PATOFISIOLOGI, FARMAKOLOGI,
1. MUNAWARAH
2. NERIYANTI
3. NOVIA MARSITA
4. NUR AMELLIA
5. NUR JANNAH
6. NURHALIMAH
7. NURHIDAYAH
i
Daftar Isi
Contents
COVER...........................................................................................................................................................i
Daftar Isi......................................................................................................................................................ii
KATA PENGANTAR......................................................................................................................................iii
BAB 1...........................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................................4
C. Tujuan..............................................................................................................................................5
BAB II...........................................................................................................................................................7
TELAAH PUSTAKA........................................................................................................................................7
A. Anatomi Abdomen...........................................................................................................................7
B. Definisi.............................................................................................................................................9
C. Etiologi.............................................................................................................................................9
D. Patofisiologi...................................................................................................................................13
E. Klasifikasi.......................................................................................................................................14
F. Manifestasi Klinis...........................................................................................................................23
G. Penatalaksanaan Trauma Tumpul..................................................................................................24
H. Pemeriksaan fisik...........................................................................................................................29
I. Pemeriksaan Penunjang................................................................................................................37
J. Asuhan Keperawatan.....................................................................................................................43
BAB III........................................................................................................................................................57
PENUTUP...................................................................................................................................................57
A. Kesimpulan....................................................................................................................................57
B. Saran..............................................................................................................................................57
Daftar Pustaka
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Atas rahmat dan hidayahnya sehingga makalah
ini dapat terselesaikan dengan baik, Shalawat serta salam semoga selalu terhaturkan kepada
junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, Para Keluarga,Sahabatnya dan para
pengikutnya yang tetap istiqamah hingga akhir Zaman. Dan tidak lupa mengucapkan terima
kasih kepada Dosen-Dosen yang telah memberi kami Masukan dan arahan sehingga makalah
ini dapat terselesaikan.
Makalah ini disusun sebagai tugas dari mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat
yang tak lain adalah sebagai syarat untuk kelulusan mata kuliah tersebut.
Penulis mengharapkan adanya saran dan masukan dari pembaca demi kesempurnaan
Makalah ini bila dalam makalah ini terjadi kesalahan yang tidak diketahui oleh penulis. Dan
mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca baik itu sebagai acuan maupun
sebagai masukkan dan juga semoga makalah ini dapat bermanfaat pula bagi penulis.
Kelompok 5
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
mortalitas yang tinggi. Diagnostik dan manajemen masih menjadi tantangan para ahli
bedah di seluruh dunia. Berkembangnya modalitas untuk diagnostik dan terapi saat
ini, menurunkan angka mortalitas pasien trauma abdomen (Costa et al., 2010).
Trauma abdomen merupakan salah satu penyebab kematian ke-3 pada pasien trauma,
dan ditemukan sekitar 7–10% dari jumlah seluruh kasus trauma. Klasifikasi trauma
abdomen berdasarkan jenis trauma dibagi menjadi dua yaitu trauma tajam (penetrans)
dan trauma tumpul (blunt trauma). Angka kejadian trauma tumpul abdomen
didapatkan sekitar 80% dari keseluruhan trauma abdomen. Saat ini ada beberapa
mempermudah alur penanganan pasien di ruang gawat darurat (Jansen, Yule and
Loudon, 2008).
Trauma tumpul abdomen tidak hanya terjadi akibat trauma langsung, tetapi
juga oleh cedera deselerasi. Cedera intraabdomen yang parah mungkin terjadi
meskipun tidak ada tanda klinis trauma yang terlihat dari luar(Mehta, Babu and
Venugopal, 2014). Hal ini menyebabkan pentingnya evaluasi secara lengkap dan tepat
pasien yang mengalami trauma dengan energi yang tinggi, termasuk pemeriksaan
fisik secara menyeluruh, penggunaan modalitas diagnostik yang tepat, dan tindak
lanjut yang benar. Sebuah studi di Amerika menyebutkan bahwa prediksi klinis yang
4
terdiri dari hipotensi, nilai GCS (Glasgow Comma Scale) kurang dari 14, patah tulang
iga, nyeri perut, fraktur femur, hematuria > 25 RBC/hpf, tingkat hematokrit kurang dari
30%, dan radiografi toraks yang abnormal dapat digunakan untuk evaluasi dalam
tanpa variabel ini memiliki risiko sangat rendah mengalami cedera intra- abdomen,
GCS, tekanan nadi, frekuensi pernafasan dan nilai RTS (Revised Trauma Score) telah
al., 2012). Pemilihan penunjang diagnosis di awal merupakan hal yang sangat penting
dalam manajemen trauma tumpul abdomen. Studi lain juga mengungkapkan bahwa
pemeriksaaan fisik abdomen yang tidak normal, adanya cedera thoraks dan gross
fisik merupakan bagian penting saat evaluasi awal pasien dengan truma tumpul
abdomen. Keadaan lain dimana pemeriksaan fisik tidak bisa diandalkan pada evaluasi
trauma tumpul abdomen adalah pasien yang mengkonsumsi alkohol atau narkotika,
intraabdomen pada pasien yang mengalami trauma dengan energi yang tinggi, seperti
: jatuh dari ketinggian lebih dari 10 kaki, terlempar dari kendaraan, kecelakaan ditabrak
dari sepeda motor, fraktur mayor atau fraktur tulang panjang atau pelvis karena trauma,
fraktur tulang rusuk pertama, fraktur tulang rusuk bagian bawah, dan adanya Seat belt
signifikan pada pemeriksaan fisik awal. Untuk itu pemeriksaan fisik harus diulang
secara serial oleh pemeriksa yang sama. Disamping itu modalitas pmeriksaan penunjang
untuk diagnostik harus dilakukan segera sesuai prosudur rumah sakit dan ketersediaan
berhubungan dengan cedera intraabdomen, seperti : fraktur tulang iga, fraktur pelvis,
Amerika menyatakan bahwa parameter dari pemeriksaan fisik, FAST, foto toraks, dan
sangat berhubungan dengan cedera toraks(José Gustavo Parreira and Juliano Mangini
B. Rumusan Masalah
PENDAHULUAN
A. Anatomi Abdomen
Abdomen adalah bagian tubuh yang berbentuk rongga terletak diantara toraks
dan pelvis. Rongga ini berisi viscera dan dibungkus dinding abdomen yang terbentuk
dari dari otot abdomen, columna vertebralis, dan tulang ilium. Untuk membantu
menetapkan suatu lokasi di abdomen, yang paling sering dipakai adalah pembagian
abdomen oleh dua buah bidang bayangan horizontal dan dua bidang bayangan
setinggi tulang rawan iga kesembilan, yang bawah setinggi bagian atas crista iliaca
dan dua bidang lainnya vertikal di kiri dan kanan tubuh yaitu dari tulang rawan iga
inguinalis sinistra.
hati.
fleksura lienalis kolon, bagian proksimal ginjal kiri dan kelenjar suprarenal
kiri.
danureter kanan.
uterus (padakehamilan).
9. Inguinalis sinistra meliputi organ: kolon sigmoid, ureter kiri dan ovariumkiri.
organ mana yang kemungkinan mengalami cedera jika dalam pemeriksaan fisik
Untuk kepentingan klinis rongga abdomen dibagi menjadi tiga regio yaitu :
peritoneal atas, yang ditutupi tulang tulang thorax, termasuk diafragma, liver, lien,
gaster dan kolon transversum. Area ini juga dinamakan sebagai komponen
halus, sebagian kolon ascenden dan descenden, kolon sigmoid, caecum, dan organ
abdominalis, vena cava inferior, sebagian besar duodenum, pancreas, ginjal, dan
tulang pelvis yang pada dasarnya adalah bagian bawah dari rongga peritoneal dan
retroperitoneal. Berisi rektum, kandung kencing, pembuluh darah iliaka, dan organ
B. Definisi
terletak diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau yang
Trauma abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen yang
C. Etiologi
ketika tubuh klien terpukul setir mobil atau benda tumpul lainnya.
Trauma akibat benda tajam umumnya disebabkan oleh luka tembak yang
menyebabkan kerusakan yang besar didalam abdomen. Selain luka tembak, trauma
abdomen dapat juga diakibatkan oleh luka tusuk, akan tetapi luka tusuk sedikit
Trauma tumpul abdomen atau blunt abdominal trauma (BAT) terjadi ketika
terdapat energi yang mengenai dinding abdomen dan tidak menyebabkan luka
terbuka, biasanya disebabkan oleh tabrakan bermotor, olah raga, jatuh dan
penganiyaan fisik. Trauma biasanya merusak bagian viseral dan struktur lain
kompresi terjadi akibat hantaman secara langsung pada objek yang tetap. Contoh :
sabuk pengaman dan roda setir). Cedera gaya deselerasi antara objek yan relatif
diam dan objek bebas menyebabkan cedera berupa pergeseran atau perobekan ,
bagian dari jaringan terus bergerak ke depan sementara bagian yang lain tetap
Kompresi ini dapat merusak organ padat maupun organ berongga, bisa
(shearing injury) terhadap organ visera terjadi bila suatu alat pengaman (misalnya
seat-belt) tidak digunakan dengan benar. Pasien yang cedera pada suatu tabrakan
yang berongga dapat pula diakibatkan oleh tekanan intraluminer yang tiba-tiba
meninggi. Organ yang rusak yang berlawanan dengan arah trauma, terutama pada
didapatkan umumnya merupakan organ solid, terutama limpa dan hati dimana
kedua organ ini dapat menyebabkan perdarahan intra abdomen. Sedangkan untuk
organ berongga cukup jarang terjadi, dan seringnya dihubungkan dengan seat-belt
atau deselerasi kecepatan tinggi. (Costa et al., 2010). Kunci sukses penanganan
2. Trauma tembus
besar didalam abdomen. Selain luka tembak, trauma abdomen dapat juga
diakibatkan oleh luka tusuk, akan tetapi luka tusuk sedikit menyebabkan trauma
saraf dan vaskular. Pecahnya dan robeknya pembuluh darah akan menyebabkan
pelepasan mediator nyeri seperti histamin, bradikinin, dan kalium yang bergabung
dengan lokasi reseptor di nosiseptor (reseptor yang berespon terhadap stimulus
yang berbahaya) untuk memulai transmisi neural. Impuls saraf yang dihasilkan
kecepatan tinggi akan menyebabkan transfer energi kinetik yang lebih besar
terhadap organ visera, dengan adanya efek tambahan berupa temporary cavitation,
Kerusakan dapat berupa perdarahan bila mengenai pembuluh darah atau organ
yang padat. Bila mengenai organ yang berongga, isinya akan keluar ke dalam
peluru oleh organ tulang, maupun efek pecahan tulangnya. Organ padat akan
mengalami kerusakan yang lebih luas akibat energi yang ditimbulkan oleh peluru
Infeksi masih merupakan risiko terbesar pada korban dengan luka tusuk
abdomen. Mortalitas terjadi pada 30% korban luka tusuk abdomen yang menderita
infeksi abdomen mayor. Faktor risiko paling penting adalah adanya cedera pada
organ berongga, dimana luka pada kolon menyebabkan insidensi infeksi tertinggi
relatif terhadap cedera organ intraabdomen. Cedera pada pankreas dan hati secara
antibiotik
D. Patofisiologi
dengan mekanisme trauma yang terjadi. Pasien yang mengalami trauma dengan
energi yang tinggi akan mengalami goncangan fisik yang berat sehingga
menyebabkan cedera organ. (Mehta, Babu and Venugopal, 2014). Ada beberapa
mekanisme cedera pada trauma tumpul abdomen yang dapat menyebabkan cedera
2. Cedera avulsi yang diakibatkan oleh gaya deselerasi pada kecelakaan dengan
kecepatan tinggi atau jatuh dari ketinggian. Gaya deselerasi dibagi menjadi
peregangan pada struktur-struktur organ yang terfiksir seperti pedikel dan ligamen
berongga. Berat ringannya perforasi tergantung dari gaya dan luas permukaan
4. Laserasi organ intraabdomen yang disebabkan oleh fragmen tulang (fraktur pelvis,
limpa, ginjal dan pankreas. Pola injuri pada trauma tumpul abdomen sering
disebabkan karena kecelakaan antar kendaraan bermotor, pejalan kaki yang ditabrak
kendaraan bermotor, jatuh dari ketinggian dan pemukulan dengan benda tumpul.
Trauma tumpul abdomen terjadi karena kompresi langsung abdomen dengan objek
padat yang mengakibatkan robeknya subscapular organ padat seperti hati atau limpa.
Bisa juga karena gaya deselerasi yang menyebabkan robeknya organ dan pembuluh
darah pada regio yang terfiksir dari abdomen (hati atau arteri renalis). Atau bisa
menyebabkan cedera organ berongga (usus halus). Trauma tumpul abdomen yang
mayoritas sering mengenai organ limpa sekitar 40% - 55%, hati 35% - 45% dan usus
E. Klasifikasi
kompresi ataupuncrush injury terhadap organ viscera. Hal ini dapat merusak
organ padat maupun organ berongga, dan bisa mengakibatkan ruptur, terutama
viscera sebenarnya adalah crush injury yang terjadi bila suatu alat pengaman
(misalnya seat belt jenis lap belt ataupun komponen pengaman bahu) tidak
digunakan dengan benar. Pasien yang cedera pada suatu tabrakan motor bisa
mengalami trauma decelerasi dimana terjadi pergerakan yang tidak sama antara
suatu bagian yang terfiksir dan bagian yang bergerak, seperti rupture lien ataupun
ruptur hepar (organ yang bergerak) dibagian ligamentnya (organ yang terfiksir).
paling sering kena adalah lien (40-55%), hepar (35-45%), dan usus (5-10%).
kecepatan tinggi akan menyebabkan transfer energi kinetik yang lebih besar
lainnya. Luka tusuk tersering mengenai hepar (40%), usus halus (30%), diafragma
(20%), dan colon (15%). Luka tembak menyebabkan kerusakan yang lebih besar,
yang ditentukan oleh jauhnya perjalanan peluru, dan berapa besar energy
kinetiknya maupun kemungkinan pantulan peluru oleh organ tulang, maupun efek
pecahan tulangnya. Luka tembak paling sering mengenai usus halus (50%), colon
Trauma pada abdomen dibagi lagi menjadi 2 yaitu trauma pada dinding abdomen
menjadi dua yaitu organ padat dan organ berongga. Yang termasuk dalam
organ padat yaitu: hati, mesenterium, ginjal, limpa, pankreas, buli buli, organ
rectum), ureter, dan saluran empedu. Beberapa cedera organ yang sering
terjadi pada pasien yang mengalami trauma tumpul abdomen antara lain:
1. Cedera Hati/Hepar
selain organ limpa. Cedera organ hati paling utama disebabkan karena
capsule. Cedera organ hati umumnya cedera akibat trauma tumpul. Hati
Salah satu studi retrospective yang pernah dilakukan pada tahun 1992-
takikardi, penurunan jumlah urine, tekanan vena sentral yang rendah, dan
saluran empedu, selain nyeri dan adanya rigiditas abdomen, juga disertai
mual dan muntah. Pada trauma tumpul abdomen dengan cedera hati
sering ditemukan adanya fraktur tulang iga kanan bawah yaitu tulang iga
trauma tumpul. Kadar enzim hati yang meningkat dalam serum darah
kanan atas disertai adanya jejas setelah terjadi trauma merupakan gejala
yang sering terjadi. Nyeri tekan dan defans muskuler tidak akan tampak
pada pasien dengan trauma hati berat, dan digunakan untuk monitor
2. Cedera Limpa/Lien
Sejajar bagian posterior iga 9, 10, 11 dan terpisah dari diaphragma dan
pleura(Sander, 2015).
Limpa atau lien merupakan organ yang sering cedera pada saat
terletak tepat di bawah rangka thorak kiri, tempat yang rentan untuk
infeksi yang ada di dalam tubuh dan menyaring semua material yang
tidak dibutuhkan lagi dalam tubuh seperti sel tubuh yang sudah rusak.
Limpa juga memproduksi sel darah merah dan berbagai jenis dari sel
pada abdomen kiri atas atau abdomen kiri bawah. Kejadian yang
pada ada tidaknya organ lain yang ikut cedera, banyak sedikitnya
pada limpa yaitu : riwayat trauma abdomen yang jelas, diikuti oleh
menyerupai tumor intra abdomen bagian kiri atas yang nyeri apabila di
bahu kiri yang disebut Kehr sign. Ciri diagnostik lain termasuk:
peningkatan atau penurunan hematokrit, leukositosis lebih dari 15.000,
umum yang ditunjukkan oleh pasien trauma limpa adalah nyeri (90%)
juga dengan ditemukan adanya fraktur tulang iga IX dan X kiri, atau
nyeri abdomen kuadran kiri atas. Tanda peritoneal seperti nyeri tekan
hipotensi dan nyeri pada abdomen kuadran kiri atas setelah trauma,
3. Cedera usus
Perdarahan pada usus besar dan usus halus akan diikuti dengan gejala
Venugopal, 2014)
4. Cedera Ginjal
ginjal. Trauma ginjal terjadi sekitar 1%-5% dari total seluruh trauma.
namun sebagian besar trauma ginjal bersifat ringan dan dapat dirawat
kasus kecelakaan lalu lintas, terjatuh dari ketinggian, cedera saat olahraga
atau laserasi dan hematoma pada regio flank, lower thorax dan upper
tulang iga bawah, atau distensi abdomen setelah trauma dapat dicurigai
lurus dengan beratnya trauma ginjal. Bahkan untuk trauma ginjal yang
al., 2005).
5. Cedera Pankreas
tinggi. Pasien dapat memperlihatkan gejala nyeri pada bagian atas dan
6. Cedera Ureter
morbiditas dan mortalitas. Trauma ureter sering tidak dikenali pada saat
tingkat kecurigaan tertinggi lebih kepada trauma dengan gejala yang lebih
jelas. Pilihan terapi yang tepat tergantung pada lokasi, jenis trauma, waktu
F. Manifestasi Klinis
1. Trauma tembus abdomen (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga
peritonium):
a. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
b. Respon stres simpatis
c. Perdarahan dan pembekuan darah
d. Kontaminasi bakteri
e. Kematian sel
Jika abdomen mengalami luka tusuk, usus yang menempati sebagian besar
rongga abdomen akan sangat rentan untuk mengalami trauma penetrasi. Secara
umum organ-organ padat berespon terhadap trauma dengan perdarahan.
Sedangkan organ berongga bila pecah mengeluarkan isinya dalam hal ini bila usus
pecah akan mengeluarkan isinya ke dalam rongga peritoneal sehingga akan
mengakibatkan peradangan atau infeksi
2. Trauma tumpul abdomen (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga
peritonium) ditandai dengan:
a. Kehilangan darah.
b. Memar/jejas pada dinding perut.
c. Kerusakan organ-organ.
d. Nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding perut.
e. Iritasi cairan usus.
Menurut Scheets, secara umum seseorang dengan trauma abdomen menunjukkan
manifestasi sebagai berikut :
a. Laserasi, memar,ekimosis
b. Hipotensi
c. Tidak adanya bising usus
d. Hemoperitoneum
e. Mual dan muntah
f. Adanya tanda “Bruit” (bunyi abnormal pd auskultasi pembuluh darah,
biasanya pd arteri karotis),
g. Nyeri
h. Pendarahan
i. Penurunan kesadaran
j. Sesak
k. Tanda Kehrs adalah nyeri di sebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan
limfa.Tanda ini ada saat pasien dalam posisi recumbent.
l. Tanda Cullen adalah ekimosis periumbulikal pada perdarahan peritoneal
m. Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh (pinggang) pada
perdarahan retroperitoneal.
n. Tanda coopernail adalah ekimosis pada perineum,skrotum atau labia pada
fraktur pelvis
o. Tanda balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada kuadran kiri
atas ketika dilakukan perkusi pada hematoma limfe
sebab apapun adalah melakukan primary survey untuk menyelamatkan pasien dari
ancaman kematian. Semua tindakan pemeriksaan dilakukan secepat mungkin dalam
memastikan kondisi airway, breathing, dan circulation. Tanda vital yangdiperiksa saat
pasien trauma datang ke ruang gawat darurat menjadi petunjuk tingkat cedera yang
dihadapi pada pasien trauma tumpul abdomen. Syok karena perdarahan harus bisa
dinilai secepat mungkin untuk tindakan lebih lanjut. Gejala klinis pada suatu
perdarahan bisa belum terlihat jika kekurangan darah kurang dari 10% dari total
volume darah karena pada saat ini masih dapat dikompensasi oleh tubuh. Bila
perdarahan terus berlangsung maka tubuh tidak mampu lagi mengkompensasinya dan
nadi yang lemah, kulit dingin dengan turgor yang jelek, ujung-ujung ekstremitas
dingin, dan pengisian kapiler lambat. Ketidakstabilan hemodinamik yang terjadi pada
kondisi syok hipovolemik berupa penurunan curah jantung, penurunan tekanan darah,
terjadinya kehilangan darah, terjadi respon sistem saraf simpatis yang mengakibatkan
peningkatan kontraktilitas dan frekuensi jantung. Dengan demikian, pada tahap awal
tekanan darah sistolik dapat dipertahankan. Namun kompensasi yang terjadi tidak
banyak pada pembuluh perifer sehingga terjadi penurunan diastolik dan penurunan
tekanan nadi. Oleh sebab itu, pemeriksaan klinis yang seksama sangat penting
dilakukan karena pemeriksaan yang hanya berdasarkan pada perubahan tekanan darah
sistolik dan frekuensi nadi dapat menyebabkan kesalahan atau keterlambatan diagnosa
dan penatalaksanaan (Mackersie RC, Tiwary AD and SR, 1999). Sebuah penelitian
dan pemeriksaan fisik merupakan dasar diagnosis cedera intraabdomen. Pada pasien
dengan hipotensi paska trauma, sangat penting untuk mengevaluasi apakah pasien
tersebut mengalami cedera abdomen atau tidak. Tingkat kewaspadaan yang tinggi
diperlukan dalam manajemen trauma secara umum. Beberapa alat diagnostik yang
trauma tumpul abdomen adalah riwayat dan mekanisme trauma, pemeriksaan fisik,
scan abdomen, dan laparoskopi (van der Vlies et al., 2011). Rumah sakit pusat trauma
tumpul, mencakup manajemen awal, cara diagnostik dan tatalaksana. Mattox, dkk.
trauma tumpul abdomen. dalam algoritme ini dijelaskan bahwa penggunaan CT scan
26
Dari diagram diatas dapat dilihat bahwa pasien trauma tumpul abdomen dengan
cedera organ intraabdomen. Pada protokol ini tidak terlihat bahwa penggunaan CT
dengan hemodinamik stabil, atas dasar tinggi atau rendahnya risiko terjadinya
cedera intraabdomen.
27
Gambar 3. Algoritme manajemen trauma tumpul abdomen. Penggunaan CT
scan yang selektif (Feliciano, 2003).
1. Riwayat trauma
Mekanisme terjadinya trauma sangat penting dalam menentukan
saksi mata, catatan dari paramedik sangat penting untuk diketahui pada
setiap pasien trauma sehingga bisa mendeteksi cedera organ yang mungkin
terjadi pada pasien. Pada kecelakaan lalu lintas, yang perlu diketahui adalah
tergantung berat ringannya operasi, keadaan gizi pasien pasca operasi, dan pengaruh
operasi terhadap kemampuan pasien untuk mencerna dan mengabsorpsi zat-zat gizi.
Setelah operasi sering terjadi peningkatan ekskresi nitrogen dan natrium yang dapat
berlangsung selama lima sampai tujuh hari atau lebih pasca operasi. Pentingnya
nutrisi yang baik pada pasien dengan luka atau pasca operasi merupakan pondasi
untuk proses penyembuhan luka dengan cepat. Nutrisi yang baik akan memfasilitasi
usaha perbaikan dan pemeliharaan status nutrisi yang baik akan mempercepat
penyembuhan, mempersingkat lama hari rawat yang berarti mengurangi biaya rawat
secara bermakna.
akan nutrisi bervariasi, maka dibutuhkan diet atau pengaturan makanan. diet pasca
operasi adalah makanan yang diberikan kepada pasien setelah menjalani pembedahan.
jenis penyakit penyerta. Tujuan diet pasca operasi adalah untuk mengupayakan agar
status gizi pasien segera kembali normal untuk mempercepat proses penyembuhan
dan meningkatkan daya tahan tubuh pasien, dengan cara memberikan kebutuhan dasar
(cairan, energi, protein), mengganti kehilangan protein, glikogen, zat besi, dan zat gizi
cukup energi, protein, lemak, dan zat-zat gizi, bentuk makanan disesuaikan dengan
Syarat diet pasca operasi adalah memberikan makanan secara bertahap mulai
dari bentuk cair, saring, lunak, dan biasa. Pemberian makanan dari tahap ke tahap
tergantung pada macam pembedahan dan keadaan pasien, seperti pasca operasi kecil
makanan diusahakan secepat mungkin kembali seperti biasa atau normal. Pasca
Jenis diet dan indikasi pemberian diet adalah diet pasca-bedah I (DPB I)
selama enam jam sesudah operasi, makanan yang diberikan berupa air putih, teh
manis, atau cairan lain seperti pada makanan cair jernih. Makanan ini diberikan dalam
waktu sesingkat mungkin, karena kurang dalam semua zat gizi. Selain itu diberikan
makanan parenteral sesuai kebutuhan. Diet ini diberikan kepada semua pasien pasca
bedah pasca operasi kecil yaitu setelah sadar dan rasa mual hilang dan pasca operasi
besar yaitu setelah sadar dan rasa mual hilang serta ada tanda-tanda usus mulai
bekerja.
Makanan yang diberikan diet pasca-bedah II (DPB II) adalah makanan bentuk
cair kental, berupa kaldu jernih, sirup, sari buah, sup, susu, dan puding rata-rata
delapan sampai 10 kali sehari selama pasien tidak diberikan untuk waktu sesingkat
mungkin karena zat gizinya kurang. Makanan yang tidak boleh diberikan pada DPB
II adalah air jeruk dan minuman yang mengandung karbondioksida. Diet pasca-
bedah II diberikan kepada pasien pasca bedah besar saluran cerna atau sebagai
Makanan yang diberikan diet pasca-bedah III (DPB III) berupa makanan
saring ditambah susu dan biskuit. Cairan hendaknya tidak melebihi 2000 ml sehari.
Selain itu dapat memberikan makanan parenteral bila diperlukan. Makanan yang
tidak dianjurkan adalah makanan dengan bumbu tajam dan minuman yang
bedah besar saluran cerna atau sebagai perpindahan dari diet pasca-bedah II.
Makanan yang diberikan pada diet pasca-bedah IV (DPB IV) berupa makanan
lunak yang dibagi dalam tiga kali makanan lengkap dan satu kali makanan selingan.
Diet Pasca-Bedah IV diberikan kepada pasien pasca operasi kecil, setelah diet Pasca-
I. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan abdomen harus dilakukan dengan cara yang teliti dan
sistematis dengan urutan : inspeksi, auskultasi, perkusi dan palpasi. Pada saat
pasien datang ke rumah sakit, mekanisme trauma dan pemeriksaan fisik cukup
akurat dalam menentukan cedera intraabdomen pada pasien dengan kesadaran baik
a. Inspeksi
sampai belakang, dan juga bagian bawah dada dan perineum sesuai anatomi
asing yang tertancap serta status hamil pada perempuan. Adanya jejas, laserasi di
ungu kebiruan atau ekimosis diatas area pinggul atau punggung (GreyTurner
kebiruan atau ekimosis diatas area umbilicus (Cullen Sign) merupakan indikasi
Perdarahan peritoneal, tetapi hal ini biasanya lambat dalam beberapa jam sampai
hari. Adanya distensi pada dinding perut merupakan tanda penting karena
tanda kemungkinan adanya peritonitis. Laserasi abdomen yang terlihat sesuai pola
sabuk pengaman mobil (Seat Belt Sign) sering ditemukan sebagai tanda klinis
menyatakan bahwa pada pasien trauma tumpul abdomen, nyeri perut disertai
dengan takikardi, nyeri lepas, distensi abdomen, defans muscular, adanya laserasi
Cedera abdomen yang terjadi pada wanita hamil atau yang mengalami defisit
b. Palpasi
Nyeri abdomen merupakan tanda klinis yang dievaluasi saat palpasi. Nyeri
juga dapat bersifat spontan tanpa dilakukan palpasi. Lokasi nyeri sangat
akbat iritasi peritoneum, baik oleh darah maupun isi usus. Kecenderungan
adalah tanda yang penting dari iritasi peritoneum. Palpasi menentukan adanya
nyeri tekan superfisial, nyeri tekan dalam, atau nyeri lepas. Nyeri lepas terjadi
ketika tangan yang menyentuh perut dilepaskan tiba - tiba, dan biasanya
menandakan peritonitis yang timbul akibat adanya darah atau isi usus yang
setiap jamnya.
c. Auskultasi
Pada auskultasi dinilai apakah ada bising usus atau tidak di semua
kuadran. Pada robekan (perforasi) usus, bising usus selalu menurun, bahkan
yang berdektan seperti cedera tulang iga, tulang belakang, panggul juga dapat
tidak adanya bunyi usus bukan berarti pasti ada cedera intraabdominal (Hoff
et al., 2002)
d. Perkusi
Manuver ini menyebabkan pergerakan peritoneum, dan dapat
menunjukan bunyi timpani akibat dilatasi lambung akut di kuadran atas atau
bunyi redup bila ada hemiperitoneum. Perkusi redup hati yang menghilang
adanya udara di dalam abdomen sebagai akibat perforasi usus. Pekak sisi
dengan shifting dullness pada rongga perut akibat adanya perdarahan atau
cairan dalam rongga peritonial dan juga mengindikasikan adanya benda solid
di abdomen.
Cedera abdomen sering disertai oleh cedera organ lain, terutama pada
kasus trauma multiple. Identifikasi cedera lain ini dapat memprediksi apakah
Fraktur kosta kanan, terutama yang dibawah sering disertai cedera organ
dibawahnya yaitu hati. Evaluasi hati sangat diperlukan jika menemukan pasien
dengan fraktur kosta kanan bawah. Fraktur kosta kiri bawah berhubungan
dengan cedera limpa, karena limpa tepat berada di bawah kosta tersebut.
yang tidak stabil sering disertai trauma pada urogenital seperti buli-buli dan
dan tidaknya cincin pelvis. Fraktur pelvis yang tidak stabil biasanya terjadi
akibat cedera dengan energi yang tinggi. Biasanya disertai dengan cedera
organ lainya, seperti : cedera kepala, toraks, dan abdomen. 60-80% pasien
tulang pelvis adalah sebesar 12%, yang paling sering adalah cedera kandung
kemih tapikerusakan pada uretra pria lebih sering terjadi dibandingkan wanita.
Patah tulang ekstremitas dan tulang belakang juga bisa terjadi pada pasien
akibat patah tulang terbuka, cedera pada jaringan lunak, dan perdarahan vena
lokal.Gangguan cincin pelvis yang tidak stabil akibat translasi dan rotasi
cedera yang lain. (Corwin etal., 2014).Pemeriksaan fisik abdomen pada saat
awal sering gagal untuk mendeteksi cedera abdomen yang signifikan pada
akhirnya, biaya kesehatan lebih besar. Gejala fisik yang tidak jelas, kadang
cedera intraabdomen. Lebih dari 75% pasien dengan trauma abdomen yang
yang tidak khas (benign physical examination), sehingga ahli bedah yang
tumpul abdomen, 47% tidak mempunyai gejala klinik yang khas pada evaluasi
awal, 44% ditemukan dari hasil “diagnostic test” dan 77% dari mereka
kompleks. Terdapat beberapa scoring system untuk trauma dan secara garis
komponen yang digunakan, yaitu skor anatomis, skor fisiologis, dan skor
skor yang paling sering digunakan. RTS terdiridari tiga komponen yaitu
rate (RR). Komponen skor ini merupakan komponen vitalyang harus dinilai
pada suatu trauma abdomen yang disertai trauma penyerta yang lain. Beberapa
studi menyebutkan bahwa GCS < 14 sebagai faktor prediktif terjadinya cedera
intraabdomen, tetapi disertai dengan cedera laian seperti cedera thoraks dan
ekstremitas. Penurunan GCS tersendiri tanpa ada cedera yang menyertai pada
menyebutkan bahwa GCS < 14 sebagai salah satu faktor yang memprediksi
tidak sadar yang disebabkan oleh trauma kepala yang disertai dengan trauma
J. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang rutin dilakukan dalam manajemen pasien trauma
adalah : laboratorium, foto toraks dan abdomen, ultrasonografi, DPL, CT scan dan
hemodinamik pasien dan prediksi tingkat keparahan cedera. Pasien trauma tumpul
harus dievaluasi dengan USG di ruang resusitasi jika tersedia, atau dengan lavage
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium di awal kejadian trauma hanya sedikit memberi
arti kecuali digunakan sebagai data dasar dalam monitor perkembangan klinik
serial haematocrit dan hemoglobin untuk monitor kehilangan darah, amylase untuk
Pemeriksaan Hemoglobin (Hb) diperlukan untuk data dasar bila terjadi perdarahan
terus menerus, demikian pula dengan pemeriksaan hematokrit (Hct). Hb dan Hct
yang cenderung menurun saat diperiksa lebih dari satu kali, menandakan
beberapa hasil tes laboratorium abnormal pada pasien yang mengalami cedera
kali lipat peningkatan risiko cedera intra-abdomen. Tingkat hematokrit kurang dari
Hal berguna untuk melihat adanya udara atau cairan bebas intraabdomen.
Dibutuhkan kurang lebih 800 ml cairan bebas baru bisa terlihat pada foto polos
disebabkan oleh perforasi organ visera berongga, adanya nasogastric tube pada
anteroposterior (AP), dan pelvis adalah pemeriksaan yang harus dilakukan pada
dikontraindikasikan karena nyeri atau patah tulang punggung, dapat digunakan foto
samping sambil tidur (left lateral decubitus) untuk mengetahui udara bebas
pasien dengan trauma abdomen tumpul yang stabil. Metode pencitraan CT scan
telah membawa perubahan besar dalam penanganan pasien dengan trauma tumpul
abdomen. Manfaat terbesarnya adalah penurunan jumlah pasien yang memerlukan
tindakan pembedahan dan operasi non terapiutik. Saat ini keakuratan CT scan
dihubungkan dengan penemuan saat operasi, hanya 16% yang sesuai. Harus
Madhusudhanan, 2016).
Mulai dikenal pada tahun 1965 memberikan metode yang aman dan murah
merupakan tes cepat dan akurat yang digunakan untuk mengidentifikasi cedera
intraabdomen setelah trauma tumpul pada pasien hipotensi paska trauma tanpa
memasukkan ± 1 liter cairan air garam fisiologis (NaCl 0,9%) yang steril melalui
kanul dimasukkan kedalam rongga peritoneum, setelah 10-15 menit cairan tadi
dikeluarkan lagi, bila cairan yang keluar berwarna merah, maka kesimpulannya
adalah ada darah dalam rongga perut. Menurunnya hematokrit disertai dengan
perasaan nyeri yang tetap pada perut kiri atas, ada kalanya memerlukan peritoneal
lavage yang kedua meskipun peritoneal lavage yang pertama memberi hasil yang
negatif.
Indikasi untuk melakukan DPL sebagai berikut : nyeri abdomen yang tidak
bisa diterangkan sebabnya, Trauma pada bagian bawah dari dada, hipotensi,
hematokrit turun tanpa alasan yang jelas, pasien cedera abdominal dengan
gangguan kesadaran (obat,alkohol, cedera otak), pasien cedera abdominal dan
cedera medula spinalis (sumsum tulang belakang), dan patah tulang pelvis.
Sedangkan kontra indikasi relatif melakukan DPL adalah : pasien hamil, pernah
operasi abdominal, operator tidak berpengalaman dan bila hasil DPL nantinya tidak
positif meliputi aspirasi setidaknya 10 mL darah, lavage berdarah, sel darah merah
hitung lebih besar dari 100.000 / mm3, sel darah putih hitung lebih besar dari
500/mm3, amilase lebih besar dari 175 IU / dL, atau deteksi empedu, bakteri, atau
pemeriksaan yang cepat, ultrasoud terletak di samping tempat tidur untuk empat
Pemeriksaan FAST sngat sensitif dan dapat mendeteksi volume cairan 100-200 ml.
secara adekuat dan tidak terlalu sensitif untuk mengevaluasi adanya organ solid
abdomen, baik penetrasi maupun tumpul dan setiap pasien dengan mekanisme
a. Urethrografi
b. Sistografi
dan kemudian dipasang 300 cc kontras yang larut dalam air pada kolf setinggi
sampai (1) aliran terhenti (2) pasien secara spontan mengedan, atau (3) pasien
merasa sakit. Diambil foto rontgen AP, oblik dan foto post-voiding. Cara lain
148)
c. CT Scan/IVP
Bilamana ada fasilitas CT Scan, maka semua pasien dengan hematuria dan
hemodinamik stabil yang dicurigai mengalami sistem urinaria bisa diperiksa
dengan CT Scan dengan kontras dan bisa ditentukan derajat cedera ginjalnya.
Ivp.Disini dipakai dosis 200mg J/kg bb kontras ginjal. Dilakukan injeksi bolus
100 cc larutan Jodine 60% (standard 1,5 cc/kg, kalau dipakai 30% 3,0 cc/kg)
sesudah injeksi bila akan memperoleh visualisasi calyx pada X-Ray. Bilamana
K. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Survei Primer
mengancam nyawa, harus mengkaji dengan cepat apa yang terjadi di lokasi
tikaman, luka trauma benda lainnya, maka harus segera ditangani, penilaian
awal dilakukan prosedur ABC jika ada indikasi, jika korban tidak berespon,
spinalis.
lengkap dan visualisasi head-to-toe pasien adalah wajib pada pasien dengan
trauma abdomen penetrasi. Ini termasuk bagian bokong, bagian posterior dari
kaki, kulit kepala, bagian belakang leher, dan perimeum. Setelah pakaian
b. Survei Sekunder
1) Anamnesa
a) Biodata
b) Keluhan Utama
pada quadran mana yang dirasakan paling nyeri atau sakit sekali.
f) Pemeriksaan Fisik
- Pada palpasi simetris tidaknya dada saat paru ekspansi dan pernapasan
tertinggal.
- Pada inspeksi adakah perdarahan aktif atau pasif yang keluar dari
- Pada inspeksi adakah gelisah atau tidak gelisah dan adakah jejas di
kepala.
Pada inspeksi :
cavum abdomen.
Pada palpasi :
Pada perkusi:
cavum abdomen.
Pada Auskultasi :
atau menghilang.
- Pada inspeksi adakah jejas pada daerah rongga pelvis dan adakah
distensi pada daerah vesica urinaria serta bagaimana produksi urine
dan warnanya.
- Pada palpasi adakah nyeri tekan daerah vesica urinaria dan adanya
distensi.
daerah pelvis.
2. Diagnosa Keperawatan
a) Nyeri Akut
Faktor
Yang
Berhubungan
- Kehilangan cairan aktif
49
- Kegagalan mekanisme
regulasi
PENUTUP
A. Kesimpulan
mortalitas yang tinggi. Diagnostik dan manajemen masih menjadi tantangan para ahli
bedah di seluruh dunia. Berkembangnya modalitas untuk diagnostik dan terapi saat
ini, menurunkan angka mortalitas pasien trauma abdomen (Costa et al., 2010).
Trauma abdomen merupakan salah satu penyebab kematian ke-3 pada pasien trauma,
dan ditemukan sekitar 7–10% dari jumlah seluruh kasus trauma. Klasifikasi trauma
abdomen berdasarkan jenis trauma dibagi menjadi dua yaitu trauma tajam (penetrans)
dan trauma tumpul (blunt trauma). Angka kejadian trauma tumpul abdomen
didapatkan sekitar 80% dari keseluruhan trauma abdomen. Saat ini ada beberapa
Loudon, 2008).
abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen yang dapat
B. Saran
kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Alonso, M., Brathwaite, C., García, V., Patterson, L., Scherer, T., Stafford, P. and Young, J.
(1997) ‘Practice management guidelines for the nonoperative management of blunt
injury to the liver and spleen.’, The Journal of trauma, 43, pp. 1–32. doi:
10.1097/00005373-199711000-00014.
Aziz, A., Bota, R. and Ahmed, M. (2014) ‘Frequency and pattern of intra-abdominal injuries
in patients with blunt abdominal trauma’, Journal of Trauma & Treatment, 3(3), p. 196.
doi: 10.4172/2167-1222.1000196.
Beal, A. L., Ahrendt, M. N., Irwin, E. D., Lyng, J. W., Turner, S. V, Beal, C. A., Byrnes, M.
T. and Beilman, G. A. (2016) ‘Prediction of blunt traumatic injuries and hospital
admission based on history and physical exam’, World Journal Of Emergency Surgery.
World Journal of Emergency Surgery, 11(1), p. 46. doi:
http://dx.doi.org/10.1186/s13017-016-0099-9.
Corwin, M. T., Sheen, L., Kuramoto, A., Lamba, R., Parthasarathy, S. and Holmes, J. F.
(2014) ‘Utilization of a clinical prediction rule for abdominal???pelvic CT scans in
patients with blunt abdominal trauma’, Emergency Radiology, 21(6), pp. 571–576. doi:
10.1007/s10140-014-1233-1.
Costa, G., Tierno, S. M., Tomassini, F., Venturini, L., Frezza, B., Cancrini, G. and Stella, F.
(2010) ‘The epidemiology and clinical evaluation of abdominal trauma. An analysis of
a multidisciplinary Trauma Registry’, Annali Italiani di Chirurgia, 81(2), pp. 95–102.
Deunk, J., Brink, M., Blickman, J. G. and Edwards, M. J. (2010) ‘Predictors for the Selection
of Patients for Abdominal CT After Blunt Trauma’,251(3).
doi: 10.1097/SLA.0b013e3181cfd342.
Elliot,D.C, Rodriguez, A. (1996) ‘Cost Effectiveness in Trauma Care. Surgical Clinics of
North America, 76:47-6’, Surgical clinics of North America, p. 76:47-62.
Erfantalab-Avini, P., Hafezi-Nejad, N., Chardoli, M. and Rahimi-Movaghar, V. (2011)
‘Evaluating clinical abdominal scoring system in predicting the necessity of laparotomy
in blunt abdominal trauma’, Chinese Journal of Traumatology English Edition. The
Editorial Board of Biomedical and Environmental Sciences, 14(3), pp. 156–160.
doi:10.3760/cma.j.issn.1008-1275.2011.03.006.
Farrath, S., Parreira, J. G., Perlingeiro, J. A. G., Solda, S. C. and Assef, J. C.
(2012). ‘Predictors of abdominal injuries in blunt trauma.’, Revistado
Colégio Brasileiro deCirurgiões, 39(4), pp. 295–301. Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22936228.
Feliciano, D. V (2003) ‘Evaluation of Abdominal Trauma, Grace S . Rozycki ,
MD , FACS © 2003 American College of Surgeons Committee on Trauma
Subcommittee on Publicatons’, p. 2003.
Gad, M. A., Saber, A., Farrag, S., Shams, M. E. and Ellabban, G. M. (2012)
‘Incidence, patterns, and factors predicting mortality of abdominal injuries
in trauma patients’, NorthAmerican Journal of Medical Sciences, 4(3), pp.
129–134. doi: 10.4103/1947-2714.93889