Kasus korporasi
Dilemma etika
Impikasi bagi riset mendatang
Model pengambilan keputusan etis
Riset perilaku etis akuntan
Studi keputusan etis
Studi pengembangan etis
awal presentasi:
tujuan dari pembelajaran bab ini dalah menelaah pegembangan riset mengenai perilaku etis
akuntandan menyelidiki area potensial riset di masa mendatang. Telaah ini memperluas riset
kepreilakuan yang melibatkan etika akuntan, tetapi tidak dimaksudkan untuk sepenuhnya
inklusif.
1. KASUS KORPORASI
Beberapa kasus manipulasi keuangan yang merugikan pengguna laporan keuangan telah
melibatkan sejumlah akuntan public. Akuntan yang seharunya independent dalam
menjalankan tugasnya, ternyata sebagian besar melepaskan diri dari kode etik yang
mengikat profesionalismenya. Salah satu kasus pelanggaran kode etik yang paling
fenomenal dan paling banyak menyita perhatian adalah kasus Enron. Kasus ini muncul pada
tahun 2000-2001 ketika perusahaan itu membohongi public dengan laporan keuangan palsu.
Dalam kasus tersebut, diketahui manipulasi laporan yang terjadi mencatat keuntungan
sekitar $600 juta.
Banyaknya kasus-kasus yang terjadi itu seharusnya dapat dihindari apabila akuntan dalam
melakukan pekerjaannya secara profesional. Dengan sikap profesional dan memahami
atura etika, seorang akuntan akan mampu menghadapi berbagai tekanan yang dapat muncul
dari dirinya sendiri maupun pihak luar. Kemampuan seorang profesional untuk dapat
mengerti dan peka terhadap persoalan etika juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan di
mana ia berada.
2. DILEMA ETIKA
Seorang akuntan dalam menjalankan tugasnya harus menjunjung tinggi etikanya. Dalam hal
etika, profesi harus memiliki komitmen moral yang tinggi yang dituangkan dalam bentuk
aturan khusus. Dalam setiap profesional wajib menaati etika profesinya terkait dengan
pelayanan yang diberikan apabila menyangkut kepentingan masyarakat luas.
Sering kali dalam pelaksanaan aktivitas auditing, seorang auditor berada dalam konflik
audit. Konflik dalam audit berkembang pada saat auditor mengungkapkan informasi yang
oleh klien tidak ingin dipublikasikan kepada umum.
Konflik ini akan menjadi dilema etikan ketika auditor diharuskan membuat keputusan yang
menyangkut independensi dan integritasnya dengan imbalan ekonomis yang mungkin
dijanjikan di sisi lainnya.
Dilema etika muncul sebagai konsekuensi konflik audit karena auditor berada dalam situasi
pengambilan keputusan antara yang etis dan tidak etis.
3. ETIKA AKUNTAN
Etik sebagai prinsip moral dan perbuatan yag menjadi landasan bertindaknya seseorang
sehingga apa yang dilakukan dipandang oleh masyarakat sebagai perbuatan yang terpuji dan
meningkatkan martabat dan kehormatan seseorang. Akuntan sebagai suatu profesi memiliki
kode etik profesi yang dinamakan Kode Etik Akuntan Indonesia.
Kode etik akuntan Indonesia memuat delapan prinsip etika, yaitu:
Tanggung Jawab Profesi
Dalam melaksanakan tanggung jawab profesional, setiap anggota harus senantiasa
menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang
dilakukannya.
Kepentingan Publik
Profesi akuntan memgang peran penting di masyarakat, di mana public dari profesi
akuntan yang terdiri dari klien, pemberi kredit, pemerintah, pegawai investor, dan
lain-lain bergantung pada objetivitas dan integritas akuntan dalam memelihara
berjalannya fungsi bisnis dengan tertib. Ketergantungan ini yang menyebabkan
sikap dan perilaku akuntan dalam menyediakan jasanya mempengaruhi
kesejahteraan ekonomi dan menimbulkan tanggung jawab terhadap kepentingan
publik.
Integritas
Adalah suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan professional.
Integritas mengharuskan para anggota untuk bersikap jujur dan berterus terang tanpa
harus mengorbankan rahasia penerima jasa. Integritas dapat menerima kesalahan
tidak disengaja dan perbedaan pemdapat yang jujur, tapi tidak menerima kecurangan
atau peniadaan prinsip.
Objektivitas
Adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang diberikan anggota.
Prinsip objektivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak, jujur
secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan
kepentingan atau dibawah pengaruh pihak lain.
Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional
Setiap anggota harus melaksanakan jasa professional dengan hati-hati, kompetensi
dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan
dan keterampilan profesional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa
klien memperoleh manfaat dari jasa professional dan teknik yang paling mutakhir.
Kerahasiaan
Setiap anggota harus meghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama
melakukan jasa professional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan
informasi tersebut tanpa persetujuan.
Perilaku Profesional
Kewajiban untuk memenuhi tingkah laku yang dapat mendiskreditkan profesi harus
dipenuhi oleh anggota sebagai perwujudan tanggung jawabnya kepada penerima
jasa, pihak ketiga, anggota yang lain, staf, pemberi pekerjaan, dan masyarakat
umum.
Standar Teknis
standar teknis dan standar profesional yang harus ditaati anggota adalah standar
yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia, Internasional Federation of
Accountants, badan pengatur dan pengaturan perundang-undangan yang relevan.
Perlindungan adalah tindakan atau upaya lain yang dapat menghilangkan atau
mengurangi ancaman sampai ke tingkat yang dapat diterima. Perlindungan dibagi
dalam dua kategori yaitu:
Akuntan yang dihadapkan dengan konflik etika harus memutuskan secara khusus
kesinambungan dari keseimbangan titik temu antara biaya dan manfaat pada dirinya, orang
lain, dan masyarakat secara keseluruhan. Ketika keputusan profesional didasarkan pada
keyakinan dan nilai individual, maka moral reasoning memainkan peranan penting dalam
keputusan akhir seseorang.
Terdapat sejumlah studi akademis terbaru yang didedikasikan untuk moral reasoning dan
pengembangan akuntansi profesional publik. Arnold dan ponemon menekankan pentingnya
paradigma riset ini karena alasan-alasan berikut:
1. Riset tingkat moral reasoning akuntan dapat memberikan pemahaman tambahan
mengenai resolusi konflik etika yang dihadapi oleh akuntan.
2. Riset dalam jam area ini memfasilitasi pengakuan masalah yang ditimbulkan oleh
perbedaan keputusan etika akuntan.
kohlberg menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran
moral dan berkembang secara bertahap.
3. Studi Keputusan Etis (pada bagian ini menelaah studi representatif yang mengkaji)
Isu Independensi
Ponemon dan Gabhart (1990)
Mereka mengkaji hubungan antara penilaian independensi auditor dengan
tingkat moral reasoning. Hasilnya menunjukkan bahwa auditor dengan skor
DIT rendah lebih mungkin untuk melanggar aturan independensi dan lebih
sensitive terhadap faktor pinalti.
Windsor dan Ashkanasy (1995)
Mereka mengkaji bagaimana hubungan antara budaya organisasi,
pengembangan moral reasoning dan kepercayaan dalam sunia memengaruhi
independensi auditor serta gaya pengambilan keputusan. Hasilnya menunjukkan
bahwa budaya organisasi hubungan dengan pengembangan moral reasoning
dan kepercayaan pribadi, tetapi tidak ada perbedaan di antara ketiga gaya
pengambilan keputusan.
Schatzberg, Sevcik dan Saphiro (1996)
Mereka menguji validitas dari 3 kondisi ekonomi umum yang dianggap penting
terhadap ketusakan independensi. Kondisi tersebut antara lain:
o Perhatian klien terhadap isu pelaporan
o Quasi rent harus sesuai dengan auditor yang ada untuk periode
selanjutnya
o Jika kedua kondisi pertama ada, biaya manfaat ekonomi gabungan
dalam situasi multi periode seharusnya juga menghasilkan manfaat
ekonomi neto bagi auditor dari kerusakan independensi.
Konsisten dengan prediksi tersebut, ketika beberapa kondisi yang dibutuhkan
tidak ada, frekuensi kerusakan independensi yang lebih rendah dapat diamati
dari pada ketika ketiga kondisi tersebut ada. Namun, ada beberapa subjek yang
menunjukkan kerusakan independensi ketika satu dua atau tiga kondisi yang
dibutuhkan tidak ada, sementara lainnya mempertahankan independensi mereka
bahkan ketika ketiga kondisi yang dibutuhkan muncul. Hal ini menunjukkan
bahwa masing masing kondisi tidak dianggap sebagai benar benar yang
dibutuhkan dan bahwa eksistensi Bersama dari ketiga kondisi tersebut tidak
dapat diinter prestasikan secara ketat untuk memprediksi terjadinya kerusakan
independensi.
Shaub dan Lawrence (1996)
Mereka meyelidiki Latihan sketisme professional auditor sebagai sebuah alat
untuk menekan perilaku klien yang mementingkan dirinya sendiri. Hasilnya
menunjukkan bahwa auditor yang menguasai situasi etis tidak terlalu skepstis
dan tidak terlalu memperhatikan isu etis professional.
Pelanggaran Lain Kode Etik dan Perilaku Profesional AICPA
Lampe dan Finn (1992)
Mereka membuat model atas proses keputusan etis auditor dengan
mengebangkan model 5 elemen untuk dibandingkan dengan model berbasis
Kode Etik dan Perilaku Profesional AICPA. Hasilnya menunjukkan bahwa
model 5 elemen lebih baik dalam mencerminkan keputusan keputusan yang
dibuat dan lebih baik dalam mengenali alasan terhadap keputusan tersebut
dibandingkan dengan model inplikasi-kode.
Shaub, Finn dan Munter (1993)
Mereka mengkaji orientasi etika, komitmen dan sensitivitas etika auditor yang
bekerja di kantor akuntan 6 besar. Hasilnya menunjukkan bahwa sensitivitas
etika auditr, sebagai mana hal nya dengan komitmen professional mereka,
dipengaruhi oleh orientasi etis mereka. Auditor yang realistis tidak terlalu
berkomitmen terhadap perusahaan dan kurang dapat mengenali masalah etis
dalam scenario auditing dibandingkan dengan kaum non relativisme.
Dreike dan Moeckel (1995)
Mereka menganalisis keputusan auditor senior berkaitan dengan situasi dengan
kemungkinan dimensi etika. Hasilnya menunjukkan bahwa auditor cenderung
mendefinisikan isu etis secara sempit dalam pengertian Kode Etik dan Perilaku
Profesional AICPA.
Mendeteksi dan Menggambarkan kecurangan
Arnold dan Ponemon (1991)
Mereka mengkaji persepsi auditor internal terhadap whistle-blowing dalam
konteks tingkat moral reasoning mereka. Hasilnya menunjukkan bahwa auditor
internal dengan skor DIT yang rendah kemungkinan tidak menyampaikan
pengaduan ketika terdappat kemungkinan Tindakan balas dendam seperti
pemberintian.
Finn dan Lampe (1992)
Mereka berusaha membuat model dari keputusan whistle-blowing auditor.
Sebagai tambahan terhadap variable intensitas moral, variable situasi-kontinjen
dan individual juga dimasukkan kedalam model. Hasilnya menunjukkan bahwa
keputusan etis auditor dan keputusan whistle-blowing mereka berhubungan
secara signifikan.
Ponemon (1993b)
Ia memerluan riset sebelumnya tentang tingkat moral reasoning auditor dengan
menyelidiki pentingnya ethical reasoning sebagai determinan penilaian auditor
terhadap karakteristik etis dari manajemen klien. Hasilnya menunjukkan bahwa
ethical reasoning auditor dipengaruhi oleh penilaian risiko audit dan prediksi
mereka berkaitan dengan pendeteksian kesalahan akuntansi yang material.
Hook, Kaplan dan Schultz (1994)
Mereka menyelidiki satu kemungkinan kesempatan untuk mengurangi penipuan
dalam pengambilan keputusan. Didasarkan pada riset sebelumnya tentang
fenomena whistle-blowing, tim ini juga mengindentifikasi area perbaikan yang
berbeda dalam system komunikasi.
Bernardi (1994)
Ia meneliti hubungan antara ethical reasoning dengan kemampuan auditor untuk
mendeteksi penipuan informasi dalam laporan keuangan. Hasilnya
menunjukkan bahwa pengalaman, ethical reasoning, dan konfigurasi
pengalaman memengaruhi kemampuan auditor untuk mendeteksi dan membuat
kerangka akuntansi yang dipertanyakan.
4. Ketidak Patuhan Pembayar Pajak
Ghosh dan Crain (1996)
Mereka mengidentifikasi faktor-faktor individual dan situasional yang
mempengaruhi ketidakpatuhan terhadap pajak. Hasilnya menunjukkan bahwa
faktor-faktor individual dan situasional secara psikologis merupakan aspek
yang menonjol dari keputusan dalam ketidakpatuhan pajak.
Hanno dan Violette (1996)
Mereka menyelidiki pengaruh sosial dan moral yang mendasari pembayaran
pajak daam usaha mengembangkan model integratif perilaku kepatuhan pajak.
Hasilnya menunjukkan bahwa niat untuk patuh berhubungan dengan laporan
diri dan perilaku kepatuhan hipotesis. Keyakinan yang berhubungan dengan
hasil perilaku dan persepsi normatif sangat berhubungan dengan niat untuk
patuh.
Perilaku Disfungsional Lain
Ponemon (1992b)
Ia menyelidiki interaksi antara tingkat moral reasoning auditor dengan
pelaporan dalam waktu singkat yang digunakan dalam penugasan audit.
Hasilnya menunjukkan bahwa waktu pelaporan paling rendah pada kelompok
kontrol dan paling tinggi pada kelompok rekan-sekutu. Auditor dengan skor
DIT yang lebih rendah secara rata-rata membutuhkan waktu pelaporan yang
lebih singkat daripada mereka yang memiliki skor DIT yang lebih tinggi.
Ponemon (1995)
Ia mengkaji objektivitas akuntan ketika berfungsi sebagai spesialis litigasi dan
saksi ahli dalam kasus hukum. Hasilnya menunjukkan bahwa estimasi atas
nilai kerusakan yang lebih tinggi diperoleh dari individu yang mewakili
penggugat daripada yang mewakili tergugat dalam perkara hukum.
5. Studi Etis Lintas Budaya
Ponemon dan Gabhart (1993) Etherington dan Schulting (1995)
Ponemon dan Gabhart: meneliti profesi auditing dari dua kantor akuntan besar
dengan praktik di AS dan Kanada menggunakan DIT dan instrumen
eksperimental lainnya. Hasilnya menunjukkan bahwa dengan jelas bermacam
perbedaan antara profesi akuntansi di Kanada dan AS dalam hal skor rata-rata
DIT. Auditor Kanada pada semua tingkatan profesi memiliki skor DIT lebih
tinggi dibandingkan dengan auditor AS.
Etherington dan Schulting: memperluas garis riset ini ke pengembangan etika
akuntan manajemen bersertifikat di Kanada. Hasilnya menunjukkan bahwa
CMA perempuan mempunyai tingkat pengembangan etika yang lebih tinggi,
sementara perusahaan atau tingkat Pendidikan tidak memiliki hubungan yang
signifikan dengan ethical reasoning.
Schultz, johnson, Morris dan Dyrnes (1993)
Mereka meneliti kecenderungan manager perusahaan dan professional untuk
meaporkan tindakan yang dapat dipertanyakan daam konteks internasional dan
domestik. Ditemukan hubungan negatif antara kemungkinan pelaporan dan
biaya pribadi terhadap pelaporan, serta hubungan positif antara pelaporan
dengan keseriusan dan tanggung jawab terhadap pelaporan. Hasil ini
menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan multinasional dengan divisi yang
terletak dinegara-negara berbeda mungkin perlu mengimplementasikan system
pengendaalian yang berbeda dengan tingkat realibilitas yang serupa.
Cohen, Pant dan Sharp (1995a)
Mereka menyajikan pengujian emtiris pada pernyataan Cohen bahwa kantor
akuntan publik multinasional seharusnya secara hati-hati memperhatikan
dampak keragaman budaya internasional terhadap sensitivitas karyawan dan
pengambilan keputusan. Hasilnya menunjukkan bahwa subjek AS pada
umumnya melihat Tindakan yang dijelaskan dalam vignette sebagai Tindakan
yang lebih etis dibandingkan dengan subjek Jepang atau AS.
Cohen, Pant dan Sharp (1995b)
Mereka menyelidiki perbedaan pengambilan keputusan etika auditor dari negara
negara yang berbada. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang
signifikan antarnegara untuk kemungkinan pertama dan kedua, yaitu bahwa
mereka atau kolega nya akan melakukan Tindakan tersebut, dengan perbedaan
yang paling signifikan antara Amerika Latin dengan AS.
8. IMPLIKASI BAGI RISET MENDATANG
Satu masalah menonjol yang masih dihadapi oleh peneliti akuntansi dalam menyelidiki
dimensi etika profesi akuntansi berhubungan dengan keputusan apakah terus memperluas
dan menyatukan teori konflik dan ukuran dalam kerangka kerja pengambilan keputusan
etika 4 komponen dari Rest. Dengan cara yang sama, Ponemon dan Gabhart dalam bidang
etika untuk auditor dan akuntan mengakui bahwa keputusan akuntan telah menjadi subjek
dari berbagai kelompok konstituen termasuk organisasi klien yang membayar pelayan
mereka, akuntan itu sendiri dan public umum.
Riset mendata harus melanjutkan pengajuan pada 2 dimensi:
1. Melanjutkan integrasi model dan ukuran kognitif yang berbeda dalam model Rest.
2. Mengebangkan model pengambilan keputusan etis kognitif yang khusus untuk profesi
akuntansi.
Ringkasnya, banyak riset telah diselesaikan guna menjawab pertanyaan etika yang
dihadapi oleh akuntan. Identifikasi yang kontinu dan eksplorasi terhadap masalah etika
yang unik dalam profesi akuntansi dapat memberikan pedoman bukan hanya untuk
mengembangkan model bidang yang spesifik, melainkan juga pemahaman tentang
pengambilan keputusan etis pada umumnya.