Anda di halaman 1dari 6

ILMU PENYAKIT DALAM VETERINER II

BLOAT DAN GRAIN OVERLOAD


Angggota Kelompok :
Adinda (1809511088)
I Gede Bim Shiddi Prama Putra (1809511095)

BLOAT
1. Definisi
Bloat atau kembung rumen adalah gangguan pada saluran pencernaan ruminansia yang
disebabkan oleh retensi gas atau penyimpangan pengeluaran gas dari rumen secara normal.
Kembung rumen didefinisikan sebagai pembesaran abdomen karena akumulasi berlebihan dari gas
yang terperangkap dalam rumino-retikulum. Kembung terjadi ketika mekanisme eruktasi
terganggu atau terhambat dan laju produksi gas melebihi kemampuan ruminansia untuk
mengeluar-kannya. Gangguan mekanisme eruktasi tersebut akan mengakibatkan volume gas yang
diproduksi oleh rumen berlebihan sehingga kejadian bloat dapat berkembang dengan sangat cepat
(Majak et al., 2003). Bloat atau kembung rumen adalah gangguan sistemik non-infeksius yang
mengakibatkan gangguan pada sistem pencernaan ruminansia (Munda et al., 2016).

Gambar 1. Tiga derajat bloat. A-ringan, B-sedang, C-berat

2. Etiologi
Kebutuhan nutrien untuk pertumbuhan dan kesehatan akan lebih terpenuhi jika berbagai
jenis hijauan tersedia pada padang rumput maupun kandang (Provenza et al., 2003). Usaha untuk
memenuhi kebutuhan nutrien juga dapat dilakukan dengan sistem integrasi dengan tanaman
hijauan pakan ternak sebab banyak manfaat yang dapat dihasilkan dari sistem tersebut (Osak et
al., 2015). Selain hal tersebut di atas, variasi hijauan memberi kesempatan ruminansia untuk
membatasi asupan senyawa sekunder yang berpotensi toksik (Freeland dan Janzen, 1974). Asupan
konsentrasi senyawa tersebut dapat menyebabkan berbagai macam penyakit non infeksius seperti
bloat atau bahkan kematian pada ternak ruminansia. Kejadian bloat primer pada ruminansia
biasanya disebabkan oleh tanaman leguminosa, rumput dan bijian yang mengandung protein
terlarut tinggi, lignin rendah serta banyak mengandung dinding sel tumbuhan yang mudah dicerna
(Mangan, 1959; Lehmkuhler and Burris, 2011; Wang et al., 2012). Howarth (1975) dan Majak et
al. (1995) menyatakan bahwa konsentrasi klorofil yang berasal dari leguminosa dalam rumen
berkaitan erat dengan bloat primer. Pencernaan klorofil mengakibatkan kerusakan membran
kloroplas dan melepaskan protein terlarut yang dinamakan faktor I dan II dan diyakini sebagai
faktor utama terbentuknya busa dalam rumen. Leguminosa sendiri dapat dibagi menjadi 2 yaitu
leguminosa penyebab bloat dan leguminosa yang tidak mengakibatkan bloat. Menurut Austin
(1981) ada beberapa hipotesis mengapa jenis leguminosa ada yang dapat mengakibatkan dan tidak
mengakibatkan kejadian bloat. Hipotesis tersebut melibatkan berbagai macam kombinasi faktor
seperti tanaman, hewan dan mikroba yang akhirnya semua memiliki peran terhadap kejadian
tersebut
3. Pathogenesis
Jika terjadi mekanisme eruktasi tidak berjalan dengan baik, sehingga gas yang diproduksi
dalam proses fermentasi tidak dapat keluar dari rumen. Karena gas diproduksi sangat banyak pada
kondisi feedlot ataupun bloat akibat konsumsi leguminosa, mekanisme eruktasi terhambat akibat
isi rumen yang bersifat frothy atau berbuih (foamy). Gas yang terbentuk terperangkap dalam cairan
rumen, dalam bentuk emulsi dengan ukuran diameter buih atau gelembung sekitar 1 mm. Isi rumen
yang berbentuk demikian akan menumpuk, mengisi rongga rumen dan menghambat ujung-ujung
syaraf yang mengendalikan membukanya esophagus. Kondisi ini dikenal sebagai frothy bloat.
Hewan masih dapat mentolerir kondisi menumpuknya buih gas yang tidak terlalu banyak tanpa
terjadi bloat, atau hewan dapat mengeluarkan gas dari kondisi menumpuknya gas sehingga tidak
terjadi bloat. Bila kondisi frothy bloat sangat berat, tekanan rumen akan menghambat kontraksi
rumen. Kondisi yang demikian dikenal sebagai atoni rumen. Adanya buih-buih atau gas dapat
diketahui dengan memasang stomach tube ke dalam rumen. Bila dalam isi rumen berbuih, stomach
tube akan terisi buih dan gas tidak dapat keluar. Bila isi rumen berupa gas, maka gas akan mudah
keluar melalui stomach tube dan dengan segera rumen tidak mengalami distensi.
4. Gejala Klinis
Volume gas dalam jumlah yang besar akan dihasilkan terus menerus melalui proses
fermentasi mikroba rumen. Secara normal gas yang terbentuk tersebut dibuang melalui mekanisme
sendawa atau eruktasi. Menurut Bani-Ismail et al. (2007) pada tahap awal kejadian bloat, fossa
paralumbar sebelah kiri menunjukkan distensi ringan dan bagian abdomen mengalami kembung.
Saat proses kembung berlangsung dan terjadi peningkatan tekanan intraabdominal maka distensi
di fosa paralumbar kiri menjadi lebih jelas dan ada kemungkinan terjadi penonjolan rektum. Pada
kondisi bloat, baik bentuk primer maupun sekunder distensi dari rumen tersebut akan
mengakibatkan tekanan pada diafragma rongga dada maupun abdomen sehingga ternak akan sulit
bernafas (Colvin dan Backus,1998; Ramaswamy dan Shar ma, 2011). Keadaan tersebut akan
membuat frekuensi pernafasan meningkat dan menjadi dangkal serta memaksa hewan bernafas
melalui mulut. Gejala klinis lain yang muncul adalah penurunan atau hilangnya nafsu makan dan
jika tidak tertangani dengan depat akan mengakibatkan kematian.
5. Diagnosis
Cara mendiagnosis bloat dengan cara dengan mengetahui gejala klinis dahulu dan disertai
dengan riwayat saat berada dipadang rumput. Dan juga dengan memasukkan stomach tube pada
hewan tersebut.

Gambar 2. Frick speculum, digunakan untuk membantu memasukkan stomach tube melalui mulut.
Speculum ini mencegah hewan menggigit stomach tube

6. Treatment & Prognosis


Ada berbagai metode telah digunakan untuk terapi bloat seperti penggunaan senyawa oral
atau stomach tube yang pada prinsipnya digunakan untuk menghilangkan akumulasi gas yang
terjadi. Prinsip pengobatan bloat pada ruminansia diawali dengan upaya menghentikan proses
pembentukan gas dan membantu mengeliminasi gas tersebut. Jika upaya tersebut kurang berhasil
maka dapat dipergunakan trokar dan kanul yang digunakan untuk menusuk rumen da lam usaha
mengeluarkan gas. Pengobatan harus dilakukan secepat mungkin terutama pada kasus bloat akut
dan penggunaan trokar atau kanul merupakan upaya terakhir karena dapat mencegah asfiksia atau
perdarahan internal serta kematian ternak. Apabila keadaan ternak sudah parah maka upaya
pengeluaran gas dengan cara menusuk perut ternak sebelah kiri dengan trocoar dan cannula.
Peternak juga biasanya memberikan soda agar ternak bersendawa.
7. Pencegahan
Pencegahan dengan menggunakan NaCl sejumlah 40 g/kg yang ditambahkan ke dalam diet
juga dapat mencegah kejadian bloat karena NaCl mampu meningkatkan asupan air dan
meningkatkan laju cairan saat melintasi saluran pencernaan. Ada beberapa cara :

• Tidak membiarkan ternak dalam kondisi terlalu lapar


• Memberikan tempat bagi ternak untuk leluasa melakukan gerakan seperti berjalan-jalan,
Sebelum diberikan hijauan segar diberikan terlebih dahulu jerami kering atau rumput
kering
• Menghindari pemberian hijauan terutama legum maksimal 50%.
• Apabila ternak di gembalakan usahakan setelah tidak ada embun

GRAIN OVERLOAD
1. Definisi
Grain overload merupakan salah satu penyakit akut atau masalah nutrisi yang paling umum
pada hewan pemamah biak yang terjadi di peternakan sapi perah dan tempat penggemukan. Grain
overload adalah suatu kondisi patologis yang berhubungan dengan akumulasi asam atau
menipisnya cadangan basa dalam darah dan jaringan tubuh ternak, dan ditandai dengan konsentrasi
ion hidrogen yang meningkat. Penyakit ini paling umum terjadi pada sapi yang secara tidak sengaja
mendapatkan akses ke karbohidrat yang mudah dicerna dalam jumlah besar, terutama biji-bijian.
Kelebihan biji-bijian juga umum terjadi pada sapi tempat pemberian pakan ketika mereka
diperkenalkan dengan diet biji-bijian yang berat terlalu cepat. Asidosis Rumen Disebut juga grain
overload, rumen engorgement, lactic acidosis, acid indigestion atau toxic indigestion. Umumnya
terjadi akibat pemberian sumber karbohidrat rendah serat (konsentrat) dalam jumlah besar.
Penyakit bisa bersifat klinis namun sebagian besar bersifat subklinis.
2. Etiologi
Grain overload biasanya akibat dari mengkonsumsi biji-bijian atau pelet dalam jumlah
besaR. Sapi yang diberi makan padang rumput atau sapi penggemukan belum beradaptasi dengan
biji-bijian mungkin menjadi sakit parah atau mati setelah makan hanya secukupnya jumlah biji-
bijian, sedangkan stok biasa diet tinggi kandungan biji-bijian mungkin memakan banyak jumlah
biji-bijian dengan sedikit atau tanpa pengaruh. Cairan rumen, diperoleh selama hilangnya motilitas
perut hutan pada domba yang mengalami laktikasidosis rumen, reseptor epitel retikulo-rumen
teraktivasi bila diaplikasikan pada bidang reseptif ini.
3. Pathogenesis
Patogenesis mendasar dari asidosis rumen sangatlah mudah. Diagnosis post-mortem dari
rumenitis akut bisa sulit dan paling baik dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopis dari epitel
ruminal. Mycotic ruminitis menunjukkan bercak yang agak spektakuler dari epitel yang
menggelap pada pemeriksaan post-mortem. Menelan sejumlah besar karbohidrat (biji-bijian) yang
sangat dapat difermentasi oleh hewan yang tidak beradaptasi dengan pola makan seperti itu
menghasilkan produksi cepat asam dalam jumlah besar dalam rumen.
4. Gejala Klinis

• Abses hati: Molekul seperti asam lemak yang mudah menguap yang diproduksi di rumen
diserap melintasi epitel ke dalam vena rumen, kemudian ke vena portal hepatik dan melalui
sinusoid hati. Ketika epitel rumen rusak, seperti halnya asidosis rumen, bakteri rumen
sering bocor ke seluruh epitel, berjalan ke hati dan membentuk abses. Fusobacterium
necrophorum adalah bakteri yang paling umum menyebabkan lesi tersebut.
• Peradangan pada dinding kuku (laminitis) dan deformasi dinding kuku telah dikaitkan
dengan asidosis rumen, tetapi sulit untuk dibuktikan dalam hal sebab dan akibat.
• Kerusakan pada epitel rumen yang berhubungan dengan asidosis rumen sering diikuti oleh
kolonisasi oleh jamur, mengakibatkan rumenitis mikotik.

5. Diagnosis
Diagnosis biasanya jelas jika riwayatnya tersedia dan beberapa hewan terpengaruh.
Diagnosis dapat dipastikan dengan temuan klinis, pH rumen yang rendah (<5,5 pada sapi yang
tidak terbiasa dengan diet biji-bijian tinggi), dan pemeriksaan mikroflora rumen untuk mengetahui
adanya protozoa hidup. Jika hanya satu hewan yang terkena dan tidak ada riwayat pembengkakan,
diagnosisnya kurang jelas, tetapi tanda klinisnya — rumen statis dengan suara cairan berdeguk,
diare, ataksia, dan suhu normal — merupakan karakteristik. Analisis cairan rumen pada hewan ini
diperlukan untuk memastikan diagnosis grain overload.
6. Treatment dan Prognosis
Hewan yang ditemukan memakan biji-bijian mungkin tidak terlihat gejala selama 12-24
jam. Hewan-hewan itu telah menerima dosis toksik biji-bijian biasanya menunjukkan tanda-tanda
depresi dan akan berhenti makan. Jika hewan yang tidak diadaptasi telah mengkonsumsi tidak
diketahui jumlah biji-bijian, hewan harus segera dikeluarkan dari bulirnya dan diberi makan yang
baik jerami berkualitas. Beberapa produsen mengklaim bahwa mengizinkan hewan yang terkena
dampak untuk minum meningkatkan laju perkembangan asidosis. Namun, lebih mungkin bahwa
hewan pada tahap awal keracunan biji-bijian dirangsang untuk minum, dan mulai terlihat tanda
segera setelah minum. Jika kemungkinan keracunan dianggap tinggi, penyembelihan darurat,
dapat dimanfaatkan untuk hewan yang telah tertelan berukuran besar jumlah karbohidrat dan
sekarang prognosis yang sangat buruk untuk medis atau perawatan bedah.
7. Pencegahan
Akses yang tidak disengaja ke konsentrat yang nafsu makannya telah berkembang oleh
sapi, dalam jumlah yang tidak biasa bagi mereka, harus dihindari. Sapi di tempat pemberian pakan
harus diperkenalkan secara bertahap untuk memusatkan ransum selama 2–3 minggu, dimulai
dengan campuran konsentrat ≤50% dalam pakan giling yang mengandung serat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdisa, T. 2018. Study on the Prevalence of Bovine Frothy Bloat in and Around Kebele
Lencha, Tokke Kutaye District, Oromia Region. Appro Poult Dairy & Vet Sci, 2(3),1-10.
2. Abdullah, F.F.J., Adamu, L., Saad, M.Z., Osman, A.Y., Haron, A.W., Awang, D.N., and
Roslim. N. 2014. Concurrent Bloat and Rectal Prolapse in A Cow. International Journal
of Livestock Research, 4 (1), 115-160.
3. Acharya, S. N., Kastelic, J. P., Beauchemin, K. A., and Messenger, D. F. 2006. A review
of research progress on cicer milkvetch (Astragalus cicer L.). Can. J. Plant Sci, 86(1),
49–62.
4. Aiello, S.E., and Moses, M.A. 2016. The Merck veterinary manual. Merck.
5. Majak, W., McAllister, T.A., McCartney, D., Stanford, K., Cheng, K-J., 2003. Bloat in
cattle. Kaulbars, C. (Eds.) Alberta Agric. Food and Rural Development, Edmonton, AB,
Canada, pp. 22–26.
6. Walker, B. 2006. Grain poisoning of cattle and sheep. PRIMEFACT 330. ISSN 1832-
6668.
7. Tufani, NA., Makhdoomi, DM., Hafiz, A. 2013. Rumen Acidosis in Small Ruminants and
Its Therapeutic Management. Iranian Journal of Applied Animal Science. Vol. 3(1): 19-
24.
8. Niddhi Arora, N.A. Tufani and Tarun Kumar. Grain Overload in a Buffalo and its
Therapeutic management. 2011.
9. Bost, J. 1970. Omasal physiology. In: Physiology of digestion and metabolism in the
ruminant, Phillipson, A. T. ed., Newcastle-upon-Tyne, Oriel Press. 52-65.
10. Braun, U., and Jacquat, D. 2011. Ultrasonography of the omasum in 30 Saanen goats.
BMC veterinary research, 7(1), 1-8.

Anda mungkin juga menyukai