Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Fokus pembahasan dalam penelitian ini adalah konflik batas kawasan

konservasi Taman Nasional (TN) Gunung Merbabu. Aktor-aktor yang terlibat

dalam konflik ini antara lain masyarakat yang berada di dua dusun yaitu

dusun Gesikan dan dusun Tumut, desa Jrakah, Kecamatan Selo, Boyolali

dengan pihak pengelola kawasan, Balai Taman Nasional Gunung Merbabu.

Konflik ini dipicu oleh adanya isu pemindahan posisi pal batas kawasan TN

Gunung Merbabu sehingga menyebabkan lahan seluas ± 49,05 ha (yang

sebagian telah dikelola masyarakat sebagai lahan pertanian) menjadi lahan

sengketa.

Sebelum menjadi kawasan konservasi, kawasan hutan Gunung

Merbabu dikelola oleh Perum Perhutani sebagai hutan produksi terbatas dan

hutan lindung. Dalam pengelolaan kawasan, Perum Perhutani melibatkan

masyarakat untuk ikut dalam kegiatan pelestarian kawasan hutan. Ketika

pengelolaan kawasan TN Gunung Merbabu beralih menjadi kawasan

konservasi dan dikelola oleh kementerian Kehutanan, terjadi konflik mengenai

batas kawasan.

Perbedaan persepsi mengenai batas kawasan TN Gunung Merbabu

antara pihak pengelola dan masyarakat desa Jrakah menyebabkan konflik ini

terus terjadi. Masyarakat, disatu sisi, mengklaim bahwa lahan tersebut adalah

miliknya. Di sisi lain, pihak pengelola kawasan TN Gunung Merbabu

1
menganggap bahwa lahan tersebut adalah lahan negara dan masuk dalam

kawasan konservasi TN Gunung Merbabu. Sampai saat ini lahan tersebut

masih dikelola oleh masyarakat sebagai lahan pertanian.

Sosialisasi batas kawasan secara resmi dengan melibatkan pihak-pihak

terkait pada tahun 2012 adalah salah satu bentuk upaya penyelesaian konflik

yang telah dilakukan oleh pihak pengelola TN Gunung Merbabu. Dalam

sosialisasi tersebut, masyarakat dusun Gesikan dan Tumut yang diwakili oleh

kepala dusunnya tetap menolak hasil sosialisasi batas kawasan TN Gunung

Merbabu.

Konflik mengenai batas kawasan konservasi memang sering terjadi di

seluruh kawasan taman nasional di Indonesia. Hutan Indonesia dengan luas

sekitar 17,6 juta Ha – 24,4 juta ha telah menjadi arena konflik berupa

tumpang tindih klaim hutan negara dan klaim masyarakat adat atau

masyarakat lokal lainnya, pengembangan desa/kampung, serta adanya izin

sektor lain yang dalam praktek berada dalam kawasan hutan (Working Group

on Forest Land-Tenure, 2012;7). Data mengenai konflik di kawasan

konservasi, khususnya taman nasional cukup banyak. Sebagai gambaran,

pada periode 1997 hingga 2003 telah terjadi sekitar 359 kasus. Presentasi

frekuensi konflik batas kawasan yaitu sekitar 39%. Kemudian diikuti oleh

perambahan sekitar 26% dan pencurian kayu sekitar 23%. Hal ini disebabkan

oleh bentuk pengelolaan taman nasional yang begitu ketat dan kompleks

dibandingkan bentuk pengelolaan kawasan hutan yang lain seperti HTI dan

HPH (Wulan et.al., 2004; 9).

2
Kajian mengenai konflik yang disebabkan oleh perbedaan persepsi dan

kebutuhan, terutama di sektor kehutanan masih cukup terbatas. Kajian-kajian

yang telah ada hanya berfokus pada kajian sejarah dan dinamika konflik serta

bentuk-bentuk upaya penyelesaiannya. Penelitian ini mencoba

menggambarkan persepsi dan kebutuhan pihak-pihak yang terlibat konflik.

Pemahaman terhadap perbedaan persepsi mengenai kepentingan (termasuk

faktor kebutuhan) bertujuan untuk dapat meramalkan apa yang akan

dilakukan oleh seseorang (Pruit & Rubin, 2000;27). Dengan kata lain,

pemahaman terhadap perbedaan persepsi dan kebutuhan bermanfaat

mengetahui kecenderungan pihak-pihak yang terlibat konflik untuk bertindak

mempertahankan kepentingan masing-masing.

Penelitian ini juga memberikan alternatif upaya penyelesaian konflik

batas kawasan TN Gunung Merbabu. Dari hasil analisis persepsi dan

kebutuhan setiap pihak, alternatif solusi penyelesaian dalam penelitian ini

lebih diarahkan kepada pencarian solusi integratif yang mampu

mengakomodir kepentingan kedua belah pihak. Solusi integratif adalah upaya

penyelesaian yang mampu mengakomodir kepentingan pihak yang terlibat

konflik. Solusi integratif dalam konflik batas kawasan TN Gunung Merbabu

dipilih karena dua pertimbangan, yaitu pertama, konflik ini belum mencapai

tahap konflik terbuka sehingga masih membuka ruang untuk negosiasi dan

membuat kesepakatan bersama. Dan kedua, pengelolaan kawasan konservasi

TN Gunung Merbabu membutuhkan partisipasi aktif dari masyarakat yang

3
berada di sekitar kawasan agar fungsi pengelolaan kawasan konservasi

berjalan optimal.

1.2. Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang di atas, maka pertanyaan yang berusaha

dijawab dalam penelitian adalah:

1. Bagaimana persepsi mengenai perbedaan kepentingan dan kebutuhan pihak

pengelola TN Gunung Merbabu dan masyarakat dalam konflik batas

kawasan TN Gunung Merbabu?

2. Bagaimana upaya penyelesaian konflik batas kawasan di TN Gunung

Merbabu yang telah dilakukan dan alternatif solusi penyelesaiannya?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Memberikan gambaran dan menganalisis persepsi dan kebutuhan kedua

belah pihak yang terlibat dalam konflik batas kawasan TN Gunung

Merbabu.

2. Menganalisis upaya penyelesaian konflik yang telah dilakukan oleh pihak

pengelola TN Gunung Merbabu dan memberikan alternatif upaya

penyelesaian konflik batas kawasan TN Gunung Merbabu.

4
1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah

keilmuan dalam bidang manajemen konflik di sektor kehutanan.

2. Secara praktis diharapkan dapat menjadi bahan referensi bagi pihak

pembuat kebijakan maupun pihak pengelola kawasan konservasi untuk

menyelesaikan konflik batas kawasan taman nasional terutama bagi

pengelola TN Gunung Merbabu.

1.5. Reviu Literatur

Penelitian yang membahas tentang konflik di lokasi penelitian sejauh ini

belum penulis temukan. Penelitian di daerah TN Gunung Merbabu lebih

cenderung berkaitan dengan potensi kawasan. Penelitian yang telah dilakukan

di kawasan TN Gunung Merbabu diantaranya Seleksi Habitat Rekrekan

(Syarifah, 2013), pemanfaatan sumber mata air TN Gunung Merbabu oleh

masyarakat (Ahmadi, 2012), peran serta masyarakat dalam pengelolaan TN

Gunung Merbabu (Sadono, 2012), Studi Kepariwisataan pada Obyek Wisata

Umbul Songo (Catur, 2012), dan beberapa penelitian lainnya.

Penelitian lain di kawasan TN Gunung Merbabu yang secara tidak

langsung berkaitan dengan penelitian ini adalah penelitian dari Forda (2009)

yang selanjutnya disampaikan kembali dalam bentuk artikel jurnal oleh

Gunawan et al., (2013) yang berjudul “Kajian Sosial Ekonomi Masyarakat

Sekitar Sebagai Dasar Penentuan Tipe Penyangga Taman Nasional Gunung

5
Merbabu”. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui keadaan sosial

ekonomi masyarakat di seluruh wilayah sekitar TN Gunung Merbabu yang

selanjutnya dipakai sebagai dasar penentuan tipe daerah penyangga. Dari

penelitian ini dihasilkan rumusan beberapa tipe zona penyangga TN Gunung

Merbabu berdasar kondisi sosial ekonomi masyarakat di daerah penyangga.

Penelitian oleh Forda (2009) tersebut tidak membahas tentang konflik

namun hanya memaparkan tentang keadaan sosial ekonomi masyarakat di

daerah penyangga TN Gunung Merbabu. Penelitian ini belum menjawab

terjadinya konflik yang terjadi di desa Jrakah, kecamatan Selo, Kabupaten

Boyolali. Namun penelitian Forda (2009) ini justru dapat dijadikan rujukan

dan pembanding tentang keadaan sosial ekonomi di daerah penelitian untuk

melengkapi data dalam penelitian ini.

Penelitian tentang konflik di sekitar kawasan konservasi adalah

penelitian Gozhali (2005) yang berjudul “Dimensi kekerasan dalam

pembangunan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM)”. Penelitian ini

bertujuan untuk melakukan studi kasus intrinsik dan instrumental atas rencana

pembangunan TNGM. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dimensi

kekerasan yang terjadi dalam pembangunan TNGM lebih mengarah kepada

kekerasan struktural, secara psikologis dan simbolis, kekerasan represif, serta

kekerasan alienatif. Sedangkan dampak yang dirasakan masyarakat meliputi

aspek sosial budaya, ekonomi, politik-hukum, baik yang telah maupun yang

akan dirasakan oleh masyarakat Merapi. Penelitian ini hanya meninjau

konflik dan kekerasan secara umum dan tidak melakukan suatu analisis

6
terhadap suatu kejadian konflik yang sedang terjadi secara mendalam.

Disamping itu penelitian ini juga dilakukan pada lokasi yang berbeda yaitu di

kawasan TN Gunung Merapi. Meskipun demikian hasil penelitian ini dapat

dijadikan rujukan terhadap penelitian yang akan dilakukan ini mengingat

proses pembangunan TN Gunung Merbabu beriringan dengan TN Gunung

Merapi. Data dan gambaran situasi konflik saat wacana pembangunan TN

Gunung Merapi dan TN Gunung Merbabu dapat membantu analisis penulis

dalam penelitian ini.

Penelitian mengenai konflik batas kawasan konservasi taman nasional

di Indonesia diantaranya penelitian oleh Kadir et.al. (2013) dari tim Balai

Penelitian Kehutanan Makassar yang berjudul “Konflik Pada Kawasan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Provinsi Sulawesi Selatan dan

Upaya Penyelesaiannya”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-

faktor yang mempengaruhi terjadinya konflik batas TN Bantimurung

Bulusaraung (TN Babul). Penelitian yang dilakukan pada tahun 2013 ini

menyatakan bahwa perubahan fungsi dan status kawasan hutan menjadi TN

Babul di Kabupaten Maros berdampak pada aktivitas masyarakat di sekitar

kawasan TN Babul dan menjadi pemicu konflik antara masyarakat sekitar dan

pemerintah setempat. Para pihak perlu dilibatkan dalam upaya penyelesaian

dengan mewujudkan kesepakatan bersama. Penelitian ini tidak secara khusus

membahas terjadinya konflik dalam konteks persepsi dan kebutuhan. Namun

penelitian ini dapat menjadi rujukan bagi penulis untuk menyusun upaya

penyelesaian dalam penelitian ini.

7
1.6. Kerangka Konseptual

1.6.1. Taman Nasional: Kebijakan dan Pengelolaan

Penetapan kawasan konservasi oleh pemerintah mengacu pada beberapa

kriteria. Kriteria kawasan konservasi pada setiap negara berbeda-beda.

Perbedaan tersebut terletak pada tujuan penetapan dan perlakuan terhadap

kawasan konservasi. Pada tingkat internasional, World Commission on

Protected Area (WCPA) yang dulunya bernama Commission on National

Park and Protected Area (CNPPA) dan berada di bawah International

Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN)

merupakan komisi yang bertanggung jawab dalam hal pengelolaan

kawasan yang dilindungi di dunia, baik darat maupun laut.1

Terkait kebijakan nasional, penetapan taman nasional di Indonesia

tidak bisa lepas dari proses berkembangnya gagasan konservasi di negara-

negara maju. Pembentukan kawasan taman nasional di Indonesia memang

mengikuti konsep pembentukan kawasan taman nasional Yellowstone di

Amerika tahun 1872. Proses awal pembentukan taman nasional ini

berawal dari adanya alokasi kawasan tertentu sebagai reserve land atau

kawasan yang digunakan untuk kawasan tutupan. Maksud dari

pengalokasian reserve land adalah untuk mengembalikan ekosistem dan

keunikan alam sebagaimana kondisi aslinya. Namun pada kenyataannya,

keberadaan taman nasional sering terletak di lokasi yang sarat konflik dan

tumpang tindih kepentingan lokal seperti warisan, perdagangan karbon


1
http://i-
elisa.ugm.ac.id/new/index.php?app=common&cat=materi&komunitas_id=308&materi_id=1415
diakses pada tanggal 9 November 2014.

8
dan bioprospeksi serta kepentingan global seperti area berburu, sumber

makanan, obat, kepentingan adaptasi dan jasa lingkungan.

Penetapan kawasan konservasi di Indonesia mengacu pada

Undang-Undang No. 5 tahun 1990, Keppres No. 3 tahun 1990, dan PP No.

68 tahun 1998. Penetapan kawasan konservasi mempertimbangkan

keanekaragaman hayati yang khas pada suatu wilayah dan dikelola serta

dimanfaatkan secara lestari.

Di Indonesia, kawasan konservasi dibagi menjadi dua bentuk yaitu

kawasan suaka alam (KSA) dan kawasan pelestarian alam (KPA).

Kawasan suaka alam bertujuan untuk perlindungan sistem penyangga

kehidupan dan pengawetan sumber daya alam hayati beserta

ekosistemnya. Kawasan suaka alam terdiri dari Cagar Alam dan Suaka

Margasatwa. Sedangkan, kawasan pelestarian alam terdiri dari Taman

Nasional, Taman Hutan Raya, Taman Wisata Alam dan Taman Buru.

Sampai dengan tahun 2013, kawasan konservasi di Indonesia terdiri dari

246 cagar alam, 80 suaka margasatwa, 124 taman wisata alam, 14 taman

buru, 50 taman nasional, dan 22 taman hutan raya yang tersebar di seluruh

propinsi di Indonesia. Menurut Mulyana dalam Gunawan et.al. (2013;103-

119), hampir semua kawasan taman nasional di Indonesia menghadapi

tekanan.

Berdasarkan pasal 1 Undang Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Taman

Nasional didefinisikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai

9
ekosistem asli, dikelola dengan sistim zonasi yang dimanfaatkan untuk

tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,

pariwisata dan rekreasi. Mengacu pada pedoman Departemen Kehutanan

(1986), kriteria suatu kawasan dapat ditetapkan sebagai Kawasan Taman

Nasional (TN) meliputi:

1. Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses

ekologis secara alami;

2. Memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis

tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang

masih utuh dan alami;

3. Memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh;

4. Memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan

sebagai pariwisata alam; dan

5. Merupakan kawasan yang dapat dibagi kedalam Zona Inti, Zona

Pemanfaatan, Zona Rimba dan Zona lain yang karena pertimbangan

kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar

kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber

daya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona

tersendiri.

Menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. 56 tahun 2006

mengenai pedoman zonasi taman nasional, zonasi adalah suatu proses

pengaturan ruang dalam taman nasional menjadi zona-zona, yang

10
mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan dan analisis data,

penyusunan draft rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata

batas dan penetapan, dengan mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-

aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Zonasi bertujuan

untuk mewujudkan sistem pengelolaan taman nasional yang efektif dan

optimal sesuai fungsinya.2

Pengelolaan Taman Nasional dengan sistim zonasi diharapkan akan

memberikan manfaat antara lain:

1. Secara ekonomi dapat dikembangkan sebagai kawasan yang

mempunyai nilai ekonomis;

2. Secara ekologis dapat menjaga keseimbangan kehidupan baik biotik

maupun abiotik di daratan maupun perairan;

3. Secara estetika, memiliki keindahan sebagai obyek wisata alam yang

dikembangkan sebagai usaha pariwisata alam atau bahari;

4. Pendidikan dan penelitian merupakan obyek dalam pengembangan

ilmu pengetahuan, pendidikan dan penelitian; dan

5. Jaminan masa depan keanekaragaman sumber daya alam kawasan

konservasi baik di darat maupun di perairan memiliki jaminan untuk

dimanfaatkan secara batasan bagi kehidupan yang lebih baik untuk

generasi kini dan yang akan datang.

Pengelolaan dan pemanfaatan hutan harus dilakukan secara

bijaksana yang berarti bahwa pemanfaatan hutan tidak hanya digunakan

2
http://www.dephut.go.id/index.php/news/details/1820 diakses pada tanggal 9 November 2014.

11
untuk memenuhi kebutuhan manusia tetapi juga harus memperhatikan

pemeliharaan dan pengawetan potensi hutan itu sendiri. Undang-Undang

No. 41 tahun 1999 pasal 6 dan 7 tentang kehutanan menyatakan bahwa

pada umumnya semua hutan memiliki fungsi konservasi, lindung dan

produksi karena setiap wilayah hutan memiliki keanekaragaman hayati

yang berbeda-beda sesuai dengan keadaan fisik, topografi, flora dan fauna

serta ekosistem. Untuk itulah pemerintah menetapkan tiga fungsi pokok

hutan yaitu hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi.

Pembentukan kawasan Taman Nasional adalah bagian dari

pembangunan di bidang kehutanan. Tujuan pengelolaan berbasis zonasi

pada Taman Nasional adalah untuk mengakomodasi berbagai kepentingan

dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Adapun zona-zona yang

terdapat di Taman Nasional antara lain: 1) Zona Inti. Zona ini memiliki

pengelolaan yang identik dengan Cagar Alam dimana intervensi

pengelolaan sangat minimal; dan 2) Zona pemanfaataan. Zona ini

merupakan kawasan taman nasional yang dapat dialokasikan untuk

kegiatan-kegiatan pemanfaatan dengan pembatasan-pembatasan tertentu.

Zona pemanfaatan terbagi dalam beberapa kategori, yaitu zona

pemanfaatan tradisional, zona pemanfaatan terbatas, zona pemanfaatan

intensif, zona rehabilitasi dan zona budaya dan zona lainnya. Metode

penentuan status zona pada taman nasional yang sering digunakan adalah

Multicriteria Analysis (MCA). Metode ini membantu pengambilan

keputusan penentuan zona dengan cara memodelkan masalah,

12
mengevaluasi, menyederhanakan, melakukan ranking, memilih atau

menolak suatu objek atau alternatif (calon, produk, pilihan dsb).3

Untuk kepentingan pengelolaan, zona dalam taman nasional dapat

dievaluasi sesuai perkembangan situasi dan tujuan pengelolaan. Sesuai

dengan peraturan menteri kehutanan nomor: P.56/Menhut-II/2006 pasal 20

dinyatakan bahwa evaluasi zonasi dapat dilakukan sebagai peninjauan

ulang untuk usulan perubahan zonasi yang diperlukan sesuai dengan

kepentingan pengelolaan.

Benturan kepentingan seperti persepsi dan kebutuhan yang berbeda

antara masyarakat sekitar kawasan taman nasional (ekonomi) dengan

pihak pengelola (ekologi) selalu menimbulkan konflik yang akan

berdampak buruk bagi kelestarian hutan. Kebijakan penetapan dan

pengelolaan kawasan hutan menjadi kawasan konservasi di Indonesia

belum sepenuhnya dapat diterima oleh masyarakat, terutama yang berada

di sekitar kawasan taman nasional. Berbagai faktor sosial ekonomi

masyarakat di sekitar kawasan menjadi kendala dalam pengelolaan taman

nasional. Akses masyarakat sekitar kawasan konservasi untuk memenuhi

kebutuhan sehari-hari menjadi sangat terbatas. Benturan kepentingan

antara masyarakat dan pihak pengelola kawasan TN Gunung Merbabu

dimungkinkan disebabkan oleh perbedaan persepsi dan kebutuhan

mengenai batas kawasan secara resmi.

3
(Sarifi dalam Hermawan dkk, 2005) dalam i-
elisa.ugm.ac.id/new/index.php?app=common&cat=materi&komunitas_id=308&materi_id=1415
diakses pada tanggal 7 November 2014.

13
1.6.2. Konflik: Persepsi dan Kebutuhan

Menurut Chris Mitchell dalam Fisher et.al. (2001;4), Konflik adalah

hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang

memiliki, atau merasa memiliki, sasaran yang tidak sejalan. Dengan kata

lain konflik hadir sebagai manifestasi tidak sejalan atau tidak sama

sasaran-sasaran yang ingin dituju.

Dalam konteks persepsi, Pruit dan Rubin (2009;9-10) dalam

bukunya “Teori Konflik Sosial”, mendefinisikan konflik sebagai persepsi

mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergent of interest) atau

suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat

dicapai secara simultan. Yang dimaksud dengan kepentingan adalah

perasaan mengenai sesuatu yang diinginkan. Kepentingan ini bersifat

sentral, subjektif dalam pikiran dan tindakan seseorang, yang membentuk

inti dari sikap, tujuan dan niat. Kepentingan ini kemudian diterjemahkan

dalam bentuk aspirasi yang mengandung tujuan dan standard. Sebagai

seorang ahli psikologi sosial, Pruit dan Rubin (2009; 10) lebih

menekankan konflik dalam kerangka kondisi mental perilaku sosial, yang

berarti bahwa mereka mencoba menjelaskan asal mula perbedaan

kepentingan seperti yang dipersepsikan oleh pihak-pihak yang terlibat

konflik, dampak perbedaan persepsi terhadap pemilihan strategi serta

hasilnya.

Sehubungan dengan definisi konflik di atas, Mayer (2012;4)

menjelaskan bahwa konflik terjadi dalam tiga dimensi, yaitu dimensi

14
kognitif (persepsi), emosional (perasaan) dan perilaku (aksi). Pada dimensi

kognitif atau persepsi, Mayer (2012;4-9) mendefinisikan konflik “as a set

of perception, conflict is our belief or understanding that our needs,

interests, wants, or values are incompatible with someone else’s” (sebagai

seperangkat persepsi, konflik adalah keyakinan atau pemahaman kita

bahwa kebutuhan, kepentingan, keinginan dan nilai-nilai yang kita miliki

tidak sejalan dengan orang lain). Pada dimensi kognitif ini, konflik

dinyatakan oleh pihak-pihak yang terlibat konflik dalam struktur naratif

untuk menjelaskan atau menggambarkan konflik.

Sedangkan dalam dimensi emosional (perasaan), konflik sering

digambarkan tentang bagaimana perasaan pihak-pihak dalam konflik

seperti marah, sakit, putus asa. Pada dimensi ini konflik memang tidak

termanifestasikan, tetapi hanya sampai pada intensitas emosional. Pada

dimensi perilaku (aksi), konflik dapat dilihat sebagai bentuk ekspresi dari

pihak-pihak yang terlibat konflik. Dengan melihat definisi dari tiga

perspektif ini, menurut Mayer (2012) kita dibantu untuk dapat memahami

kompleksitas dalam konflik.

Berangkat dari dua definisi konflik di atas, perbedaan persepsi

mengenai kepentingan bertujuan untuk membantu kita meramalkan apa

yang akan dilakukan seseorang. Menurut Pruit dan Rubin (2009;27),

terdapat tiga determinan penyebab konflik, yaitu: 1) tingkat aspirasi suatu

pihak; 2) persepsi suatu pihak atas aspirasi pihak lain; dan 3) tidak

ditemukannya alternatif solusi yang bersifat integratif.

15
Pruit dan Rubin (2009;26-27) menjelaskan konflik terjadi ketika

tidak terlihat adanya alternatif yang dapat memuaskan aspirasi kedua belah

pihak. Konflik dapat terjadi hanya karena salah satu pihak memiliki

aspirasi tinggi atau karena alternatif yang bersifat integratif dinilai sulit

didapat. Konflik semakin mendalam bila aspirasi sendiri atau pihak lain

bersifat kaku.

Berkaitan dengan faktor yang mempengaruhi persepsi, Robert dan

Stephenson dalam Alviya et.al. (2012;172) mengatakan bahwa persepsi

satu individu terhadap suatu obejk sangat mungkin memiliki perbedaan

dengan persepsi individu yang lain terhadap objek yang sama. Hal tersebut

disebabkan karena beberapa faktor yang mempengaruhi, yaitu

karakteristik pribadi pelaku persepsi (aktor), target yang dipersepsikan,

dan lingkungan atau situasi dimana persepsi dilakukan.

Dari beberapa pengertian di atas, persepsi terhadap kepentingan

dalam konteks penelitian ini didefinisikan sebagai aspirasi pihak-pihak

yang terlibat konflik batas kawasan di TN Gunung Merbabu. Persepsi

mengenai batas kawasan TN Gunung Merbabu berkaitan dengan aspirasi

pihak-pihak yang terlibat konflik, bagaimana para pihak memandang

pihak lain dan tidak adanya alternatif solusi yang integratif yang mampu

mengakomodir kepentingan kedua belah pihak.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, persepsi diartikan sebagai

proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui pancaindranya.4

4
http://kbbi.web.id/persepsi diakses pada tanggal 5 November 2014.

16
Pemahaman persepsi secara lebih luas dikembangkan oleh Thoha (2014;

141-142), yang menyatakan bahwa persepsi pada hakikatnya adalah proses

kognitif yang dialami oleh setiap orang di dalam memahami informasi

tentang lingkungannya baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan,

perasaan dan penciuman. Kunci untuk memahami persepsi adalah terletak

pada pengenalan bahwa persepsi itu merupakan suatu penafsiran yang

unik terhadap situasi, dan bukannya suatu pencatatan yang benar terhadap

situasi. Pemahaman ini mengacu pada pendapat David Krech et.al.(1962)

yang menjelaskan bahwa:

Peta kognitif individu itu bukanlah penyajian potografik dari suatu

kenyataan fisik, melainkan agak bersifat pribadi yang kurang

sempurna mengenai obyek tertentu, diseleksi sesuai dengan

kepentingan utamanya dan dipahami menurut kebiasaan.

Secara ringkas persepsi kemudian diartikan sebagai suatu proses kognitif

yang kompleks dan menghasilkan suatu gambar unik tentang kenyataan

yang barangkali sangat berbeda dari kenyataannya.

Golder dan Gawler dalam Alviya et.al. (2012;172) menyatakan

bahwa analisis perbedaan persepsi merupakan suatu hal yang penting

karena pada akhirnya setiap kegiatan akan bergantung pada pihak yang

akan bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan. Dalam pengelolaan

kawasan taman nasional, pihak pengelola kawasan TN Gunung Merbabu

membutuhkan dukungan dan partisipasi aktif masyarakat yang tinggal di

17
sekitar kawasan untuk mencapai tujuan bersama dalam pengelolaan

kawasan TN Gunung Merbabu yang lebih optimal.

Hal yang sama juga dikemukakan oleh Hill, Mehta dan Kellert

dalam Alviya et.al. (2012;172) bahwa persepsi masyarakat terhadap upaya

konservasi hutan sering dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi misalnya

tingkat pendidikan, tingkat kesejahteraan, demografi (jumlah anggota

keluarga, usia) dan faktor geophysical.

Selain persepsi mengenai perbedaan kepentingan, faktor yang

dapat menjadi sumber konflik adalah kebutuhan. Mayer (2012;9)

menjelaskan bahwa konflik muncul dari naluri manusia secara alami,

karena kompetisi terhadap sumber daya dan kekuasaan, karena struktur

dan lembaga yang dibuat oleh masyarakat, karena kurangnya komunikasi

sampai kepada perjuangan antar kelas yang tidak bisa dihindari.

Kebutuhan masyarakat di sekitar kawasan hutan yang merupakan

sumber konflik adalah kebutuhan yang disebut Mayer sebagai survival

needs. Mayer (2012;27) menjelaskan bahwa survival needs menyangkut

kebutuhan mendasar manusia seperti keselamatan dan keamanan,

menyangkut makanan, tempat tinggal dan pakaian. Penolakan batas

kawasan konservasi oleh masyarakat dusun Gesikan dan dusun Tumut

desa Jrakah berkaitan erat dengan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi.

Kebutuhan dasar ini bersifat mendesak yang berarti bahwa kebutuhan

masyarakat akan lahan sangat penting untuk memenuhi kebutuhan sehari-

hari. Mengutip pendapat Maslow dalam teori hirarki kebutuhan manusia,

18
Mayer (2012;21) menjelaskan bahwa kebutuhan dasar manusia bersifat

fisiologis seperti sandang, pangan dan papan.

1.6.3. Alat Bantu Analisa Konflik

Alat bantu analisa konflik merupakan alat bantu yang digunakan untuk

memahami situasi konflik yang kompleks. Dalam penelitian ini alat bantu

analisa konflik bertujuan untuk membantu kita memahami mengapa

konflik terjadi dan mengarahkan kita untuk mencari solusi dalam

penyelesaiannya.

Fisher et al., (2001;17) menyatakan bahwa analisa konflik

merupakan intervensi sekaligus persiapan untuk mengambil tindakan

dalam penyelesaian konflik. Tujuan menganalisa konflik, lebih lanjut

menurut Fisher et al., (2001) antara lain: 1) memahami latar belakang

sejarah suatu situasi dan kejadian-kejadian saat ini; 2) memahami

pandangan semua kelompok dan lebih mengetahui bagaimana hubungan

satu sama lain; dan 3) mengidentifikasi faktor-faktor kecenderungan yang

mendasari konflik. Kompleksitas penyebab dalam konflik membutuhkan

penggunaan strategi yang berbeda pada setiap situasi. Alat bantu analisis

konflik yang digunakan bertujuan untuk mengetahui latar belakang konflik

dan mencari peluang dimana kita dapat melakukan intervensi sebagai

bentuk upaya penyelesaian (Fisher et. al, 2001;17).

Segitiga SPK merupakan salah satu alat bantu analisa konflik yang

menekankan bahwa konflik memiliki tiga komponen utama, yaitu konteks

19
atau situasi, perilaku dan sikap pihak-pihak yang terlibat dalam konflik.

Tujuan segitiga SPK yaitu: 1) mengidentifikasi ketiga faktor tersebut pada

setiap pihak yang terlibat dalam konflik; 2) menjelaskan pengaruh ketiga

faktor tersebut dalam konflik; 3) menghubungakan ketiga faktor tersebut

dengan kebutuhan dan ketakutan masing-masing pihak; dan 4)

mengidentifikasi titik awal intervensi dalam suatu situasi konflik (Fisher

et. al, 2001;25-27).

Dalam penelitian ini penulis menggunakan alat bantu analisis berupa

segitiga SPK (situasi, perilaku dan konteks) untuk melihat bagaimana

ketiga faktor tersebut berperan dalam konflik mengenai batas kawasan TN

Gunung Merbabu. Selain itu, bagaimana satu pihak melihat pihak lain dan

sebaliknya dalam hal konteks atau situasi, perilaku dan sikap.

1.6.4. Alternatif Penyelesaian Konflik

Alternatif penyelesaian konflik merupakan bentuk-bentuk pemilihan

strategi penyelesaian yang menghasilkan kesepakatan bagi kedua belah

pihak. Bentuk-bentuk upaya penyelesaian konflik pun bermacam-macan

dari yang paling sederhana sampai level yang paling rumit misalnya

melalui pengadilan. Fokus pada pendekatan dan motivasi individu yang

terlibat konflik merupakan langkah awal untuk memahami konflik. Pruit

dan Rubin (2009;53) membagi strategi penyelesaian konflik menjadi 5

kategori yaitu contending, problem solving, yielding, inaction, dan

withdrawing.

20
Contending merupakan usaha penyelesaian konflik menurut

kemauan dan keinginan seseorang tanpa mempedulikan kepentingan pihak

lain. Pihak-pihak yang menerapkan strategi ini berusaha mempertahankan

aspirasi mereka dan membujuk pihak lain untuk mengalah. Salah satu

upaya dari contending adalah melakukan upaya atau tindakan-tindakan

yang mendahului pihak lain dengan maksud mengatasi konflik tanpa

sepengatahuan pihak lain. Dalam situasi negosiasi, upaya ini melibatkan

argumen persuasif dan sering mengeluarkan tuntutan yang jauh melampaui

batas yang dapat diterima. Sebaliknya yielding adalah upaya menurunkan

aspirasi atau mengalah dan bersifat sementara. Inaction dan withdrawing

adalah upaya yang sama dalam arti menghentikan kontroversi yang terjadi.

Tetapi berbeda dalam arti bahwa inaction bersifat temporal atau sementara

dengan tetap membuka kemungkinan negosiasi untuk mencapai

kesepakatan. Sedangkan withdrawing bersifat permanen (Pruit dan Rubin,

2009;56-59).

Dari lima kategori pemilihan strategi untuk mengatasi konflik,

Pruit dan Rubin (2009;viii-ix) membagi tahap-tahap dalam konflik. Tiga

tahap konflik tersebut antara lain: 1) tahap pertama (contentius), tahap

dimana terjadi peningkatan intensitas penggunaan taktik untuk

mengalahkan pihak lain. Jika tidak terdapat kemenangan, kemungkinan

akan terjadi tahap kedua; 2) tahap kemandekan (stalemate) adalah tahap

dimana taktik contentius gagal, hilangnya dukungan sosial, terkurasnya

sumber daya yang diperlukan dan biaya yang tidak tertanggungkan; dan 3)

21
tahap problem-solving, tahap dimana seringkali melibatkan bantuan pihak

ketiga.

Situasi konflik batas kawasan TN Gunung Merbabu saat penelitian

ini dilakukan telah sampai pada tahap kemandekan (stalemate). Taktik

contentius sebagai upaya awal pihak pengelola TN Gunung Merbabu

melalui pendekatan kebijakan prosedural dan legalitas kepemilikan lahan

untuk menyelesaikan konflik, gagal. Pengukuran batas kawasan TN

Gunung Merbabu dan pertemuan informal dengan tokoh

masyarakat/pejabat desa sudah dilakukan. Namun, masyarakat di dusun

Gesikan dan Tumut masih tetap menggarap lahan sengketa.

Problem solving merupakan upaya yang dilakukan untuk

melokasikan suatu solusi bagi kontroversi yang terjadi dan dapat diterima

oleh kedua belah pihak. Problem solving yang baik melibatkan upaya

kedua belah pihak untuk membuat kesepakatan secara bersama-sama.

Upaya ini biasanya melibatkan pihak ketiga.

Menurut Pruit dan Rubin (2009;81-83), penerapan strategi problem

solving diperlukan adanya persepsi yang berpotensi untuk mendukung

dilakukannya solusi integratif. Kondisi ini akan memberikan sumbangan

terhadap keberhasilan strategi problem solving. Kondisi tersebut antara

lain; 1) keyakinan terhadap kemampuan melakukan problem solving, 2)

adanya momentum, 3) adanya mediator, dan 4) persepsi mengenai pihak

lain untuk melakukan problem solving.

22
Hasil akhir dari penggunaan strategi problem solving antara lain

kompromi, kesepakatan tentang cara-cara menentukan pemenang dan

solusi integratif. Kompromi adalah kesepakatan yang disepakati kedua

belah pihak dengan mengambil jalan tengah. Kompromi juga mengajak

kedua belah pihak meninggalkan episode eskalasi. Selain kompromi,

prosedur penentuan pemenang kadang digunakan dalam strategi ini.

Beberapa bentuk prosedur semacam ini antara lain: a) voting yang

menjadikan pihak yang mendapat suara mayoritas sebagai pemenang; dan

b) menyerahkan keputusan kepada pihak ketiga yang memiliki posisi

paling meyakinkan (Pruit dan Rubin, 2009;311-317).

Dalam banyak kasus konflik batas kawasan konservasi, prosedur

penentuan pemenang seringkali digunakan. Seperti yang kita ketahui

bahwa penyelesaian konflik batas kawasan taman nasional sering berakhir

di pengadilan. Prosedur yang sering digunakan ini lebih dikenal dengan

istilah zero-sum game. Penentuan pemenang berdasarkan hasil keputusan

hakim di pengadilan dan sering membuat pihak yang kalah jarang

menerima hasil keputusan tersebut. Hal ini kemudian membuat konflik

semakin berlarut-larut dan tidak terselesaikan.

Menurut Fisher et.al. (2001;4), konflik merupakan kenyataan

hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik memiliki

kekuatan untuk menghadirkan perubahan baik yang konstruktif maupun

destruktif. Perlu upaya-upaya penyelesaian konflik yang kreatif sehingga

konflik dapat menghadirkan sesuatu yang konstruktif.

23
Alternatif penyelesaian konflik batas kawasan TN Gunung

Merbabu perlu melibatkan bantuan pihak ketiga untuk mencapai problem

solving dan solusi integratif dengan pertimbangan bahwa pengelolaan

kawasan konservasi memerlukan partisipasi aktif masyarakat di sekitar

kawasan. Pruit dan Rubin (2009;317) menyatakan bahwa solusi integratif

adalah solusi yang merekonsiliasi (mengintegrasikan) kepentingan kedua

belah pihak. Solusi integratif dalam penerapannya biasanya disertai

dengan alternatif-alternatif yang sudah dikenal. Tetapi yang lebih sering

terjadi adalah pengembangan alternatif-alternatif baru yang membutuhkan

kreativitas dan imajinasi.

Proses dimana adanya keterlibatan atau intervensi pihak ketiga

disebut dengan mediasi. Pihak ketiga diartikan sebagai individu atau

kolektif yang berada diluar konflik antara dua pihak atau lebih (Pruit dan

Rubin, 2009;374). Peran pihak ketiga dalam situasi konflik tidak untuk

membuat sebuah keputusan. Tetapi berperan lebih untuk membantu kedua

belah pihak untuk mengkomunikasikan kepentingan dan membantu

mereka untuk mencapai kesepakatan bersama (Mayer, 2012;271).

Intervensi pihak ketiga secara efektif dapat dilakukan dengan tiga

hal yaitu modifikasi struktur fisik dan sosial konflik, mengubah struktur

isu konflik, dan mengambil tindakan untuk meningkatkan motivasi pihak-

pihak yang terlibat konflik. Modifikasi struktur fisik dan sosial konflik

meliputi tujuan untuk memperbaiki komunikasi, membuka dan

menetralkan tempat berlangsungnya problem solving, menetapkan batas

24
waktu dan memberikan sumber daya tambahan (Pruit dan Rubin,

2009;383).

Menurut Pruit dan Rubin (2009;322-334), ada 5 bentuk solusi

integratif yang dapat menjadi pedoman bagi pihak ketiga atau mediator

dalam mencari cara untuk mengatasi kontroversi. Kelima bentuk tersebut

yaitu; Memperbesar kue (expanding the pie), kompensasi non spesifik,

Balas Jasa (logroling), pengurangan biaya (cost cutting), dan

menjembatani (bridging). Memperbesar kue (expanding the pie)

merupakan upaya memperbesar sumberdaya yang dapat merubah struktur

konflik. Sedangkan kompensasi non spesifik dilakukan dengan cara salah

satu pihak memberikan kompensasi dalam bentuk lain. Kesediaan salah

satu pihak untuk menukar isu dengan isu pokok pihak lain dinamakan

balas jasa (logroling). Sedangkan upaya mengurangi biaya satu pihak

karena mengikuti pihak lain disebut pengurangan biaya (cost cutting).

Menjembatani (bridging) merupakan bentuk upaya menciptakan pilihan

baru untuk memenuhi kebutuhan pihak lain.

Fisher dan Ury dalam Fisher (2003) mengemukakan empat prinsip

komunikasi yang dilakukan selama melakukan mediasi. Empat prinsip

tersebut antara lain: 1) memisahkan orang dengan masalah. Dalam

perundingan, pihak-pihak diajak untuk menyelesaikan masalah, dan bukan

untuk saling menyerang; 2) fokuskan perhatian pada kepentingan dan

bukan pada posisi. Tujuan-tujuan yang ingin dicapai jangan diungkapkan

sebagai posisi; 3) perbanyaklah pilihan sebelum menentukan apa yang

25
akan dilakukan. Kreativitas sangat dibutuhkan dalam proses ini; dan 4)

tekankan bahwa hasil yang akan dicapai harus didasarkan pada

objektivitas. Standar penilaian dan keadilan digunakan untuk mencapai

kesepakatan.

Konflik batas kawasan TN Gunung Merbabu menyebabkan

komunikasi pihak pengelola dengan masyarakat yang berada di tiga dusun

desa Jrakah menjadi kurang harmonis. Hal ini tentu saja akan berdampak

pada pengelolaan kawasan hutan TN Gunung Merbabu. Berdasarkan

pengamatan di lapangan, pihak pengelola TN Gunung Merbabu hanya

dapat melakukan komunikasi secara baik dengan beberapa orang saja

seperti tokoh masyarakat di dusun tersebut. Komunikasi yang berkaitan

dengan areal sengketa hanya dapat dipahami dan disambut baik oleh

tokoh-tokoh masyarakat.

1.7. Argumentasi Penelitian

Mengacu kepada definisi konflik dalam dimensi kognitif (persepsi) dari Pruit

dan Rubin (2009) dan Mayer (2012), konflik batas kawasan TN Gunung

Merbabu terjadi antara pihak Balai TN Gunung Merbabu dengan masyarakat

karena perbedaan persepsi dalam melihat batas kawasan dan kepentingan

terhadap lahan sengketa. Persepsi pihak TN Gunung Merbabu bahwa batas

kawasan sesuai dengan peta Perhutani dan peta hasil rekonstruksi batas tahun

2007. Sedangkan batas kawasan dalam persepsi masyarakat adalah batas alam

sejak jaman Belanda yang dipercayai masyarakat. Pihak TN Gunung

26
Merbabu menganggap masyarakat telah menggeser batas kawasan dan

melanggar ketentuan konservasi. Sedangkan masyarakat menganggap lahan

sengketa adalah lahan warisan secara turun temurun dan pihak TN Gunung

Merbabu (pemerintah) telah mengambil lahan masyarakat.

Persepsi masyarakat belum dapat diklarifikasi pihak TN Gunung

Merbabu secara memadai dan dapat diterima pihak masyarakat. Disisi lain,

berlarutnya konflik menyebabkan masyarakat semakin tergantung terhadap

lahan sengketa yang secara de facto merupakan kawasan konservasi. Konflik

masih terus terjadi karena tidak ada solusi penyelesaian yang bersifat

integratif dari kedua belah pihak.

Sebagai pengelola kawasan TN Gunung Merbabu, Balai TN Gunung

Merbabu mempunyai kebutuhan untuk mempertahankan eksistensi kawasan

konservasi dengan batas-batas kawasan yang mantap (diakui semua pihak

baik di peta maupun di lapangan). Sedangkan masyarakat mempunyai

kebutuhan hidup yang bersifat mendasar dan mempunyai ketergantungan

terhadap lahan untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Berdasarkan konsep strategi penyelesaian konflik dari Pruit dan Rubin

(2009), upaya penyelesaian konflik yang telah dilakukan pihak TN Gunung

Merbabu belum optimal karena belum ada upaya problem solving yang

bersifat solusi integratif (diakui kedua belah pihak). Hal ini pada akhirnya

menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap upaya penyelesaian

konflik oleh pihak TN Gunung Merbabu. Perlu kesepakatan bersama untuk

27
mengupayakan solusi integratif melalui intervensi pihak ketiga dengan

mengakomodir kebutuhan kedua belah pihak.

Sesuai konsep dari Fisher et.al. (2001), konflik dapat bersifat kreatif

dan memiliki potensi untuk menghadirkan perubahan yang konstruktif. Upaya

bina konsensus dengan keterlibatan pihak ketiga untuk mengklarifikasi batas

kawasan yang benar dan sah dapat menjadi langkah awal pemecahan masalah

yang konstruktif. Sedangkan kebijakan konservasi yang menjadi salah satu

isu dalam konflik ini, dapat menjadi alternatif instrumen problem solving

yang bersifat solusi integratif dengan terwujudnya kesepakatan bersama

untuk meningkatkan kepedulian terhadap pelestarian kawasan TN Gunung

Merbabu dengan melakukan kegiatan rekonstruksi batas dan optimalisasi

zonasi secara mufakat. Rekonstruksi batas dengan intervensi pihak ketiga

dapat mengklarifikasi batas kawasan di lapangan yang benar dan sah sesuai

peraturan yang berlaku. Sedangkan optimalisasi zonasi secara mufakat

dengan intervensi pihak ketiga dapat menjadi upaya penyelesaian konflik

dalam bentuk menjembatani (bridging) untuk mengakomodir kebutuhan

masyarakat dalam pengelolaan kawasan yang menyeimbangkan aspek

ekonomi, sosial dan ekologi berdasarkan kondisi local spesific.

1.8. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif

dipilih untuk memberikan pemahaman lebih dalam mengenai persepsi dan

kebutuhan pihak-pihak yang terlibat konflik. Menurut Moleong (2009;6),

28
penelitian kualitatif adalah penelitian dengan tujuan untuk memahami

fenomena yang dialami oleh subjek penelitian seperti perilaku, persepsi,

motivasi, tindakan dan lain-lain secara holistik yang kemudian dideskripsikan

menggunakan kata-kata atau bahasa pada konteks tertentu.

Cresswell (2009:4-5) menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah ‘a

means for exploring and understanding the meaning individuals or group

ascribe to a social or human problem.’ (metode untuk mengeksplorasi dan

memahami makna yang - bagi sejumlah individu atau sekelompok orang -

dianggap berasal dari masalah sosial atau kemanusiaan). Penelitian kualitatif

menerapkan cara pandang yang bergaya induktif, fokus pada makna

individual dan menerjemahkan kompleksitas suatu persoalan.

Penelitian kualitatif dalam riset ini digunakan untuk memberikan

penjelasan terkait konflik batas kawasan konservasi TN Gunung Merbabu

antara pihak pengelola kawasan dengan masyarakat yang berada di desa

Jrakah. Elemen utama yang menjadi kajian dalam penelitian ini adalah

persepsi dan kebutuhan kedua belah pihak yang tidak sejalan.

1.8.1. Sumber dan Jenis Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer berupa hasil

wawancara dengan informan yang mengetahui kronologis dan terlibat

dalam konflik sejak awal pembentukan TN Gunung Merbabu. Informan

berasal dari kedua belah pihak, pihak-pihak terkait seperti Perhutani,

BPKH, BPN Boyolali dan Pemerintah Desa Jrakah serta masyarakat di

29
luar desa Jrakah. Identitas informan tidak penulis cantumkan untuk

melindungi privasi pribadi sesuai permintaan informan (data informan

selengkapnya ada pada penulis).

Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara

tidak terstruktur. Menurut Dawson (2007:28), wawancara tidak terstruktur

(in-depth interview) kadang disebut sebagai wawancara life history. Lebih

lanjut menurut Dawson, ‘in this type of interview, the researcher attempts

to achieve a holistic understanding of the interviewees’ point of view or

situation’.(Dalam wawancara jenis ini, peneliti berusaha memahami

situasi atau pandangan informan).

Selain itu, penulis juga menggunakan data sekunder seperti artikel,

jurnal nasional dan internasional, dan penelitian-penelitian terdahulu

terkait permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

1.8.2. Teknik Pengambilan Data

Teknik pengambilan data dalam penelitian ini adalah wawancara. Dalam

penelitian kualitatif, instrument penelitian adalah peneliti itu sendiri (Putra,

2012:14). Informan yang diwawancarai dipilih sesuai dengan tujuan

penelitian. Informan yang diwawancarai adalah orang yang mengetahui

dan terlibat secara langsung sejak awal konflik batas kawasan TN Gunung

Merbabu.

Penelitian lapangan dilakukan dua tahap. Tahap pertama

dilaksanakan pada tanggal 8-15 September 2014 untuk memperoleh data

30
awal mengenai fakta yang terjadi di lapangan. Untuk menghemat waktu

selama penelitian, penulis meminta izin untuk menggunakan ruang rapat

kantor Seksi Pengelolaan Taman Nasional wilayah II Krogowanan Balai

Taman Nasional Gunung Merbabu yang terletak di Kecamatan Sawangan,

Kabupaten Magelang sebagai tempat inap dan mengolah data lapangan.

Tahap kedua dilakukan selama bulan November sampai Desember

2014. Pada tahap kedua, penelitian lapangan dilakukan untuk memperoleh

data secara lengkap dan melakukan validitas data yang sudah ada. Semua

hasil wawancara penulis rekam dalam audio recorder dan kemudian

diubah dalam bentuk transkrip.

Selama penelitian ini, informan yang diwawancara berasal dari

kedua belah pihak, pihak terkait dan masyarakat di luar desa Jrakah. Tujuh

orang berasal dari pihak taman nasional dan sembilan orang berasal dari

masyarakat. Tujuh orang yang berasal dari pihak pengelola taman nasional

adalah Kepala Balai TN Gunung Merbabu, Kepala Satgas/Koordinator

Polisi Hutan Balai TN Gunung Merbabu, Kepala Polisi Putan Resort

Wonolelo, Kepala SPTN Wil.II Krogowanan, anggota Polisi Hutan Resort

Wonolelo, anggota Polisi Hutan SPTN Wil.I Kopeng, dan staf SPTN Wil.I

Kopeng. Sembilan orang yang berasal dari masyarakat adalah mantan

Kepala Desa Jrakah, Kepala desa Jrakah, sekretaris desa Jrakah, kepala

urusan Keuangan Desa Jrakah, kepala dusun Gesikan, 2 orang

sesepuh/tokoh masyarakat dusun Tumut, Ketua RT dusun Tumut dan

Ketua RT dusun Tempel. Para pihak terkait meliputi Wakil Kepala

31
Perhutani KPH Surakarta, Kepala Seksi PSDH KPH Surakarta, Kepala

Seksi Perpetaan pada Biro Perencanaan Perhutani Unit I Jawa tengah, Staf

Perhutani KPH Surakarta (Mantan Polisi Hutan BKPH Surakarta), mantan

polisi hutan RPH Pentur), Kepala Seksi Perpetaan BPKH Wil.XI Jawa

Madura, Staf Seksi Perpetaan BPKH Wil.XI Jawa Madura dan Kepala

Bagian Umum BPN Boyolali. Masyarakat di Desa Jrakah meliputi Kepala

Dusun Bentroan, Tokoh Masyarakat Bentroan dan warga Desa Lencoh.

1.8.3. Teknik Analisa Data

Dalam penelitian kualitatif, analisis data dilakukan selama proses

pengambilan data. Proses analisa data dilakukan dengan menelaah seluruh

data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu dari wawancara, dokumen

resmi, gambar dan foto (Moleong, 2009:247).

Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik

analisis yang dikembangkan oleh Miles dan Huberman. Langkah-langkah

analisis data antara lain: 1) seluruh catatan lapangan dan hasil wawancara

dideskripsikan dalam bentuk paragraf atau kalimat; 2) paragraf tersebut

kemudian diberi kode sesuai dengan kategori; 3) semua kategori tersebut

kemudian disatukan; 4) berbagai kategori tersebut kemudian dicari

keterkaitannya untuk mendapatkan makna secara keseluruhan; dan 5)

dibuat kesimpulan akhir (Putra, 2012:204).

Pada penelitian ini, seluruh hasil wawancara akan dikumpulkan,

divalidasi kemudian dilakukan reduksi data. Data kemudian

32
dikelompokkan sesuai kategori tertentu sesuai tujuan penelitian. Langkah

selanjutnya adalah men-display-kan data secara naratif untuk

menggambarkan persepsi dan kebutuhan para pihak dalam konflik. Dari

gambaran persepsi dan kebutuhan kemudian diambil kesimpulan untuk

memperoleh kejelasan tentang terjadinya konflik batas kawasan ini.

1.9. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri dari lima bab. Pada

pendahuluan akan dijelaskan secara singkat mengenai latar belakang

penyebab konflik batas kawasan TN Gunung Merbabu dan upaya

penyelesaian konflik yang telah dilakukan. Mulai dari pemicu awal sampai

situasi saat ini. Kemudian pada bab kedua akan dijelaskan mengenai

gambaran lokasi penelitian dan konflik batas kawasan. Mulai dari sejarah

pembentukan TN Gunung Merbabu, letak geografis Gunung Merbabu,

potensi kawasan, zonasi dan daerah penyangga TN Gunung Merbabu, kondisi

sosial ekonomi desa Jrakah, keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan

hutan, gambaran umum konflik di kawasan, kronologi konflik batas dan

situasi konflik saat ini. Pada bab ketiga akan dijelaskan mengenai gambaran

persepsi dan kebutuhan kedua pihak yang terlibat konflik dan analisa konflik.

Pada bab keempat, membahas mengenai bentuk-bentuk upaya penyelesaian

konflik yang pernah dilakukan dan penulis mencoba menganalisis konflik ini

dari perspektif keilmuan dalam mengelola konflik dan menawarkan alternatif

solusi untuk mengatasi persoalan terkait konflik batas kawasan TN Gunung

33
Merbabu. Bab penutup berisi kesimpulan dan saran yang disajikan untuk

melihat secara luas gambaran konflik batas kawasan TN Gunung Merbabu

dan solusi alternatif penyelesaian konflik.

34

Anda mungkin juga menyukai