Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

Macam-Macam Hadits Dari Berbagai Tinjauan


Mata Kuliah : Studi Hadits
Dosen Pengampu : Bapak Dr. Ahmaddin Ahmad Tohar, M.A

Oleh :

- Nelsy Andryana : 11960120834


- Putri Khairunnisa : 11960120072
Kelas : 3E
Jurusan Psikologi
Fakultas Psikologi
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau

KATA PENGANTAR

Puji syukur selalu terpanjatkan kepada kehadirat Allat SWT, Tuhan semesta alam. Yang
mana atas curahan rahmat dan hidayah-Nya lah kami tim penulis mampu menyelesaikan
penulisan makalah ini tepat pada waktunya tanda ada satupun kekurangan. Shalawat beserta
salam tak lupa tim penulis haturkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW, semoga kita
mendapat syafaatnya di yaumul akhir kelak. Ditulisnya makalah yang berjudul “Macam-
Macam Hadits Dari Berbagai Tinjauan” ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Studi Hadist”.

Kemudian tak lupa juga kami mengucapkan banyak terimakasih kepada:

1. Bapak Ahmadin Ahmad Tohar selaku dosen pemgampu mata kuliah Studi Hadist
2. Taman-teman fakultas Psikologi Universita Islam Negri Sultan Syarif Kasim Riau.

`Kami menyadari masih banyak kesalahan dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu,
sangat diharapkan kritik dan saran yang membangun agar kami mampu menyajikan yang
lebih baik lagi. Semoga apa yang kami tulis dalam maklaah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca maupun penulis.

Pekanbaru, 23 November 2020

Tim Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.............................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................1

1.3 Tujuan..........................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................3

2.1 Hadits Ditinjau Dari Sumber Data..............................................................................3

2.2 Hadits Ditinjau Dari Persambungan Sanad.................................................................8

2.3 Hadits Ditinjau Dari Sifat Sanad dan Cara Penyampaian Periwayatannya.................9

BAB III PENUTUP................................................................................................................13

3.1 Kesimpulan................................................................................................................13

3.2 Saran..........................................................................................................................14

DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hadis merupakan salah satu dasar pengambilan hukum Islam setelah alQuran. Sebab
hadis mempunyai posisi sebagai penjelas terhadap makna yang dikandung oleh teks suci
tersebut. Apalagi, banyak terdapat ayat-ayat yang masih global dan tidak jelas Maknanya
sehingga seringkali seorang mufassir memakai hadis untuk mempermudah pemahamannya.
Seiring dengan perkembangan ulumul hadis, maka terdapat beberapa kalangan yang
serius sebagai pemerhati hadis. Hal ini tidak lain bertujuan untuk mengklasifikasikan hadis
dari aspek kualitas hadis baik ditinjau dari segi matan hadis maupun sanad hadis. Sehingga
dapat ditemukan hadis-hadis yang layak sebagai hujjah dan hadis yang tidak layak sebagai
hujjah.
Posisi hadis sebagai sumber hukum. Tidak lain karena adanya kesesuaian antara hadis
dengan teks suci yang ditranmisikan kepada Nabi Muhammad. Bisa juga dikatakan bahwa
hadis merupakan wahyu Tuhan yang tidak dikodifikasikan dalam bentuk kitab sebab lebih
banyak hasil dari proses berpikirnya Nabi dan hasil karya Nabi. Akan tetapi bukan berarti
hadis adalah al-Quran.
Dengan alasan itu maka selayaknya hadis mendapat perhatian yang khusus bagi tokoh
cendekiawan Muslim selain studi al-Quran. Agar khazanah ajaran islam benar-benar
mengakar dengan melakukan kontektualisasi terhadap realitas dimana hadis itu hadir. Dalam
memahami hadis Nabi, realitas mempunyai posisi yang sangat penting. Agar hadis Nabi
mampu mengakomodir segala realitas yang komplek dan beragam. Dengan itu, maka hadis
Nabi tidak akan pernah mati dan terus hidup sampai penutupan zaman. Akan tetapi , dalam
beberapa hal terdapat ciri - ciri tertentu yang spesifik, sehingga dalam mempelajarinya
diperlukan perhatian khusus.
Dalam hadits sendiri terdapat macam-macam hadits dari berbagai tinjauan. Oleh
karenanya, dengan mempelajari materi kali ini kita akan dapat mengetahui apa saja macam
dan contoh hadits dari berbagai tinjauan tersebut. Serta kita semua dapat mendalami berbagai
pengajaran yang dapat dipetik dalam materi makalah kali ini.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja hadits yang ditinjau dari sumber data?
2. Apa saja hadits yang ditinjau dari persambungan sanad?
3. Apa saja hadits yang ditinjau dari sifat sanad dan cara penyampaian
periwayatannya?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa saja hadits yang ditinjau dari sumber data
2. Untuk mengetahui apa saja hadits yang ditinjau dari persambungan sanad
3. Untuk mengetahui apa saja hadits yang ditinjau dari sifat sanad dan cara
penyampaian periwayatannya
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Hadits Ditinjau Dari Sumber Data


1. Hadist Qudsi
Menurut bahasa kata Al-qudsi nisbah dari kata al-quds yang diartikan “suci” (ath-
thaharah dan at-tanzih). Hadis ini dinamakan suci (al-qudsi), karena disandarkan kepada Zat
Tuhan yang Maha Suci. Atau dinisbahkan pada kata Ilah (Tuhan) maka disebut hadis Ilahi
dan atau dinisbahkan kepada Rabb (Tuhan), maka pula Hadis Rabbani. Kata qudsi, sekalipun
diartikan suci hanya merupakan sifat bagi hadis, demikian juga nama Rabbani dan Ilahi.
  Rasulullah kadang-kadang menyampaikan sesuatu berita atau nasihat yang beliau
ceritakan dari Allah, tetapi tidak wahyu yang diturunkan seperti Al-qur’an dan bukan
perkataan yang tegas (sharih) yang nyata-nyata disandarkan kepada beliau yang kemudian
disebut dengan Hadis Nabawi. Berita itu memang sengaja beliau sandarkan kepada Allah
tetapi bukan Al-qur’an. Ia adalah hadis qudsi yang maknanya diterima  dari Allah melalui
ilham atau mimpi sedang reaksinya dari Nabi sendiri.
  Jamaludin Al-Qasimi membagi kalam Allah menjadi tiga, yaitu Al-Qur’an, kitab-
kitab nabi dahulu sebelum ada perubahan-perubahan, dan hadis qudsi.
Hadis qudsi adalah hadis yang diriwayatkan nabi secara ahadi (tidak mutawatir)
sandarannya kepada Allah. Pada umumnya disandarkan pada Allah karena Allah yang
berfirman atau yang memunculkan berita atau terkadang disandarkan kepada Nabi, karena
beliaulah yang memberitahukan dari Allah, berbeda dengan Al-qur’an yang hanya
disandarkan kepada Allah.
Dalam kulliyat Al-biqa’ sebagaimana yang dikutip oleh Al-qasimi tentang perbedaan
antara Al-qur’an dan hadis qudsi, bahwa Al-qur’an lafal dan maknanya dari Allah melalui
wahyu yang jelas jail, sedangkan hadis qudsi lafalnya dari rasulullah dan maknanya dari
Allah melalui ilham atau impian. Ahmad bin Al-Mubarak dalam Al-Ibriz pernah berdialog
secara panjang lebar dengan gurunya Najm Al-Irfan Abdul Aziz Ad-Dibagh sebagaimana
yang dikutip oleh Al-Qasimi tentang perbedaan antara Al-qur’an , hadis qudsi, dan hadis
nabawi.

2. Hadis Marfu’
a. Pengertian
Marfu’ menurut bahasa “yang diangkat” atau “yang ditinggikan”, ialah lawan kata
makhfudh. Ketika membaca dhammah suara dan tenaga lebih terangkat dari pada baris fathah
dan kasrah. Hadis marfu’ adalah hadis yang terangkat sampai kepada Rasulullah. Atau
menunjukkan ketinggian kedudukan beliau sebagai seorang Rasul.
b. Contoh marfu’
1. Contoh marfu’ qawli
Seperti yang diberitakan oleh Abu Sa’id Al-Khudri berkata :
“Telah bersabda Rasulullah: sesungguhnya orang yang beriman itu terhadap
sesamanya, sama dengan keadaan batu tembok, satu dengan yang lain saling mengikat.”
(HR.Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, dan An-Nasa’i)
2. Contoh hadis marfu’ fi’li (pekerjaan yang disandarkan kepada Nabi)  Seperti
perkataan Anas:
Bahwa Nabi membetulkan shaf-shaf kami apabila kami akan shalat. Maka setelah
shaf itu lurus, barulah nabi bertakbir.
3. Contoh hadis marfu’ taqriri
Contoh hadis marfu’ taqriri (persetujuan Nabi) ialah seperti perkataan Ibnu Abbas:
Bahwa kami (para sahabat) bersembahyang dua rakaat setelah terbenamnya matahari
(sebelum shalat Maghrib). Rasulullah melihat pekerjaan kami itu, beliau tidak menyuruh
kami dan tidak mencegahnya. (HR. Muslim)
c. Macam-macam hadis marfu’
Hadis marfu’ ada dua macam :
1. Di-marfu’-kan secara tegas (sharih)
Hadis yang di-marfu’-kan kepada Nabi dengan sharih adalah hadis yang tegas-tegas
dikatakan oleh seorang sahabat bahwa hadis tersebut didengar atau dilihat dan atau disetujui
dari Rasulullah.
2. Di-marfu’-kan secara hukum (hukmi)
Maksudnya, hadis tersebut seolah-olah lahirnya dikatakan oleh seseorang sahabat
(mawqu’flafalnya) tetapi hakikatnya didasarkan kepada Rasulullah (dihukumi marfu’)
misalnya sebagai:
a. Perkataan seorang sahabat tentang suatu masalah yang tidak dapat dicapai dengan
ijtihad seperti perkataan yang berkaitan dengan berita gaib, atau menerangkan pahala
suatu amal.
b. Apabila seorang sahabat membuat sesuatu pekerjaan yang tidak dapat diperoleh
dengan jalan ijtihad, maka perbuatannya itu dipandang hadis marfu’, karena
dipersepsikan, bahwa para sahabat tidak melakukan suatu perbuatan, tanpa ada
tuntunan dari Nabi, pada suatu tuntunan yang tidak mungkin diperoleh dari selain
Nabi.

3. Hadis Mawquf
a. Pengertian
Mawquf menurut bahasa waqaf yang artinya berhenti atau stop. Dalam al-qur'an
terdapat tanda tanda waqaf yang harus di patuhi oleh pembacanya. Menurut pengertian istilah
ulama hadits, ialah:
“segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat baik dari pekerjaan, perkataan,
dan persetujuan, baik bersambung sanadnya maupun terputus.”.
Kata Ibnu Al-Atsar dalam Al-jami’:
Hadits yang dihentikan (sandarannya) pada seorang sahabat tidak bersembunyi bagi
seorang ahli Hadits, yaitu suatu hadits yang disandarkan kepada seseorang sahabat.
Apabila telah sampai kepada seorang sahabat, ia (seorang perawi) berkata: bahwasanya
sahabat berkata begini,atau berbuat begini, atau menyuruh begini.  
Sebagian ulama mendefisinikan hadits mawquf adalah:
Hadits yang disandarkan kepada seorang sahabat, tidak sampai kepada nabi
b. Contoh mawquf
Sebagai penjelasan Di atas bahwa hadits mawquf terdiri dari qawli, fi’li, dan taqriri
contoh mawquf qawli (perkataan), seperti:
         Ali Bin Abi Thalib berkata berbicaralah kepada manusia sesuai dengan apa
yang mereka ketahui, apakah engkau menghendaki Allah dan rasul-nya didustakan? (HR.
Al-Bukhari)
Contoh mawquf fi’li (perbuatan), seperti perkataan Al-Bukhari:
Dan Ummu abbas sedangkan ia bertayammum (HR.Al-Bukhari)
Contoh mawquf taqriri (persetujuan) seperti perkataan sebagian tabi’in:
Aku melakukan begini dan dihadapan salah seorang sahabat dan ia tidak
mengingkariku.
c. Hukum mawquf
Sebagian ulama memasukkan hadits mawquf ke dalam golongan hadits
dha’if.  Menurut beberapa ulama Hadits mawquf sama dengan hadits marfu' yakni ada yang
shahih, ada yang hasan, dan dhaif, Walaupun mawquf shahih pada mulanya tidak dapat
dijadikan hujah, karena ia hanya perkataan atau perbuatan sahabat semata. Tetapi jika
diperkuat oleh sebagian hadits sekalipun dha’if ia dapat dijadikan hujjah sebagaiman hadits
Mursal karena secara substansial perbuatan Sahabat adalah pengamalan sunnah. Demikian
juga terkecuali apabila hadits mawquf dihukumi marfu’ yang disebut dengan marfu’
hukmi. Maksudnya, dilihat dari lafalnya mawquf, tetapi dilihat dari maknanya adalah marfu’
d. Hadits mauquf dinilai marfu'
Sebagaimana keterangan di atas, bawah hadits mawquf tidak dapat dijadikan hujah
kecuali jika hadits tersebut dipandang marfu’ secara hukum. Ada beberapa macam
mawquf  yang dihukumi marfu' yaitu sebagai berikut:
1. Jika seorang perawi menegaskan beberapa kata ketika menyebut nama sahabat
yaitu: Ia mafu’kan hadits kepada nabi, atau ia dibangsakan kepada Nabi, atau ia
sampaikan kepada Nabi dengan riwayat itu, atau ia beritakan secara riwayat dari
Nabi. Misalnya:
Hadits Al-A’raj dari Abu Hurairah secara riwayat (dari Nabi):
“engkau       perangi kaum yang kecil-kecil matanya (hina).” (HR. Al-Bukhari)
2. Perkataan seorang sahabat: kami di perintahkan begini, atau kami dilarang dari
begini, atau diantara sunnah begini.
Misalnya, perkataan sebagian sahabat:
Bilal di perintahkan menggenapkan (kalimat) adzan dan mengganjilkan (kalimat)
iqamat. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Kata Ummi Athiyah:
Kami dilarang mengantarkan jenazah (ke kubur) dan tidak diwajibkan atas kami.
(HR. Al-Bukhari dan Muslim).
3. Sahabat memberitakan, bahwa mereka berkata demikian atau melakukan begini
atau mereka tidak melihat bahaya apa-apa. Maka maka hukum nya ada dua
kemungkinan:
a. Jika disandarkan pada masa Nabi menurut pendapat yang shahih dihukumi
marfu’, seperti perkataan Jabir.
Kami pernah azl pada masa Rasulullah sedang masih turun.   Jikalau hal itu
sesuatu yang dilarang tentu Al-Qura’an melarang kami. (HR. Al-Bukhari dan
Muslim)
b. Jika tidak disandarkan kepada masa Nabi jumhur berpendapat mawquf.
Seperti perkataan Jabir.
Kami ketika naik membaca takbir dan ketika turun membaca tasbih. (HR. Al-
Bukhari)
4. Perkataan sahabat yang bukan di wilayah ijtihat dan tidak ada kaitan dengan
penjelasan etimologi atau penjelasan Gharib (kalimat asing yang sulit di kenal
maknanya). Misalnya:
a. Pemberitaan tentang peristiwa yang lewat, seperti tentang kejadian makhluk.
b. Pemberitaan hal-hal yang akan terjadi, seperti peperangan, fitnah dan keadaan
hari kiamat.
c. Pemberitaan tentang pahala dan siksaan khusus bagi suatu perbuatan,
Misalnya, perkataan sahabat: barang siapa yang melakukan begini akan
mendapatkan pahala begini.
5. Perbuatan sahabat yang bukan di wilayah ijtihat, seperti shalat nya Ali    pada
shalat gerhana matahari setiap rakaat lebih dari dua ruku’
6. Penafsiran sahabat yang berkaitan dengan sebab nuzulnya suatu ayat, seperti
perkataan Jabir.
Orang yahudi berkata: Barang siapa yang mendatangi istrinya dari belakabg
pada jalan depan, maka anaknya jereng matanya. Kemudian turun ayat: Wanita-
wanita (istri-istri) kamu bagaikan lading bagimu….  (HR. Muslim)

4. Hadis Matqhu’
a. Pengertian 
Menurut bahasa kata maqthu’ berarti terpotong atau terputus lawan dari mawshul
yang berarti bersambung. Kata terputus di sini dimaksudkan tidak sampai kepada Nabi ia
hanya sampai kepada tabi’in saja, Menurut istilah hadits maqthu’ adalah sebagai berikut:
Adalah sesuatu yang disandarkan kepada seorang tabi’in atau orang setelahnya baik
dari perkataan atau perbuatan.
Lebih luas lagi didefinisikan sebagai berikut:
Sesuatu yang disandarkan kepada seorang tabi’in dan orang setelahnya dari pada
tabi’in tabi’in kemudian orang-orang setelah mereka baik berupa perkataan atau perbuatan
dan sesamanya.
b. Contoh hadits maqthu’
Contoh hadits maqthu’ qawli (dalam bentuk perkataan) seperti kata Al-Hasan Al-
Basri tentang shalat dibelakang ahli bid'ah:
Shalatlah dan bid’ah nya atasnya (HR. Al-Bukhari)
Contoh maqthu’ fi’li (dalam bentuk perkataan) sebagaimana perkataan Ibrahim bin
Muhammad bin Al-Muntasyir:
Masruq memanjangkan selimut antara dia dan istrinya meneriman shalatnya,
bersunyi dari mereka dan dunia mereka.
c. Kehujahan maqthu’
Hadits maqthu’ Tidak dapat dijadikan hujah dalam hukum syara’ sekalipun shahih
karena ia bukan yang datang dari Nabi. ia hanya perkataan atau perbuatan sebagian atau salah
seorang umat Islam. Tetapi jika di sana ada bukti-bukti kuat yang menunjukkan
kemarfu’annya, maka dihukumi marfu’ mursal misalnya perkataan sebagian periwayat ketika
menyebut tabi’in ia katakana:  ia marfu’kannya. Atau dalam ungkapan  lain dapat dikatakan,
perkataan tabi’in terkadang dipandang sebagai perkataan sahabat, apabila berkata disebut
semata tidak dapat diperoleh melalui ijtihad, sebagaimana perkataan sahabat yang  dipandang
tidak dapat diijtihadkan juga dipandang sebagai perkataan Nabi sendiri.
d. Kitab - kitab hadits mawquf dan maqthu’
Diantara kitab yang dipandang banyak hadits mawquf dan maqthu’ adalah sebagai
berikut:
1.   Mushannaf  Abi syaybah.
2.   Mushannaf ‘Abd Ar-Razzaq.
3.   Tafsir Ibn Jarir, Ibn Hatim, dan Ibn Al-Mundzir.
2.2 Hadits Ditinjau Dari Persambungan Sanad
1. Hadits Muttashil /Mawshul

ِ َّ‫صااًل فَه َُو ُمت‬


Dari segi bahasa Muttashil isim fa’il dari kata ‫ص ٌل‬ َ َّ‫ص ُل ات‬
ِ َّ‫ص َل يَت‬
َ َّ‫ ات‬artinya yang
bersambungan antonim dari munqathi’ yaitu yang terputus. Sebagian ulama menyebut hadis
mawshul isim maf’ul dari kata ‫ وصل يصل وص[ال وموص[وال‬artinya bersambung. Dalam istilah
hadis muttashil atau mawshul adalah:

‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أ َّم َموْ قُوْ فًا‬


َ ‫َما اتّصل َسنَ ُدهُ إلَى غَايَتِ ِه َس َوا ٌء أكانَ َموْ فُوْ عًا إلَى ال َّرسُوْ ِل‬

Sesuatu yang bersambung sanadnya sampai akhir, baik marfu’ disandarkan kepada Nabi Saw
maupun mawquf (disandarrkan kepasa seorang sahabat).

Hadits muttashil/mawshil adalah hadis yang bersambung sanadnya , baik


periwanyatan itu datang dari nabi ataupun dari seorang sahabat bukan dari tabi’in. Jika
disandarkan kepada tabi’in sekalipun bersambung sanadnya tidak dinamakan muttashil atau
mawshul. Menurut Al-Iraqi , perkataan tabi’in sekalipun bersambung sanadnya tidak disebut
muttashil secara mutlak, kecuali disertai batasan (taqyid) , misalnya : “ini muttashil kepada
Sa’id bin Al-Musayyab atau kepada Az-Zuhri dan atau kepada Malik dan seterusnya.

Contoh: al-Muttashil al-Marfu’

َ‫ َكذا‬:‫ال‬ َ ِ ‫ك ع َْن ا ْب ِن ِشهَاب ع َْن َسالِ ِم ْب ِن َع ْب ِد هَّللا ِ ع َْن أَبِي ِه ع َْن َرسُو َل هَّللا‬
َ َ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ق‬ ٌ ِ‫… َمال‬

”(Imam) Malik dari Ibnu Syihab dari Salim bin ‘Abdillah dari bapaknya dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:”Seperti ini…”

2. Hadits Musnad

Dari segi bahasa kata musnad dari kata‫ أس[[ند‬dengan makna ‫ أض[[اف أو نسب‬artinya
menyandarkan, menggabungkan, atau menisabkan ‫ مس[[ند‬artinya disandarkan, digabungkan
atau dinisabkan. Menurut istilah Hadis Musnad adalah:

‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬


َ ‫ص َل َسنَ ُدهُ َمرْ فَوْ عًا إلَى النَّبِ ِّي‬
َ ّ‫َما ات‬

Sesuatu yang bersambung sanadnya dan marfu’ disandarkan kepada Nabi Saw.

Dari definisi di atas jelas, bahwa hadits musnad adalah hadits yang bersambung
sanadnya dari awal sampai akhir, tetapi snadaranya hanya kepada nabi tidak pada sahabat dan
tidak pula pada tabi’in . Perbedaannya terletak pada sandarannya , jika muttashil/mawshul
sandarannya bisa kepada nabi dan bisa kepada seorang sahabat , sedang musnad sandaranya
hanya kepada nabi ( marfu). Misalnya hadits periwayatan al-bukhori, dia berkata:
memberitakan kepada kami Abdullah bin Yusuf dari Malik dari Abu Az-Zanad dari Al-
A’araj dari Abu Hurairah berkata :

Sesungguhnya rasululloh bersabda :

‫أح ِد ُك ْم فَ ْليَ ْغ ِس ْلهُ َس ْبعًا‬


َ ‫ب ال َك ْلبُ فِ ْي إنَا ِء‬
َ ‫إِ َذا َش ِر‬

Jika anjing minum pada bejana slah satu kamu, maka basuhlah sebanyak tiga kali.(HR.Al-
Bukhari)

2.3 Hadits Ditinjau Dari Sifat Sanad dan Cara Penyampaian Periwayatannya

1. Hadits Mu’an’an

Dari segi bahasa mu’an’an adalah isim maf’ul dari ‘an’ana-yu’an’inu yang berarti
dari. Menurut istilah, hadits mu’an’an adalah hadits yang disebutkan dalam sanadnya
diriwayatkan oleh si Fulan dari si Fulan, dengan tidak menyebutkan perkataan
memberitakan, menggambarkan, dan atau mendengar.
Contoh hadits mu’an’an adalah : Memberitakan kepada kami Al-Hasan bin Arafah,
memberitakan kepada kami isma’il bin iyasy dari yahya bin Abu Amru Asy-Syaybani dari
Abdullah bin Ad-Daylami berkata : Aku mendengar Abdullah bin Amr, aku mendengar
Rasulullah saw bersabda : Sesungguhnya Allah swt menciptakan makhluk-Nya dalam
keadaan gelap (kebodohan), kemudian dia sampaikan kepada mereka di antara cahaya-Nya.

Para ulama berbeda pendapat tentang hadist ini. Diantara mereka ada yang
berpendapat bahwa hadist ini tergolong munqathi’ (terputus sanad-nya) atau mursal berarti
dihukumi da’if, tidak dapat diamalkan sehingga ada penjelasan ke-muttashil-annaya.

2. Hadits Muannan

Menurut bahasa, kata muannan berasal dari kata annana-yuanninu yang berarti
menggunakan kata anna dan anna yang berarti bahwasanya, sesungguhnya. Menurut istilah,
hadits muannan adalah hadits yang dikatakan dalam sanadnya memberitakan kepada kami
bahwasanya si Fulan memberitakan kepadanya begini.
Contoh hadits muannan adalah : memberitakan Malik dari Ibnu Syihab bahwasanya
Sa’id bin Al-Musayyab berkata begini.

Di kalangan ulama terjjadi perbedaan pendapat tentang hukum hadits muannan, di


antara mereka berpendapat hadits muannan tergolong munqathi’ sehingga ad penjelasan
bahwa ia mendengar berita tersebut melalui jalan sanad lain, atau ada indikator lain yang
menunjukkan bahwa ia menyaksikan dan mendengarkannya.

3. Hadits Musalsal

Menurut bahasa, musalsal berasal dari kata salsala-yusalsilu yang berarti berantai dan
bertali-temali. Hadits ini dinakamakan musalsal karena ada kesamaan dengan rantai (silsilah)
dalam segi pertemuan masing-masing perawi, atau ada kesamaan dalam bagian-bagiannya.

Menurut istilah musalsal adalah keikutsertaan para perawi dalam sanad secara
berturut-turut pada suatu sifat atau pada satu keadaan, terkdang bagi para perawi dan
terkadang bagi perawinya.

Dari definisi diatas musalsal dapat dibagi kepada beberapa macam, yaitu sebagai
berikut :

a). Musalsal keadaan perawi (Musalsal bi Ahwaal Ar-Ruwaat). Adalah keadaan perawi
terkadang dalam perkataan qawlii, perbuatan fi’li, atau keduanya (perkataan dan perbuatan)

- contoh musalsal qawlii adalah : Hadits Mua’adz bin Jabal, bahwasanya Nabi saw bersabda
kepadanya : Hai Mu’adz sesungguhnya aku mencintaimu, maka katakanlah pada setiap
setelah shalat : Ya Allah Tolonglah aku untuk dzikir kepada-Mu, syukur kepada-Mu, dan
baik dalam ibadah kepada-Mu.

-contoh musalsal fi’li adalah : Hadits Abu Huraira dia berkata : Abu Al-Qasim (Nabi) saw
memasukkan jari-jari tngannya kepada jari-jari tanganku (jari-jemari) bersabda : “Allah
menciptakan bumii pada hari Sabtu.”

- contoh musalsal qawlii dan fi’li sekaligus adalah : Hadits Anas bin Malik ra berkata :
Rasulullah saw bersabda : “seorang hamba tidak mendapatkan manisnya iman sehingga
beriman kepada ketentuan Allah (Qadar), baik dan buruk, manis dan pahitnya,” Rasulullah
sambil memegang jenggot dan bersabda : “Aku beriman pada ketentuan Allah (qadar), baik
dan buruk, manis dan pahitnya.”

b). Musalsal sifat periwayat (Musalsal bi Shiifat Ar-Ruwaahl). Adalah Musalsal yang dibagi
menjadi qawlii dan fi’li.

- contoh musalsal qawlii adalah : Bahwasanya sahabat bertanyya pada Rasulullah saw tentang
amal yang disukai Allah swt agar diamalkan, maka nabi mebacakan mereka surah Ash-Shaff.

- contoh musasal fi’li adalah Hadits Ibnu Umar secara marfuu’ : penjual dan pembeli boleh
mengadakan khiyaar (memilih jadi atau tidak)

c). Musalsal dalam sifat periwayatan (Musalsal bi Shifaat Ar-Riwaayah). Dalam Musalsal
jenis ini terbagi menjadi tiga macam, yaitu musalsal dalam bentuk ungkapan penyampaian
periwayatan (adaa’) musalsal pada waktu periwayatan, dan musalsal pada tempat
periwayatan.

Terkadang hadits menjadi musalsal dari awal sampai akhir dan terkadang sebagian
musalsal terputus di permulaan atau di akhir. Oleh karena itu, Al-Iraqi berkata : “sedikit
sekali hadits musalsal yang selamat dari kedha’ifan,” dimaksudkan disini sifat musalsal,
bukan pada asal matan karena sebagian matan shahih. Ibnu Hajar berkata : “Musalsal yang
paling shahih di dunia adalah musalsal hadits membaca surah Ash-Shaff.

Adapun kitab-kitab yang membahas hadits musalsal adalah : Al-Musalsalaat, Al-


Kubra karya As-Suyuthi, membuat 85 buah hadits, Al-Manaahil As-salsalah fii Al-Ahaadiits
Al-Musalsalah, karya Muhammad Abdul Baqi Al-Ayyubi, mengandung sebanyak 212 hadits,
Al-Musalsalaat, karya Al-Hafizh Ismail bin Ahmad bin Al-Fadhal At-Taymi (w.535 H).
BAB III PENUTUP

2.2 Kesimpulan

Hadis merupakan salah satu dasar pengambilan hukum Islam setelah alQuran. Sebab
hadis mempunyai posisi sebagai penjelas terhadap makna yang dikandung oleh teks suci
tersebut. Seiring dengan perkembangan ulumul hadis, maka terdapat beberapa kalangan yang
serius sebagai pemerhati hadis. Hal ini tidak lain bertujuan untuk mengklasifikasikan hadis
dari aspek kualitas hadis baik ditinjau dari segi matan hadis maupun sanad hadis.

Dalam hadits sendiri terdapat macam-macam hadits dari berbagai tinjauan. Macam-
macam hadits ini meliputi, hadits yang ditinjau dari sumber data, hadits yang ditinjau dari
persambungan sanad, dan hadits yang ditinjau dari sifat sanad dan cara penyampaian
periwayatannya.
Dalam hadits yang ditinjau dari sumber data, terbagi menjadi empat bagian, yaitu
Hadist Qudsi (hadis yang diriwayatkan nabi secara ahadi (tidak mutawatir) sandarannya
kepada Allah), hadits Marfu’ (hadis yang terangkat sampai kepada Rasulullah, atau
menunjukkan ketinggian kedudukan beliau sebagai seorang Rasul), hadits Mauquf (segala
sesuatu yang disandarkan kepada sahabat baik dari pekerjaan, perkataan, dan persetujuan,
baik bersambung sanadnya maupun terputus), dan hadits Matqhu (Sesuatu yang disandarkan
kepada seorang tabi’in dan orang setelahnya dari pada tabi’in tabi’in kemudian orang-orang
setelah mereka baik berupa perkataan atau perbuatan dan sesamanya).
Ada dua macam hadits yang ditinjau dari persambungan sanad yaitu Hadits
muttashil/mawshil (hadis yang bersambung sanadnya , baik periwanyatan itu datang dari nabi
ataupun dari seorang sahabat bukan dari tabi’in) dan hadits musnad (hadits yang bersambung
sanadnya dari awal sampai akhir, tetapi sandaranya hanya kepada nabi tidak pada sahabat dan
tidak pula pada tabi’in).
Dan terakhir yaitu hadits yang ditinjau dari sifat sanad dan cara penyampaian
periwayatannya terbagi menjadi tiga macam, yaitu hadits Mu’an’an (hadits yang disebutkan
dalam sanadnya diriwayatkan oleh si Fulan dari si Fulan, dengan tidak menyebutkan
perkataan memberitakan, menggambarkan, dan atau mendengar), hadits Muannan (hadits
yang dikatakan dalam sanadnya memberitakan kepada kami bahwasanya si Fulan
memberitakan kepadanya begini), dan hadits Musalsal (hadist yang keikutsertaan para perawi
dalam sanad secara berturut-turut pada suatu sifat atau pada satu keadaan, terkdang bagi para
perawi dan terkadang bagi perawinya).

2.3 Saran

Tentunya makalah ini banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu,
penulis sangat mengharapkan kririk dan sarannya dari pembaca. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca dan mudah-mudahan dapat dijadikan
referensi untuk menambah khasanah keilmuan kita. Amin…
DAFTAR PUSTAKA

khan, a. m. (2013). ulumul hadits edisi kedua. Jakarta: AMZAH.

kholiq, A. (2013). CEMAL-CEMIL”HADIS NABI UNTUK REMAJA". Yogyakarta: PT. BENTANG PUSTAKA.

Solahudin, d. (2008). ULUMUL HADIS. BANDUNG: CV. PUSAKA SETIA.

Anda mungkin juga menyukai