Anda di halaman 1dari 52

MAKALAH

PATOFISIOLOGI, FARMAKOLOGI,

DAN TERAPI DIET PADA TRAUMA ABDOMEN

Dosen : Ns. Rizaldi Nanda Wiguna, M.Kep

Disusun Oleh : Kelompok 5

1. MUNAWARAH

2. NERIYANTI

3. NOVIA MARSITA

4. NUR AMELLIA

5. NUR JANNAH

6. NURHALIMAH

7. NURHIDAYAH

STIKES MEDIKA SERAMOE BARAT MEULABOH

TAHUN AKADEMIK 2021/2022

i
Daftar Isi

Contents
COVER...........................................................................................................................................................i
Daftar Isi......................................................................................................................................................ii
KATA PENGANTAR......................................................................................................................................iii
BAB 1...........................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................................4
C. Tujuan..............................................................................................................................................5
BAB II...........................................................................................................................................................7
TELAAH PUSTAKA........................................................................................................................................7
A. Anatomi Abdomen...........................................................................................................................7
B. Definisi.............................................................................................................................................9
C. Etiologi.............................................................................................................................................9
D. Patofisiologi...................................................................................................................................13
E. Klasifikasi.......................................................................................................................................14
F. Manifestasi Klinis...........................................................................................................................23
G. Penatalaksanaan Trauma Tumpul..................................................................................................24
H. Pemeriksaan fisik...........................................................................................................................29
I. Pemeriksaan Penunjang................................................................................................................37
J. Asuhan Keperawatan.....................................................................................................................43
BAB III........................................................................................................................................................57
PENUTUP...................................................................................................................................................57
A. Kesimpulan....................................................................................................................................57
B. Saran..............................................................................................................................................57
Daftar Pustaka
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, Atas rahmat dan hidayahnya sehingga makalah
ini dapat terselesaikan dengan baik, Shalawat serta salam semoga selalu terhaturkan kepada
junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW, Para Keluarga,Sahabatnya dan para
pengikutnya yang tetap istiqamah hingga akhir Zaman. Dan tidak lupa mengucapkan terima
kasih kepada Dosen-Dosen yang telah memberi kami Masukan dan arahan sehingga makalah
ini dapat terselesaikan.

Makalah ini disusun sebagai tugas dari mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat
yang tak lain adalah sebagai syarat untuk kelulusan mata kuliah tersebut.

Penulis mengharapkan adanya saran dan masukan dari pembaca demi kesempurnaan
Makalah ini bila dalam makalah ini terjadi kesalahan yang tidak diketahui oleh penulis. Dan
mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca baik itu sebagai acuan maupun
sebagai masukkan dan juga semoga makalah ini dapat bermanfaat pula bagi penulis.

Aceh Jaya, Oktober 2021

Kelompok 5
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Trauma abdomen merupakan kasus emergency dengan tingkat morbiditas dan

mortalitas yang tinggi. Diagnostik dan manajemen masih menjadi tantangan para ahli

bedah di seluruh dunia. Berkembangnya modalitas untuk diagnostik dan terapi saat

ini, menurunkan angka mortalitas pasien trauma abdomen (Costa et al., 2010).

Trauma abdomen merupakan salah satu penyebab kematian ke-3 pada pasien trauma,

dan ditemukan sekitar 7–10% dari jumlah seluruh kasus trauma. Klasifikasi trauma

abdomen berdasarkan jenis trauma dibagi menjadi dua yaitu trauma tajam (penetrans)

dan trauma tumpul (blunt trauma). Angka kejadian trauma tumpul abdomen

didapatkan sekitar 80% dari keseluruhan trauma abdomen. Saat ini ada beberapa

algoritme dalam manajemen trauma tumpul abdomen yang dibuat untuk

mempermudah alur penanganan pasien di ruang gawat darurat (Jansen, Yule and

Loudon, 2008).

Trauma tumpul abdomen tidak hanya terjadi akibat trauma langsung, tetapi

juga oleh cedera deselerasi. Cedera intraabdomen yang parah mungkin terjadi

meskipun tidak ada tanda klinis trauma yang terlihat dari luar(Mehta, Babu and

Venugopal, 2014). Hal ini menyebabkan pentingnya evaluasi secara lengkap dan tepat

pasien yang mengalami trauma dengan energi yang tinggi, termasuk pemeriksaan

fisik secara menyeluruh, penggunaan modalitas diagnostik yang tepat, dan tindak

lanjut yang benar. Sebuah studi di Amerika menyebutkan bahwa prediksi klinis yang

4
terdiri dari hipotensi, nilai GCS (Glasgow Comma Scale) kurang dari 14, patah tulang

iga, nyeri perut, fraktur femur, hematuria > 25 RBC/hpf, tingkat hematokrit kurang dari

30%, dan radiografi toraks yang abnormal dapat digunakan untuk evaluasi dalam

memprediksiadanya cedera intraabdomen pada pasien trauma tumpul abdomen. Pasien

tanpa variabel ini memiliki risiko sangat rendah mengalami cedera intra- abdomen,

sehingga CT scan menjadi tidak bermanfaat dalam evaluasi adanya cedera

intraabdomen(Holmes, Mao, et al., 2009). Penelitian lain juga menyebutkan bahwa

GCS, tekanan nadi, frekuensi pernafasan dan nilai RTS (Revised Trauma Score) telah

terbukti berhubungan secara bermakna dengan adanya cedera intra abdomen(Farrath et

al., 2012). Pemilihan penunjang diagnosis di awal merupakan hal yang sangat penting

dalam manajemen trauma tumpul abdomen. Studi lain juga mengungkapkan bahwa

pemeriksaaan fisik abdomen yang tidak normal, adanya cedera thoraks dan gross

hematuria memiliki nilai prediktif yang tinggi untuk terjadinya cedera

intraabdomen(Grieshop NA, Jacobson LE and GA, Thompson CT, 2005) Pemeriksaan

fisik merupakan bagian penting saat evaluasi awal pasien dengan truma tumpul

abdomen. Keadaan lain dimana pemeriksaan fisik tidak bisa diandalkan pada evaluasi

trauma tumpul abdomen adalah pasien yang mengkonsumsi alkohol atau narkotika,

intoksikasi, cedera tulang belakang, dan kehamilan(Schurink G, 2007). Seorang

traumatologis harus memiliki indeks kecurigaan yang tinggi adanya cedera

intraabdomen pada pasien yang mengalami trauma dengan energi yang tinggi, seperti

: jatuh dari ketinggian lebih dari 10 kaki, terlempar dari kendaraan, kecelakaan ditabrak

kendaraan bermotor/mobil dengan kecepatan melebihi 45 mil/jam, kecelakaan langsung

dari sepeda motor, fraktur mayor atau fraktur tulang panjang atau pelvis karena trauma,

fraktur tulang rusuk pertama, fraktur tulang rusuk bagian bawah, dan adanya Seat belt

sign. Sebanyak 40% penderita hemoperitoneum tidak menunjukkan temuan yang

signifikan pada pemeriksaan fisik awal. Untuk itu pemeriksaan fisik harus diulang
secara serial oleh pemeriksa yang sama. Disamping itu modalitas pmeriksaan penunjang

untuk diagnostik harus dilakukan segera sesuai prosudur rumah sakit dan ketersediaan

alat diagnostik (Ricardo Ferrada, 2011).American College of Surgeons

merekomendasikan penggunaan pemeriksaan penunjang jika ada cedera yang

berhubungan dengan cedera intraabdomen, seperti : fraktur tulang iga, fraktur pelvis,

adanya cedera kepala, cedera tulang belakang.(Trauma Committe, 2012). Pemeriksaan

penunjang merupakan modalitas diagnostik yang memiliki peran signifikan dalam

menentukan adanya cedera intraabdomen. Beberapa pemeriksaan penunjang yang saat

ini digunakan untuk diagnostik diantaranya : Foto abdomen konvensional,

Laboratorium, Diagnostic Peritoneal lavage (DPL), Computed tomography (CT) dan

Ultrasonografi(Jansen, Yule and Loudon,2008).

Di beberapa negara telah melakukan penelitian tentang beberapa faktor prediktif

adanya cedera intraabdomen pada trauma tumpul abdomen. Sebuah penelitaian di

Amerika menyatakan bahwa parameter dari pemeriksaan fisik, FAST, foto toraks, dan

investigasi laboratorium dapat memprediksi adanya cedera intraabdomen, dan dapat

mengurangi penggunaan CT scan secara rutin. (Beal etal., 2016). Cedera

intraabdomen berhubungan dengan beratnya mekanisme trauma yang terjadi dan

sangat berhubungan dengan cedera toraks(José Gustavo Parreira and Juliano Mangini

Dias Malpaga, 2015).

B. Rumusan Masalah

Bagaimana konsep manajemen kegawat daruratan pasien dengan trauma abdomen?


C. Tujuan
a. Agar mahasiswa mampu mengetahui dan memahami tentang Patofisiologi?
b. Agar mahasiswa mampu mengetahui dan memahami tentang farmakologi?
c. Agar mahasiswa mampu mengetahui dan memahami tentang terapi diet?
d. Agar mahasiswa mampu mengetahui dan memahami tentang Asuhan Keperawatan
pada Trauma Abdomen?
BAB II

PENDAHULUAN

A. Anatomi Abdomen

Abdomen adalah bagian tubuh yang berbentuk rongga terletak diantara toraks

dan pelvis. Rongga ini berisi viscera dan dibungkus dinding abdomen yang terbentuk

dari dari otot abdomen, columna vertebralis, dan tulang ilium. Untuk membantu

menetapkan suatu lokasi di abdomen, yang paling sering dipakai adalah pembagian

abdomen oleh dua buah bidang bayangan horizontal dan dua bidang bayangan

vertikal. Bidang bayangan tersebut membagi dinding anterior abdomen menjadi

sembilan daerah (regiones). Dua bidang diantaranya berjalan horizontal melalui

setinggi tulang rawan iga kesembilan, yang bawah setinggi bagian atas crista iliaca

dan dua bidang lainnya vertikal di kiri dan kanan tubuh yaitu dari tulang rawan iga

kedelapan hingga ke pertengahan ligamentum inguinale. Daerah-daerah itu adalah: 1)

hypocondriaca dextra, 2) epigastrica, 3) hypocondriacasinistra, 4) lumbalis dextra,

5) umbilical, 6) lumbalis sinistra, 7).inguinalis dextra, pubica/hipogastrica, 9)

inguinalis sinistra.

Gambar 1. Pembagian Anatomi Abdomen (Griffith, 2003)


1. Hypocondriaca dextra meliputi organ : lobus kanan hati, kantung

empedu,sebagian duodenum fleksura hepatik kolon, sebagian ginjal kanan dan

kelenjar suprarenal kanan.

2. Epigastrica meliputi organ: pilorus gaster, duodenum, pankreas dansebagian

hati.

3. Hypocondriaca sinistra meliputi organ: gaster, limpa, bagian kaudalpankreas,

fleksura lienalis kolon, bagian proksimal ginjal kiri dan kelenjar suprarenal

kiri.

4. Lumbalis dextra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal

kanan,sebagian duodenum dan jejenum.

5. Umbilical meliputi organ: Omentum, mesenterium, bagian bawahduodenum,

jejenum dan ileum.

6. Lumbalis sinistra meliputi organ: kolon ascenden, bagian distal ginjal

kiri,sebagian jejenum dan ileum.

7. Inguinalis dextra meliputi organ: sekum, apendiks, bagian distal ileum

danureter kanan.

8. Pubica/Hipogastric meliputi organ: ileum, vesica urinaria dan

uterus (padakehamilan).

9. Inguinalis sinistra meliputi organ: kolon sigmoid, ureter kiri dan ovariumkiri.

Dengan mengetahui proyeksi organ intraabdomen tersebut, dapat memprediksi

organ mana yang kemungkinan mengalami cedera jika dalam pemeriksaan fisik

ditemukan kelainan pada daerah atau regio tersebut (Griffith, 2003)

Untuk kepentingan klinis rongga abdomen dibagi menjadi tiga regio yaitu :

rongga peritoneum, rongga retroperitoneum dan rongga pelvis. Rongga pelvis

sebenarnya terdiri dari bagian dari intraperitoneal dan sebagian retroperitoneal.


Rongga peritoneal dibagi menjadi dua yaitu bagian atas dan bawah. Rongga

peritoneal atas, yang ditutupi tulang tulang thorax, termasuk diafragma, liver, lien,

gaster dan kolon transversum. Area ini juga dinamakan sebagai komponen

torakoabdominal dari abdomen. Sedangkan rongga peritoneal bawah berisi usus

halus, sebagian kolon ascenden dan descenden, kolon sigmoid, caecum, dan organ

reproduksi pada wanita (Trauma, 2012)

Rongga retroperitoneal terdapat di abdomen bagian belakang, berisi aorta

abdominalis, vena cava inferior, sebagian besar duodenum, pancreas, ginjal, dan

ureter, permukaan posterior kolon ascenden dan descenden serta komponen

Retroperitoneal dari rongga pelvis. Sedangkan rongga pelvis dikelilingi oleh

tulang pelvis yang pada dasarnya adalah bagian bawah dari rongga peritoneal dan

retroperitoneal. Berisi rektum, kandung kencing, pembuluh darah iliaka, dan organ

reproduksi interna pada wanita(Griffith, 2003)

B. Definisi

Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang

terletak diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau yang

menusuk (Ignativicus & Workman, 2006).

Trauma abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen yang

dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme,

kelainan imonologi dan gangguan faal berbagai organ.

C. Etiologi

Kecelakaan atau trauma yang terjadi pada abdomen, umumnya banyak

diakibatkan oleh trauma tumpul. Pada kecelakaan kendaraan bermotor, kecepatan,


deselerasi yang tidak terkontrol merupakan kekuatan yang menyebabkan trauma

ketika tubuh klien terpukul setir mobil atau benda tumpul lainnya.

Trauma akibat benda tajam umumnya disebabkan oleh luka tembak yang

menyebabkan kerusakan yang besar didalam abdomen. Selain luka tembak, trauma

abdomen dapat juga diakibatkan oleh luka tusuk, akan tetapi luka tusuk sedikit

menyebabkan trauma pada organ internal diabdomen.Trauma pada abdomen

disebabkan oleh 2 kekuatan yang merusak, yaitu :

1. Paksaan /benda tumpul

Trauma tumpul abdomen atau blunt abdominal trauma (BAT) terjadi ketika

terdapat energi yang mengenai dinding abdomen dan tidak menyebabkan luka

terbuka, biasanya disebabkan oleh tabrakan bermotor, olah raga, jatuh dan

penganiyaan fisik. Trauma biasanya merusak bagian viseral dan struktur lain

abdomen yang terkena hantaman langsung, kompresi atau deselerasi. Cedera

kompresi terjadi akibat hantaman secara langsung pada objek yang tetap. Contoh :

sabuk pengaman dan roda setir). Cedera gaya deselerasi antara objek yan relatif

diam dan objek bebas menyebabkan cedera berupa pergeseran atau perobekan ,

bagian dari jaringan terus bergerak ke depan sementara bagian yang lain tetap

diam (McQuillan, 2009).

Kompresi ini dapat merusak organ padat maupun organ berongga, bisa

mengakibatkan ruptur, terutama organ-organ yang distensi (misalnya uterus ibu

yang hamil), dan mengakibatkan perdarahan maupun peritonitis. Trauma tarikan

(shearing injury) terhadap organ visera terjadi bila suatu alat pengaman (misalnya

seat-belt) tidak digunakan dengan benar. Pasien yang cedera pada suatu tabrakan

motor bisa mengalami trauma deselerasi.


Tekanan yang tiba-tiba mengakibatkan kerusakan terutama pada organ

yang berongga dapat pula diakibatkan oleh tekanan intraluminer yang tiba-tiba

meninggi. Organ yang rusak yang berlawanan dengan arah trauma, terutama pada

trauma dari samping disebut counter coup.

Pada trauma tumpul abdomen, cedera organ intra abdomen yang

didapatkan umumnya merupakan organ solid, terutama limpa dan hati dimana

kedua organ ini dapat menyebabkan perdarahan intra abdomen. Sedangkan untuk

organ berongga cukup jarang terjadi, dan seringnya dihubungkan dengan seat-belt

atau deselerasi kecepatan tinggi. (Costa et al., 2010). Kunci sukses penanganan

trauma tumpul abdomen adalah kewaspadaan yang tinggi adanya cedera

intraabdomen pada setiap pasien trauma, sehingga bisa mendeteksi sedini

mungkin adanya cedera intaabdomen(Gad et al., 2012)

2. Trauma tembus

Merupakan trauma abdomen dengan penetrasi ke dalam rongga

peritoneum. Disebabkan oleh: luka tembak yang menyebabkan kerusakan yang

besar didalam abdomen. Selain luka tembak, trauma abdomen dapat juga

diakibatkan oleh luka tusuk, akan tetapi luka tusuk sedikit menyebabkan trauma

pada organ internal diabdomen.

trauma tajam secara langsung dapat menyebabkan inkontinuitas jaringan,

saraf dan vaskular. Pecahnya dan robeknya pembuluh darah akan menyebabkan

bocornya pembuluh darah yang membutuhkan penanganan segera untuk

menghentikan pendarahan. Bocornya pembuluh darah secara langsung

mengakibatkan penurunan volume darah sirkulaslasi efektif (syok hipovelemi dan

kekurangan volume cairan). Kerusakan jaringan dan sel saraf menyebabkan

pelepasan mediator nyeri seperti histamin, bradikinin, dan kalium yang bergabung
dengan lokasi reseptor di nosiseptor (reseptor yang berespon terhadap stimulus

yang berbahaya) untuk memulai transmisi neural. Impuls saraf yang dihasilkan

menyebar di sepanjang serabut perifer (serabut C dan A) dan ditransmisikan ke

kornus dorsalis medula spinalis dan selanjutnya ke korteks serebri untuk

selanjutnya di interpretasikan sebagai sensasi nyeri.

Luka tusuk ataupun luka tembak (kecepatan rendah) akan mengakibatkan

kerusakan jaringan karena laserasi ataupun terpotong. Luka tembak dengan

kecepatan tinggi akan menyebabkan transfer energi kinetik yang lebih besar

terhadap organ visera, dengan adanya efek tambahan berupa temporary cavitation,

dan bisa pecah menjadi fragmen yang mengakibatkan kerusakan lainnya.

Kerusakan dapat berupa perdarahan bila mengenai pembuluh darah atau organ

yang padat. Bila mengenai organ yang berongga, isinya akan keluar ke dalam

rongga perut dan menimbulkan iritasi pada peritoneum.

Luka tembak mengakibatkan kerusakan yang lebih besar, bergantung

jauhnya perjalanaan peluru, besar energi kinetik maupun kemungkinan pantulan

peluru oleh organ tulang, maupun efek pecahan tulangnya. Organ padat akan

mengalami kerusakan yang lebih luas akibat energi yang ditimbulkan oleh peluru

tipe high velocity.2,3

Infeksi masih merupakan risiko terbesar pada korban dengan luka tusuk

abdomen. Mortalitas terjadi pada 30% korban luka tusuk abdomen yang menderita

infeksi abdomen mayor. Faktor risiko paling penting adalah adanya cedera pada

organ berongga, dimana luka pada kolon menyebabkan insidensi infeksi tertinggi

relatif terhadap cedera organ intraabdomen. Cedera pada pankreas dan hati secara

signifikan meningkatkan risiko infeksi ketika berkombinasi dengan cedera organ

berongga. Penggunaan antibiotik dalam pencegahan infeksi ini didasarkan pada 3


hal, yakni pilihan agen antibiotik, durasi penggunaan antibiotik, dan dosis optimal

antibiotik

D. Patofisiologi

Patofisiologi cedera intraabdomen pada trauma tumpul abdomen berhubungan

dengan mekanisme trauma yang terjadi. Pasien yang mengalami trauma dengan

energi yang tinggi akan mengalami goncangan fisik yang berat sehingga

menyebabkan cedera organ. (Mehta, Babu and Venugopal, 2014). Ada beberapa

mekanisme cedera pada trauma tumpul abdomen yang dapat menyebabkan cedera

organ intraabdomen, yaitu :

1. Benturan langsung terhadap organ intraabdomen diantara dinding abdomen

anterior dan posterior

2. Cedera avulsi yang diakibatkan oleh gaya deselerasi pada kecelakaan dengan

kecepatan tinggi atau jatuh dari ketinggian. Gaya deselerasi dibagi menjadi

deselerasi horizontal dan deselerasi vertikal. Pada mekanisme ini terjadi

peregangan pada struktur-struktur organ yang terfiksir seperti pedikel dan ligamen

yang dapat menyebabkan perdarahan atau iskemik (Guillion, 2009).

3. Gaya kompresi eksternal yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen

yang tiba-tiba dan mencapai puncaknya biasanya menyebabkan cedera organ

berongga. Berat ringannya perforasi tergantung dari gaya dan luas permukaan

organ yang terkena cedera

4. Laserasi organ intraabdomen yang disebabkan oleh fragmen tulang (fraktur pelvis,

fraktur tulang iga)

5. Peningkatan tekanan intraabdomen yang masif dan mendadak dapat menyebabkan

cedera diafragma bahkan cedera kardiak.


Trauma langsung abdomen atau deselerasi cepat menyebabkan rusaknya organ

intraabdomen yang tidak mempunyai kelenturan (noncomplient organ) seperti hati,

limpa, ginjal dan pankreas. Pola injuri pada trauma tumpul abdomen sering

disebabkan karena kecelakaan antar kendaraan bermotor, pejalan kaki yang ditabrak

kendaraan bermotor, jatuh dari ketinggian dan pemukulan dengan benda tumpul.

Trauma tumpul abdomen terjadi karena kompresi langsung abdomen dengan objek

padat yang mengakibatkan robeknya subscapular organ padat seperti hati atau limpa.

Bisa juga karena gaya deselerasi yang menyebabkan robeknya organ dan pembuluh

darah pada regio yang terfiksir dari abdomen (hati atau arteri renalis). Atau bisa

karena kompresi eksternal yang menyebabkan peningkatan intraluminal yang

menyebabkan cedera organ berongga (usus halus). Trauma tumpul abdomen yang

mayoritas sering mengenai organ limpa sekitar 40% - 55%, hati 35% - 45% dan usus

halus 5%-10%(Avini et al., 2011)

E. Klasifikasi

Berdasarkan mekanisme trauma, dibagi menjadi 2 yaitu :

1. Trauma tumpul (blunt injury)

Suatu pukulan langsung, misalkan terbentur stir ataupun bagian pintu

mobil yang melesak ke dalam karena tabrakan, bisa menyebabkan trauma

kompresi ataupuncrush injury terhadap organ viscera. Hal ini dapat merusak

organ padat maupun organ berongga, dan bisa mengakibatkan ruptur, terutama

organ-organ yang distensi (misalnya uterus ibu hamil), dan mengakibatkan

perdarahan maupun peritornitis. Trauma tarikan (shearing injury) terhadap organ

viscera sebenarnya adalah crush injury yang terjadi bila suatu alat pengaman

(misalnya seat belt jenis lap belt ataupun komponen pengaman bahu) tidak

digunakan dengan benar. Pasien yang cedera pada suatu tabrakan motor bisa
mengalami trauma decelerasi dimana terjadi pergerakan yang tidak sama antara

suatu bagian yang terfiksir dan bagian yang bergerak, seperti rupture lien ataupun

ruptur hepar (organ yang bergerak) dibagian ligamentnya (organ yang terfiksir).

Pemakaian air-bag tidak mencegah orang mengalami trauma abdomen. Pada

pasien-pasien yang mengalami laparotomi karena trauma tumpul, organ yang

paling sering kena adalah lien (40-55%), hepar (35-45%), dan usus (5-10%).

Sebagai tambahan, 15% nya mengalami hematoma retroperitoneal.

2. Trauma tajam (penetration injury)

Luka tusuk ataupun luka tembak (kecepatan rendah) akan mengakibatkan

kerusakan jaringan karena laserasi ataupun terpotong. Luka tembak dengan

kecepatan tinggi akan menyebabkan transfer energi kinetik yang lebih besar

terhadap organ viscera, dengan adanya efek tambahan berupa temporary

cavitation, dan bisa pecah menjadi fragmen yang mengakibatkan kerusakan

lainnya. Luka tusuk tersering mengenai hepar (40%), usus halus (30%), diafragma

(20%), dan colon (15%). Luka tembak menyebabkan kerusakan yang lebih besar,

yang ditentukan oleh jauhnya perjalanan peluru, dan berapa besar energy

kinetiknya maupun kemungkinan pantulan peluru oleh organ tulang, maupun efek

pecahan tulangnya. Luka tembak paling sering mengenai usus halus (50%), colon

(40%), hepar (30%) dan pembuluh darah abdominal (25%).

Trauma pada abdomen dibagi lagi menjadi 2 yaitu trauma pada dinding abdomen

dan trauma pada isi abdomen.

a. Trauma pada dinding abdomen

Trauma dinding abdomen dibagi menjadi kontusio dan laserasi.

1) Kontusio dinding abdomen disebabkan trauma non-penetrasi.


Kontusio dinding abdomen tidak terdapat cedera intra abdomen,

kemungkinan terjadi eksimosis atau penimbunan darah dalam jaringan

lunak dan masa darah dapat menyerupai tumor.

2) Laserasi, jika terdapat luka pada dinding abdomen yang menembus

rongga abdomen harus di eksplorasi atau terjadi karena trauma penetrasi.

b. Trauma pada isi abdomen


Berdasaran jenis organ yang cedera, organ intraabdomen dapat dibagi

menjadi dua yaitu organ padat dan organ berongga. Yang termasuk dalam

organ padat yaitu: hati, mesenterium, ginjal, limpa, pankreas, buli buli, organ

genetalia interna pada wanita, dan diafragma, sedangkan yang termasuk

organ berongga yaitu usus (gaster, duodenum, jejunum, ileum, colon,

rectum), ureter, dan saluran empedu. Beberapa cedera organ yang sering

terjadi pada pasien yang mengalami trauma tumpul abdomen antara lain:

1. Cedera Hati/Hepar

Hati adalah organ terbesar pada rongga abdomen yang letaknya

terlindung dengan baik, namun organ tersebut sering mengalami cedera

selain organ limpa. Cedera organ hati paling utama disebabkan karena

ukurannya, lokasinya dan kapsulnya yang tipis yang disebut Glisson

capsule. Cedera organ hati umumnya cedera akibat trauma tumpul. Hati

menempati hampir seluruh regio hypochondrica dextra, sebagian di

epigastrium dan seringkali meluas sampai ke regio hypochondrica sinistra

sejauh linea mammilaria. Hati dapat mengalami cedera dikarenakan

trauma tumpul ataupun trauma tembus. Hati merupakan organ yang

sering mengalami laserasi, sedangkan kantong empedu sangat jarang

mengalami trauma dan sulit untuk didiagnosis. Penanganan trauma hati

dalam 30 tahun terakhir telah mengalami banyak perkembangan seiring


dengan banyaknya penelitian dan literatur dalam penanganan trauma hati.

Salah satu studi retrospective yang pernah dilakukan pada tahun 1992-

2008 di kota Barcelona, Spanyol pada 143 pasien dengan diagnosis

trauma hati, 87 pasien adalah konservatif (74%) sedangkan 56 pasien

dilakukan tindakan operasi ( 26% )(She etal., 2016).

Penegakkan diagnosis suatu trauma hati berdasarkan atas

anamnesis, pemeriksaan klinis, pemeriksaan laboratorium dan

pemeriksaan penunjang lainnya. Manifestasi klinisnya tergantung dari

tipe kerusakannya. Pada ruptur kapsul Glissoni, tanda dan gejalanya

dikaitkan dengan tanda-tanda syok, iritasi peritoneum dan nyeri pada

epigastrium kanan. Adanya tanda-tanda syok hipovolemik yaitu hipotensi,

takikardi, penurunan jumlah urine, tekanan vena sentral yang rendah, dan

adanya distensi abdomen memberikan gambaran suatu trauma hati.

Tanda-tanda iritasi peritoneum akibat peritonitis biliar dari kebocoran

saluran empedu, selain nyeri dan adanya rigiditas abdomen, juga disertai

mual dan muntah. Pada trauma tumpul abdomen dengan cedera hati

sering ditemukan adanya fraktur tulang iga kanan bawah yaitu tulang iga

VII – IX (Alonso et al., 1997).

Banyaknya perdarahan akibat trauma pada hati akan diikuti

dengan penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit. Ditemukan

leukositosis lebih dari 15.000/ul, biasanya setelah ruptur hati akibat

trauma tumpul. Kadar enzim hati yang meningkat dalam serum darah

menunjukkan bahwa terdapat cidera pada hati, meskipun juga dapat

disebabkan oleh suatu perlemakan hati ataupun penyakit-penyakit hati

lainnya. Peningkatan serum bilirubin jarang, dapat ditemukan pada hari


ke-3 sampai hari ke-4 setelah trauma (Garcia et al., 2010). Nyeri perut

kanan atas disertai adanya jejas setelah terjadi trauma merupakan gejala

yang sering terjadi. Nyeri tekan dan defans muskuler tidak akan tampak

sampai perdarahan pada abdomen dapat menyebabkan iritasi peritoneum.

Pemeriksaan CT scan akurat dalam menentukan lokasi dan luas trauma

hati, menilai derajat hemoperitoneum, memperlihatkan organ

intraabdomen lain yang mungkin ikut cidera, identifikasi komplikasi yang

terjadi setelah trauma hati yang memerlukan penanganan segera terutama

pada pasien dengan trauma hati berat, dan digunakan untuk monitor

kesembuhan. Penggunaan CT scan terbukti sangat bermanfaat dalam

diagnosis dan penentuan penanganan trauma hati. Dengan CT scan

menurunkan jumlah laparatomi pada 70% pasien atau menyebabkan

pergeseran dari penanganan rutin bedah menjadi penanganan non

operastif dari kasus trauma hati (Njile, 2012).

2. Cedera Limpa/Lien

Limpa merupakan suatu organ dari sistem reticulo-endothelial,

yang merupakan jaringan limfe (limfoid) terbesar dari tubuh. Limpa

berukuran kira-kira sebesar kepalan tangan dan terletak tepat di bawah

hemidiafragma kiri. Proyeksi letak limpa pada abdomen yaitu berada

di hypocondriaca sinistra. Organ ini terletak di kuadran kiri atas dorsal

abdomen, menempel pada permukaan bawah diafragma dan terlindung

oleh lengkung iga. Sumbu panjangnya terletak sepanjang iga 10.

Sejajar bagian posterior iga 9, 10, 11 dan terpisah dari diaphragma dan

pleura(Sander, 2015).
Limpa atau lien merupakan organ yang sering cedera pada saat

terjadi trauma tumpul abdomen. Cedera limpa merupakan kondisi yang

membahayakan jiwa karena adanya perdarahan yang hebat. Limpa

terletak tepat di bawah rangka thorak kiri, tempat yang rentan untuk

mengalami perlukaan. Limpa membantu tubuh kita untuk melawan

infeksi yang ada di dalam tubuh dan menyaring semua material yang

tidak dibutuhkan lagi dalam tubuh seperti sel tubuh yang sudah rusak.

Limpa juga memproduksi sel darah merah dan berbagai jenis dari sel

darah putih. Robeknya limpa menyebabkan banyaknya darah yang ada

di rongga abdomen. Cedera pada limpa biasanya disebabkan hantaman

pada abdomen kiri atas atau abdomen kiri bawah. Kejadian yang

paling sering meyebabkan cedera limpa adalah kecelakaan olahraga,

perkelahian dan kecelakaan mobil (Alonso etal., 1997).

Tanda fisik yang ditemukan pada cedera limpa bergantung

pada ada tidaknya organ lain yang ikut cedera, banyak sedikitnya

perdarahan, dan ada atau tidaknya kontaminasi rongga peritoneum.

Perdarahan hebat akibat cedera limpa dapat mengakibatkan syok

hipovolemik berat. Hipotensi atau takikardi merupakan tanda yang

menunjukan adanya cedera limpa. Tanda-tanda lain adanya cedera

pada limpa yaitu : riwayat trauma abdomen yang jelas, diikuti oleh

nyeri abdomen terutama kuadran kiri atas, datang dengan gambaran

menyerupai tumor intra abdomen bagian kiri atas yang nyeri apabila di

tekan disertai tanda anemia sekunder. Elevasi tungkai di tempat tidur

atau pada posisi Trendelenberg dapat menimbulkan nyeri pada puncak

bahu kiri yang disebut Kehr sign. Ciri diagnostik lain termasuk:
peningkatan atau penurunan hematokrit, leukositosis lebih dari 15.000,

foto rontgen yang memperlihatkan fraktur tulang iga kiri bawah,

peninggian diafragma, letak lambung bergeser mendesak ke arah garis

tengah, gambaran tepi limpa menghilang pada pemeriksaan CT

scan(van der Vlies et al., 2011).

Beberpa studi menjelaskan bahwa gejala dan tanda paling

umum yang ditunjukkan oleh pasien trauma limpa adalah nyeri (90%)

dan abdominal tenderness (85%). Kecurigaan terjadinya cedera limpa

juga dengan ditemukan adanya fraktur tulang iga IX dan X kiri, atau

nyeri abdomen kuadran kiri atas. Tanda peritoneal seperti nyeri tekan

dan defans muskuler akan muncul setelah terjadi perdarahan yang

mengiritasi peritoneum. Semua pasien dengan gejala takikardi atau

hipotensi dan nyeri pada abdomen kuadran kiri atas setelah trauma,

harus dicurigai terdapat cedera limpa sampai dapat disingkirkan

dengan pemeriksaan penunjang. Penegakan diagnosis dengan

menggunakan CT scan rutin dilakukan pada rumah sakit pusat

trauma(Costa et al., 2010)

3. Cedera usus

Peritonitis merupakan tanda yang khas dari cedera usus. Dari

pemeriksaan fisik didapatkan gejala ‘burning epigastric pain’ yang

diikuti dengan nyeri tekan dan defans muskuler pada abdomen.

Perdarahan pada usus besar dan usus halus akan diikuti dengan gejala

peritonitis secara umum pada jam berikutnya. Sedangkan perdarahan

pada duodenum biasanya bergejala adanya nyeri pada bagian

punggung. Diagnosis cedera usus ditegakkan dengan ditemukannya


udara bebas dalam pemeriksaan rontgen abdomen konvensional.

Sedangkan pada pasien dengan perlukaan pada duodenum dan colon

sigmoid didapatkan hasil pemeriksaan pada rontgen abdomen dengan

ditemukannya udara dalam rongga retroperitoneal (Mehta, Babu and

Venugopal, 2014)

4. Cedera Ginjal

Organ retroperitoneal yang paling sering mengalami cedera adalah

ginjal. Trauma ginjal terjadi sekitar 1%-5% dari total seluruh trauma.

Trauma ginjal dapat menjadi problem akut yang mengancam nyawa,

namun sebagian besar trauma ginjal bersifat ringan dan dapat dirawat

secara konservatif. Perkembangan dalam pencitraan dan derajat trauma

selama 20 tahun terakhir telah mengurangi angka intervensi bedah pada

kasus-kasus trauma ginjal. Trauma tumpul biasanya terjadi pada kasus-

kasus kecelakaan lalu lintas, terjatuh dari ketinggian, cedera saat olahraga

atau berkelahi. Informasi mengenai riwayat trauma sangat penting untuk

diketahui sehingga dapat menilai besarnya proses decelerasi yang terjadi.

Decelerasi yang sangat cepat dapat menyebabkan kerusakan pembuluh

darah, trombosis arteri renalis, peregangan pembuluh darah vena, atau

avulsi pedikel ginjal(Lynch et al., 2005).

Pada pemeriksaan fisik dinilai adanya trauma tumpul berupa jejas

atau laserasi dan hematoma pada regio flank, lower thorax dan upper

abdomen. Penemuan lain berupa hematuri, nyeri pada pinggang, patah

tulang iga bawah, atau distensi abdomen setelah trauma dapat dicurigai

adanya trauma pada ginjal (Indradiputra and Hartono, 2016). Hematuria

merupakan poin diagnostik penting untuk trauma ginjal. Namun tidak


cukup sensitif dan spesifik untuk membedakan apakah suatu trauma

minor ataukah mayor. Perlu diingat beratnya hematuria tidak berkorelasi

lurus dengan beratnya trauma ginjal. Bahkan untuk trauma ginjal yang

berat, seperti; robeknya ureteropelvic junction, trauma pedikel ginjal, atau

trombosis arteri dapat tampil tanpa disertai dengan hematuria(Lynch et

al., 2005).

5. Cedera Pankreas

Trauma pada pankreas sangat sulit untuk di diagnosis.

Kebanyakan kasus diketahui dengan eksplorasi pada pembedahan. Cedera

pankreas harus dicurigai setelah terjadinya trauma pada bagian tengah

abdomen, contohnya pada benturan stang sepeda motor atau benturan

setir mobil. Perlukaan pada pankreas memiliki tingkat kematian yang

tinggi. Pasien dapat memperlihatkan gejala nyeri pada bagian atas dan

pertengahan abdomen yang menjalar sampai ke punggung. Beberapa jam

setelah trauma, dapat terlihat adanya gejala iritasi peritonial. Diagnosis

dengan penentuan amilase serum biasanya tidak terlalu membantu dalam

proses akut. Pemeriksaan CT scan dapat menegakan diagnosis yang lebih

spesifik (Aziz, Bota and Ahmed, 2014).

6. Cedera Ureter

Trauma pada ureter jarang terjadi tetapi berpotensi menimbulkan

morbiditas dan mortalitas. Trauma ureter sering tidak dikenali pada saat

pasien datang atau pada pasien dengan multipel trauma. Kecurigaan

adanya cedera ureter bisa ditemukan dengan adanya hematuria paska

trauma. Mekanisme trauma tumpul pada ureter dapat terjadi karena

keadaan tiba-tiba dari deselerasi dan akselerasi yang berkaitan dengan


hiperekstensi, benturan langsung pada daerah lumbal 2 dan 3 Gerakan

tiba-tiba dari ginjal menyebabkan terjadinya gerakan naik turun pada

ureter yang menyebabkan terjadinya tarikan pada ureteropelvic junction.

Pada pasien dengan kecurigaan trauma tumpul ureter biasanya didapatkan

gambaran nyeri pada flank sampai ke perut bawah. Gambaran syok

timbul pada 53% kasus, yang menandakan terjadinya perdarahan lebih

dari 2000cc. Diagnosis dari trauma tumpul ureter seringkali terlambat

diketahui karena seringnya ditemukan gejala akibat trauma lain, sehingga

tingkat kecurigaan tertinggi lebih kepada trauma dengan gejala yang lebih

jelas. Pilihan terapi yang tepat tergantung pada lokasi, jenis trauma, waktu

kejadian, kondisi pasien, dan prognosis pasien. Hal terpenting dalam

pemilihan tindakan operasi adalah mengetahui dengan pasti fungsi ginjal

yang kontralateral dengan lokasi trauma(Lynch et al., 2005).

F. Manifestasi Klinis
1. Trauma tembus abdomen (trauma perut dengan penetrasi kedalam rongga
peritonium):
a. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
b. Respon stres simpatis
c. Perdarahan dan pembekuan darah
d. Kontaminasi bakteri
e. Kematian sel
Jika abdomen mengalami luka tusuk, usus yang menempati sebagian besar
rongga abdomen akan sangat rentan untuk mengalami trauma penetrasi. Secara
umum organ-organ padat berespon terhadap trauma dengan perdarahan.
Sedangkan organ berongga bila pecah mengeluarkan isinya dalam hal ini bila usus
pecah akan mengeluarkan isinya ke dalam rongga peritoneal sehingga akan
mengakibatkan peradangan atau infeksi
2. Trauma tumpul abdomen (trauma perut tanpa penetrasi kedalam rongga
peritonium) ditandai dengan:
a. Kehilangan darah.
b. Memar/jejas pada dinding perut.
c. Kerusakan organ-organ.
d. Nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas dan kekakuan (rigidity) dinding perut.
e. Iritasi cairan usus.
Menurut Scheets, secara umum seseorang dengan trauma abdomen menunjukkan
manifestasi sebagai berikut :
a. Laserasi, memar,ekimosis
b. Hipotensi
c. Tidak adanya bising usus
d. Hemoperitoneum
e. Mual dan muntah
f. Adanya tanda “Bruit” (bunyi abnormal pd auskultasi pembuluh darah,
biasanya pd arteri karotis),
g. Nyeri
h. Pendarahan
i. Penurunan kesadaran
j. Sesak
k. Tanda Kehrs adalah nyeri di sebelah kiri yang disebabkan oleh perdarahan
limfa.Tanda ini ada saat pasien dalam posisi recumbent.
l. Tanda Cullen adalah ekimosis periumbulikal pada perdarahan peritoneal
m. Tanda Grey-Turner adalah ekimosis pada sisi tubuh (pinggang) pada
perdarahan retroperitoneal.
n. Tanda coopernail adalah ekimosis pada perineum,skrotum atau labia pada
fraktur pelvis
o. Tanda balance adalah daerah suara tumpul yang menetap pada kuadran kiri
atas ketika dilakukan perkusi pada hematoma limfe

G. Penatalaksanaan Trauma Tumpul

Tindakan pertama yang dilakukan saat menghadapi pasien trauma dengan

sebab apapun adalah melakukan primary survey untuk menyelamatkan pasien dari
ancaman kematian. Semua tindakan pemeriksaan dilakukan secepat mungkin dalam

memastikan kondisi airway, breathing, dan circulation. Tanda vital yangdiperiksa saat

pasien trauma datang ke ruang gawat darurat menjadi petunjuk tingkat cedera yang

terjadi (Mehta, Babu and Venugopal, 2014).

Masalah sirkulasi merupakan masalah pada primary survey yang sering

dihadapi pada pasien trauma tumpul abdomen. Syok karena perdarahan harus bisa

dinilai secepat mungkin untuk tindakan lebih lanjut. Gejala klinis pada suatu

perdarahan bisa belum terlihat jika kekurangan darah kurang dari 10% dari total

volume darah karena pada saat ini masih dapat dikompensasi oleh tubuh. Bila

perdarahan terus berlangsung maka tubuh tidak mampu lagi mengkompensasinya dan

menimbulkan gejala-gejala klinis. Secara umum, syok hipovolemik karena perdarahan

menimbulkan gejala peningkatan frekuensi jantung dan nadi (takikardi), pengisian

nadi yang lemah, kulit dingin dengan turgor yang jelek, ujung-ujung ekstremitas

dingin, dan pengisian kapiler lambat. Ketidakstabilan hemodinamik yang terjadi pada

kondisi syok hipovolemik berupa penurunan curah jantung, penurunan tekanan darah,

peningkatan tahanan pembuluh darah, dan penurunan tekanan vena sentral.

Penurunan tekanan darah sistolik lebih lambat terjadi karena adanya

mekanisme kompensasi tubuh terhadap terjadinya hipovolemia. Pada awal-awal

terjadinya kehilangan darah, terjadi respon sistem saraf simpatis yang mengakibatkan

peningkatan kontraktilitas dan frekuensi jantung. Dengan demikian, pada tahap awal

tekanan darah sistolik dapat dipertahankan. Namun kompensasi yang terjadi tidak

banyak pada pembuluh perifer sehingga terjadi penurunan diastolik dan penurunan

tekanan nadi. Oleh sebab itu, pemeriksaan klinis yang seksama sangat penting

dilakukan karena pemeriksaan yang hanya berdasarkan pada perubahan tekanan darah

sistolik dan frekuensi nadi dapat menyebabkan kesalahan atau keterlambatan diagnosa
dan penatalaksanaan (Mackersie RC, Tiwary AD and SR, 1999). Sebuah penelitian

menyebutkan bahwa hipotensi diidentifikasi sebagai penanda adanya cedera

intraabdomen pada pasien trauma tumpul (Farrath et al., 2012).

Setelah primary survey selesai baru dilakukan secondary survey berupa

anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang lengkap. Anamnesis

dan pemeriksaan fisik merupakan dasar diagnosis cedera intraabdomen. Pada pasien

dengan hipotensi paska trauma, sangat penting untuk mengevaluasi apakah pasien

tersebut mengalami cedera abdomen atau tidak. Tingkat kewaspadaan yang tinggi

terhadap terjadinya cedera intraabdomen dan pemeriksaan yang komperhensif sangat

diperlukan dalam manajemen trauma secara umum. Beberapa alat diagnostik yang

digunakan dalam menegakan diagnosis adanya cedera intraabdomen pada pasien

trauma tumpul abdomen adalah riwayat dan mekanisme trauma, pemeriksaan fisik,

laboratorium, foto polos abdomen, ultrasonografi, diagnostik peritoneal lavage, CT

scan abdomen, dan laparoskopi (van der Vlies et al., 2011). Rumah sakit pusat trauma

menggunakan beberapa algoritme dalam manajemen pasien trauma tumpul abdomen.

Penggunaan algoritme ini bertujuan untuk mempermudah dalam manajemen trauma

tumpul, mencakup manajemen awal, cara diagnostik dan tatalaksana. Mattox, dkk.

Dalam buku Trauma edisi ke – 7 membuat algoritme sederhana dalam menajemen

trauma tumpul abdomen. dalam algoritme ini dijelaskan bahwa penggunaan CT scan

abdomen berdasarkan stabil atau tidaknya hemodinamik pasien.

26
Dari diagram diatas dapat dilihat bahwa pasien trauma tumpul abdomen dengan

hemodinamik stabil, dilakukan pemeriksaan CT scan untuk menilai apakah ada

cedera organ intraabdomen. Pada protokol ini tidak terlihat bahwa penggunaan CT

scan berdasarkan indikasi yang selektif.

Beberapa senter trauma yang lain menggunakan algoritme yang berbeda

dalam manajemen trauma tumpul abdomen. American collage of surgeon juga

mengeluarkan algoritme dalam manajemen trauma tumpul abdomen. Perbedaanya

adalah, penggunaan CT scan untuk evaluasi pasien trauma tumpul abdoemn

dengan hemodinamik stabil, atas dasar tinggi atau rendahnya risiko terjadinya

cedera intraabdomen.

27
Gambar 3. Algoritme manajemen trauma tumpul abdomen. Penggunaan CT
scan yang selektif (Feliciano, 2003).

Penegakan diagnosis cedera intraabdomen pada pasien trauma tumpul abdomen

secara umum berdasarkan anamnesis tentang riwayat trauma, pemeriksaan fisik

dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan ini dilakukan saat secondary survey

dalam penilaian awal pasien trauma.

1. Riwayat trauma
Mekanisme terjadinya trauma sangat penting dalam menentukan

kemungkinan cedera organ intraabdomen yang lebih spesifik. Semua

informasi harus diperoleh dari saksi mata kejadian trauma, termasuk

mekanisme cedera, tinggi jatuh, kerusakan interior dan eksterior kendaraan

dalam kecelakaan kendaraan bermotor, kematian lainnya di lokasi

kecelakaan, tanda vital, kesadaran, adanya perdarahan eksternal, jenis

senjata dan mekanisme lain yang bisa menunjang diagnostik.

Informasi tentang kejadian trauma (mekanisme trauma), keterangan

saksi mata, catatan dari paramedik sangat penting untuk diketahui pada

setiap pasien trauma sehingga bisa mendeteksi cedera organ yang mungkin

terjadi pada pasien. Pada kecelakaan lalu lintas, yang perlu diketahui adalah

kecepatan dan arah dari kecelakaan (kendaraan), kerusakan kendaraan,

penggunaan “seat-belts”, atau terlempar dari kendaraan (Schurink G, 1997).

Selain itu, riwayat AMPLE (Alergy,Medication, Past illness, Last meal,

Environment) penting diketahui untukmengetahui kondisi penyerta pasien

yang mengalami trauma.


H. Terapi Diet
Pemenuhan nutrisi berpengaruh terhadap metabolisme pasca operasi

tergantung berat ringannya operasi, keadaan gizi pasien pasca operasi, dan pengaruh

operasi terhadap kemampuan pasien untuk mencerna dan mengabsorpsi zat-zat gizi.

Setelah operasi sering terjadi peningkatan ekskresi nitrogen dan natrium yang dapat

berlangsung selama lima sampai tujuh hari atau lebih pasca operasi. Pentingnya

nutrisi yang baik pada pasien dengan luka atau pasca operasi merupakan pondasi

untuk proses penyembuhan luka dengan cepat. Nutrisi yang baik akan memfasilitasi

penyembuhan dan menghambat bahkan menghindari keadaan malnutrisi. Selain itu

usaha perbaikan dan pemeliharaan status nutrisi yang baik akan mempercepat

penyembuhan, mempersingkat lama hari rawat yang berarti mengurangi biaya rawat

secara bermakna.

Nutrisi sangat penting bagi perawatan pasien mengingat kebutuhan pasien

akan nutrisi bervariasi, maka dibutuhkan diet atau pengaturan makanan. diet pasca

operasi adalah makanan yang diberikan kepada pasien setelah menjalani pembedahan.

Pengaturan makanan sesudah pembedahan tergantung pada macam pembedahan dan

jenis penyakit penyerta. Tujuan diet pasca operasi adalah untuk mengupayakan agar

status gizi pasien segera kembali normal untuk mempercepat proses penyembuhan

dan meningkatkan daya tahan tubuh pasien, dengan cara memberikan kebutuhan dasar

(cairan, energi, protein), mengganti kehilangan protein, glikogen, zat besi, dan zat gizi

lain, memperbaiki ketidakseimbangan elektrolit dan cairan, mencegah dan

menghentikan perdarahan. Diet yang disarankan adalah Makanan yang mengandung

cukup energi, protein, lemak, dan zat-zat gizi, bentuk makanan disesuaikan dengan

kemampuan penderita, menghindari makanan yang merangsang (pedas, asam), suhu


makanan lebih baik bersuhu dingi, pembagian porsi makanan sehari diberikan sesuai

dengan kemampuan dan kebiasaan makan penderita.

Syarat diet pasca operasi adalah memberikan makanan secara bertahap mulai

dari bentuk cair, saring, lunak, dan biasa. Pemberian makanan dari tahap ke tahap

tergantung pada macam pembedahan dan keadaan pasien, seperti pasca operasi kecil

makanan diusahakan secepat mungkin kembali seperti biasa atau normal. Pasca

operasi besar makanan diberikan secara berhati-hati disesuaikan dengan kemampuan

pasien untuk menerimanya.

Jenis diet dan indikasi pemberian diet adalah diet pasca-bedah I (DPB I)

selama enam jam sesudah operasi, makanan yang diberikan berupa air putih, teh

manis, atau cairan lain seperti pada makanan cair jernih. Makanan ini diberikan dalam

waktu sesingkat mungkin, karena kurang dalam semua zat gizi. Selain itu diberikan

makanan parenteral sesuai kebutuhan. Diet ini diberikan kepada semua pasien pasca

bedah pasca operasi kecil yaitu setelah sadar dan rasa mual hilang dan pasca operasi

besar yaitu setelah sadar dan rasa mual hilang serta ada tanda-tanda usus mulai

bekerja.

Makanan yang diberikan diet pasca-bedah II (DPB II) adalah makanan bentuk

cair kental, berupa kaldu jernih, sirup, sari buah, sup, susu, dan puding rata-rata

delapan sampai 10 kali sehari selama pasien tidak diberikan untuk waktu sesingkat

mungkin karena zat gizinya kurang. Makanan yang tidak boleh diberikan pada DPB

II adalah air jeruk dan minuman yang mengandung karbondioksida. Diet pasca-

bedah II diberikan kepada pasien pasca bedah besar saluran cerna atau sebagai

perpindahan dari DPB I.

Makanan yang diberikan diet pasca-bedah III (DPB III) berupa makanan

saring ditambah susu dan biskuit. Cairan hendaknya tidak melebihi 2000 ml sehari.
Selain itu dapat memberikan makanan parenteral bila diperlukan. Makanan yang

tidak dianjurkan adalah makanan dengan bumbu tajam dan minuman yang

mengandung karbondioksida. Diet pasca-bedah III diberikan kepada pasien pasca

bedah besar saluran cerna atau sebagai perpindahan dari diet pasca-bedah II.

Makanan yang diberikan pada diet pasca-bedah IV (DPB IV) berupa makanan

lunak yang dibagi dalam tiga kali makanan lengkap dan satu kali makanan selingan.

Diet Pasca-Bedah IV diberikan kepada pasien pasca operasi kecil, setelah diet Pasca-

Bedah I dan pasien pasca operasi besar, setelah DPB III.

I. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan abdomen harus dilakukan dengan cara yang teliti dan

sistematis dengan urutan : inspeksi, auskultasi, perkusi dan palpasi. Pada saat

pasien datang ke rumah sakit, mekanisme trauma dan pemeriksaan fisik cukup

akurat dalam menentukan cedera intraabdomen pada pasien dengan kesadaran baik

dan responsif, meskipun terdapat keterbatasan pemeriksaan fisik.

a. Inspeksi

Penderita harus diperiksa secara menyeluruh, mulai dari bagian depan

sampai belakang, dan juga bagian bawah dada dan perineum sesuai anatomi

abdomen. Inspeksi untuk melihat adanya goresan/laserasi, robekan, luka, benda

asing yang tertancap serta status hamil pada perempuan. Adanya jejas, laserasi di

dinding perut, atau perdarahan dibawah kulit (hematome)setelah trauma dapat

memberikan petunjuk adanyakemungkinan kerusakan organ di bawahnya. Memar

ungu kebiruan atau ekimosis diatas area pinggul atau punggung (GreyTurner

Sign) yang menaakan adanya perdarahan retropiretonealatau memar ungu

kebiruan atau ekimosis diatas area umbilicus (Cullen Sign) merupakan indikasi
Perdarahan peritoneal, tetapi hal ini biasanya lambat dalam beberapa jam sampai

hari. Adanya distensi pada dinding perut merupakan tanda penting karena

kemungkinan adanya pneumoperitonium, dilatasi gaster, atau adanya iritasi

peritoneal. Pergerakan pernafasan perut yang tertinggal merupakan salah satu

tanda kemungkinan adanya peritonitis. Laserasi abdomen yang terlihat sesuai pola

sabuk pengaman mobil (Seat Belt Sign) sering ditemukan sebagai tanda klinis

terjadinya cedera organ intraabdomen (Beal et al., 2016). Sebuah penelitian

menyatakan bahwa pada pasien trauma tumpul abdomen, nyeri perut disertai

dengan takikardi, nyeri lepas, distensi abdomen, defans muscular, adanya laserasi

abdomen (seat belt sign), ekimosis merupakan faktor prediktif dalam

mengidentifikasi cedera intra-abdomen (Poletti PA, et al., 2004).

Cedera abdomen yang terjadi pada wanita hamil atau yang mengalami defisit

neurologi, membutuhkan inspeksi khusus pada abdomen untuk melihat :

1) Luka penetrasi yang nyata


2) Eekimosis dan abrasi
3) Memar pada panggul
4) Distensi
5) Pembengkakan testis
6) Tanda balance, cullen atau grey turner

b. Palpasi
Nyeri abdomen merupakan tanda klinis yang dievaluasi saat palpasi. Nyeri

juga dapat bersifat spontan tanpa dilakukan palpasi. Lokasi nyeri sangat

penting untuk mengetahui kemungkinan organ yang terkena. Nyeri abdomen

secara menyeluruh merupakan tanda yang penting kemungkinan peritonitis

akbat iritasi peritoneum, baik oleh darah maupun isi usus. Kecenderungan

untuk menggerakan dinding abdomen (voluntary guarding) dapat menyulitkan


pemeriksaan abdomen. Sebaliknya defans muscular (involuntary guarding)

adalah tanda yang penting dari iritasi peritoneum. Palpasi menentukan adanya

nyeri tekan superfisial, nyeri tekan dalam, atau nyeri lepas. Nyeri lepas terjadi

ketika tangan yang menyentuh perut dilepaskan tiba - tiba, dan biasanya

menandakan peritonitis yang timbul akibat adanya darah atau isi usus yang

mengiritasi peritonium (Rostas etal., 2015). Ukuran lingkar perut bertambah

setiap jamnya.

c. Auskultasi

Pada auskultasi dinilai apakah ada bising usus atau tidak di semua

kuadran. Pada robekan (perforasi) usus, bising usus selalu menurun, bahkan

kebanyakanmenghilang sama sekali. Adanya bunyi usus pada auskultasi

toraks kemungkinan menunjukkan adanya trauma diafragma. Perdarahan

intraperitoneum atau kebocoran (ekstravasasi) usus dapat memberikan

gambaran ileus, mengakibatkan hilangnya bunyi usus. Cedera pada struktur

yang berdektan seperti cedera tulang iga, tulang belakang, panggul juga dapat

menyebabkan ileus meskipun tidak terdapat cedera di intraabdomen, sehingga

tidak adanya bunyi usus bukan berarti pasti ada cedera intraabdominal (Hoff

et al., 2002)

d. Perkusi
Manuver ini menyebabkan pergerakan peritoneum, dan dapat

menunjukkan adanya peritonitis tetapi masih meragukan. Perkusi juga dapat

menunjukan bunyi timpani akibat dilatasi lambung akut di kuadran atas atau

bunyi redup bila ada hemiperitoneum. Perkusi redup hati yang menghilang

menunjukkan adanya udara bebas dalam rongga perut yang berarti

kemungkinan terdapatnya robekan (perforasi) dari organ-organ usus. Nyeri

ketok seluruh dinding perut menunjukkan adanya tanda-tanda peritonitis


umum(Schurink G, 1997). Perkusi di atas abdomen dan area costa vertebra

untuk mendengarkan apakah terdapat bunyi timpani yang mengindikasikan

adanya udara di dalam abdomen sebagai akibat perforasi usus. Pekak sisi

dengan shifting dullness pada rongga perut akibat adanya perdarahan atau

cairan dalam rongga peritonial dan juga mengindikasikan adanya benda solid

di abdomen.

Cedera abdomen sering disertai oleh cedera organ lain, terutama pada

kasus trauma multiple. Identifikasi cedera lain ini dapat memprediksi apakah

ada organ intraabdomen yang mengalami cedera setelah terjadinya trauma.

Fraktur kosta kanan, terutama yang dibawah sering disertai cedera organ

dibawahnya yaitu hati. Evaluasi hati sangat diperlukan jika menemukan pasien

dengan fraktur kosta kanan bawah. Fraktur kosta kiri bawah berhubungan

dengan cedera limpa, karena limpa tepat berada di bawah kosta tersebut.

Ditemukanya kontusio di midepigastrium menandakan kemungkinan cedera

organ dibawahnya seperti duodenum dan pancreas. Fraktur pelvis terutama

yang tidak stabil sering disertai trauma pada urogenital seperti buli-buli dan

uretra. Sedangkan fraktur pada prosesus transversalis lumbal sering

menyebabkan trauma pada ginjal(van der Vlies et al., 2011).

Fraktur pelvis merupakan salah satu faktor yang berhubungan dengan

cedera intraabdomen. Tile mengklasifikasikan fraktur pelvis berdasarkan stabil

dan tidaknya cincin pelvis. Fraktur pelvis yang tidak stabil biasanya terjadi

akibat cedera dengan energi yang tinggi. Biasanya disertai dengan cedera

organ lainya, seperti : cedera kepala, toraks, dan abdomen. 60-80% pasien

dengan fraktur pelvis berkekuatan tinggi memiliki hubungan lain dengan

cedera abdomen dan muskuloskeletal, 12% berhubungan dengan cedera


urogenital dan 8% berhubungan dengan cedera pleksus lumbosacralis.

Kejadian keseluruhan cedera genitourinaria yang berhubungan dengan patah

tulang pelvis adalah sebesar 12%, yang paling sering adalah cedera kandung

kemih. Pria danwanita sama-sama cenderung mengalami cedera pada kandung

kemih tapikerusakan pada uretra pria lebih sering terjadi dibandingkan wanita.

Patah tulang ekstremitas dan tulang belakang juga bisa terjadi pada pasien

dengan fraktur pelvis.Perdarahan dapat menyertai fraktur pelvis terutama

akibat patah tulang terbuka, cedera pada jaringan lunak, dan perdarahan vena

lokal.Gangguan cincin pelvis yang tidak stabil akibat translasi dan rotasi

menyebabkan deformitas, nyeri, dan kecacatan yang signifikan. Perdarahan

merupakan penyebab utama kematian pada pasien dengan fraktur pelvis,

dengan keseluruhan angka kematian antara 6-35% pada fraktur pelvis

berkekuatan-tinggi. Evaluasi pasien secara lengkap sangat penting pada pasien

dengan fraktur pelvis berkekuatan-tinggi karena sering berhubungan dengan

cedera yang lain. (Corwin etal., 2014).Pemeriksaan fisik abdomen pada saat

awal sering gagal untuk mendeteksi cedera abdomen yang signifikan pada

pasien multitrauma. Penundaan dalam mendiagnosis menyebabkan

peningkatan angka morbiditas dan mortalitas, rawat inap berkepanjangan, dan

akhirnya, biaya kesehatan lebih besar. Gejala fisik yang tidak jelas, kadang

ditutupi oleh nyeri akibat trauma ekstraabdominal dan dikaburkan oleh

intokasi atau trauma kepala, merupakan penyebab utama tidak terdeteksinya

cedera intraabdomen. Lebih dari 75% pasien dengan trauma abdomen yang

membutuhkan tindakan bedah segera, pada awalnya mempunyai gejala klinik

yang tidak khas (benign physical examination), sehingga ahli bedah yang

kurang waspada dan menganggap tidak ada cedera intraabdoemen(Hoff et al.,


2002). Suatu penelitian menyatakan bahwa dari 437 pasien-pasien trauma

tumpul abdomen, 47% tidak mempunyai gejala klinik yang khas pada evaluasi

awal, 44% ditemukan dari hasil “diagnostic test” dan 77% dari mereka

didapatkan trauma intra abdominal. Tanda peritonitis merupakan mandatori

untuk dilakukan laparotomi tanpa menunggu hasil-hasil tes-tes diagnostik.

Oleh karena itu, pemeriksaan abdomen yang teliti, sistematik sangat

dianjurkan pada setiap kasus-kasus trauma abdomen(Beal et al., 2016).

Cedera intraabdomen pada trauma tumpul sering disertai dengan

trauma multipel. Trauma thoraks, trauma kepala, dan trauma terhadap

ekstremitas sering menyertai trauma abdomen akibat mekanisme trauma yang

kompleks. Terdapat beberapa scoring system untuk trauma dan secara garis

besar dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis berdasarkan komponen-

komponen yang digunakan, yaitu skor anatomis, skor fisiologis, dan skor

kombinasi. Untuk skor fisiologis, RevisedTrauma Score (RTS) merupakan

skor yang paling sering digunakan. RTS terdiridari tiga komponen yaitu

Glasgow Coma Scale (GCS), systolic blood pressure(SBP), dan respiratory

rate (RR). Komponen skor ini merupakan komponen vitalyang harus dinilai

pada suatu trauma abdomen yang disertai trauma penyerta yang lain. Beberapa

studi menyebutkan bahwa GCS < 14 sebagai faktor prediktif terjadinya cedera

intraabdomen, tetapi disertai dengan cedera laian seperti cedera thoraks dan

ekstremitas. Penurunan GCS tersendiri tanpa ada cedera yang menyertai pada

studi tersebut tidak mengindikasikan dilakukan CT scan abdomen untuk

evaluasi cedera intraabdomen(Rostas et al., 2015). Penelitian lain juga

menyebutkan bahwa GCS < 14 sebagai salah satu faktor yang memprediksi

adanya cedera intraabdomen pada pasien trauma tumpul abdomen. Penurunan


kesadaran yang diukur melalui GCS disebabkan oleh faktor intrakranial dan

ekstrakranial. Faktor ekstrakranial yang paling sering sebagai penyebab

penurunan kesadaran adalah syok hipovolemik karena perdarahan. Pasien

tidak sadar yang disebabkan oleh trauma kepala yang disertai dengan trauma

abdomen harus menjadi perhatian khusus untuk mencegah mortalitas.

J. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang rutin dilakukan dalam manajemen pasien trauma

adalah : laboratorium, foto toraks dan abdomen, ultrasonografi, DPL, CT scan dan

laparoskopi diagnostik. Pemeriksaan dilakukan tergantung pada stabilitas

hemodinamik pasien dan prediksi tingkat keparahan cedera. Pasien trauma tumpul

abdomen dengan hemodinamik stabil dapat dievaluasi dengan Ultrasonografi (USG)

abdomen, atau CT scan. Pasien trauma tumpul dengan ketidakstabilan hemodinamik

harus dievaluasi dengan USG di ruang resusitasi jika tersedia, atau dengan lavage

peritoneum untuk menyingkirkan cedera intraabdomen (Vlies, 2017).

1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium di awal kejadian trauma hanya sedikit memberi

arti kecuali digunakan sebagai data dasar dalam monitor perkembangan klinik

selanjutnya. Sehingga perlu dilakukan pemeriksaan secara serial, seperti misalnya

serial haematocrit dan hemoglobin untuk monitor kehilangan darah, amylase untuk

monitor adanya trauma pancreas. Pemeriksaan laboratorium awal yang diperlukan

dalam manajemen trauma abdomen antara lain:

 Complete Blood Count (CBC), menilai penurunan hemoglobin


(Hb),hematokrit (Hct) dan platelet (PLT)
 Blood Urea Nitrogen (BUN), mungkin meningkat menandakan
adanyadisfungsi ginjal.
 Kadar elektrolit dalam serum mungkin menunjukkan abnormalitas.
 Analisa gas darah, yang mengidentifikasi adanya asidosis metabolik.

 Tes koagulasi, yang menunjukkan pemanjangan PT dan APTT, untuk


menilai adanya koagulopati
 Pemeriksaan transaminase untuk menilai kemungkinan cedera hati.
 Test kehamilan pada semua wanita usia produktif

Complete Blood Count (CBC) merupakan pemeriksaan lab sederhana yang

cepatbisa dilakukan, meliputi komponen hemoglobin, hematokrit dan platelet.

Pemeriksaan Hemoglobin (Hb) diperlukan untuk data dasar bila terjadi perdarahan

terus menerus, demikian pula dengan pemeriksaan hematokrit (Hct). Hb dan Hct

yang cenderung menurun saat diperiksa lebih dari satu kali, menandakan

kemungkinan adanya proses perdarahan didalam perut yang sedang berlangsung.

Tanda ini sebagai faktor prediktif terjadinya cedera intraabdomen sehingga

diperlukan pemeriksaan penunjang lainya. Pemeriksaan leukosit yang melebihi

20.000/mm tanpa terdapatnya infeksi menunjukkan adanya perdarahan cukup

banyak terutama pada cederaa lienalis. Serum amilase yang meninggi

menunjukkan kemungkinan adanya trauma pankreas atau perforasi usus halus.

Kenaikan transaminase menunjukkan kemungkinan trauma terjadi pada hati.

Hematokrit serial merupakan pemeriksaan yang digunakan untuk mengevaluasi

pasien trauma. Penurunan hematokrit merupakan tanda kehilangan darah yang

banyak, Respon terhadap resusistasi akan menjadi pertimbangan dalam

pengambilan keputusan.(Vlies, 2017). Penelitian di Amerika mempelajari tentang

beberapa hasil tes laboratorium abnormal pada pasien yang mengalami cedera

intraabdomen. Beberapa studi menunjukkan defisit basa (< -6 mEq/L) adalah

prediktif pada cedera intra-abdomen. Hematuria (25-50 RBC/hpf) diprediksi empat

kali lipat peningkatan risiko cedera intra-abdomen. Tingkat hematokrit kurang dari

30% meningkatkan kemungkinan cedera intraabdomen lebih banyak daripada


hematokrit <36%. Penurunan Hct lebih dari 5% sangat signifikan berhubungan

dengan cedera intraabdomen. Penanda laboratorium lainnya termasuk peningkatan

jumlah WBC dan peningkatan laktat, kurang berguna untuk mengidentifikasi

pasien dengan cedera intraabdomen. Transaminase hati yang meningkat

(aspartateaminotransferase atau alanine aminotransferase) adalah petanda

adanyakerusakan hati (Holmes, Wisner, et al., 2009)

2. Foto polos abdomen

Hal berguna untuk melihat adanya udara atau cairan bebas intraabdomen.

Dibutuhkan kurang lebih 800 ml cairan bebas baru bisa terlihat pada foto polos

abdomen. Foto tegak dapat menunjukan udara bebas intraperitoneal yang

disebabkan oleh perforasi organ visera berongga, adanya nasogastric tube pada

rongga thoraks (cedera diaphragma). Pemeriksaaan rontgen servikal lateral, toraks

anteroposterior (AP), dan pelvis adalah pemeriksaan yang harus dilakukan pada

penderita dengan multitrauma. Pada penderita yang hemodinamik stabil, maka

pemeriksaan rontgen abdomen dalam keadaan terlentang dan tegak mungkin

berguna untuk mengetahui adanya uadara ekstraluminal di retroperitoneum atau

udara bebas di bawah diafragma. Hilangnya bayangan pinggang (psoas shadow)

juga menandakan adanya cedera retroperitoneum. Bila foto tegak

dikontraindikasikan karena nyeri atau patah tulang punggung, dapat digunakan foto

samping sambil tidur (left lateral decubitus) untuk mengetahui udara bebas

intraperitoneal(Jansen, Yule and Loudon, 2008).

3. Computed Tomography Abdomen (CT Scan Abdomen)

Merupakan metode yangpaling sering digunakan untuk mengevaluasi

pasien dengan trauma abdomen tumpul yang stabil. Metode pencitraan CT scan

telah membawa perubahan besar dalam penanganan pasien dengan trauma tumpul
abdomen. Manfaat terbesarnya adalah penurunan jumlah pasien yang memerlukan

tindakan pembedahan dan operasi non terapiutik. Saat ini keakuratan CT scan

dalam menilai tingkat beratnya cedera intraabdomen masih dipertanyakan. Suatu

penelitian menyatakan bahwa grading trauma hati preoperative dengan CT scan

dihubungkan dengan penemuan saat operasi, hanya 16% yang sesuai. Harus

ditekankan untuk mengambil tindakan intervensi operasi didasarkan pada stabilitas

hemodinamik pasien tanpa memperhatiakan grading CT scan (Mariappan and

Madhusudhanan, 2016).

4. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)

Mulai dikenal pada tahun 1965 memberikan metode yang aman dan murah

yang dengan cepat dapat mengidentifikasi adanya cedera intraabdomen. DPL

merupakan tes cepat dan akurat yang digunakan untuk mengidentifikasi cedera

intraabdomen setelah trauma tumpul pada pasien hipotensi paska trauma tanpa

indikasi yang jelas untuklaparotomi eksplorasi abdomen.

Peritoneum lavage adalah tindakan melakukan bilasan rongga perut dengan

memasukkan ± 1 liter cairan air garam fisiologis (NaCl 0,9%) yang steril melalui

kanul dimasukkan kedalam rongga peritoneum, setelah 10-15 menit cairan tadi

dikeluarkan lagi, bila cairan yang keluar berwarna merah, maka kesimpulannya

adalah ada darah dalam rongga perut. Menurunnya hematokrit disertai dengan

perasaan nyeri yang tetap pada perut kiri atas, ada kalanya memerlukan peritoneal

lavage yang kedua meskipun peritoneal lavage yang pertama memberi hasil yang

negatif.

Indikasi untuk melakukan DPL sebagai berikut : nyeri abdomen yang tidak

bisa diterangkan sebabnya, Trauma pada bagian bawah dari dada, hipotensi,

hematokrit turun tanpa alasan yang jelas, pasien cedera abdominal dengan
gangguan kesadaran (obat,alkohol, cedera otak), pasien cedera abdominal dan

cedera medula spinalis (sumsum tulang belakang), dan patah tulang pelvis.

Sedangkan kontra indikasi relatif melakukan DPL adalah : pasien hamil, pernah

operasi abdominal, operator tidak berpengalaman dan bila hasil DPL nantinya tidak

akan merubah penatalaksanaan. Kriteria standar untuk lavage peritoneal yang

positif meliputi aspirasi setidaknya 10 mL darah, lavage berdarah, sel darah merah

hitung lebih besar dari 100.000 / mm3, sel darah putih hitung lebih besar dari

500/mm3, amilase lebih besar dari 175 IU / dL, atau deteksi empedu, bakteri, atau

serat makanan (Ikegami et al., 2014).

5. Focused Assessment With Sonography for Trauma (FAST)

Pemeriksaan pengkajian fokus pada trauama dengan sonografi merupakan

pemeriksaan yang cepat, ultrasoud terletak di samping tempat tidur untuk empat

sampai enam area spesifik abdomen. Pemeriksaan ini dilakukan untuk

menidentifikasi cairan bebas di intraperitoneal atau pericardial pada kasus trauma.

Pemeriksaan FAST sngat sensitif dan dapat mendeteksi volume cairan 100-200 ml.

Pemeriksaan ini tidak termasuk tindakan invasiv, dapat dilakukan bersamaan

dengan resusitasi dan memerlukan waktu kurang dari 5 menit. Sayangnya

pemeriksaaan FAST tidak dapat mengkaji area retroperitonium atau colorektal

secara adekuat dan tidak terlalu sensitif untuk mengevaluasi adanya organ solid

dan kerusakan viseral. Indikasi pemeriksaan FAST meliputi : ditemukannya trauma

abdomen, baik penetrasi maupun tumpul dan setiap pasien dengan mekanisme

cedera diperkirakan berisiko mengalami trauma tumpul.

6. Pemeriksaan dengan kontras yang khusus

a. Urethrografi

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, harus dilakukan urethrografi


sebelum pemasangan kateter urine bila kita curigai adanya ruptur urethra.

Pemeriksaan urethrografi digunakan dengan memakai kateter no.# 8-F dengan

balon dipompa 1,5-2cc di fossa naviculare. Dimasukkan 15-20 cc kontras yang

diencerkan. Dilakukan pengambilan foto dengan projeksi oblik dengan sedikit

tarikan pada pelvis.

b. Sistografi

Rupture buli-buli intraataupun ekstraperitoneal terbaik ditentukan dengan

pemeriksaan sistografi ataupun CT-Scan sistografi. Dipasang kateter urethra

dan kemudian dipasang 300 cc kontras yang larut dalam air pada kolf setinggi

40 cm diatas pasien dan dibiarkan kontras mengalir ke dalam bulu-bulu atau

sampai (1) aliran terhenti (2) pasien secara spontan mengedan, atau (3) pasien

merasa sakit. Diambil foto rontgen AP, oblik dan foto post-voiding. Cara lain

adalah dengan pemeriksaan CT Scan (CT cystogram) yang terutama

bermanfaat untuk mendapatkan informasi tambahan tentang ginjal maupun

tulang pelvisnya. (American College of Surgeon Committee of Trauma, 2004 :

148)

c. CT Scan/IVP

Bilamana ada fasilitas CT Scan, maka semua pasien dengan hematuria dan
hemodinamik stabil yang dicurigai mengalami sistem urinaria bisa diperiksa

dengan CT Scan dengan kontras dan bisa ditentukan derajat cedera ginjalnya.

Bilamana tidak ada fasilitas CT Scan, alternatifnya adalah pemeriksaan

Ivp.Disini dipakai dosis 200mg J/kg bb kontras ginjal. Dilakukan injeksi bolus

100 cc larutan Jodine 60% (standard 1,5 cc/kg, kalau dipakai 30% 3,0 cc/kg)

dengan 2 buah spuit 50 cc yang disuntikkan dalam 30-60 detik. 20 menit

sesudah injeksi bila akan memperoleh visualisasi calyx pada X-Ray. Bilamana

satu sisi non-visualisasi, kemungkinan adalah agenesis ginjal, thrombosis


maupun tertarik putusnya a.renalis, ataupun parenchyma yang mengalami

kerusakan massif. Nonvisualisasi keduanya memerlukan pemeriksaan lanjutan

dengan CT Scan + kontras, ataupun arteriografi renal atau eksplorasi ginjal.

K. Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

a. Survei Primer

Pengkajian yang dilakukan untuk menentukan masalah yang

mengancam nyawa, harus mengkaji dengan cepat apa yang terjadi di lokasi

kejadian. Paramedik mungkin harus melihat. Apabila sudah ditemukan luka

tikaman, luka trauma benda lainnya, maka harus segera ditangani, penilaian

awal dilakukan prosedur ABC jika ada indikasi, jika korban tidak berespon,

maka segera buka dan bersihkan jalan napas.

1) Airway, dengan Kontrol Tulang Belakang, membuka jalan napas

menggunakan teknik ’head tilt chin lift’ atau menengadahkan kepala

dan mengangkat dagu, periksa adakah benda asing yang dapat

mengakibatkan tertutupnya jalan napas. Muntahan, makanan, darah

atau benda asing lainnya.

2) Breathing, dengan ventilasi yang adekuat, memeriksa pernapasan

dengan menggunakan cara ’lihat-dengar-rasakan’ tidak lebih dari 10

detik untuk memastikan apakah ada napas atau tidak, selanjutnya

lakukan pemeriksaan status respirasi korban (kecepatan, ritme dan

adekuat tidaknya pernapasan).

3) Circulation, dengan kontrol perdarahan hebat, jika pernapasan korban

tersengal-sengal dan tidak adekuat, makabantuan napas dapat

dilakukan. Jika tidak ada tanda-tanda sirkulasi, lakukan resusitasi


jantung paru segera. Rasio kompresi dada dan bantuan napas dalam RJP

adalah 15 : 2 (15 kali kompresi dada dan 2 kali bantuan napas.

4) Disability, kaji tingkat kesadaran sesuai GCS, respon pupil anisokor

apabila adanya diskontinuitas saraf yang berdampak pada medulla

spinalis.

5) Exposure/Environment, Penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya

dengan cara menggunting untuk memeriksa dan evaluasi penderita. Paparan

lengkap dan visualisasi head-to-toe pasien adalah wajib pada pasien dengan

trauma abdomen penetrasi. Ini termasuk bagian bokong, bagian posterior dari

kaki, kulit kepala, bagian belakang leher, dan perimeum. Setelah pakaian

dibuka penting penderita diselimuti agar penderitatidak kedinginan.

b. Survei Sekunder

1) Anamnesa

a) Biodata

b) Keluhan Utama

- Keluhan yang dirasakan sakit.

- Hal spesifik dengan penyebab dari traumanya.

c) Riwayat penyakit sekarang (Trauma)


- Penyebab dari traumanya dikarenakan benda tumpul atau peluru.

- Kalau penyebabnya jatuh, ketinggiannya berapa dan bagaimana

posisinya saat jatuh.

- Kapan kejadianya dan jam berapa kejadiannya.

- Berapa berat keluhan yang dirasakan bila nyeri, bagaimana sifatnya

pada quadran mana yang dirasakan paling nyeri atau sakit sekali.

d) Riwayat Penyakit yang lalu

- Kemungkinan pasien sebelumnya pernah menderita gangguan jiwa.


- Apakah pasien menderita penyakit asthma atau diabetesmellitus dan

gangguan faal hemostasis.

e) Riwayat psikososial spiritual

- Persepsi pasien terhadap musibah yang dialami.

- Apakah musibah tersebut mengganggu emosi dan mental.

- Adakah kemungkinan percobaan bunuh diri (tentamen-suicide).

f) Pemeriksaan Fisik

Sistem Pernapasan (B1= brething)

- Pada inspeksi bagian frekwensinya, iramanya dan adakah jejas pada

dada serta jalan napasnya.

- Pada palpasi simetris tidaknya dada saat paru ekspansi dan pernapasan

tertinggal.

- Pada perkusi adalah suara hipersonor dan pekak.

- Pada auskultasi adakah suara abnormal, wheezing dan ronchi.

Sistem cardivaskuler (B2 = blead)

- Pada inspeksi adakah perdarahan aktif atau pasif yang keluar dari

daerah abdominal dan adakah anemis.

- Pada palpasi bagaimana mengenai kulit, suhu daerah akral dan

bagaimana suara detak jantung menjauh atau menurun dan adakah

denyut jantung paradoks.

Sistem Neurologis (B3 = Brain)

- Pada inspeksi adakah gelisah atau tidak gelisah dan adakah jejas di

kepala.

- Pada palpasi adakah kelumpuhan atau lateralisasi pada anggota gerak

- Bagaimana tingkat kesadaran yang dialami dengan menggunakan


Glasgow Coma Scale (GCS)

Sistem Gatrointestinal (B4 = bowel)

Pada inspeksi :

- Adakah jejas dan luka atau adanya organ yang luar.

- Adakah distensi abdomen kemungkinan adanya perdarahan dalam

cavum abdomen.

- Adakah pernapasan perut yang tertinggal atau tidak.

- Apakah kalau batuk terdapat nyeri dan pada quadran berapa,

kemungkinan adanya abdomen iritasi.

Pada palpasi :

- Adakah spasme / defance mascular dan abdomen.

- Adakah nyeri tekan dan pada quadran berapa.

- Kalau ada vulnus sebatas mana kedalamannya.

Pada perkusi:

- Adakah nyeri ketok dan pada quadran mana.

- Kemungkinan – kemungkinan adanya cairan / udara bebas dalam

cavum abdomen.

Pada Auskultasi :

- Kemungkinan adanya peningkatan atau penurunan dari bising usus

atau menghilang.

Pada rectal toucher :

- Kemungkinan adanya darah / lendir pada sarung tangan.

- Adanya ketegangan tonus otot / lesi pada otot rectum.

Sistem Urologi ( B5 = bladder)

- Pada inspeksi adakah jejas pada daerah rongga pelvis dan adakah
distensi pada daerah vesica urinaria serta bagaimana produksi urine

dan warnanya.

- Pada palpasi adakah nyeri tekan daerah vesica urinaria dan adanya

distensi.

- Pada perkusi adakah nyeri ketok pada daerah vesica urinaria.

Sistem Tulang dan Otot ( B6 = Bone )

- Pada inspeksi adakah jejas dan kelaian bentuk extremitas terutama

daerah pelvis.

- Pada palpasi adakah ketidakstabilan pada tulang pinggul atau pelvis.

2. Diagnosa Keperawatan

a) Nyeri Akut

b) Kekurangan Volume Cairan

c) Ketidaketektifan pola napas

d) Kerusakan Integritas Jaringan

e) Kerusakan Integrintas Kulit

f) Resiko Syok Hipovolemik


NO DIAGNOSA TUJUAN REN

1 Kekurangan Volume - Fluid balance Fluid manage


cairan - Hydration
1. Timbang
Definisi : penurunan
- Nutritional Status: Food and Fluid 2. Pertahanka
cairan intravaskular, interstisial, - Intake akurat
dan atau intraseluler. Ini 3. Monitor sta
mengacu pada dehidrasi, mukosa, na
Kriteria Hasil : ortostatik),
kehilangan cairan saat tanpa
4. Monitor
perubahan pada natrium - Mempertahankan urine output
vit
sesuai dengan usia dan BB, BJ
5. Monitor m
urine normal, HT normal
intake kalo
Batasan Karakteristik - Tekanan darah, nadi, suhu tubuh 6. Kolaborasi
dalam batas normal 7. Monitor sta
- Perubahan status mental - Tidak ada tanda tanda dehidrasi, 8. Berikan cai
- Penurunan tekanan Elastisitas turgor kulit baik, 9. Dorong ma
darah membran mukosa lembab, tidak 10. Berikan pe
- Penurunan tekanan nadi ada rasa haus yang berlebihan 11. Dorong ke
- Penurunan volume nadi - makan
- Penurunan turgor kulit 12. Tawarkan
- Penurunan turgor lidah 13. Kolaborasi
- Penurunan haluaran urin 14. Atur kemu
- Penurunan pengisisan 15. Persiapan
vena Hypovolemia
- Membran mukosa 1. Monitor sta
kering output cair
- Kulit kering 2. Pelihara IV
- Peningkatan hematokrit 3. Monitor tin
- Peningkatan suhu tubuh 4. Monitor ta
- Peningkatan frekwensi 5. Monitor re
nadi cairan
- Peningkatan kosentrasi 6. Monitor be
urin 7. Dorong pa
- Penurunan berat badan 8. Pemberian
- Tiba-tiba (kecuali pada gejala kele
ruang ketiga) 9. Monitor ad
- Haus
- Kelemahan

Faktor
Yang
Berhubungan
- Kehilangan cairan aktif

49
- Kegagalan mekanisme
regulasi

2 Nyeri akut Pain


managem
Definisi : - Pain Level,
- Pain control 1. Lakuka
4 ResikoPengalaman
syok ( hipovolemik)
sensori - Syok prevention Syok preventi
- Comfort level secara
danemosional yang tidak - Syok management
Kriteria Hasil : karakte
mata kurang bercahaya, - Monitor st
menyenangkanyang
tampak kacau, gerakan muncul faktor p
Kriteria
- Hasil
Mampu : mengontrolnyeri (tahu
akibat
mata kerusakan
berpencar atauotot kulit,2.
denyObserv
-jaringanyang
Menggunakan aktual atau penyebabnyeri,
suara nafas abnormal) 9. Berikan br
danketi
tetap pernafasan
pada satu tambahan - Nadi - dalam Tanda
batas yang
mampumenggunakan
Tanda vital diharapkan
dalam rentang perifer, dan
potensial ataudigambarkan
fokusmeringis) 3.10. Berikan
Gunakape
-dalamNasal flaring tehniknonfarmakologi
normal (tekanan darah,
- Irama jantung dalam batas yang nadi, Lembab
- Monitor ta terapeu
hal
- Sikap melindungi area
- Dyspnea untukmengurangi
pernafasan) 11. Atur intakp
nyeri
kerusakansedemikian rupa diharapkan
nyeri - Monitor su
-(InternationalAssociation
Orthopnea nyeri,mencari bantuan) keseimban
4. Kaji ku
- Fokus menyempit (mis, - Melaporkan bahwabatas
nyeriyang
berkurang
- Perubahan
gangguan persepsi
for the study nyeri, -
of Pain):awitan Frekuensi nafas dalam - 12. nyerire
Monitor
Monitor in
denganmenggunakanmanajemen
yangpenyimpangan
hambatan tiba-tiba atau dada
lambat diharapkan
nyeri
5. Evaluas
- Pantau nila
-
proses Nafas pendek
berfikir,ringan hingga - Mampu mengenalinyeri (skala,
danintensitas 6. Evaluas
Terapi Oksige
elektrolitlain ten
-beratPernafasan
penurunan yang - Natrium
pursed-lip
interaksi
denganakhir serum dbn
intensitas,frekuensi dan tandanyeri
-dapatTahap
denganorang ekspirasi
dan masa
1. Bersihkan la
diantisipasi - Kalium serum dbn rasanyaman setelah- Monitor
- )Menyatakan he
berlangsungdan
lingkungan) sangat lama 7. Bantu
ataudiprediksi nyeri berkurang 2. Pertahanka
- Peningkatan
- Indikasi nyeri yangdiameter - Klorida serum dbn - Monitor dan me
ta
berlangsung 8.3. Atur perala
Kontrol
dapatanterior-posterior
diamati - Kalsium serum dbn Magenesium - Monitor ta
Faktor 4. Monitor mempeali
Batasanyang
- Perubahan berhubungan
Karakteristik
posisi untuk :
:
menghindarinyeri serum dbn 5. Pertahanka
- Tempatkan ruangan
- Perubahan selera makan
- Sikap tubuh melindungi - PH darah serum dbn 9.6. Onservasi
Kurang
- Perubahan
Hiperventilasi tekanan elevasi un
- Dilatasi pupil 10. a Pilih da
darah
- Deformitas
- Melaporkan secara - Hidrasi
nyeritulang tepat nyeri(fa
7. Monitor a
- Perubahan frekwensi
- Kelainan bentuk dinding inter pe
verbal
jantung - Lihatoksigenasi
dan
- Gangguan dada tidur 11. Kaji tip
Perubahan frekwensi p
- Penurunan
Faktor Yang Berhubungan : menent
pernapasan
energi/kelelahan - Berikan 12. Ajarkan
- Agen Laporan isyarat
cedera (mis,
- Perusakan/pelemahan cai 13. Berikan
- muskulo-skeletal
Diaforesis
biologis, zat kimia,fisik, Vital sign Mo
14. Evaluas
- Berikan va
-- Obesitas
Perilaku distraksi
psikologis) 1. Monitor T
(mis,berjaIanmondar-
- Posisi tubuh - Ajarkan keadan
2. Catat
mandir
- Kelelahan otot mencari orang
lain danatau aktivitas gejala data V
3. Monitor
pernafasan berdiri
lain, aktivitas sindrom
- Hipoventilasi -Airway
Ajarkan ke
3 Ketidaketektifan pola napas - Respiratory status : Ventilation
yang berulang) 4. Mana
Auskultasi
- Nyeri - Respiratory status : Airway patency 1. untuk men
- Mengekspresikan Bukabandingkan
jalan
- Kecemasan
perilaku (mis,gelisah, - Vital sign Status atau jaw
5.manage th T
Monitor
Syok
- Disfungsi
Definisi :merengek,
Pertukaranmenangis)
udara Kriteria Hasil : 2. Posisikan
setelah akti
- Neuromuskuler
inspirasi Masker
dan/atauwajah (mis,
ekspirasi ventilasi
- Kerusakan - Mendemonstrasikan batuk efektif - Monitor fu ku
6. Monitor
tidak adekuat 3. Identifikasi
persepsi/kognitif dan suara nafas yang bersih, tidak - Monitor 7. Monitor
fu fre
jalan nafas
- Perlukaan pada jaringan ada sianosis dan dyspneu (mampu 8. Monitor su
4. Pasang ma
syaraf tulang belakang mengeluarkan sputum, mampu - Monitor te
9. Monitor
Batasan karakteristik
- Imaturitas :
Neurologis bernafas dengan mudah, tidak ada -5. Lakukan fi po
Monitor sta
pursed lips) 10. Monitor su
6. Keluarkan
- Penurunan tekanan - Menunjukkan jalan nafas yang -7. Catat gas d sia
Auskultas
11. Monitor
inspirasi/ekspirasi paten (klien tidak merasa tercekik, - i12. Monitor a
Memoni
- Penurunan pertukaran irama nafas, frekuensi pernafasan tambahan
udara per menit yang meleb
misalnya,re
dalam rentang normal, tidak ada 8. Lakukan su
PaO₂ tingk
13. Identifikasi
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Trauma abdomen merupakan kasus emergency dengan tingkat morbiditas dan

mortalitas yang tinggi. Diagnostik dan manajemen masih menjadi tantangan para ahli

bedah di seluruh dunia. Berkembangnya modalitas untuk diagnostik dan terapi saat

ini, menurunkan angka mortalitas pasien trauma abdomen (Costa et al., 2010).

Trauma abdomen merupakan salah satu penyebab kematian ke-3 pada pasien trauma,

dan ditemukan sekitar 7–10% dari jumlah seluruh kasus trauma. Klasifikasi trauma

abdomen berdasarkan jenis trauma dibagi menjadi dua yaitu trauma tajam (penetrans)

dan trauma tumpul (blunt trauma). Angka kejadian trauma tumpul abdomen

didapatkan sekitar 80% dari keseluruhan trauma abdomen. Saat ini ada beberapa

algoritme dalam manajemen trauma tumpul abdomen yang dibuat untuk

mempermudah alur penanganan pasien di ruang gawat darurat(Jansen, Yule and

Loudon, 2008).

Dari pembahasan yang sudah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa Trauma

abdomen adalah terjadinya atau kerusakan pada organ abdomen yang dapat

menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme, kelainan

imonologi dan gangguan faal berbagai organ.Yang diklasifikasikan menjadi 2 yaitu

trauma tumpul dan trauma tajam.

B. Saran

Diharapkan mahasiswa mampu mengetahui manajemen kegawatdaruratan trauma

abdomen sehingga dapat menerapkannya pada praktik klinik keperawatan di

kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA

Alonso, M., Brathwaite, C., García, V., Patterson, L., Scherer, T., Stafford, P. and Young, J.
(1997) ‘Practice management guidelines for the nonoperative management of blunt
injury to the liver and spleen.’, The Journal of trauma, 43, pp. 1–32. doi:
10.1097/00005373-199711000-00014.

Aziz, A., Bota, R. and Ahmed, M. (2014) ‘Frequency and pattern of intra-abdominal injuries
in patients with blunt abdominal trauma’, Journal of Trauma & Treatment, 3(3), p. 196.
doi: 10.4172/2167-1222.1000196.

Beal, A. L., Ahrendt, M. N., Irwin, E. D., Lyng, J. W., Turner, S. V, Beal, C. A., Byrnes, M.
T. and Beilman, G. A. (2016) ‘Prediction of blunt traumatic injuries and hospital
admission based on history and physical exam’, World Journal Of Emergency Surgery.
World Journal of Emergency Surgery, 11(1), p. 46. doi:
http://dx.doi.org/10.1186/s13017-016-0099-9.

Corwin, M. T., Sheen, L., Kuramoto, A., Lamba, R., Parthasarathy, S. and Holmes, J. F.
(2014) ‘Utilization of a clinical prediction rule for abdominal???pelvic CT scans in
patients with blunt abdominal trauma’, Emergency Radiology, 21(6), pp. 571–576. doi:
10.1007/s10140-014-1233-1.

Costa, G., Tierno, S. M., Tomassini, F., Venturini, L., Frezza, B., Cancrini, G. and Stella, F.
(2010) ‘The epidemiology and clinical evaluation of abdominal trauma. An analysis of
a multidisciplinary Trauma Registry’, Annali Italiani di Chirurgia, 81(2), pp. 95–102.

Deunk, J., Brink, M., Blickman, J. G. and Edwards, M. J. (2010) ‘Predictors for the Selection
of Patients for Abdominal CT After Blunt Trauma’,251(3).
doi: 10.1097/SLA.0b013e3181cfd342.
Elliot,D.C, Rodriguez, A. (1996) ‘Cost Effectiveness in Trauma Care. Surgical Clinics of
North America, 76:47-6’, Surgical clinics of North America, p. 76:47-62.
Erfantalab-Avini, P., Hafezi-Nejad, N., Chardoli, M. and Rahimi-Movaghar, V. (2011)
‘Evaluating clinical abdominal scoring system in predicting the necessity of laparotomy
in blunt abdominal trauma’, Chinese Journal of Traumatology English Edition. The
Editorial Board of Biomedical and Environmental Sciences, 14(3), pp. 156–160.
doi:10.3760/cma.j.issn.1008-1275.2011.03.006.
Farrath, S., Parreira, J. G., Perlingeiro, J. A. G., Solda, S. C. and Assef, J. C.
(2012). ‘Predictors of abdominal injuries in blunt trauma.’, Revistado
Colégio Brasileiro deCirurgiões, 39(4), pp. 295–301. Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22936228.
Feliciano, D. V (2003) ‘Evaluation of Abdominal Trauma, Grace S . Rozycki ,
MD , FACS © 2003 American College of Surgeons Committee on Trauma
Subcommittee on Publicatons’, p. 2003.
Gad, M. A., Saber, A., Farrag, S., Shams, M. E. and Ellabban, G. M. (2012)
‘Incidence, patterns, and factors predicting mortality of abdominal injuries
in trauma patients’, NorthAmerican Journal of Medical Sciences, 4(3), pp.
129–134. doi: 10.4103/1947-2714.93889

Anda mungkin juga menyukai