Anda di halaman 1dari 6

TUGAS INDIVIDU 1

REVIEW MATERI ADAPTASI DAN KOMUNIKASI


Mata Kuliah: Teori Sosial dan Pembangunan

Fista Afriya Aisiyah (21/482147/TK/53222)

Perencanaan Wilayah dan Kota


Departemen Teknik Arsitektur dan Perencanaan
Fakultas Teknik
Universitas Gadjah Mada
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Selama ratusan tahun masyarakat Lereng Gunung Merapi hidup ditengah ancaman
bencana erupsi. Masyarakat tetap bertahan walaupun erupsi Merapi berulang kali terjadi.
Tanahnya yang subur membuat masyarakat setempan enggan untuk meninggalkan rumah dan
lahan garapannya. Masyarakat lebih memilih untuk melestarikan lingkungan alam tempat
tinggalnya demi kelangsungan hidupnya. Pengalaman panjang selama hidup di permukiman
ini tentunya memberikan warna (karakter) masyarakat yang lekat berhubungan dengan alam
maupun ikatan sosialnya yang sarat dengan kearifan lokalnya.

1.2 Rumusan Masalah


• Bagaimana cara masyarakat Lereng Merapi berinteraksi dengan alam?
• Bagaimana masyarakat Lereng Merapi Mengenal tanda – tanda bencana?
• Bagaimana pemulihan bencana yang dilakukan oleh masyarakat setempat?

1.3 Tujuan Penulisan


• mengungkap bagaimana masyarakat berinteraksi dengan alam
• Mengetahui bagaimana masyarakat Lereng Merapi mengenal tanda tanda bencana
• Mengetahui bagaimana pemulihan yang dilakukan oleh masyarakat
BAB II

PEMBAHASAN

Pola pikir dan pengalaman hidup masa lalu masyarakat yang tinggal di derah rawan
bencana akan membentuk pola pikir baru bagaimana masyarakat berinteraksi dengan
lingkungannya. Daerah Lereng Merapi merupakan tempat yang rawan bencana Gunung
Merapi. Kearifan lokal, tradisi, dan budaya masyarakat Lereng Merapi merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam merespon bencana. Masyarakat setempat lebih
mengetahui keadaan lingkungan yang ada di lereng Merapi. Hal itulah yang disebut sebagi pola
adaptasi masyarakat untuk menghadapi bencana erupsi Gunung Merapi. Pedoman tidak tertulis
tersebut menekankan nilai dan perilaku masyarakat untuk tetap tinggal di daerah Lereng
Merapi. Suhartini (2009) mengungkapkan, masyarakat Lereng Merapi telah hidup dalam
berbagai ekosistem alami secara harmonis, sehingga mereka mengengetahui berbagai cara
untuk memanfaatkan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Masyarakat yang tinggal
memiliki keunikan yang membedakannya dengan masyarakat di daerah lain, seperti
kesederhanaan, kesenian lokal, dan kesetiaannya terhadap pimpinan dan adat istiadat setempat.
Kesadaran masyarakat tentang pentingnya melestarikan alam dan budaya dapat tercermin dari
berbagai perilaku masyarakat dalam melakukan upacara adat. Misalnya, upacara adat Labuhan
Merapi yang diselenggarakan Kraton Yogyakarta setiap satu tahun sekali. Upacara tersebut
diselenggarakan di Dusun Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan Setiap tanggal 30 Rejeb (bulan
Jawa). Tujuannya yaitu untuk memohon keselamatan pribadi Sri Sultan Hamengkubuono,
Karaton Yogyakarta dan rakyat Yogyakarta dari segala makhluk halus yang ada di Pulau Jawa.

Perilaku masyarakat diikat oleh aturan tidak tertulis mengenai hal apa saja yang boleh
untuk dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Masyarakat Lereng Merapi masih meyakini budaya
setempat untuk tidak melakukan larangan yang dapat melanggar adat karena dapat
mendatangkan keburukan bagi dirinya sendiri dan lingkungannya. Beberapa larangan tersebut
antara lain, berkata jorok saat erupsi Merapi, seperti wedus gembel, Merapi sedang mengamuk,
Merapi murka, serta larangan perusakan alam daerah tersebut. Menurut Fatkhan (2006)
Masyarakat lereng Merapi percaya apabila melanggar hukum alam setempat, akan menerima
hukuman yang berasal dari alam kodrati. Alasan tersebut yang membuat masyarakat lereng
Merapi dapat hidup dengan alam secara berkesinambungan.

Dalam upaya penanggulangan bencana terdapat suatu hal yang penting yaitu peran kraton
Yogyakarta dan pengalaman masyarakat Lereng Merapi. Kraton Yogyakarta berperan sebagai
juru kunci. Slah satu juru kunci yang paling terkenal yaitu Mbah Maridjan yang meninggal
pada saat terjadi erupsi Merapi tanggal 26 Oktober 2010. Juru kunci bertugas sebagai wakil
kraton untuk melkukan upacara ritual di puncak Merapi, memantau keadaan Merapi, serta
mengkomunikasikan informasi dan menumbuhkan kesadaran masyarakat agar dapat
beradaptasi dan mencintai alam.

Fenomena alam yang diperhatikan masyarakat tidak hanya sekedar aktivitas gunung
Merapi, tetapi juga tentang flora dan fauna yang ada di sekitarnya. Dalam Bahasa jawa istilah
tersebut dikenal dengan ilmu titen yaitu tiliti dalam mengingat suatu perkara. Beberapa hal
yang secara umum dapat diperhatikan yaitu, benda, tempat, peristiwa alam yang berulang,
hubungan antar manusia, hingga perilaku binatang. Fenomena paling penting dalam
pendekatan titen untuk mengetahui tanda bahaya yaitu, pertama, perilaku binatang. Binatang
akan bermigrasi untuk turun gunung mencari tempat yang aman karena merasa terganggu.
Beberapa aspek yamng membuat binatang tidak nyaman yaitu suhu udara dan suara kegaduhan.
Binatang akan mininggalkan daerah yang mengalami perubahan suhu ekstrem, baik suhu yang
semakin panas atau emakin dingin. Selain itu, binatang juga akan meninggalkan daerah tempat
tinggalnya apabila mendengar suara kegaduhan, seperti penebangan pohon di hutan (Gunawan,
Roebiyanto, H., Sugiyanto, dan Murni, R, 2007). Kedua, kondisi tanaman yang semakin layu
karena perubahan cuaca dan tanaman keras sudah mulai miring sebagai penahan erosi tanah
apabila terjadi bencana tanah longsor.

Sebagai masyarakat sosial, pada umumnya masyarakat lereng Merapi dan Yogyakarta
mempunyai jalinan persaudaraan yang erat dan menjunjung tinggi nilai persatuan, kerja sama,
serta gotong royong. Koencaraningrat (1984, hal. 11) mengungkapkan contoh dari nilai budaya
masyarakat dengan konsepsi yang bernilai tinggi adalah adanya kerjasama manusia dan rasa
solidaritas yang tinggi. Konsep tersebut biasanya disebut sebagai nilai gotong – royong yang
mempunyai ruang lingkup luas karena karya manusia dilakukan dengan cara kerja sama dengan
orang lain. Nilai kebersamaan, kerja sama, dan gotong – royong sampai saat ini masih terjalin
dengan baik yang dapat diimplementasikan di berbagai daerah. Untuk memecahkan masalah
sosial, kerja sama dapat digunakan sebagai modal sosial. Menurut Field (2010: 230)
mengemukakan bahwa modal sosial merupakan sumberdaya yang dapat melahirkan individu
atau kelompok baru untuk mencapai suatu tujuan agar lebih efektif. Kebersamaan masyarakat
Lereng Merapi dan Yogyakarta tercermin dari adanya berbagai kegiatan musyawarah desa
yang melibatkan tokoh adat dan masyarakatnya. Hasil musyawarah desa tersebut
diinformasikan melalui pertemuan rutin desa setempat. Umumnya musyawarah desa dilakukan
setiap 35 hari sekali dan jatuh pada hari yang sama. Pertemuan rutin tersebut dapat disebut
sebagai Selapanan Desa dalam Bahasa Jawa. Seluruh warga diharapkan dapat mengadiri
kegiatan rutin untuk berkontribusi dan kesempatan mengemukakan pendapat.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kearifan lokal mempunyai peran yang kuat dalam membangun persatuan, kerja sama, serta
golong – royong masyarakat lereng gunung Merapi. Kearifan tersebut telah dijadikan sebagai
panduan hidup masyarakat setempat untuk memecahkan masalah individu maupun kelompok.
Kearifan sosial masyarakat lereng gunung Merapi dapat diimplementasikan sebagai bentuk
modal sosial dalam upaya penanggulanagn bencana.
Daftar Pustaka
Field, J. (2010). Modal Sosial. Kasihan Bantul: Kreasi Wacana.
Gunawan. (2014). Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Penanggulangan Bencana: Kasus 209
Kearifan Masyarakat Lereng Merapi Bagian Selatan, Kabupaten Sleman – Daerah Istimewa
Yogyakarta, Gunawan Di Kecamatan Cangkringan Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta.
Infprmasi PErmasalahan dan Usaha KEsejahteraan Sosial, Volume 19 No. 2, Mei - Agustus
2014, 91 - 106.
Koentjaraningrat. (1984). Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia.
https://journal.itny.ac.id/index.php/rekaruang/article/download/1586/1118

Anda mungkin juga menyukai