Anda di halaman 1dari 6

Nama : Jelita Wahyuningtyas

Kelas : XI IPA 2

Hal yang Kamu Syukuri Hari ini :

Empat Alasan Utama Kenapa Generasi Milenial Lebih Gampang


Depresi

Sebagai generasi terbesar kedua setelah generasi Baby Boomer, pola hidup dan kebiasaan
generasi milenial kerap menjadi headline di berbagai media massa. Salah satu isu yang sering
muncul adalah tingginya angka depresi pada generasi milenial.

Thomas Curran dan Andrew P. Hill meneliti lebih jauh mengenai fenomena ini dan
menemukan fakta menarik. Dalam jurnalnya yang dipublikasikan Psychological Bulletin ini,
mereka menyatakan bahwa generasi milenial gampang depresi. Tingkat depresi, kecemasan,
dan pikiran bunuh diri generasi milenial saat ini dua kali lebih tinggi dari sepuluh tahun lalu.

Lewat tulisannya di Psychology Today, Russ Federman, psikolog senior dari Virginia,
Amerika Serikat menyimpulkan bahwa fenomena ini bukanlah tentang apa yang salah dari
budaya masyarakat modern, melainkan sebuah refleksi dari tren sosial dan norma yang terus
berkembang. Teknologi dan ekonomi membawa pengaruh terbesar dalam evolusi ini.

Ilusi Kompetisi dan Perfeksionisme di Kalangan Milenial

Curran dan Hill menyoroti kaitan antara perubahan budaya dan tingkat perfeksionisme
mahasiswa antara tahun 1989 sampai 2016 di Amerika, Kanada, dan Inggris. Mereka
menemukan bahwa skala perfeksionisme meningkat selama 27 tahun. Penelitian ini juga
mengindikasikan bahwa generasi muda cenderung memiliki tuntutan lebih tinggi terhadap
orang lain dan diri mereka sendiri, sekaligus menganggap bahwa orang lain memiliki
tuntutan yang tinggi terhadap mereka.

Memiliki standar terlampau tinggi terhadap diri sendiri dan orang lain berisiko bagi kesehatan
mental generasi milenial. Perilaku pengguna media sosial yang kerap menampilkan gaya
hidup ideal, pasangan ideal, tubuh, wajah, dan gambaran kesempurnaan lainnya kian
memperparah kondisi ini.  Akibatnya, muncul ilusi kompetisi yang akhirnya membuat
generasi milenial terdorong untuk mengejar hal yang tak mungkin mereka capai, yaitu
kesempurnaan.

Rasa “berkompetisi” ini muncul saat generasi milenial temannya “sukses”, sehingga mereka
terdorong untuk berusaha keras agar lebih sukses. Sayangnya, masih ada langit di atas langit.
Namun, dorongan untuk lebih sukses itu masih ada. Pada titik tertentu, seorang yang
perfeksionis akan merasa berbagai usahanya masih kurang. Siklus ini akhirnya bisa
menyebabkan depresi.

Isolasi Akibat Media Sosial

Bukan hal baru jika generasi milenial sangat fasih menggunakan teknologi. Salah satu
teknologi yang sangat identik dengan generasi milenial adalah media sosial. Tak hanya
menghibur, media sosial memudahkan generasi milenial terkoneksi dengan teman, keluarga,
dan kerabat. Ironisnya, menggunakan media sosial secara berlebihan justru membuat
penggunanya merasa terisolasi dan kesepian.

Dua peneliti dari University of Pittsburgh School of Medicine mengaji fenomena ini lewat
riset yang dipublikasikan di American Journal of Preventive Medicine. Studi ini dilakukan
pada 1787 responden usia 19-32 di Amerika serikat. Mereka menemukan bahwa responden
yang menggunakan media sosial lebih dari dua jam per hari memiliki kecenderungan untuk
merasa terisolasi dibandingkan dengan yang menggunakan media sosial kurang dari 30 menit
per hari. Selain itu, terdapat pula studi dari The Oregon Health & Science University yang
membuktikan bahwa interaksi tatap muka bisa mengurangi risiko seseorang terkena depresi.
Oleh karena itu, menggunakan media sosial secara berlebihan bisa membuat milenial
gampang depresi.

Tantangan Ekonomi yang Berubah Menjadi Tekanan

Tak hanya tantangan teknologi dan sosial, generasi milenial pun menghadapi tantangan
lainnya yang tak kalah pelik, yaitu ekonomi. Tingginya urbanisasi membuat lapangan kerja
terpusat di kota-kota besar, sehingga persaingan kerja bagi generasi milenial saat ini makin
kompetitif. Sistem pendidikan saat ini pun tidak bisa sepenunhnya menjawab tantangan
persaingan tenaga kerja saat ini.

Belum lagi generasi milenial terancam tak bisa memiliki rumah karena ketimpangan antara
harga rumah dan kemampuan finansial. Berbagai tantangan ekonomi ini kerap menjadi
tekanan bagi generasi milenial, hingga memicu stres, dan akhirnya berisiko menjadi depresi.

Berita Negatif dan Kecemasan yang Ditimbulkan

Dengan internet, generasi milenial memang bisa mendapat informasi dengan cepat. Namun,
itu juga berarti generasi milenial lebih rentan terpapar berbagai informasi negatif dari seluruh
dunia dalam waktu bersamaan.

Media massa turut berperan sebagai faktor pemicu depresi, terutama media yang kerap
memberitakan peristiwa negatif. Mulai dari berita tentang alam Indonesia yang kian “sakit”,
perang dunia, terorisme, bencana alam, korupsi, dan isu mengkhawatirkan lainnya. Jika
seseorang terpapar informasi negatif secara terus menerus, bukan tidak mungkin dia akan
lebih rentan stres hingga depresi.

Alasan mengapa milenial gampang depresi ini memang sangat kompleks dan dipengaruhi
oleh berbagai faktor. Pengaruh masing-masing faktor sangat bergantung kepada situasi setiap
individu. Jika merasakan gejala depresi, jangan ragu untuk meminta pertolongan profesional
karena dengan begitu solusi akan lebih cepat didapatkan.

Sumber: https://www.halodoc.com/artikel/4-alasan-utama-kenapa-generasi-milenial-lebih-gampang-depresi
(dengan gubahan)
Jawablah.

1. Manfaat apa yang kamu dapatkan setelah membaca teks tersebut? (poin 20)
Manfaat yang didapat setelah membaca teks tersebut yakni banyaknya faktor
penyebab seseorang pada generasi milenial mengalami depresi.

2. Identifikasi struktur teks eksplanasi di atas. Kerjakan seperti yang sudah saya jelaskan
ketika kamu mengerjakan LKS menganalisis teks prosedur. (poin 12)

Untuk paragraf dengan tanda warna merah merupakan struktur eksplanasi Pernyataan
Umum.

Untuk paragraf dengan tanda warna biru merupakan struktur eksplanasi Urutan Sebab
Akibat.

Untuk paragraf dengan tanda warna hijau merupakan struktur eksplanasi Interpretasi.

Analisis kaidah kebahasaannya, yakni:

3. Mana kalimat yang mengandung konjungsi kausalitas? Ketik kembali kalimat tersebut
dan tebalkan konjungsi kausalitas tersebut. (poin 20)
a. Akibatnya, muncul ilusi kompetisi yang akhirnya membuat generasi milenial
terdorong untuk mengejar hal yang tak mungkin mereka capai, yaitu
kesempurnaan.
b. Rasa “berkompetisi” ini muncul saat generasi milenial temannya “sukses”,
sehingga mereka terdorong untuk berusaha keras agar lebih sukses.
c. Tingginya urbanisasi membuat lapangan kerja terpusat di kota-kota besar,
sehingga persaingan kerja bagi generasi milenial saat ini makin kompetitif.
d. Belum lagi generasi milenial terancam tak bisa memiliki rumah karena
ketimpangan antara harga rumah dan kemampuan finansial.
e. Oleh karena itu, menggunakan media sosial secara berlebihan bisa membuat
milenial gampang depresi.
4. Apakah terdapat konjungsi kronologis dalam teks eksplanasi tersebut? Beri tanda
ceklis. (poin 8)

Ada

Tidak ada

Jika ada, beri contoh satu saja dengan mengetik ulang kalimatnya dan tebalkan
konjungsi kronologis yang kamu maksud.
Sebagai generasi terbesar kedua setelah generasi Baby Boomer, pola hidup dan
kebiasaan generasi milenial kerap menjadi headline di berbagai media massa.

5. Sebutkan kata yang termasuk kata teknis dalam teks yang tertera di atas. (poin 20)
a. Ilusi
b. Kompetisi
c. Perfeksionisme
d. Finansial
e. Urbanisasi

6. Cek kembali teks di atas kemudian temukan kata benda (nomina) konkret dan abstrak.
Masing-masing dua kata. (poin 8)
Konkret: 1. Teknologi

2. Rumah

Abstrak: 1. Ilusi

2. Kesehatan

7. Salah satu kaidah kebahasaan teks eksplanasi adalah kata kerja (verba) pasif. Jadi,
pasti ada verba pasif di teks tersebut. Ketik sebanyak-banyaknya yang kalian
temukan. Berupa kalimat ya. Lalu verba pasif yang kalian maksud kalian tebalkan.
(poin 12)
- Dalam jurnalnya yang dipublikasikan Psychological Bulletin ini, mereka
menyatakan bahwa generasi milenial gampang depresi.
- Studi ini dilakukan pada 1787 responden usia 19-32 di Amerika serikat.
- Mereka menemukan bahwa responden yang menggunakan media sosial lebih dari
dua jam per hari memiliki kecenderungan untuk merasa terisolasi dibandingkan
dengan yang menggunakan media sosial kurang dari 30 menit per hari.
- Alasan mengapa milenial gampang depresi ini memang sangat kompleks dan
dipengaruhi oleh berbagai faktor.
- Jika merasakan gejala depresi, jangan ragu untuk meminta pertolongan profesional
karena dengan begitu solusi akan lebih cepat didapatkan.
- Memiliki standar terlampau tinggi terhadap diri sendiri dan orang lain berisiko bagi
kesehatan mental generasi milenial.
- Rasa “berkompetisi” ini muncul saat generasi milenial temannya “sukses”, sehingga
mereka terdorong untuk berusaha keras agar lebih sukses.

- Selain itu, terdapat pula studi dari The Oregon Health & Science University yang
membuktikan bahwa interaksi tatap muka bisa mengurangi risiko seseorang terkena
depresi.

- Tingginya urbanisasi membuat lapangan kerja terpusat di kota-kota besar, sehingga


persaingan kerja bagi generasi milenial saat ini makin kompetitif.

- Namun, itu juga berarti generasi milenial lebih rentan terpapar berbagai informasi
negatif dari seluruh dunia dalam waktu bersamaan.

Anda mungkin juga menyukai