Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan reproduksi adalah keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial
yang menyeluruh dan tidak semata-mata terbebas dari penyakit atau kecacatan
dalam semua hal berhubungan dengan sistem reproduksi dan fungsi serta
prosesnya. Kesehatan reproduksi oleh karena itu menyatakan bahwa seseorang
mampu memiliki kehidupan seks yang memuaskan dan aman dan bahwa mereka
memiliki kemampuan untuk bereproduksi dan bebas untuk memutuskan, kapan
dan seberapa sering melakukannya.
Situasi darurat bencana adalah suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa
yang telah mengakibatkan ancaman yang kritis terhadap kesehatan, keselamatan,
keamanan atau kesejahteraan suatu masyarakat atau sekelompok besar orang.
Kemampuan bertahan dari masyarakat yang terkena dampaknya menjadi
kewalahan dan bantuan dari luar dibutuhkan. Hal ini bisa merupakan akibat dari
peristiwa seperti konflik bersenjata, bencana alam, epidemi atau kelaparan dan
sering kali menyebabkan penduduk harus mengungsi.
Pelayanan kesehatan reproduksi pada kondisi darurat sering kali tidak
tersedia karena tidak dianggap sebagai kebutuhan yang mendesak dan bukan
merupakan prioritas. Padahal pada kondisi darurat bencana, tetap saja ada ibu
hamil yang membutuhkan pertolongan, tetap saja ada proses kelahiran yang tidak
dapat ditunda ataupun adanya kebutuhan alat kontrasepsi pada layanan keluarga
berencana serta layanan lainnya.
Indonesia merupakan negara yang rawan terhadap semua jenis bencana,
yang tidak semuanya dapat diperkirakan datangnya dan tidak semuanya dapat
dicegah, baik bencana alam maupun bencana akibat perbuatan manusia.
Pengalaman di Indonesia untuk penanganan permasalahan dalam situasi bencana
di lapangan yang paling krusial adalah ketidaksiapan lokal mulai dari
pengurangan dampak risiko melalui tahap kesiapsiagaan hingga rehabilitasi.
Di bidang kemanusiaan internasional, telah dikembangkan Minimum
Initial Services Package on Reproductive Health untuk memenuhi kebutuhan
akan kesehatan reproduksi pada situasi darurat bencana. Paket tersebut
selanjutnya diadaptasi oleh Pemerintah Indonesia menjadi Paket Pelayanan Awal
Minimum (PPAM) Kesehatan Reproduksi.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM) dalam Manajemen
bencana terhadap Kesehatan Reproduksi?
2. Apa Tujuan dari Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM) dalam Manajemen
bencana terhadap Kesehatan Reproduksi?
3. Apa saja komponen Paket Pelayanan Awal Minimum (PPAM) dalam
Manajemen bencana terhadap Kesehatan Reproduksi?
4. Bagaiman garis besar kerangka acuan manajemen bencana dalam Kesehatan
Reproduksi?
5. Apa saja KIT kesehatan reproduksi?
6. Bagaimana bentuk Pemantauan dan Surveilans manajemen bencana terhadap
masalah kesehatan reproduksi?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi PPAM dalam Manajemen bencana terhadap Kesehatan
Reproduksi
2. Mengetahui tujuan PPAM dalam Manajemen bencana terhadap Kesehatan
Reproduksi
3. Mengetahui komponen PPAM dalam Manajemen bencana terhadap
Kesehatan Reproduksi
4. Mengetahui garis besar kerangka acuan manajemen bencana dalam Kesehatan
Reproduksi
5. Mengetahui KIT kesehatan reproduksi
6. Mengetaui bentuk pemantauan dan surveilans manajemen bencana terhadap
masalah kesehatan reproduksi.
BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Definisi PPAM KESPRO


PPAM adalah paket intervensi minimum yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan dasar kesehatan reproduksi pada situasi bencana.
Situasi darurat bencana adalah suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa
yang telah mengakibatkan ancaman yang kritis terhadap kesehatan, keselamatan,
keamanan atau kesejahteraan suatu masyarakat atau sekelompok besar orang.
Kemampuan bertahan dari masyarakat yang terdampak menjadi kewalahan dan
bantuan dari luar dibutuhkan. Hal ini bisa merupakan akibat dari peristiwa seperti
konflik bersenjata, bencana alam, epidemi atau kelaparan dan sering kali
menyebabkan penduduk harus mengungsi.
Paket Layanan Awal Minimum untuk Kesehatan Reproduksi  digunakan
dalam  Situasi Krisis. Paket Layanan Awal Minimum (Minimum Initial Service
Package/MISP) untuk Kesehatan Reproduksi adalah seperangkat kegiatan
prioritas terkoordinasi yang dirancang untuk: mencegah dan menangani akibat
dari kekerasan seksual; mengurangi penyebaran HIV; mencegah kelebihan angka
mortalitas dan morbiditas ibu dan bayi; dan merencanakan layanan Kesehatan
Reproduksi lengkap pada hari-hari dan minggu-minggu awal dari situasi darurat.
Modul pembelajaran jarak-jauh MISP bertujuan meningkatkan pengetahuan para
pelaku kemanusiaan mengenai layanan Kesehatan Reproduksi prioritas ini agar
dapat dimulai di awal situasi krisis. MISP secara garis-besar menguraikan
tanggap Kesehatan Reproduksi awal dan akan dijelaskan secara rinci dalam
modul ini.
Modul menyertakan seperangkat kegiatan multi-sektoral yang harus
dilaksanakan oleh para pekerja kemanusiaan yang bekerja di sektor kesehatan,
rancangan dan manajemen kamp, layanan masyarakat, perlindungan dan sektor-
sektor lainnya. Modul MISP sangat bermanfaat terutama bagi anggota tim
tanggap darurat dan para responden kemanusiaan pertama lainnya dalam situasi
krisis. Modul terfokus pada populasi pengungsi internal akibat krisis, seperti
konflik bersenjata dan bencana alam. Meskipun modul MISP paling relevan bagi
mereka yang bekerja dalam situasi darurat, namun modul ini juga dapat
digunakan sebagai standar minimum pasca-krisis untuk menjamin kegiatan
Kesehatan Reproduksi prioritas dapat ditetapkan.

2.2 Tujuan dan Kegiatan PPAM


1. Mengidentifikasi organisasi dan perorangan untuk memudahkan 
koordinasi dan pelaksanaan  MISP dengan:
a. memastikan Koordinator Kesehatan Reproduksi keseluruhan ada
dan berfungsi di bawah tim koodinasi kesehatan;
b. memastikan titik fokus Kesehatan Reproduksi dalam kamp dan
instansi pelaksana ada di tempat;
c. menyediakan materi untuk pelaksanaan MISP dan memastikan
penggunaannya.
2. Mencegah kekerasan seksual dan memberikan bantuan yang tepat
kepada mereka yang selamat dengan:
a. memastikan tersedianya sistem untuk melindungi populasi
pengungsi internal, terutama wanita dan gadis, dari kekerasan
seksual;
b. memastikan tersedianya layanan medis, termasuk dukungan
psikososial, bagi mereka yang selamat dari kekerasan seksual.
3. Mengurangi penyebaran HIV dengan:
a. menjunjung tindak pencegahan universal;
b. menjamin tersedianya kondom gratis;
c. memastikan darah transfusi benar-benar aman.
4. Mencegah kelebihan angka mortalitas dan morbiditas ibu dan
bayi dengan:
a. menyediakan kit kelahiran bayi yang bersih untuk semua wanita
yang nyata hamil dan para bidan untuk meningkatkan kelahiran
bayi di rumah dalam keadaan bersih;
b. menyediakan kit kelahiran bayi bagi para bidan (UNICEF atau
sejenisnya) untuk memfasilitasi kelahiran bayi yang bersih dan
aman di fasilitas kesehatan;
c. memprakarsai penetapan sistem rujukan untuk mengelola situasi
darurat obstetrik.
5. Merencanakan penyediaan layanan Kesehatan Reproduksi lengkap,
yang menyatu ke dalam Perawatan Kesehatan Utama, sesuai dengan situasi yang
dihadapi, dengan:
a. mengumpulkan informasi dasar yang melatar-belakangi mengenai
pemantauan dan evaluasi);
b. mengidentifikasi lokasi untuk penyediaan layanan Kesehatan
Reproduksi lengkap di masa mendatang;
c. menilai staf dan mengidentifikasi protokol pelatihan;
d. mengidentifikasi jalur pengadaan dan menilai konsumsi obat setiap
bulan
6. Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual adalah segala tindakan seksual yang tidak
diinginkan, permintaan untuk melakukan perbuatan seksual, tindakan lisin, fisik,
iyarat yang bersifat seksual atau perilaku lain apapun yang bersifat seksual
membuat orang lain tersinggung, dipermalukan, terintimidasi dimana reaksi
seperti itu adalah masuk akal dalam situasi dan kondisi yang ada dan tindakan
tersebut mengganggu kerja, bermusuhan atau bersifat tidak sopan.
Pelecehan seksual adalah penyalahgunaan perilaku seksual, permintaan
melakukan perbuatan seksual, atau gerakan menggambarkan perbuatan seksual.
Misalnya: sms tidak sopan, perlakuan fisik, undangan melakukan perbuatan
seksual, pesan gambar porno, email, menyentuh, mencium, mencubit, melirik,
menatap tubuh seseorang.
Pelecehan seksual dikategorikan 5 kelompok:
1. Pelecehan fisik
Mencium, mencubit, menatap penuh nafsu.
2. Pelecehan secara lisan
Mengungkit kehiduapna pribadi, lelucon atau komentar
bernada seksual
3. Pelecehan isyarat
Bahasa tubuh yang bernada seksual dengan jari, bibir, menjilat.
4. Pelecehan tertulis atau gambar
Pornografi
5. Pelecehan psikologis
Unsur penting dari pelecehan seksual  adalah adanya ketidakinginan atau
penolakan pada apapun bentuk perhatian yang bersifat seksual. Perbuatan yang
dikategorikan sebagai pelecehan seksual sebagaiman diatur dalam pasal
pencabulan kitab UU hukum pidana dengan ancaman hukuman seperti yang
diatur dalam pasal 289/299 dengan ancaman penjara paling lama 7 tahun.
Apabila anda menjadi korban pelecehan seksual atau orang lain, anda
harus mengikuti langkah sebagai berikut:
1. Anda perlu menjelaskan kepada si pelaku pelecehan seksual bahwa
anda tidak menginginkan perbuatan tersebut dan perbuatan tersebut
mengganggu anda
2. Jika anda malu atau takut untuk membuat surat pengaduan atas
pelecehan seksual yang bersifat resmi ceritakan dan beritahukan
masalah pelecehan seksual yang anda alami dengan beberapa rekan
kerja atau yang dapat dipercaya.
3. Anda juga dapat mengajukan keluhan secara formal kepada atasan
atau organisasi tempat anda bekerja
4. Melaporkan langsung ke lembaga bantuan hukum (LBH)
5. Melaporkan ke kepolisian
Jika di dalam kasus pelecehan seksual anda tidak puas dengan keputusan
keadilan, anda dapat menjaga anak anda dengan pencegahan seksual terhadap
anak, sebagai berikut:
1. Selalu diberitahu untuk tidak mudah menerima makanan dan uang
dari orang lain
2. Jika anak pergi bermain, harus sepengetahuan dan seizin orang tua
3. Pengawasan orang tua ketika anak bermain mutlak dilakukan
4. Pakaian anak tidak mengundang rangsangan untuk melakukan
pelecehan seksual
5. Tidak memperlihatkan tayangan atau gambar yang bersifat
pornografi
6. Jika sibuk, sebaiknya anak dititipkan kepada orang yang dipecaya.
Contoh: orang tua. Jangan sembarangan menitipkan anak.

2.3 Komponen PPAM KESPRO


A. Identifikasi Organisasi dan Individu Untuk Memfasilitasi Koordinasi
dan Implementasi PPAM sebagai Focal Point.
Yang mengkoordinasikan kegiatan kesehatan reproduksi sejak awal untuk
mengatasi keadaan gawat darurat, dan bekerja di bawah koordinator umum
bidang kesehatan. Focal point ditunjuk untuk mengkoordinasikan
kegiatan kesehatan reproduksi sejak awal untuk mengatasi keadaan gawat
darurat.
Focal point akan bekerja dibawah koordinator umum bidang kesehatan.
Semua organisasi pemberi bantuan harus bekerja sesuai dengan tugasnya dan
siap siaga terhadap keadaan darurat. Kepekaan terhadap aspek kesehatan
reproduksi dan gender harus selalu ditekankan dalam setiap pelatihan sumber
daya manusia. Tenaga kesehatan yang berpengalaman dalam bidang kesehatan
reproduksi harus ditempatkan paling sedikit selama 6 bulan, sesuai dengan waktu
yang diperkirakan untuk memantapkan pelayanan kesehatan reproduksi
komprehensif.

B. Pencegahan dan manajemen kekerasan seksual dan akibatnya.


Semua petugas yang terlibat dalam penanggulangan keadaan darurat
harus sensitif terhadap masalah kekerasan seksual. Langkah-langkah untuk
membantu korban kekerasan seksual, termasuk perkosaan, harus sudah disusun
pada fase awal darurat. Korban kekerasan seksual harus segera dirujuk ke
fasilitas kesehatan dan pihak yang berwajib harus terlibat untuk memberikan
perlindungan dan dukungan hukum.
1) Pencegaha kekerasan seksual
Dalam rangka mencegah kekerasan seksual dan merespon
kebutuhan korban/penyintas sejak permulaan keadaan darurat, harus
dilaksanakan:
a. Mekanisme untuk melindungi penduduk terdampak dari kekerasan
seksual.
b. Layanan klinis untuk merawat korban/ penyintas perkosaan.
Kekerasan seksual telah dilaporkan dari kebanyakan situasi
darurat bencana, termasuk yang disebabkan oleh bencana alam. Semua
pelaku dalam situasi kemanusiaan harus menyadari risiko kekerasan
seksual dan mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan multisektoral untuk
mencegah dan melindungi penduduk yang terdampak, khususnya
perempuan dan anak perempuan.
Petugas kesehatan reproduksi harus membahas masalah
kekerasan seksual dalam rapat koordinasi kesehatan. Dalam kolaborasi
dengan mekanisme sektor/cluster kesehatan secara keseluruhan,
petugas kesehatan reproduksi dan staf program kesehatan reproduksi
harus :
a. Memastikan perempuan, pria, remaja dan anak-anak memiliki akses
terhadap layanan kesehatan dasar, termasuk layanan kesehatan
seksual dan kesehatan reproduksi.
b. Mendesain dan menempatkan fasilitas kesehatan untuk
meningkatkan keamanan fisik, melalui konsultasi dengan
masyarakat, khususnya pada perempuan dewasa dan remaja.
c. Berkonsultasi dengan penyedia layanan dan pasien tentang
keamanan di fasilitasfasilitas kesehatan.
d. Menempatkan toilet dan tempat mencuci laki-laki dan perempuan
secara terpisah di fasilitas kesehatan di tempat yang aman dengan
penerangan jalan yang memadai pada malam hari, dan memastikan
bahwa pintu-pintu dapat dikunci dari dalam.
e. Memastikan bahwa semua bahasa subkelompok etnis terwakili di
penyedia layanan atau ada penerjemah
f. Mempekerjakan perempuan sebagai penyedia layanan, pekerja
kesehatan masyarakat, staf program dan penerjemah.
g. Memberitahu penyedia layanan mengenai pentingnya menjaga
kerahasiaan dan mereka harus menandatangani dan mentaati suatu
pedoman perilaku terhadap eksploitasi dan penganiayaan seksual
(SEA/Sexual Exploitation and Abuse).
h. Memastikan bahwa pedoman perilaku dan mekanisme pelaporan
SEA oleh staf kesehatan ada, serta langkah-langkah hukuman yang
relevan untuk menegakkan pedoman perilaku tersebut.
2) Manajemen kekerasan seksual
Saat akan menyelenggarakan manajemen klinis untuk
korban/penyintas perkosaan, petugas kesehatan reproduksi dan staf
program harus :
a. Menetapkan daerah konsultasi pribadi dengan lemari arsip yang
dapat dikunci.
b. Memastikan tersedianya protokol yang jelas serta peralatan dan
supply yang memadai.
c. Mempekerjakan penyedia layanan perempuan dan laki-laki yang
fasih dalam bahasa setempat, atau bila hal ini tidak mungkin,
pendamping dan penerjemah lakilaki dan perempuan yang terlatih.
d. Melibatkan perempuan, juga remaja perempuan dan laki-laki, di
dalam pengambilan keputusan mengenai akses ke layanan dan
mengenai nama yang tepat untuk layanan itu.
e. Memastikan bahwa layanan dan mekanisme rujukan ke rumah sakit
dalam kasus komplikasi yang mengancam hidup tersedia 24 jam
sehari / 7 hari seminggu.
f. Setelah layanan tersedia informasikan ke masyarakat mengapa,
dimana dan kapan (secepatnya setelah perkosaan) layanan ini harus
diakses. Gunakan jalur komunikasi yang sesuai dengan keadaan
(misalnya melalui bidan, pekerja kesehatan masyarakat, tokoh
masyarakat, pesan di radio atau selebaran berisi informasi di toilet
perempuan).
g. Memastikan penyedia layanan terampil. Apabila diperlukan, adakan
sesi informasi atau pelatihan penyegaran singkat tentang perawatan
klinis untuk korban/penyintas perkosaan. Pengelolaan klinis untuk
korban/penyintas perkosaan mencakup komponen-komponen
berikut:
a) Komunikasi yang mendukung
b) Anamnesa dan pemeriksaan
c) Pengumpulan bukti-bukti forensic sepanjang relevan.
d) Perawatan yang penuh perhatian dan menjaga kerahasiaan
C. Menekan Penularan HIV Meliputi.
Upaya yang dilakukan dalam hal pencegahan HIV Aids secara umum
adalah dengan cara memberikan informasi mengenai penyakit HIV Aids kepada
kelompok orang yang beresiko tinggi dalam terkena serangan penyakit ini.
1) Melaksanakan tindakan kewaspadaan universal (universal precaution).
Dalam keadaan darurat ada kecenderungan mengabaikan tindakan
kewaspadaan universal. Mematuhi dan melaksanakan kewaspadaan
universal/universal precaution terhadap HIV dan AIDS Tindakan
kewaspadaan universal harus ditekankan pada pertemuan pertama
dengan para koordinator kesehatan. Dalam keadaan darurat, terdapat
kecenderungan mengabaikan tindakan kewaspadaan universal
sehingga membahayakan  pasien dan juga petugas kesehatan
2) Menjamin tersedianya kondom secara gratis. Kondom harus dijamin
ketersediaannya sejak awal dalam jumlah cukup. Masyarakat harus
diinformasikan tentang ketersediaan kondom di fasilitas kesehatan dan
fasilitas lainnya.
D. Pencegahan Morbiditas dan Mortalitas Maternal dan Bayi Baru Lahir
Dengan Cara.
Kegiatan prioritas untuk mencegah meningkatnya kesakitan dan kematian
maternal dan neonatal.
a. Memastikan ketersediaan layanan kegawatdaruratan kebidanan dan
perawatan neonatal termasuk :
a) Di fasilitas kesehatan: penolong persalinan terlatih dan supply
untuk pertolongan persalinan normal dan penanganan komplikasi
kebidanan dan bayi baru lahir.
b) Di rumah sakit rujukan: staf medis yang terampil dan supply
untuk penanganan kegawatdaruratan kebidanan dan bayi baru
lahir.
b. Membangun sistem rujukan untuk memfasilitasi transportasi dan
komunikasi dari masyarakat ke puskesmas dan antara puskesmas dan
rumah sakit.
c. Menyediakan kit persalinan bersih untuk ibu hamil yang terlihat dan
penolong persalinan ika terpaksa melahirkan di rumah ketika akses ke
fasilitas Kesehatan tidak memungkinkan.
d. Menyediakan kit persalinan untuk menjamin persalinan yang bersih
dan aman. Pada fase awal keadaan darurat, persalinan sering terjadi di
luar fasilitas kesehatan sehingga penting untuk.
e. Semua petugas yang terlibat dalam penanggulangan keadaan darurat
harus sensitif terhadapmasalah kekerasan seksual. Langkah-langkah
untuk membantu korban kekerasan seksual, termasuk perkosaan, harus
sudah disusun pada fase awal darurat. Korban kekerasan seksual harus
segera dirujuk ke fasilitas kesehatan dan pihak yang berwajib harus
terlibat untuk memberikan perlindungan dan dukungan hukum.
E. Perencanaan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Komprehensif
Mulailah merencanakan integrasi kegiatan kesehatan reproduksi
komprehensif ke dalam pelayanan kesehatan dasar pada fase awal respon darurat.
Jika tidak dilakukan, ini dapat menyebabkan penundaan yang tidak perlu dalam
penyediaan layanan ini, yang meningkatkan risiko terjadinya kehamilan-
kehamilan yang tidak diinginkan, penularan IMS (infeksi menular seksual),
komplikasi dalam kekerasan berbasis gender, serta kesakitan dan kematian pada
ibu dan bayi baru lahir. Mulailah penyelenggaraan layanan kesehatan reproduksi
komprehensif segera setelah standar-standar untuk indikator PPAM telah dicapai.
Harus dilaksanakan sebelum fase tanggap darurat berakhir,melalui kegiatan :
a. Pengumpulan informasi kematian ibu dan bayi baru lahir, prevalensi
IMS/HIV dan prevalensi pemakaian kontrasepsi.
b. Identifikasi faskes yang memadai untuk pelayanan kesehatan
reproduksi komprehensif

2.4 Garis Besar Kerangka Acuan Kesehatan Reproduksi


Kerangka Acuan Kerja atau Kerangka Acuan Kegiatan yang
disingkat KAK adalah dokumen perencanaan kegiatan yang berisi
penjelasan/keterangan mengenai apa, mengapa, siapa, kapan, di mana,
bagaimana, dan berapa perkiraan biayanya suatu kegiatan. Dengan kata lain,
KAK berisi uraian tentang latar belakang, tujuan, ruang lingkup, masukan yang
dibutuhkan, dan hasil yang diharapkan dari suatu kegiatan. KAK dalam bahasa
Inggris adalah Term Of Reference yang disingkat TOR.
Kerangka acuan merupakan gambaran umum dan penjelasan mengenai
kegiatan yang akan dilaksanakan sesuai dengan tugas dan fungsinya. Dalam
Kerangka acuan tercakup latar belakang, maksud dan tujuan, indikator keluaran,
cara pelaksanaan kegiatan, pelaksanaan dan penanggung jawab kegiatan, jadwal
kegiatan, dan biaya kegiatan.
Kerangka acuan memuat dasar pemikiran dalam melakukan suatu
pekerjaan (yang berkaitan dengan teori atau hipotesis).
Dalam lingkup pelayanan pada situasi bencana mengenai kesehatan
reproduksi, kerangka acuan disusun sebagai gambaran pelaksanaan program atau
kegiatan dalam menghadapi situasi bencana yang terjadi.
Format garis besar kerangka acuan kesehatan reproduksi dalam kegiatan
manajemen pemberian pelayanan pada situasi bencana:
a. Latar Belakang kegiatan
b. Tujuan kegiatan
c. Sasaran kegiatan
d. Dasar hukum mengenai pelaksanaan kegiatan yang dilakukan
e. Ruang lingkup
f. Kegiatan pokok dan rincian kegiatan
g. Cara melaksanakan kegiatan
h. Jadwal pelaksanaan kegiatan
i. Evaluasi pelaksanaan kegiatan dan pelaporan
j. Pencatatan, pelaporan, dan evaluasi kegiatan

2.5 KIT Kesehatan Reproduksi


Untuk melaksanakan PPAM kesehatan reproduksi yaitu dalam
memberikan pelayanan klinis bagi penyintas perkosaan, mengurangi penularan
HIV serta mencegah meningkatnya kesakitan dan kematian ibu dan neonatal,
telah dirancang paket-paket yang berisi obat dan alat kesehatan yang dibutuhkan
yang disebut Kit Kesehatan Reproduksi (Kit RH).
Kit kesehatan reproduksi dikemas dan diberi nomor sesuai dengan jenis
tindakan yang akan dilakukan. Alat, obat dan bahan habis pakai tersedia lengkap
di tiap kemasan. Sebagai contoh: Kit nomor 2 untuk pertolongan persalinan
bersih, termasuk apabila persalinan terjadi pada situasi tidak dapat ditolong oleh
tenaga kesehatan. Kit nomor 12 untuk transfusi darah. Kit nomor 4 untuk
kontrasepsi oral dan injeksi dan lain sebagainya. Penomoran ini bertujuan untuk
memudahkan pengelolaan dan penggunaannya pada situasi krisis kesehatan.
Kit kesehatan reproduksi dirancang untuk digunakan dalam jangka waktu
tiga bulan untuk jumlah penduduk tertentu. Kebutuhan kit tergantung pada jumlah
pengungsi, dan jenis pelayanan yang akan diberikan dan perkiraan lamanya waktu
mengungsi. Pendistribusian kit kesehatan reproduksi harus diikuti dengan
penjelasan kepada penerima tentang isi kit, cara menyimpan dan penggunaannya.
Harus diingat bahwa kit kesehatan reproduksi terdiri dari alat dan obat yang sama
dengan yang tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan. Perbedaannya adalah alat
dan obat tersebut sudah dikemas sehingga memudahkan petugas kesehatan dalam
memberikan pelayanan pada situasi bencana.
Apabila terjadi bencana berskala besar dimana dibutuhkan peralatan dan
obat untuk pelayanan kesehatan reproduksi yang mendesak dan kit belum tersedia,
Dinas Kesehatan setempat dapat mengajukan permohonan bantuan penyediaan kit
kesehatan reproduksi kepada Kementerian Kesehatan yang akan didatangkan dari
Copenhagen, Denmark yang merupakan gudang logistik untuk bantuan
kemanusiaan internasional. Pada saat memesan, rencanakan pendistribusiannya,
yang meliputi kemana akan dikirimkan, kondisi medan, alat transportasi yang akan
digunakan dan gudang penyimpanan sementara.
Kit kesehatan reproduksi hanya dapat dipesan pada bencana yang
berskala besar, dimana sebagian besar fasilitas pelayanan kesehatan tidak dapat
berfungsi. Perlu dipertimbangkan bahwa pengajuan kebutuhan kit kesehatan
reproduksi dilakukan apabila memang benar-benar dibutuhkan.
Bila masih ada fasilitas pelayanan kesehatan yang masih berfungsi,
disarankan untuk dimanfaatkan secara optimal. Pemerintah/ Dinas Kesehatan
setempat dapat menyediakan kit kesehatan reproduksi dan bahan habis pakai secara
lokal sesuai pedoman.
Koordinator kesehatan reproduksi harus memastikan bahwa obat dan alat
kesehatan tersedia dan terintegrasi ke dalam sistem pelayanan yang sudah ada. Selain
itu, Koordinator kesehatan reproduksi harus melakukan pengenalan singkat tentang
isi dan cara penggunaan kit kesehatan reproduksi serta memastikan kit tersebut
digunakan.

KIT KESEHATAN REPRODUKSI/KIT RH


Kit kesehatan reproduksi terdiri dari tiga blok, masing-masing blok ditujukan
bagi tingkat pelayanan kesehatan yang berbeda:
• Blok 1: Tingkat masyarakat dan pelayanan kesehatan dasar untuk 10.000
orang/3 bulan
• Blok 2: Tingkat pelayanan kesehatan dasar dan rumah sakit rujukan untuk
30.000 orang/3 bulan
• Blok 3: Tingkat rumah sakit rujukan untuk150.000 orang/3 bulan

Blok 1
Blok 1 terdiri dari 6 kit (kit 0 sampai 5). Perlengkapan ini ditujukan
untuk memberikan pelayanan kesehatan reproduksi di tingkat masyarakat dan
perawatan kesehatan dasar. Kit ini berisi obat-obatan dan bahan habis pakai.
Kit 1, 2 dan 3 terdiri dari dua bagian, A dan B, yang dapat dipesan secara
terpisah.

Blok 2
Blok 2 terdiri dari 5 kit (kit 6 sampai 10) yang berisi bahan habis
pakai dan bahan yang dapat digunakan kembali. Perlengkapan ini ditujukan
untuk memberikan pelayanan kesehatan reproduksi pada tingkat puskesmas
atau rumah sakit

Blok 3
Blok 3 terdiri dari 2 kit (kit 11 dan 12) yang berisi bahan habis pakai
dan perlengkapan yang dapat digunakan kembali untuk memberikan
pelayanan PONEK pada tingkat rujukan (bedah caesar). Kit 11 terdiri dari dua
bagian, A dan B, yang dapat dipesan secara terpisah

KIT KESEHATAN REPRODUKSI


BLOK 1
NO KIT NAMA KIT KODE WARNA
KIT 0 ADMINISTRASI ORANGE
Kondom
KIT 1 • Bagian A: kondom laki-laki Merah
• Bagian B: kondom perempuan
Persalinan Bersih (Perorangan)
KIT 2 • Bagian A: kit persalinan bersih Biru Tua
• Bagian B: untuk non kesehatan
Pasca Perkosaan
• Bagian A: Pil Kontrasepsi
KIT 3 darurat dan pengobatan IMS Merah Muda
• Bagian B: PPP (Pencegahan
Pasca Pajanan)
KIT 4 Kontrasepsi oral dan injeksi Putih
Pengobatan IMS (Infeksi Menular
KIT 5 Biru Muda/Turkis
Seksual)

BLOK 2
Kit persalinan (Fasilitas
KIT 6 COKLAT
Kesehatan)
KIT 7 AKDR (Alat Kontrasepsi HITAM
Dalam Rahim)
Penanggulangan Komplikasi
KIT 8 KUNING
Keguguran dan Aborsi
Kit Kesehatan Reproduksi
Menjahit Sobekan (leher rahim
KIT 9 dan vagina) dan UNGU
Pemeriksaan vagina
Persalinan dengan Vakum
KIT 10 ABU-ABU
(Manual)
BLOK 3
Tingkat rujukan
• Bagian A: peralatan
KIT 11 HIJAU FLUORESENSI
• Bagian B: obat-obatan dan
bahan habis pakai
KIT 12 Transfusi Darah HIJAU TUA

CARA MENGHITUNG KEBUTUHAN KIT KESEHATAN REPRODUKSI


Kit kesehatan reproduksi sudah dirancang untuk sejumlah penduduk tertentu. Saat
memesan Kit Kesehatan Reproduksi tidak perlu menghitung jumlah masingmasing
alat dan obat, tapi hanya diperlukan data jumlah pengungsi dan perkiraan
lama waktu mengungsi.

Contoh:
• Blok 1 untuk 10.000 penduduk selama 3 bulan
Jika pengungsi sebanyak 50.000 orang, maka kit yang akan dipesan sebanyak:
50.000 : 10.000 = 5 kit
• Blok 2 untuk 30.000 penduduk selama 3 bulan
Jumlah pengungsi: 50.000 maka kit yang akan dipesan adalah:
50.000 : 30.000 = 1,6  pesan 2 kit

Kit tidak bisa dipesan sebanyak 1,6 melainkan harus dibulatkan dan sisa obat
dan bahan habis pakai bisa digunakan untuk waktu lebih dari 3 bulan
Apabila masa tanggap darurat krisis kesehatan telah lewat dan masih terdapat
sisa alat, obat dan bahan habis pakai dari kit kesehatan reproduksi maka harus
diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat untuk diatur pemanfaatannya sesuai
dengan peraturan yang berlaku.
Alat dan sarana penunjang lainnya:
a. Tenda kesehatan reproduksi yang dirancang khusus dengan sekat untuk
pemeriksaan kehamilan, pelayanan KB, pertolongan persalinan dan
pelayanan lain yang memerlukan privasi bagi pasiennya
b. Buku KIA
c. Generator

2.6 Pemantauan dan Surveilans


1. Pemantauan dan Penilaian
Pada tanggap darurat krisis kesehatan perlu dilakukan pemantauan untuk
mendapatkan informasi mengenai kondisi pasca bencana dan kebutuhan bagi
penduduk yang terkena dampak atau pengungsi. Khusus untuk kesehatan
reproduksi, pemantauan tidak difokuskan pada ada tidaknya kebutuhan
pelayanan kesehatan reproduksi, karena berdasarkan pengalaman, kebutuhan
kesehatan reproduksi tetap ada dan justru meningkat pada situasi bencana.
Selain itu tidak perlu dilakukan penilaian intervensi apa yang dibutuhkan,
karena intervensi kesehatan reproduksi pada tanggap darurat krisis kesehatan
adalah melalui penerapan PPAM. Pada tanggap darurat krisis kesehatan
pengumpulan data mengenai jumlah sasaran pelayanan kesehatan reproduksi (ibu
hamil, ibu melahirkan dan lain-lain) tidak dilakukan karena berdasarkan
pengalaman, data tersebut sulit didapatkan. Koordinator kesehatan reproduksi
dapat memperoleh data sasaran pelayanan melalui estimasi statistik dengan
menggunakan data jumlah pengungsi.
Data jumlah pengungsi dapat diperoleh dari Tim Rapid Health
Assessment (RHA) yang menggunakan form B1 (lampiran 1). Namun,
koordinator perlu melakukan penilaian terhadap kondisi tenaga kesehatan,
fasilitas pelayanan kesehatan, ketersediaan alat dan obat, berfungsinya sistem
rujukan, ketersediaan pelayanan maupun kondisi kelompok rentan di
pengungsian. Dengan terkumpulnya data dan informasi tersebut, maka dapat
disusun strategi dan rencana PPAM kesehatan reproduksi.

Langkah-langkah dalam melakukan penilaian kebutuhan pelayanan kesehatan


reproduksi:
1. Mengumpulkan data sekunder/data dasar prakrisis: data sasaran,
indikator penting terkait kesehatan reproduksi seperti angka kelahiran
kasar, persalinan oleh tenaga kesehatan, data fasilitas pelayanan
kesehatan (lihat lampiran 2). Hal ini dilakukan untuk mendapatkan
gambaran tentang kondisi kesehatan reproduksi sebelum bencana
terjadi
2. Melakukan estimasi jumlah sasaran kesehatan reproduksi untuk respon
bencana. Estimasi dilakukan dengan menggunakan data jumlah
pengungsi yang didapat dari tim RHA (lihat lampiran 3)
3. Melakukan penilaian tentang kondisi fasilitas pelayanan kesehatan,
tenaga kesehatan dan ketersediaan alat dan obat untuk memberikan
pelayanan kesehatan reproduksi (lihat lampiran 4)
4. Jika terjadi bencana berskala besar, perlu mendata lembaga/organisasi/
LSM yang bekerja di bidang kesehatan reproduksi pada tanggap
darurat krisis kesehatan. Data ini dapat diperoleh melalui kegiatan
koordinasi dengan sektor kesehatan (lihat lampiran 5) Hal ini
dilakukan untuk mengidentifikasi dan membagi peran lembaga yang
bekerja di bidang kesehatan reproduksi di daerah yang terkena dampak
bencana, agar tidak terjadi tumpang tindih dalam memberikan
pelayanan
5. Mengumpulkan data kondisi ibu hamil dan melahirkan di pengungsian
dengan melakukan wawancara dengan 2-3 ibu hamil/melahirkan yang
ditemui di kamp/tenda pengungsian (lihat lampiran 6). Data ini
dikumpulkan untuk mengetahui tentang ketersediaan pelayanan bagi
ibu hamil dan pasca bersalin di pengungsian
6. Mendata kondisi pengungsian termasuk faktor-faktor yang
meningkatkan risiko Kekerasan Berbasis Gender (lihat lampiran 7)

Pihak yang menilai:


Penilaian kebutuhan pelayanan kesehatan reproduksi dilakukan oleh tim
kesehatan reproduksi atau oleh pengelola program kesehatan reproduksi di dinas
kesehatan sesuai dengan langkah-langkah yang telah dijelaskan di atas.
Cara menganalisis, menggunakan dan mendiseminasikan hasil penilaian:
Hasil penilaian harus spesifik agar dapat membuat keputusan yang tepat
terhadap intervensi yang harus dilakukan. Hasil ini secara jelas memprioritaskan
dan mengidentifikasi kebutuhan di masing-masing unit dalam sistem kesehatan.
Hasilnya harus memberikan rekomendasi mengenai bagaimana memastikan
intervensi PPAM dapat berkelanjutan dan membantu dalam merencanakan
penambahan komponen- komponen pelayanan kesehatan reproduksi
komprehensif. Lihat contoh format laporan penilaian di lampiran 8.
Hasil rekomendasi diinformasikan kepada semua organisasi yang terlibat
dalam respon bencana, termasuk masyarakat melalui mekanisme koordinasi
kesehatan dan sistem pelaporan yang ada saat bencana.

Surveilans
Surveilans penyakit dan faktor resiko pada umumnya merupakan upaya
untuk menyediakan informasi kebutuhan pelayanan kesejatan dilokasi bencana
dan pengungsian sebagai bahan tindakan kesehatan segera. Informasi dan data
yang dikumpulkan berupa jumlah korban meninggal, luka/sakit, jenis luka,
pengobatan yg diperlukan, kebutuhan yg belum dipenuhi, jumlah korban anak2,
dewasa, lansia, dll. Surveilans sangat penting untuk monitoring dan evaluasi dari
sebuah proses, sehingga dapat digunakan untuk menyusun kebijakan dan rencana
program .  
Ada 10 tugas utama yang harus di jalankan setelah keadan darurat terjadi
 Inisial Assessesment,
 Imunisasi Campak,
 Air dan Sanitasi,
 Makanan dan Gizi,
 Tempat Tinggal,
 Pelayanan Kesehatan Darurat,
 Pengendalian Penyakit dan KLB,
 Surveilans Kesehatan Masyarakat,
 SDM
 Koordinasi

Tujuan surveilans:
 Mengurangi jumlah kesakitan, resiko kecacatan dan kematian saat
terjadi bencana
 Mencegah atau mengurangi resiko munculnya penyakit menular dan
penyebarannya
 Mencegah atau mengurangi resiko dan mengatasi dampak kesehatan
lingkungan akibat bencana (misalnya perbaikan sanitasi)

Surveilans berperan dalam:


Saat bencana  Rapid Health Assessment (RHA), melihat dampak-
dampak apa saja yang ditimbulkan dari bencana, seperti berapa jumlah korban,
barang-barang apa saja yang dibutuhkan, peralatan apa yang harus disediakan,
berapa banyak pengungsi lansia, anak-anak, seberapa parah tingkat kerusakan,
kondisi sanitasi lingkungan dll.
Setelah bencana data-data yang diperoleh dari kejadian bencana harus
dapat dianalisis dan dibuat kesimpulan berupa rencana kerja atau kebijakan,
misalnya apa saja yang harus dilakukan masyarakat untuk  kembali dari
pengungsian, rekonstruksi dan rehabilitasi seperti apa yang harus diberikan.
Menentukan arah respon/ penanggulangan dan menilai keberhasilan
respon/ evaluasi. Manajemen penanggulangan bencana meliputi Fase
I  tanggap darurat,  Fase II fase akut, dan Fase III recovery (rehabilitasi
dan rekonstruksi). Prinsip dasar penanggulangan bencana adalah pada tahap
PREPAREDNESS atau Kesiapsiagaan sebelum terjadi bencana.

Upaya penanggulangan bencana meliputi


1. Pra-bencana
 Kelembagaan/ koordinasi yg solid
  SDM/ petugas kesehatan yg terampil secara medik dan sosial
(dapat bekerjasama dengan siapapun)
 Ketersediaan logistic (bahan, alat, dan obat)
  Ketersediaan informasi ttg bencana (daerah rawa, beresiko terkena
dampak)
 Jaringan kerja lintas program/ sektor
2.    Ketika bencana  RHA dilakukan  hari H hingga H+3
3.    pascabencana: berdasarkan dari RHA untuk menentukan langkah
selanjutnya
 Pengendalian penyakit menular  (ISPA, diare,DBD,chikungunya,
tifoid,dll)
 Pelayanan kesehatan dasar
  Surveilans penyakit
 Memperbaiki kesehatan lingkungan (air bersih, MCK, pengelolaan
sampah, sanitasi makanan, dll
Membangun sistem surveilans pada situasi bencana dapat dilakukan
dengan:
 Sistem harus sederhana
 Mencakup yang sangat prioritas
 Dilakukan secara aktif & intensif
 Melibatkan semua pihak
 Mengutamakan unsur kecepatan
 Didukung kecepatan respon
Strategi pengembangan surveilans epidemiologi pengungsi :
 Memprioritaskan pada penyakit-penyakit penyebab kematian dan
potensial KLB
 Berorientasi pada tindakan yang cepat, tepat dengan lebih
berorientasi pada promosi, pencegahan dandeteksi dini di lapangan
 Memperkuat tim surveilans epidemiologi dengan dengan tenaga
professional
 Memperkuat jaringan kerja sama surveilans epidemiologi di
lapangan, rujukan dan konsultasi
 Memperkuat sarana manajemen data dengan komputerisasi dan
komunikasi elektromedia
 Memperkuat dukungan politis dan pendanaan yang memadai dan
terusmenerus untuk penyelenggaraan surveilans yang berkualitas
tinggi
Jadi Surveilans bencana sangat penting, secara garis besar dapat
disimpulkan manfaatnya adalah:
 Mencari factor resiko di tempat pengungsian: air, sanitasi,
kepadatan, kualitas tempat penampungan
 Mengidentifikasi penyebab  utama kesakitan dan kematian
sehingga dapat diupayakan pencegahan
 Mengidentifikasi pengungsi kelompok rentan : anak-anak, lansia,
wanita hamil, sehingga lebih memperhatikan kesehatannya.
 Pendataan pengungsi : jumlah, wilayah, kepadatan, golongan
umur, menurut jenis kelamin, dll.
 Surveilans kematian individu
 Mengidentifikasi kebutuhan : gizi dan pangan,
 Survei epidemiologi

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Paket Layanan Awal Minimum (PPAM) untuk Kesehatan Reproduksi
adalah seperangkat kegiatan prioritas terkoordinasi yang dirancang untuk
memenuhi kebutuhan kesehatan reproduksi penduduk pada permulaan suatu
keadaan darurat. PPAM juga menentukan layanan kesehatan reproduksi manakah
yang paling penting untuk mencegah kesakitan dan kematian, menangani akibat
dari kekerasan seksual, khususnya di kalangan perempuan dan anak-anak
perempuan dalam situasi bencana.

B. Saran
Semoga makalah ini dapat berguna dan bermanfaat dalam proses
pembelajaran kedepannya serta  dapat menambah pengetahuan mahasiswa dalam
memberikan pelayanan kesehatan dan dapat menerapkannya dalam kehidupan
sehari-hari.
Bagi Petugas – petugas Kesehatan diharapkan dengan makalah ini dapat
meningkatkan pelayanan kesehatan

Anda mungkin juga menyukai