Selain asas tersebut, untuk pendaftaran juga terkait asas bahwa beracara dikenakan
biaya. Pada prakteknya, mekanisme pembayaran diatur ketentuan internal dari
kepaniteraan. yaitu didasarkan pada memo dari kasir pengadilan untuk kemudian
penggugat membayar melalui bank yang ditunjuk.
Secara normatif, pemanggilan harus dilakukan dengan patut, hal itu dibuktikan
dengan adanya pengembalian risalah (relaas) panggilan itu kepada Majelis Hakim.
Pada prakteknya waktu untuk proses pemanggilan sekitar dua sampai empat
pekan bahkan mungkin lebih sejak perkara didaftarkan. Hal yang membuatnya
demikian biasanya karena tergugat yang dipanggil bertempat tinggal di luar
wilayah hukum pengadilan negeri yang memeriksa perkara yang bersangkutan.
Sehingga mekanismenya adalah panggilan dilakukan melalui Ketua Pengadilan
Negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal orang yang dipanggil
tersebut. Contohnya adalah ketika surat gugatan diajukan ke pengadilan dimana
objek sengketa berada, sementara tergugat tidak berada pada yurisdiksi yang sama
dengan lokasi objek tersebut.
Pemanggilan di atas dilakukan oleh juru sita, yaitu dengan menyerahkan surat
panggilan (exploit, berita acara pemanggilan). Kemudian khusus untuk tergugat
selain panggilan juga akan disertai salinan surat gugatan yang diajukan oleh
Penggugat.
Meski demikian, Pasal 150 RBg / Pasal 126 HIR masih memberi kesempatan. Majelis
Hakim memerintahkan kembali juru sita untuk memanggil penggugat satu kali lagi
agar hadir. Selain itu juga memanggil pihak yang sebelumnya telah hadir (tergugat)
untuk menghadap lagi pada hari persidangan berikutnya yang telah ditetapkan
untuk itu. Sehingga Majelis Hakim tidak menjatuhkan putusan pada persidangan
pertama.
Apabila penggugat telah dipanggil kedua kalinya, kemudian penggugat tidak juga
hadir pada persidangan yang telah ditetapkan tersebut, maka hakim akan
menjatuhkan putusan yang intinya menggugurkan gugatan penggugat serta
menghukum tergugat membayar biaya perkara.
2. Apabila tergugat dalam surat jawabannya seperti dimaksud dalam Ps. 145 RBg /
Ps.121 HIR mengajukan sanggahan (eksepsi) terhadap kewenangan pengadilan
negeri itu, maka Majelis Hakim harus mengambil keputusan tentang sanggahan itu
(jika sanggahan itu tidak dibenarkan), mengambil keputusan tentang pokok
perkaranya (tentunya setelah mendengar penggugat), meskipun tergugat tidak
hadir.
Meski ada putusan verstek, namun ada upaya hukum lain untuk melakukan
perlawanan terhadap putusan tersebut. Upaya tersebut dikenal dengan istilah
verzet. Selebihnya tentang verzet akan dibahas tersendiri.
3 Upaya Perdamaian/Mediasi
Terkait upaya perdamaian/mediasi awalnya Pasal 154 RBg / 130 HIR menentukan
bahwa:
1. Apabila pada hari yang telah ditentukan para pihak datang menghadap, maka
pengadilan negeri dengan perantaraan ketua berusaha mendamaikannya.
2. Jika perdamaian dapat dicapai maka di dalam sidang itu juga dibuatkan suatu
akta dan para pihak dihukum untuk menaati perjanjian yang telah dibuat, dan akta
itu mempunyai kekuatan serta dilaksanakan seperti suatu surat keputusan biasa.
3. Terhadap suatu keputusan tetap (akta perdamaian) semacam itu tidak dapat
diajukan banding
Namun pada prakteknya dianggap tidak efektif. Oleh karenanya Mahkamah Agung
mengeluarkan SEMA No. 1 Tahun 2002, yang dalam perkembangannya diganti
dengan PERMA No. 2 Tahun 2003, dan selanjutnya diganti lagi dengan PERMA No. 1
Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
SEMA ini lebih bersifat memaksa (compulsory) hakim, mediator dan para pihak
mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi. Apabila mediasi
berhasil, maka akan dibuatkan akta perdamaian yang menjadi substansi dari
putusan perdamaian. Sedangkan jika mediasi gagal, maka pemeriksaan akan
dilanjutkan dengan proses jawab menjawab, pembuktian, kesimpulan dan putusan
pengadilan.