Anda di halaman 1dari 14

BAB 16

ASPEK KEPERILAKUAN PADA ETIKA AKUNTAN

Sub judul materi yang akan dipelajari:

 Kasus korporasi
 Dilemma etika
 Impikasi bagi riset mendatang
 Model pengambilan keputusan etis
 Riset perilaku etis akuntan
 Studi keputusan etis
 Studi pengembangan etis

awal presentasi:

tujuan dari pembelajaran bab ini dalah menelaah pegembangan riset mengenai perilaku etis
akuntandan menyelidiki area potensial riset di masa mendatang. Telaah ini memperluas riset
kepreilakuan yang melibatkan etika akuntan, tetapi tidak dimaksudkan untuk sepenuhnya
inklusif.

1. KASUS KORPORASI
Beberapa kasus manipulasi keuangan yang merugikan pengguna laporan keuangan telah
melibatkan sejumlah akuntan public. Akuntan yang seharunya independent dalam
menjalankan tugasnya, ternyata sebagian besar melepaskan diri dari kode etik yang
mengikat profesionalismenya. Salah satu kasus pelanggaran kode etik yang paling
fenomenal dan paling banyak menyita perhatian adalah kasus Enron. Kasus ini muncul pada
tahun 2000-2001 ketika perusahaan itu membohongi public dengan laporan keuangan palsu.
Dalam kasus tersebut, diketahui manipulasi laporan yang terjadi mencatat keuntungan
sekitar $600 juta.
Banyaknya kasus-kasus yang terjadi itu seharusnya dapat dihindari apabila akuntan dalam
melakukan pekerjaannya secara profesional. Dengan sikap profesional dan memahami
atura etika, seorang akuntan akan mampu menghadapi berbagai tekanan yang dapat muncul
dari dirinya sendiri maupun pihak luar. Kemampuan seorang profesional untuk dapat
mengerti dan peka terhadap persoalan etika juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan di
mana ia berada.

2. DILEMA ETIKA
Seorang akuntan dalam menjalankan tugasnya harus menjunjung tinggi etikanya. Dalam hal
etika, profesi harus memiliki komitmen moral yang tinggi yang dituangkan dalam bentuk
aturan khusus. Dalam setiap profesional wajib menaati etika profesinya terkait dengan
pelayanan yang diberikan apabila menyangkut kepentingan masyarakat luas.
Sering kali dalam pelaksanaan aktivitas auditing, seorang auditor berada dalam konflik
audit. Konflik dalam audit berkembang pada saat auditor mengungkapkan informasi yang
oleh klien tidak ingin dipublikasikan kepada umum.
Konflik ini akan menjadi dilema etikan ketika auditor diharuskan membuat keputusan yang
menyangkut independensi dan integritasnya dengan imbalan ekonomis yang mungkin
dijanjikan di sisi lainnya.
Dilema etika muncul sebagai konsekuensi konflik audit karena auditor berada dalam situasi
pengambilan keputusan antara yang etis dan tidak etis.

3. ETIKA AKUNTAN
Etik sebagai prinsip moral dan perbuatan yag menjadi landasan bertindaknya seseorang
sehingga apa yang dilakukan dipandang oleh masyarakat sebagai perbuatan yang terpuji dan
meningkatkan martabat dan kehormatan seseorang. Akuntan sebagai suatu profesi memiliki
kode etik profesi yang dinamakan Kode Etik Akuntan Indonesia.
Kode etik akuntan Indonesia memuat delapan prinsip etika, yaitu:
 Tanggung Jawab Profesi
Dalam melaksanakan tanggung jawab profesional, setiap anggota harus senantiasa
menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang
dilakukannya.
 Kepentingan Publik
Profesi akuntan memgang peran penting di masyarakat, di mana public dari profesi
akuntan yang terdiri dari klien, pemberi kredit, pemerintah, pegawai investor, dan
lain-lain bergantung pada objetivitas dan integritas akuntan dalam memelihara
berjalannya fungsi bisnis dengan tertib. Ketergantungan ini yang menyebabkan
sikap dan perilaku akuntan dalam menyediakan jasanya mempengaruhi
kesejahteraan ekonomi dan menimbulkan tanggung jawab terhadap kepentingan
publik.
 Integritas
Adalah suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan professional.
Integritas mengharuskan para anggota untuk bersikap jujur dan berterus terang tanpa
harus mengorbankan rahasia penerima jasa. Integritas dapat menerima kesalahan
tidak disengaja dan perbedaan pemdapat yang jujur, tapi tidak menerima kecurangan
atau peniadaan prinsip.
 Objektivitas
Adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang diberikan anggota.
Prinsip objektivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak, jujur
secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan
kepentingan atau dibawah pengaruh pihak lain.
 Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional
Setiap anggota harus melaksanakan jasa professional dengan hati-hati, kompetensi
dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan
dan keterampilan profesional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa
klien memperoleh manfaat dari jasa professional dan teknik yang paling mutakhir.
 Kerahasiaan
Setiap anggota harus meghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama
melakukan jasa professional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan
informasi tersebut tanpa persetujuan.
 Perilaku Profesional
Kewajiban untuk memenuhi tingkah laku yang dapat mendiskreditkan profesi harus
dipenuhi oleh anggota sebagai perwujudan tanggung jawabnya kepada penerima
jasa, pihak ketiga, anggota yang lain, staf, pemberi pekerjaan, dan masyarakat
umum.
 Standar Teknis
standar teknis dan standar profesional yang harus ditaati anggota adalah standar
yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia, Internasional Federation of
Accountants, badan pengatur dan pengaturan perundang-undangan yang relevan.

4. KODE ETIK AKUNTAN


Akuntan profesional memperhatikan dan mematuhi ketentuan kode etik. Jika akuntan
profesional dilarang oleh hukum atau peraturan untuk mematuhi bagian tertentu dari kode
etik, akuntan profesional tetap mematuhi bagian lain dari kode etik ini.
Kode etik ini terdiri atas tiga bagian. Bagian A menetapkan prinsip dasar etika profesional
bagi akuntan profesional dan memberikan kerangka konseptual yang akan diterapkan
akuntan profesional dalam:
 Mengidentifikasi ancaman terhadap kepatuhan pada prinsip dasar etika
 Mengevaluasi signifikansi ancaman tersebut
 Menerapkan perlindungan yang tepat untuk menghilangkan atau mengurangi
ancaman tersebut sampai ke tingkat yang dapat diterima.
Bagian B dan bagian C menjelaskan penerapan kerangka konseptual pada situasi tertentu.
Bagian tersebut memberi contoh perlindungan yang mungkin tepat untuk mengatasi
ancaman terhadap kepatuhan pada prinsip dasar etika. Bagian tersebut juga menjelaskan
situasi ketika tidak tersedia perlindungan untuk mengatasi ancaman dan sebagai akibatnya,
keadaan atau hubungan yang menimbulkan ancaman tersebut untuk dihindari. Bagian B
berlaku bagi akuntan profesional di praktik publik dan bagian C berlaku bagi akuntan
profesional di bisnis. Bagian C mungkin juga relevan bagi akuntan profesional dalam
praktik publik untuk keadaan tertentu yang mereka hadapi.
1. Prinsip Dasar
Akuntan profesional mematuhi prinsip dasar etika berikut ini:
 Integritas
 Objektivitas
 Kompetensi dan kehati-hatian profesional
 Perilaku professional
2. Pendekatan Kerangka Konseptual
Pendekatan kerangka konseptual membantu akuntan profesional mematuhi ketentuan
etika dalam kode etik ini dan memenuhi tanggung jawabnya untuk bertindak bagi
kepentingan publik. pendekatan ini mengakomodasi beragam situasi dan keadaan yang
dapat menimbulkan ancaman terhadap kepatuhan pada prinsip dasar etika dan
mencegah akuntan profesional untuk berkesimpulan bahwa situasi tersebut
diperbolehkan ketika tidak ada larangan secara spesifik.
3. Ancaman dan Perlindungan
Ancaman dapat dikategorikan menjadi :
 Ancaman kepentingan pribadi (self-interest threat), yaitu ancaman yang terkait
dengan kepentingan keuangan atau kepentingan lain yang mempengaruhi
pertimbangan atau perilaku akuntan profesional secara tidak layak.
 Ancaman telaah pribadi (self review threat), yaitu ancaman yang terjadi akibat
dari akuntan profesional tidak dapat sepenuhnya melakukan evaluasi atas
pertimbangan yang dilakukan atau jasa yang diberikan oleh akuntan profesional
lain pada kantor akuntan atau organisasi tempatnya bekerja.
 Ancaman advokasi (advocacy threat), yaitu ancaman yang terjadi ketika akuntan
profesional akan mempromosikan posisi klien atau organisasi tempatnya bekerja
sampai pada titik yang dapat mengurangi objektivitasnya.
 Ancaman kedekatan (familiarity threat), yaitu ancaman yang terjadi ketika
akuntan profesional terlalu bersimpati pada kepentingan klien atau organisasi
tempatnya bekerja atau terlalu mudah menerima hasil pekerjaan mereka, karena
hubungan yang dekat dan telah berlangsung lama.

Perlindungan adalah tindakan atau upaya lain yang dapat menghilangkan atau
mengurangi ancaman sampai ke tingkat yang dapat diterima. Perlindungan dibagi
dalam dua kategori yaitu:

 Perlindungan yang diciptakan oleh profesi perundang-undangan atau peraturan


 Perlindungan dalam lingkungan kerja
4. Benturan Kepentingan
Benturan kepentingan menciptakan ancaman terhadap objektivitas dan mungkin
menciptakan ancaman terhadap prinsip dasar etika lainnya. Ancaman ini dapat timbul
ketika:
a. Akuntan profesional melakukan kegiatan profesional yang terkait dengan
permasalahan tertentu untuk Dua pihak atau lebih yang memiliki kepentingan
yang saling berbenturan terkait dengan permasalahan tersebut
b. Kepentingan akuntan profesional terkait dengan permasalahan tertentu
berbenturan dengan kepentingan pihak lain yang menggunakan jasa akuntan
profesional.
5. Penyelesaian Konflik Etika
Ketika akuntan profesional memulai proses penyelesaian benturan terkait kepatuhan
pada prinsip dasar etika, secara formal maupun informal, maka faktor berikut ini
mungkin relevan sebagai satu faktor yang berdiri sendiri maupun bersama dengan
faktor lain untuk digunakan dalam proses penyelesaian benturan:
 Fakta yang relevan
 Isu etika yang terkait
 Prinsip dasar etika yang terkait dengan hal yang dipermasalahkan
 Prosedur internal yang berlaku
 Alternatif Tindakan.
6. Komunikasi dengan Penanggung Jawab Tata Kelola
Ketika berkomunikasi dengan penanggung jawab tata kelola sesuai dengan ketentuan
kode etik ini maka akuntan profesional atau kantor akuntan menentukan orang yang
tepat untuk berkomunikasi di dalam struktur tata kelola organisasi. Jika akuntan
profesional atau kantor akuntan berkomunikasi dengan bagian tertentu dari penanggung
jawab tata kelola, misalnya komite audit atau perseorangan, maka akuntan profesional
atau kantor akuntan menentukan perlu tidaknya berkomunikasi dengan seluruh
penanggung jawab tata kelola agar mereka mendapatkan informasi yang cukup.

5. PERAN PENALARAN MODAL

Akuntan yang dihadapkan dengan konflik etika harus memutuskan secara khusus
kesinambungan dari keseimbangan titik temu antara biaya dan manfaat pada dirinya, orang
lain, dan masyarakat secara keseluruhan. Ketika keputusan profesional didasarkan pada
keyakinan dan nilai individual, maka moral reasoning memainkan peranan penting dalam
keputusan akhir seseorang. 
Terdapat sejumlah studi akademis terbaru yang didedikasikan untuk moral reasoning dan
pengembangan akuntansi profesional publik. Arnold dan ponemon menekankan pentingnya
paradigma riset ini karena alasan-alasan berikut:
1. Riset tingkat moral reasoning akuntan dapat memberikan pemahaman tambahan
mengenai resolusi konflik etika yang dihadapi oleh akuntan.
2.  Riset dalam jam area ini memfasilitasi pengakuan masalah yang ditimbulkan oleh
perbedaan keputusan etika akuntan. 
kohlberg menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran
moral dan berkembang secara bertahap.

6. MODEL PENGAMBILAN KEPUTUSAN ETIS


1. Teori penalaran moral dari Kohlberg
Kohlberg Mendefinisikan penalaran moral sebagai penilaian terhadap nilai, penilaian
sosial, dan juga penilaian terhadap kewajiban yang mengikat individu Dalam
melakukan suatu tindakan. menurutnya penalaran moral adalah suatu pemikiran tentang
masalah moral. pemikiran itu merupakan prinsip yang dipakai dalam menilai dan
melakukan suatu tindakan dalam situasi moral. Penalaran moral dipandang sebagai
suatu struktur bukan isi. jika penalaran moral dilihat sebagai Sisi, maka sesuatu
dikatakan baik atau buruk akan sangat tergantung pada lingkungan sosial budaya
tertentu sehingga sifatnya akan sangat relatif. Akan tetapi, jika penalaran moral dilihat
sebagai struktur, maka baik dan buruk terkait Filosofis moralitas, sehingga pernah
universal.
Studi akuntansi yang dicurahkan pada perilaku etis akuntan adalah psikologi penalaran
moral (moral reasoning). Etika atau moral reasoning berbeda dengan proses mental
lainnya dalam 3 aspek, yaitu:
1. Kognisi yang didasarkan pada nilai dan bukan pada fakta yang tampak
2. Keputusan didasarkan pada beberapa isu yang melibatkan diri sendiri dan orang
lain
3. Keputusan yang dibangun di seputar isu “keharusan”, dan bukan pada peringkat
preferensi atau kesukaan sederhana. 
Rest mengakui bahwa model rangkaian tahap dari Kohlberg adalah bagian yang
integral dari model kognitif komprehensif pengambilan keputusan etis. Misalnya, Rest
menyatakan bahwa penalaran etis (ethical reasoning) hanya merupakan bagian dari
kapasitas individu secara keseluruhan untuk membangun kerangka dan
memecahkankan masalah etis. Ia selanjutnya empat komponen dalam menentukan
perilaku moral, yaitu:
1. Sensitifitas moral (Pengenalan implikasi moral dari sebuah situasi)
2. Keputusan moral (keputusan mengenai apakah sebuah aksi benar secara moral)
3. Motivasi moral (menempatkan nilai moral di atas nilai lainnya)
4. Karakter moral (mempunyai keyakinan untuk mengisi mengimplementasikan
moral)

2. Ukuran Moral Reasoning

Rest mengembangkan pengujian definisi masalah (definition of issues test-DIT), yang


berupa kuesioner pilihan ganda yang dikerjakan sendiri guna memberikan ukuran
objektif Eropa dalam memahami distribusi kemampuan etis. DIT menampilkan subjek
dengan 6 skenario hipotesis, masing-masing berhubungan dengan Dilema etika
(misalnya mencuri informasi dari pihak yang berwenang, kebebasan berbicara,
membantu tindakan bunuh diri, diskriminasi rasial dan kebebasan untuk pengajuan
protes).
Dalam konteks domain spesifik (misalnya, akuntansi), pengendalian DIT sebagai
ukuran kapasitas etis menjadi semakin diperdebatkan. Sementara perilaku etis
ditemukan berhubungan dengan tingkat moral reasoning yang lebih tinggi (seperti
diukur oleh DIT), studi perbandingan telah menunjukkan bahwa tingkat moral
reasoning akuntansi profesional secara konsisten berada jauh dibawah temuan untuk
non-akuntan. 

3. Pendekatan Kognitif Lingkungan terhadap Pengambilan Keputusan Etis


Ketika banyak riset yang berhubungan dengan perilaku etis individual menggunakan
DIT untuk mengukur tingkat moral reasoning individual (misalnya, urutan peringkat
dari alternatif moral), telah berkembanb pendekatan tambahan yang membahas
komponen lain dari model Rest. Misalnya, mereka menyebutkan Skala Etis
Multidimensional (SEM) sebagai ukuran kesadaran moral.
Reidenach mengembangkan SEM untuk fokus pada dinamika pengambilan keputusan
yang melibatkan perialku etis yang belum diselidiki. 8 Skala Likert yang bipolar dibagi
kedalam 3 dimensi, yaitu:
1. Keadilan moral
2. Relativisme
3. Kontraktualisme
Teori tentang aksi penalaran sangat berhubungan dengan niat sebelumnya dari
komitmen perilaku, yang pada gilirannya diprediksi dari sikap pribadi individu terhadap
perilaku dan norma subjektif. Teori penalaran aksi telah memberikan landasan bagi
banyak studi akuntansi, termasuk usaha untuk mengidentifikasi penyebab perilaku
agresif auditor dalam hubungannya dengan klien dan kepatuhan pembayar pajak.

4. Model Alternatif Pengambilan Keputusan Etis


Terdapat model pengambilan keputusan etis yang dikembangkan secara spesifik untuk
profesi akuntansi. Misalnya, untuk lebih memahami situasi di mana auditor dianggap
melanggar Kode Etik dan Perilaku Profesional AICPA, Lampe dan Finn membuat
model dari proses keputusan etis auditor sebagai proses dengan lima elemen, yaitu:
1. Pemahaman keuntungan
2. Pengendalian dampak
3. Keputusan lain
4. Penilaian lain
5. Pengambilan keputusan final
Dalam mengomentari keadaan riset saat ini dalam paradigma etika akuntansi,
Machintos yang mengadopsi perspektif filosofi sosial, menyatakan bahwa riset saat ini
menekankan suatu perspektif yang hanya mengukur penerimaan sosial, dan bukan
menggunakan perspektif yang sesungguhnya.

7. RISET PERILAKU ETIS AKUNTAN


1. Studi Pendidikan Etika
 M. Armstrong (1987)
Ia menyimpulkan bahwa para CPA yang menjadi responden kelihatannya
mencapai tingkat kematangan moral orang dewasa pada umumnya, ha ini
merupakan kebalikan dari tingat kematangan lulusan kampus. Dengan kata lain
Pendidikan kampus tidak mendorong kelanjutan dari pertumbuhan moral.
 Ponemon dan Glazer (1990) serta Jeffrey (1993)
Hasil dari perluasan penyelidikan ke dalam tingkat moral reasoning akuntan,
menunjukkan 3 temuan utama, yaitu:
o Skor DIT dari senior dan alumnidari masing-masing sekolah rata-rata lebih
tinggi daripada mahasiswa baru dari masing-masing sekolah.
o Variasi skor DIT dalam strata alumni secara signifikan lebih rendah
vdaripada variasi dalam peringkat mahasiswa untuk kedua lembaga.
o Siswa dan alumni dari sekolah yang menawarkan kurikulum semi liberal
sedikit lebih maju dalam pemahaman mengenai ukuran DIT daripada siswa
dan alumni dengan program akuntansi yang lebih tradisional.
Sehingga ini sejalan dengan penemuan M. Armstrong hanya mahasiswa senior dan
alumni dari kampus semi liberal menunjukkan skor DIT yang serupa dengan
kampus lainnya.
Namun hasil yang berlawanan ditemukan oleh Jeffrey. Temuannya menunjukkan
bahwa perkembangan etika mahasiswa akuntansi adalah lebih tinggi daripada
perkembangan etika mahasiswa dalam divisi yang lebih rendah, dengan mahasiswa
akuntansi senior menampilkan tingkat tertinggi.
 Pierre, Nelson dan Gabbin (1990)
Temuannya menunjukkan bahwa mahasiswa dalam 3 jurusan nonbisnis
mempunyai skor DIT yang tinggi dibandingkan dengan jurusan bisnis. Selain itu,
mahasiswi akuntansi mempunyai skor yang lebih tinggi daripada mahasiswa
akuntansi. Paparan terhadap pendidikan etika tidak menunjukkan dampak yang
signifikan. Terkahir, tingkat moral resoning dari mahasiswa akuntansi yang
diperoleh dari studi sekarang serupa dengan yang ditemukan oleh M. Armstrong.
 Ponemon (1993)
Ia mengkaji pengaruh intervansi etika terhadap perkembangan perilaku etis
mahasiswa akuntansi. Hasilnya menunjukkan bahwa intervensi etika tidak
menyebabkan tingkat ethical reasoning dari mahasiswa akuntansi meningkat dan
tidak membatasi perilaku free riding siswa pada eksperimen pilihan ekonomi. Lalu,
ditemukan bahwa mahasiswa dengan tingkat pra dan pascakonvensional dalam
ethical reasoning paling mungkin untuk melakukan free riding.
 M. Armstrong (1993)
Ia menampilkan hasil pra dan pascapengujian dari pengembangan moral untuk
siswa yang mengikuti mata kuliah etika dan profesionalisme pada universitas yang
didukung oleh negara bagian Amerika Serikat. Hasinya menunjukkan bahwa siswa
yang mengikuti mata kuliah etika dan profesionalisme mengalami kenaikan skor
DIT lebih tinggi pada semester tersebut dibandingkan dengan mereka yang ada
dalam kelompok control.
 Lampe (1994)
Ia menyampaikan hasil studi akuntansi longitudinal tingkat mahasiswa sehubungan
dengan moral reasoning di Southwestern University, AS. Mahasiswa akuntansi
mengisi 3 formulir yang terpisah, yaitu:
o Respon sikap terhadap perilaku etika sesama mahasiswa akuntansi
o Keputusan dan alasan terhadap 4 dilema etika dalam Vignette
o DIT, total respon yang dapat digunakan 472 buah.
Hasilnya menunjukkan bahwa ukuran keputusan moral mahasiswa, pengukuran
dalam situasi dilema etika, keputusan dan sikap terhadap perilaku etika tetap tidak
berubah. Ia juga mnenyampaikan bahwa mahasiswa tetap berorientasi terhadap
aturan yang diimplikasikan oleh kode etika untuk mata kuliah tersebut.

2. Studi Pengembangan Etika


 Ponemon (1990)
Ia menyelidiki ethical reasoning dan penilaian praktis akuntansi dalam
perusahaan publik. Hasilnya menunjukkan bahwa skor subjek tidak berbeda
secara signifikan antara kedua dilema. Investigasi selanjutnya atas respon verbal
terhadap dilema auditing menunjukkan bahwa subjek pada tingkat posisi yang
berbeda dalam perusahaan menggunakan isu yang berbeda dari frekuensi
berbeda dalam revolusi kasus mereka. Tipe isu yang digunakan adalah konsisten
dengan temuan bahwa penyelia menunjukkan tingkat moral reasoning tertinggi.
 Ponemon (1992a)
Ia menyelidiki pengaruh dari sosialisasi kantor akuntan public terhadap tingkat
ethical reasoning masing-masing CPA. Studi dari sosialisasi perusahaan
sebelumnya meunjukkan bahwa manajemen lebih bisa mendorong individu
yang mempunyai pandangan organisasi umum yang sama. Studi dalam profesi
akuntansi telah menunjukkan bahwa individu yang tetap berada dalam
profesinya mengasimilasikan budaya perusahaan. Konsisten dengan hasil
temuan sebelumnya hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa skor DIT auditor
meningkat pada tingkat penyelia, tetapi menurun tajam pada tingkat manajer
dan partner.
 Shaub (1994)
Ia menyelidiki perbedaan antara sampel yang terdiri atas 207 auditor dan sampel
yang terdiri atas 91 mahasiswa akuntansi senior dengan 6 variabel demografis.
Hasilnya menunjukkan bahwa usia dan pendidikan tidak secara signifikan
berhubungan dengan tingkat moral reasoning kedua sampel. tingkat moral
reasoning yang lebih tinggi ditemukan untuk perempuan, individu dengan nilai
rata-rata yang lebih tinggi, dan individual yang mengambil mata kuliah etika.
 Sweeney (1995)
Ia menyelidiki asosiasi antara faktor-faktor demografis dan organisatoris dengan
tingkat moral reasoning dari auditor. Sama dengan hasil yang disampaikan oleh
Ponemon, studi tersebut menunjukkan bahwa skor DIT menurun seiring dengan
peningkatan tingkat posisi pada perusahaan sampel.
 Jeffrey dan Weatherholt (1996)
Mereka menyelidiki perbedaan pengembangan etika, komitmen professional
dan sikap terhadap aturan antara akuntan pada kantor akuntan publik yang
termasuk kategori big 6 dan akuntan pada perusahaan yang termasukdalam
Fortune 500.hasilnya ditemukan bahwa tidak terpadat perbedaan dalam tingkat
pengembangan etika di keduanya.
 Kite, Louwer dan Randtke (1996)
Mereka mengkaji perbedaan dalam tingkat moral reasoning antara auditor
lingkungan, auditor internal lain, dan akuntan publik. Hasil dari studi ini tidak
mendukung bahwa auditor lingkungan mempunyai skor DIT yang rata-rata
lebih tinggi daripada akuntan praktik.

3. Studi Keputusan Etis (pada bagian ini menelaah studi representatif yang mengkaji)
Isu Independensi
 Ponemon dan Gabhart (1990)
Mereka mengkaji hubungan antara penilaian independensi auditor dengan
tingkat moral reasoning. Hasilnya menunjukkan bahwa auditor dengan skor
DIT rendah lebih mungkin untuk melanggar aturan independensi dan lebih
sensitive terhadap faktor pinalti.
 Windsor dan Ashkanasy (1995)
Mereka mengkaji bagaimana hubungan antara budaya organisasi,
pengembangan moral reasoning dan kepercayaan dalam sunia memengaruhi
independensi auditor serta gaya pengambilan keputusan. Hasilnya menunjukkan
bahwa budaya organisasi hubungan dengan pengembangan moral reasoning
dan kepercayaan pribadi, tetapi tidak ada perbedaan di antara ketiga gaya
pengambilan keputusan.
 Schatzberg, Sevcik dan Saphiro (1996)
Mereka menguji validitas dari 3 kondisi ekonomi umum yang dianggap penting
terhadap ketusakan independensi. Kondisi tersebut antara lain:
o Perhatian klien terhadap isu pelaporan
o Quasi rent harus sesuai dengan auditor yang ada untuk periode
selanjutnya
o Jika kedua kondisi pertama ada, biaya manfaat ekonomi gabungan
dalam situasi multi periode seharusnya juga menghasilkan manfaat
ekonomi neto bagi auditor dari kerusakan independensi.
Konsisten dengan prediksi tersebut, ketika beberapa kondisi yang dibutuhkan
tidak ada, frekuensi kerusakan independensi yang lebih rendah dapat diamati
dari pada ketika ketiga kondisi tersebut ada. Namun, ada beberapa subjek yang
menunjukkan kerusakan independensi ketika satu dua atau tiga kondisi yang
dibutuhkan tidak ada, sementara lainnya mempertahankan independensi mereka
bahkan ketika ketiga kondisi yang dibutuhkan muncul. Hal ini menunjukkan
bahwa masing masing kondisi tidak dianggap sebagai benar benar yang
dibutuhkan dan bahwa eksistensi Bersama dari ketiga kondisi tersebut tidak
dapat diinter prestasikan secara ketat untuk memprediksi terjadinya kerusakan
independensi.
 Shaub dan Lawrence (1996)
Mereka meyelidiki Latihan sketisme professional auditor sebagai sebuah alat
untuk menekan perilaku klien yang mementingkan dirinya sendiri. Hasilnya
menunjukkan bahwa auditor yang menguasai situasi etis tidak terlalu skepstis
dan tidak terlalu memperhatikan isu etis professional.
Pelanggaran Lain Kode Etik dan Perilaku Profesional AICPA
 Lampe dan Finn (1992)
Mereka membuat model atas proses keputusan etis auditor dengan
mengebangkan model 5 elemen untuk dibandingkan dengan model berbasis
Kode Etik dan Perilaku Profesional AICPA. Hasilnya menunjukkan bahwa
model 5 elemen lebih baik dalam mencerminkan keputusan keputusan yang
dibuat dan lebih baik dalam mengenali alasan terhadap keputusan tersebut
dibandingkan dengan model inplikasi-kode.
 Shaub, Finn dan Munter (1993)
Mereka mengkaji orientasi etika, komitmen dan sensitivitas etika auditor yang
bekerja di kantor akuntan 6 besar. Hasilnya menunjukkan bahwa sensitivitas
etika auditr, sebagai mana hal nya dengan komitmen professional mereka,
dipengaruhi oleh orientasi etis mereka. Auditor yang realistis tidak terlalu
berkomitmen terhadap perusahaan dan kurang dapat mengenali masalah etis
dalam scenario auditing dibandingkan dengan kaum non relativisme.
 Dreike dan Moeckel (1995)
Mereka menganalisis keputusan auditor senior berkaitan dengan situasi dengan
kemungkinan dimensi etika. Hasilnya menunjukkan bahwa auditor cenderung
mendefinisikan isu etis secara sempit dalam pengertian Kode Etik dan Perilaku
Profesional AICPA.
Mendeteksi dan Menggambarkan kecurangan
 Arnold dan Ponemon (1991)
Mereka mengkaji persepsi auditor internal terhadap whistle-blowing dalam
konteks tingkat moral reasoning mereka. Hasilnya menunjukkan bahwa auditor
internal dengan skor DIT yang rendah kemungkinan tidak menyampaikan
pengaduan ketika terdappat kemungkinan Tindakan balas dendam seperti
pemberintian.
 Finn dan Lampe (1992)
Mereka berusaha membuat model dari keputusan whistle-blowing auditor.
Sebagai tambahan terhadap variable intensitas moral, variable situasi-kontinjen
dan individual juga dimasukkan kedalam model. Hasilnya menunjukkan bahwa
keputusan etis auditor dan keputusan whistle-blowing mereka berhubungan
secara signifikan.
 Ponemon (1993b)
Ia memerluan riset sebelumnya tentang tingkat moral reasoning auditor dengan
menyelidiki pentingnya ethical reasoning sebagai determinan penilaian auditor
terhadap karakteristik etis dari manajemen klien. Hasilnya menunjukkan bahwa
ethical reasoning auditor dipengaruhi oleh penilaian risiko audit dan prediksi
mereka berkaitan dengan pendeteksian kesalahan akuntansi yang material.
 Hook, Kaplan dan Schultz (1994)
Mereka menyelidiki satu kemungkinan kesempatan untuk mengurangi penipuan
dalam pengambilan keputusan. Didasarkan pada riset sebelumnya tentang
fenomena whistle-blowing, tim ini juga mengindentifikasi area perbaikan yang
berbeda dalam system komunikasi.
 Bernardi (1994)
Ia meneliti hubungan antara ethical reasoning dengan kemampuan auditor untuk
mendeteksi penipuan informasi dalam laporan keuangan. Hasilnya
menunjukkan bahwa pengalaman, ethical reasoning, dan konfigurasi
pengalaman memengaruhi kemampuan auditor untuk mendeteksi dan membuat
kerangka akuntansi yang dipertanyakan.
4. Ketidak Patuhan Pembayar Pajak
 Ghosh dan Crain (1996)
Mereka mengidentifikasi faktor-faktor individual dan situasional yang
mempengaruhi ketidakpatuhan terhadap pajak. Hasilnya menunjukkan bahwa
faktor-faktor individual dan situasional secara psikologis merupakan aspek
yang menonjol dari keputusan dalam ketidakpatuhan pajak.
 Hanno dan Violette (1996)
Mereka menyelidiki pengaruh sosial dan moral yang mendasari pembayaran
pajak daam usaha mengembangkan model integratif perilaku kepatuhan pajak.
Hasilnya menunjukkan bahwa niat untuk patuh berhubungan dengan laporan
diri dan perilaku kepatuhan hipotesis. Keyakinan yang berhubungan dengan
hasil perilaku dan persepsi normatif sangat berhubungan dengan niat untuk
patuh.
Perilaku Disfungsional Lain
 Ponemon (1992b)
Ia menyelidiki interaksi antara tingkat moral reasoning auditor dengan
pelaporan dalam waktu singkat yang digunakan dalam penugasan audit.
Hasilnya menunjukkan bahwa waktu pelaporan paling rendah pada kelompok
kontrol dan paling tinggi pada kelompok rekan-sekutu. Auditor dengan skor
DIT yang lebih rendah secara rata-rata membutuhkan waktu pelaporan yang
lebih singkat daripada mereka yang memiliki skor DIT yang lebih tinggi.
 Ponemon (1995)
Ia mengkaji objektivitas akuntan ketika berfungsi sebagai spesialis litigasi dan
saksi ahli dalam kasus hukum. Hasilnya menunjukkan bahwa estimasi atas
nilai kerusakan yang lebih tinggi diperoleh dari individu yang mewakili
penggugat daripada yang mewakili tergugat dalam perkara hukum.
5. Studi Etis Lintas Budaya
 Ponemon dan Gabhart (1993) Etherington dan Schulting (1995)
Ponemon dan Gabhart: meneliti profesi auditing dari dua kantor akuntan besar
dengan praktik di AS dan Kanada menggunakan DIT dan instrumen
eksperimental lainnya. Hasilnya menunjukkan bahwa dengan jelas bermacam
perbedaan antara profesi akuntansi di Kanada dan AS dalam hal skor rata-rata
DIT. Auditor Kanada pada semua tingkatan profesi memiliki skor DIT lebih
tinggi dibandingkan dengan auditor AS.
Etherington dan Schulting: memperluas garis riset ini ke pengembangan etika
akuntan manajemen bersertifikat di Kanada. Hasilnya menunjukkan bahwa
CMA perempuan mempunyai tingkat pengembangan etika yang lebih tinggi,
sementara perusahaan atau tingkat Pendidikan tidak memiliki hubungan yang
signifikan dengan ethical reasoning.
 Schultz, johnson, Morris dan Dyrnes (1993)
Mereka meneliti kecenderungan manager perusahaan dan professional untuk
meaporkan tindakan yang dapat dipertanyakan daam konteks internasional dan
domestik. Ditemukan hubungan negatif antara kemungkinan pelaporan dan
biaya pribadi terhadap pelaporan, serta hubungan positif antara pelaporan
dengan keseriusan dan tanggung jawab terhadap pelaporan. Hasil ini
menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan multinasional dengan divisi yang
terletak dinegara-negara berbeda mungkin perlu mengimplementasikan system
pengendaalian yang berbeda dengan tingkat realibilitas yang serupa.
 Cohen, Pant dan Sharp (1995a)
Mereka menyajikan pengujian emtiris pada pernyataan Cohen bahwa kantor
akuntan publik multinasional seharusnya secara hati-hati memperhatikan
dampak keragaman budaya internasional terhadap sensitivitas karyawan dan
pengambilan keputusan. Hasilnya menunjukkan bahwa subjek AS pada
umumnya melihat Tindakan yang dijelaskan dalam vignette sebagai Tindakan
yang lebih etis dibandingkan dengan subjek Jepang atau AS.
 Cohen, Pant dan Sharp (1995b)
Mereka menyelidiki perbedaan pengambilan keputusan etika auditor dari negara
negara yang berbada. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan antarnegara untuk kemungkinan pertama dan kedua, yaitu bahwa
mereka atau kolega nya akan melakukan Tindakan tersebut, dengan perbedaan
yang paling signifikan antara Amerika Latin dengan AS.
8. IMPLIKASI BAGI RISET MENDATANG
Satu masalah menonjol yang masih dihadapi oleh peneliti akuntansi dalam menyelidiki
dimensi etika profesi akuntansi berhubungan dengan keputusan apakah terus memperluas
dan menyatukan teori konflik dan ukuran dalam kerangka kerja pengambilan keputusan
etika 4 komponen dari Rest. Dengan cara yang sama, Ponemon dan Gabhart dalam bidang
etika untuk auditor dan akuntan mengakui bahwa keputusan akuntan telah menjadi subjek
dari berbagai kelompok konstituen termasuk organisasi klien yang membayar pelayan
mereka, akuntan itu sendiri dan public umum.
Riset mendata harus melanjutkan pengajuan pada 2 dimensi:
1. Melanjutkan integrasi model dan ukuran kognitif yang berbeda dalam model Rest.
2. Mengebangkan model pengambilan keputusan etis kognitif yang khusus untuk profesi
akuntansi.
Ringkasnya, banyak riset telah diselesaikan guna menjawab pertanyaan etika yang
dihadapi oleh akuntan. Identifikasi yang kontinu dan eksplorasi terhadap masalah etika
yang unik dalam profesi akuntansi dapat memberikan pedoman bukan hanya untuk
mengembangkan model bidang yang spesifik, melainkan juga pemahaman tentang
pengambilan keputusan etis pada umumnya.

Anda mungkin juga menyukai