Anda di halaman 1dari 22

Mengenal Kaidah dan Istilah Dalam Ilmu Qira’at

Oleh: Ahmad Fathoni *

Abstrak

Al-Qur'an adalah kitab suci yang mulai turunnya sampai saat ini bahkan
hingga hari kiamat merupakan kitab yang terjaga kemurniannya karena dijamin
langsung oleh Allah s.w.t. Al-Qur'an juga merupakan kitab suci paling banyak dan
paling sering dibaca di dunia.
Al-Qur’an juga telah sempurna dihafal dan ditulis dengan lengkap, tetapi cara
baca al-Qur'an beragam, yang paling popular dikenal dengan istilah qiraat sab'ah
(bacaan tujuh). Memahami istilah-istilah yang terkandung di dalam kajian Qiraat
Sab‘ah dan tata cara penilaian dalam musabaqah bidang qiraat menjadi sangat
penting diketahui oleh seluruh umat Islam.

Kata kunci: kaidah, istilah, ilmu qira'at, qiraat sab‘ah

A. Pedahuluan
Seluruh ayat al-Qur’an telah diriwayatkan secara mutawatir baik
secara hafalan maupun tulisan. Sementara dalam penulisan atau
periwayatannya tidak boleh bahkan dilarang keras secara makna. Dengan
demikian, ketika Rasulullah s.a.w. wafat, al-Qur’an telah sempurna dihafal
dan ditulis dengan lengkap.1
Ketika khilafah pemerintahan Islam dipimpin oleh Utsman bin
Affan, terjadi kekacauan terhadap eksistensi bacaan al-Qur’an. Dengan
merujuk dan berpedoman pada suhuf Abu Bakar, Utsman bin Affan
membentuk panitia penulisan al-Qur’an dengan pimpinan Zaid bin Tsabit.
Panitia penulisan diperintahkan untuk menulis al-Qur’an ke dalam
beberapa mushaf yang populer dengan sebutan Masahif Utsmaniyah—
‫ﻴ ﹸﺔ‬‫ﺎﹺﻧ‬‫ﻌﹾﺜﻤ‬ ‫ﻒ ﺍﹾﻟ‬
 ‫ﺣ‬ ‫ﺎ‬‫ﻤﺼ‬ ‫— ﺍﹾﻟ‬ejaan tulisannya populer disebut Rasm Utsmani ( ‫ﺎﻧﹺﻰ‬‫ﻌﹾﺜﻤ‬ ‫ﻢ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺍﻟ‬
). Ejaan tulisan Masahif Utsmaniyah merujuk pada suhuf yang dikumpulkan
pada zaman Abu Bakar r.a., dan suhuf Abu Bakar adalah mencakup Sab‘ah
Ahruf dan merupakan kodifikasi tulisan al-Qur’an para kuttab al-wahyi,
berarti, ejaan Rasm Utsmani adalah sesuai dengan ejaan tulisan yang dipakai
para penulis wahyu Rasulullah s.a.w.

*
Dosen Qiraat Sab‘ah, Rasm Utsmani, Ilmu Tajwid, dan tahfizhul Qur’an di
PTIQ dan IIQ Jakarta.
1 Mahmud Syaltut, Al-Islam ‘Aqidah wa Syari`ah, (Mesir: Dar al-Qalam, 1966), p.

507.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 4, Agustus 2009


1054 Ahmad Fathoni: Mengenal Kaidah dan Istilah Dalam Ilmu Qira’at

Di dalam sejarah perkembangan Qiraat Sab‘ah dan ragam qiraat al-


Qur’an yang lain dapat diketahui bahwa masa keemasan eksistensinya
adalah mulai abad I hingga abad IX Hijriyah, tepatnya hingga masa Ibnu
Jazari (w. 833 H./1429 M.). Namun setelah masa Ibnu Jazari hingga
dekade tahun 70-an boleh dikata mengalami masa kemunduran atau
minimal stagnan. Hal ini tercermin dengan adanya fatwa Majma‘ al Buhuts
(Lembaga Riset) al-Azhar Kairo pada Muktamar VI tanggal 20-27 April
1971, yang di antara komponen keputusannya adalah agar para pembaca
al-Qur’an tidak hanya menggunakan bacaan Riwayah Hafs saja, demi
menjaga ragam qiraat al-Qur’an lain yang mutawatirah dari terlupakan dan
kemusnahan.2
Sejalan dengan fatwa ulama al-Azhar, Majlis Ulama Indonesia Pusat
pada tanggal 2 Maret 1983 juga merekomendasikan: bahwa Qiraat Tujuh
wajib dikembangkan dan dipertahankan eksistensinya.3 Berangkat dari
latar belakang tersebut pada kesempatan ini penulis memperkenalkan
istilah-istilah di dalam kajian Qiraat Sab‘ah dan tata cara penilaian dalam
musabaqah bidang qiraat.

B. Asal-Usul Ragam Qiraat


Al-Qur’an tidak diturunkan dalam satu bentuk bacaan saja, akan
tetapi diturunkan dengan ragam bacaan (qiraat), tepatnya diturunkan
dengan Sab‘ah Ahruf (tujuh huruf) sebagaimana penjelasan hadits-hadits
terpercaya yang merupakan sumber informasi tentang cikal bakal
terjadinya ragam qiraat ketika wahyu Allah diterima oleh Rasulullah s.a.w.
Dengan kata lain, terjadinya ragam qiraat adalah bersumber dari Nabi
s.a.w., dan Nabi tidak membuat atau mengarang sendiri ragam qiraat
tersebut, akan tetapi menerima dari Allah s.w.t. melalui malaikat Jibril a.s.
Hadits tentang Sab‘ah Ahruf disepakati sebagai hadits mutawatir,
karena diriwayatkan oleh tidak kurang dari 22 sahabat, baik langsung dari
Nabi s.a.w. maupun melalui perantara sahabat yang lain.4 Di antaranya
adalah:
1. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim pada
kitab sahih mereka masing-masing, yaitu pada bab unzil al-Qur'an ‘ala
Sab‘ah Ahruf.

2 Buhuts Qur’aniyyah, Majma‘ al-Buhuts al-Islamiyyah al-Mu‘tamar al-Sadis, IV,


(Kairo: al-Syirkah al-Misriyyah li al-Tiba‘ah wa al-Nasyr, 1971), p. 298.
3 Kumpulan Fatwa MUI, ( Jakarta: Pustaka Panjimas,1984), p.152.
4 Kemutawatiran hadits “Sab‘ah Ahruf” serta nama-nama yang meriwayatkan,

antara lain telah dihimpun lengkap dan di-Takhrij oleh ‘Abd al-Sabur Syahin, Tarikh al-
Qur'an, (Mesir: Dar al-Qalam, 1966), pp. 229-249.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 4, Agustus 2009


Ahmad Fathoni: Mengenal Kaidah dan Istilah Dalam Ilmu Qira’at 1055

2. Hadits lain yang senada juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Imam Muslim (redaksionalnya menurut riwayat Imam Bukhari).5
Sedangkan pengertian Sab‘ah Ahruf (tujuh huruf) sebagaimana
terlihat dalam hadis di atas, belum diketahui dengan jelas arti dan
maksudnya. Sebab kata Sab‘ah Ahruf terangkai dari kata “Sab‘ah” dan
“Ahruf”, dan keduanya mempunyai makna konotatif ( ‫ﻰ‬ ‫ﻈ‬ ‫ﻙ ﺍﻟﱠﻠ ﹾﻔ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺘ‬‫ﺸ‬
 ‫ﻤ‬ ‫) ﺍﹾﻟ‬.
Untuk mengetahui makna masing-masing secara tepat terlebih
dahulu harus melihat konteks pemakaiannya. Menurut hakekat, arti kata
“Sab‘ah” adalah bilangan antara enam dan delapan; terkadang ia dipakai
untuk menunjukkan bilangan banyak, sebagaimana kata “ ‫ﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﺒ‬ ‫ﺴ‬  ‫ ” ﺍﻟ‬untuk
menunjukkan bilangan puluhan, dan kata “ ‫ﺎﹶﺋ ﹸﺔ‬‫ﻌﻤ‬ ‫ﺒ‬ ‫ﺴ‬
 ‫ ” ﺍﻟ‬untuk menunjukkan

5 ‫ﻢ‬ ‫ﺳﱠﻠ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻴ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻮ ﹺﻝ ﺍﻟﱠﻠ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﺓ‬ ‫ﺎ‬‫ﺣﻴ‬ ‫ﻲ‬‫ﻥ ﻓ‬ ‫ﺮﻗﹶﺎ‬ ‫ﺭ ﹶﺓ ﺍﹾﻟ ﹸﻔ‬ ‫ﻮ‬‫ﺮﹸﺃ ﺳ‬ ‫ﻳ ﹾﻘ‬ ‫ﻴ ﹴﻢ‬‫ﺣﻜ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﻡ‬ ‫ﺎ‬‫ﻫﺸ‬ ‫ﺖ‬
 ‫ﻌ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﻳﻘﹸﻮ ﹸﻝ‬ ‫ﺏ‬ ‫ﺨﻄﱠﺎ ﹺ‬  ‫ﻦ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﹶﺃ ﱠﻥ‬
‫ﺓ‬ ‫ﺼﻠﹶﺎ‬
 ‫ﻲ ﺍﻟ‬‫ﻩ ﻓ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺎ ﹺﻭ‬‫ﺕ ﹸﺃﺳ‬  ‫ﺪ‬ ‫ﻜ‬ ‫ﻚ ﹶﻓ‬  ‫ﻟ‬‫ﻢ ﹶﻛ ﹶﺬ‬ ‫ﺳﱠﻠ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻴ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ‬
 ‫ﻪ‬ ‫ﻮ ﹸﻝ ﺍﻟﱠﻠ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﺎ‬‫ﻳ ﹾﻘ ﹺﺮ ﹾﺋﻨﹺﻴﻬ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺓ ﹶﻟ‬ ‫ﲑ‬ ‫ﺜ‬‫ﻑ ﹶﻛ‬
 ‫ﻭ‬‫ﺣﺮ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ‬ ‫ﺎ‬‫ﺅﻫ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻳ ﹾﻘ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻪ ﹶﻓﹺﺈﺫﹶﺍ‬ ‫ﺗ‬‫ﺍ َﺀ‬‫ﻘﺮ‬ ‫ﻟ‬ ‫ﺖ‬
 ‫ﻌ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺘ‬‫ﺳ‬ ‫ﻓﹶﺎ‬
‫ﺖ‬ ‫ﺑ‬ ‫ﻪ ﹶﻛ ﹶﺬ‬ ‫ﺖ ﹶﻟ‬
 ‫ﻢ ﹸﻗ ﹾﻠ‬ ‫ﺳﱠﻠ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻴ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ‬
 ‫ﻪ‬ ‫ﻮ ﹸﻝ ﺍﻟﱠﻠ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﺎ‬‫ﺮﹶﺃﻧﹺﻴﻬ‬ ‫ﺭ ﹶﺓ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹶﺃ ﹾﻗ‬ ‫ﻮ‬‫ﻩ ﺍﻟﺴ‬ ‫ﺬ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻙ‬ ‫ﺮﹶﺃ‬ ‫ﻦ ﹶﺃ ﹾﻗ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺖ‬
 ‫ﻲ ﹶﻓ ﹸﻘ ﹾﻠ‬‫ﺍﺋ‬‫ﻭ ﹺﺑ ﹺﺮﺩ‬ ‫ﻪ ﹶﺃ‬ ‫ﺋ‬‫ﺍ‬‫ﻪ ﹺﺑ ﹺﺮﺩ‬ ‫ﺘ‬‫ﺒ‬‫ﺒ‬‫ﻢ ﹶﻟ‬ ‫ﻢ ﹸﺛ‬ ‫ﺳﱠﻠ‬ ‫ﻰ‬‫ﺣﺘ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺗ‬‫ﺮ‬ ‫ﺘ ﹶﻈ‬‫ﻧ‬‫ﻓﹶﺎ‬
‫ﻪ‬ ‫ﻴ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ‬
 ‫ﻪ‬ ‫ﻮ ﹺﻝ ﺍﻟﱠﻠ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﻩ ﹺﺇﻟﹶﻰ‬ ‫ﺩ‬ ‫ﺖ ﹶﺃﻗﹸﻮ‬  ‫ﻧ ﹶﻄﹶﻠ ﹾﻘ‬‫ﺎ ﻓﹶﺎ‬‫ﺅﻫ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺗ ﹾﻘ‬ ‫ﻚ‬
 ‫ﺘ‬‫ﻌ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﻲ‬‫ﺭ ﹶﺓ ﺍﱠﻟﺘ‬ ‫ﻮ‬‫ﻩ ﺍﻟﺴ‬ ‫ﺬ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﺮﹶﺃﻧﹺﻲ‬ ‫ﻢ ﹶﺃ ﹾﻗ‬ ‫ﺳﱠﻠ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻴ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ‬  ‫ﻪ‬ ‫ﻮ ﹶﻝ ﺍﻟﱠﻠ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﻪ ﹺﺇ ﱠﻥ‬ ‫ﺍﻟﱠﻠ‬‫ﹶﻓﻮ‬
‫ﻪ‬ ‫ﻮ ﹸﻝ ﺍﻟﱠﻠ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﻥ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ‬ ‫ﺮﻗﹶﺎ‬ ‫ﺭ ﹶﺓ ﺍﹾﻟ ﹸﻔ‬ ‫ﻮ‬‫ﺗﻨﹺﻲ ﺳ‬‫ﺮﹾﺃ‬ ‫ﺖ ﹶﺃ ﹾﻗ‬
 ‫ﻧ‬ ‫ﻭﹶﺃ‬ ‫ﺎ‬‫ﺗ ﹾﻘ ﹺﺮﹾﺋﻨﹺﻴﻬ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻑ ﹶﻟ‬
 ‫ﻭ‬‫ﺣﺮ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ‬ ‫ﻥ‬ ‫ﺮﻗﹶﺎ‬ ‫ﺓ ﺍﹾﻟ ﹸﻔ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻮ‬‫ﺮﹸﺃ ﹺﺑﺴ‬ ‫ﻳ ﹾﻘ‬ ‫ﻫﺬﹶﺍ‬ ‫ﺖ‬  ‫ﻌ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﻲ‬‫ﻪ ﹺﺇﻧ‬ ‫ﻮ ﹶﻝ ﺍﻟﱠﻠ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﺎ‬‫ﺖ ﻳ‬  ‫ﻢ ﹶﻓ ﹸﻘ ﹾﻠ‬ ‫ﺳﱠﻠ‬ ‫ﻭ‬
‫ﺖ‬
 ‫ﻧ ﹺﺰﹶﻟ‬‫ﻫ ﹶﻜﺬﹶﺍ ﹸﺃ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺳﱠﻠ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻴ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ‬
 ‫ﻪ‬ ‫ﻮ ﹸﻝ ﺍﻟﱠﻠ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﺎ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ‬‫ﺅﻫ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻳ ﹾﻘ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺘ‬‫ﻌ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﻲ‬‫ﺍ َﺀ ﹶﺓ ﺍﱠﻟﺘ‬‫ﻘﺮ‬ ‫ﻪ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻴ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﺮﹶﺃ‬ ‫ﻡ ﹶﻓ ﹶﻘ‬ ‫ﺎ‬‫ﻫﺸ‬ ‫ﺎ‬‫ﺮﹾﺃ ﻳ‬ ‫ﺮ ﺍ ﹾﻗ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﺎ‬‫ﻪ ﻳ‬ ‫ﺳ ﹾﻠ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﻢ ﹶﺃ‬ ‫ﺳﱠﻠ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻴ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ‬ 
‫ﺎ‬‫ﺮﺀُﻭﺍ ﻣ‬ ‫ﻑ ﻓﹶﺎ ﹾﻗ‬
 ‫ﺮ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﺔ ﹶﺃ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﺒ‬‫ﺳ‬ ‫ﻋﻠﹶﻰ‬ ‫ﻧ ﹺﺰ ﹶﻝ‬‫ﺁ ﹶﻥ ﹸﺃ‬‫ﻫﺬﹶﺍ ﺍﹾﻟ ﹸﻘﺮ‬ ‫ﻢ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹺﺇ ﱠﻥ‬ ‫ﺖ ﹸﺛ‬
 ‫ﻧ ﹺﺰﹶﻟ‬‫ﻫ ﹶﻜﺬﹶﺍ ﹸﺃ‬ ‫ﺕ ﹶﻓﻘﹶﺎ ﹶﻝ‬
 ‫ﺮﹾﺃ‬ ‫ﺮ ﹶﻓ ﹶﻘ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﺎ‬‫ﺮﹾﺃ ﻳ‬ ‫ﻢ ﺍ ﹾﻗ‬ ‫ﺳﱠﻠ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻴ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﺻﻠﱠﻰ ﺍﻟﱠﻠ‬
 ‫ﻪ‬ ‫ﻮ ﹸﻝ ﺍﻟﱠﻠ‬‫ﺭﺳ‬ ‫ﻢ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ‬ ‫ﹸﺛ‬
‫ﻪ‬ ‫ﻨ‬‫ﻣ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺴ‬
 ‫ﻴ‬‫ﺗ‬
“Bahwasannya Umar bin Khattab ra. berkata: Aku mendengar Hisyam bin
Hakim membaca surat al-Furqan pada waktu Rasulullah s.a.w. masih hidup. Lalu aku
mendengarkan bacaannya dan ia membacanya (surat al-Furqan) dalam banyak huruf, di
mana Rasulullah s.a.w. belum pernah mengajarkannya kepadaku. Hampir saja aku
menariknya sewaktu ia masih salat, namun kutunggu sampai dia salam. Kemudian aku
menariknya dengan selendang yang melilit di lehernya seraya berkata: “Siapa yang
mengajarkan kepadamu bacaan surat tadi? Dia menjawab: “Rasulullah yang membacakan
kepadaku”. Kukatakan kepadanya: “Engkau bohong! Demi Allah, sesungguhnya
Rasulullah s.a.w. telah mengajarkan padaku bacaan surat yang engkau baca tadi.”
Kemudian aku menyeretnya (menghadap) kepada Rasulullah saw. dan lantas aku berkata:
“Ya Rasulullah! Sesungguhnya aku mendengar orang ini membaca surat al-Furqan
dengan huruf yang tidak (sebagaimana) engkau ajarkan kepadaku, padahal engkau telah
mengajarkan surat al-Furqan kepadaku.” Maka Rasulullah berkata: Lepaskan dia wahai
Umar! Bacalah Hisyam!” Maka Hisyam pun membacanya sebagaimana kudengar bacaan
yang ia baca tadi. Rasulullah saw. berkomentar: “Demikianlah (bacaan surat al-Furqan)
diturunkan” .Kemudian Rasulullah s.a.w. bersabda: “Bacalah wahai Umar!” Maka akupun
membacanya (sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah s.a.w. kepadaku). Setelah itu
Rasulullah s.a.w. bersabda: “Demikianlah (bacaan surat al-Furqan) diturunkan;
sesungguhnya al-Qur’an dengan Sab‘ah Ahruf (dalam tujuh huruf), maka bacalah oleh
kamu apa yang mudah di antara huruf-huruf itu.”

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 4, Agustus 2009


1056 Ahmad Fathoni: Mengenal Kaidah dan Istilah Dalam Ilmu Qira’at

jumlah banyak dalam bilangan ratusan. Sekedar contoh dapat dilihat dalam
al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 261: ‫ﻞ‬
‫ﺎﹺﺑ ﹶ‬‫ﺳﻨ‬ ‫ﻊ‬ ‫ﺒ‬‫ﺳ‬ ‫ﺖ‬
 ‫ﺘ‬‫ﻧ‬‫ﺔ ﹶﺃ‬ ‫ﺒ‬‫ﺣ‬ ‫ﻤﹶﺜ ﹺﻞ‬ ‫…… ﹶﻛ‬.6
Tampaknya al-Zarqani sembari merujuk pada hadits di atas, dan
memahaminya dengan seksama, lebih cenderung mengartikan “Sab‘ah”
secara hakekat, yakni mempunyai arti “tujuh” (bilangan antara enam dan
delapan).7 Sedangkan kata “Ahruf”, adalah jama‘ dari lafaz “harf”, yang
mempunyai arti antara lain: salah satu huruf Hija'iyah, bahasa, ujung dari
sesuatu, wajah (segi). Nampaknya yang agak relevan, kata harf diartikan
wajah (segi) dalam pengertian yang masih umum, sebagaimana dapat
dilihat dalam al-Qur’an surat Al-Hajj.8
‫ﻑ‬
 ‫ﺮ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﻰ‬ ‫ﻠ‬‫ﷲ ﻋ‬
َ ‫ﺪ ﺍ‬ ‫ﺒ‬‫ﻌ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺱ‬
‫ﺎ ﹺ‬‫ﻦ ﺍﻟﻨ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻭ‬
Sebagian manusia ada orang yang menyembah Allah pada satu segi/keadaan.
Adapun yang dimaksud Sab‘ah Ahruf sebagai suatu kata majemuk,
para Ulama sepakat bahwa yang dimaksud bukanlah setiap kata dalam al-
Qur’an dapat dibaca dengan tujuh wajah. Dan bukan pula yang dimaksud
adalah tujuh Imam Qiraat sebagaimana anggapan sementara orang awam,
sebab konsep Sab’ah Ahruf sudah ada sejak zaman Nabi, sedang Qiraat
Sab‘ah muncul belakangan.9
Di dalam menginterprestasikan kata Sab‘ah Ahruf para ulama
berbeda pendapat, dan perbedaannya pun terhitung banyak. Bahkan
menurut Ibnu Hayyan, para ulama didalam mengartikan kata Sab‘ah Ahruf
hingga nencapai tiga puluh lima pendapat.10 Namun, pendapat yang
terpilih adalah yang dikemukakan oleh Abu al-Fadl al-Razi, di mana telah
dipertegas pula oleh Syekh Muhammad Abdul ‘Azim al-Zarqani dan
didukung pula oleh jumhur ulama. Menurutnya, kata Sab‘ah Ahruf tidak
terlepas dari perbedaan yang berkisar pada tujuh wajah, maksudnya,
bahwa al-Qur’an dari awal hingga akhir baik yang mutawatir maupun yang
syadz sekalipun tidak keluar dari tujuh wajah perbedaan,11 yaitu:
1. Perbedaan dalam bentuk Isim, antara Mufrad, Tatsniyyah, Jama‘
Mudzakkar atau Mu’annats. Sebagaimana dijumpai dalam firman Allah

6 ‘Abdullah Mahmud, ‘Ulum al-Qur'an wa al-Tafsir, (Kairo: Dar al-‘Ulum li al-

Tib'a‘ah, t.t.), p. 311.


7 Muhammad ‘Abd al ‘Azim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, Jilid I

(Kairo: al-Halabi, t.t.), p. 153.


8 Al-Hafiz Abu al-Khair Muhammad bin Muhammad Ibn al-Jazari, Al-Nasyr fi
al- Qira'at al-‘Asyr, Juz I, (Kairo: Dar al-Misriyyah, t.t.), p. 25.
9 Ibn al-Jazari, Al-Nasyr fi al- Qira’at al-‘Asyr, p. 24.
10 Manna‘ al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), p. 158.
11 Al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur'an, p. 155.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 4, Agustus 2009


Ahmad Fathoni: Mengenal Kaidah dan Istilah Dalam Ilmu Qira’at 1057

surah al-Mu’minun: 8; ‫ﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﺭَﺍ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻫ‬ِ ‫ﺪ‬ِ ‫ﻬ‬ ‫ﻋ‬َ ‫ﻭ‬َ ‫ﻢ‬ ‫ﺘ ﹺﻬ‬‫ـ‬
َ ‫ﻢ ِﻷَﻣﻨ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻳ‬‫ﺬ‬ ‫ﺍﱠﻟ‬‫ ﻭ‬. Lafaz ( ‫ﻢ‬ ‫ﺘ ﹺﻬ‬ِ‫ﻨ‬َ‫ﻟﹶﺄَﻣ‬ِ )
dibaca Jama‘ (‫ﻢ‬ ‫ﺘ ِﹺﻬ‬ِ‫ﻨ‬‫ﻟﹶﺄَﻣ‬ ).
2. Perbedaan dalam bentuk Fi‘il, antara Madi-Mudari‘ atau ‘Amr.
Sebagaimana terdapat dalam firman Allah surah Saba’: 19
……. ‫ﺎ‬‫ﺳﻔﹶﺎ ﹺﺭﻧ‬ ‫ﻦ ﹶﺃ‬ ‫ﻴ‬‫ﺑ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﺎ ﺑ‬‫ﺑﻨ‬‫ﺭ‬ ‫ﺍ‬‫ ﹶﻓﻘﹶﺎﹸﻟﻮ‬--qiraat lain membaca:
…… ‫ﺎ‬‫ﺳﻔﹶﺎ ﹺﺭﻧ‬ ‫ﻦ َﹶﺃ‬ ‫ﻴ‬‫ﺑ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﺎ ﺑ‬‫ﺑﻨ‬‫ﺭ‬ ‫ﹶﻓﻘﹶﺎﻟﹸﻮﺍ‬
3. Perbedaan dalam bentuk I‘rab, sebagaimana dalam firman Allah surah
al-Baqarah: 282: ‫ﺪ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﺷ ﹺﻬ‬  ‫ﻭ ﹶﻻ‬ ‫ﺐ‬  ‫ﺗ‬‫ﺭ ﻛﹶﺎ‬ ‫ﺎ‬‫ﻳﻀ‬ ‫ﻭ ﹶﻻ‬ . Pada lafaz (‫ﺭ‬ ‫ﺎ‬‫ﻳﻀ‬ ) dibaca Fathah
Ra’-nya (‫ﺭ‬ ‫ﺎ‬‫ﻳﻀ‬ ), qiraat lain dengan Dammah (‫ﺭ‬ ‫ﺎ‬‫ﻳﻀ‬ ) . Contoh lain, firman
Allah dalam surah al-Buruj: 15 ; ‫ﺪ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﺠ‬
‫ﻤ ﹺ‬ ‫ﺱ ﺍﹾﻟ‬
‫ﺮ ﹺ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﻭ ﺍﹾﻟ‬ ‫ ﹸﺫ‬, lafaz ( ‫ﺪ‬ ‫ﻴ‬‫ﺠ‬
‫ﻤ ﹺ‬ ‫ ) ﺍﹾﻟ‬dibaca
Rafa‘; kedudukannya sebagai Na‘at dari lafaz “ ‫ﻭ‬ ‫“ ﹸﺫ‬, qiraat lain
membaca dengan Jar lafaz (‫ﺪ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﺠ‬
‫ﻤ ﹺ‬ ‫) ﺍﹾﻟ‬, kedudukannya sebagai Na‘at dari
lafaz ( ‫ﺵ‬
‫ﺮ ﹺ‬ ‫ﻌ‬ ‫ ) ﺃﻟ‬.
4. Perbedaan di dalam mendahulukan (Taqdim) dan mengakhirkan
(Ta'khir), seperti firman Allah dalam surah Qaf ayat 19, ‫ﺮ ﹸﺓ‬ ‫ﻜ‬
‫ﺳ ﹾ‬ ‫ﺕ‬
 ‫ﺎ َﺀ‬‫ﻭﺟ‬
 ‫ﺕ ﺑﹺﺎﹾﻟ‬
‫ﻖ‬ ‫ﺤ‬  ‫ﻮ‬ ‫ﻤ‬ ‫ ﺍﹾﻟ‬. Qiraat lain dengan mendahulukan lafaz ( ‫ﻖ‬ ‫ﺤ‬
 ‫ )ﹶﺍﹾﻟ‬dari pada
(‫ﺕ‬‫ﻤﻮ‬ ‫)ﺍﹾﻟ‬, maka dibaca ( ‫ﺕ‬
 ‫ﻮ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻖ ﺑﹺﺎﹾﻟ‬ ‫ﺤ‬
 ‫ﺮ ﹸﺓ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﺳ ﹾﻜ‬ ‫ﺕ‬
 ‫ﺎ َﺀ‬‫ ) ﻭَﺟ‬.
5. Perbedaan di dalam menambah dan mengurangi (Naqis dan Ziyadah).
Sebagaimana terdapat dalam, firman Allah surah al-Lail: 3:
‫ﺜﻰ‬‫ﺍ ُﻷﻧ‬‫ﺮ ﻭ‬ ‫ﻖ ﺍﹼﻟ ﹶﺬ ﹶﻛ‬ ‫ﺧﹶﻠ‬ ‫ﺎ‬‫ﻭﻣ‬ kiraah lain membaca (‫ﺜﻰ‬‫ﻭﹾﺍ ُﻷﻧ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺍﻟ ﱠﺬ ﹶﻛ‬‫ ) ﻭ‬dengan
menghilangkan lafaz ( ‫ﻖ‬
 ‫ﺧﹶﻠ‬ ‫ﺎ‬‫ ) ﻣ‬.
6. Perbedaan dalam meng-Ibdalkan (Penggantian). Sebagaimana
terdapat dalam firman Allah surah al-Baqarah 259: ‫ﻒ‬
 ‫ﻴ‬‫ﻌﻈﹶﺎ ﹺﻡ ﹶﻛ‬ ‫ﱃ ﺍﹾﻟ‬
‫ﺮ ﹺﺇ ﹶ‬ ‫ﻧ ﹸﻈ‬‫ﺍ‬‫ﻭ‬
‫ﺎ‬‫ﺰﻫ‬ ‫ﺸ‬
 ‫ﻨ‬‫ﻧ‬ , qiraat lain membacanya dengan “Ra’”, yakni ( ‫ﺎ‬‫ﺮﻫ‬ ‫ﺸ‬  ‫ﻨ‬‫ﻧ‬ ). Dengan
demikian bacaannya menjadi: (‫ﺎ‬‫ﺮﻫ‬ ‫ﺸ‬  ‫ﻨ‬‫ﻧ‬ ‫ﻒ‬
 ‫ﻴ‬‫ﻌﻈﹶﺎ ﹺﻡ ﹶﻛ‬ ‫ﱃ ﺍﹾﻟ‬
‫ﺮ ﹺﺇ ﹶ‬ ‫ﻧ ﹸﻈ‬‫ﻭﺍ‬ ) .
7. Perbedaan dalam lahjah, seperti al-Imalah, al-Fath, al-Tarqiq, al-Tafkhim,
al-Izhar, al-Idgham dan lain sebagainya. Contoh bacaan al-Imalah
danal-Fath pada surah Taha: 15: ‫ﻰ‬‫ﻮﺳ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺚ‬
‫ﻳ ﹸ‬‫ﺪ‬ ‫ﺣ‬ ‫ﻚ‬ ‫ﻴ‬‫ﺗ‬‫ﻫ ﹾﻞ ﹶﺃ‬ ‫ﻭ‬ , lafaz (‫ﻰ‬‫ﻮﺳ‬ ‫ﻣ‬ )
dibaca al-Fath dan al-Imalah. Contoh bacaan al-Tarqiq sebagaimana
dalam firman Allah surah Alu-‘Imran: 133: ‫ﺔ‬‫ﺟﻨ‬  ‫ﻭ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺑ ﹸﻜ‬‫ﺭ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺓ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻔ‬ ‫ﻐ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺍ ﹺﺇﻟﹶﻰ‬‫ﻋﻮ‬ ‫ﺎ ﹺﺭ‬‫ﻭﺳ‬

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 4, Agustus 2009


1058 Ahmad Fathoni: Mengenal Kaidah dan Istilah Dalam Ilmu Qira’at

.... . Pada lafaz: ( ‫ﺓ‬‫ﻔﺮ‬ ‫ﻐ‬ ‫ﻣ‬ ) ada bacaan al-Tafkhim dan al-Tarqiq pada Ra’-
nya.

C. Pengertian Qiraat
Lafaz al-qira’at ( ‫ﺕ‬
 ‫ﺍﺀَﺍ‬‫ﻘﺮ‬ ‫ ) ﺍﹾﻟ‬merupakan bentuk plural dari kata al-
Qiraah ( ‫ﺍ َﺀ ﹸﺓ‬‫ﻘﺮ‬ ‫ ) ﺍﹾﻟ‬yang tidak lain adalah bentuk masdar dari fi`il qa-ra-'a
(َ‫ﺃ‬‫)َﹶﻗﺮ‬. Kata qiraat (al-qira’at) sendiri secara etimologi berarti ragam bacaan.
Sedangkan secara terminologi, ada beberapa pendapat ulama yang penting
untuk diperhatikan. Di antaranya adalah keterangan yang telah
dirumuskan oleh Abu Syamah al-Dimasyqi (w.665/1266) adalah:
12
‫ﻪ‬ِ ‫ﻠ‬ِ‫ﻗ‬‫ﺎ‬‫ﻟﻨ‬ِ ‫ﺍ‬‫ﺰ ﹺﻭ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺎ‬‫ﻓﻬ‬‫ﻼ‬
‫ﺘ ﹶ‬‫ﺧ‬ ‫ﺍ‬‫ﻥ ﻭ‬ ‫ﺮﺀَﺍ‬ ‫ﺕ ﺍﹾﻟ ﹸﻘ‬
 ‫ﺎ‬‫ﻠﻤ‬‫ﺍ ِﺀ ﹶﻛ‬‫ﺕ ﹶﺃﺩ‬
 ‫ﺎ‬‫ﻔﻴ‬ ‫ﻴ‬‫ﻢ ﹺﺑ ﹶﻜ‬ ‫ﻋ ﹾﻠ‬ ‫ﺕ‬
 ‫ﺍﺀَﺍ‬‫ﻘﺮ‬ ‫ﺍﹾﻟ‬
Qiraat adalah sebuah disiplin ilmu yang mempelajari tata cara melafazkan beberapa
kosa kata al-Qur’an dan perbedaan pelafazannya dengan menisbatkan pada orang
yang meriwayatkan.
Dari definisi yang disebutkan, Abu Syamah tidak hanya menganggap
qiraat sebagai ragam artikulasi lafaz, namun dia juga menganggap qiraat
sebagai disiplin ilmu yang independen. Bahkan dia juga menyebutkan
secara tegas bahwa sumber keberagaman qiraat bukan sebagai produk
inovasi manusia, melainkan disandarkan pada keterangan periwayatannya.
Apabila rumusan definisi Abu Syamah menekankan qiraat sebagai
sebuah disiplin ilmu yang independen, maka Manna‘ al-Qattan dalam
rumusan definisinya secara eksplisit mengukuhkan bahwa qiraat tidak
hanya sebagai sebuah disiplin ilmu, namun juga telah berakumulasi dalam
sebuah madzhab qiraat tertentu. Pemahaman al-Qattan tidak jauh
berbeda dengan al-Sabuni, hanya saja rumusan definisi yang disampaikan
oleh al-Sabuni terlihat lebih lengkap dari pada rumusan definisi yang
ditawarkan al-Qattan. Berikut ini definisi qiraat yang ditawarkan oleh al-
Qattan.
‫ﺒﺎ‬‫ﻫ‬ ‫ﻣ ﹾﺬ‬ ‫ﺍ ِﺀ‬‫ﺔ ﺍﹾﻟ ﹸﻘﺮ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺋ‬‫ﻦ ﹾﺍ َﻷ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻡ‬ ‫ﺎ‬‫ﻪ ﹺﺇﻣ‬ ‫ﺐ ﹺﺑ‬
 ‫ﻫ‬ ‫ﻳ ﹾﺬ‬ ‫ﻥ‬ ‫ﺁ‬‫ﻰ ﺍﹾﻟ ﹸﻘﺮ‬‫ﻨ ﹾﻄ ﹺﻖ ﻓ‬‫ﺐ ﺍﻟ‬
‫ﻫ ﹺ‬ ‫ﻣﺬﹶﺍ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺐ‬
 ‫ﻫ‬ ‫ﻣ ﹾﺬ‬ ‫ﺕ‬  ‫ﺍﺀَﺍ‬‫ﻘﺮ‬ ‫ﺍﹾﻟ‬
13
ُ‫ﻩ‬‫ﻴﺮ‬ ‫ﻒ ﹶﻏ‬
 ‫ﻟ‬‫ﺎ‬‫ﻳﺨ‬
Qiraat adalah sebuah madzhab dari beberapa madzhab artikulasi (kosa kata) Al-
Qur’an yang dipilih oleh salah seorang Imam Qiraat yang berbeda dengan madzhab
lainnya.

12
Abu Syamah al-Dimasyqi, Ibraz al-Ma‘aniy min Hirz al-Amaniy fi al-Qiraat al-Sab‘
(Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1980), p. 3.
13 Manna‘ al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), p.170.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 4, Agustus 2009


Ahmad Fathoni: Mengenal Kaidah dan Istilah Dalam Ilmu Qira’at 1059

Sedangkan Muhammad Ali al-Sabuni merumuskan definisi qiraat


sebagai berikut:
‫ﺎ‬‫ﻫﺒ‬ ‫ﻣ ﹾﺬ‬ ‫ﺍ ِﺀ‬‫ﺔ ﺍﹾﻟ ﹸﻘﺮ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺋ‬‫ﻦ ﹾﺍ َﻷ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻡ‬ ‫ﺎ‬‫ﻪ ﹺﺇﻣ‬ ‫ﺐ ﹺﺑ‬
 ‫ﻫ‬ ‫ﻳ ﹾﺬ‬ ‫ﻥ‬ ‫ﺁ‬‫ﻰ ﺍﹾﻟ ﹸﻘﺮ‬‫ﻨ ﹾﻄ ﹺﻖ ﻓ‬‫ﺐ ﺍﻟ‬ ‫ﻫ ﹺ‬ ‫ﻣﺬﹶﺍ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺐ‬  ‫ﻫ‬ ‫ﻣ ﹾﺬ‬ ‫ﺕ‬  ‫ﺍﺀَﺍ‬‫ﻘﺮ‬ ‫ﺍﻟ‬
‫ﻰ ﺍﷲ‬ ‫ﻠ‬‫ﷲ ﺻ‬ ِ ‫ﻮ ﹺﻝ ﺍ‬ ‫ﺳ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﱃ‬ ‫ﺎ ﹺﺇ ﹶ‬‫ﺪﻫ‬ ‫ﺎﻧْﹺﻴ‬‫ﺘ ﹲﺔ ﹺﺑﹶﺄﺳ‬‫ﻲ ﺛﹶﺎﹺﺑ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻳ ﹺﻢ‬‫ﻥ ﺍﹾﻟ ﹶﻜ ﹺﺮ‬ ‫ﺮﺀَﺍ‬ ‫ﻨ ﹾﻄ ﹺﻖ ﺑﹺﺎﹾﻟ ﹸﻘ‬‫ﻲ ﺍﻟ‬ ‫ﻓ‬ ‫ﻩ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻴ‬‫ﻒ ﹶﻏ‬
 ‫ﻟ‬‫ﺎ‬‫ﻳﺨ‬
14
َ‫ﺳﻠﱠﻢ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻴ‬ْ‫ﻠ‬‫ُﻋ‬
Qiraat adalah salah satu madzhab dari beberapa madzhab artikulasi (kosa kata)
Al-Qur’an yang dipilih oleh salah seorang Imam Qiraat yang berbeda dengan mazhab
lainnya serta berdasarkan pada sanad yang bersambung pada Rasulullah s.a.w.
Uraian di atas dapat diketahui aspek ontologi dan epistimologi
disiplin ilmu qiraat. Obyek kajian (ontologi) ilmu qiraat adalah al-Qur’an al-
Karim dari segi perbedaan lafaz dan cara artikulasinya. Metode
mendapatkan (epistimologi) ilmu qiraat adalah melalui riwayat yang berasal
dari Rasulullah s.a.w. Sementara aksiologi ilmu qiraat tidak nampak dalam
beberapa definisi yang disebutkan di atas. Namun al-Zarqani di dalam
kitabnya Manahil al-‘Irfan mendefinisikan sebagai berikut:
‫ﻨ ﹾﻄ ﹺﻖ‬‫ﻰ ﺍﻟ‬‫ﻩ ﻓ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻴ‬‫ﻪ ﹶﻏ‬ ‫ﻟﻔﹰﺎ ﹺﺑ‬‫ﺎ‬‫ﻣﺨ‬ ‫ﺍ ِﺀ‬‫ﺔ ﺍﹾﻟ ﹸﻘﺮ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺋ‬‫ﻦ ﹶﺃ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻡ‬ ‫ﺎ‬‫ﻪ ﹺﺇﻣ‬ ‫ﻴ‬‫ﺐ ﹺﺇﹶﻟ‬
 ‫ﻫ‬ ‫ﻳ ﹾﺬ‬ ‫ﺐ‬
 ‫ﻫ‬ ‫ﻣ ﹾﺬ‬ ‫ﻰ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﺕ‬
 ‫ﺍﺀَﺍ‬‫ﻘﺮ‬ ‫ﺍﹾﻟ‬
15
.‫ﻢ‬
‫ﻳ ﹺ‬‫ﺍﹾﻟ ﹶﻜ ﹺﺮ‬ ‫ﻥ‬ ‫ﺮﺀَﺍ‬ ‫ﺑﹺﺎﹾﻟ ﹸﻘ‬
Qiraat salah satu madzhab yang dipakai oleh salah seorang Imam Qiraat yang
berbeda dengan lainnya dalam hal membaca al-Qur’an.
Maksudnya menurut al-Zarqani bahwa nilai guna (aksiologi) ilmu
qiraat adalah sebagai salah satu instrumen untuk mempertahankan
orisinilitas al-Qur’an.
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa:
1. Qiraat sudah merupakan disiplin ilmu yang berdiri sendiri dan tersusun
secara sistematis dan mempunyai metode tertentu.
2. Qiraat al-Qur’an selalu disandarkan atau dinisbatkan kepada Imam
Qiraat.
3. Bacaan tersebut bukan didasarkan atas hasil ijtihad, tetapi berlandaskan
kepada riwayat yang sanadnya bersambung sampai kepada Nabi
Muhammad s.a.w.
4. Manfaat ilmu qiraat adalah sebagai salah satu instrumen untuk
mempertahankan orisinilitas al-Qur’an.

14 Muhammad ‘Ali al-Sabuni, Al-Tibyan fi Ulum al- Qur’an (Beirut: Dar al-Irsyad,

t.t.), p. 218.
15 Muhammad ‘Abd al ‘Azim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur'an, Jilid I.

(Kairo: al-Halabi, t.t.), p. 405.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 4, Agustus 2009


1060 Ahmad Fathoni: Mengenal Kaidah dan Istilah Dalam Ilmu Qira’at

D. Persyaratan Qiraat yang Sah dan Kualifikasi Orisinilitasnya


Menurut ulama ahli Ilmu Qiraat pada khususnya- sebagaimana yang
dinyatakan oleh Ibnu Mujahid, dan didukung pula ahli ‘Ulum al-Qur’an
pada umumnya, ada tiga batasan yang dijadikan sebagai tolok ukur
keabsahan sebuah qiraat:16
1. Sanad yang Sahih: suatu bacaan dianggap sahih sanadnya, apabila
bacaan tersebut diterima dari salah seorang guru atau Imam yang jelas,
tertib, tidak ada cacat dan sanadnya bersambung sampai kepada
Rasulullah s.a.w.
2. Sesuai dengan Rasm Utsmani: suatu bacaan (qiraat) dianggap sahih,
apabila sesuai dengan salah satu Rasm Masahif Utsmaniyyah (Rasm
Utsmani).
3. Sesuai dengan tata bahasa Arab; dengan catatan walaupun hanya sesuai
dengan salah satu bahasa dari suku bangsa Arab.17
Apabila sebuah qiraat telah memenuhi ketiga kualifikasi di atas,
maka qiraat tersebut baru bisa diketegorikan sebagai sebuah qiraat yang
sahih. Hal ini untuk membedakannya dengan beberapa qiraat yang da‘if,
syadz, bahkan yang batil. Jadi tidak benar kalau ada pendapat yang
mengatakan bahwa syarat kesahihan sebuah qiraat tergantung pada
kepatuhannya kepada kaidah-kaidah Ilmu Nahwu. Sebab kaidah-kaidah
Ilmu Nahwu yang disusun oleh manusia tidak bisa dipakai untuk
menentukan sahih atau da‘if-nya susunan kalimat kitab suci yang
merupakan firman Dzat Pencipta segala sesuatu. Justru al-Qur’an yang
menjadi sumber inspirasi utama dari para peletak kaidah-kaidah
kebahasaan dalam hal ini adalah Ilmu Nahwu.18 Dengan demikian,
prasyarat yang terakhir tidak dapat diberlakukan sepenuhnya, sebab ada
bacaan lafaz tertentu yang tidak sesuai dengan tata bahasa Arab, namun
karena sanadnya sahih dan mutawatir, maka qiraat dianggap sahih.
Sedangkan tinjauan dari segi sanad, menurut Imam al-Suyuti yang
menukil dari pendapat Ibn al-Jazari, mengklasifikasikan qiraat ke dalam
enam tingkatan,19 yaitu:
1. Mutawatir, adalah sanad qiraat yang diterima oleh sejumlah perawi yang
tidak mungkin bersepakat bohong dari setiap angkatan, dan sanadnya
bersambung sampai kepada Rasulullah s.a.w.

16 Al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur'an, p. 418.


17 Redaksi asli dalam rujukan: ‫ﻪ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻮ ﹺﺑ‬ ‫ﻭﹶﻟ‬ ‫ﺔ‬‫ﺮﹺﺑﻴ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﺖ ﺍﹾﻟ‬
 ‫ﺍﹶﻓ ﹶﻘ‬‫ﻭ‬
18 Al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur'an, p. 177.
19 Al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur'an, pp. 430-431.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 4, Agustus 2009


Ahmad Fathoni: Mengenal Kaidah dan Istilah Dalam Ilmu Qira’at 1061

2. Masyhur, adalah qiraat yang memiliki sanad sahih, sesuai dengan tata
bahasa Arab dan sesuai dengan salah satu Rasm Masahif Utsmaniyah.
Namun perawinya tidak sebanyak perawi qiraat mutawatirah.
3. Ahad, adalah memiliki sanad sahih, namun di dalamnya banyak
menyalahi kaidah tata bahasa Arab dan Rasm Utsmani (Khat Utsmani).
Qiraat pada tingkatan ini tidak populer dan hanya diketahui oleh orang-
orang yang benar-benar mendalami qiraat al-Qur’an. Oleh karenanya
tidak layak untuk diyakini sebagai bacaan al-Qur’an yang sah.
Sebagaimana bacaan Abi Bakrah:
‫ﻥ‬ ‫ﺎ‬‫ﺣﺴ‬ ‫ﻱ‬
 ‫ﺎﹶﻗ ﹺﺮ‬‫ﻋﺒ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻀ ﹴﺮ‬
 ‫ﺧ‬ ‫ﻑ‬
 ‫ﺭﻓﹶﺎ ﹺﺭ‬ ‫ﻰ‬ ‫ﻠ‬‫ﻦ ﻋ‬ ‫ﻴ‬‫ﺌ‬‫ﻜ‬ِ ‫ﺘ‬‫ﻣ‬
4. Syadz, ialah tidak memiliki sanad sahih. Di dalamnya banyak menyalahi
kaidah tata bahasa Arab dan Rasm Utsmani. Maka qiraat pada tingkatan
ini tidak dapat dijadikan pegangan dalam bacaan yang sah, seperti
bacaan Ibn al-Samaifa‘:
‫ﻳ ﹰﺔ‬‫ﻚ ﺀَﺍ‬
 ‫ﺧ ْﹶﻠ َﹶﻔ‬َ ‫ﻦ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻟ‬ِ ‫ﻮ َﹶﻥ‬ ‫ﺘ ﹸﻜ‬َ‫ﻟ‬ِ ‫ﻚ‬
 ‫ﺪٍِﹺﻧ‬ ‫ﻚ ِﹺﺑِﺒ‬
 ‫ﻴ‬‫ﺤ‬
ِ ‫ﻨ‬‫ﻧ‬ ‫ﻡ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻴ‬‫َﹶﻓ ﹾﻠ‬
5. Maudu‘, ialah qiraat yang disandarkan kepada seseorang tanpa dasar,
seperti qiraat yang dikumpulkan oleh Muhammad bin Ja‘far al-
Khazza‘i, atau kiraah (bacaan) yang dinisbatkan kepada Abu Hanifah.
6. Mudraj, adalah qiraat (bacaan) yang disisipkan ke dalam ayat al-Qur’an
sebagai tambahan yang biasanya dipakai untuk memperjelas makna
atau penafsiran, dan tentunya qiraat yang demikian tidak dapat
dianggap sebagai bacaan yang sah, seperti bacaan Sa‘d bin Waqqas:
‫ﻡ‬ ‫ﻦ ﹸﺃ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﺖ‬
 ‫ﺧ‬ ‫ﻭﹸﺃ‬ ‫ﺥ ﹶﺃ‬
 ‫ﻪ ﹶﺃ‬ ‫ﻭﹶﻟ‬ , contoh lain:
‫ﺞ‬ِ ‫ﳊ‬
‫ﺳ ِﹺﻢ ﹾﺍ َﹶ‬ ‫ﺍ‬‫ﻣﻮ‬ ‫ﻓِﻰ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺑ ﹸﻜ‬‫ﺭ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻼ‬
‫ﻀﹰ‬
 ‫ﺍ ﹶﻓ‬‫ﻐﻮ‬ ‫ﺘ‬‫ﺒ‬‫ﺗ‬ ‫ﺡ ﹶﺃ ﹾﻥ‬
 ‫ﺎ‬‫ﺟﻨ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﻴ ﹸﻜ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﺲ‬
 ‫ﻴ‬‫ﹶﻟ‬
Adapun maksud Qiraat Tujuh, Qiraat Sepuluh dan Qiraat Empat
Belas adalah sebagai berikut:
1. Al-Qiraat al-Sab‘ ( ‫ﻊ‬ ‫ﺒ‬‫ﺴ‬ ‫ﺕ ﺍﻟ‬  ‫ﺍﺀَﺍ‬‫ﻘﺮ‬ ‫ﺍﹾﻟ‬/Qiraat Sab‘ah): adalah qiraat yang
diriwayatkan oleh tujuh Imam Qiraat. Yaitu, Nafi‘, Ibn Katsir, Abu
‘Amr, Ibn ‘Amir, ‘Asim, Hamzah dan al-Kisa’i .
2. Al-Qiraat al-‘Asyr ( ‫ﺮ‬ ‫ﺸ‬
 ‫ﻌ‬ ‫ﺕ ﺍﹾﻟ‬
 ‫ﺍﺀَﺍ‬‫ﻘﺮ‬ ‫ﺍﹾﻟ‬/Qiraat ‘Asyrah): adalah Qiraat Sab‘ah
yang dilengkapi dengan Tiga Imam Qiraat, yakni qiraat Ya‘qub, qiraat
Khalaf, dan qiraat Yazid bin Qa‘qa‘ (Abu Ja‘far).
3. Al-Qiraat al-Arba‘ ‘Asyr ( ‫ﺮ‬‫ﻋﺸ‬ ‫ﻊ‬ ‫ﺑ‬‫ﺭ‬ ‫ﺕ ﹾﺍ َﻷ‬  ‫ﺍﺀَﺍ‬‫ﻘﺮ‬ ‫ﺍﹾﻟ‬/Qiraat Arba‘ah ‘Asyr/ Qiraat
Empat Belas); adalah Qiraat ‘Asyrah ditambah qiraat Empat Imam

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 4, Agustus 2009


1062 Ahmad Fathoni: Mengenal Kaidah dan Istilah Dalam Ilmu Qira’at

Qiraat, yakni qiraat Hasan Basri, qiraat Ibn Muhaisin, qiraat Yahya al-
Yazidi, dan qiraat al-Syanabudz).20
Sedangkan dalam menilai kemutawatirannya, dinilai oleh Jumhur
Ulama bukan sekedar teori, akan tetapi merupakan fakta amali yang
menunjukkan betapa agungnya al-Qur’an, di mana Imam Muhammad
Abu al-Fadil Ibrahim secara jujur mengatakan:
‫ﻮ ﹺﺭ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺠ‬
 ‫ﺪ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻨ‬‫ﻋ‬ ‫ﺮﹲﺓ‬ ‫ﺗ‬‫ﺍ‬‫ﺘﻮ‬‫ﻣ‬ ‫ﻊ‬ ‫ﺒ‬‫ﺴ‬
 ‫ﺕ ﺍﻟ‬
 ‫ﺍﺀَﺍ‬‫ﻘﺮ‬ ‫ﹺﺇ ﱠﻥ ﺍﹾﻟ‬
Qiraat Tujuh adalah qiraat mutawâtirah yang disepakati oleh Jumhur.21
Tentang kemutawatirannya juga disebutkan oleh Ibn al-Subki:
‫ﻊ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺳﱠﻠ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻪ‬ ‫ﻴ‬‫ﻋﹶﻠ‬ ‫ﷲ‬
ُ ‫ﻰ ﺍ‬ ‫ﻠ‬‫ﻲ ﺻ‬ ‫ﻨﹺﺒ‬‫ﻋ ﹺﻦ ﺍﻟ‬ ‫ﺎ‬‫ﺗ ﹶﻘﹶﻠﻬ‬ ‫ﻯ‬
 ‫ﺎ ﹶﺃ‬‫ﺗَﺎﻣ‬ ‫ﺍ‬‫ﺗﺮ‬‫ﺍ‬‫ﺗﻮ‬ ‫ﺮﹲﺓ‬ ‫ﺗ‬‫ﺍ‬‫ﺘﻮ‬‫ﻣ‬ ‫ﻊ‬ ‫ﺒ‬‫ﺴ‬
 ‫ﺕ ﺍﻟ‬ ‫ﺍﺀَﺍ‬‫ﻘﺮ‬ ‫ﺍﹾﻟ‬
22
.‫ﺏ‬‫ﺬ ﹺ‬ ‫ﻰ ﺍﹾﻟ ﹶﻜ‬ ‫ﻠ‬‫ﻢ ﻋ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﻮَﺍﻃﹸﺆ‬ ‫ﺗ‬َ ‫ﺩ ﹰﺓ‬ ‫ﺎ‬‫ﻊ ﻋ‬ ‫ﺘﹺﻨ‬‫ﻤ‬ ‫ﻳ‬
Qiraat Tujuh adalah mutawâtirah yang sempurna kemutawatirannya, yakni
dinukilkan dari Nabi Muhammad saw. oleh sekelompok periwayat yang tidak
mungkin mereka bersepakat bohong.
Sedangkan Qiraat Sepuluh ( ‫ﺮ‬ ‫ﺸ‬ ‫ﻌ‬ ‫ﺕ ﺍﹾﻟ‬
 ‫ﺍﺀَﺍ‬‫ﻘﺮ‬ ‫) ﺍﹾﻟ‬, sebagian ulama
menyatakan bahwa qiraat Tiga Imam (Abu Ja‘far–Ya‘qub–Khalaf) tidak
sampai mutawatirah, akan tetapi menurut Jumhur Ulama, qiraat mereka
mutawatirah. Bahkan menurut Syeikh ‘Abd al-Fattah al-Qadi yang
menukil pendapatnya Ibn al-Jazari di dalam kitab “Munjid al-Muqri’in”
menyatakan:23
‫ﺎ َﺀ‬‫ﻤ ﹸﻞ ﹺﺇ ﹾﻥ ﺷ‬ ‫ﺘ‬‫ﺤ‬
 ‫ﻴ‬‫ﻭ ﹺﻝ ﹶﻓ‬ ‫ﺪﺭﹺﺍ َﻷ‬ ‫ﺼ‬
 ‫ﻰ ﺍﻟ‬‫ﺩ ﻓ‬ ‫ﺍ‬‫ﻭﹺﺇ ﹾﻥ ﹶﺃﺭ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﺸ‬
 ‫ﻌ‬ ‫ﺍ َﺀ ﺍﹾﻟ‬‫ﻭﺭ‬ ‫ﺮﹲﺓ‬ ‫ﺗ‬‫ﺍ‬‫ﺘﻮ‬‫ﻣ‬ ‫ﺍ َﺀﹲﺓ‬‫ﻗﺮ‬ ‫ﻡ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻴ‬‫ﺪ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﻳ‬‫ﹶﻻ‬
.‫ﷲ‬ُ‫ﺍ‬
Dewasa ini qiraat mutawatirah selain Qiraat Sepuluh tidak akan dapat ditemukan,
namun apabila pada masa periode awal Islam tentu masih mungkin didapatkan.
Akan halnya tentang Qiraat Empat Belas ( ‫ﺮ‬ ‫ﺸ‬  ‫ﻋ‬ ‫ﻊ‬ ‫ﺑ‬‫ﺭ‬ ‫ﺕ ﹾﺍ َﻷ‬
 ‫ﺍﺀَﺍ‬‫ﻘﺮ‬ ‫ ) ﺍﹾﻟ‬masih
menurut Ibn al-Jazari sebagai syadz. Artinya, qiraat Empat Imam: Hasan
Basri, Ibnu Muhaisin, Yahya al-Yazidi, dan al-Syanabudz tidak dapat
diakui sebagai bacaan al-Qur’an yang sah, sebab memiliki nilai sanad yang
syazd.24

20
Ahmad bin Muhammad bin ‘Abd. al-Dimyati, Ithaf Fudala' al- Basyar fi al-
Qira'at al-Arba‘ ‘Asyar, (Kairo: Masyhad al-Husaini, t.t.), p. 9.
21 Badr al-Din Muhammad bin ‘Abdullah al-Zarkasyi, Al-Burhan fi ‘Ulum al-

Qur’an, Cet.ke I, Jilid I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), p. 318.


22 Al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, p. 428.
23 Al-Dimyati, Ithaf Fudala' al- Basyar, p. 9.
24 Ibid., p. 9.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 4, Agustus 2009


Ahmad Fathoni: Mengenal Kaidah dan Istilah Dalam Ilmu Qira’at 1063

E. Kaidah dan Istilah- Istilah Khusus dalam Ilmu Qiraat


Di dalam Ilmu Qiraat, baik Qiraat Tujuh maupun Qiraat Sepuluh
dikenal dua macam kaidah yaitu:
1. Kaidah Umum (biasa disebut al-Qa`idat al-Usuliyyah).
Disebut kaidah umum apabila sebuah rumusan atau pedoman
bacaan suatu lafaz oleh Imam Qiraat yang dapat diberlakukan di manapun
berada di dalam al-Qur’an tanpa ada batasan ayat atau surat tertentu.
Pembahasan kaidah umum biasanya terletak pada separoh bagian pertama;
sedang separoh bagian terakhir, untuk membahas kaidah khusus (Farsy al-
Huruf). Pengelompokan pembagian bahasan ini pada kenyataannya
tidaklah mutlak. Maksudnya bukan berarti pada bagian kelompok bahasan
kaidah umum hanya membahas kaidah umum, dan pada bagian kelompok
bahasan kaidah khusus (Farsy al-Huruf) hanya membahas kaidah khusus,
sebab sebagian kecil kaidah khusus ada yang dibahas di dalam kelompok
kaidah umum, bagitu juga sebaliknya.25
Kaidah Umum terdiri dari banyak bab, yaitu: Basmalah, Hukum
Mim jama`, idgham kabir, Ha’ kinayah, mad dan qasr, dua hamzah dalam satu
kalimah, dua hamzah dalam dua kalimah, Hamzah mufrad, Pemindahan
harakat Hamzah ke huruf mati sebelumnya, Bacaan Imam Hamzah dan
Hisyam ketika waqaf pada Huruf Hamzah, idgham saghir, al-Fath, al-imalah
dan al-taqlil (baina baina), Madzhab al-Kisa’i dalam Imalah Ha’ ta’nits dan
huruf sebelumnya ketika Waqaf, Cara Imam Qiraat membaca Ra’, Hukum
Lam, waqaf pada akhir kalimah, waqaf pada Khat Utsmani, Ya’ idafah, Ya’
zaidah.
2. Kaidah Khusus (biasa disebut Farsy al-Huruf ).
Disebut Kaidah Khusus apabila sebuah rumusan atau aturan bacaan
suatu lafaz oleh Imam Qiraat yang hanya dapat diberlakukan pada surat
atau ayat tertentu di dalam al-Qur’an. 26 Pembahasan bab-bab dalam
Kaidah Khusus tersebar dalam jumlah surat al-Qur’an, yaitu Farsy al-Huruf
surat al-Baqarah, Farsy al-Huruf surah Alu ‘Imran dan seterusnya. Contoh:
Bacaan lafaz ‫ﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺨ‬
 ‫ﻳ‬‫ﺎ‬‫ﻭﻣ‬ surah al-Baqarah ayat 9: Ibnu Amir, ‘Asim, Hamzah
dan al-Kisa’i membaca dengan Fathah Ya’ yang terletak sebelum huruf
Kha’ ( ‫ ) ﺥ‬yang mati; dan huruf Dal ( ‫ ) ﺩ‬yang terletak sesudah Kha’ ( ‫ ) ﺥ‬di
baca Fathah ‫ﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺨ‬
 ‫ﻳ‬‫ﺎ‬‫ﻭﻣ‬ . Sedangkan Baqil Qurra’ (Imam Qiraat yang lain)

25‘Abd al-Fattah al-Qadi, Al-Wafi fi Syarh al-Syatibiyyah fi al Qira'at al-Syab‘


(Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-Dar, 1983), p.198.
26 Ibid., p. 199.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 4, Agustus 2009


1064 Ahmad Fathoni: Mengenal Kaidah dan Istilah Dalam Ilmu Qira’at

membaca sebagaimana ‫ﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺨ‬‫ ﻳ‬tempat pertama, yakni seperti yang terdapat
di awal ayat 9, yaitu ‫ﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﻋ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺨ‬‫ﺎ ﻳ‬‫ﻭﻣ‬ .
Adapun istilah-istilah khusus yang biasa dipergunakan di dalam Ilmu
Qiraat, adalah sebagai berikut:
1. Qiraat ( ‫ﺍﺀَﺓ‬‫ﻘﺮ‬ ‫) ﺍﹾﻟ‬
Istilah qiraat atau qiraah dipergunakan sebagai istilah untuk
menyebut suatu bacaan lafaz al-Qur’an yang dinisbatkan kepada seorang
Imam. Dengan demikian, bila yang disebut adalah Imam Qiraat, maka
berarti tidak ada ikhtilaf bacaan untuk kedua periwayat.27 Sebagai contoh,
jika ada bacaan suatu lafaz dinisbatkan kepada nama Imam ‘Asim, maka
disebut Qiraat ‘Asim.
2. Riwayat ( ‫ـﺔ‬‫ﺍﻳ‬‫ﺮﻭ‬ ‫) ﺍﻟ‬
Istilah riwayat atau riwâyah dipergunakan pada bacaan lafaz al-Qur’an
yang dinisbatkan kepada seorang Rawi/Perawi dari Imam Qiraat. Sebagai
contoh, jika suatu bacaan lafaz dinisbatkan kepada Hafs dari Imam ‘Asim,
maka bacaannya disebut Riwayat Hafs dari Imam ‘Asim.
3. Tariq ( ‫ﻖ‬ ‫ﻳ‬‫) ﺍﻟ ﱡﻄ ﹺﺮ‬
Istilah Tariq dipergunakan jika ada perbedaan bacaan suatu lafaz
yang dinisbatkan kepada seorang Tariq dari para Perawi.28 Sebagai contoh,
jika suatu bacaan lafaz dinisbatkan kepada Imam al-Syatibi dari para
Perawi Hafs, maka bacaannya disebut menurut Tariq Imam al-Syatibi dari
para Perawi Hafs.
4. Wajah ( ‫ﻪ‬ ‫ﺟ‬ ‫ﻮ‬ ‫) ﺍﹾﻟ‬
Istilah wajah dipergunakan untuk menyebut bentuk-bentuk bacaan
yang berbeda yang diperbolehkan bagi seorang pembaca untuk
memilihnya.29 Misalnya; ketika terjadi hukum Mad ‘Arid li al-Sukun, maka
mempunyai tiga wajah bacaan, yaitu al-qasr (2 harakat), al-tawassut (4
harakat), dan al-tul (6 harakat). Dengan demikian, seorang pembaca al-
Qur’an boleh memilih satu dari tiga wajah bacaan yang diperbolehkan.

27 Muhammad Salim Muhaisin, Al-Irsyadat al-Jaliyyah fi al- Qira'at al-Sab‘ min Tariq

al- Syatibiyyah (Al-Azhar: Maktabah al-Kulliyyat al-Azhariyyah, 1974), p. 13.


28 Ibid., p.13.
29 Ibid.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 4, Agustus 2009


Ahmad Fathoni: Mengenal Kaidah dan Istilah Dalam Ilmu Qira’at 1065

5. Mim Jama‘ ( ‫ﻤ ﹺﻊ‬ ‫ﺠ‬


 ‫ﻢ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻴ‬‫ﻣ‬ ) : ialah Mim ( ‫ ) ﻡ‬yang menunjukkan "Jama‘
Mudzakkar" baik "Mukhatab" (orang kedua jama‘) seperti ‫ﻢ‬ ‫ﻜ‬
‫ ﹶﻟ ﹸ‬- ‫ﻢ‬ ‫ﺘ‬‫ﻧ‬‫ﹶﺍ‬
atau "Ghaib" (orang ketiga Jama‘) seperti ‫ﻢ‬ ‫ﻫ‬ .30
6. Sukun Mim Jama‘ ( ‫ﻤ ﹺﻊ‬ ‫ﳉ‬
‫ﻴ ﹺﻢ ﹾﺍ ﹶ‬‫ﻣ‬ ‫ﻮ ﹸﻥ‬ ‫ﺳ ﹸﻜ‬ ) : ialah mim jama‘ dalam keadaan mati
atau di-Sukun. Misalnya ‫ﻢ ﻋﺬﺍﺏ‬ ‫ ﳍ‬.
7. Silah Mim Jama‘ ( ‫ﻤ ﹺﻊ‬ ‫ﳉ‬
‫ﻴ ﹺﻢ ﹾﺍ ﹶ‬‫ﻣ‬ ‫ﺻﹶﻠ ﹸﺔ‬
 ): ialah mim jama‘ di-dammah dan
dihubungkan (di-silahkan) dengan waw sukun lafziyyah.31 Misalnya, ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﹶﻟ‬
‫ﺏ‬
 ‫ﻋﺬﹶﺍ‬ dibaca ‫ﺏ‬
 ‫ﻋﺬﹶﺍ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﻢ‬ ‫ ﹶﳍ‬.
8. Dammah Mim Jama‘ Tanpa Silah ( ‫ﺔ‬ ‫ﺻﹶﻠ‬
 ‫ﻴ ﹺﺮ‬‫ﻦ ﹶﻏ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻤ ﹺﻊ‬ ‫ﺠ‬
 ‫ﻴ ﹺﻢ ﺍﹾﻟ‬‫ﻣ‬ ‫ﻢ‬ ‫ﺿ‬
 ): ialah mim
jama‘ yang di-dammah . Misalnya ‫ﻮ ﹶﻥ‬ ‫ﻨ‬‫ﻣ‬ ‫ﺆ‬ ‫ﻢ ْﺍ ﹸﳌ‬ ‫ ﻣﻨﻬ‬.
9. Idgham Kabir ( ‫ﺮ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﻜﹺﺒ‬
‫ﻡ ﺍﹾﻟ ﹶ‬ ‫ﺩﻏﹶﺎ‬ ‫) ﺍﻹ‬: ialah peristiwa idgham-nya huruf pertama
yang hidup (berharakat) ke dalam huruf kedua yang juga hidup
(berharakat); dengan cara men-sukun lebih dahulu pada huruf pertama,
kemudian di-Idgham-kan/dilebur menjadi huruf kedua, sehingga praktik
bacaannya menjadi huruf kedua yang di-tasydid.32 Misalnya ‫ﺎ‬‫ﻢ ﻣ‬ ‫ ﻳﻌﻠ‬dibaca
al-Susi- ‫ﺎ‬‫ﻢ ﻣ‬ ‫ﻌﹶﻠ‬ ‫ﻳ‬ yakni ya‘ lamma.
10. Idgham Saghir ( ‫ﺮ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﻐ‬ ‫ﺼ‬
ّ ‫ﻡ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﺩﻏﹶﺎ‬ ‫ ) ﺍﻹ‬: ialah peristiwa Idgham-nya huruf
pertama yang mati ke dalam huruf kedua yang hidup
(berharakat).33 Misalnya ‫ﻚ‬  ‫ﺑ‬‫ﺭ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ - dibaca oleh seluruh Imam Qiraat
dengan ‫ﻚ‬ ‫ﺑ‬‫ﺭ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ (mir rabbika) - ‫ﻢ‬ ‫ﻌﹶﻠ ﹸﻜ‬ ‫ﺟ‬ ‫ ﺇ ﹾﺫ‬dibaca Abu ‘Amr dan Hisyam
dengan ij ja‘alakum.
11). Ha’ Kinayah ( ‫ﺔ‬ ‫ﻳ‬‫ﺎ‬‫ﻜﻨ‬ ‫ﺎ ُﺀ ﺍﹾﻟ‬‫ ) ﻫ‬: ialah Ha’ tambahan yang menunjukkan Mufrad
Mudzakkar Ghaib (orang ketiga tunggal). Biasa juga disebut Ha’ Damir.34
Misalnya ‫ﻩ‬‫ﺆﺩ‬ ‫ﺑ‬ - ‫ﻪ‬ ‫ﻫﹶﻠ‬ ‫ ﹶﺃ‬- ‫ﻪ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﻋﹶﻠ‬ .

30 Ahmad Fathoni, Kaidah Qiraat Tujuh, Cet. I, Jilid I, (Jakarta: Institut PTIQ &
IIQ Jakarta dan Darul ‘Ulum Press Jakarta, 2005), p. 28.
31 Al-Qadi, Al-Wafi, p. 51.
32 Abu al-Qasim ‘Ali bin ‘Utsman al-Baghdadi, Siraj al-Qari’ al-Mubtadi’, (Beirut:

Dar al-Fikr, t.t.), p. 32.


33 Al-Baghdadi, Siraj al-Qari’, p. 33.
34 Al-Qadi, Al-Wafi, p.68.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 4, Agustus 2009


1066 Ahmad Fathoni: Mengenal Kaidah dan Istilah Dalam Ilmu Qira’at

12. Silah Ha’ Kinayah35 ( ‫ﺔ‬ ‫ﻳ‬‫ﺎ‬‫ﻜﻨ‬


 ‫ﺎ ِﺀ ﺍﹾﻟ‬‫ﺻﹶﻠ ﹸﺔ ﻫ‬
 ): ialah menghubungkan ha’ kinayah
dengan waw/ya’ lafziyyah.36 . Misalnya ‫ﻣﺎ‬ ‫ ﹶﻟَﻪ‬- ‫ﻢ‬ ‫ﻋ ﹾﻠ‬ ‫ ﹺﺑِﻪ‬.
13. Tanpa Silah Ha’ Kinayah37 ( ‫ﺔ‬ ‫ﻳ‬‫ﺎ‬‫ﻜﻨ‬  ‫ﺎ ِﺀ ﺍﹾﻟ‬‫ﺔ ﻫ‬ ‫ﺻﹶﻠ‬
 ‫ﻡ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﻋ‬ ): biasa juga disebut qasr
ha’ kinayah ialah ha’ kinayah yang tidak dihubungkan dengan waw/ya’
lafziyyah, misalnya ‫ﺪ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﳊ‬
‫ﻪ ﹾﺍ ﹶ‬ ‫ﻟ‬‫ ﹺﻭ‬.
14. Huruf Mad ada 3 (tiga) :
a. Alif (baik ada rasm atau tidak), sebelumnya berupa huruf yang
berharakat fathah. Misal, Alif pada lafaz ‫ﻝ‬ ‫ ﻗﹶﺎ ﹶ‬dan ‫ﻚ‬  ‫ﻠ‬‫ ﻣٰـ‬.
b. Waw Sukun (baik ada Rasm atau tidak), sebelumnya berupa huruf yang
berharakat dammah. Misalnya, waw pada lafaz ‫ﻝ‬ ‫ﻮ ﹸ‬ ‫ﻳ ﹸﻘ‬ dan lafaz ‫ﺡ‬
 ‫ﺮ‬ ‫ﺻ‬
 ‫ﻪ‬‫ ﹺﺇﻧ‬.
c. Ya’ Sukun (baik ada rasm atau tidak), sebelumnya berupa huruf yang
berharakat kasrah. Misalnya, Ya’ pada lafaz ‫ﻞ‬ ‫ﻴ ﹶ‬‫ﻗ‬ dan Ya’ pada lafaz ‫ﺑﹺﻪ‬
‫ﻢ‬ ‫ﻋ ﹾﻠ‬ .
Panjang bacaan Huruf Mad adakalanya al-Qasr (2 harakat), al-tawasut
(4 harakat), dan al-tul/al-isyba‘ (6 harakat).38
15. Huruf Lein (‫ﻦ‬‫ﻴ ﹺ‬‫ﻑ ﺍﹾﻟﱠﻠ‬
 ‫ﺮ‬ ‫ﺣ‬ ) ada 2 (dua):
a. Waw Sukun yang sebelumnya berupa huruf berharakat fathah. Misalnya-
‫ﻮﺀَﺓ‬ ‫ﺳ‬ .
b. Ya’ Sukun yang sebelumnya berupa huruf berharakat fathah. Misal-
‫ــًﺎ‬‫ﺷﻴ‬ .39
Panjang huruf lein sama dengan huruf mad, yaitu adakalanya al-qasr (2
harakat), al-tawasut (4 harakat) dan al-tul (6 harakat).
16. Al- Mad (‫ﺪ‬ ‫ )ﹾﺍﳌﹶـ‬: menurut bahasa ialah tambahan, dan menurut istilah
mempunyai 2 arti, yaitu:
a. Memanjangkan bunyi huruf mad atau huruf lein, ketika huruf tersebut
bertemu dengan huruf Hamzah atau huruf mati.

35
Silah Ha’ Kinayah biasa juga disebut isyba‘ Ha’ kinayah atau mad 'Ha’ kinayah.
36
Al-Baghdadi, Siraj al-Qari’, p. 45.
37 Tanpa silah Ha’ kinayah biasa juga disebut qasr 'Ha’ kinayah atau ikhtilas Ha’

kinayah.
38 Sayyid Lasyin dan Khalid Muhammad al-Hafiz, Taqrib al-Ma‘ani fi Syarh Hirz al-

Amani fi al-Qira’at al-Sab‘, (Madinah: Maktabah Dar al-Zaman, 1413 H./ 1992 M.), p. 63.
39 Al-Baghdadi, Siraj al-Qari’, p. 60.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 4, Agustus 2009


Ahmad Fathoni: Mengenal Kaidah dan Istilah Dalam Ilmu Qira’at 1067

b. Meng-itsbatkan huruf mad alif dalam suatu kata (kalimah), namun bunyi
huruf mad tersebut tidak dipanjangkan melebihi dari aslinya, yakni tetap
dibaca 2 harakat.
Misalnya, lafaz ‫ﺖ‬
 ‫ﺳ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺩ‬ dalam surat al-An‘am ayat 105, Ibn Katsir dan
Abu ‘Amr membaca lafaz tersebut dengan al-mad, artinya meng-isbatkan
huruf mad (Alif) sesudah ‫( د‬dal), yakni ‫ﺖ‬  ‫ﺳ‬ ‫ﺭ‬ ‫ ﺩ‬.40
17. Al- Qasr (‫ﺮ‬ ‫ـ‬‫ ) ﺍﹾﻟ ﹶﻘﺼ‬: menurut bahasa ialah tertahan, dan menurut istilah
mempunyai 2 (dua) arti, yaitu:
a. Tanpa memanjangkan bunyi huruf mad atau huruf lein. Maksudnya untuk
huruf mad atau huruf lein dipanjangkan sebagaimana aslinya, yaitu 2
harakat.
b. Membuang huruf mad alif dari suatu kata (kalimah). Misalnya, lafaz
‫ﺖ‬
 ‫ﺳ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺩ‬ bacaan Imam Tujuh selain Ibn Katsir dan Abu ‘Amr adalah al-
qasr, artinya membuang Alif sesudah ‫( د‬dal) yakni ‫ﺖ‬
 ‫ﺳ‬ ‫ﺭ‬ ‫ﺩ‬ .41
18. Mad Muttasil:42 ialah apabila ada huruf mad yang sesudahnya berupa
huruf Hamzah di dalam satu kata (kalimah).43 Sebagai contoh – ‫ﻴـَﺖ‬ ‫ﺳ‬

‫ﺎ َﺀ‬‫ ﺟ‬- ‫ﻮ َﺀ‬ ‫ﺳ‬ .
19. Mad Munfasil:44 ialah apabila ada huruf mad yang sesudahnya berupa
huruf Hamzah di lain kata/kalimah.45 Misalnya:
‫ﻧ ﹺﺰ ﹶﻝ‬‫ﺎﹸﺃ‬‫ﺎ – ﻣ‬‫ﻳﻬ‬‫ٰﻳﹶﺄ‬
‫ﻢ‬ ‫ﺴ ﹸﻜ‬
 ‫ﻧ ﹸﻔ‬‫ﺍ ﹶﺃ‬‫ﱃ ﺍﷲ – ﹸﻗﻮ‬ ‫ﻩ ﹺﺇ ﹶ‬‫ﻣﺮ‬ ‫ﻭﹶﺃ‬
‫ﺎ‬‫ﻣﻬ‬ ‫ﻰ ﹸﺃ‬‫ ﻓ‬- ‫ﺻ ﹶﻞ‬  ‫ﻮ‬ ‫ﻳ‬ ‫ﺑﹺﻪ ﹶﺃ ﹾﻥ‬
20. Mad Badal (‫ﻝ‬
‫ﺪ ﹺ‬ ‫ـ‬‫ﺪ ﺍﹾﻟﺒ‬ ‫ـ‬‫ )ﻣ‬: ialah apabila ada huruf mad yang sebelumnya
berupa huruf Hamzah (baik hamzah tsabit atau hamzah mughayyar).
Contoh huruf mad yang sebelumnya berupa hamzah tsabit adalah ‫ﺍ‬‫ﻨﻮ‬‫ﻣ‬ ‫ ﺀَﺍ‬-
‫ﻰ‬‫ﻭﺗ‬ ‫ ﹸﺃ‬- ‫ﺶ‬
‫ﻳ ﹴ‬‫ﺮ‬ ‫ﻑ ﻗﹸـ‬
 ‫ﻼ‬
‫ﻳ ﹶ‬‫ ِﻹ‬Contoh huruf mad yang sebelumnya berupa hamzah
mughayyar adalah ‫ﻦ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻦ ﺀَﺍ‬ ‫ﻣ‬ ketika dibaca yang dibaca dengan al-naql.46

40 Al-Qadi, Al-Wafi fi Syarh al-Syatibiyyah, pp. 72-73.


41 Ibid., p. 73.
42 Di dalam Ilmu Tajwid biasa disebut Mad Wajib Muttasil .
43 Al-Baghdadi, Siraj al-Qari’, p. 49.
44 Di dalam Ilmu Tajwid biasa disebut Mad Jaiz Munfasil.
45 Muhaisin, Al-Irsyadat al-Jaliyyah, p. 25.
46 Sayyid Lasyin, Taqrib al-Ma‘ani, p. 65.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 4, Agustus 2009


1068 Ahmad Fathoni: Mengenal Kaidah dan Istilah Dalam Ilmu Qira’at

21. Tashil Hamzah Baina-Baina 47 (‫ﻦ‬  ‫ﻴ‬‫ـ‬‫ﻦ ﺑ‬ ‫ﻴ‬‫ﺑ‬ ‫ﻴ ﹸﻞ‬‫ﺴ ﹺﻬ‬
 ‫ﺘ‬‫ﺍﻟ‬/‫ﻦ‬ ‫ﻴ‬‫ﺑ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻴ‬‫ﺑ‬ ‫ﺓ‬ ‫ﺰ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻴ ﹸﻞ ﹾﺍ ﹶﳍ‬‫ﺴ ﹺﻬ‬
 ‫ﺗ‬ ) : ialah
bacaan khusus huruf Hamzah. Di dalam praktik apabila Hamzah
berharakat Fathah ( ‫ ) َء‬maka bunyinya antara Hamzah yang berharakat
Fathah dan Alif (ha-samar). Apabila Hamzah berharakat Dammah (‫) ُء‬
maka bunyinya antara Hamzah yang berharakat Dammah dan Waw
(hu-samar). Apabila Hamzah berharakat Kasrah ( ‫ ) ِء‬maka bunyinya
antara Hamzah yang berharakat Kasrah dan Ya’ (ha-samar).48
22. Al-Idkhal ( ‫ﻝ‬
‫ـﺎ ﹸ‬‫ﺩﺧ‬ ‫) ﹾﺍ ِﻹ‬: ialah peristiwa masuknya Alif antara dua Hamzah
(‫ﺀَﺍ ُﺀ‬-‫ﺀَﺍ ِﺀ‬-‫)ﺀَﺍ َﺀ‬, sehingga Hamzah pertama mempunyai panjang bacaan 2
harakat.49 Misalnya ‫ﺰﻝ‬‫ﺅﻧ‬ ‫ ﺀَﺍ‬، ‫ﺇﺫﺍ‬‫ َﺀﺍ‬، ‫ﻢ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﺗ‬‫ﺭ‬ ‫ﻧ ﹶﺬ‬ ‫ﺀَﺍﹶﺃ‬.
23. Al-Ibdal (‫ﻝ‬
‫ﺍ ﹸ‬‫ﺑﺪ‬‫)ﹾﺍ ِﻹ‬: ialah peristiwa pergantian huruf.50 Misalnya, Hamzah
kedua pada ‫ـﺔ‬‫ﺎ ِﺀ ﺀَﺍﻳ‬‫ـﻤ‬‫ﻦ ﺍﻟﺴ‬  ‫ـ‬‫ ﻣ‬di-ibdalkan dengan Ya’. Artinya bacaan
Hamzah kedua diganti menjadi Ya’.
24. Sakin Mafsul (‫ﻮ ﹸﻝ‬ ‫ـ‬‫ﻤ ﹾﻔﺼ‬ ‫ﻦ ﺍﹾﻟ‬ ‫ﻛ‬ ‫ﺎ‬‫)ﺍﻟﺴ‬: ialah apabila ada huruf sahih mati di
akhir kata (bukan huruf mad), sesudahnya berupa Hamzah Qata‘
yang menjadi awal kata berikutnya.51 Misalnya ‫ﻦ‬  ‫ﻣ‬ ‫ﻦ ﺀَﺍ‬ ‫ﻣ‬ - ‫ﻢ‬ ‫ﻴ‬‫ﻟ‬‫ﺏ ﹶﺃ‬
 ‫ﻋﺬﹶﺍ‬ -
‫ـ ﹸﻞ‬‫ﺍﹶﺃﻧ‬‫ﺎﹶﻟﻮ‬‫ﺗﻌ‬. Arti "Waqaf" pada sakin mafsul adalah waqaf pada kata (lafaz)
yang awalnya berupa Hamzah Qata‘; sedang arti "Wasal" padanya adalah
menyambung bacaan antara kata (lafaz) yang awalnya berupa Hamzah
Qata‘ dengan lafaz sesudahnya.
25. Lam Ta‘rif/Al-Ta‘rif ( ‫ﻒ‬‫ﻌ ﹺﺮﻳ‬ ‫ﺗ‬ ‫ﻝ‬
‫ﺃ ﹾ‬/ ‫ﻒ‬
 ‫ﻳ‬‫ﻌ ﹺﺮ‬ ‫ﺘ‬‫ﻡ ﺍﻟ‬ ‫ ) ﹶﻻ‬: ialah apabila ada "‫ " ﺍﻝ‬masuk
pada kalimah yang awalnya berupa Hamzah Qata‘.52 Misal ‫ﺽ‬
‫ﺭ ﹺ‬ ‫ﻰ ﺍ َﻷ‬ ‫ﻓ‬
- ‫ﺎ ﹸﻥ‬‫ﻧﺴ‬‫ﺮ ﹸﺓ – ﹾﺍ ِﻹ‬ ‫ﺧ‬ ‫ ﹾﺍ َﻷ‬. Berarti lafaz ‫ﺪ‬ ‫ـ‬‫ﳊﻤ‬
‫ ﺍﻟـﺮﲪﻦ – ﹾﺍ ﹶ‬dan yang semisal tidak
disebut lam ta‘rif/al-ta‘rif.

47 Bacaan Tashil Hamzah Baina-Baina tidak bisa tepat kecuali dimusyafahahkan


dengan guru ahli.
48 Sayyid Lasyin, Taqrib al-Ma‘ani, p. 71.
49 Al-Qadi, Al-Wafi fi syarh al-Syatibiyyah, p. 88.
50 Al-Imam Abu Hafs Umar al-Ansari, Al-Mukarrar fi ma Tawatara min al- Qira'at

al-Sab‘ (Singapura: Al-Haramain li al-Tiba‘ah, t.t.), p. 9.


51 Fathoni,Kaidah Qiraat Tujuh, Cet ke 1, Jilid I, p. 148.
52 Al-Dimyati, Ithaf Fudala' al- Basyar, p. 59.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 4, Agustus 2009


Ahmad Fathoni: Mengenal Kaidah dan Istilah Dalam Ilmu Qira’at 1069

26. Hukum ‫ﻲ ٌﺀ‬ ‫ـ‬‫ ﺷ‬- ‫ﻲ ٍﺀ‬ ‫ـ‬‫ ﺷ‬- ‫ــﺎ‬‫ﺷﻴ‬ : ialah hukum bacaan huruf lein yang
sesudahnya berupa Hamzah khusus di tiga lafaz ini.53 Artinya untuk
semisal lafaz ‫ﻴﺌﹶـﺔ‬ ‫ﻬ‬ ‫ﻛ‬
‫ ﹶ‬walaupun sebelum Hamzah berupa huruf lein, tidak
disebut mempunyai hukum ‫ﻰ ْﺀ‬  ‫ـ‬‫ ﺷ‬, sekalipun untuk riwayat Warsy ada
kesamaan bacaan.
27. Tashil/Takhfif ( ‫ﻒ‬ ‫ﻔﻴﹺـ‬ ‫ﺨ‬‫ﺍﻟﺘ‬/‫ﻴ ﹸﻞ‬‫ـ ﹺﻬ‬‫ﺘﺴ‬‫ )ﺍﻟ‬: ialah peristiwa berubahnya bunyi
huruf Hamzah yang meliputi tashil baina-baina – Naql – al-ibdal – al-
hadzf (membuang Hamzah) .54
28. Al-Isymam (‫ﻡ‬ ‫ﺎ‬‫ﺷﻤ‬
 ‫)ﺍ ِﻹ‬: ialah memajukan kedua bibir ke depan dengan
tanpa suara, sebagai isyarat bahwa asal harakat hurufnya adalah dammah,
serta-merta sesudah huruf tersebut di-sukun karena di-waqafkan.55
Bacaan-Bacaan al-isymam ini juga dipakai di dalam bacaan huruf ‫ ﺹ‬pada
lafaz ‫ﺍﻁ‬‫ﺻﺮ‬
 /‫ﺍﻁ‬‫ﺼﺮ‬
ِ ‫ ﺍﻟ‬untuk khalaf;56 ‫ ﺹ‬Sukun yang terletak sebelum ‫( د‬dal),
 ‫ﺗ‬ untuk bacaan Hamzah dan al-Kisa’i; pada lafaz ‫ﻞ‬
misalnya ‫ﺔ‬‫ﺪﻳ‬ ‫ﺼ‬ ‫ﻴ ﹶ‬‫ ﹶﻗ‬cs.
untuk bacaan Hamzah dan al-Kisa’i.
29. Al-Raum ( ‫ﻡ‬ ‫ﻭ‬ ‫ﺮ‬ ‫)ﺍﻟ‬: ialah melemahkan suara huruf yang berharakat
sehingga sampai tinggal-1/3 nya; ketika pembaca mewaqafkan lafaz
yang akhirnya berharakat dammah (marfu‘) atau kasrah (majrur).57
Digambarkan, bahwa orang butapun masih dapat mencermati bacaan
Raum ini. Adapun al-Ikhtilas adalah melemahkan suara huruf yang
berharakat sehingga tinggal 2/3-nya, misalnya dammah ‫ ( ر‬Ra’) ‫ﻢ‬ ‫ﻛ‬ ‫ﺮ ﹸ‬ُ ‫ﻣ‬ ‫ﺄ‬‫ﻳ‬
dibaca al-ikhtilas; artinya suara dammah ‫( ﺭ‬Ra’) dilemahkan sampai
tinggal 2/3-nya.58
30. Tashil Hamzah Baina-Baina Bi al-Raum ‫ﻞ‬‫ﻴ ﹸ‬‫ﺴ ﹺﻬ‬
 ‫ﺘ‬‫ ﺍﻟ‬/‫ﻭ ﹺﻡ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻦ ﺑﹺﺎﻟ‬ ‫ﻴ‬‫ﺑ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻴ‬‫ﺑ‬ ‫ﺰ ﹶﺓ‬ ‫ﻤ‬ ‫ﻴ ﹸﻞ ﺍ ﹶﳍ‬‫ﺴ ﹺﻬ‬
 ‫ﺗ‬)
( ‫ﻭ ﹺﻡ‬ ‫ﺮ‬ ‫ﻦ ﺑﹺﺎﻟ‬
 ‫ﻴ‬‫ﺑ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻴ‬‫ﺑ‬ : ialah huruf Hamzah di akhir kalimah (lafaz) yang

53 ‘Abd al-Fattah al-Qadi, Al-Budur al-Zahirah fi al-Qira’at al-‘Asyr al-Mutawatirah

min Tariqai al-Syatibiyyah wa al-Durrah, Cet. ke I, (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1981), p.
24.
54 Al-Qadi, Al-Wafi fi Syarh al-Syatibiyyah, p. 110.
55 ‘Abd Allah bin ‘Abd al-Mu’min al-Wasiti, Al-Kanzu fi al-Qira’at al-‘Asyr (Beirut:

Dar al-Kitab al-‘Ilmiyyah,1998), p. 99.


56 Al-Ansari-al, Al-Mukarrar fi ma Tawatara min al- Qira'at al-Sab‘, p. 8.
57 Al-Wasiti, Al-Kanzu, p. 99.
58 Al-Qadi, Al-Wafi fi syarh al-Syatibiyyah, p. 203.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 4, Agustus 2009


1070 Ahmad Fathoni: Mengenal Kaidah dan Istilah Dalam Ilmu Qira’at

dibaca tashil baina-baina, namun suaranya dilemahkan sehingga sampai


tinggal 1/3-nya.59
31. Al-Fath ( ‫ﺢ‬  ‫ﺘ‬‫) ﺍﹾﻟ ﹶﻔ‬: ialah terbukanya mulut ketika pembaca al-Qur’an
mengucapkan Alif, bukan Alif yang berharakat Fathah – sebab Alif tidak
pernah menerima harakat.60
32. Imalah Kubra (‫ﺮﻯ‬‫ﻜﺒ‬ ‫ﻪ ﺍﹾﻟ ﹸ‬ ‫ﺎﹶﻟ‬‫)ﺍﻹﻣ‬: ialah bunyi Alif yang diucapkan antara
Fathah dan Kasrah, dan antara Alif dan Ya’. al-imalah al-kubra biasa juga
disebut al-imalah al-mahdah (‫ﻀ ﹸﺔ‬ ‫ﺤ‬ ‫ﺎﹶﻟ ﹸﺔ ﺍ ﹶﳌ‬‫ )ﺍﻹﻣ‬atau idja‘ (‫ﻉ‬
 ‫ﺎ‬‫ﺿﺠ‬
 ‫)ﺍﻹ‬.61 Di dalam
pemakaian istilah, biasanya al-imalah al-kubra hanya akan disebut "al-
imalah" saja.
33. Imalah Sughra (‫ﺮﻯ‬‫ﺼﻐ‬  ‫ﺎﹶﻟ ﹸﺔﺍﹾﻟ‬‫ )ﹾﺍ ِﻹﻣ‬: ialah bunyi Alif yang diucapkan antara al-
Fath dan al-imalah al-kubra. Al-imalah ini juga biasa disebut al-taqlil )
(‫ﻞ‬
‫ﻴ ﹸ‬‫ـ‬‫ـ ﹾﻘﻠ‬‫ ﺍﹾﻟﺘ‬atau baina-baina (‫ﻦ‬ ‫ﻴ‬‫ﺑ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻴ‬‫ﺑ‬).62
34. Imalah Ha’ Ta’nits (‫ﺚ‬
 ‫ﻴ‬‫ﺘَـﺄﹾﺀﹺﻧ‬‫ﺎ ِﺀ ﺍﻟ‬‫ﺎﹶﻟ ﹸﺔ ﻫ‬‫)ﹺﺇﻣ‬: ialah bacaan al-imalah pada ha’
ta’nits dan huruf sebelumnya, ketika waqaf.63 Misalnya ‫ﺷ ﹶﻔ ﹲﺔ‬
 ‫ ﻛﹶﺎ‬dibaca
kasyifeh. Kebalikan bacaan imalah ha’ ta’nits adalah al-fath ha’ ta’nits ‫ﺢ‬
 ‫ﺘ‬ْ‫) ﹶﻓ‬
(‫ﺚ‬
 ‫ﻴ‬‫ـ ﹾﺄﹺﻧ‬
َ ‫ﺎ ِﺀ ﺍﻟﺘ‬‫ ﻫ‬.
35. Tarqiq Ra’ (‫ﺮﺍ ِﺀ‬ ‫ﻖ ﺍﻟ‬
 ‫ﻴ‬‫ﻗ‬‫ﺮ‬ ‫ﺗ‬) : Bacaan tarqiq ra’ hanya dipakai untuk
Riwayah Warsy yang menjadi ciri khas bacaannya, yakni bacaan tipis
pada huruf "Ra’" yang berharakat Fathah atau Dammah, tentunya
dengan syarat-syarat tertentu. Misalnya ‫ﺍ‬‫ﻴﺮ‬ ‫ﺧ‬  dibaca "khaira".64
36. Tafkhim Ra’ ( ‫ﺍ ِﺀ‬‫ﻢ ﺍﻟﺮ‬ ‫ﻴ‬ ‫ﺨ‬
 ‫ـ ﹾﻔ‬‫) ﺗ‬: ialah bacaan tebal pada Ra’. Untuk bacaan
ini bagi orang Indonesia tidak ada kesulitan, sebab Hafs biasa
mempergunakan bacaan ini.
37. Taghliz Lam ( ‫ﻼ ﹺﻡ‬ ‫ﻆ ﺍﻟ ﱠ‬ ‫ﻴ ﹾ‬‫ﻠ‬‫ﻐ‬ ‫ﺗ‬ ): ialah bacaan tebal pada Lam. Misalnya ketika
pembaca al-Qur’an mengucapkan lafaz ‫ ا‬. Namun dalam Ilmu Qiraat,

59
Sayyid Lasyin, dan Khalid Muhammad al-Hafiz. Taqrib al-Ma‘ani fi Syarh Hirz
al-Amani fi al-Qira’at al-Sab‘, (Madinah: Maktabah Dar al-Zaman, 1413 H./1992), p. 107.
60 Fathoni, Kaidah Qiraat Tujuh, Jilid II, p. 28.
61 Al-Qadi, Al-Wafi fi Syarh al-Syatibiyyah, p. 140.
62 Al-Baghdadi, Siraj al-Qari’, p. 103.
63 Sayyid Lasyin, Taqrib al-Ma‘ani, p. 141.
64 Ibn al-Jazari, Al-Nasyr fi al- Qira'at al-‘Asyr, Juz II, p. 68.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 4, Agustus 2009


Ahmad Fathoni: Mengenal Kaidah dan Istilah Dalam Ilmu Qira’at 1071

bacaan taghliz lam ini menjadi ciri khas Riwayah Warsy.65 Misalnya
“Lam” pada ‫ﻢ‬ ‫ﺗ ﹺﻬ‬‫ﻼ‬
‫ﺻﹶ‬ ‫ﻦ‬ ‫ﻋ‬ dibaca oleh Warsy dengan taghliz, yakni "la"
dibaca seperti Lam-nya lafaz ‫ ا‬. Lawan bacaan dari taghliz lam adalah
"tarqiq lam".
38. Ya’ Idafah (‫ﺔ‬ ‫ﺎﹶﻓ‬‫ﺎ ُﺀ ﺍﻹﺿ‬‫)ﻳ‬: ialah Ya’ tambahan yang menunjukkan
Mutakallim, yakni Ya’ yang bukan sebagai lam fi‘il dan bukan sebagai
kerangka kata (kalimah).66 Misal ‫ﺪﻧﹺﻰ‬ ‫ﺠ‬ ‫ﺘ ﹺ‬‫ ﺳ‬- ‫ﻰ‬‫ ﺇﻧ‬dan lain-lain. Imam
Qiraat ada yang membaca Fathah dan ada yang membaca Sukun Ya’
(‫ﺎ ِﺀ‬‫ﺳﻜﹶﺎ ﹸﻥ ﺍﹾﻟﻴ‬
 ‫)ﹺﺇ‬.
39. Ya’ Zaidah ( ‫ﺓ‬ ‫ﺪ‬ ‫ﺋ‬‫ﺍ‬‫ﺎ ُﺀ ﺍﻟﺰ‬‫) ﻳ‬: ialah Ya’ yang terletak di akhir kata (kalimah),
namun tidak ada rasmnya (tidak tertulis).67 Oleh karena itu, di antara
bacaan Imam Qiraat berkisar antara membuang/hadzf Ya’ (‫ﻑ ﺍﻟﻴﺎﺀ‬  ‫)ﺣﺬ‬
dan itsbat Ya’ (‫ﺎ ِﺀ‬‫ﺕ ﺍﻟﻴ‬
 ‫ﺎ‬‫ )ﹺﺇﹾﺛﺒ‬. Misalnya ‫ﻉ‬ ‫ﺪَﺍ ﹺ‬ ‫ ﺍﻟ‬ada yang membaca hadzf Ya’ (al-
da‘i) dan ada yang membaca itsbat Ya’ (al-da‘i).
40. Al- Naql (‫ﻞ‬ ‫ـﻘﹾـ ُﹺ‬‫) ﺍﻟﻨ‬: ialah memindahkan harakat huruf Hamzah ke
huruf mati sebelumnya, kemudian Hamzah (di dalam bacaan)
dibuang.68 Misalnya ‫ﺢ‬  ‫ﺪ ﹶﺃﻓﹾـﹶﻠ‬ ‫ ﹶﻗ‬dibaca qadaflaha, ‫ﺎ ﹶﻥ‬‫ﻧﺴ‬‫ ﹺﺇ ﱠﻥ ﹾﺍ ِﻹ‬dibaca
innalinsana.
41. Saktah ( ‫ﺖ‬
 ‫ﺴ ﹾﻜ‬ ‫ ) ﺍﻟ‬: ialah berhenti sejenak selama 2 harakat tanpa nafas.69
Misalnya-‫ﻦ‬
 ‫ﻣ‬ ‫ﻦ ﺀَﺍ‬ ‫ﻣ‬ dibaca man saktah amana, ‫ﺽ‬
‫ﺭ ﹺ‬ ‫ﻰ ﹾﺍ َﻷ‬‫ ﻓ‬dibaca fil saktah ardi.
42. Tahqiq (‫ﻖ‬ ‫ﻴ‬‫ﻘ‬ ‫ﺤ‬
 ‫ﺘ‬‫ ) ﺍﻟ‬biasa juga disebut ‫ﺖ‬  ‫ﺳ ﹾﻜ‬ ‫ﻴ ﹺﺮ‬‫ﻦ ﹶﻏ‬ ‫ﻣ‬ ‫ﻖ‬ ‫ﻴ‬‫ﻘ‬ ‫ﺤ‬
 ‫ﺘ‬‫ ﺍﻟ‬: ialah bacaan yang
tidak al-naql dan juga tidak Saktah. Lebih mudah disebut bacaan biasa
sebab bunyi huruf Hamzah tidak berubah sebagaima bacaan Hafs.
Misalnya ‫ﺢ‬  ‫ﺪ ﹶﺃ ﹾﻓﹶﻠ‬ ‫ َﹶﻗ‬dibaca qad-aflaha, ‫ﺽ‬
‫ﺭ ﹺ‬ ‫ﻰ ﹾﺍ َﻷ‬‫ ﻓ‬dibaca fil- ardi.
43. Dzawat al- Ya’ ( ‫ﺎ ِﺀ‬‫ﺕ ﺍﹾﻟﻴ‬
 ‫ﻭَﺍ‬ ‫ ) ﹶﺫ‬: ialah setiap Alif asliyyah (bukan zaidah) di
akhir kata (kalimah) yang asalnya dari Ya’. Kadang-kadang terdapat
pada akhir kata yang berharakat Fi'il, misalnya ‫ ﺇﺷﺘﺮﻯ – ﺃﰉ‬, atau Isim,

65 Ibn al-Jazari, Al-Nasyr fi al- Qira'at al-‘Asyr, Juz II, p. 83.


66 Sayyid Lasyin, Taqrib al-Ma‘ani, p. 160.
67 Fathoni,Kaidah Qiraat Tujuh, Jilid II, p. 140.
68 Al-Qadi, Al-Wafi fi Syarh al-Syatibiyyah, p. 104.
69 Muhaisin, Al-Irsyadat al-Jaliyyah, p. 27.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 4, Agustus 2009


1072 Ahmad Fathoni: Mengenal Kaidah dan Istilah Dalam Ilmu Qira’at

misalnya - ‫ﻭَﻯ‬ ‫ ﺍﳌﹶﺄ‬baik ketika Alif tersebut tertulis dalam Masahif


Utsmaniyah dengan bentuk Ya’ sebagaimana ‫ ﺍﳌﺄﻭﻯ – ﺃﰉ‬, maupun tetap
tertulis dengan Alif, misalnya - ‫ﺎ‬‫ﻷ ﹾﻗﺼ‬
َ ‫ ﹾﺍ‬/‫ﻐَﺎ‬ ‫ ﹶﻃ‬.70
44. Alif Ta’nits (‫ﺚ‬
 ‫ﻴ‬‫ﺎﹺﻧ‬‫ﻒ ﺍﻟﺘ‬
 ‫ﻟ‬‫) ﹶﺃ‬: ialah setiap Alif yang terdapat pada wazan
‫ﻠﻰ‬‫ ﹸﻓﻌ‬-‫ﻠﻰ‬‫ ﹶﻓﻌ‬-‫ﻠﻰ‬‫ﻓﻌ‬ - ‫ﺎﱃ‬‫ ﹸﻓﻌ‬dan ‫ﺎﱃ‬‫ ﹶﻓﻌ‬. Misalnya- ‫ﺎ‬‫ﻧﻴ‬‫ﺪ‬ ‫ﺗﻰ – ﺍﻟ‬‫ﺴﻰ – ﺍ ﹶﳌﻮ‬‫ﻋﻴ‬ –
‫ ﻛﺴﺎﱃ‬.71
45. Ru'us al-Ay ( ‫ﻯ‬ ‫ﺱ ﺍﹾﻷ ِﹺ‬  ‫ﻭ‬ ‫ﺭ ُﺀ‬ ): ialah Alif yang terletak di setiap akhir ayat
dalam sebelas surat berikut: Taha, an-Najm, al-Syams, al-A‘la, al-Lail,
al-Duha, al-‘Alaq, al-Nazi‘at, ‘Abasa, al-Qiyamah dan al-Ma‘arij.72
46). Dzur Ra’ (‫ﺍ ِﺀ‬‫ﻭ ﺍﻟﺮ‬ ‫ ; ) ﹸﺫ‬ialah Alif di ujung lafaz (kalimah) yang asalnya dari
Ya’/Alif Ta’nits/Alif yang tertulis dalam Masahif Utsmaniyah dengan
bentuk Ya’, dan terletak sesudah Ra’ , misalnya ‫ﻯ‬‫ﺎﺭ‬‫ﻨﺼ‬‫ ﺍﻟ ﱢﺬﻛﹾﺮﻯ – ﺍﻟ‬.73
47. Ra’ Mutatarrifah Maksurah (‫ﺭ ﹲﺓ‬ ‫ﻮ‬ ‫ﺴ‬  ‫ﻣ ﹾﻜ‬ ‫ﺘ ﹶﻄ ّﹺﺮﹶﻓ ﹲﺔ‬‫ﻣ‬ ‫ﺍ ٌﺀ‬‫)ﺭ‬: ialah Alif yang terletak
sebelum-Ra’ yang berharakat Kasrah yang berada di ujung kata
(kalimah). Misalnya ‫ﺎ ﹺﺭ‬‫ﻢ – ﺍﻟﻨ‬ ‫ﻫ‬ ‫ﺎ ﹺﺭ‬‫ﺑﺼ‬‫ ﻭﻋﻠﻰ ﺃ‬.74 Apabila "Waqaf" pada lafaz
yang semisal ‫ﺎ ﹺﺭ‬‫ ﺍﻟﻨ‬, maka hukum "Ra’" bagi Imam Qiraat atau Perawi
yang membaca al-imalah baik al-sughra maupun al-kubra, adalah "Tarqiq
Ra’".75

F. Penutup
Eksistensi Qiraat Sab‘ah mulai dekade 70-an mulai bergairah lagi
dipelajari oleh para pencinta al-Qur’an dibanyak negara Islam, dan dikaji
pada berbagai lembaga pendidikan formal maupun non formal di
Indonesia, diantaranya di Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) Jakarta dan Institut
PTIQ Jakarta. Bahkan mulai tahun 2002 ketika diselenggarakan STQ
Nasional di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) salah satu cabang yang
dimusabaqahkan adalah Qiraat Sab‘ah. Mengingat kehadiran Qiraat Sab‘ah
termasuk kajiannya masih dianggap sebagai pendatang baru di Indonesia

70 Al-Baghdadi, Siraj al-Qari’, p. 103.


71 Sayyid Lasyin, Taqrib al-Ma‘ani, p. 125.
72 Al-Qadi, Al-Wafa fi Syarh al-Syatibiyyah, p. 146.
73 Sayyid Lasyin, Taqrib al-Ma‘ani, p. 132.
74 Al-Dimyati, Ithaf Fudala' al- Basyar, p. 83.
75 Al-Qadi, Al-Wafa fi Syarh al-Syatibiyyah, p. 169.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 4, Agustus 2009


Ahmad Fathoni: Mengenal Kaidah dan Istilah Dalam Ilmu Qira’at 1073

maka wajar bila masih belum begitu banyak yang mengetahui duduk soal
ragam bacaan al-Qur’an ini.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 4, Agustus 2009


1074 Ahmad Fathoni: Mengenal Kaidah dan Istilah Dalam Ilmu Qira’at

Daftar Pustaka

al-Ansari, Al-Imam Abu Hafs Umar, Al-Mukarrar fi ma Tawatara min al-


Qira'at al-Sab‘, Singapura: Al-Haramain li al-Tiba‘ah, t.t.
al-Baghdadi, Abu al-Qasim ‘Ali bin ‘Utsman, Siraj al-Qari’ al-Mubtadi’,
Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
al-Dimyati, Ahmad bin Muhammad bin ‘Abd. Ghani. Ithaf Fudala' al-
Basyar fi al- Qira'at al-Arba‘ ‘Asyar, Kairo: Masyhad al-Husaini, t.t.
al-Jazari, Al-Hafiz Abu al-Khair Muhammad bin Muhammad Ibn, Al-
Nasyr fi al- Qira'at al-‘Asyr, Juz I, Kairo: Dar al-Misriyyah, t.t.
al-Qadi, `Abd al-Fattah, Al-Budur al-Zahirah fi al-Qira'at al-‘Asyr al-
Mutawatirah min Tariqai al-Syatibiyyah wa al-Durrah, Cet. ke I, Beirut:
Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1981.
al-Qadi, `Abd al-Fattah, Al-Wafi fi Syarh al-Syatibiyyah fi al Qira'at al-Syab‘,
Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-Dar, 1983.
al-Wasiti, ‘Abd Allah bin ‘Abd al-Mu’min, Al-Kanzu fi al-Qira'at al-‘Asyr,
Beirut: Dar al-Kitab al-‘Ilmiyyah,1998.
al-Zarksyi, Badr al-Din Muhammad bin ‘Abdullah, Al-Burhan fi ‘Ulum al-
Qur’an, Cet.ke I, Jilid I, Beirut: Dar al-Fikr, 1988.
al-Zarqani, Muhammad ‘Abd al ‘Azim. Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an,
Jilid I, Kairo: al-Halabi, t.t.
Buhuts Qur'aniyyah. Majma‘ al-Buhuts al-Islamiyyah al-Mu‘tamar al-Sadis, IV.
Kairo: al- Syirkah al- Misriyyah li al-Tiba‘ah wa al-Nasyr, 1971.
Fathoni, Ahmad, Kaidah Qiraat Tujuh, Cet.ke 1, Jilid I, Jakarta: Institut
PTIQ & IIQ Jakarta dan Darul ‘Ulum Press Jakarta, 2005.
Lasyin, Sayyid dan Khalid Muhammad al-Hafiz, Taqrib al-Ma‘ani fi Syarh
Hirz al-Amani fi al-Qira'at al-Sab‘, Madinah: Maktabah Dar al-
Zamân, 1413 H./ 1992.
Mahmud, ‘Abdullah, ‘Ulum al-Qur'an wa al-Tafsir, Kairo: Dar al-‘Ulum li
al- Tiba‘ah, t.t.
Muhaisin, Muhammad Salim, Al-Irsyadat al-Jaliyyah fi al- Qira'at al-Sab‘ min
Tariq al- Syatibiyyah, Al-Azhar: Maktabah al-Kulliyyât al-Azhariyyah,
1974.
Qattan-al Manna‘, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Syaltut, Mahmud, Al-Islam ‘Aqidah wa Syari`ah, Mesir: Dar al-Qalam, 1966.

SOSIO-RELIGIA, Vol. 8, No. 4, Agustus 2009

Anda mungkin juga menyukai