14 Ahmad Fatoni
14 Ahmad Fatoni
Abstrak
Al-Qur'an adalah kitab suci yang mulai turunnya sampai saat ini bahkan
hingga hari kiamat merupakan kitab yang terjaga kemurniannya karena dijamin
langsung oleh Allah s.w.t. Al-Qur'an juga merupakan kitab suci paling banyak dan
paling sering dibaca di dunia.
Al-Qur’an juga telah sempurna dihafal dan ditulis dengan lengkap, tetapi cara
baca al-Qur'an beragam, yang paling popular dikenal dengan istilah qiraat sab'ah
(bacaan tujuh). Memahami istilah-istilah yang terkandung di dalam kajian Qiraat
Sab‘ah dan tata cara penilaian dalam musabaqah bidang qiraat menjadi sangat
penting diketahui oleh seluruh umat Islam.
A. Pedahuluan
Seluruh ayat al-Qur’an telah diriwayatkan secara mutawatir baik
secara hafalan maupun tulisan. Sementara dalam penulisan atau
periwayatannya tidak boleh bahkan dilarang keras secara makna. Dengan
demikian, ketika Rasulullah s.a.w. wafat, al-Qur’an telah sempurna dihafal
dan ditulis dengan lengkap.1
Ketika khilafah pemerintahan Islam dipimpin oleh Utsman bin
Affan, terjadi kekacauan terhadap eksistensi bacaan al-Qur’an. Dengan
merujuk dan berpedoman pada suhuf Abu Bakar, Utsman bin Affan
membentuk panitia penulisan al-Qur’an dengan pimpinan Zaid bin Tsabit.
Panitia penulisan diperintahkan untuk menulis al-Qur’an ke dalam
beberapa mushaf yang populer dengan sebutan Masahif Utsmaniyah—
ﻴ ﹸﺔﺎﹺﻧﻌﹾﺜﻤ ﻒ ﺍﹾﻟ
ﺣ ﺎﻤﺼ — ﺍﹾﻟejaan tulisannya populer disebut Rasm Utsmani ( ﺎﻧﹺﻰﻌﹾﺜﻤ ﻢ ﺍﹾﻟ ﺳ ﺮ ﺍﻟ
). Ejaan tulisan Masahif Utsmaniyah merujuk pada suhuf yang dikumpulkan
pada zaman Abu Bakar r.a., dan suhuf Abu Bakar adalah mencakup Sab‘ah
Ahruf dan merupakan kodifikasi tulisan al-Qur’an para kuttab al-wahyi,
berarti, ejaan Rasm Utsmani adalah sesuai dengan ejaan tulisan yang dipakai
para penulis wahyu Rasulullah s.a.w.
*
Dosen Qiraat Sab‘ah, Rasm Utsmani, Ilmu Tajwid, dan tahfizhul Qur’an di
PTIQ dan IIQ Jakarta.
1 Mahmud Syaltut, Al-Islam ‘Aqidah wa Syari`ah, (Mesir: Dar al-Qalam, 1966), p.
507.
antara lain telah dihimpun lengkap dan di-Takhrij oleh ‘Abd al-Sabur Syahin, Tarikh al-
Qur'an, (Mesir: Dar al-Qalam, 1966), pp. 229-249.
2. Hadits lain yang senada juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Imam Muslim (redaksionalnya menurut riwayat Imam Bukhari).5
Sedangkan pengertian Sab‘ah Ahruf (tujuh huruf) sebagaimana
terlihat dalam hadis di atas, belum diketahui dengan jelas arti dan
maksudnya. Sebab kata Sab‘ah Ahruf terangkai dari kata “Sab‘ah” dan
“Ahruf”, dan keduanya mempunyai makna konotatif ( ﻰ ﻈ ﻙ ﺍﻟﱠﻠ ﹾﻔ ﺮ ﺘﺸ
ﻤ ) ﺍﹾﻟ.
Untuk mengetahui makna masing-masing secara tepat terlebih
dahulu harus melihat konteks pemakaiannya. Menurut hakekat, arti kata
“Sab‘ah” adalah bilangan antara enam dan delapan; terkadang ia dipakai
untuk menunjukkan bilangan banyak, sebagaimana kata “ ﻮ ﹶﻥ ﻌ ﺒ ﺴ ” ﺍﻟuntuk
menunjukkan bilangan puluhan, dan kata “ ﺎﹶﺋ ﹸﺔﻌﻤ ﺒ ﺴ
” ﺍﻟuntuk menunjukkan
5 ﻢ ﺳﱠﻠ ﻭ ﻪ ﻴﻋﹶﻠ ﻪ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ ﻪ ﻮ ﹺﻝ ﺍﻟﱠﻠﺭﺳ ﺓ ﺎﺣﻴ ﻲﻥ ﻓ ﺮﻗﹶﺎ ﺭ ﹶﺓ ﺍﹾﻟ ﹸﻔ ﻮﺮﹸﺃ ﺳ ﻳ ﹾﻘ ﻴ ﹴﻢﺣﻜ ﻦ ﺑ ﻡ ﺎﻫﺸ ﺖ
ﻌ ﻤ ﺳ ﻳﻘﹸﻮ ﹸﻝ ﺏ ﺨﻄﱠﺎ ﹺ ﻦ ﺍﹾﻟ ﺑ ﺮ ﻤ ﻋ ﹶﺃ ﱠﻥ
ﺓ ﺼﻠﹶﺎ
ﻲ ﺍﻟﻩ ﻓ ﺭ ﺎ ﹺﻭﺕ ﹸﺃﺳ ﺪ ﻜ ﻚ ﹶﻓ ﻟﻢ ﹶﻛ ﹶﺬ ﺳﱠﻠ ﻭ ﻪ ﻴﻋﹶﻠ ﻪ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ
ﻪ ﻮ ﹸﻝ ﺍﻟﱠﻠﺭﺳ ﺎﻳ ﹾﻘ ﹺﺮ ﹾﺋﻨﹺﻴﻬ ﻢ ﺓ ﹶﻟ ﲑ ﺜﻑ ﹶﻛ
ﻭﺣﺮ ﻋﻠﹶﻰ ﺎﺅﻫ ﺮ ﻳ ﹾﻘ ﻮ ﻫ ﻪ ﹶﻓﹺﺈﺫﹶﺍ ﺗﺍ َﺀﻘﺮ ﻟ ﺖ
ﻌ ﻤ ﺘﺳ ﻓﹶﺎ
ﺖ ﺑ ﻪ ﹶﻛ ﹶﺬ ﺖ ﹶﻟ
ﻢ ﹸﻗ ﹾﻠ ﺳﱠﻠ ﻭ ﻪ ﻴﻋﹶﻠ ﻪ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ
ﻪ ﻮ ﹸﻝ ﺍﻟﱠﻠﺭﺳ ﺎﺮﹶﺃﻧﹺﻴﻬ ﺭ ﹶﺓ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﺃ ﹾﻗ ﻮﻩ ﺍﻟﺴ ﺬ ﻫ ﻙ ﺮﹶﺃ ﻦ ﹶﺃ ﹾﻗ ﻣ ﺖ
ﻲ ﹶﻓ ﹸﻘ ﹾﻠﺍﺋﻭ ﹺﺑ ﹺﺮﺩ ﻪ ﹶﺃ ﺋﺍﻪ ﹺﺑ ﹺﺮﺩ ﺘﺒﺒﻢ ﹶﻟ ﻢ ﹸﺛ ﺳﱠﻠ ﻰﺣﺘ ﻪ ﺗﺮ ﺘ ﹶﻈﻧﻓﹶﺎ
ﻪ ﻴﻋﹶﻠ ﻪ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ
ﻪ ﻮ ﹺﻝ ﺍﻟﱠﻠﺭﺳ ﻩ ﹺﺇﻟﹶﻰ ﺩ ﺖ ﹶﺃﻗﹸﻮ ﻧ ﹶﻄﹶﻠ ﹾﻘﺎ ﻓﹶﺎﺅﻫ ﺮ ﺗ ﹾﻘ ﻚ
ﺘﻌ ﻤ ﺳ ﻲﺭ ﹶﺓ ﺍﱠﻟﺘ ﻮﻩ ﺍﻟﺴ ﺬ ﻫ ﺮﹶﺃﻧﹺﻲ ﻢ ﹶﺃ ﹾﻗ ﺳﱠﻠ ﻭ ﻪ ﻴﻋﹶﻠ ﻪ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ ﻪ ﻮ ﹶﻝ ﺍﻟﱠﻠﺭﺳ ﻪ ﹺﺇ ﱠﻥ ﺍﻟﱠﻠﹶﻓﻮ
ﻪ ﻮ ﹸﻝ ﺍﻟﱠﻠﺭﺳ ﻥ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ ﺮﻗﹶﺎ ﺭ ﹶﺓ ﺍﹾﻟ ﹸﻔ ﻮﺗﻨﹺﻲ ﺳﺮﹾﺃ ﺖ ﹶﺃ ﹾﻗ
ﻧ ﻭﹶﺃ ﺎﺗ ﹾﻘ ﹺﺮﹾﺋﻨﹺﻴﻬ ﻢ ﻑ ﹶﻟ
ﻭﺣﺮ ﻋﻠﹶﻰ ﻥ ﺮﻗﹶﺎ ﺓ ﺍﹾﻟ ﹸﻔ ﺭ ﻮﺮﹸﺃ ﹺﺑﺴ ﻳ ﹾﻘ ﻫﺬﹶﺍ ﺖ ﻌ ﻤ ﺳ ﻲﻪ ﹺﺇﻧ ﻮ ﹶﻝ ﺍﻟﱠﻠﺭﺳ ﺎﺖ ﻳ ﻢ ﹶﻓ ﹸﻘ ﹾﻠ ﺳﱠﻠ ﻭ
ﺖ
ﻧ ﹺﺰﹶﻟﻫ ﹶﻜﺬﹶﺍ ﹸﺃ ﻢ ﺳﱠﻠ ﻭ ﻪ ﻴﻋﹶﻠ ﻪ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ
ﻪ ﻮ ﹸﻝ ﺍﻟﱠﻠﺭﺳ ﺎ ﻗﹶﺎ ﹶﻝﺅﻫ ﺮ ﻳ ﹾﻘ ﻪ ﺘﻌ ﻤ ﺳ ﻲﺍ َﺀ ﹶﺓ ﺍﱠﻟﺘﻘﺮ ﻪ ﺍﹾﻟ ﻴﻋﹶﻠ ﺮﹶﺃ ﻡ ﹶﻓ ﹶﻘ ﺎﻫﺸ ﺎﺮﹾﺃ ﻳ ﺮ ﺍ ﹾﻗ ﻤ ﻋ ﺎﻪ ﻳ ﺳ ﹾﻠ ﺭ ﻢ ﹶﺃ ﺳﱠﻠ ﻭ ﻪ ﻴﻋﹶﻠ ﻪ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ
ﺎﺮﺀُﻭﺍ ﻣ ﻑ ﻓﹶﺎ ﹾﻗ
ﺮ ﺣ ﺔ ﹶﺃ ﻌ ﺒﺳ ﻋﻠﹶﻰ ﻧ ﹺﺰ ﹶﻝﺁ ﹶﻥ ﹸﺃﻫﺬﹶﺍ ﺍﹾﻟ ﹸﻘﺮ ﻢ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹺﺇ ﱠﻥ ﺖ ﹸﺛ
ﻧ ﹺﺰﹶﻟﻫ ﹶﻜﺬﹶﺍ ﹸﺃ ﺕ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ
ﺮﹾﺃ ﺮ ﹶﻓ ﹶﻘ ﻤ ﻋ ﺎﺮﹾﺃ ﻳ ﻢ ﺍ ﹾﻗ ﺳﱠﻠ ﻭ ﻪ ﻴﻋﹶﻠ ﻪ ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ
ﻪ ﻮ ﹸﻝ ﺍﻟﱠﻠﺭﺳ ﻢ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹸﺛ
ﻪ ﻨﻣ ﺮ ﺴ
ﻴﺗ
“Bahwasannya Umar bin Khattab ra. berkata: Aku mendengar Hisyam bin
Hakim membaca surat al-Furqan pada waktu Rasulullah s.a.w. masih hidup. Lalu aku
mendengarkan bacaannya dan ia membacanya (surat al-Furqan) dalam banyak huruf, di
mana Rasulullah s.a.w. belum pernah mengajarkannya kepadaku. Hampir saja aku
menariknya sewaktu ia masih salat, namun kutunggu sampai dia salam. Kemudian aku
menariknya dengan selendang yang melilit di lehernya seraya berkata: “Siapa yang
mengajarkan kepadamu bacaan surat tadi? Dia menjawab: “Rasulullah yang membacakan
kepadaku”. Kukatakan kepadanya: “Engkau bohong! Demi Allah, sesungguhnya
Rasulullah s.a.w. telah mengajarkan padaku bacaan surat yang engkau baca tadi.”
Kemudian aku menyeretnya (menghadap) kepada Rasulullah saw. dan lantas aku berkata:
“Ya Rasulullah! Sesungguhnya aku mendengar orang ini membaca surat al-Furqan
dengan huruf yang tidak (sebagaimana) engkau ajarkan kepadaku, padahal engkau telah
mengajarkan surat al-Furqan kepadaku.” Maka Rasulullah berkata: Lepaskan dia wahai
Umar! Bacalah Hisyam!” Maka Hisyam pun membacanya sebagaimana kudengar bacaan
yang ia baca tadi. Rasulullah saw. berkomentar: “Demikianlah (bacaan surat al-Furqan)
diturunkan” .Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda: “Bacalah wahai Umar!” Maka akupun
membacanya (sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah s.a.w. kepadaku). Setelah itu
Rasulullah s.a.w. bersabda: “Demikianlah (bacaan surat al-Furqan) diturunkan;
sesungguhnya al-Qur’an dengan Sab‘ah Ahruf (dalam tujuh huruf), maka bacalah oleh
kamu apa yang mudah di antara huruf-huruf itu.”
jumlah banyak dalam bilangan ratusan. Sekedar contoh dapat dilihat dalam
al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 261: ﻞ
ﺎﹺﺑ ﹶﺳﻨ ﻊ ﺒﺳ ﺖ
ﺘﻧﺔ ﹶﺃ ﺒﺣ ﻤﹶﺜ ﹺﻞ …… ﹶﻛ.6
Tampaknya al-Zarqani sembari merujuk pada hadits di atas, dan
memahaminya dengan seksama, lebih cenderung mengartikan “Sab‘ah”
secara hakekat, yakni mempunyai arti “tujuh” (bilangan antara enam dan
delapan).7 Sedangkan kata “Ahruf”, adalah jama‘ dari lafaz “harf”, yang
mempunyai arti antara lain: salah satu huruf Hija'iyah, bahasa, ujung dari
sesuatu, wajah (segi). Nampaknya yang agak relevan, kata harf diartikan
wajah (segi) dalam pengertian yang masih umum, sebagaimana dapat
dilihat dalam al-Qur’an surat Al-Hajj.8
ﻑ
ﺮ ﺣ ﻰ ﻠﷲ ﻋ
َ ﺪ ﺍ ﺒﻌ ﻳ ﻦ ﻣ ﺱ
ﺎ ﹺﻦ ﺍﻟﻨ ﻣ ﻭ
Sebagian manusia ada orang yang menyembah Allah pada satu segi/keadaan.
Adapun yang dimaksud Sab‘ah Ahruf sebagai suatu kata majemuk,
para Ulama sepakat bahwa yang dimaksud bukanlah setiap kata dalam al-
Qur’an dapat dibaca dengan tujuh wajah. Dan bukan pula yang dimaksud
adalah tujuh Imam Qiraat sebagaimana anggapan sementara orang awam,
sebab konsep Sab’ah Ahruf sudah ada sejak zaman Nabi, sedang Qiraat
Sab‘ah muncul belakangan.9
Di dalam menginterprestasikan kata Sab‘ah Ahruf para ulama
berbeda pendapat, dan perbedaannya pun terhitung banyak. Bahkan
menurut Ibnu Hayyan, para ulama didalam mengartikan kata Sab‘ah Ahruf
hingga nencapai tiga puluh lima pendapat.10 Namun, pendapat yang
terpilih adalah yang dikemukakan oleh Abu al-Fadl al-Razi, di mana telah
dipertegas pula oleh Syekh Muhammad Abdul ‘Azim al-Zarqani dan
didukung pula oleh jumhur ulama. Menurutnya, kata Sab‘ah Ahruf tidak
terlepas dari perbedaan yang berkisar pada tujuh wajah, maksudnya,
bahwa al-Qur’an dari awal hingga akhir baik yang mutawatir maupun yang
syadz sekalipun tidak keluar dari tujuh wajah perbedaan,11 yaitu:
1. Perbedaan dalam bentuk Isim, antara Mufrad, Tatsniyyah, Jama‘
Mudzakkar atau Mu’annats. Sebagaimana dijumpai dalam firman Allah
surah al-Mu’minun: 8; ﻮ ﹶﻥ ﻋ ﺭَﺍ ﻢ ﻫِ ﺪِ ﻬ ﻋَ ﻭَ ﻢ ﺘ ﹺﻬـ
َ ﻢ ِﻷَﻣﻨ ﻫ ﻦ ﻳﺬ ﺍﱠﻟ ﻭ. Lafaz ( ﻢ ﺘ ﹺﻬِﻨَﻟﹶﺄَﻣِ )
dibaca Jama‘ (ﻢ ﺘ ِﹺﻬِﻨﻟﹶﺄَﻣ ).
2. Perbedaan dalam bentuk Fi‘il, antara Madi-Mudari‘ atau ‘Amr.
Sebagaimana terdapat dalam firman Allah surah Saba’: 19
……. ﺎﺳﻔﹶﺎ ﹺﺭﻧ ﻦ ﹶﺃ ﻴﺑ ﺪ ﻌ ﺎ ﺑﺑﻨﺭ ﺍ ﹶﻓﻘﹶﺎﹸﻟﻮ--qiraat lain membaca:
…… ﺎﺳﻔﹶﺎ ﹺﺭﻧ ﻦ َﹶﺃ ﻴﺑ ﺪ ﻌ ﺎ ﺑﺑﻨﺭ ﹶﻓﻘﹶﺎﻟﹸﻮﺍ
3. Perbedaan dalam bentuk I‘rab, sebagaimana dalam firman Allah surah
al-Baqarah: 282: ﺪ ﻴ ﺷ ﹺﻬ ﻭ ﹶﻻ ﺐ ﺗﺭ ﻛﹶﺎ ﺎﻳﻀ ﻭ ﹶﻻ . Pada lafaz (ﺭ ﺎﻳﻀ ) dibaca Fathah
Ra’-nya (ﺭ ﺎﻳﻀ ), qiraat lain dengan Dammah (ﺭ ﺎﻳﻀ ) . Contoh lain, firman
Allah dalam surah al-Buruj: 15 ; ﺪ ﻴ ﺠ
ﻤ ﹺ ﺱ ﺍﹾﻟ
ﺮ ﹺ ﻌ ﻭ ﺍﹾﻟ ﹸﺫ, lafaz ( ﺪ ﻴﺠ
ﻤ ﹺ ) ﺍﹾﻟdibaca
Rafa‘; kedudukannya sebagai Na‘at dari lafaz “ ﻭ “ ﹸﺫ, qiraat lain
membaca dengan Jar lafaz (ﺪ ﻴ ﺠ
ﻤ ﹺ ) ﺍﹾﻟ, kedudukannya sebagai Na‘at dari
lafaz ( ﺵ
ﺮ ﹺ ﻌ ) ﺃﻟ.
4. Perbedaan di dalam mendahulukan (Taqdim) dan mengakhirkan
(Ta'khir), seperti firman Allah dalam surah Qaf ayat 19, ﺮ ﹸﺓ ﻜ
ﺳ ﹾ ﺕ
ﺎ َﺀﻭﺟ
ﺕ ﺑﹺﺎﹾﻟ
ﻖ ﺤ ﻮ ﻤ ﺍﹾﻟ. Qiraat lain dengan mendahulukan lafaz ( ﻖ ﺤ
)ﹶﺍﹾﻟdari pada
(ﺕﻤﻮ )ﺍﹾﻟ, maka dibaca ( ﺕ
ﻮ ﻤ ﻖ ﺑﹺﺎﹾﻟ ﺤ
ﺮ ﹸﺓ ﺍﹾﻟ ﺳ ﹾﻜ ﺕ
ﺎ َﺀ ) ﻭَﺟ.
5. Perbedaan di dalam menambah dan mengurangi (Naqis dan Ziyadah).
Sebagaimana terdapat dalam, firman Allah surah al-Lail: 3:
ﺜﻰﺍ ُﻷﻧﺮ ﻭ ﻖ ﺍﹼﻟ ﹶﺬ ﹶﻛ ﺧﹶﻠ ﺎﻭﻣ kiraah lain membaca (ﺜﻰﻭﹾﺍ ُﻷﻧ ﺮ ﺍﻟ ﱠﺬ ﹶﻛ ) ﻭdengan
menghilangkan lafaz ( ﻖ
ﺧﹶﻠ ﺎ ) ﻣ.
6. Perbedaan dalam meng-Ibdalkan (Penggantian). Sebagaimana
terdapat dalam firman Allah surah al-Baqarah 259: ﻒ
ﻴﻌﻈﹶﺎ ﹺﻡ ﹶﻛ ﱃ ﺍﹾﻟ
ﺮ ﹺﺇ ﹶ ﻧ ﹸﻈﺍﻭ
ﺎﺰﻫ ﺸ
ﻨﻧ , qiraat lain membacanya dengan “Ra’”, yakni ( ﺎﺮﻫ ﺸ ﻨﻧ ). Dengan
demikian bacaannya menjadi: (ﺎﺮﻫ ﺸ ﻨﻧ ﻒ
ﻴﻌﻈﹶﺎ ﹺﻡ ﹶﻛ ﱃ ﺍﹾﻟ
ﺮ ﹺﺇ ﹶ ﻧ ﹸﻈﻭﺍ ) .
7. Perbedaan dalam lahjah, seperti al-Imalah, al-Fath, al-Tarqiq, al-Tafkhim,
al-Izhar, al-Idgham dan lain sebagainya. Contoh bacaan al-Imalah
danal-Fath pada surah Taha: 15: ﻰﻮﺳ ﻣ ﺚ
ﻳ ﹸﺪ ﺣ ﻚ ﻴﺗﻫ ﹾﻞ ﹶﺃ ﻭ , lafaz (ﻰﻮﺳ ﻣ )
dibaca al-Fath dan al-Imalah. Contoh bacaan al-Tarqiq sebagaimana
dalam firman Allah surah Alu-‘Imran: 133: ﺔﺟﻨ ﻭ ﻢ ﺑ ﹸﻜﺭ ﻦ ﻣ ﺓ ﺮ ﻔ ﻐ ﻣ ﺍ ﹺﺇﻟﹶﻰﻋﻮ ﺎ ﹺﺭﻭﺳ
.... . Pada lafaz: ( ﺓﻔﺮ ﻐ ﻣ ) ada bacaan al-Tafkhim dan al-Tarqiq pada Ra’-
nya.
C. Pengertian Qiraat
Lafaz al-qira’at ( ﺕ
ﺍﺀَﺍﻘﺮ ) ﺍﹾﻟmerupakan bentuk plural dari kata al-
Qiraah ( ﺍ َﺀ ﹸﺓﻘﺮ ) ﺍﹾﻟyang tidak lain adalah bentuk masdar dari fi`il qa-ra-'a
(َﺃ)َﹶﻗﺮ. Kata qiraat (al-qira’at) sendiri secara etimologi berarti ragam bacaan.
Sedangkan secara terminologi, ada beberapa pendapat ulama yang penting
untuk diperhatikan. Di antaranya adalah keterangan yang telah
dirumuskan oleh Abu Syamah al-Dimasyqi (w.665/1266) adalah:
12
ﻪِ ﻠِﻗﺎﻟﻨِ ﺍﺰ ﹺﻭ ﻌ ﻣ ﺎﻓﻬﻼ
ﺘ ﹶﺧ ﺍﻥ ﻭ ﺮﺀَﺍ ﺕ ﺍﹾﻟ ﹸﻘ
ﺎﻠﻤﺍ ِﺀ ﹶﻛﺕ ﹶﺃﺩ
ﺎﻔﻴ ﻴﻢ ﹺﺑ ﹶﻜ ﻋ ﹾﻠ ﺕ
ﺍﺀَﺍﻘﺮ ﺍﹾﻟ
Qiraat adalah sebuah disiplin ilmu yang mempelajari tata cara melafazkan beberapa
kosa kata al-Qur’an dan perbedaan pelafazannya dengan menisbatkan pada orang
yang meriwayatkan.
Dari definisi yang disebutkan, Abu Syamah tidak hanya menganggap
qiraat sebagai ragam artikulasi lafaz, namun dia juga menganggap qiraat
sebagai disiplin ilmu yang independen. Bahkan dia juga menyebutkan
secara tegas bahwa sumber keberagaman qiraat bukan sebagai produk
inovasi manusia, melainkan disandarkan pada keterangan periwayatannya.
Apabila rumusan definisi Abu Syamah menekankan qiraat sebagai
sebuah disiplin ilmu yang independen, maka Manna‘ al-Qattan dalam
rumusan definisinya secara eksplisit mengukuhkan bahwa qiraat tidak
hanya sebagai sebuah disiplin ilmu, namun juga telah berakumulasi dalam
sebuah madzhab qiraat tertentu. Pemahaman al-Qattan tidak jauh
berbeda dengan al-Sabuni, hanya saja rumusan definisi yang disampaikan
oleh al-Sabuni terlihat lebih lengkap dari pada rumusan definisi yang
ditawarkan al-Qattan. Berikut ini definisi qiraat yang ditawarkan oleh al-
Qattan.
ﺒﺎﻫ ﻣ ﹾﺬ ﺍ ِﺀﺔ ﺍﹾﻟ ﹸﻘﺮ ﻤ ﺋﻦ ﹾﺍ َﻷ ﻣ ﻡ ﺎﻪ ﹺﺇﻣ ﺐ ﹺﺑ
ﻫ ﻳ ﹾﺬ ﻥ ﺁﻰ ﺍﹾﻟ ﹸﻘﺮﻨ ﹾﻄ ﹺﻖ ﻓﺐ ﺍﻟ
ﻫ ﹺ ﻣﺬﹶﺍ ﻦ ﻣ ﺐ
ﻫ ﻣ ﹾﺬ ﺕ ﺍﺀَﺍﻘﺮ ﺍﹾﻟ
13
ُﻩﻴﺮ ﻒ ﹶﻏ
ﻟﺎﻳﺨ
Qiraat adalah sebuah madzhab dari beberapa madzhab artikulasi (kosa kata) Al-
Qur’an yang dipilih oleh salah seorang Imam Qiraat yang berbeda dengan madzhab
lainnya.
12
Abu Syamah al-Dimasyqi, Ibraz al-Ma‘aniy min Hirz al-Amaniy fi al-Qiraat al-Sab‘
(Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1980), p. 3.
13 Manna‘ al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), p.170.
14 Muhammad ‘Ali al-Sabuni, Al-Tibyan fi Ulum al- Qur’an (Beirut: Dar al-Irsyad,
t.t.), p. 218.
15 Muhammad ‘Abd al ‘Azim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur'an, Jilid I.
2. Masyhur, adalah qiraat yang memiliki sanad sahih, sesuai dengan tata
bahasa Arab dan sesuai dengan salah satu Rasm Masahif Utsmaniyah.
Namun perawinya tidak sebanyak perawi qiraat mutawatirah.
3. Ahad, adalah memiliki sanad sahih, namun di dalamnya banyak
menyalahi kaidah tata bahasa Arab dan Rasm Utsmani (Khat Utsmani).
Qiraat pada tingkatan ini tidak populer dan hanya diketahui oleh orang-
orang yang benar-benar mendalami qiraat al-Qur’an. Oleh karenanya
tidak layak untuk diyakini sebagai bacaan al-Qur’an yang sah.
Sebagaimana bacaan Abi Bakrah:
ﻥ ﺎﺣﺴ ﻱ
ﺎﹶﻗ ﹺﺮﻋﺒ ﻭ ﻀ ﹴﺮ
ﺧ ﻑ
ﺭﻓﹶﺎ ﹺﺭ ﻰ ﻠﻦ ﻋ ﻴﺌﻜِ ﺘﻣ
4. Syadz, ialah tidak memiliki sanad sahih. Di dalamnya banyak menyalahi
kaidah tata bahasa Arab dan Rasm Utsmani. Maka qiraat pada tingkatan
ini tidak dapat dijadikan pegangan dalam bacaan yang sah, seperti
bacaan Ibn al-Samaifa‘:
ﻳ ﹰﺔﻚ ﺀَﺍ
ﺧ ْﹶﻠ َﹶﻔَ ﻦ ﻤ ﻟِ ﻮ َﹶﻥ ﺘ ﹸﻜَﻟِ ﻚ
ﺪٍِﹺﻧ ﻚ ِﹺﺑِﺒ
ﻴﺤ
ِ ﻨﻧ ﻡ ﻮ ﻴَﹶﻓ ﹾﻠ
5. Maudu‘, ialah qiraat yang disandarkan kepada seseorang tanpa dasar,
seperti qiraat yang dikumpulkan oleh Muhammad bin Ja‘far al-
Khazza‘i, atau kiraah (bacaan) yang dinisbatkan kepada Abu Hanifah.
6. Mudraj, adalah qiraat (bacaan) yang disisipkan ke dalam ayat al-Qur’an
sebagai tambahan yang biasanya dipakai untuk memperjelas makna
atau penafsiran, dan tentunya qiraat yang demikian tidak dapat
dianggap sebagai bacaan yang sah, seperti bacaan Sa‘d bin Waqqas:
ﻡ ﻦ ﹸﺃ ﻣ ﺖ
ﺧ ﻭﹸﺃ ﺥ ﹶﺃ
ﻪ ﹶﺃ ﻭﹶﻟ , contoh lain:
ﺞِ ﳊ
ﺳ ِﹺﻢ ﹾﺍ َﹶ ﺍﻣﻮ ﻓِﻰ ﻢ ﺑ ﹸﻜﺭ ﻦ ﻣ ﻼ
ﻀﹰ
ﺍ ﹶﻓﻐﻮ ﺘﺒﺗ ﺡ ﹶﺃ ﹾﻥ
ﺎﺟﻨ ﻢ ﻴ ﹸﻜﻋﹶﻠ ﺲ
ﻴﹶﻟ
Adapun maksud Qiraat Tujuh, Qiraat Sepuluh dan Qiraat Empat
Belas adalah sebagai berikut:
1. Al-Qiraat al-Sab‘ ( ﻊ ﺒﺴ ﺕ ﺍﻟ ﺍﺀَﺍﻘﺮ ﺍﹾﻟ/Qiraat Sab‘ah): adalah qiraat yang
diriwayatkan oleh tujuh Imam Qiraat. Yaitu, Nafi‘, Ibn Katsir, Abu
‘Amr, Ibn ‘Amir, ‘Asim, Hamzah dan al-Kisa’i .
2. Al-Qiraat al-‘Asyr ( ﺮ ﺸ
ﻌ ﺕ ﺍﹾﻟ
ﺍﺀَﺍﻘﺮ ﺍﹾﻟ/Qiraat ‘Asyrah): adalah Qiraat Sab‘ah
yang dilengkapi dengan Tiga Imam Qiraat, yakni qiraat Ya‘qub, qiraat
Khalaf, dan qiraat Yazid bin Qa‘qa‘ (Abu Ja‘far).
3. Al-Qiraat al-Arba‘ ‘Asyr ( ﺮﻋﺸ ﻊ ﺑﺭ ﺕ ﹾﺍ َﻷ ﺍﺀَﺍﻘﺮ ﺍﹾﻟ/Qiraat Arba‘ah ‘Asyr/ Qiraat
Empat Belas); adalah Qiraat ‘Asyrah ditambah qiraat Empat Imam
Qiraat, yakni qiraat Hasan Basri, qiraat Ibn Muhaisin, qiraat Yahya al-
Yazidi, dan qiraat al-Syanabudz).20
Sedangkan dalam menilai kemutawatirannya, dinilai oleh Jumhur
Ulama bukan sekedar teori, akan tetapi merupakan fakta amali yang
menunjukkan betapa agungnya al-Qur’an, di mana Imam Muhammad
Abu al-Fadil Ibrahim secara jujur mengatakan:
ﻮ ﹺﺭ ﻬ ﻤ ﺠ
ﺪ ﺍﹾﻟ ﻨﻋ ﺮﹲﺓ ﺗﺍﺘﻮﻣ ﻊ ﺒﺴ
ﺕ ﺍﻟ
ﺍﺀَﺍﻘﺮ ﹺﺇ ﱠﻥ ﺍﹾﻟ
Qiraat Tujuh adalah qiraat mutawâtirah yang disepakati oleh Jumhur.21
Tentang kemutawatirannya juga disebutkan oleh Ibn al-Subki:
ﻊ ﻤ ﺟ ﻢ ﺳﱠﻠ ﻭ ﻪ ﻴﻋﹶﻠ ﷲ
ُ ﻰ ﺍ ﻠﻲ ﺻ ﻨﹺﺒﻋ ﹺﻦ ﺍﻟ ﺎﺗ ﹶﻘﹶﻠﻬ ﻯ
ﺎ ﹶﺃﺗَﺎﻣ ﺍﺗﺮﺍﺗﻮ ﺮﹲﺓ ﺗﺍﺘﻮﻣ ﻊ ﺒﺴ
ﺕ ﺍﻟ ﺍﺀَﺍﻘﺮ ﺍﹾﻟ
22
.ﺏﺬ ﹺ ﻰ ﺍﹾﻟ ﹶﻜ ﻠﻢ ﻋ ﻫ ﻮَﺍﻃﹸﺆ ﺗَ ﺩ ﹰﺓ ﺎﻊ ﻋ ﺘﹺﻨﻤ ﻳ
Qiraat Tujuh adalah mutawâtirah yang sempurna kemutawatirannya, yakni
dinukilkan dari Nabi Muhammad saw. oleh sekelompok periwayat yang tidak
mungkin mereka bersepakat bohong.
Sedangkan Qiraat Sepuluh ( ﺮ ﺸ ﻌ ﺕ ﺍﹾﻟ
ﺍﺀَﺍﻘﺮ ) ﺍﹾﻟ, sebagian ulama
menyatakan bahwa qiraat Tiga Imam (Abu Ja‘far–Ya‘qub–Khalaf) tidak
sampai mutawatirah, akan tetapi menurut Jumhur Ulama, qiraat mereka
mutawatirah. Bahkan menurut Syeikh ‘Abd al-Fattah al-Qadi yang
menukil pendapatnya Ibn al-Jazari di dalam kitab “Munjid al-Muqri’in”
menyatakan:23
ﺎ َﺀﻤ ﹸﻞ ﹺﺇ ﹾﻥ ﺷ ﺘﺤ
ﻴﻭ ﹺﻝ ﹶﻓ ﺪﺭﹺﺍ َﻷ ﺼ
ﻰ ﺍﻟﺩ ﻓ ﺍﻭﹺﺇ ﹾﻥ ﹶﺃﺭ ﺮ ﺸ
ﻌ ﺍ َﺀ ﺍﹾﻟﻭﺭ ﺮﹲﺓ ﺗﺍﺘﻮﻣ ﺍ َﺀﹲﺓﻗﺮ ﻡ ﻮ ﻴﺪ ﺍﹾﻟ ﺟ ﻮ ﻳﹶﻻ
.ﷲُﺍ
Dewasa ini qiraat mutawatirah selain Qiraat Sepuluh tidak akan dapat ditemukan,
namun apabila pada masa periode awal Islam tentu masih mungkin didapatkan.
Akan halnya tentang Qiraat Empat Belas ( ﺮ ﺸ ﻋ ﻊ ﺑﺭ ﺕ ﹾﺍ َﻷ
ﺍﺀَﺍﻘﺮ ) ﺍﹾﻟmasih
menurut Ibn al-Jazari sebagai syadz. Artinya, qiraat Empat Imam: Hasan
Basri, Ibnu Muhaisin, Yahya al-Yazidi, dan al-Syanabudz tidak dapat
diakui sebagai bacaan al-Qur’an yang sah, sebab memiliki nilai sanad yang
syazd.24
20
Ahmad bin Muhammad bin ‘Abd. al-Dimyati, Ithaf Fudala' al- Basyar fi al-
Qira'at al-Arba‘ ‘Asyar, (Kairo: Masyhad al-Husaini, t.t.), p. 9.
21 Badr al-Din Muhammad bin ‘Abdullah al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum al-
membaca sebagaimana ﻮ ﹶﻥ ﻋ ﺪ ﺨ ﻳtempat pertama, yakni seperti yang terdapat
di awal ayat 9, yaitu ﻮ ﹶﻥ ﻋ ﺪ ﺨﺎ ﻳﻭﻣ .
Adapun istilah-istilah khusus yang biasa dipergunakan di dalam Ilmu
Qiraat, adalah sebagai berikut:
1. Qiraat ( ﺍﺀَﺓﻘﺮ ) ﺍﹾﻟ
Istilah qiraat atau qiraah dipergunakan sebagai istilah untuk
menyebut suatu bacaan lafaz al-Qur’an yang dinisbatkan kepada seorang
Imam. Dengan demikian, bila yang disebut adalah Imam Qiraat, maka
berarti tidak ada ikhtilaf bacaan untuk kedua periwayat.27 Sebagai contoh,
jika ada bacaan suatu lafaz dinisbatkan kepada nama Imam ‘Asim, maka
disebut Qiraat ‘Asim.
2. Riwayat ( ـﺔﺍﻳﺮﻭ ) ﺍﻟ
Istilah riwayat atau riwâyah dipergunakan pada bacaan lafaz al-Qur’an
yang dinisbatkan kepada seorang Rawi/Perawi dari Imam Qiraat. Sebagai
contoh, jika suatu bacaan lafaz dinisbatkan kepada Hafs dari Imam ‘Asim,
maka bacaannya disebut Riwayat Hafs dari Imam ‘Asim.
3. Tariq ( ﻖ ﻳ) ﺍﻟ ﱡﻄ ﹺﺮ
Istilah Tariq dipergunakan jika ada perbedaan bacaan suatu lafaz
yang dinisbatkan kepada seorang Tariq dari para Perawi.28 Sebagai contoh,
jika suatu bacaan lafaz dinisbatkan kepada Imam al-Syatibi dari para
Perawi Hafs, maka bacaannya disebut menurut Tariq Imam al-Syatibi dari
para Perawi Hafs.
4. Wajah ( ﻪ ﺟ ﻮ ) ﺍﹾﻟ
Istilah wajah dipergunakan untuk menyebut bentuk-bentuk bacaan
yang berbeda yang diperbolehkan bagi seorang pembaca untuk
memilihnya.29 Misalnya; ketika terjadi hukum Mad ‘Arid li al-Sukun, maka
mempunyai tiga wajah bacaan, yaitu al-qasr (2 harakat), al-tawassut (4
harakat), dan al-tul (6 harakat). Dengan demikian, seorang pembaca al-
Qur’an boleh memilih satu dari tiga wajah bacaan yang diperbolehkan.
27 Muhammad Salim Muhaisin, Al-Irsyadat al-Jaliyyah fi al- Qira'at al-Sab‘ min Tariq
30 Ahmad Fathoni, Kaidah Qiraat Tujuh, Cet. I, Jilid I, (Jakarta: Institut PTIQ &
IIQ Jakarta dan Darul ‘Ulum Press Jakarta, 2005), p. 28.
31 Al-Qadi, Al-Wafi, p. 51.
32 Abu al-Qasim ‘Ali bin ‘Utsman al-Baghdadi, Siraj al-Qari’ al-Mubtadi’, (Beirut:
35
Silah Ha’ Kinayah biasa juga disebut isyba‘ Ha’ kinayah atau mad 'Ha’ kinayah.
36
Al-Baghdadi, Siraj al-Qari’, p. 45.
37 Tanpa silah Ha’ kinayah biasa juga disebut qasr 'Ha’ kinayah atau ikhtilas Ha’
kinayah.
38 Sayyid Lasyin dan Khalid Muhammad al-Hafiz, Taqrib al-Ma‘ani fi Syarh Hirz al-
Amani fi al-Qira’at al-Sab‘, (Madinah: Maktabah Dar al-Zaman, 1413 H./ 1992 M.), p. 63.
39 Al-Baghdadi, Siraj al-Qari’, p. 60.
b. Meng-itsbatkan huruf mad alif dalam suatu kata (kalimah), namun bunyi
huruf mad tersebut tidak dipanjangkan melebihi dari aslinya, yakni tetap
dibaca 2 harakat.
Misalnya, lafaz ﺖ
ﺳ ﺭ ﺩ dalam surat al-An‘am ayat 105, Ibn Katsir dan
Abu ‘Amr membaca lafaz tersebut dengan al-mad, artinya meng-isbatkan
huruf mad (Alif) sesudah ( دdal), yakni ﺖ ﺳ ﺭ ﺩ.40
17. Al- Qasr (ﺮ ـ ) ﺍﹾﻟ ﹶﻘﺼ: menurut bahasa ialah tertahan, dan menurut istilah
mempunyai 2 (dua) arti, yaitu:
a. Tanpa memanjangkan bunyi huruf mad atau huruf lein. Maksudnya untuk
huruf mad atau huruf lein dipanjangkan sebagaimana aslinya, yaitu 2
harakat.
b. Membuang huruf mad alif dari suatu kata (kalimah). Misalnya, lafaz
ﺖ
ﺳ ﺭ ﺩ bacaan Imam Tujuh selain Ibn Katsir dan Abu ‘Amr adalah al-
qasr, artinya membuang Alif sesudah ( دdal) yakni ﺖ
ﺳ ﺭ ﺩ .41
18. Mad Muttasil:42 ialah apabila ada huruf mad yang sesudahnya berupa
huruf Hamzah di dalam satu kata (kalimah).43 Sebagai contoh – ﻴـَﺖ ﺳ
ﺎ َﺀ ﺟ- ﻮ َﺀ ﺳ .
19. Mad Munfasil:44 ialah apabila ada huruf mad yang sesudahnya berupa
huruf Hamzah di lain kata/kalimah.45 Misalnya:
ﻧ ﹺﺰ ﹶﻝﺎﹸﺃﺎ – ﻣﻳﻬٰﻳﹶﺄ
ﻢ ﺴ ﹸﻜ
ﻧ ﹸﻔﺍ ﹶﺃﱃ ﺍﷲ – ﹸﻗﻮ ﻩ ﹺﺇ ﹶﻣﺮ ﻭﹶﺃ
ﺎﻣﻬ ﻰ ﹸﺃ ﻓ- ﺻ ﹶﻞ ﻮ ﻳ ﺑﹺﻪ ﹶﺃ ﹾﻥ
20. Mad Badal (ﻝ
ﺪ ﹺ ـﺪ ﺍﹾﻟﺒ ـ )ﻣ: ialah apabila ada huruf mad yang sebelumnya
berupa huruf Hamzah (baik hamzah tsabit atau hamzah mughayyar).
Contoh huruf mad yang sebelumnya berupa hamzah tsabit adalah ﺍﻨﻮﻣ ﺀَﺍ-
ﻰﻭﺗ ﹸﺃ- ﺶ
ﻳ ﹴﺮ ﻑ ﻗﹸـ
ﻼ
ﻳ ﹶ ِﻹContoh huruf mad yang sebelumnya berupa hamzah
mughayyar adalah ﻦ ﻣ ﻦ ﺀَﺍ ﻣ ketika dibaca yang dibaca dengan al-naql.46
21. Tashil Hamzah Baina-Baina 47 (ﻦ ﻴـﻦ ﺑ ﻴﺑ ﻴ ﹸﻞﺴ ﹺﻬ
ﺘﺍﻟ/ﻦ ﻴﺑ ﻦ ﻴﺑ ﺓ ﺰ ﻤ ﻴ ﹸﻞ ﹾﺍ ﹶﳍﺴ ﹺﻬ
ﺗ ) : ialah
bacaan khusus huruf Hamzah. Di dalam praktik apabila Hamzah
berharakat Fathah ( ) َءmaka bunyinya antara Hamzah yang berharakat
Fathah dan Alif (ha-samar). Apabila Hamzah berharakat Dammah () ُء
maka bunyinya antara Hamzah yang berharakat Dammah dan Waw
(hu-samar). Apabila Hamzah berharakat Kasrah ( ) ِءmaka bunyinya
antara Hamzah yang berharakat Kasrah dan Ya’ (ha-samar).48
22. Al-Idkhal ( ﻝ
ـﺎ ﹸﺩﺧ ) ﹾﺍ ِﻹ: ialah peristiwa masuknya Alif antara dua Hamzah
(ﺀَﺍ ُﺀ-ﺀَﺍ ِﺀ-)ﺀَﺍ َﺀ, sehingga Hamzah pertama mempunyai panjang bacaan 2
harakat.49 Misalnya ﺰﻝﺅﻧ ﺀَﺍ، ﺇﺫﺍ َﺀﺍ، ﻢ ﻬ ﺗﺭ ﻧ ﹶﺬ ﺀَﺍﹶﺃ.
23. Al-Ibdal (ﻝ
ﺍ ﹸﺑﺪ)ﹾﺍ ِﻹ: ialah peristiwa pergantian huruf.50 Misalnya, Hamzah
kedua pada ـﺔﺎ ِﺀ ﺀَﺍﻳـﻤﻦ ﺍﻟﺴ ـ ﻣdi-ibdalkan dengan Ya’. Artinya bacaan
Hamzah kedua diganti menjadi Ya’.
24. Sakin Mafsul (ﻮ ﹸﻝ ـﻤ ﹾﻔﺼ ﻦ ﺍﹾﻟ ﻛ ﺎ)ﺍﻟﺴ: ialah apabila ada huruf sahih mati di
akhir kata (bukan huruf mad), sesudahnya berupa Hamzah Qata‘
yang menjadi awal kata berikutnya.51 Misalnya ﻦ ﻣ ﻦ ﺀَﺍ ﻣ - ﻢ ﻴﻟﺏ ﹶﺃ
ﻋﺬﹶﺍ -
ـ ﹸﻞﺍﹶﺃﻧﺎﹶﻟﻮﺗﻌ. Arti "Waqaf" pada sakin mafsul adalah waqaf pada kata (lafaz)
yang awalnya berupa Hamzah Qata‘; sedang arti "Wasal" padanya adalah
menyambung bacaan antara kata (lafaz) yang awalnya berupa Hamzah
Qata‘ dengan lafaz sesudahnya.
25. Lam Ta‘rif/Al-Ta‘rif ( ﻒﻌ ﹺﺮﻳ ﺗ ﻝ
ﺃ ﹾ/ ﻒ
ﻳﻌ ﹺﺮ ﺘﻡ ﺍﻟ ) ﹶﻻ: ialah apabila ada " " ﺍﻝmasuk
pada kalimah yang awalnya berupa Hamzah Qata‘.52 Misal ﺽ
ﺭ ﹺ ﻰ ﺍ َﻷ ﻓ
- ﺎ ﹸﻥﻧﺴﺮ ﹸﺓ – ﹾﺍ ِﻹ ﺧ ﹾﺍ َﻷ. Berarti lafaz ﺪ ـﳊﻤ
ﺍﻟـﺮﲪﻦ – ﹾﺍ ﹶdan yang semisal tidak
disebut lam ta‘rif/al-ta‘rif.
26. Hukum ﻲ ٌﺀ ـ ﺷ- ﻲ ٍﺀ ـ ﺷ- ــﺎﺷﻴ : ialah hukum bacaan huruf lein yang
sesudahnya berupa Hamzah khusus di tiga lafaz ini.53 Artinya untuk
semisal lafaz ﻴﺌﹶـﺔ ﻬ ﻛ
ﹶwalaupun sebelum Hamzah berupa huruf lein, tidak
disebut mempunyai hukum ﻰ ْﺀ ـ ﺷ, sekalipun untuk riwayat Warsy ada
kesamaan bacaan.
27. Tashil/Takhfif ( ﻒ ﻔﻴﹺـ ﺨﺍﻟﺘ/ﻴ ﹸﻞـ ﹺﻬﺘﺴ )ﺍﻟ: ialah peristiwa berubahnya bunyi
huruf Hamzah yang meliputi tashil baina-baina – Naql – al-ibdal – al-
hadzf (membuang Hamzah) .54
28. Al-Isymam (ﻡ ﺎﺷﻤ
)ﺍ ِﻹ: ialah memajukan kedua bibir ke depan dengan
tanpa suara, sebagai isyarat bahwa asal harakat hurufnya adalah dammah,
serta-merta sesudah huruf tersebut di-sukun karena di-waqafkan.55
Bacaan-Bacaan al-isymam ini juga dipakai di dalam bacaan huruf ﺹpada
lafaz ﺍﻁﺻﺮ
/ﺍﻁﺼﺮ
ِ ﺍﻟuntuk khalaf;56 ﺹSukun yang terletak sebelum ( دdal),
ﺗ untuk bacaan Hamzah dan al-Kisa’i; pada lafaz ﻞ
misalnya ﺔﺪﻳ ﺼ ﻴ ﹶ ﹶﻗcs.
untuk bacaan Hamzah dan al-Kisa’i.
29. Al-Raum ( ﻡ ﻭ ﺮ )ﺍﻟ: ialah melemahkan suara huruf yang berharakat
sehingga sampai tinggal-1/3 nya; ketika pembaca mewaqafkan lafaz
yang akhirnya berharakat dammah (marfu‘) atau kasrah (majrur).57
Digambarkan, bahwa orang butapun masih dapat mencermati bacaan
Raum ini. Adapun al-Ikhtilas adalah melemahkan suara huruf yang
berharakat sehingga tinggal 2/3-nya, misalnya dammah ( رRa’) ﻢ ﻛ ﺮ ﹸُ ﻣ ﺄﻳ
dibaca al-ikhtilas; artinya suara dammah ( ﺭRa’) dilemahkan sampai
tinggal 2/3-nya.58
30. Tashil Hamzah Baina-Baina Bi al-Raum ﻞﻴ ﹸﺴ ﹺﻬ
ﺘ ﺍﻟ/ﻭ ﹺﻡ ﺮ ﻦ ﺑﹺﺎﻟ ﻴﺑ ﻦ ﻴﺑ ﺰ ﹶﺓ ﻤ ﻴ ﹸﻞ ﺍ ﹶﳍﺴ ﹺﻬ
ﺗ)
( ﻭ ﹺﻡ ﺮ ﻦ ﺑﹺﺎﻟ
ﻴﺑ ﻦ ﻴﺑ : ialah huruf Hamzah di akhir kalimah (lafaz) yang
min Tariqai al-Syatibiyyah wa al-Durrah, Cet. ke I, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1981), p.
24.
54 Al-Qadi, Al-Wafi fi Syarh al-Syatibiyyah, p. 110.
55 ‘Abd Allah bin ‘Abd al-Mu’min al-Wasiti, Al-Kanzu fi al-Qira’at al-‘Asyr (Beirut:
59
Sayyid Lasyin, dan Khalid Muhammad al-Hafiz. Taqrib al-Ma‘ani fi Syarh Hirz
al-Amani fi al-Qira’at al-Sab‘, (Madinah: Maktabah Dar al-Zaman, 1413 H./1992), p. 107.
60 Fathoni, Kaidah Qiraat Tujuh, Jilid II, p. 28.
61 Al-Qadi, Al-Wafi fi Syarh al-Syatibiyyah, p. 140.
62 Al-Baghdadi, Siraj al-Qari’, p. 103.
63 Sayyid Lasyin, Taqrib al-Ma‘ani, p. 141.
64 Ibn al-Jazari, Al-Nasyr fi al- Qira'at al-‘Asyr, Juz II, p. 68.
bacaan taghliz lam ini menjadi ciri khas Riwayah Warsy.65 Misalnya
“Lam” pada ﻢ ﺗ ﹺﻬﻼ
ﺻﹶ ﻦ ﻋ dibaca oleh Warsy dengan taghliz, yakni "la"
dibaca seperti Lam-nya lafaz ا. Lawan bacaan dari taghliz lam adalah
"tarqiq lam".
38. Ya’ Idafah (ﺔ ﺎﹶﻓﺎ ُﺀ ﺍﻹﺿ)ﻳ: ialah Ya’ tambahan yang menunjukkan
Mutakallim, yakni Ya’ yang bukan sebagai lam fi‘il dan bukan sebagai
kerangka kata (kalimah).66 Misal ﺪﻧﹺﻰ ﺠ ﺘ ﹺ ﺳ- ﻰ ﺇﻧdan lain-lain. Imam
Qiraat ada yang membaca Fathah dan ada yang membaca Sukun Ya’
(ﺎ ِﺀﺳﻜﹶﺎ ﹸﻥ ﺍﹾﻟﻴ
)ﹺﺇ.
39. Ya’ Zaidah ( ﺓ ﺪ ﺋﺍﺎ ُﺀ ﺍﻟﺰ) ﻳ: ialah Ya’ yang terletak di akhir kata (kalimah),
namun tidak ada rasmnya (tidak tertulis).67 Oleh karena itu, di antara
bacaan Imam Qiraat berkisar antara membuang/hadzf Ya’ (ﻑ ﺍﻟﻴﺎﺀ )ﺣﺬ
dan itsbat Ya’ (ﺎ ِﺀﺕ ﺍﻟﻴ
ﺎ )ﹺﺇﹾﺛﺒ. Misalnya ﻉ ﺪَﺍ ﹺ ﺍﻟada yang membaca hadzf Ya’ (al-
da‘i) dan ada yang membaca itsbat Ya’ (al-da‘i).
40. Al- Naql (ﻞ ـﻘﹾـ ُﹺ) ﺍﻟﻨ: ialah memindahkan harakat huruf Hamzah ke
huruf mati sebelumnya, kemudian Hamzah (di dalam bacaan)
dibuang.68 Misalnya ﺢ ﺪ ﹶﺃﻓﹾـﹶﻠ ﹶﻗdibaca qadaflaha, ﺎ ﹶﻥﻧﺴ ﹺﺇ ﱠﻥ ﹾﺍ ِﻹdibaca
innalinsana.
41. Saktah ( ﺖ
ﺴ ﹾﻜ ) ﺍﻟ: ialah berhenti sejenak selama 2 harakat tanpa nafas.69
Misalnya-ﻦ
ﻣ ﻦ ﺀَﺍ ﻣ dibaca man saktah amana, ﺽ
ﺭ ﹺ ﻰ ﹾﺍ َﻷ ﻓdibaca fil saktah ardi.
42. Tahqiq (ﻖ ﻴﻘ ﺤ
ﺘ ) ﺍﻟbiasa juga disebut ﺖ ﺳ ﹾﻜ ﻴ ﹺﺮﻦ ﹶﻏ ﻣ ﻖ ﻴﻘ ﺤ
ﺘ ﺍﻟ: ialah bacaan yang
tidak al-naql dan juga tidak Saktah. Lebih mudah disebut bacaan biasa
sebab bunyi huruf Hamzah tidak berubah sebagaima bacaan Hafs.
Misalnya ﺢ ﺪ ﹶﺃ ﹾﻓﹶﻠ َﹶﻗdibaca qad-aflaha, ﺽ
ﺭ ﹺ ﻰ ﹾﺍ َﻷ ﻓdibaca fil- ardi.
43. Dzawat al- Ya’ ( ﺎ ِﺀﺕ ﺍﹾﻟﻴ
ﻭَﺍ ) ﹶﺫ: ialah setiap Alif asliyyah (bukan zaidah) di
akhir kata (kalimah) yang asalnya dari Ya’. Kadang-kadang terdapat
pada akhir kata yang berharakat Fi'il, misalnya ﺇﺷﺘﺮﻯ – ﺃﰉ, atau Isim,
F. Penutup
Eksistensi Qiraat Sab‘ah mulai dekade 70-an mulai bergairah lagi
dipelajari oleh para pencinta al-Qur’an dibanyak negara Islam, dan dikaji
pada berbagai lembaga pendidikan formal maupun non formal di
Indonesia, diantaranya di Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) Jakarta dan Institut
PTIQ Jakarta. Bahkan mulai tahun 2002 ketika diselenggarakan STQ
Nasional di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) salah satu cabang yang
dimusabaqahkan adalah Qiraat Sab‘ah. Mengingat kehadiran Qiraat Sab‘ah
termasuk kajiannya masih dianggap sebagai pendatang baru di Indonesia
maka wajar bila masih belum begitu banyak yang mengetahui duduk soal
ragam bacaan al-Qur’an ini.
Daftar Pustaka