antara teori akuntansi dan praktik akuntansi dapat dilihat pada
perlunya teori dan praktik dapat dilihat dari praktik berikut. Berlawanan dengan bidang
bahasa, meteorologi atau kimia, akuntan dapat mengubah praktik relatif lebih mudah. Oleh
karena itu, masalah yang dihadapi akuntan adala mengetahui bagaimana praktik akuntansi
seharusnya dikembangkan di masa mendatang. Sanksi yang berkaitan dengan implementasi
kebijakan akuntansi menjadi sangat penting dalam memahami bidang akuntansi, karena
praktik memungkinkan untuk diubah agar sesuai (cocok) dengan teori.

Hal inilah yang tidak terpikirkan oleh ilmuwan dari bidang lain sebaik apapun teori yang
dihasilkan, jika teori tersebut tidak sesuai dengan fenomena empiris, maka teori tersebut
akan diganti oleh teori lain yang lebih cocok dengan fenomena tersebut (Ijiri, 1971). Teori
akuntansi dapat dikatakan sebagai suatu konsep modern jika dibandingkan dengan teori-
teori lain seperti matematika atau fisik. Alasannya, bahwa akuntansi dikembangkan dari
model yang spesifik bukannya dikembangkan secara sistematik dari teori yang terstruktur
(Chambers, 1994). Teori akuntansi yang dihasilkan pada perioda Pacioli sampai awal abad
sembilan belas. Berbagai usulan tentang teori muncul, tetapi tidak satupun yang
menempatkan akuntansi pada cara-cara yang sistematis (Goldberg, 1949). Meskipun
akuntansi tidak dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan murni, akuntansi mungkin dapat
dikatakan sebagai ilmu sosial (social science). Seperti halnya ilmu sosial lainnya, konsep
akuntansi tidak didasarkan pada kebenaran yang sifatnya universal. Konsep akuntansi
mengakar pada sistem nilai masyarakat dimana akuntansi dipraktikkan (Glautier and
Underdown, 1994).

Jadi, jelas bahwa teori yang selama ini dikembangkan memiliki sudut pandang yang berbeda
dan kadang bertolak belakang. Hal ini dapat dilihat dari perjalanan sejarah perkembangan
teori akuntansi
Peranan Riset Akuntansi

Dalam dua dasawarsa terakhir, ada kecenderungan bahwa akademisi berusaha lebih jauh
untuk membawa akuntansi menjadi suatu ilmu pengetahuan ilmiah atau sains (science)
yang makin menjauhkan antara dunia praktik dan dunia akademik. Penempatan akuntansi
sebagai sains membawa konsekuensi bahwa teori akuntansi harus bebas dari pertimbangan
nilai (value-judgment) dan bersifat deskriptif. Atas dasar argumen ini, subyek atau
fenomena bahasan di tingkat akademik cenderung bergeser dari apa dan bagaimana suatu
kejadian atau transaksi harus dicatat atau dilaporkan untuk mencapai tujuan ekonomik dan
sosial tertentu (teori normatif) ke apa yang nyatanya dilakukan para pelaku ekonomi
(termasuk akuntan) dan mengapa mereka berbuat demikian (teori positif atau deskriptif).

Hal tersebut ditunjukkan oleh banyaknya penelitian di bidang akuntansi yang topiknya tidak
berkaitan secara langsung dengan (bahkan jauh dari) praktik atau standar akuntansi yang
nyatanya dipraktikkan. Di sini teori akuntansi dikembangkan agar pengetahuan akuntansi
menjadi sejajar dengan pengetahuan ilmiah yang lain (misalnya ilmu alam). Teori akuntansi
di sini akan berisi hipotesis-hipotesis (baik yang secara empiris telah teruji atau belum)
tentang variabel-variabel yang berkaitan dengan pelaku ekonomi (termasuk manajer dan
akuntan) dan perilaku pasar modal yang diteorikan. Kecenderungan semacam ini makin
menjauhkan dunia praktik dengan pendidikan karena peneliti di bidang akuntansi tidak
berminat lagi untuk membahas masalah bagaimana memerlakukan suatu transaksi dan
mengapa demikian. Sementara itu, praktisi selalu dihadapkan pada masalah aktual yang
memerlukan keputusan mendesak sehingga praktisi tidak sempat lagi untuk memikirkan
teori di balik keputusannya. Kadangkala, keputusan lebih banyak didasarkan pada
kepraktisan dan manfaat jangka pendek.

Tidak berarti bahwa penelitian-penelitian semacam itu tidak ada manfaatnya. Sering
dimasalahkan adalah bahwa hasil-hasil penelitian para akademisi kebanyakan tidak
diarahkan untuk menjawab atau memecahkan masalah-masalah aktual yang langsung
dihadapi oleh para praktisi. Berkaitan dengan apa yang diungkapkan Sterling (1990) di atas,
Kinney (1991) dalam Suwardjono (2005) menggambarkan tiga aspek penting yang saling
berkaitan yang melandasi pengembangan akuntansi yaitu: riset (research), pengajaran atau
pendidikan (teaching), dan praktik (practice). Hubungan tersebut dilukiskan dalam Praktik
akuntansi akan mengalami perkembangan yang pesat dan memuaskan apabila terjadi
interaksi yang baik antara ketiga aspek di atas. Aliran yang berlawanan dengan arah jarum
jam (aliran luar) menunjukkan kontribusi riset terhadap pengajaran atau pendidikan yang
pada gilirannya pengajaran menambah pengetahuan profesional untuk meningkatkan
kualitas praktik. Aliran panah searah jarum jam (aliran dalam) menunjukkan kemampuan
pengajar untuk mengevaluasi apa yang nyatanya dipraktikkan dan apa yang secara normatif
atau ideal harus dipraktikkan sehingga timbul gagasan-gagasan baru untuk pengembangan
praktik. Gagasan-gagasan baru ini harus merupakan bahan penelitian dan pembahasan di
tingkat akademik sehingga dihasilkan praktik-praktik alternatif yang dapat menjadi solusi
bila ditemukan masalah dalam praktik atau bila solusi tersebut lebih baik daripada apa yang
nyatanya dipraktikkan.
Pendidik (dosen) pada umumnya juga periset sehingga kedua fungsi tersebut tidak terpisah
tetapi saling mendukung. Seperti yang dibahas Sterling di atas, pengajaran harus
memasukkan gagasan-gagasan alternatif bukan malahan mengisolasinya. Pengajar
diharapkan mampu menjabarkan hasil riset dan gagasan akademik (penelitian positif dan
normatif) ke dalam aplikasi praktis. Sebaliknya praktisi juga harus terus meningkatkan
kemampuannya untuk dapat menangkap manfaat praktis hasil penelitian positif dan
normatif tersebut. Berkaitan dengan manfaat penelitian, Kinney (….) selanjutnya
menegaskan “… study of extant rules and descriptive theories about how real world
accounting works … provides a means of evaluating accounting choices and a means that
does not go out of date for an entire professional career. By understanding the whys of real
world accounting practices, a student will be better prepared to evaluate alternatives in the
face of inevitable changes in the social, economic, and political environment. Curiously, we
don’t teach our students about accounting research. We don’t prepare students to be
producers and consumers or even “appreciators” of research as other practicing professions
do. … By withholding education about research we have cheated generations of
practitioners of accounting.”

Pendekatan Dalam Riset Akuntansi

Menurut Mahmudi (2003), riset akuntansi pada dasarnya dapat dilakukan melalui beberapa
metodologi, baik melalui metodologi kuantitatif, kualitatif, maupun triangulasi. Untuk
menghindari kerancuan antara metodologi penelitian dengan metoda penelitian terlebih
dahulu perlu dibedakan pengertian antara keduanya. Metodologi penelitian merupakan
bagian dari ilmu pengetahuan yang memelajari bagaimana prosedur kerja untuk mencari
kebenaran. Metodologi penelitian membahas konsep teoritik berbagai metoda, kelebihan
dan kelemahannya, sedangkan metoda penelitian mengemukakan secara teknis tentang
metoda-metoda yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan (Muhadjir, 2002).

Jika ditinjau dari pendekatan filosofis yang digunakan, terdapat beberapa aliran filsafat
metodologi penelitian, seperti positivisme, rasionalisme, interpretive social science
(ragamnya meliputi interpretif grounded research, constructionism, metodologi ethno,
cognitive, phenomenology, idealis, subyektivis, paradigma naturalistik, interaksi simbolik,
semiotik, heuristik, hermeneutik, dan holistik), critical social science, serta post-modern
(Neuman, 2003)

Pendekatan positivisme sangat mendominasi penelitian pada abad ke-19. Tokoh-tokoh


positivisme yang berpengaruh pada waktu itu antara lain Auguste Comte (1798-1857) dalam
bukunya “Cours dePhilosophie Positivistic” (The Course of Positive Philosophy) (1830-1842);
Mill (1806-1873) dalam bukunya “A System of Logic”(1843); Durkheim (1858-1917) dengan
bukunya “Rules of theSociological Method” (1895) yang kemudian menjadi referensi utama
para peneliti sosiologi.
Secara ontologi, positivisme berpandangan bahwa realitas dapat dipecah-pecah dan dapat
dipelajari secara independen, dieliminasi dari obyek lain, dan dapat dikontrol.
Konsekuansinya, dalam metodologi penelitiannya kerangka teori harus dibuat sespesifik
mungkin.

Secara epistemologi, positivisme menuntut dipisahkannya subyek peneliti dengan obyek


penelitian. Tujuan pemisahan ini adalah agar dapat diperoleh hasil yang obyektif. Tujuan
penelitian yang berlandaskan filsafat positivisme adalah menyusun bangunan ilmu
nomothetik, yaitu ilmu yang berupaya membuat hukum dan generalisasinya. Kebenaran
dicari melalui hubungan kausal-linear.

Secara aksiologis, positivisme menuntut agar penelitian itu bebas nilai (value free).
Positivisme mengejar obyektivitas agar dapat ditampilkan prediksi atau hukum yang
keberlakuannya bebas waktu dan tempat (Muhadjir, 2002).

Para peneliti positivisme lebih memilih data kuantitatif daripada data kualitatif. Mereka
berusaha untuk mencari obyektivitas ilmu melalui pengujian hipotesis dengan alat ukur yang
pasti dan tepat. Kebanyakan para peneliti terapan (seperti: kriminolog, analis kebijakan,
evaluator program, periset pasar, dan perencana) menganut positivisme.

Pendekatan positivistik mengandung beberapa kelemahan sehingga memunculkan aliran


post-positivisme. Aliran post-positivisme ini antara lain aliran rasionalisme, interpretive social
science, critical social science, feminisme, dan post-modernism.

Tokoh-tokoh post-positivisme rasionalisme antara lain Daniel Bell, Toynbee, Herbert


Spencer, dan John Dewey (Neuman, 2003). Post-positivis merasionalistik menggunakan
rasionalisme dalam menyusun kerangka teori dan memberikan intepretasi atas hasil
penelitian serta menggunakan empirisme dalam menguji obyek penelitiannya. Menurut
positivisme, ilmu yang valid adalah ilmu yang dibangun dari empiri, sedangkan menurut
rasionalisme ilmu yang valid merupakan abstraksi, simplifikasi, atau idealisasi dari realitas
dan terbukti koheren dengan sistem logikanya. Positivisme dinilai lemah dalam hal
membangun konsep teoritik. Ilmu-ilmu yang dikembangkan dengan metodologi yang
berlandaskan positivisme menjadi miskin konseptualisasi teoritiknya. Tidak ada teori-teori
baru yang mendasar yang muncul, sehingga banyak ilmu sosial yang mengalami stagnasi
(Muhadjir, 2002). Kelompok rasionalisme juga mengkritik positivisme yang mengandalkan
kebenaran pada empirik inderawi saja. Menurut rasionalisme, kemampuan manusia untuk
menggunakan daya pikir dan nalar (empirik logik) bisa memberikan arti yang lebih berarti
daripada empirik inderawi.

Pendekatan positivistik dan rasionalisme juga mengandung kelemahan, sehingga


memunculkan aliran interpretive social science yang mengoreksi kelemahan tersebut.
Kelemahan dalam rasionalisme adalah terlalu percaya pada empirik logik serta mengabaikan
fenomena berupa persepsi dan keyakinan subyek tentang sesuatu diluar subyek yang
bersifat transenden. Tokoh interpretive social science antara lain Weber (1864-1920),
Dilthey (1833-1914) dengan bukunya “Einleitung in die Geisteswissenshaften” (Introduction
to the Human Science) –1883, Glaser & Strauss, dan Guba & Lincoln. Pendekatan
positivisme dan rasionalisme hanya mengakui kebenaran apabila dapat dibuktikan melalui
empirik inderawi dan empirik logik. Sementara itu, pendekatan interpretive social science
mengakui adanya kebenaran empirik etik yang memerlukan akal budi untuk melacak
kebenaran, menjelaskan fenomena, dan berargumentasi. Jadi kriterianya bukan sekedar
benar dan salah, akan tetapi mencakup nilai moral. Asumsi dasarnya adalah bahwa manusia
dalam berilmu pengetahuan tidak dapat lepas dari pandangan moralnya, baik dalam tahap
mengamati, menghimpun data, menganalisis, maupun dalam membuat kesimpulan.
Pendekatan interpretive mengajak untuk menggunakan logika reflektif di samping logika
induktif dan deduktif, serta logika materiil dan logika probabilistik.

Pendekatan interpretive bukan hendak menampilkan teori dan konsep yang bersifat normatif
atau imperatif, namun mengangkat makna etika dalam berteori dan berkonsep. Model
penelitian interpretive yang banyak berpengaruh dalam dunia akuntansi misalnya adalah
model grounded research yang dikembangkan oleh Glasser & Strauss (1967) yang meyakini
bahwa pendekatan terbaik untuk mendeskripsikan dan memrediksi teori adalah
menemukannya dari data. Menurut Glaser & Strauss teori dihasilkan dari observasi empiris,
dan teori yang dikembangkan dari investigasi empiris tersebut dipandang sebagai “grand
theory”. Berdasarkan model grounded research, konsep harus dibangun dari empirik, teori
harus dibangun dari data (Khalik & Ajinkya, 1979 dan Muhadjir, 2002).

Grounded research yang dikembangkan oleh Glaser & Strauss (…) merupakan perintis
metodologi kualitatif dan menekankan bahwa fungsi penelitian bukan untuk memverifikasi
teori melainkan untuk membuat teori. Bukan data yang dicocokkan dengan teori melainkan
data untuk membangun teori. Meskipun grounded research membuka jalan menuju
penelitian kualitatif, akan tetapi kerangka pemikiran filosofisnya masih tetap sama dengan
yang kuantitatif, yaitu arah membangun teori substantif, teori formal, dan tidak menolak
arah pengembangan untuk memunculkan grand theory.

Selain model grounded research, model penelitian interpretive yang banyak dikembangkan
di dunia akuntansi adalah pendekatan naturalistik (interaktif). Model naturalistik banyak
dilakukan dalampenelitian berbentuk studi lapangan (field research). Pendekatan naturalistik
ini juga dikenal dengan sebutan riset eksploratori. Di dunia akuntansi, pendekatan
naturalistik banyak dikembangkan misalnya oleh Simon et al. (1954) dalam penelitiannya
mengenai sentralisasi dan desentralisasi dalam mengorganisasikan departemen controller;
studi yang dilakukan Argyris (1952) mengenai pengaruh anggaran terhadap perilaku; dan
penelitian Hofstede (1967) The Game of Budget Control.

Pendekatan post-positivisme yang ketiga adalah pendekatan critical social science. Critical
social science menggabungkan antara pendekatan monothetik dengan ideografik. Pada hal
tertentu critical social science sejalan dengan interpretive sosial science dalam hal kritik
terhadap positivisme. Namun di sisi lain, critical social science mengkritik pendekatan
interpretive karena pendekatan interpretive dinilai terlalu terpaku pada realitas subyektif dan
cenderung relativis. Pendekatan interpretive menempatkan ide manusia lebih penting
daripada kondisi aktualnya dan berfokus pada level mikro yang bersifat lokal, jangka pendek
dan mengabaikan konteks yang lebih luas dan jangka panjang.

Critical social science seringkali diasosiasikan dengan teori konflik, dialektika materialisme,
pertentangan kelas, dan strukturalis. Tokoh critical social science antara lain Marx (1818-
1883), Freud (1856-1939), Adorno (1903-1969), Fromm (1900-1980), Marcuse (1898-1979),
Gramsci, Freire, dan Habermas. Termasuk dalam pendekatan critical social science adalah
penelitian-penelitian model feminisme. Dalam ilmu akuntansi, penelitian model feminisme
misalnya adalah yang dilakukan Cohen, Pant, dan Sharp (1998) tentang pengaruh jender
dalam rekrutmen akuntan di Kantor Akuntan Publik (KAP).

Pendekatan post-positivisme yang keempat adalah postmoderism (posmo). Penelitian model


posmo menolak semua ideologi, sistem keyakinan yang terorganisasi (doktrin), termasuk
menolak semua teori sosial. Penelitian model posmo memberikan kedudukan yang penting
terhadap intuisi, imajinasi, pengalaman pribadi, subyektivitas yang ekstrim yang mana tidak
ada pemisahan antara mental dengan dunia luar. Peneliti Posmo meyakini bahwa kausalitas
tidak dapat dipelajari karena kehidupan itu terlalu kompleks dan cepat berubah. Posmo
menyatakan bahwa riset tidak akan pernah benar benar bisa merepresentasikan apa yang
terjadi dalam dunia sosial.

Tokoh posmo antara lain Nietzsche, Sartre, Toffler, dan Naisbitt. Peneliti model posmo mulai
menunjukkan ketertarikan pada riset-riset empiris dan metoda penelitian kualitatif meskipun
hal ini berbeda dengan model penelitian kualitatif pada studi histori (Mason, 2002). Dalam
dunia akuntansi riset-riset model posmo masih menjadi tantangan bagi para peneliti
akuntansi untuk dicoba dikembangkan. Sampai saat ini belum berkembang arah penelitian
model posmo di akuntansi. Perbandingan berbagai pendekatan filosofi metodologi penelitian

mengendalikan fenomena Membangun grand theory Memahami dan menjelaskan suatu


fenomena Mematahkan mitos dan Mendorong manusia Melakukan perubahan sosial secara
radikal Menyatakan subyektivitas,menghibur, dan mendorong manusia Tradisi Berfikir Linea
Tidak linear, bisa divergen,horizontal, dsb.

Mencari makna simbolik di balik data Membangun konstruk teori yang lebih adil Berpikir aktif
kreatif Logika yang digunakan Mencari atau membuktikan Kebenaran melalui hubungan
kausal linear Mencari atau membuktikan Kebenaran Mencari atau membuktikan Kebenaran
Mencari atau membuktikan Kebenaran Membangun kebenaran itu sendiri secara kreatif;
mencari

Riset Pasar Modal

Sebuah jumlah yang signifikan dari riset empirik atau induktif memerlihatkan harga saham
perusahaan publik bereaksi dengan cepat dan dalam keadaan tidak bias terhadap informasi
baru. Karenanya harga pasar diasumsikan dapat merefleksikan secara utuh semua informasi
yang tersedia untuk publik. Proposisi ini secara prinsip dari disiplin keuangan diketahui
sebagai efficient market hypothesis. Dalam tambahan return on security adalah sebuah
fungsi dari risiko; volatility (kemudahan berubah) dari return on security terhadap volatility
dari seluruh pasar saham. Wawasan yang sangat signifikan meningkat memberi tekanan
pada peragaman portofolio investasi lebih dari mencoba untuk “menggendang” pasar pada
sebuah basis saham individu. Hipotesa efisiensi pasar memiliki potensi implikasi yang
signifikan pada akuntansi. Misalnya karena informasi terefleksi dengan cepat pada harga
saham, daya dorong untuk peningkatan keterbukaan dengan sedikit perhatian pada pilihan
alternatif akuntansi tumbuh lebih kuat. Sejak hipotesa efesiensi market diungkapkan return
on risk didasarkan pada risiko, riset lain mencoba menaksir hubungan akuntansi yang
didasarkan pada pengukuran risiko (misalnya rasio laporan keuangan) dan pasar yang
didasarkan pada pengukuran risiko. Dampak dari pilihan kebijakan akuntansi pada security
price juga diuji secara luas.

Riset Perilaku

Riset perilaku adalah area penting lainnya yang harus diselidiki. Perhatian utama dari riset
ini adalah bagaimana pengguna laporan keuangan membuat keputusan dan informasi apa
yang mereka butuhkan. Pendekatannya adalah deskriptif, sedangkan pendekatan decision
model adalah normatif. Kebanyakan penelitian ini menggunakan subyek situasi percobaan
yang terkendalikan dengan seksama.

McIntyre (2008), misalnya mencoba menemukan apakah informasi replacement cost lebih
bermanfaat dari historical cost dalam mengevaluasi rate of return annual aktual? Dengan
kata lain, pendekatan ini mencari pengertian informasi terseleksi dan bagaimana prosesnya.
4 (empat) perusahaan menengah pada industri ban dan karet dianalisa lebih dari 3 (tiga)
tahun perioda. Subyek penelitian McIntyre adalah mahasiswa S1 dan S2. Sebagian
mahasiswa lebih memilih laporan keuangan dengan replacement cost, sebagian historical
cost dan sebagian yang lain memilih keduanya. Subyek penelitian diminta untuk memilih
perusahaan yang menghasilkan rate of return annual aktual tertinggi dalam 3 (tiga) tahun.

Rate of return annual aktual dirumuskan sebagai berikut:

n : lama asumsi perioda riset(dalam tahun)

D : dividen yang diterima selama perioda riset

M : nilai pasar saham pada awal perioda riset

∆M : perubahan nilai pasar saham selama perioda riset

Meskipun terdapat kualifikasi yang dapat dipertimbangkan, McIntyre menemukan kegagalan


untuk memerlihatkan keuntungan kepada users laporan keuangan dengan replacement cost.
Tetapi, pertanyaan seberapa representatif mahasiswa yang dijadikan subyek oleh McIntyre
untuk mengambil keputusan adalah sebuah masalah yang sebenarnya dari riset perilaku.

Pada saat riset perilaku berada pada tahapan awal, banyak hal yang menarik. Banyak studi
telah memerlihatkan ketidaksesuaian antara model keputusan normatif dengan proses
keputusan aktual dari users. Perbaikan dari kemungkinan oleh pembuat keputusan terjadi
lebih sedikit dari model keputusan Bayesian menandakan hal tersebut adalah tepat. Riset
lain menemukan adanya tendensi untuk menggunakan laporan keuangan yang
dipublikasikan untuk tujuan pengambilan keputusan manajerial. Pada saat riset perilaku
merupakan deskriptif atau positif dalam pendekatannya akan mudah melompat kepada
kesimpulan normatif yang memakai data akuntansi untuk tujuan pengambilan keputusan.

Pentingnya Asimetri Informasi

Informasi ekonomi adalah tema yang menyatukan yang secara formal mengakui bahwa
beberapa pihak yang bertransaksi usaha memunyai informasi lebih dari pihak lainnya.
Bilamana hal tersebut terjadi, maka perekonomian dicirikan adanya asimetri informasi. Ada
dua tipe asimetri informasi: adverse selection dan moral hazard.

Adverse Selection

Adalah jenis asimetri informasi dalam mana satu pihak atau lebih yang melangsungkan atau
akan melangsungkan suatu transaksi usaha, atau transaksi usaha potensial, memiliki
informasi lebih atas pihak-pihak lain. Adverse selection terjadi karena beberapa orang,
seperti para manajer perusahaan dan para pihak dalam (insiders) lainnya lebih mengetahui
kondisi kini dan prospek ke depan suatu perusahaan daripada para investor luar. Beberapa
cara yang dapat digunakan para manajer dan pihak dalam (insiders) lainnya dalam
memanfaatkan kelebihan informasi atas beban pihak-pihak luar, seperti: dengan pembiasan
atau pengelolaan informasi yang disampaikan kepada para investor. Hal ini akan
memengaruhi keputusan para investor. Di lain pihak, jika para investor rasional mengetahui
adanya kemungkinan informasi yang disampaikan kepada mereka adalah informasi bias,
mereka akan berhati-hati dalam membeli sekuritas perusahaan, yang berakibat bahwa pasar
modal dan pasar manajer tidak berfungsi sebagaimana seharusnya. Dari itu dapat dipikirkan
bahwa akuntansi dan pelaporan keuangan sebagai mekanisme untuk mengendalikan
masalah adverse selection dengan pengubahan secara terpercaya informasi dalam menjadi
informasi luar.

Moral Hazard

Adalah jenis asimetri informasi dalam mana satu pihak atau lebih yang melangsungkan atau
akan melangsungkan suatu transaksi usaha, atau transaksi usaha potensial, dapat
mengamati tindakan mereka dalam penyelesaian transaksi-transaksi mereka sedangkan
pihak-pihak lainnya tidak. Masalah asimetri kedua (moral hazard) terjadinya karena adanya
pemisahan pemilikan dengan pengendalian yang merupakan karakteristik kebanyakan
perusahaan besar. Tidaklah mungkin bagi para pemegang saham dan kreditur untuk secara
efektif mengamati secara langsung tingkat dan kualitas upaya-upaya manajer puncak dalam
menjalankan tugasnya. Karena itu, kemudian manajer tergiur untuk mengelak tanggung
jawab (shirk), melempar kesalahan setiap penurunan kinerja perusahaan pada faktor-faktor
di luar kendali manajer. Jika hal tersebut terjadi, maka terdapat implikasi yang serius
terhadap para investor dan terhadap beroperasi efisiennya perekonomian. Dari itu kemudian
laba bersih akuntansi dapat dipandang sebagai suatu ukuran kinerja manajerial. Hal ini
dapat membantu mengatasi masalah moral hazard dalam dua cara yang saling melengkapi
(komplementer).

Laba bersih dapat sebagai input bagi kontrak kompensasi eksekutif untuk memotivasi
kinerja manajer.

Laba bersih dapat memberi informasi pasar sekuritas dan pasar tenaga manajerial, sehingga
manajer yang mengelak tanggung jawab akan mengalami penurunan pendapatan, reputasi,
dan nilai pasar.

Penelitian tentang asimetri informasi dengan manajemen laba telah dilakukan oleh
Rahmawati dkk. (2006) memberikan hasil yaitu ada pengaruh positif signifikan asimetri
informasi terhadap praktik manajemen laba. Asimetri informasi menjadi peluang bagi
manajer untuk melakukan manajemen laba. Hasil ini konsisten dengan disertasi Richardson
(1998) yang menggunakan sampel industri manufaktur. Hasil juga mendukung model
analitis dari Dye (1988) dan Trueman dan Titman (1988) yang menyatakan bahwa asimetri
informasi merupakan kondisi yang tetap terhadap adanya manajemen laba.

Manajer sebagai pengelola memunyai informasi yang lebih banyak dibandingkan pihak luar
yang tidak mungkin mendapatkan seluruh informasi perusahaan. Manajer yang
mendapatkan infomasi relatif lebih banyak memunyai fleksibilitas dalam memengaruhi
laporan keuangan (khususnya laba) yang digunakan untuk memaksimalkan kepentingan
atau nilai pasar perusahaan. Tingginya tingkat asimetri informasi antara manajer dan
pemegang saham merupakan bukti bahwa pemegang saham kehilangan sumber daya,
insentif atau akses yang cukup terhadap informasi yang relevan guna memonitor tindakan
manajer (Schipper, 1989). Ketika asimetri informasi tinggi, perusahaan tersebut dapat
memanipulasi laba sebelum laporan keuangan diaudit tanpa khawatir akan terdeteksi. Oleh
karena itu, semakin tinggi asimetri informasi yang terjadi, semakin besar kecenderungannya
bahwa perusahaan tidak akan dimonitor secara efektif seperti pada perusahaan dengan
asimetri informasi yang rendah.

Semakin besar risiko dan prospek pertumbuhan investasi perusahaan maka semakin kecil
tingkat manajemen laba. Ini disebabkan karena asimetri informasi akan terjadi pada
perusahaan dengan tingkat pertumbuhan investasi yang tinggi pula. Sedangkan semakin
besar perusahaan, semakin besar pula tingkat manajemen laba (ditunjukkan dengan
koefisien yang positif pada variabel SIZE atau ukuran perusahaan).

Masalah Mendasar Teori Akuntansi Keuangan

Pada gilirannya, bahwa pengukur “terbaik” untuk laba bersih untuk memberi informasi
kepada para investor (yakni untuk mengendalikan adverse selection) tidak perlu sama
dengan pengukur “terbaik” untuk memotivasi kinerja manajer (yakni untuk mengendalikan
moral hazard).

Kepentingan investor terpenuhi dengan baik oleh informasi yang merupakan pertimbangan
di antara relevansi dan reliabilitas. Informasi yang relevan adalah yang memungkinkan
investor untuk menilai prospek perusahaan yang akan datang, sedangkan informasi yang
reliabel adalah yang tepat, bebas dari bias atau manipulasi manajer yang lainnya.

Kepentingan manajer dapat dilayani oleh informasi yang berkorelasi tinggi dengan upaya
mereka di dalam menjalankan perusahaan. Akan tetapi informasi yang relevan bagi investor
(seperti nilai pasar aset dan kewajiban) mungkin sangat berubah-ubah (volatile)
pengaruhnya terhadap laba bersih dilaporkan. Selain itu, sejauh nilai pasar yang reliabel
tidak tersedia, informasi berorientasi nilai akan lebih terpengaruh oleh bias dan manipulasi
dibanding dengan informasi berbasis kos historis. Dengan asumsi hanya terdapat satu
bottom line, maka masalah dasar teori akuntansi keuangan adalah bagaimana merekonsiliasi
peranan informasi akuntansi yang berbeda tersebut.

Regulasi Sebagai Reaksi Pada Masalah Mendasar

Ada dua reaksi atas dua masalah dasar di atas. Pertama, muncul pertanyaan “apakah
masalahnya?” jika dalam hal ini investor dan para pemakai informasi keuangan lainnya
dipandang sebagai pengguna informasi, dan para manajer sebagai penyuplai informasi,
mengapa tidak menyerahkan pada kekuatan-kekuatan pasar untuk menentukan seberapa
banyak dan macam perusahan penghasil informasi untuk memberi informasi? Seperti
layaknya di pasar buah dan mobil, kekuatan-kekuatan permintaan dan penawaran dapat
menentukan kuantitas yang diproduksi. Argumen pandangan ini bahwa kekuatan-kekuatan
pasar secara mencukupi dapat mengendalikan masalah adverse selection dan moral hazard,
sehingga para investor terlindungi, dan pasar tenaga manajerial dan pasar modal akan
bekerja secara cukup baik. Sesungguhnya, seperti dapat dilihat, ada beberapa cara
bagaimana para manajer dapat menyuplai informasi secara kredibel, termasuk informasi
akuntansi. Di lain pihak, para investor, sebagai suatau kelompok, secara mengejutkan
canggih dalam memertimbangkan implikasi-implikasi informasi terhadap kinerja perusahaan
yang akan datang.

Reaksi kedua adalah munculnya kebutuhan regulasi untuk melindungi para investor, dengan
dasar bahwa informasi begitu kompleks dan komoditi penting sehingga kekuatan-kekuatan
pasar sendiri gagal untuk secara memadai mengendalikan masalah-masalah adverse
selection dan moral hazard. Ini memunculkan peran penetapan standar, yang menurut
pandangan Scott (2006) sebagai bentuk regulasi yang menghasilkan Prinsip Akuntansi
Berterima Umum (PABU).

Penentuan jumlah regulasi yang “tepat” adalah merupakan isu pemilihan sosial yang sangat
kompleks. Pada saat ini tidak diketahui apakah dua reaksi di atas terhadap masalah dasar
sudah pada jalurnya yang tepat. Yang pasti, dapat dilihat terdapat banyak regulasi di
akuntansi dan semakin banyak standar-standar baru yang ditetapkan dengan tingkat
perkembangan yang tidak menurun. Sebagai konsekuensinya, tampak masyarakat telah
menyelesaikan pertanyaan tentang seberapa luas atau banyak regulasi.

Perspektif Historis
Salah satu cara untuk menjawab pertanyaan tentang regulasi adalah dengan memeriksa
pekerjaan pasar-pasar sekuritas sebelum regulasi besar-besaran. Di AS, Undang-Undang
Sekuritas tahun 1933 dan 1934 dihasilkan oleh Securities and Exchange Commision (SEC),
dan struktur regulatori pasar-pasar sekuritas berbasis pengungkapan (disklosur) saat ini.
Sebelum tahun 1933, pasar ini secara relatif tidak terstruktur. Apakah penetapan oleh SEC
merupakan reaksi kejutan (knee-jerk reaction) atas hantaman (crash) pasar saham yang
menimbulkan Depresi Besar, atau apakah ada kegagalan dalam pasar-pasar ini yang secara
tak terhindarkan menimbulkan katastrof atau penyakit sosial?

Status Paradigmatik Akuntansi

Evolusi atau Revolusi dalam Akuntansi

Berdasarkan kelebihan dan kelemahan masing-masing pendekatan, kita dapat


mengharapkan bahwa situasi tersebut akan membawa pada sebuah perdebatan yang
bermanfaat dan sebuah teori akuntansi yang terpadau. Pandangan ini mungkin akan
dilanjutkan oleh semua orang yang percaya bahwa kemajuan dalam akuntansi akan terjadi
melalui akumulasi gagasan-gagasan atau evolusi. Pandangan seperti itu menyaratkan
penerimaan sebagaian besar pendekatan yang diusulkan sebagai penyumbang potensial
bagi sebuah teori akuntansi yang final, terpadau, atau komprehensif.

Namun begitu, pandangan yang kuat dan lebih logis, adalah bahwa akuntansi seperti
sebagian besar ilmu sosial dan ilmu alami, mencapai kemajuan melalui revolusi bukan
evolusi. Gagasan tentang revolusi dalam akuntansi diambil dari karya Kuhn (1970) “The
Structure of Scientific Revolutions” dan diusulkan secara berhasil, dalam Statement of
Accounting Theory and Theory Acceptance (SATTA) yang diterbitkan oleh American
Accounting Association (AAA). Model revolusi Kuhn berisi langkah-langkah sebagai berikut.

Sebuah sains pada setiap waktu didominasi oleh sebuah paradigma tertentu.

Sains tersebut berjalan melalui sebuah perioda akumulasi pengetahuan, dimana selama itu
para periset bekerja atas dasar dan mengembangkan paradigma yang dominan tersebut
selama perioda ini dikenal sebagai sebuah sains normal.

Anomali yang tidak dapat dijelaskan oleh paradigma yang ada mungkin muncul.

Sebuah tahap krisis dicapai, dimulai dengan suatu pencarian bagi paradigma baru dan
diakhiri dengan sebuah revolusi dan penendangan paradigma yang dominan tersebut oleh
sebuah paradigma baru yang menguasai.

Setelah menggunakan istilah “paradigma” dalam paling tidak dua puluh satu cara yang
berbeda dan dikritik karena ketakjelasannya, Kuhn mendefinisikan paradigma sebagai solusi
teka-teki nyata yang ketika digunakan sebagai model atau contoh, dapat menggantikan
atauran eksplisit sebagai dasar bagi solusi teka-teki yang masih tersisa dari sains normal.

Berdasar definisi yang sempit ini, Ritzer (….) dalam sebuah artikel yang memelopori di
bidang sosiologi, menawarkan sebuah definisi yang lebih operasional bahwa sebuah
paradigma adalah citra fundamental tentang sesuatu hal dalam sebuah sains. Paradigma
berguna untuk mendefinisi apa yang harus dipelajari, pertanyaan apa yang harus dijawab,
bagaimana mereka harus dijawab, dan aturan apa yang harus diikuti dalam
penginterpretasian jawaban yang diperoleh. Paradigma adalah satuan konsensus yang
terluas dalam sebuah sains dan bergna untuk membedakan satu komunitas saintifik (atau
subkomunitas) dari komunitas lainnya. Paradigma mengasumsikan, mendefinisikan, dan
menghubungkan berbagai contoh, teori, metoda, dan instrumen yang ada dalam paradigma
tersebut.

Sebuah paradigma dengan demikian dapat diidentifikasi dengan tiga komponen dasar yaitu
sebagai berikut.

Sebuah artikel utama yang menjelaskan suatu gagasan atau contoh.Teori-teori.Metoda-


metoda dan teknik-teknik.

Kita dapat dengan mudah menunjukkan bahwa akuntansi sekarang berada dalam tahap
krisis, berian ketakpuasan umum terhadap pendekatan kuno matching-attaching untuk
spesifikasi isi laporan tahunan.

Akuntansi Sebuah Sains Multiparadigmatik

Jika akuntansi berada dalam tahap krisis, maka menjadi mungkin untuk mengidentifikasi
berbagai paradigma yang saling bersaing. Dengan kata lain, akuntansi adalah sebuah sains
multiparadigmatik, yang masing-masing saling bersaing untuk menguasai disiplin akuntansi.
Mengikuti definisi Ritzer tentang paradigma, masing-masing paradigma akuntansi yang ada
akan berisi contoh, teori, dan metodanya sendiri. Secara lebih spesifik , “masing-masing
paradigma akuntansi yang saling bersaing saat ini cenderung untuk menspesifikasi domain
empiris dimana sebuah teori akuntansi harus berada”.

Sebuah pengujian terhadap literatur akuntansi yang ada memungkinkan kita untuk
mengidentifikasi paradigma akuntansi berikut ini.Paradigma antropologis, yang
menyepesifikasi praktik akuntansi sebagai domain akuntansi.Paradigma perilaku pasar, yang
menyepesifikasi reaksi pasar modal sebagai domain akuntansi.Paradigma peristiwa
ekonomis, yang menyepesifikasi prediksi peristiwa-peristiwa ekonomis sebagai domain
akuntansi.Paradigma proses keputusan, yang menyepesifikasi teori keputusan dan proses
keputusan individu sebagai domain akuntansi.Paradigma income deal, yang menyepesifikasi
pengukuran kinerja sebagai domain akuntansi.

Paradigma ekonomi informasi, yang menyepesifikasi evaluasi informasi sebagai domain


akuntansi.Paradigma perilaku pengguna, yang menyepesifikasi perilaku penerima informasi
sebagai domain akuntansi.

Kontroversi Pergeseran Pendekatan Normatif ke Pendekatan Positif

Perkembangan teori positif tidak dapat dilepaskan dari ketakpuasan terhadap teori normatif
(Watt & Zimmerman, 1986). Selanjutnya dinyatakan bahwa dasar pemikiran untuk
menganalisa teori akuntansi dalam pendekatan normatif terlalu sederhana dan tidak
memberikan dasar teoritis yang kuat. Menurut (Watt & Zimmerman, 1986) terdapat tiga
alasan mendasar terjadinya pergeseran pendekatan normatif ke positif yaitu sebagai berikut.

Ketakmampuan pendekatan normatif dalam menguji teori secara empiris, karena didasarkan
pada premis atau asumsi yang salah sehingga tidak dapat diuji keabsahannya secara
empiris.

Pendekatan normatif lebih banyak berfokus pada kemakmuran investor secara individual
daripada kemakmuran masyarakat luas.

Pendekatan normatif tidak mendorong atau memungkinkan terjadinya alokasi sumber daya
ekonomi secara optimal di pasar modal. Hal ini mengingat bahwa dalam sistem
perekonomian yang mendasarkan pada mekanisme pasar, informasi akuntansi dapat
menjadi alat pengendali bagi masyarakat dalam mengalokasi sumber daya ekonomi secara
efisien.

Selanjutnya, Watt & Zimmerman (1986) menyatakan bahwa dasar pemikiran untuk
menganalisa teori akuntansi dalam pendekatan normatif terlalu sederhana dan tidak
memberikan dasar teoritis yang kuat. Untuk mengurangi kesenjangan dalam pendekatan
normatif, Watt & Zimmerman (1986) mengembangkan pendekatan positif yang lebih
berorientasi pada penelitian empiris dan menjustifikasi berbagai teknik atau metoda
akuntansi yang sekarang digunakan atau mencari model baru untuk pengembangan teori
akuntansi dikemudian hari. Apabila teori normatif menunjukkan cara terbaik untuk
melakukan sesuatu berdasar premis, norma atau standar, teori positif berusaha menjelaskan
atau memrediksi fenomena nyata dan mengujinya secara empirik (Godfrey et.a1, 1997
dalam Anis dan Imam, 2003). Penjelasan atau prediksi dilakukan menurut kesesuaiannya
dengan observasi dengan dunia nyata.

Aliran positif merupakan perspektif yang dikenal luas oleh kalangan akademisi saat ini.
Aliran ini pertama kali diperkenalkan di Universitas Chichago, kemudian meluas ke beberapa
Universitas lainnya di Amerika Serikat seperti Rochester, Barkley, Stanford, UCLA, NY
(Rasyid, 1997). Teori akuntansi positif memunyai suatu kepercayaan bahwa realita sosial
berada secara independen dari manusia yang memiliki sifat atau esensi tersendiri. Hal ini
mengakibatkan fenomena empiris terpisah dari penelitian. Dengan demikian validitas ilmiah
dari dunia empiris diuji melalui observasi. Di dalam filsafat ilmu pengujian empiris ini
dinyatakan dalam dua cara (Chua, 1986 dalam Imam, 2000), yaitu sebagai berikut.

Dalam pandangan aliran positivis ada teori dan seperangkat pernyataan hasil observasi
independen yang digunakan untuk membenarkan atau memverifikasi kebenaran teori.

Dalam pandangan Popperian karena pernyataan hasil observasi merupakan teori dependent
dan fallible, maka teori-teori ilmiah tidak dapat dibuktikan kebenarannya, tetapi
memungkinkan untuk ditolak (falsified).

Meskipun ada dua cara untuk pengujian empiris para peneliti tetap sepakat bahwa metoda
hypotetico-deductive menjadi pilihannya. Suatu penjelasan dikatakan ilmiah apabila.
Harus memasukkan satu atau lebih prinsip-prinsip umum atau hukum.

Harus ada pra kondisi yang biasanya diwujudkan dalam bentuk pernyataan hasil observasi.

Harus ada satu pernyataan yang menggambarkan sesuatu yang dijelaskan (Imam G, 2000).

Teori akuntansi positif menurut Scott (2000) berusaha untuk membuat prediksi yang baik
sesuai dengan kejadian yang nyata. Lebih lanjut Godfrey et.al (1997) dalam Anis dan Imam
(2003) menyatakan bahwa teori akuntansi positif berusaha menjawab antara lain
pertanyaan berikut dari sudut pandang ekonomi adalah sebagai berikut.

Apakah biaya yang dikeluarkan sebanding dengan manfaat yang diperoleh dalam pemilihan
metoda akuntansi alternatif?

Apakah biaya yang diperoleh sebanding dengan manfaat yang diperoleh dalam regulasi dan
proses penentuan standar akuntansi?

Apa dampak laporan keuangan yang dipublikasikan pada harga saham?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas dikembangkan teori akuntansi positif yang


dapat dikelompokkan menjadi dua tahap, yaitu (Godfrey et a1, 1997 dalam Anis dan lmam,
2003) sebagai berikut.

Penelitian akuntansi dan perilaku pasar modal. Dalam tahap ini tidak dijelaskan tentang
praktik akuntansi, tetapi dilakukan penelitian terhadap hubungan pengumuman laba dengan
reaksi harga saham. Untuk melakukan penelitian dalam tahap ini digunakan Hipotesis Pasar
Efisien (Efficiency Market Hyphothesis) (Scott, 2000). Pasar modal efisien adalah pasar
modal dimana harga surat-surat berharga yang diperdagangkan setiap waktu secara wajar
dan merefleksikan semua informasi yang diketahui publik berkaitan dengan surat berharga
dan Capital Asset Pricing Model (CAPM).

Penelitian dalam tahap kedua dilakukan untuk menjelaskan dan memrediksi praktik antar
perusahaan yang difokuskan pada alasan oportunistik dalam hal perusahaan memilih
metoda akuntansi tertentu, atau pada alasan efisiensi yaitu metoda akuntansi dipilih untuk
mengurangi biaya kontrak antara perusahaan dengan stakeholder Alasan pertama yaitu
perspektif oportunistik disebut ex-post yaitu pemilihan metoda akuntansi dilakukan sesudah
diketahui faktanya. Alasan kedua yaitu perpektif efisiensi disebut ex ante karena pemilihan
metoda akuntansi dilakukan sebelum faktanya diketahui. Penelitian dibidang ini
menggunakan agency theory yang membahas tentang paradigma pengendalian (control).

Aliran positif beranggapan bahwa antara kekuasaan dan politik sebagai sesuatu yang tetap
dan sistem sosial dalam organisasi terdiri dari fenomena empiris konkrit dan bebas nilai
(tidak tergantung) pada manajer dan karyawan yang bekerja didalamnya (Machintosh, 1994
dalam Indriantoro, 1999). Kemudian Positivist menganggap dirinya sebagai pengamat yang
netral, obyektif dan bebas nilai dari fenomena akuntansi yang diamati (Indriantoro, 1999).
Teori akuntansi positif juga dibangun berdasarkan asumsi-asumsi tentang the nature of
human society. Diasumsikan bahwa manusia selalu menentukan tujuan terlebih dahulu
sebelum memilih untuk melakukan suatu aksi. Dalam hal ini manusia memiliki “a single
superordinate goal” yaitu “utility maximization” asumsi ini muncul dalam teori agensi
akuntansi. Menurut teori ini seorang agen (manajer) akan selalu menyukai untuk bekerja
sedikit dari pada banyak, sementara pemilik (principal) berharap memaksimumkan
pengembalian investasinya.

Sistem ekonomi kapitalis merupakan landasan yang kuat untuk berkembangnya akuntansi
positif. Rasyid (1997) menyatakan bahwa hubungan antara teori dan praktik dalam
akuntansi positif dengan adanya suatu means-end dichotomy, yaitu keterpisahan antara
dunia teori dan praktik. Asumsi ini akibat logis dari asumsi ontologis (asumsi tentang obyek
penelitian) yaitu pertanyaan tentang keberadaan suatu obyek penelitian dan realita sosial.
Peneliti harus dapat meyakinkan dirinya tentang keberadaan sesuatu yang sedang dipelajari
atau diteliti, apakah realita sosial yang akan diteliti merupakan suatu obyek yang konkrit
atau merupakan suatu konsep (Gaffikin, 1989, 1998) Implikasinya dalam dunia akuntansi
adalah bahwa akuntansi dan akuntan menyediakan informasi seefisien dan seefektif
mungkin, sementara bagaimana manajer menggunakannya tidaklah menjadi perhatian
akuntan dan akuntansi. Sejauh ini aliran positif selalu berupaya melakukan riset akuntansi
dengan cara mengevaluasi hubungan antar variabel dengan hasil yang menyatakan
signifikansi antar variabel tersebut. Oleh karena itu dalam evaluasi dan anal isisnya aliran
positif sangat mengandalkan penggunaan alat statistik. Semua kasus diupayakan untuk
melihat dan disederhanakan menjadi rumusan statistik, akibatnya sering peneliti merasa
kebingungan dengan hasil penelitian yang diperoleh karena semua permasalahan
disederhanakan dengan rumusan statistik.

Pendekatan positif telah memberikan sumbangan yang berarti bagi pengembangan


akuntansi menurut Watt & Zimmerman (1986) adalah sebagai berikut.

Menghasilkan pola sistematik dalam pilihan akuntansi dan memberikan penjelasan spesifik.

Memberikan kerangka yang jelas dalam memahami akuntansi.

Menunjukkan peran utama contracting cost dalam teori akuntansi.

Menjelaskan mengapa akuntansi digunakan dan memberikan kerangka dalam memrediksi


pilihan akuntansi.

Mendorong riset yang relevan dengan akuntansi dan menekankan pada prediksi serta
penjelasan terhadap fenomena.

Tahap Pengembangan Teori Akuntansi Positif

Pengembangan teori akuntansi positif ada dalam dua tahapan (Godfrey et.al, 1994), yaitu
sebagai berikut.Tahap awal secara kronologis yang di dalamnya termasuk riset-riset dalam
akuntansi dan perilaku pasar modal.

Penelitian-penelitian di sini menunjukkan bahwa laporan keuangan yang disiapkan sesuai


dengan metoda biaya historis (historical cost) menyediakan informasi yang digunakan pasar
modal dalam penilaian saham, tetapi pada waktu yang sama akuntansi tidak memonopoli
seperangkat informasi yang digunakan untuk menilai saham tersebut.

Teori tentang ilmu ekonomi keuangan terutama hipotesis pasar yang efisien atau efficient
market hypothesis (EMH) dan capital asset pricing model (CAPM) dijelaskan pada tahapan
ini. Konsep efisiensi pasar pertama kali dikemukakan oleh Fama (1965) yang
mendeskripsikan bahwa pasar yang efisien terdiri atas “sejumlah pelaku yang rasional dan
selalu aktif mengejar laba maksimal, bersaing satu sama lain dalam memrediksi nilai pasar
dari surat-surat berharga di masa mendatang, dan di mana informasi saat ini yang penting
tersedia hampir secara bebas bagi semua pelaku pasar”.

Kemudian, menurut Fama (1970) pasar dikatakan efisien bila harga pasar betul-betul
mencerminkan semua informasi yang relevan. Efficient Market Hypothesis pada prinsipnya
membagi pasar modal menjadi tiga bentuk, yaitu sebagai berikut.

Efisiensi bentuk lemah atau weak form efficiency.

Efisiensi bentuk agak kuat atau semi strong efficiency.

Efisiensi bentuk kuat atau strong form efficiency.

Bentuk pertama, weak form efficiency, mendasarkan pada asumsi bahwa harga saham saat
ini adalah mencerminkan perubahan harga saham masa lalu atau telah memasukkan
informasi perdagangan dan harga saham pada waktu yang lalu. Hal ini berarti juga bahwa
harga spot saat ini merupakan alat prediksi terbaik bagi kurs spot di masa yang akan
datang.

Bentuk kedua, semi strong form efficiency mendasarkan pada asumsi bahwa harga saham
saat ini mencerminkan perubahan harga saham masa lalu dan informasi lain yang
dipublikasikan yang tersedia secara umum. Dengan kata lain harga saham spot saat ini
bukan hanya dipengaruhi sejarah harga saham tetapi juga telah memasukkan semua
informasi yang tersedia bagi umum.

Bentuk ketiga, strong form efficiency, mendasarkan pada asumsi bahwa harga saham
mencerminkan semua informasi baik yang dipublikasikan maupun tidak. Hal ini berarti
bahwa harga saham spot hari ini telah mencerminkan semua informasi yang keumngkinan
dapat diketahui.

Tahap kedua menjelaskan dan memrediksi praktik-praktik lintas perusahaan yang berisi dua
fokus perspektif.

Perspektif pertama mencoba menjelaskan apakah terdapat asumsi bahwa suatu perusahaan
dalam menggunakan pilihan-pilihan akuntansi tertentu (particular accounting choices)
memunyai alasan oportunistik, misalnya transfer kesejahteraan bagi manajer dari pihak
lainnya (claimholders). Asumsi ini merupakan “opportunistic perspective” yang diberi label
“ex post” karena menganggap bahwa para manajer memilih kebijakan akuntansi tertentu
setelah mengetahui kenyataan bahwa hal tersebut memaksimalkan manfaatnya bagi
mereka.

Perspektif kedua adalah asumsi bahwa perusahaan menggunakan pilihan-pilihan akuntansi


tertentu atau praktik tertentu karena alasan efisiensi. Dalam hal ini kebijakan-kebijakan
akuntansi diletakkan dalam label “ex ante” untuk mengurangi biaya kontraktual antara
perusahaan dengan pihak lainnya (claimholders). Teori pada tahap kedua ini berhubungan
erat dengan tujuan perusahaan untuk memaksimalkan kemakmuran pemegang saham yang
diterjemahkan sebagai memaksimalkan harga saham. Karena manajer (agent) diangkat oleh
pemegang saham (principal) dan bertindak atas delegasi wewenang dari principal maka
idealnya mereka akan bertindak untuk yang terbaik bagi kepentingan pemegang saham,
tetapi dalam praktik sering kali terjadi konflik antara pemegang saham dan manajer. Hal ini
disebabkan oleh kenyataan bahwa seringkali manajer memiliki tujuan lain yang mungkin
tidak sama atau bahkan bertentangan dengan tujuan utama tersebut. Konflik kepentingan
antara dua pihak atau antar (prinsipal dan agen) tersebut sering disebut agency problem.
Hubungan antar agen terjadi pada saat satu pihak yang disebut prinsipal (principal)
mengangkat pihak lain yang disebut agen (agent) yang bertindak atas nama pemberi
wewenang dan memberikan kekuasaan dalam pengambilan keputusan. Agency problem
biasanya terjadi antara manajer dan pemegang saham atau antara debit holders (kreditur)
dan stock holders (pemegang saham). Agency problem ini memunculkan teori tersendiri
dalam disiplin Hipotesis Teori Akuntansi Positif

keuangan maupun akuntansi manajemen yang disebut dengan teori agen (agency theory)

Menurut Watt & Zimmerman (1986) tujuan teori akuntansi adalah untuk menjelaskan dan
memrediksi praktik akuntansi. Penjelasan (explanation) menguraikan alasan mengapa suatu
praktik dilakukan. Misalnya teori harus menjelaskan mengapa suatu praktik dilakukan,
sebagai contoh teori harus menjelaskan mengapa banyak perusahaan lebih menyukai
menggunakan metoda FIFO dibanding LIFO, sedangkan prediksi (prediction) berarti teori
harus mampu memrediksi berbagai fenomena praktik akuntansi yang belum dijalankan.
Fenomena yang belum dijalankan tidak selalu fenomena yang akan datang, bisa fenomena
yang telah terjadi tetapi belum ada bukti secara empiris untuk menjustifikasi fenomena
tersebut. Sebagai contoh, teori akuntansi dapat menyediakan hipotesis tentang atribut
perusahaan yang menggunakan metoda FIFO dengan yang menggunakan metoda LIFO,
sehingga dapat diuji penggunaan data historis pada perusahaan yang menggunakan dua
metoda tersebut. Jadi teori merupakan pernyataan-pernyataan tentang hubungan logis
(logical relationship) antara variabel atau perilaku variabel-variabel alam atau sosial yang
dapat digunakan untuk menjelaskan (explanation) dan memrediksi (prediction) berbagai
fenomena tersebut.

Teori berisi seperangkat hipotesis yang disusun melalui pemikiran logis dan metodologi
ilmiah baik secara deduktif maupun induktif dan diuji melalui penelitian ilmiah dan empiris.
Bila penelitian empiris dapat membuktikan validitas suatu teori, maka dikatakan bahwa teori
tersebut telah diverifikasi. Teori diperlukan karena teori tersebut dapat digunakan untuk
memrediksi (to predict) berbagai fenomena sosial tertentu yang diharapkan akan terjadi.
Artinya, persyaratan-persyaratan atau asumsi-asumsi yang mendukung suatu teori dapat
dipenuhi, maka besar harapan (kemungkinan) bahwa gejala sosial tertentu akan terjadi,
tetapi ini tidak berarti bahwa teori tersebut menyebabkan fenomena yang diprediksi
tersebut terjadi. Dengan mendasarkan pada pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa
teori terdiri dari hipotesis-hipotesis yang bersifat deskriptif sebagai hasil penelitan dengan
menggunakan metoda ilmiah tertentu. Hipotesis tersebut akan menjadi sumber acuan untuk
menjelaskan dan memrediksi gejala-gejala atau peristiwa dalam akuntansi.

Hipotesis dalam teori akuntansi positif yang dirumuskan oleh Watt & Zimmerman (1986)
dalam bentuk “oportunistik” yang sering diinterpretasikan, yaitu sebagai berikut.

Hipotesis Rencana Bonus (Plan Bonus Hypothesis), dalam ceteris paribus para manajer
perusahaan dengan rencana bonus akan lebih memungkinkan untuk memilih prosedur
akuntansi yang dapat menggantikan laporan earning untuk perioda mendatang ke perioda
sekarang atau dikenal dengan income smoothing. Dengan hipotesis tersebut apabila
manajer dalam sistem penggajiannya sangat tergantung pada bonus akan cenderung untuk
memilih metoda akuntansi yang dapat memaksimalkan gajinya, misalnya dengan metoda

Hipotesis Perjanjian Utang (Debt Convenat Hypothesis), dalam ceteris paribus manajer
perusahaan yang memunyai ratio leverage (debt/equity) yang besar akan lebih suka
memilih prosedur akuntansi yang dapat menggantikan laporan earning untuk perioda
mendatang ke perioda sekarang. Dengan memilih metoda akuntansi yang dapat
memindahkan pengakuan laba untuk perioda mendatang ke perioda sekarang maka
perusahaan akan memunyai leverage ratio yang kecil, sehingga menurunkan kemungkinan
default technic. Seperti diketahui bahwa banyak perjanjian utang mensyaratkn peminjam.
Untuk mematuhi atau memertahankan rasio utang atas modal, modal kerja, ekuitas
pemegang saham dan lain-lainnya. Selama masa perjanjian, jika perjanjian tersebut
dilanggar perjanjian utang mungkin memberikan penalti, seperti kendala dalam deviden
atau pinjaman tambahan.

Hipotesis Biaya Proses Politik (Politic Process Hypothesis), dalam ceteris paribus semakin
besar biaya politik perusahaan, semakin mungkin manajer perusahaan untuk memilih
prosedur akuntansi yang menangguhkan laporan earning perioda sekarang ke perioda
mendatang. Hipotesis ini berdasarkan asumsi bahwa perusahaan yang biaya politiknya besar
lebih sensitif dalam hubungannya untuk menransfer kemakmuran yang mungkin lebih besar
dibandingkan dengan perusahaan yang biaya politiknya kecil dengan kata lain perusahaan
besar cenderung lebih suka menurunkan atau mengurangi laba yang dilaporkan
dibandingkan perusahaan kecil.

Tiga hipotesis tersebut menunjukkan bahwa akuntansi teori akuntansi positif mengakui
adanya 3 hubungan keagenan yaitu antara manajemen dengan pemilik, antara manajemen
dengan kreditur, antara manajemen dengan pemerintah (Anis dan Imam, 2003). Masalah
agency muncul disebabkan karena adanya asimetri informasi antara agent dan principal,
dimana agent lebih banyak memunyai informasi dibandingkan principal. sehingga
menyebabkan adanya moral hazard ( Belakoui, 2000).

Kehadiran pendekatan positif telah memberikan sumbangan yang berarti bagi


pengembangan akuntansi. Menurut Watts & Zimmerman (1990), PAT telah memberikan
kontribusi bagi pengembangan akuntansi, misalnya:

Menghasilkan pola sistematik dalam pilihan akuntansi dan memberikan penjelasan spesifik
terhadap pola tersebut.

Memberikan kerangka yang jelas dalam memahami akuntansi.

Menunjukkan peran utama contracting cost dalam teori akuntansi.

Menjelaskan mengapa akuntansi digunakan dan memberikan kerangka dalam memrediksi


pilihan-pilihan akuntansi.

Mendorong riset yang relevan dengan akuntansi dengan menekankan pada prediksi dan
penjelasan terhadap fenomena akuntansi.

Teori positif menekankan pada penjelasan tentang alasan-alasan terhadap praktik berjalan
dan prediksi terhadap peranan akuntansi dan informasi terkait dalam keputusan-keputusan
ekonomi individu, perusahaan, dan pihak lain yang berperan dalam kegiatan pasar modal
dan ekonomi.

Prinsip Pengakuan Pendapatan (Revenue Recognition Principle)

Istilah pendapatan dalam prinsip ini merupakan istilah yang luas, dimana di dalam
pendapatan termasuk juga pendapatan bunga, sewa, laba, penjualan aktiva dan lain-lain.
Biasanya pendapatan diakui pada saat terjadinya penjualan barang dan jasa.

Prinsip Memertemukan (Matching Principle)

Yang dimaksud dengan prinsip memertemukan adalah memertemukan biaya dengan


pendapatan yang timbul karena biaya tersebut. Ini berguna untuk menentukan besar
penghasilan bersih setiap perioda. Kesulitan prinsip ini, contoh: biaya administrasi dan
umum tidak dapat dihubungkan dengan pendapatan perusahaan. Salah satu akibat dari
prinsip ini adalah digunakannya dasar waktu dalam pembebanan biaya.

Prinsip Konsistensi (Consistency Principle)

Agar laporan keuangan dapat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, maka metoda
dan prosedur-prosedur yang digunakan dalam proses akuntansi harus diterapkan secara
konsisten dari tahun ke tahun, sehingga bila terdapat perbedaan antara suatu pos dalam
dua perioda, dapat segera diketahui bahwa perbedaan itu bukan selisih akibat penggunaan
metoda yang berbeda.

Prinsip Pengungkapan Lengkap (Full Disclosure Principle)

Yang dimaksud dengan prinsip pengungkapan lengkap adalah menyajikan informasi yang
lengkap dalam laporan keuangan. Karena informasi yang disajikan itu merupakan ringkasan
dari transaksi-transaksi dalam suatu perioda dan juga saldo-saldo dari rekening tertentu.

Prinsip Konservatisme

Prinsip konservatisme (conservatism principle) adalah suatu prinsip pengecualian atau


modifikasi dalam hal bahwa prinsip tersebut bertindak sebagai batasan terhadap penyajian
data akuntansi yang relevan dan andal. Konservatisme adalah sebagai prinsip penilaian
akuntansi yang paling kuno dan mungkin paling bertahan. Konservatisme masih digunakan
dalam beberapa situasi yang memerlukan penilaian akuntan, seperti memilih estimasi umur
manfaat dan nilai sisa dari aktiva untuk akuntansi depresiasi dan konsekuensi aturan dari
penetapan konsep “mana yang lebih rendah antara biaya atau harga pasar” (lower of cost
market) dalam penilaian persediaan dan efek-efek ekuitas yang dapat dijual.

Prinsip Materialitas

Prinsip materialitas (materiality principle) adalah suatu prinsip pengecualian atau modifikasi.
Prinsip materialitas kurang memiliki definisi operasional. Kebanyakan definisi materialitas
menekankan pada peranan akuntan dalam menginterpretasikan apa yang material dan apa
yang tidak material. Studi tahun 1974 oleh Accountants’ International Study Group
mengarakteristikkan materialitas sebagai berikut.

Materialitas pada dasarnya adalah masalah penilaian profesional. Suatu transaksi individual
sebaiknya dianggap material jika pengetahuan mengenai transaksi tersebut dapat dianggap
memiliki pengaruh terhadap pengguna laporan keuangan. Dua kriteria dasar telah
direkomendasikan. Yang pertama, disebut sebagai pendekatan ukuran (size approach),
mengaitkan ukuran dari transaksi ke variabel relevan lainnya, seperti laba bersih. Kriteria
kedua, disebut sebagai pendekatan kriteria perubahan (change criterion approach),
mengevaluasi dampak dari suatu transaksi terhadap tren atau perubahan antar perioda
akuntansi.

Prinsip Keseragaman dan Komparabilitas

Tujuan yang diinginkan adalah untuk mencapai komparabilitas laporan keuangan dengan
mengurangi keragaman yang diciptakan oleh penggunaan prosedur akuntansi yang berbeda
oleh perusahaan-perusahaan yang berbeda.Dukungan utama untuk keseragaman
(uniformity) adalah klaim bahwa hal itu akan.Mengurangi keragaman penggunaan prosedur
akuntansi dan ketakcukupan praktik-praktik akuntansi Memungkinkan perbandingan yang
berarti atas laporan keuangan dari perusahaan yang berbeda Memerbaiki kepercayaan
pengguna dalam laporan keuangan.Mengarah pada intervensi dan peraturan pemerintah
mengenai praktik akuntansi.

Dukungan utama fleksibilitas (flexibility) adalah klaim bahwa.

Penggunaan prosedur akuntansi yang seragam untuk mencerminkan transaksi yang sama
yang terjadi dalam banyak kasus memiliki risiko menyembunyikan perbedaan yang penting
antar-kasus.

Komparabilitas adalah suatu cita-cita yang bersifat utopia “hal tersebut tidak dapat dicapai
dengan mengadopsi aturan-aturan tetap yang tidak cukup memertimbangkan situasi faktual
yang berbeda”.

“Perbedaan dalam situasi” atau “variabel situasi” membutuhkan perlakuan yang berbeda,
sehingga pelaporan perusahaan dapat menanggapi situasi di mana transaksi dan kejadian
terjadi.

Variabel-variabel situasional (circumstantial variables) didefinisikan sebagai “Kondisi-kondisi


lingkungan yang bervariasi antar perusahaan dan yang memengaruhi kelayakan dari metoda
akuntansi dan objektivitas ukuran-ukuran yang dihasilkan dari penerapan metoda akuntansi
tersebut”.

Tujuan implisit dari keseragaman maupun fleksibilitas adalah untuk melindungi pengguna
dan untuk menyajikan data yang berarti kepada pengguna.

Anda mungkin juga menyukai