Anda di halaman 1dari 119

LAPORAN AKHIR

PEMETAAN KAJIAN
BIOMASSA TANAH
DI KABUPATEN BANTUL

DINAS LINGKUNGAN HIDUP


KABUPATEN BANTUL
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke Hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan berkah dan
rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan Akhir Pekerjaan Pemetaan
Biomassa Tanah di Kabupaten Bantul, sebagai salah satu sarana pemetaan potensi dan
permasalahan kondisi lahan di Kabupaten Bantul. Laporan Akhir ini merupakan laporan
pekerjaan yang berisi uraian mengenai gambaran umum pekerjaan, konsep dan
pendekatan perencanaan, rencana kerja dan hasil pelaksanaan di lapangan.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini, masih terdapat berbagai
kelemahan dan kekurangan, untuk itu kami mengharap adanya saran dan kritik untuk
penyempurnaan lebih lanjut.

Yogyakarta, Mei 2020


PT. Daksitama Konsultan Indonesia

i --
DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Maksud Dan Tujuan 4
1.3. Sasaran 4
1.4. Keluarah 4
1.5. Manfaat 5
1.6. Lokasi 5
1.7. Nama dan Organisasi Pengguna Anggaran 5
1.8. Lingkup Kegiatan 5
1.9. Lingkup Materi 8
1.10. Data Penunjang 8

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA


2.1. Tahan atau Lahan 10
2.2. Sifat Dasar Tanah 12
2.3. Biomassa Tanah 15
2.4. Kerusakan Tanah 17
2.5. Pemantauan Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa 20

BAB 3. PENDEKATAN DAN METODOLOGI


3.1. Umum 29
3.2. Pendekatan 30
3.3. Metodologi
3.3.1 Metode Penelitian 33
3.3.2 Alat dan bahan 33

BAB 4 TINJAUAN UMUM DAERAH PENELITIAN


4.1. Gambaran Umum Kabupaten Bantul 46
4.2. Sektor Pertanian Kabupaten bantul 56

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN


5.1. Hasil 59
5.1.1. Lokasi Penelitian Biomassa Tanah 59
5.1.2. Hasil Pengukuran Biomassa Tanah 61
5.2. Pembahasan 66
5.2.1. Kondisi Rata-rata Biomassa Tanah di Kabupaten Bantul 66
5.2.2. Ketebalan Solum Tanah di Kabupaten Bantul 68
5.2.3. Kebatuan Permukaan 71
5.2.4. Berat Isi (Berat Jenis) 74
5.2.5. Porositas Tanah 76
5.2.6. Derajat Kelulusan Air 80
5.2.7. Kadar Keasaman (pH) 84
5.2.8. Daya Hantar Listrik 91
5.2.9. Reaksi Redoks 93
5.2.10. Jumlah Mikroba Dalam Tanah 97

ii --
BAB 6 ROADMAP PENANGANAN DAN PENGENDALIAN
PRODUKSI BIOMASSA TANAH
6.1 Pendahuluan 99
6.2 Kondisi, Peluang Dan Kebijakan Pengembangan 101
6.3 Peningkatan Dan Pengembangan Produksi Biomassa Tanah 105
6.4 Strategi Pengembangan Produksi Biomassa 105

BAB 7 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


7.1. Kesimpulan 109
7.2. Rekomendasi 111

iii --
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Sumber-sumber Biomassa Tanah 18


Gambar 2.2. Tebal solum tanah 23
Gambar 2.3. Kondisi Permukaan Kebatuan 24
Gambar 2.4. Skala pH Tanah 27
Gambar 3.1. Uraian pendekatan, Metodologi dan Rencana Kerja 29
Gambar 3.2. Contoh Penilaian Status Kerusakan Tanah 44
Gambar 4.1. Persentasee Luas Lahan Sawah, Lahan Bukan Sawah, 57
Dan Lahan Bukan Pertanian
Gambar 5.1. Peta Status Kerusakan Lahan di Kabupaten Bantul 66
Gambar 5.2 Peta kondisi Ketebalan Solum Tanah Kabupaten Bantul 69
Gambar 5.3. Peta kondisi Kebatuan Permukaan Tanah Kabupaten 72
Bantul
Gambar 5.4. Peta kondisi Porositas Tanah Kabupaten Bantul 78
Gambar 5.5 Peta kondisi Permeabilitas Tanah Kabupaten Bantul 81
Gambar 5.6 Peta kondisi kadar pH dalam tanah di Kabupaten Bantul 84
Gambar 5.7 Peta kondisi Redoks dalam tanah di Kabupaten Bantul 93

iv --
DAFTAR TABEL
Tabel 2. 1. Klasifikasi Porositas Tanah 26
Tabel 2. 2. Klasifikasi Permeabilitas Tanah 26
Tabel 3. 1. Skor kerusakan tanah berdasarkan frekwensi relatif dari 42
berbagai parameter kerusakan tanah
Tabel 3. 2. Status Kerusakan Tanah Berdasarkan Nilai Akumulasi Skor 43
Kerusakan Tanah Untuk Lahan Kering dan Basah
Tabel 3. 3. Tabulasi Tata Cara Penilaian Kerusakan Tanah Berdasarkan 43
Persentase Frekwensi Relatif Pada Lahan Kering
Tabel 3. 4. Tabulasi Cara Penilaian Kerusakan Tanah Berdasarkan 44
Persentase Frekwensi Relatif Pada Lahan Basah (Tanah
Gambut Di Atas Pasir Kuarsa)
Tabel 4.1. Luas Wilayah dan Banyaknya Desa Menurut Kacamatan 46
Kabupaten Bantul
Tabel 4.2. Tinggi Wilayah di Atas Permukaan Air Laut (DPL) 48
Tabel 4.3. Luas Daerah Menurut Ketinggian dari Permukaan Air Laut 49
Tabel 4.4. Klasifikasi Iklim Kabupaten Bantul 50
Tabel 4.5. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin 52
Tabel 4.6. PDRB per Kapita Kabupaten Bantul atas dasar Harga 54
Berlaku Menurut Lapangan Usaha (Juta Rupiah), 2011-2015
Tabel 4.7. Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas Yang 55
Bekerja Menurut Lapangan Usaha Dan Jenis Kelamin Di
Kabupaten Bantul, 2015
Tabel 5.1 Pemanfaatan Lahan Lokasi Survei di Kabupaten Bantul 59
Tabel 5.2 Data hasil analisa sampel melalui pengamatan dan 64
laboratorium di Kabupaten Bantul
Tabel 5.3 Evaluasi Kerusakan Tanah di Kabupaten Bantul 65
Tabel 5.4 Kondisi Ketebalan Solum Tanah di Kabupaten Bantul 67
Tabel 5.5 Kondisi Kebatuan Permukaan Tanah di Kabupaten Bantul 70
Tabel 5.6 Kondisi Berat Isi Tanah di Kabupaten Bantul 74
Tabel 5.7 Klasifikasi Porositas Tanah 75
Tabel 5.8 Kondisi Porositas Tanah di Kabupaten Bantul 76
Tabel 5.9 Kondisi Permeabilitas Tanah di Kabupaten Bantul 79
Tabel 5.10 Kondisi PH Tanah di Kabupaten Bantul 83
Tabel 5.11 Kondisi DHL Tanah di Kabupaten Bantul 89
Tabel 5.12 Klasifikasi Status Redoks 90
Tabel 5.13 Kondisi Redoks Tanah di Kabupaten Bantul 91
Tabel 5.14 Kondisi Jumlah Mikroba Tanah di Kabupaten Bantul 94
Tabel 6.1 Strategi Peningkatan dan Pengembangan pengelolaan 103

v --
lingkungan dalam upaya produksi biomassa tanah
Tabel 6.2 Program Peningkatan dan Pengembangan Produksi Biomass 104

vi --
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pertumbuhan jumlah penduduk berimplikasi pada tuntutan


ketersediaan ruang, yang dalam hal ini tanah guna memenuhi kebutuhan
sandang, pangan dan papan bagi keberlangsungan kehidupan. Lahan tersebut
dipergunakan untuk tempat tinggal, kegiatan industri maupun pertanian
secara luas. Keberadaan lahan terbuka sebagai sarana publik, kehutanan,
peternakan maupun pertanian semakin berkurang. Hal ini dikarenakan lahan
terbuka yang ada banyak dipergunakan untuk pembangunan fisik. Disisi lain,
aktivitas manusia pun turut berperan dalam mempengaruhi kualitas tanah.
Sebagian besar kegiatan manusia berdampak pada penurunan kualitas tanah.
Penurunan kualitas tanah tersebut dikarenakan terjadinya pencemaran dari
berbagai limbah rumah tangga, industri, dan pemakaian pupuk kimia yang
berlebihan pada pertanian, perkebunan dan sejenisnya.
Tanah merupakan komponen terpenting dalam ekosistem yang
berfungsi sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya perakaran penopang
tegak tumbuhnya tanaman yang menyuplai oksigen dan mampu menyimpan
air serta nutrisi didalamnya. Tanah juga merupakan habitat bagi organisme
yang berperan aktif dalam penyediaan nutrisi bagi tanaman yang tumbuh
diatasnya. Secara biologis, kimia maupun fisik tanah mampu menunjang
produktivitas tanah untuk menghasilkan tanaman pangan, industri,
perkebunan, obat-obatan, maupun untuk kehutanan serta konservasi. Proses
pembentukan tanah pun membutuhkan waktu yang cukup lama. Namun
sebaliknya, Kerusakan degradasi tanah dapat terjadi dalam waktu yang

Laporan Akhir 1
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
cepat dan menganggu proses siklus kehidupan makhluk hidup, baik
yang berpijak langsung pada tanah maupun yang tidak langsung.
Menurut PERMENLH NO.07 Tahun 2006 biomassa adalah tumbuhan atau
bagian-bagiannya yaitu bunga, biji, buah, daun, ranting, batang, dan akar,
termasuk tanaman yang dihasilkan oleh kegiatan pertanian, perkebunan, dan
hutan tanaman (Sumarno, 2018).
Kerusakan tanah dapat diakibatkan pemanfaatan lahan yang tidak
bijaksana. Kerusakan lahan untuk produksi biomassa tersebut merupakan
perubahan sifat dasar tanah yang melampaui kriteria baku kerusakan
tanah yang disebabkan oleh tindakan manusia baik di areal produksi
biomassa maupun diluar areal biomassa yang berdampak pada kerusakan
tanah untuk produksi biomassa. Kerusakan lahan ini telah memberikan
dampak yang cukup luas, diantaranya kemerosotan keanekaragaman hayati,
terjadinya bencana alam banjir, longsor, kekeringan, penuruan kualitas
tanah dan air hingga perubahan iklim ditingkat global yang saat ini kita
hadapi. Kemerosotan kualitas secara global ini akhirnya dapat
mempengaruhi kehidupan manusia.
Kabupaten Bantul sebagian besar wilayahnya terdiri dari dataran
rendah di bagian timur dan sebagian dataran tinggi di sebelah barat. Pada
umumnya struktur tanah terdiri dari tanah podsolik merah kuning dari
batuan, dan alluvial serta tanah organosol dan gley humus dalam bentuk
rawa-rawa atau tanah basah. Jumlah penduduk tahun 2020 adalah 949.325
jiwa yang hampir 14,7 % bermata-pencaharian di sektor pertanian, dengan
demikian sektor pertanian merupakan potensi unggulan penggerak ekonomi
daerah selain itu Kabupaten Bantul merupakan lumbung padi untuk wilayah
Propinsi DIY selain pertanian padi
Dalam menunjang keberhasilan pembangunan, praktis harus
dilaksanakan upaya perbaikan sektor pertanian termasuk mengupayakan
pertanian berkelanjutan. Salah satunya dengan menyediakan data base
Laporan Akhir 2
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
kondisi tanah dan/ atau lahan untuk budidaya tanaman sebagai dasar
pengelolaan atau pengendalian kualitas tanah dan/ atau lahan demi
keberlanjutan kehidupan masyarakat secara ekonomis, ekologis, dan sosial.
Salah satu isu lingkungan terkait dengan hutan yang kini kian marak dibahas
adalah terjadinya perubahan iklim akibat pemanasan global ( global warming).
Pemanasan global merupakan perubahan iklim yang disebabkan oleh konsentrasi
emisi gas rumah kaca dalam bentuk CO2, CH4 dan bentuk lainnya yang berlebih di
atmosfer. Gas tersebut berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, kebakaran
hutan, konversi hutan dan aktivitas lain yang menyebabkan semakin berkurangnya
penutupan vegetasi (deforestasi dan degradasi) yang selanjutnya menyebabkan
penurunan penyerapan karbon (Natalia, D. dkk 2014). Pepohonan menghilangkan
karbon dari atmosfer ketika mereka bertumbuh, menyimpannya dalam daun,
jaringan kayu, akar dan zat organik dalam tanah. Oleh karena itu, memainkan peran
sangat penting dalam mengatur iklim bumi dan mitigasi perubahan iklim.
Menghitung biomassa permukaan meliputi semua biomassa hidup, atau material
organik, atas permukaan, termasuk batang, tunggul, cabang, kulit, biji dan dedaunan
membantu ilmuwan mengukur peran hutan sebagai serapan karbon dalam mitigasi
perubahan iklim. Penghitungan biomassa juga tidak terlepas dari kegiatan yang
berhubungan dengan mitigasi perubahan iklim. Oleh karena itu, dengan melakukan
pengukuran cadangan karbon tersimpan di suatu wilayah diharapkan dapat
memberikan informasi mengenai berapa banyak karbon yang akan dilepaskan jika
wilayah tersebut dikelola dengan teknik pengelolaan lahan yang kurang tepat
(Wahyuni, S dkk. 2013).
Pengolahan dan pemanfaatan tanah yang tidak terkendali dapat
menyebabkan terjadinya kerusakaan tanah yang berdampak pada menurunya
fungsi dan kualitas tanah. Kualitas tanah adalah kemampuan tanah untuk
melakukan fungsi-fungsi penting tanah sebagai media tanam (De la Rosa
2005). Kualitas tanah bervariasi disebabkan oleh variasi komponennya. Tidak
semua jenis tanah yang cocok untuk semua jenis tanaman (Abdul Khalil et al.
2015). Kualitas tanah perlu untuk dijaga untuk menghasilkan biomassa yang

Laporan Akhir 3
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
maksimal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besaran produksi
biomassa di Kabupaten Bantul.

1.2 MAKSUD DAN TUJUAN


Kegiatan ini mempunyai maksud dalam penyediaan informasi status
kerusakan tanah untuk produksi biomassa saat ini; dan potensi kerusakan
tanah untuk produksi biomassa dan penyebabnya
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memberikan rekomendasi ilmiah
berkaitan dengan pengelolaan lahan berdasarkan tingkat kerusakan tanah
dan/ atau lahan sehingga tanah dan/ atau lahan dapat dipertahankan
kualitasnya secara berkelanjutan untuk mendukung produksi tanaman.

1.3 SASARAN
Sasaran penyusunan Kajian Pemetaan Biomassa Tanah di Kabupaten
Bantul, yaitu :
1. Mengenali potensi dan permasalahan kerusakan lingkungan khususnya
biomassa tanah di Kabupaten Bantul;
2. Tersusunnya peta kondisi biomassa tanah di Kabupaten Bantul
3. Terwujudnya strategi penanganan kerusakan lingkungan khususnya
biomassa tanah sebagai bagian dari sistem pertanian yang didukung
oleh masyarakat;

1.4 KELUARAN
Keluaran dari Kajian Pemetaan Biomassa Tanah di Kabupaten Bantul
yakni dokumen kajian yang berisi arah dan strategi penanganan kondisi
biomassa tanah di Kabupaten Bantul sehingga dalam upaya mendukung
pengelolaan berkelanjutan.

Laporan Akhir 4
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
1.5 MANFAAT
Manfaat dari Analisis Kajian Pemetaan Biomassa Tanah di Kabupaten
Bantul antara lain:
1. Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten akan memiliki pedoman kondisi
biomassa tanah sebagai upaya pengelolaan lingkungan yang
berkelanjutan serta terpadu;
2. Bagi masyarakat akan tersedia informasi pengelolaan lahan yang
sustainable dalam upaya mempertahankan kebutuhan hasil pertanian di
Kabupaten Bantul.

1.6 LOKASI
Kegiatan Kajian Pemetaan Biomassa Tanah di Kabupaten Bantul,
Daerah Istimewa Yogyakarta.

1.7 NAMA DAN ORGANISASI PENGGUNA ANGGARAN


Nama dan Organiasasi Pengguna Anggaran Analisis Kajian Pemetaan
Biomassa Tanah di Kabupaten Bantul adalah Dinas Lingkungan Hidup Bantul.

1.8 LINGKUP KEGIATAN


Lingkup kegiatan dari Kajian Pemetaan Biomassa Tanah di Kabupaten
Bantul ini meliputi:
A. Penyusunan peta kondisi awal tanah
Potensi kerusakan tanah diduga dengan metode skoring atau
penilaian bobot nilai dan tumpang susun peta-peta tematik, yaitu peta
penggunaan lahan, peta kemiringan, peta curah hujan, dan peta jenis
tanah.
B. Tahap kegiatan lapangan
Tahapan kedua yang berupa tahap kegiatan lapangan
merupakan pelaksanaan survei tanah di lapangan dengan
Laporan Akhir 5
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
melakukan pengamatan lingkungan, boring, dan pengambilan
sampel tanah terusik maupun tidak terusik menggunakan ring
sample.
Pengamatan tanah pada prinsipnya menggunakan metode
purposive sampling dengan mengacu pada peta yang telah dibuat
dan diaplikasikan dengan kondisi lapang yang ada. Pengamatan sifat
tanah dari profil tanah yang diamati meliputi sifat-sifat tanah seperti
kedalaman solum tanah, batuan permukaan, data agronomi dan data
lingkungan pendukung yang dicatat pada lembar isian data
pengamatan sifat tanah.
C. Tahap analisis contoh tanah
Tahapan ketiga adalah analisis sifat-sifat tanah di laboratorium
dari contoh tanah terusik dan tak terusik yang diambil dari lapangan.
Analisis sifat-sifat tanah dilaksanakan di laboratorium. Macam
analisis tanah yang dilakukan di laboratorium meliputi:
a. Permeabilitas tanah
b. Tekstur Tanah
c. Bobot isi tanah
d. Porositas tanah
e. pH H2O tanah
f. Potensial reduksi-oksidasi
g. Daya Hantar Listrik
h. organik tanah
i. Total mikrobia

D. Penyusunan peta kondisi tanah


Penyusunan Peta Kondisi Tanah bertujuan untuk mendeskripsikan
mengenai sifat-sifat tanah sesuai rencana kegiatan pada wilayah yang

Laporan Akhir 6
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
dilakukan observasi atau kegiatan tersebut. Di dalam Peta Kondisi
Tanah memuat nilai-nilai dari beberapa parameter kriteria baku mutu
kerusakan tanah yang diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup.
Data- data dari beberapa parameter tersebut selanjutnya dijadikan
dasar dalam perhitungan penentuan status kerusakan tanah yang
disajikan sebagai bentuk Peta Status Kerusakan Tanah.
E. Penyusunan peta status kerusakan tanah
Peta Status Kerusakan Tanah disusun melalui dua tahapan evaluasi,
yaitu matching (pencocokan/ pembandingan) serta scoring atau
penilaian. Matching adalah membandingkan antara data parameter hasil
pengamatan di lapangan dan hasil analisis laboratorium dengan kriteria
baku keruskan tanah sesuai Peraturan Pemerintah nomor 150 Tahun
2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah untuk produksi Biomassa.
Sedangkan tahapan skoring adalah menghitung data yang
mempertimbangkan frekuensi relatif tanah tergolong rusak dalam suatu
wilayah/areal yang dianggap mempunyai kondisi homogen atau sama,
sesuai kriteria baku mutu tersebut di atas.

1.9 LINGKUP MATERI


1) Memetakan dan mengidentifikasi kondisi biomassa tanah di Kabupaten
Bantul;
2) Melakukan Koordinasi dan wawancara mendalam (indepth interview)
dengan dinas terkait untuk mendapatkan informasi mengenai kondisi
pengelolaan lahan di Kabupaten Bantul;
3) Memetakan dan mengidentifikasi permasalahan mengenai pengusahaan
lahan di Kabupaten Bantul;
4) Memberikan gambaran informasi mengenai potensi dan sebaran
kerusakan lahan serta aspek-aspek yang berpengaruh terhadap
pemanfaatan lahan di Kabupaten Bantul;
Laporan Akhir 7
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
5) Memberikan gambaran informasi mengenai pemetaan biomassa tanah di
Kabupaten Bantul;
6) Menyusun strategi penanganan kerusakan lahan yang diakibatkan oleh
menurun nya kualitas tanah serta faktor-faktor yang berpengaruh dalam
pemanfaatan lahan untuk peningkatan produksi pertanian di Kabupaten
Bantul;

1.10 DATA PENUNJANG


A. Data Dasar
1. Data wilayah, iklim, topografi yang cocok untuk pengusahaan
pertanian.
2. Sebaran lokasi pemanfaatan lahan di Kabupaten Bantul;
3. Produk-produk regulasi di bidang konservasi lahan yang diusahakan
untuk peningkatan kualitas lahan di Kabupaten Bantul;
4. Produk-produk perencanaan (program dan kegiatan) yang terkait
dengan biomassa tanah

B. Studi Terdahulu Dan Referensi :


Dalam pekerjaan ini data sekunder yang dikumpulkan berupa:
1. Kabupaten Bantul Dalam Angka.
2. Dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
3. Daftar RPJM Kabupaten Bantul
4. RPJP Kabupaten Bantul
5. Peta Wilayah.
6. Dokumen hasil kajian yang relevan.
7. Studi Pustaka/Peraturan Perundangan

Laporan Akhir 8
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
C. Acuan Peraturan Perundang-Undangan
Secara umum peraturan perundangan yang melandasi pelaksanaan
pekerjaan ini adalah sebagai berikut :
1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5059);

2. Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang


Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa;

3. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2006


tentang Tata Cara Pengukuran Kriteria Baku Kerusakan Tanah
untuk Produksi Biomassa.

4. Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2015 tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup Kabupaten Bantul
5. Peraturan Daerah lainnya yang mendukung.

Laporan Akhir 9
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1. Tanah atau Lahan


Lahan (land) merupakan suatu wilayah di permukaan bumi, mencakup semua
komponen biosfer yang dapat dianggap tetap atau bersifat siklis yang berada di atas
dan di bawah wilayah tersebut, termasuk atmosfer, tanah, batuan induk, relief,
hidrologi, tumbuhan dan hewan, serta segala akibat yang ditmbulkan oleh aktivitas
manusia di masa lalu dan sekarang, yang kesemuanya berpengaruh terhadap
kondisi lahan pada saat sekarang dan di masa akan datang.
Berdasarkan pengertian di atas, lahan dapat dipandang sebagai suatu system
yang tersusun atas berbagai komponen. Komponen-komponen ini dapat
dikategorikan menjadi dua, yaitu komponen struktural yang sering disebut
karakteristik lahan, dan komponen fungsional yang sering disebut kualitas lahan.
Kualitas lahan merupakan sekelompok unsur-unsur lahan yang menentukan tingkat
kemampuan dan kesesuaian lahan bagi berbagai macam pemanfaatan tertentu.
Lahan sebagai suatu sistem memiliki komponen-komponen yang terorganisir
secara spesifik dan perilakunya menuju kepada sasaran-sasaran tertentu.
Komponen-komponen lahan ini dapat dipandang sebagai sumberdaya dalam
hubungannya dengan aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Dengan demikian ada dua kategori utama sumberdaya lahan, yaitu sumberdaya
lahan yang bersifat ilmiah dan sumberdaya lahan yang merupakan hasil aktivitas
manusia (budidaya manusia). Berdasarkan atas konsepsi tersebut maka pengertian
sumberdaya lahan mencakup semua karakteristik lahan dan proses-proses yang
terjadi di dalamnya, yang dengan cara-cara tertentu dapat digunakan untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia.

Laporan Akhir 10
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
Tanah merupakan produk transformasi mineral dan bahan organic yang
terletak di permukaan sampai kedalaman tertentu yang dipengaruhi oleh faktor-
faktor genetis dan lingkungan, yakni: bahan induk, iklim, organisme hidup (mikro
dan makro), topografi, dan waktu yang berjalan selama kurun waktu yang sangat
panjang, yang dapat dibedakan dari ciri-ciri bahan induk asalnya baik secara fisik,
kimia, biologi maupun morfologinya. Tanah adalah salah satu komponen lahan.
Tanah bersama air dan udara merupakan sumber daya alam utama yang memiliki
arti penting untuk lingkungan dan kehidupan. Kesetimbangan ketiganya sangat
bergantung pada bagaimana pengelolaannya. Sebagai contoh penanaman tanaman
pangan pada lahan-lahan miring dapat menyebabkan erosi, yang selanjutnya
menyebabkan buruknya kualitas badan-badan air dan lahan gundul. Kualitas air dan
tanah yang tidak baik akan berpengaruh pada kesehatan.
Produktivitas tanah merupakan kemampuan tanah untukmenghasilkan produk
tertentu suatu tanaman di bawah suatu sistem pengelolaan tanah tertentu. Suatu
tanah atau lahan dapat menghasilkan produk tanaman yang baik dan
menguntungkan dikatakan sebagai tanah produktif. Produktivitas tanah merupakan
perwujudan dari seluruh faktor (tanah dan non-tanah) yang mempengaruhi hasil
tanaman.
Produktivitas tanah merupakan gambaran kemampuan tanah yang lebih
berdasar pada pertimbangan ekonomis dan bukan hanya pada sifat tanah semata.
Tiga faktor utama yang mempengaruhi produktivitas tanah yaitu:
- Masukan (sistem pengelolaan)
- Keluaran (hasil tanaman)
- Tanah

Tanah produktif harus mempunyai kesuburan yang menguntungkan bagi


pertumbuhan tanaman. Akan tetapi tanah subur tidak selalu berarti produktif. Tanah
subur akan produktif jika dikelola dengan tepat, menggunakan teknik pengelolaan

Laporan Akhir 11
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
dan jenis tanaman yang sesuai. Ini merupakan bukti bahwa arti produktivitas tanah
tidak selalu sama dengan kesuburan tanah.
Kesuburan tanah adalah kemampuan atau kualitas suatu tanah menyediakan
unsur-unsur hara tanaman dalam bentuk senyawa yang dapat dimanfaatkan
tanaman, dan dalam perimbangan yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman
tertentu apabila suhu dan faktor-faktor pertumbuhan lainnya mendukung
pertumbuhan normal tanaman. Definisi ini dapat dinyatakan bahwa kesuburan tanah
mencakup 3 aspek, yaitu:
- Kuantitas, yang meliputi jumlah/konsentrasi dan macam unsur hara yang
dibutuhkan tanaman
- Kualitas, yang merupakan perbandingan konsentrasi antara unsur hara satu
dengan lainnya
- Waktu, yaitu ketersediaan unsur-unsur hara tersebut ada secara terus menerus
sesuai dengan kebutuhan tanaman selama pertumbuhannya, yaitu dari
perkecambahan hingga matang/panen.

Kesuburan tanah hanya merupakan salah satu pendukung produktivitas tanah,


akan tetapi dapat berperan dalam pengendalian tingkat masukan dan keluaran dari
suati sistem produksi tanman.

2.2. Sifat Dasar Tanah


Jenis tanah muda seperti Entisol/egosol sampai tanah tua seperti
ultisol/podsolik merah kuning dan oxisol/latosol umumnya mempunyai
kandungan unsur-unsur terbanyak SiO2 , Fe2O3, Al2O3 (dengan kandungan
menengah), diikuti oleh MgO, CaO, K2O, Na2O, P2O5, dan BO (kandungan
rendah), sedangkan unsur logam-logam berat berkadar sangat rendah.
Komposisi unsur tanah ini berbentuk secara alami dan menyusun fase padat tanah
sebesar 50%, sedangkan 25% berupa fase cair dan sisanya 25% berupa fase gas,
gabungan dari tiga fase ini menjadikan sumber daya tanah dapat berfungsi

Laporan Akhir 12
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
sebagai media tumbuh tanaman maupun menjadi komponen lingkungan yang
sehat. Proses-proses yang terjadi dalam tanah dapat menyebabkan perubahan
karakteristik tanah secara berangsur menuju ke arah tertentu (mengikuti kurva
kuadratik). Pada umumnya proses-proses yang terjadi dalam tanah berlangsung
relatif lambat sehingga perubahan sifat-sifat tanah secara nyata baru dapat
teramati dalam waktu puluhan tahun. Tanah bukanlah sistem yang statis tetapi
tanah merupakan entitas alam yang berdimensi ruang dan waktu.
Oleh karena komponen-komponen hayati dan non hayati yang terkandung
dalam tubuh tanah, akan membuat tanah dan dinamika proses yang berlangsung
di dalamnya dapat dipandang sebagai bio-geo-ekosistem. Tanah merupakan suatu
sistem yang dinamis yang berinteraksi antar komponen tanah. Tanah berfungsi
untuk melindungi keidupan selaku sistem penyaring, penyangga kimia (buffer),
pengendap, pengalihragam (transformer), dan pengendali biologi. Penjelasan
lebih rinci adalah sebagai berikut:
a. Fungsi penyaring dijalankan tanah dengan tubuhnya yang berbentuk jaring
(berstruktur). Bahan buang padatan berupa lumpur, debu, sedimen, dan
bahan tersuspensi ditahan oleh tanah (topsoil) sehingga tidak terbawa aliran
limbah atau air perkolasi. Hal ini membuat tanah hilir dan badan air permukaan
serta tanah bawahan (subsoil) dan air tanah terhindar dari pengotoran atau
pencemaran.
b. Fungsi penyangga kimiawi dijalankan tanah dengan cara menjerap zat- zat
beracun berupa ion-ion terlarut atau koloid tersuspensi. Daya menyangga
berkaitan dengan kadar lempung, bahan humik, dan oksida serta hidroksida
Fe dan Al. Lempung menyerap kation, bahan humik menyerap kation dan anion,
serta oksida dan hidroksida Fe dan Al menyerap atau diserap anion.
c. Fungsi mengendapkan secara kimiawi berkaitan dengan pH dan potensial
redoks. Tanah dapat membersihkan air limpas dan air perkolasi dari zat-zat
beracun seperti logam berat, oksida N dan S, sisa pupuk, dan sisa pertisida

Laporan Akhir 13
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
yang terlarut, dengan jaalan menyangga dan mengendapkan. Pencegahan
senyawa amonium, nitrat, daan fosfat yang terlarut daalam air limpas dan air
perkolasi sebelum masuk ke badan air permukaan dan air tanah dapat
menghindarkan eutrofikasi perairan. Nitrat meracuni air minum. Zat-zat sangat
beracun biasa terdapat dalam buangan industri dan pertambangan karena
mengandung unsur F, Hg, Cd, Pb, Ni, Zn, dan/atau Cu. Sisa pestisida berbahaya
karena mengandung Zn dan Cu.
d. Fungsi mengalihragamkan dikerjakan oleh jasad tanah, terutama flora dan
renik, atas senyawa pencemar organik seperti yang terdapat dalam urine,
tinja, kotoran hewan, perembesan hijauan ternak ( silage), sari kering
limbah (sludge), dan pestisida organik. Senyawa-senyawa tersebut dirombak
dan diubah dengan proses mineralisasi daan humifikasi menjadi zat-zat
yang tidak berbahaya. Penguraian bahan organik yang mudah teroksidaasi
akan menanggulangi pemasukan bahan organik tersebut ke perairan dan akan
menanggulangi pengahatan tubuh air dan oksigen bebas sehingga
menghindarkan habitat keairan dan kerusakan.
Pada tanaman, fungsi tanah yaitu sebagai penyimpan cadangan unsur hara
tanaman, pengikat lengas dan air tanah, bengurai dan penangkap senyawa-
senyawa beracun (sisa herbisida, pesitisida, fungisida, dan lain- lain), penyedia
aerasi/oksigen bagi aktivitas mikro organisme. Sifat fisik dan kimia tanah sebagian
besar ditentukan oleh unsur liat dan humus, yang berfungsi sebagai pusat
kegiatan tanah yang terjadi reaksi-reaksi kimia dan pertukaran ion, dan selanjutnya
dengan menarik ion-ion tertentu dan menahannya pada permukaan liat dan
humus, ion-ion tersebut tidak hilang tercuci. Ion tersebut lambat laun dibebaskan
kembali dan dapat diambil oleh tanaman karena muatan permukaan dan merupakan
jembatan pengikat antara butiran-butiran besar, dengan demikian menjamin
adanya struktur granular yang mantap yang sangat diperlukan oleh tanaman. Atas

Laporan Akhir 14
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
dasar bobot, koloid humus mempunyai kapasitas menahan hara dan air yang lebih
baik daripada liat.
Tanah-tanah berstruktur kasar seperti pasir dan pasir berkerikil mempunyai
infiltrasi yang tinggi, dan jika tanah tersebut dalam maka erosi dapat
diabaikan. Tanah bertekstur pasir halus yang mempunyai kapasitas infiltrasi relatif
tinggi, tetapi jika terjadi aliran permukaan maka butiran- butiran halus akann
mudah terangkut. Tanah-tanah yang mengandung liat dalam jumlah yang tinggi
dapat tersuspensi oleh butir-butir hujan yang jatuh menimpanya dan pori-pori
lapisan permukaan akan tersumbat oleh butir- butir liat. Hal ini mengakibatkan
terjadinya aliran permukaan dan erosi yang hebat. Akan tetapi jika tanah
demikian ini akan mempunyai struktur tanah yang mantap yaitu tidak mudah
terdispersi maka infiltrasi masih cukup besar sehingga aliran permukaan dan erosi
tidak begitu hebat. Lapisan teratas suatu penampang tanah biasanya mengandung
banyak bahan organik dan berwarna gelap karena akumulasi bahan organik.
Lapisan ini merupakan lapisan utama yang disebut lapisan olah. Lapisan di
bawah lapisan olah dikenal dengan lapisan bawah yang juga dipengaruhi oleh
kondisi iklim, tetapi tidak seintensif yang dialami oleh lapisan olah dan pada
umumnya mengandung lebih sedikit bahan organik. Lapisan olah merupakan
daerah utama bagi pertumbuhan perakaran, dan mengandung banyak unsur hara
serta air yang dibutuhkan oleh tanaman.

2.3. Biomassa Tanah


Biomassa adalah bahan organik yang berasal dari tumbuhan dan hewan yang
tersusun dari atom karbon (C), hidrogen (H) dan oksigen (O). Biomassa juga
mencakup gas dan cairan dari material non-fosil dan degradasi bahan organik. Pada
dasarnya biomassa terbentuk dari interaksi karbon dioksida (CO2), udara, air, tanah
dan sinar matahari (Basu, 2010). Biomassa merupakan sumber energi ramah
lingkungan yang sumber karbonnya berasal dari CO2 di udara. Pembakaran

Laporan Akhir 15
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
biomassa menghasilkan CO2 yang sama jumlahnya dengan yang terserap oleh
proses fotosintesis (Reed dan Das, 1988).

Biomassa adalah tumbuhan atau bagian-bagiannya yaitu bunga, biji, buah,


daun, ranting, batang, dan akar, termasuk tanaman yang dihasilkan oleh kegiatan
pertanian, perkebunan, dan hutan tanaman.

Biomassa adalah material yang berasal dari tumbuhan maupun hewan


termasuk manusia. Namun biomassa dalam sudut pandang industri juga berarti
material biologis yang bisa diubah menjadi sumber energi atau material industri.
Jenis material yang dapat dikatakan sebagai biomass sangat bervariatif, mulai dari
residu agrikultur, residu hewan, serpih kayu yang sangat bersih dengan kadar
kelembaban 50 %, kayu hasil residu perkotaan yang kering serta terkontaminasi
material lain, hingga material organik dari sampah padat di perkotaan.

Gambar 2.1 Sumber-sumber biomassa

Berdasarkan Permen LH No. 20 Tahun 2008 tentang Petunjuk Teknis Standar


Pelayanan Minimal Bidang Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten/Kota, dijelaskan

Laporan Akhir 16
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
bahwa tanah merupakan salah satu komponen lahan, berupa lapisan teratas kerak
bumi yang terdiri dari bahan mineral dan bahan organik serta mempunyai sifat fisik,
kimia, biologi dan mempunyai kemampuan menunjang kehidupan manusia dan
mahluk hidup lainnya. Kerusakan tanah untuk produksi biomassa adalah
berubahnya sifat dasar tanah yang melampui kriteria baku kerusakan tanah untuk
produksi biomassa. Status kerusakan tanah untuk produksi biomassa adalah
kondisi tanah di tempat dan waktu tertentu yang dinilai berdasarkan kriteria baku
kerusakan tanah untuk produksi biomassa.
Penggunaan biomass sebagai sumber energi berpotensi mereduksi efek global
warming. Meskipun biomass menghasilkan karbon dioksida dengan jumlah besar,
yang kurang lebih sebesar yang dihasilkan bahan bakar minyak ataupun batubara,
namun karbon dioksida ini dapat dikonsumsi untuk pertumbuhan tanaman baru.
Sehingga karbon dioksida yang dilepas ke lingkungan dapat diasumsikan tidak ada
sama sekali.
Kerusakan lahan untuk produksi biomassa adalah berubahnya sifat dasar
tanah yang melampaui kriteria baku kerusakan tanah. Ada beberapa parameter
yang berpengaruh terhadap kerusakan lahan untuk produksi biomassa, yaitu
ketebalan solum, kebatuan permukaan, komposisi fraksi pasir, berat isi, porositas
total, derajad pelulusan air, pH (H2O) 1:2,5, daya hantar listrik (DHL), redoks, dan
jumlah mikroba.

2.4. Kerusakan Tanah


Penyebab kerusakan tanah yaitu karena:
o Sifat alami tanah;
o Kegiatan manusia yang mengakibatkan tanah tersebut terganggu/ rusak tidak
mampu lagi berfungsi.
Kegiatan produksi biomassa yang memanfaatkan tanah maupun sumberdaya
alam lainnya dengan tidak terkendali dapat mengakibatkan kerusakan tanah untuk

Laporan Akhir 17
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
produksi biomassa sehingga menurunkan mutu serta fungsi tanah yang pada
akhirnya dapat mengancam kelangsungan kehidupan manusia dan makhluk hidup
lainnya.
Kerusakan tanah dapat terjadi oleh:
o Kehilangan unsur hara dan bahan organik dari daerah perakaran;
o Terkumpulnya garam didaeraah perakaran (salinisasi), terkumpulnya atau
terungkapnya unsur atau senyawa yang merupakan racun bagi tanaman;
o Penjenuhan tanah oleh air (Water logging);
o Erosi
Kerusakan tanah oleh satu atau lebih proses tersebut mengakibatkan
berkurangnya kemampuan tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman dan
biomassa yang dihasilkan. Hilangnya secara berlebihan satu atau beberaapa unsur
hara dari daerah perakaran menyebabkan merosotnya kesuburan tanah sehingga
tanah tidak mampu lagi menyediakan unsur hara yang cukup dan seimbang untuk
mendukung pertumbuhan tanaman yang normal. Hal tersebut menyebabkan
produktivitas tanah menjadi sangat rendah. Kerusakan bentuk ini terjadi sebagai
akibat perombakan bahan organik dan pelapukan mineral serta pencucian hara
yang berlangsung cepat di bawah iklim tropis, panas, dan lembab/basah, atau
terangkutnya hara dari dalam tanah melalui panen tanpa ada usaha untuk
mengembalikannya. Proses ini mengakibatkan rusaknya struktur tanah.
Pembakaran tumbuhan yang menutupi tanah akan mempercepat proses
peencucian dan pemiskinan, apalagi jika pembakaran terjadi setiap tahun.
Kerusakan bentuk ini akan terjadi segera sesudah vegetasi seperti hutan,
semak belukar, atau rumput ditebang atau ditebas dan dibersihkan utuk
penanaman tanaman semusim atau pembakaran jerami di sawah sesudah
dilakukannya panen. Hal tersebut akan mengurangi kandungan bahan organik
dalam tanah kaena bahan organik yang diambil dari tanah tidak dikembalikan

Laporan Akhir 18
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
lagi ke dalam tanah berupa sisa tanaman, atau berupa bahan organik lainnya ke
dalam tanah.
Pada musim kemarau di daerah beriklim kering atau dekat pantai, dapat
terkumpul di permukaan tanah garam Natrium dalam jumlah yang cukup
menghambat pertumbuhan atau bahkan mematikan tanaman. Peristiwa ini
disebut salinisasi. Kerusakan bentuk ini dapat hilang pada musim hujan dengan
tercucinya garam-garam tersebut. Kerusakan tanah dapat juga terjadi oleh
terungkapnya liat masam ke daerah perakaran pada tanah-tanah rawa atau
terakumulasinya unsur-unsur tertentu seperti besi, aluminium, dan mangan
dapat ditukar dalam jumlah yang tidak dapat ditoleransi oleh tanaman. Seiring
dengan semakin banyaknya pemakaian bahan kimia dalam pertanian dan
buangan limbah industri maaka semakin besar pula kemungkinan terjadi
akumuasi bahan-bahan tersebut yang dapat merupakan racun bagi tanaman.
Kepekaan tanah terhadap kerusakan dan aktivitas manusia merupakan
faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kerusakan. Untuk menilai kerusakan
tanah aktual, faktor-faktor tataguna dan pengelolaan tanah harus diperhitungkan
karena kedua faktor tersebut merupakan penyebab utama dalam perubahan
dari kerusakan alami (natural atau geological degradation) menjadi kerusakan yang
dipercepat (accelerated degradation). Menilai resiko kerusakan tanah yang akan
datang sanagt sulit dan perkiraan yang dibuat seringkali meleset, karena adanya
perubahan dalam tataguna/pengelolaan tanah dan keadaan lingkungan seperti
iklim Walaupun tataguna /pengelolaan tanah tetap tidak berubah, prakiraan akan
tetap mendapat kesulitan karena hubungan ntara kerusakan tanah dan waktu
tidak selalu merupakan garis lurus (linier).
Pada suatu pengelolaan tanah, kerusakan yang terjadi mungkin dipercepat
dan diperlambat dan kurva selalu menjadi asimptotik terhadap suatu nilai
produktivitas. Sebagai contoh usaha pertanian dalam beberapa tahun tanpa
pemupukan atau mencapai titik nol dengan percepatan seperti dalam kasus erosi

Laporan Akhir 19
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
pada tanah-tanah bersolum dangkal di atas bantuan yang kompak. Kerusakan
potensial atau kerusakan maksimum akan timbul pada tanah yang keadaannya
kritis karena pengolahan yang buruk, misalnya erosi pada tanah gundul. Oleh
karena itu dapat dikatakan bahwa resiko kerusakan maksimum adalah fungsi
beberapa faktor alam yang relatif stabil. Sama seperti halnya dalam kasus
erosi, yaitu agresivitas iklim, erodibilitas tanah, kecuraman lereng, panjang lereng
tidak bervegetasi penutup tanah, kecuraman lereng, panjang lereng tidak
bervegetasi penutup tanah, dan pengelolaan buruk.

2.5. Pemantauan Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa


Tanah sebagai salah satu komponen lingkungan hidup mempunyai banyak
fungsi dalam kehidupan. Disamping sebagai ruang hidup, tanah memiliki fungsi
produksi yaitu antara lain sebagai penghasil biomassa, seperti bahan makanan,
serat, kayu, dan bahan obat-obatan. Selain itu, tanah juga berperan dalam
menjaga kelesatarian sumberdaya air dan kelestarian lingkungan hidup secara
umum. Berdasarkan peranan tanah yang sangat penting dalam produksi biomassa
maka perlindungan tanah, pengendalian pemanfaatan tanah, pengendalian
kerusakan tanah, serta pemulihan kerusakan tanah perlu lebih diperhatikan dalam
pengembangan kawasan atau wilayah. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
150 Tahun 2000 Tentang Pengendalian Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa,
kriteria baku kerusakan tanah terdiri dari kriteria baku kerusakan tanah di
lahan kering dan kriteria baku kerusakan tanah di lahan basah. Hal-hal yag dibahas
dalam laporan ini adalah kriteria baku kerusakan tanah di lahan kering. Sedangkan
parameter-parameternya adalah sebagai berikut:
a. Erosi
Erosi merupakan salah satu penyebab kerusakan lahan. Pengertian erosi
yaitu peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau sebagian tanah dari
suatu tempat ke tempat lain oleh media alami. (Arsyad, S., 1989). Sedangkan

Laporan Akhir 20
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
menurut Bermana kusumah (1985), erosi adalah proses penghanyutan tanah oleh
kekuatan air dan angin, sebagai akibat tindakan manusia. Erosi terjadi akibat
percikan/tumbukan air hujan yang memukul/menerpa permukaan tanah dengan
suatu kecepatan tertentu untuk memecahkan dan melepaskan partikel tanah
dari agregatnya (detasment). Partikel tanah terpercik lepas ke bagian atas dan
bawah permukaan tanah mengikis lapisan permmukaan tanah dan membentuk
celah yang besarnya sesuai dengan kecepatan tumbukan air hujan tersebut. Oleh
karena itu terlepasnya partikel tanahh dari agregat di lapisan permukaan
tanah (pembentukan celah) berdasarkan kecepatan tumbukan air hujan.
Macam erosi dibedakan berdasarkan atas penyebabnya dan berdasarkan
proses kejadiannya. Berdasarkan penyebabnya adalah erosi yang disebabkan
oleh air dan erosi yang disebabkan oleh angin. Di Indonesia atau di bagian iklim
tropis dimana curah hujannya sangat tinggi dan fluktuasi suhu siang dan malam
juga tinggi maka erosi angin tidak nyata terlihat dibandingkan dengan erosi
tanah oleh air. Sedangkan berdasarkan proses kejadiannya, erosi terbagi ke
dalam 2 tipe yaitu:
1. Erosi Geologis (Geological Erosion); Erosi Normal (Normal Erosion)
Erosi alami merupakan proses pengangkutan tanah yang terjadi di bawah
keadaan vegetasi alami sehingga terjadi keseimbangan yang baik antara
pembentukan tanah dan erosi. Erosi alamiah tidak menimbulkan malapetaka
bagi kehidupan manusia atau keseimbangan lingkungan.
2. Erosi yang dipercepat (Accelerated erosion)
Pengertian erosi yang dipercepat adalah pengangkutan tanah yang menimbulkan
kerusakan tanah sebagai akibat perbuatan manusia yang mengganggu
keseimbangan antara proses pembentukan dan pengangkutan tanah. Volume
penghanyutan tanah yang lebih besar dibandingkan dengan pembentukan
tanahnya sehingga akan terjadi penipisan lapisan tanah yang terus menerus.
Lama kelamaan lapisan olah tanah akan terangkut habis dan yang tersisa

Laporan Akhir 21
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
hanya lapisan dalam (sub soil) yang belum matang. Bahkan jika erosi yang
sangat parah muncul ke permukaan bahan induk karena lapisan dalam (B-
horizons) pun terangkut habis.
Menurut Sitanala Arsyad (1989), berdasarkan bentuknya, erosi dibedakan
menjadi erosi lembar, erosi alur, dan erosi parit.
o Erosi lembar (sheet erosion)
Pengertiannya yaitu pengangkutan lapisan tanah yang merata tebalnya dari
suatu permukaan bidang tanah. Kekuatan jatuh butir-butir hujan dan
aliran air di permukaan tanah merupakan penyebab utama erosi ini.
o Erosi alur (rill erosion)
Pengertiannya yaitu erosi yang terjadi karena air terkonsentrasi dan
mengalir pada tempat-tempat tertentu di permukaan tanah sehingga
pemindahan tanah lebih banyak terjadi pada tempat tersebut. Alur-alur yang
terjadi masih dangkal dan dapat dihilangkan dengan pengolahan tanah. Erosi
alur biasanya terjadi pada tanah-tanah yang ditanami dengan tanaman
yang ditanam berbaris menurut lereng atau akibat pengolahan tanah
menurut lereng. Erosi lembar dan erosi alur lebih banyak dan luas
terjadinya dibandingkan dengan bentuk lain.
o Erosi parit (gully erosion)
Proses terjadinya erosi parit itu sama dengan erosi alur, tetapi saluran-
saluran yang terbentuk sudah demikian dalamnya sehingga tidak dapat
dihilangkan dengan pengolahan tanah biasa. Erosi parit yang baru terbentuk
berukuran sekitar 40 cm lebarnya dan kedalamannya kurang lebih 25 cm.
Erosi parit yang telah lanjut dapat mencapai kedalaman sampai 30 cm.
Erosi parit dapat berbentuk V atau U, tergantung dari kepekaan erosi
substratnya. Bentuk V adalah bentuk yang umum terdapat, tetapi pada
daerah-daerah yang substratnya mudah lepas yang umum dari batuan
sedimen maka akan terjadi bentuk U.

Laporan Akhir 22
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
b. Ketebalan Solum
Pengertian solum tanah yaitu lapisan-lapisan tanah yang menyusun dalam
satu tubuh tanah. Pada umunya pada satu tubuh tanah tersusun dari beberapa
solum. Diantaranya akumulasi seresah (solum O), lapisan top soil (solum A),
lapisan sub soil (solum B), dan lapisan batuan induk (solum C). Solum tanah
yaitu lapisan tanah yang meliputi horison: O-A-E- B.
Lapisan tanah atas (top soil) yaitu lapisan tanah yang meliputi horison:
O-A. Lapisan tanah bawah yaitu lapisan tanah yang meliputi horison: E-B.
Profil dari tanah mineral yang telah berkembang lanjut biasanya memiliki
horison-horison: O-A-E-B-C-R.
Ketebalan adalah jarak vertikal dari permukaan tanah sampai ke lapisan
yang membatasi keleluasaan perkembangan sistem perakaran. Pada Peraturan
Pemerintah RI Nomor 150 Tahun 2000 disebutkan bahwa tingkat kekritisan
parameter ketebalan solum adalah 20 cm. Hal ini didasarkan pada kebutuhan
ruang minimal akar tanaman untuk berkembang dan menguatkan batang tanaman.

Gambar 2.2 Tebal solum tanah

Laporan Akhir 23
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
c. Kebatuan Permukaan
Pengertian kebatuan permukaan adalah persentase tutupan batu di
permukaan tanah. Batu adalah semua material kasar yang berukuran diameter
> 2 mm. Kebatuan permukaan penting untuk dikelola karena apabila
persentase batu di permukaan tanah adalah tinggi maka tanaman akan susah
untuk berkembang. Hal ini disebabkan karena dalam perkembangannya
tanaman memerlukan ruang yang cukup baik di permukaan maupun di bawah
tanah.

Gambar 2.3 Kondisi permukaan kebatuan

d. Komposisi Fraksi
Pengertian komposisi fraksi adalah perbandingan berat dari pasir kuarsatik
(50-2000 µm) dengan debu dan lempung (< 50 µm). Komposisi fraksi akan
mempengaruhi kesuburan fisik tanah karena tanah sudah tidak dapat menyimpan
hara dan air bilamana kandungan pasir kuarsanya >80%.

Laporan Akhir 24
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
e. Berat Isi
Berat isi merupakan salah satu sifat fisik tanah yang sering ditetapkan karena
berkaitan erat dengan perhitungan penetapan sifat-sifat fisik tanah lainnya,
seperti retensi air (pF), ruang pori total (RPT), coefficient of linierextensibility
(COLE), dan kadar air tanah. Data-data sifat fisik tanah tersebut diperlukan
dalam perhitungan penambahan kebutuhan, pupuk, kapur, dan pembenah tanah
pada satuan luas tanah sampai kedalaman tertentu. Berat isi tanah juga erat
kaitannya dengan tingkat kepadatan tanah dan kemampuan akar tanaman
menembus tanah.
Menurut Lembaga Penelitian Tanah (1979), definisi berat isi tanah adalah
berat tanah utuh (undisturbed) dalam keadaan kering dibagi dengan volume tanah,
dinyatakan dalam satuan g/cm3 atau g/cc. Nilai berat isi tanah sangat
bervariasi antara satu titik dengan titik lainnya karena perbedaan kandungan
bahan organik, tekstur tanah, kedalaman tanah, jenis fauna tanah, dan kadar air
tanah (Agus et al.2006). Berat isi/berat volume atau lebih dikenal dengan Bulk
Density adalah berat kering suatu volume tanah per satuan volume
termasuk pori-pori tanah. Pada suatu tanah yang memiliki berat isi > 1,4
gr/cm3, kemungkinan akar tanaman untuk menembus tanah tersebut akan sulit
sehingga akan mengganggu pertumbuhan tanaman. Berat isi yang terlalu tinggi
juga akan mengganggu kapasitas infiltrasi air hujan sehingga tanah akan rentan
terhadap erosi dan juga akan berdampak pada semakin kecilnya pori-pori
antar zarah tanah sehingga akan mengurangi kemampuan tanah untuk mengikat
air dan hara.
f. Porositas Total
Porositas total adalah persentase ruang pori yang ada dalam tanah terhadap
volume tanah. Porositas tanah bergantung pada berat isi dan berat jenis
tanah sehingga porositas suatu tanah akan sangat terpengaruh terhadap

Laporan Akhir 25
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
kenaikan berat isi tanah. Porositas tanah juga mempengaruhi kemampuan
tanah untuk meloloskan air serta berpengaruh terhadap kemampuan tanah
untuk menyimpan hara.
Tabel 2.1. Klasifikasi Porositas Tanah
No Porositas (% volume) Kelas
1 100 Sangat poros
2 80-60 Poros
3 60-50 Baik
4 50-40 Kurang Baik
5 40-30 Jelek
6 < 30 Sangat jelek

g. Derajat Pelulusan Air


Pengertian derajat pelulusan air atau permeabilitas tanah adalah kecepatan
air melewati tubuh tanah secara vertikal. Derajat pelulusan air sangat
dipengaruhi oleh berat isi dan porositas suatu tanah. Semakin rendah nilai berat isi
tanah dan semakin besar nilai porositas tanah maka akan semakin tinggi derajat
pelulusan air atau laju infiltrasinya. Derajat pelulisan air juga dipengaruhi oleh
komposisi fraksi penyusun butiran tanah.
Tabel 2.2 Klasifikasi permeabilitas tanah
No Permeabilitas (cm/jam) Kelas
1 0,1 Sangat Lambat
2 0,1-0,5 Lambat
3 0,5-2,0 Agak Lambat
4 2,0-6,5 Sedang
5 6,5-12,5 Agak Cepat
6 12,5 - 25 Cepat
7 25 Sangat Cepat

Laporan Akhir 26
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
h. pH (Derajat Kemasaman)
Pengertian pH adalah derajat keasaman tanah yang dicerminkan oleh
konsentrasi H+ dalam tanah. Nilai pH sangat mempengaruhi ketersediaan (ada
atau tidaknya) unsur hara, unsur meracun dalam tanah maupun aktivitas
organisme tanah. Nilai pH tanah juga mempengaruhi kejenuhan basa, kapasitas
tukar anion maupun kation dan mobilitas unsur hara esensial dalam tanah.

Gambar 2.4 Skala pH


(Sumber : Charles E. Ophardt, 2003)

i. Daya Hantar Listrik (DHL)


Nilai daya hantar listrik adalah pendekatan kualitatif kadar ion yang ada
dalam larutan tanah, di luar kompleks serapan tanah. Semakin besar kadar ionik
larutan maka akan semakin besar pula nilai Daya Hantar Lisriknya. Pada lahan

Laporan Akhir 27
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
kering atau tanah mineral, nilai Daya Hantar Lisriknya cenderung kecil, akan
tetapi nilai ini akan meningkat apabila tanah/lahan mengalami banjir/tergenang.
Nilai Daya Hantar Lisrik yang melebihi 4 mS akan mengakibatkan pembusukan
akar karena terjadi plasmosis. Nilai
Daya Hantar Lisrik juga dapat terjadi apabila evaporasi total lebih tinggi dari
presipitasi sehingga mengakibatkan terendapkannya ion Na+.

j. Redoks
Pengertian nilai Redoks adalah suasana oksidasi-reduksi yang berkaitan
dengan ketersediaan atau ketidaktersediaan oksigen dalam tanah, jika nilai Eh <
200 mV berarti suasana tanah reduktif (tanah di lahan kering). Reaksi reduksi akan
menghasilkan warna kelabu kebiruan, kehijauan, atau kelabu (Reduksi Ferro
disertai dengan konsistensi lekat, struktur pejal dan mampat). Reaksi oksidasi
akan menghasilkan warna-warna kuning, strukturnya yang pejal dan mampat serta
berwarna merah karena terbentuknya besi oksidasi berbagai tingkat hidratasi.
Nilai redoks yang terlalu tinggi atau terlalu rendah terkadang merupakan sifat alami
tanah, beberapa ordo (vertisol, mollisol) memiliki sifat tersebut.
k. Jumlah Mikroba Tanah
Pengertian jumlah mikroba tanah adalah total populasi mikroba di dalam tanah
yang diukur dengan cilony counter. Jumlah mikroba sangat dipengaruhi oleh sifat
kimia terutama pH tanah. Pada umumnya jumlah mikroba normal adalah 107
cfu/gr tanah. Tanah dikatakan rusak apabila jumlah mikroba < 102 cfu/gr tanah
baik untuk lahan kering maupun lahan basah.

Laporan Akhir 28
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
BAB III
METODOLOGI DAN PENDEKATAN

3.1. UMUM

Uraian pendekatan, metodologi, dan rencana kerja merupakan upaya yang


dilakukan oleh konsultan sebagai penyedia barang dan jasa dalam rangka untuk
memberikan khasanah terhadap kerangka acuan dan penjelasan yang telah
diberikan. Sehingga diharapkan melalui uraian pendekatan, metodologi, dan rencana
kerja tersebut dapat memberikan hasil akhir pekerjaan yang berkualitas dan tetap
mengacu pada lingkup pekerjaan sesuai KAK dan penjelasan yang telah diberikan
dalam aanwijzing. Uraian pendekatan, metodologi, dan rencana kerja tergambar
pada Gambar 3.1.

Mulai

KAK Studi Pustaka/Literatur

Telaah KAK

Yang sudah ada dalam yang belum ada dalam

Apresiasi & Inovasi

Ruang Lingkup Studi


dan Aspek

Selesai

Gambar 3.1. Uraian pendekatan, Metodologi dan Rencana Kerja

Laporan Akhir 29
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
3.2. PENDEKATAN
3.2.1. Koordinasi Dengan Instansi Terkait
Koordinasi dengan instansi terkait atau lembaga yang terkait di semua
tingkatan merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan, agar implementasi
dan pelaksanaan pekerjaan dapat berjalan secara lancar tanpa ada benturan dan
kesalahpahaman yang diakibatkan kurangnya koordinasi dan informasi dari pihak-
pihak yang terkait.
Sebelum pelaksanaan kegiatan, perlu adanya koordinasi dan pemberian
informasi baik secara formal maupun secara non formal. Sehingga dalam
pelaksanaan kegiatan akan memberikan komunikasi yang lebih fleksibel terhadap
penyelesaian pekerjaan yang efektif dan efisien. Dalam pelaksanaan kegiatanini,
koordinasi dan pertemuan ini dimaksudkan untuk membahas dan memperoleh
masukan untuk penyempurnaan pelaksanaan kebijakan dengan unsur pemerintah
dan pihak terkait.

3.2.2. Pendekatan teknis dan Administrasi


Pendekatan teknis dan administrasi yang dimaksud adalah pendekatan
terhadap semua aspek teknis dan administrasi yang akan dihadapi dalam proses
pelaksanaan kegiatan ini. Pendekatan ini akan menunjukkan pemahaman konsultan
mengenai aspek teknis dan administrasi yang terkait dengan pelaksanaan kegiatan
ini.

a) Pendekatan Secara Teknis

Prinsip-prinsip keteknikan yang akan diaplikasikan dalam pelaksanaan


kegiatan ini adalah pedoman-pedoman teknik dan Kebijakan yang mendukung.
Pedoman yang dimaksud adalah semua produk kebijakan yang relevan dengan
item pekerjaan-pekerjaan yang akan dilaksanakan di lapangan yang tentunya
akan mengacu pada dokumen kontrak.

Laporan Akhir 30
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
Prinsip keteknikan dalam hal penyusunan rencana studi yang akan
diaplikasikan, pada dasarnya merupakan alat bantu agar pelaksanaan evaluasi
dapat menghasilkan output seperti yang diharapkan. Alat bantu tersebut adalah
sarana dan bukan tujuan yang akan dicapai, dan hasil pelaksanaan prinsip-
prinsip tersebut sangat tergantung kepada komitmen pelaksana untuk
melaksanakannya.

b) Pendekatan Administrasi

Administrasi dalam pelaksanaan kegiatan ini merupakan bagian penting


yang tidak boleh diabaikan. Bagian ini merupakan catatan penting mengenai
jalannya pelaksanaan kegiatan, mulai dari tahap awal pendampingan sampai
dengan tersusunnya laporan. Administrasi pelaksanaan kegiatan secara umum
terdiri dari administrasi teknik, keuangan dan pelaporan.

Dalam pelaksanaan di lapangan konsultan akan menerapkan prinsip-


prinsip administrasi sebagai berikut :

1. Menggunakan format-format standar yang sudah ada dan sudah biasa


dipakai di lingkungan Kementerian Perhubungan;

2. Menggunakan format sederhana namun informatif (semua informasi penting


yang dibutuhkan dapat tercatat), sehingga mudah dipahami oleh para
pelaksana di lapangan maupun oleh penerima laporan; dan

3. Sistem pelaporan yang jelas dan berjenjang serta tidak overlapping.

3.2.3. Pendekatan Profesional

Secara umum tugas konsultan dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) bagian,


antara lain adalah:

1) Tugas-tugas yang bersifat Assistance Concept

Laporan Akhir 31
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
Dalam hal ini konsultan bertindak sebagai pemberi saran dan bantuan teknis,
administrasi Dalam konsep ini konsultan tidak berwenang memutuskan suatu
kebijakan atau suatu langkah konkret, karena hal tersebut menjadi tugas dan
tanggung jawab dari instansi terkait.

2) Tugas-tugas yang bersifat Task Concept

Dalam hal ini konsultan bertindak untuk melaksanakan suatu kegiatan, baik
lingkup organisasi konsultan sendiri, maupun dalam lingkup secara
keseluruhan. Dalam konsep ini konsultan berwenang mengambil keputusan dan
menentukan kebijakan dimana keputusan yang diambil oleh konsultan bersifat
mengikat terhadap pihak-pihak yang terikat oleh konsultan dalam pekerjaan.
Konsultan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap semua implikasi yang
mungkin terjadi sebagai akibat dari keputusan yang diambil.

Dalam Pendekatan Profesional perlu kiranya ditekankan mengenai prinsip


dasar yang harus dipahami dalam pelaksanaan kegiatan ini, yang meliputi hal-hal
sebagai berikut :

a) Pengendalian Pelaksanaan kegiatan

Konsultan akan melakukan kegiatan pengendalian dalam lingkup kerja secara


cepat, tepat, praktis dan efisien. Kegiatan pengendalian ini meliputi sasaran,
target dan keberhasilan pelaksanaan pekerjaan.

b) Pengaturan Tata Kerja Personil

Konsultan akan membentuk suatu organisasi intern konsultan maupun


pembentukan organisasi proyek secara keseluruhan agar dapat berjalan secara
efektif dan efisien. Pengaturan tata kerja atau organisasi yang kurang baik akan
menyebabkan kegiatan berjalan tanpa arah dan target.

c) Pemeriksaan Kegiatan Kerja

Pemeriksaan kegiatan kerja akan dilakukan dengan memeriksa :

Laporan Akhir 32
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
o Penetapan langkah (apa, dimana, dan bagaimana ?)

o Pengaturan waktu (kapan ?)

o Penugasan (siapa ?)

o Tahap lanjutan (atau penyelesaian dengan segera).

3.3. METODOLOGI

3. 1 Metode Penelitian
Metode penelitian dilaksanakan sesuai bidang kajian masing-masing.
Mengingat pekerjaan ini ada empat bidang kajian, maka dilaksanakan dengan empat
metode kajian yang berbeda. Berikut ini penjelasan masing-masing metode
penelitiannya.

a. Alat dan Bahan


Bahan yang perlu disiapakn di dalam pelaksanaan pekerjaan penyusunan
informasi kerusakan lahan dan atau tanah untuk produksi biomassa Kabupaten
Bantul ini antara lain :
 Peta Dasar
Peta Dasar adalah peta yang menyajikan informasi-informasi dasar dari
suatu wilayah, antara lain jalan, pemukiman/kampung, sungai, gunung, tutupan
lahan, elevasi dan wilayah administrasi. Peta ini menjadi wadah dituangkannya
berbagai peta tematik. Skala peta dasar yang akan digunakan sama atau lebih
detil dari skala peta yang akan dihasilkan. Sebagai bahan peta dasar dapat
menggunakan peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) produksi Badan Koordinasi
Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal).

 Peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)


Peta RTRW yang digunakan adalah peta RTRW tingkat Kabupaten Bantul.
Fungsi dari peta RTRW dalam penyusunan peta kondisi awal tanah adalah
sebagai penyaring daerah kerja efektif yang akan disurvey dan dilihat kondisi

Laporan Akhir 33
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
tanahnya di lapangan berdasarkan status lahannya. Daerah yang dijadikan
sebagai areal kerja efektif adalah daerah yang dapat digunakan untuk
pengembangan produksi Biomassa di kawasan budidaya.

 Peta Tanah
Peta tanah diperlukan sebagai bahan untuk penilaian potensi kerusakan
tanah. Informasi utama yang diambil dari peta ini adalah jenis tanah. Jenis tanah
yang diperoleh dari peta tanah tergantung dari skala peta. Semakin detil skala
peta tersebut, semakin banyak informasi sifat tanah yang diperoleh. Jenis
(klasifikasi) tanah yang digunakan dapat beragam, umumnya menggunakan
sistem klasifikasi Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, USDA) dan kadang-kadang
juga disertakan padanannya dari klasifikasi Puslittan dan FAO.

 Peta Lereng
Peta lereng merupakan hasil olahan dari peta topografi. Kemiringan lahan
berkaitan erat dengan potensi erosi sebagai faktor utama penyebab kerusakan
tanah sehingga dijadikan bahan penilaian potensi kerusakan tanah. Peta lereng
yang mudah didapat diantaranya bersumber dari peta satuan lahan. Peta satuan
lahan terdiri dari kumpulan peta-peta dasar seperti peta lereng, peta tanah dan
sebagainya. Peta tersebut diantaranya bisa didapat di BBSDL (Balai Besar
Sumber Daya Lahan) dan di Bakosurtanal. Peta lereng juga dapat dipersiapkan
dengan DEM (digital elevation model} yaitu melakukan interpolasi peta kontur
digital. DEM terbaru didapatkan dengan metode korelasi image digital dari dua
image optik yang sama namun diambil dari sudut berbeda. Sumber image antara
lain citra dari SPOT, ASTER dan sebagainya.

 Peta Curah Hujan


Curah hujan merupakan unsur yang paling penting dari iklim dan menjadi
agen utama kerusakan tanah melalui proses erosi. Untuk itu ketersediaan data
ini diperlukan dalam penentuan potensi kerusakan tanah. Peta hujan biasanya

Laporan Akhir 34
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
disusun dari peta isohyet. BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika)
ditingkat provinsi kadang juga menyusun peta hujan. Sumber lain adalah peta
hujan yang disusun oleh Bappeda masing-masing daerah kabupaten, kota atau
Provinsi.

 Peta Penggunaan / Penutupan Lahan


Umumnya kerusakan tanah di Indonesia terjadi sebagai pengaruh aktivitas
manusia (penggunaan lahan) baik pertanian, kehutanan, pertambangan, industri
dan sebagainya. Karena itu peran peta penggunaan lahan (land use) sangat
penting sebagai salah satu bahan penilaian potensi kerusakan tanah. Dalam
pendugaan potensi kerusakan tanah, peta penggunaan/penutupan lahan yang
digunakan adalah peta terbaru yang masih relevan menggambarkan kondisi
penggunaan/penutupan lahan saat verifikasi lapang dilakukan. Jika tidak
tersedia, peta ini dapat disusun berdasarkan data Citra. Beberapa jenis citra
yang dapat digunakan antara lain citra Landsat, SPOT, ASTER dan Quick Bird.

 Peta dan data lainnya


Peta dan data lain seperti peta lahan kritis atau laporan langsung dari
masyarakat atau instansi terkait tentang adanya kerusakan tanah pada kawasan
tertentu, maka informasi tersebut dapat diakomodir dalam peta kondisi awal jika
posisi dan sebarannya diketahui.
Beberapa peralatan lapangan yang perlu disiapakn di dalam pelaksanaan
pekerjaan penyusunan informasi kerusakan lahan dan atau tanah untuk produksi
biomassa Kabupaten Bantul ini antara lain :
 Alat-alat pengukur parameter-parameter kerusakan tanah sesuai Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup No. 07 tahun 2006
 GPS, kompas, klinometer/abney level
 Audio visual yang bisa digunakan untuk menyimpan data
 Form isian data kondisi tanah
 Kantong plastik untuk tempat sampel tanah

Laporan Akhir 35
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
 ATK
b. Cara Kerja
Khusus untuk penelitian kerusakan lahan untuk produksi biomassa ini
menggunakan data sekunder. Adapun cara kerjanya adalah sebagai berikut :
o Mengumpulkan data penelitian kerusakan lahan untuk produksi biomassa di
Daerah Kabupaten Bantul.
o Melakukan tabulasi data hasil laboratorium dan pengamatan lapangan pada
setiap hasil penelitian
o Memasukkan lokasi-lokasi titik pengamatan pada peta
o Melakukan survey dan pengamatan lapangan
o Menyusun desain rehabilitasi kerusakan lahan untuk produksi biomassa

c. Lokasi-lokasi
Lokasi yang dijadikan obyek penelitian adalah 17 Kecamatan di Kabupaten
Bantul yaitu :
Tabel 3.1 Lokasi survei kajian pemetaan biomassa tanah di Kabupaten Bantul

Lokasi Koordinat
No
Kecamatan Desa Zona E S
1 Banguntapan Banguntapan 49 M 434446.00 m E 9138149.00 m S
2 Dlingo Muntuk 49 M 439239.44 m E 9125860.91 m S
3 Sedayu Argomulyo 49 M 420804.00 m E 9138781.00 m S
4 Jetis Patalan 49 M 428005.00 m E 9125726.00 m S
5 Sewon Timbulharjo 49 M 429504.00 m E 9129692.00 m S
6 Kretek Parangtritis 49 M 422434.00 m E 9116487.00 m S
7 Pandak Gilangharjo 49 M 423893.00 m E 9126073.00 m S
8 Pajangan Guwosari 49 M 423307.00 m E 9128124.00 m S
9 Piyungan Sitimulyo 49 M 437399.00 m E 9131896.00 m S
10 Imogiri Trimulyo 49 M 432516.00 m E 9128315.00 m S
11 Pundong Seloharjo 49 M 427728.00 m E 9120589.00 m S
12 Pleret Wonokromo 49 M 432171.60 m E 9129793.61 m S
13 Bambanglipuro Sumbermulyo 49 M 426344.00 m E 9122269.75 m S
14 Sanden Srigading 49 M 420385.07 m E 9117435.04 m S
15 Srandakan Poncosari 49 M 414691.81 m E 9116859.62 m S

Laporan Akhir 36
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
16 Kasihan Bangunjiwo 49 M 425002.58 m E 9131883.12 m S
17 Bantul Trirenggo 49 M 427940.90 m E 9127010.95 m S

d. Metode Pengukuran
1. Parameter untuk Tanah di Lahan Kering
Tanah di lahan kering adalah tanah yang berada di lingkungan tidak
tergenang yang pada umumnya merupakan tanah mineral (bukan tanah
organik). Tanah-tanah ini berada di wilayah beriklim basah maupun
beriklim kering. Bentuk lahannya dapat beragam dari datar sampai
bergunung, sehingga proses erosi perlu mendapat perhatian, terutama pada
lahan yang miring.
a) Erosi
Erosi adalah perpindahan material tanah dari tempat semula ke
tempat lain terutama disebabkan oleh air sebagai agensia pengangkut.
Metode Pengukuran : Pengukuran langsung.
b) Ketebalan solum
Ketebalan solum adalah jarak vertikal dari permukaan tanah sampai ke
lapisan yang membatasi keleluasaan perkembangan sistem perakaran.
Lapisan pembatas tersebut meliputi : lapisan padas/batu, lapisan
beracun (garam, logam berat, alumunium, besi), muka air tanah, dan
lapisan kontras.
Metode Pengukuran : Pengukuran langsung
c) Kebatuan Permukaan
Kebatuan permukaan adalah persentase tutupan batu di permukaan
tanah. Batu adalah semua material kasar yang berukuran diameter > 2
mm.
Metode Pengukuran : Pengukuran langsung imbangan batu dan tanah
dalam unit luasan

Laporan Akhir 37
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
d) Komposisi Fraksi
Komposisi fraksi tanah adalah perbandingan berat dari pasir
kuarsitik (50 – 2.000 µm) dengan debu dan lempung (< 50 µm). Tanah
tidak dapat menyimpan hara dan air bilamana kandungan pasir
kuarsanya > 80 %. Pasir yang mudah lapuk (vulkanik) yang berwarna
gelap tidak termasuk dalam definisi ini. Pengamatan ini khusus
diberlakukan untuk tanah pasiran berwarna keputih-putihan yang jika
diraba dengan ibu jari dan telunjuk pada kondisi basah terasa kasar
dan relatif tidak liat atau lekat (untuk memperkirakan kadar pasir
kuarsitik > 80%). Untuk tanah di luar ketentuan di atas tidak
diperlukan pengamatan lebih lanjut, cukup dengan perabaan (liat,
lekat, tidak terasa kasar akibat dominasi pasir).
Metode Pengukuran : Gravimetrik
e) Berat Isi
Berat isi/berat volume (BI) atau kerapatan bongkah tanah (bulk
density) adalah perbandingan antara berat bongkah tanah dengan
isi/volume total tanah, diukur dengan metode lilin (bongkah tanah
dilapisi lilin). Tanah dikatakan bermasalah bila BI tanah tersebut >
1,4 g/cm³ dimana akar sulit menembus tanah tersebut.
Metode Pengukuran : Gravimetrik pada satuan volume
f) Porositas Total
Porositas total tanah adalah persentase ruang pori yang ada
dalam tanah terhadap volume tanah.
Metode Pengukuran : Perhitungan berat isi (BI) dan berat jenis (BJ)

Laporan Akhir 38
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
g) Derajat Pelulusan Air
Derajat pelulusan air atau permeabilitas tanah adalah
kecepatan air melewati tubuh tanah secara vertikal dengan satuan
cm/jam.
Metode Pengukuran : Permeabilitas
2. Parameter untuk Tanah di Lahan Basah
Tanah di lahan basah (rawa) adalah tanah yang berada dalam
lingkungan yang selalu tergenang air, sehingga lingkungan tersebut
senantiasa bersifat reduktif. Oleh karena karakteristik lingkungan yang
demikian maka pada lahan basah dapat dijumpai tanah gambut. Tanah
gambut adalah tanah yang berkembang dari hasil penumpukan bahan
organik yang diluruhkan oleh produksi biomassa hutan hujan tropika.
Disamping tanah gambut, di rawa juga dijumpai tanah aluvial (mineral), bila
lingkungan pengendapan bersuasana marine tanah mineral tersebut dapat
mengandung bahan sulfidik, seperti mineral pirit (FeS2). Pembukaan
rawa pada umumnya dilakukan dengan membuat saluran drainase untuk
menurunkan permukaan air dan memperbaiki aerasi tanah. Akibatnya
jika tanah tersebut merupakan tanah gambut maka akan terjadi
subsidensi yaitu penurunan permukaan gambut. Jika tanah tersebut
merupakan tanah mineral yang berpirit, maka akan terjadi oksidasi pirit yang
menyebabkan keasaman ekstrim (pH < 3,5).
a) Subsidensi Gambut
Subsidensi gambut adalah laju penurunan permukaan tanah
gambut akibat adanya saluran drainase pada pembukaan lahan,
dihitung dengan satuan tebal (cm) untuk tiap satuan waktu (tahun).
Tanah gambut yang dibuka menyebabkan terhentinya proses
penumpukan gambut. Tanah gambut dikatakan rusak bila kumulatif
penurunan muka gambut > 35 cm/5 tahun.

Laporan Akhir 39
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
Metode Pengukuran : Pengukuran langsung
b) Kedalaman Lapisan Berpirit
Kedalaman lapisan berpirit adalah posisi mulai ditemukan
lapisan berpirit atau material sulfidik dari permukaan tanah. Material
sulfidik adalah senyawa ferosulfida (FeS2) yang stabil dalam kondisi
reduktif dan dapat terurai pada kondisi oksidatif. Bila lapisan ini
dijumpai pada kedalaman < 25 cm dari permukaan tanah, berpotensi
membahayakan pertumbuhan tanaman karena tanah tersebut akan
teroksidasi. Identifikasi tanah berpirit dilakukan dengan menggunakan
oksidator kuat (H2O2 30 - 40% teknis).
Metode Pengukuran : Reaksi oksidasi dan pengukuran langsung
c) Kedalaman Air Tanah Dangkal
Kedalaman air tanah dangkal adalah tinggi permukaan air di
dalam tanah, yang diukur dari permukaan tanah. Jika air tanah > 25
cm pada musim hujan dapat dipakai sebagai tanda bahwa rawa
mengalami oksidasi sehingga akan menyebabkan terjadinya
penurunan muka gambut dan atau keasaman tanah (pH < 3,5). Metode
Pengukuran : Pengukuran langsung
3. Parameter untuk Tanah di Lahan Kering dan Tanah di Lahan Basah
a) pH Tanah
pH adalah tingkat keasaman tanah yang dicerminkan oleh
konsentrasi H+ dalam tanah. Nilai pH menjadi bermasalah jika pH < 4,5
atau > 8,5 untuk tanah di lahan kering dan pH < 4,0 atau > 7,0 untuk
tanah di lahan basah.
Metode Pengukuran : Potensiometrik
b) Daya Hantar Listrik (DHL)
Nilai DHL adalah pendekatan kualitatif dari kadar ion yang ada
di dalam larutan tanah, di luar kompleks serapan tanah. Semakin besar

Laporan Akhir 40
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
kadar ionik larutan akan semakin besar DHL-nya. DHL dinilai dengan
satuan mS/cm atau µS/cm, pada suhu 25º C. Nilai DHL > 4 mS
mengkibatkan akar membusuk karena terjadi plasmolisis.
Metode Pengukuran : Tahanan listrik
c) Nilai Redoks (Eh)
Nilai redoks adalah suasana oksidasi-reduksi tanah yang
berkaitan dengan ketersediaan atau ketidaktersediaan oksigen di
dalam tanah. Jika nilai Eh < 200 mV berarti suasana tanah reduktif
(tanah di lahan kering), bila nilai Eh > - 100 mV pirit dapat
teroksidasi (tanah berpirit di lahan basah), dan bila nilai Eh > 200
mV gambut dapat teroksidasi/ terdegradasi. Pengukuran nilai redoks
menggunakan pH meter yang mempunyai teraan redoks dan
elektroda platina. Pengukuran hanya dilakukan pada tanah tergenang
lama/alamiah (stagnasi), pada tanah di lahan basah maupun di tanah
di lahan kering. Metode Pengukuran : Tegangan listrik
d) Mikroba Tanah
Jumlah mikroba tanah adalah total populasi mikroba di dalam tanah
yang diukur dengan colony counter. Pada umumnya jumlah mikroba
normal adalah 107 cfu/g tanah. Tanah dikatakan rusak bila jumlah
tersebut < 102 cfu/g tanah baik untuk di lahan kering maupun di
lahan basah. Pengukuran ini sulit untuk dilaksanakan di lapangan,
untuk itu pengukuran parameter ini hanya dilakukan pada kondisi
spesifik, misalnya tanah tercemar limbah B3.
Metode Pengukuran : Plating technique
e. Metode Analisis
Metodologi yang dipakai untuk melaksanakan pekerjaan Penyusunan
Informasi Kerusakan Lahan dan atau Tanah Untuk Produksi Biomassa mengacu
pada kriteria baku kerusakan tanah sesuai dengan PP No. 150 tahun 2000 yaitu

Laporan Akhir 41
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
menggunakan metode matching dan metode skoring dari frekwensi relatif
kerusakan tanah.
Peta Kerusakan Lahan dan atau Tanah Untuk Produksi Biomassa merupakan
output akhir yang berisi informasi tentang status, sebaran dan luasan kerusakan
tanah pada wilayah yang dipetakan. Peta ini disusun melalui dua tahapan evaluasi
yaitu matching dan skoring. Secara terperinci penetapan status kerusakan tanah
diuraikan sebagai berikut:
a) Metode Matching
Matching adalah membandingkan antara data parameter-parameter
kerusakan tanah yang terukur dengan kriteria baku kerusakan tanah (sesuai
dengan PP No. 150 tahun 2000). Matching ini dilakukan pada setiap titik
pengamatan. Dengan metode ini, setiap titik pengamatan dapat dikelompokan ke
dalam tanah yang tergolong rusak (R) atau tidak rusak (N).
b) Metode skoring dari frekwensi relatif kerusakan tanah
Metode skoring dilakukan dengan mempertimbangkan frekwensi relatif
tanah yang tergolong rusak dalam suatu poligon. Yang dimaksud dengan
frekwensi relatif (%) kerusakan tanah adalah nilai persentase kerusakan tanah
didasarkan perbandingan jumlah contoh tanah yang tergolong rusak yaitu hasil
pengukuran setiap parameter kerusakan tanah yang sesuai dengan kriteria
baku kerusakan tanah, terhadap jumlah keseluruhan titik pengamatan yang
dilakukan dalam poligon tersebut.
Dalam menetapkan status kerusakan tanah langkah-langkah yang dilalui
adalah sebagai berikut:
a. Menghitung frekwensi relatif (%) dari setiap parameter kerusakan tanah.
b. Memberi nilai skor untuk masing-masing parameter berdasarkan nilai frekwensi
relatifnya dengan kisaran nilai dari 0 sampai 4.
c. Melakukan penjumlahan nilai skor masing-masing parameter kriteria kerusakan
tanah.

Laporan Akhir 42
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
d. Penentuan status kerusakan tanah berdasarkan hasil penjumlahan nilai skor
pada poin 3 (Tabel 3.2).

Tabel 3.2 Skor kerusakan tanah berdasarkan frekwensi relatif dari berbagai parameter
kerusakan tanah
Frekwensi relatif tanah rusak Skor Status kerusakan tanah
(%)
0-10 0 Tidak rusak
11-25 1 Rusak ringan
26-50 2 Rusak sedang
51-75 3 Rusak berat
76-100 4 Rusak sangat berat
Sumber : Pedoman teknis penyusunan peta status kerusakan tanah untuk produksi biomassa

Dalam penentuan status kerusakan tanah pada lahan kering, nilai maksimal
penjumlahan skor kerusakan tanah untuk 10 parameter kriteria baku kerusakan
adalah 40. Sedangkan nilai skor maksimal pada lahan basah adalah 20, 24 atau 28,
tergantung pada-banyak parameter yang diukur.Misalkan jika jenis tanah lahan
basah berupa tanah mineral atau tanah gambut dengan lapisan substratum bukan
pasir kwarsa, maka parameter yang diukur berjumlah 6 (nilai redoks tanah gambut
dan subsidensi tidak diukur) sehingga nilai skor maksimalnya 24. Contoh lain, jika
jenis tanah lahan basah berupa tanah gambut dengan lapisan substratum pasir
kwarsa, maka parameter yang diukur berjumlah 7 (nilai redoks tanah yang
mengandung pirit tidak diukur) dan nilai skor maksimalnya adalah 28.
Dari penjumlahan nilai skor tersebut dilakukan pengkategorian status kerusakan
tanah. Berdasarkan status kerusakannya, tanah dibagi ke dalam 5 kategori, yaitu tidak
rusak (N), rusak ringan (R.I), rusak sedang (R.II), rusak berat (R.III) dan rusak sangat berat
(R.IV). Status kerusakan tanah berdasarkan penjumlahan nilai skor kerusakan tanah
disajikan dalam Tabel 3.3.

Laporan Akhir 43
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
Tabel 3.3. Status Kerusakan Tanah Berdasarkan Nilai Akumulasi Skor Kerusakan Tanah
Untuk Lahan Kering dan Basah
Simbol Status kerusakan Nilai akumulasi skor kerusakan tanah
lahan Lahan Lahan Basah
Kering Tanah gambut berstratum Tanah gambut lain
pasir kuarsa atau mineral
N Tidak Rusak 0 0 0
R.I Rusak Ringan 0 – 14 1 – 12 1–8
R.II Rusak Sedang 15 – 24 13 – 17 9 – 14
R.III Rusak Berat 25 – 34 18 – 24 15 – 20
R.IV Rusak Sangat Berat 35 – 40 25 - 28 21 – 24

Sumber : Pedoman teknis penyusunan peta status kerusakan tanah untuk produksi
biomassa.
Contoh cara penentuan status kerusakan tanah pada lahan kering
digambarkan dalam Tabel 3.3 dan pada lahan basah yaitu tanah gambut di atas pasir
kuarsa pada Tabel 3.4. Dalam Gambar 3.2 hasil penjumlahan dari skor frekwensi
relatif adalah 7, artinya status kerusakan tanah tergolong rusak ringan. Sedangkan
pada Tabel 3.4, hasil penjumlahan skor frekuensi relatif adalah 13, artinya status
kerusakan tanah tersebut tergolong rusak sedang.

Tabel 3.4 Tabulasi Tata Cara Penilaian Kerusakan Tanah Berdasarkan Persentase Frekuensi
Relatif Pada Lahan Kering
No. Kriteria Baku Kerusakan Tanah Frekwensi Relatif Skor Frekwensi
Kerusakan Tanah (%) Relatif
1 Ketebalan solum 40 2
2 Kebatuan permukaan 20 1
3 Komposisi fraksi kasar 20 1
4 Berat isi (BI) 10 0
5 Porositas total 10 0
6 Derajad pelulusan air 20 1
7 pH (H2O) 1:2,5 0 0
8 Daya hantar listrik (DHL) 0 0
9 Redoks 0 0
10 Jumlah mikroba 30 2
Jumlah skor 7*
Keterangan: * Angka menunjukkan status kerusakan tanah tergolong rusak ringan
Sumber : Pedoman teknis penyusunan peta status kerusakan tanah untuk produksi biomassa

Laporan Akhir 44
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
Tabel 3.5 Tabulasi Cara Penilaian Kerusakan Tanah Berdasarkan Persentase Frekuensi
Relatif Pada Lahan Basah (Tanah Gambut Di Atas Pasir Kuarsa)
No. Kriteria baku kerusakan tanah Frekwensi relatif Skor frekwensi
kerusakan tanah (%) relatif
1 Subsidensi gambut di atas pasir 50 2
kuarsa
2 Kedalaman lapisan berpirit dari 0 0
permukaan tanah
3 Kedalaman airtanah dangkal 76 4
4 Redoks tanah berpirit - -
5 Redoks untuk gambut 30 2
6 pH (H2O) 1:2,5 25 1
7 Daya hantar listrik (DHL) 60 3
8 Jumlah mikroba 20 1
Jumlah skor 13*
Keterangan: * Angka menunjukkan status kerusakan tanah tergolong rusak sedang
Sumber : Pedoman teknis penyusunan peta status kerusakan tanah untuk produksi biomassa

Gambar 3.2 Contoh Penilaian Status Kerusakan Tanah

Laporan Akhir 45
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
BAB IV
TINJAUAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1. GAMBARAN UMUM KABUPATEN BANTUL


4.1.1. Kondisi Geografi
Kabupaten Bantul merupakan bagian integral dari wilayah Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta yang meliputi empat kabupaten dan satu kota.
Kabupaten Bantul memiliki wilayah seluas 506,85 km2 yang secara
administratif pemerintahan terbagi dalam 17 kecamatan, 75 desa, dan 933
pedukuhan sebagaimana dapat dilihat dalam Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Luas Wilayah dan Banyaknya Desa Menurut Kacamatan di
Kabupaten Bantul
Persentase
Luas wilayah Banyaknya
No. Kecamatan Luas
(Ha) Desa
(%)
1 Srandakan 1.832 3,61 2
2 Sanden 2.316 4,57 4
3 Kretek 2.677 5,28 5
4 Pundong 2.368 4,67 3
5 Bambanglipuro 2.270 4,48 3
6 Pandak 2.430 4,79 4
7 Bantul 2.195 4,33 5
8 Jetis 2.447 4,83 4
9 Imogiri 5.449 10,75 8
10 Dlingo 5.587 11,02 6
11 Pleret 2.297 4,53 5
12 Piyungan 3.254 6,42 3
13 Banguntapan 2.848 5,62 8
14 Sewon 2.716 5,36 4
15 Kasihan 3.238 6,39 4
16 Pajangan 3.325 6,56 3
17 Sedayu 3.436 6,78 4
Jumlah 50.685 100,00 75
Sumber : Kabupaten Bantul dalam angka (2019)

Laporan Akhir 46
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
Secara geografis, Kabupaten Bantul terletak antara 07°44'04" -
08°00'27" Lintang Selatan dan 110°12'34" - 110°31'08" Bujur Timur. Sebagai
bagian dari wilayah Indonesia yang rawan bencana khususnya gempa bumi
karena wilayah ini terletak pada pertemuan lempeng Eurasia dan lempeng
Indonesia-Australia, wilayah Kabupaten Bantul juga terletak pada lintasan
patahan/sesar Opak yang masih aktif. Dengan demikian wilayah ini
merupakan kawasan rawan bencana gempa bumi tektonik yang potensial
tsunami.
Wilayah Kabupaten Bantul dilewati oleh tiga sungai utama yaitu Sungai
Progo, Sungai Opak, dan Sungai Oya dengan batas-batas wilayah sebagai
berikut: - Sebelah Utara : Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman - Sebelah
Selatan : Samudera Hindia - Sebelah Barat : Kabupaten Kulonprogo dan
Kabupaten Sleman - Sebelah Timur : Kabupaten Gunungkidul
Secara garis besar satuan fisiografi Kabupaten Bantul sebagian besar
beradapada dataran aluvial (Fluvio Volcanic Plain). Perbukitan di sisi barat
dan timur dan fisiografi pantai. Adapun pembagian satuan fisiografi yang
lebih rinci di Kabupaten Bantul adalah sebagai berikut:
a. Daerah di bagian Timur merupakan jalur perbukitan berlereng terjal
dengankemiringan lereng dominan curam (>70%) dan ketinggian
mencapai 400 meter dari permukaan air laut. Daerah ini terbentuk oleh
formasi Nglanggran dan Wonosari.
b. Daerah di bagian Selatan ditempati oleh gisik dan gumuk-gumuk pasir
(fluviomarine) dengan kemiringan lereng datar-landai. Daerah ini
terbentuk oleh material lepas dengan ukuran pasir kerakal.
c. Daerah di bagian tengah merupakan dataran aluvial (Fluvio Volcanic
Plain),yang dipengaruhi oleh Graben Bantul dan terendapi oleh material
vulkanik dari endapan vulkanik Merapi.

Laporan Akhir 47
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
d. Daerah di bagian Barat merupakan perbukitan rendah dengan
kemiringan lereng landai-curam dan ketinggian mencapai 150 meter dari
permukaan air laut. Daerah ini terbentuk oleh formasi Sentolo.
4.1.2. Kondisi Topografi
Kabupaten Bantul memiliki wilayah ketinggian tempat diatas
permukaan laut yang sangat bervariatif, antara 25 – 500 M DPL yang terebar
di 17 Kecamatan. Dari data yang ada Kecamatan Sradakan dan Sanden
mempunyai ketinggian tempat yang paling rendah antara 0 – 25 M DPL hal
ini disebabkan karena daerah tersebut merupakan daerah yang berada di
wilayah pesisir pantai selatan. Sedangkan untuk wilayah kecamatan yang
lain rata-rata mempunyai ketinggian antara 50 -500 M DPL dengan topografi
pegunungan yang relative rendah, sebagaimana dapat dilihat dalam Tabel
3.2. jika dilihat menurut luas lahan di beberapa kecamatan menunjukkan
ketinggian tenpat di bawah 100 M berada di semua kecamatan di Kabupaten
Bantul, data tersebut dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Tinggi Wilayah di Atas Permukaan Air Laut (DPL)
Tinggi DPL
No. Kecamatan
(m)
1 Srandakan 12
2 Sanden 55
3 Kretek 56
4 Pundong 20
5 Bambanglipuro 18
6 Pandak 34
7 Bantul 42
8 Jetis 37
9 Imogiri 58
10 Dlingo 200
11 Pleret 52
12 Piyungan 86
13 Banguntapan 78
14 Sewon 69
15 Kasihan 81
16 Pajangan 38
17 Sedayu 58
Sumber : Kabupaten Bantul dalam angka (2019)

Laporan Akhir 48
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
Tabel 4.3. Luas Daerah Menurut Ketinggian dari Permukaan Air Laut
Ketinggian (m)
No. Kecamatan jumlah
<100 100-499 500-999 >1.000
1 Srandakan 18,32 0 0 0 18,32
2 Sanden 23,16 0 0 0 23,16
3 Kretek 24,49 2,28 0 0 26,77
4 Pundong 21,77 1,91 0 0 23,68
5 Bambanglipuro 22,70 0 0 0 22,70
6 Pandak 24,30 0 0 0 24,30
7 Bantul 21,95 0 0 0 21,95
8 Jetis 23,37 1,10 0 0 24,47
9 Imogiri 31,77 22,72 0 0 54,49
10 Dlingo 8,15 47,72 0 0 55,87
11 Pleret 17,83 5,14 0 0 22,97
12 Piyungan 19,65 12,89 0 0 32,54
13 Banguntapan 21,54 6,94 0 0 28,48
14 Sewon 27,16 0 0 0 27,16
15 Kasihan 26,08 6,3 0 0 32,38
16 Pajangan 28,67 4,58 0 0 33,25
17 Sedayu 32,62 1,74 0 0 34,36
Sumber : Kabupaten Bantul dalam angka (2019)

4.1.3. Klimatologi
Berdasarkan data-data iklim yang ada, maka menurut metode Oldeman
(Agro-Climatic Classification) membagi iklim menjadi 5 (lima), tipe iklim A,
tipe iklim B, tipe iklim C, tipe iklim D dan tipe iklim E. Bulan basah
didefinisikan sebagai bulan dengan curah hujan sekurang-kurangnya 200
mm. Bulan kering didefinisikan sebagai bulan dengan curah hujan kurang
dari 100 mm. Budidaya Palawija diperlukan curah hujan sekurang-kurangnya
100 mm, jika terdapat kurang dari 2 (dua) bulan kering, tanah dinilai masih
cukup lembab. Klasifikasi iklim di Kabupaten Bantul menurut Oldeman yang
didasarkan pada beberapa stasiun pengamatan dari tahun 1998-2006. Dari
tabel dapat diidentifikasi bahwa Kecamatan Jetis mengindikasikan beriklim
C1, Kecamatan Pundong beriklim C1, Kecamatan Pandak beriklim D1,
Kecamatan Sewon beriklim C, Kecamatan Kasihan beriklim D, Kecamatan

Laporan Akhir 49
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
Bantul beriklim C1, Kecamatan Imogiri dan Piyungan beriklim D, Kecamatan
Sedayu beriklim E, Kecamatan Dlingo beriklim C. Hal tersebut berarti bahwa
wilayah Kabupaten Bantul secara umum memiliki curah hujan yang relatif
kecil, beriklim C1 dan D yaitu 5-6 bulan basah berurutan dan 2-4 bulan kering.
Tabel 4.4. Klasifikasi Iklim Kabupaten Bantul
Tipe Iklim
No Stasiun Kecamatan
2004 2005 2006 2007 2008
1 Barongan Jetis - C1 C1 C1 C1
2 Pundong Pundong E2 D2 C1 D3 D3
3 Gedongan Pandak E2 D2 D1 D2 D2
4 Gandok Sewon D2 D2 C C1 C1
5 Nyemengan Kasihan E2 D2 D D2 D2
7 Ringinharjo Bantul - C2 C1 C2 C2
8 Ngetal Imogiri - C2 D C2 C2
9 Dinas Pengairan Bantul D2 - - - D
10 Mrican Kota Gede E2 E3 E E E
11 Piyungan Piyungan - E2 D D D
12 Ngestiharjo Kasihan - E3 C C C
13 Sedayu Sedayu - - E E E
15 Dlingo Dlingo - - C C C
Sumber : Hasil Analisis RTRW Kabupaten Bantul, 2009

4.1.4. Hidrologi
Di wilayah Kabupaten Bantul terdapat 3 (tiga) DAS utama yaitu DAS
Progo, DAS Opak, dan DAS Oya. Aliran sungai dalam DAS tersebut merupakan
sungai yang berair sepanjang tahun (permanen), walaupun untuk beberapa
sungai kecil pada musim kemarau debit airnya relatif kecil. Sungai-sungai
tersebut merupakan sungai perenial dengan akuifer tebal, sehingga aliran
dasar (base flow) relatif besar yang termasuk efluent. Sungai Opak berhulu di
Gunung Merapi, mengalir kearah selatan melalui Kabupaten Sleman, Kota
Yoyakarta, dan Kabupaten Bantul yang selanjutnya menuju Lautan Hindia.
Luas DAS Opak diperkirakan 1.350 km2 dengan panjang sungai sekitar 70 km.

Laporan Akhir 50
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
Salah satu anak sungai utama dari Sungai Opak adalah Sungai Oya, yang
mempunyai luas sekitar 750 km2 dan panjang 112 km.
Berdasarkan hasil penelitian Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada,
profil geologi sumur bor di wilayah Kabupaten Bantul, umumnya berada pada
formasi akuifer bebas dan akuifer setengah tertekan. Di daerah Kecamatan
Kasihan pada bagian bawah akuifer ditemui batu gamping Formasi Sentolo.
Ketebalan formasi akuifer di daerah perkotaan Bantul diidentifikasi lebih dari
100 meter. Di Kecamatan Piyungan, Pajangan, sebagian Kecamatan Kasihan,
Sedayu, dan Pandak ketebalan akuifer semakin menipis dikarenakan terdapat
singkapan batugamping Formasi Sentolo yang merupakan basement
Cekungan Yogyakarta. Wilayah Kabupaten Bantul adalah bagian Sistem
Akuifer Merapi (SAM), terdiri atas akuifer berlapis banyak ( multiplayer
aquifer) memiliki sifat hidrolika relatif sama dan saling berhubungan satu
dengan yang lainnya. Secara umum air bawah tanah mengalir dari utara ke
selatan dengan landaian hidrolika bergradasi semakin kecil. Disekitar Kota
Bantul ketebalan SAM diidentifikasi setebal 125 meter.
Morfologi air bawah tanah menyerupai kerucut dan menyebar secara
radial, ini merupakan ciri khas morfologi air bawah tanah daerah gunungapi.
Daerah imbuhan (recharge area) berasal dari lereng atau tubuh Gunung
Merapi. Wilayah Kabupaten Bantul yang merupakan bagian selatan Cekungan
Yogyakarta air tanahnya merupakan pengumpulan (discharge area) termasuk
dari Saluran Mataram. Wilayah Kabupaten Bantul termasuk wilayah yang
terjadi penurunan gradien topografi disertai dengan penurunan gradien
hidrolika serta nilai karakteristik akuifer, sehingga kecepatan aliran air bawah
tanah semakin mengecil. Nilai transmisivitas pada wilayah ini berkisar 894-
1.400 m2/hari dengan spesific yield 22-28,8%. Nilai transmisivitas tersebut
menunjukkan potensi air bawah tanah sangat baik digunakan untuk keperluan
domestik dan irigasi.

Laporan Akhir 51
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
4.1.5. Kependudukan, Kondisi Ekonomi dan Tenaga Kerja
1. Jumlah Penduduk dan Kepadatan
Berdasarkan data hasil proyeksi penduduk Tahun 2010-2020, jumlah
penduduk Kabupaten Bantul tahun 2019 adalah 949.325 jiwa yang tersebar di
75 Desa dan 17 Kecamatan. Dari jumlah tersebut, 472.916 jiwa adalah laki-laki
dan 476.409 jiwa adalah perempuan.
Jumlah penduduk menurut jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 4.5
Tabel 4.5. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin
Jumlah Penduduk
No. Kecamatan
Laki-laki Perempuan Total
1 Srandakan 15.505 15.713 31.218
2 Sanden 15.763 16.209 31.972
3 Kretek 15.101 15.762 30.863
4 Pundong 17.658 18.250 35.908
5 Bambanglipuro 20.673 21.207 41.880
6 Pandak 26.112 25.901 52.013
7 Bantul 31.988 32.377 64.365
8 Jetis 29.111 29.438 58.549
9 Imogiri 31.583 31.959 63.542
10 Dlingo 19.649 19.888 39.537
11 Pleret 24.246 23.924 48.170
12 Piyungan 26.041 26.292 52.333
13 Banguntapan 55.800 56.155 111.955
14 Sewon 50.183 49.624 99.807
15 Kasihan 51.749 51.778 103.527
16 Pajangan 18.000 18.040 36.040
17 Sedayu 23.754 23.892 47.646
Jumlah / total 472.916 476.409 949.325
Sumber : Dukcapil Kabupaten Bantul (2019)

2. Perkembangan Ekonomi Kabupaten Bantul


Salah satu indikator tingkat kemakmuran di suatu daerah/wilayah dapat
dilihat dari nilai PDRB per kapita, yang merupakan hasil bagi antara nilai
tambah yang dihasilkan oleh seluruh kegiatan ekonomi dengan jumlah
penduduk. Oleh karena itu, besar kecilnya jumlah penduduk akan

Laporan Akhir 52
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
mempengaruhi nilai PDRB per kapita, sedangkan besar kecilnya nilai PDRB
sangat tergantung pada potensi sumber daya alam dan faktor-faktor
produksi yang terdapat di daerah tersebut. PDRB per kapita atas dasar harga
berlaku menunjukkan nilai PDRB per satu orang penduduk.
Nilai PDRB per kapita Kabupaten Bantul atas dasar berlaku sejak tahun
2011-2015 senantiasa mengalami kenaikan. Pada tahun 2011 PDRB per kapita
tercatat sebesar 14,41 juta rupiah. Secara nominal terus mengalami kenaikan
hingga tahun 2015 mencapai 20,06 juta rupiah.
Tabel 4.6. PDRB per Kapita Kabupaten Bantul atas dasar Harga Berlaku
Menurut Lapangan Usaha (Juta Rupiah), 2011-2015

Sumber :Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Bantul Menurut


Lapangan Usaha 2011 - 2015

Laporan Akhir 53
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
3. Tenaga Kerja
Pembangunan ketenagakerjaan, yang merupakan bagian dari
pembangunan daerah, bertujuan untuk menyediakan lapangan kerja dan
lapangan usaha untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan, dengan harapan jumlah penganggur dan setengah
penganggur dapat ditekan atau diperkecil. Fakta menunjukkan bahwa
permasalahan ketenagakerjaan sangat terkait erat dengan keadaan ekonomi
yang berkembang setiap saat.
Pertumbuhan ekonomi terkait erat terhadap dunia usaha. Pertumbuhan
ekonomi yang cukup tinggi akan berpengaruh pada terciptanya iklim usaha
yang kondusif, yaitu melalui investasi yang ditanamkan oleh para investor,
sehingga akhirnya akan berdampak pada perluasan kesempatan kerja.
Selain kondisi dunia usaha yang belum kondusif, minimnya informasi
pasar kerja baik dalam maupun luar negeri juga merupakan salah satu
kendala dalam upaya untuk menangani masalah pengangguran. Di satu sisi
pencari kerja tidak mudah untuk memperoleh pekerjaan sesuai dengan
kompetensinya, disisi lain para pengguna juga sulit mendapatkan pekerja
sesuai dengan jabatan yang dibutuhkan.
Tabel 4.7. Persentase Penduduk Berumur 15 Tahun Keatas Yang Bekerja
Menurut Lapangan Usaha Dan Jenis Kelamin Di Kabupaten
Bantul, 2015
Lapangan usaha Laki-laki Perempuan Jumlah
Pertanian 14,27 11,47 13,08
Industri pengolahan 19,17 25,28 21,77
Perdagangan, Hotel, 22,69 39,63 29,91
dan Restoran
Jasa-jasa 19,63 21,19 20,29
Lainnya 24,25 2,43 14,95
Jumlah 100,00 100,00 100,00
Sumber : Kabupaten Bantul Dalam Angka (2016)

Laporan Akhir 54
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
Dari data persentase penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja
di sektor lapangan usaha perdagangan, restoran dan hotel manunjukkan
paling banyak, sedangkan di sektor lapangan usaha pertanian menunjukkan
prosentase yang paling rendah, hal ini disebabkan kurang menariknya usaha
disektor pertanian bagi warga masyarakat di Kabupaten Bantul yang berumur
diatas 15 tahun. Kondisi tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.7.

4.2. SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN BANTUL


4.2.1. Penggunaan Lahan
Berdasarkan kondisi lahan, di Kabupaten Bantul terdapat lahan seluas
506,85 km². Lahan tersebut terbagi dalam beberapa klasifikasi penggunaan
lahan yang teridiri dari pekarangan, sawah, tegalan dan kebun campur. Jika
ditinjau dari aspek pertanian, meskipun terjadi perubahan penggunaan
lahan sawah namun luas lahan pertanian yang ada masih mampu untuk
mencukupi kebutuhan dan ketersediaan pangan bagi masyarakat. Namun
demikian alih fungsi lahan tersebut harus dikendalikan secara ketat agar
tidak mengancam potensi pertanian dan ketersediaan bahan pangan.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bantul No 4 Tahun 2011 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah, rencana penggunaan lahan dikelompokkan
menjadi tiga, terdiri dari:
1. Kawasan Lindung kabupaten
Kawasan lindung merupakan wilayah yang mempunyai fungsi
utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber
daya alam dan sumber daya buatan yang meliputi kawasan
perlindungan terhadap kawasan di bawahnya, kawasan perlindungan
setempat, kawasan suaka alam, pelestarian alam serta cagar budaya
dan ilmu pengetahuan; dan kawasan rawan bencana.

Laporan Akhir 55
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
2. Kawasan Budidaya Kabupaten
Kawasan budidaya merupakan kawasan yang mempunyai fungsi
utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya
alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan dengan maksud
agar lebih bermanfaat dan memberikan hasil untuk kebutuhan manusia.
Kawasan ini meliputi kawasan peruntukan hutan rakyat dan
perkebunan, kawasan peruntukan pertanian, kawasan peruntukan
perikanan, kawasan peruntukan pertambangan, kawasan peruntukan
industri, kawasan peruntukan pariwisata, kawasan peruntukan
permukiman, dan kawasan peruntukan lainnya.
3. Kawasan Strategi Kabupaten
Kawasan strategis kabupaten merupakan wilayah yang penataan
ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting
dalam lingkup kota terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau
lingkungan. Kawasan ini meliputi Kawasan Perkotaan Yogyakarta (KPY),
Bantul Kota Mandiri (BKM),pantai Selatan (yang meliputi pengembangan
pesisir dan pengelolaan hasil laut pantai Depok, Samas, Kuwaru, dan
Pandansimo), Desa Wisata dan Kerajinan Gabusan-Manding-Tembi dan
Kajigelem, kawasan industri Sedayu, kawasan industri Piyungan,
kawasan agrowisata dan agropolitan,dan gumuk pasir Parangtritis.

Laporan Akhir 56
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
30%
45%

25%

Lahan Sawah Lahan Bukan Sawah Lahan Bukan Pertanian

Sumber : Kabupaten Bantul Dalam Angka 2018

Gambar 4.1. Persentasee Luas Lahan Sawah, Lahan Bukan Sawah,


Dan Lahan Bukan Pertanian

Luas Lahan Sawah Kabupaten Bantul pada tahun 2018 menurut


Dinas Pertanian, Pangan, Kelautan dan Perikanan tercatat 15.184 Ha, Lahan
Bukan Sawah tercatat 12.692 Ha dan Lahan Bukan Pertanian tercatat seluas
22.324 Ha. Lahan Bukan Sawah meliputi tegal/kebun, lahan ditanami pohon
/ hutan rakyat, dan lainnya. Sedangkan Lahan Bukan Pertanian meliputi
tanah untuk bangunan dan pekarangan, hutan Negara, lahan tidak
ditanami/rawa, dan tanah lainnya.
Pada tahun 2018 produksi tanaman padi sawah tercatat 182.980 ton
dengan rata-rata produksi sebesar 61 kw/ha, produksi tanaman padi
ladang 231 ton dengan rata-rata produksi 36 kw/ha, produksi jagung 25.394
ton dengan rata-rata produksi 70 kw/ha, produksi ubi kayu 27.962 ton
dengan rata-rata produksi 205 kw/ha, produksi ubi jalar 425 ton
dengan rata-rata produksi 177 kw/ha, produksi kacang tanah 3.448 ton
dengan rata-rata produksi 14 kw/ha dan produksi kedelai 1.262 ton dengan
rata-rata produksi 13 kw/ha.

Laporan Akhir 57
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
Untuk tanaman sayuran, produksi terbanyak pada tahun 2017
adalah bawang merah, dengan jumlah produksi sebesar 52.951 Kw,
dengan rata-rata produksi sebesar 69,95 Kw/Ha. Sedangkan untuk
tanaman biofarmaka produksi tertinggi pada tahun 2017 adalah tanaman
jahe sebesar 21.206 Kg. (Kabupaten Bantul Dalam Angka, 2018).

Laporan Akhir 58
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. HASIL
5.1.1. Lokasi Penelitian Biomassa Tanah

Berdasarkan observasi dilapangan dapat disimpulkan bahwa secara


umum petani di Kabupaten Bantul mengusahakan tanaman pangan yaitu
padi, tanaman hortikultura dan ternak (sapi). Tanaman padi sampai saat ini
masih menjadi makanan pokok penduduk Kabupaten Bantul, sehingga
kecukupan kebutuhan pangan keluarga masih menjadi prioritas pertama
dalam usahatani. Adapun kondisi tanaman pada lokasi survei dapat
dilihat pada tabel 5.1.

Laporan Akhir 59
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
Tabel 5.1. Pemanfaatan Lahan Lokasi Survei di Kabupaten Bantul
PENGGUNAA PEMANFAATAN
JENIS TANAMAN
No KECAMATAN DESA N LAHAN
LAHAN Sawah Tegalan Musiman Tahunan
Irigasi Padi, Jagung,
1 Banguntapan Banguntapan Sawah
Teknis Kacang Tanah
Padi, Jagung, Ubi
Tandah
2 Dlingo Muntuk Tegalan Kayu, Kacang
hujan
Tanah, Kedelai
Irigasi
3 Sedayu Argomulyo Sawah Padi, Jagung
Teknis
Irigasi Padi, Jagung,
4 Jetis Patalan Sawah
Teknis Kacang Tanah
Irigasi
5 Sewon Timbulharjo Sawah Padi
Teknis
Padi,
Irigasi Jagung,Kacang
6 Kretek Parangtritis Sawah
Teknis Tanah, Bawang
Merah, Cabe
Irigasi Padi, Jagung,
7 Pandak Gilangharjo Sawah
Teknis Kedelai
Tandah
8 Pajangan Guwosari Tegalan Jagung, Padi Ubi Kayu
hujan
Padi, Jagung,
Tandah
9 Piyungan Sitimulyo Tegalan KacangTanah,
hujan
Cabe
Tandah
10 Imogiri Trimulyo Tegalan Padi, Jagung
hujan
Irigasi padi, Cabe, Rumput
11 Pundong Seloharjo Sawah
Teknis Kacang Tanah Gajah
Irigasi Padi, Jagung,
12 Pleret Wonokromo Sawah
Teknis Kacang Tanah
Irigasi Rumput
13 Bambanglipuro Sumbermulyo Sawah Padi, Palawija
Teknis Gajah
Irigasi Padi, Jagung,
14 Sanden Srigading Sawah
Teknis Bawang Merah
Irigasi
15 Srandakan Poncosari Sawah Cabe, Jagung Gliriside
Teknis
Ubi Kayu,
Tandah Kelapa,
16 Kasihan Bangunjiwo Tegalan Cabe
hujan Mahoni,
Pisang
Irigasi Kelapa,
17 Bantul Trirenggo Sawah Padi, Kedelai
Teknis Sengon

Laporan Akhir 60
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
5.1.2. Hasil Pengukuran Biomassa Tanah

Sebagian dari wilayah Kabupaten Bantul memiliki tanah yang sangat


baik untuk budidaya pertanian dan masih dimanfaatkan oleh masyarakat
sebagai lahan pertanian, oleh sebab itu harus ada upaya terhadap
pengendalian kerusakan tanah untuk menjaga kelestarian dan
keberlanjutan produksi biomassa. Menurut Prasetyo (2013), produksi
biomassa adalah bentuk-bentuk pemanfaatan sumberdaya tanah untuk
menghasilkan biomassa. Sedangkan arti biomassa adalah tumbuhan atau
bagian-bagiannya yaitu bunga, biji, buah, daun, ranting, batang dan akar,
termasuk tanaman yang dihasilkan oleh kegiatan pertanian, perkebunan
dan hutan tanaman.

Pengukuran kriterian baku kerusakan tanah untuk produksi


biomassa memiliki tata cara yang hanya berlaku untuk kerusakan tanah
karena tindakan manusia. Penentuan status kerusakan tanah untuk
produksi biomassa didasarkan pada parameter kunci sifat dasar tanah
yang mencakup sifat fisik, sifat kimia, dan sifat biologi tanah. Sifat – sifat
tersebut adalah :

a. Ketebalan solum;
b. Kebatuan permukaan;
c. Komposisi fraksi;
d. Berat isi;
e. Porositas tanah;
f. Derajat pelulusan air.
g. Kadar keasaman (pH);
h. Daya hantar listrik (DHL);
i. Reaksi Redoks;
j. Jumlah mikrobia dalam tanah.

Sifat tersebut merupakan sifat dasar tanah yang digunakan untuk


menentukan kemampuan tanah dalam menyediakan air dan unsur hara
yang cukup bagi pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan. Sifat dasar

Laporan Akhir 61
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
tanah tersebut juga dapat digunakan untuk menentukan status kerusakan
tanah untuk produksi biomassa.

Sifat dasar tanah dikatakan rusak apabila nilai pada masing-masing


variabel untuk suatu sampel tanah hasilnya kurang dari ataupun
melampaui batas baku mutu. Sifat dasar tanah dapat berubah dalam
hubungannya dengan produksi biomassa dapat disebabkan oleh tindakan-
tindakan pengolahan tanah yang tridak memperhatikan kaidah konservasi,
penggunaan pupuk kimia yang berlebihan dan penggunaan pestisida
maupun herbisida yang terus menerus dengan takaran yang melampaui
batas.

Tinggi rendahnya ketebalan solum pada suatu bentuk lahan


biasanya dipengaruhi oleh kemiringan lereng. Adanya kemiringan lahan
yang terlalu tinggi, sehingga tanah di bagian atas banyak yang tererosi
menyebabkan solum tanah menjadi tipis. Langkah untuk memperdalam
solum tanah dapat dilakukan dengan membuat terasering atau menanam
tanaman keras dan tanaman penutup tanah.

Keberadaan kebatuan permukaan disebabkan karena batuan induk


bersifat keras dan tanah tersebut terbentuk in situ, kebatuan permukaan
ini juga sering disebabkan akibat dari tanah yang terbentuk mempunyai
potensi erosi yang sangat tinggi (di daerah dengan kemiringan yang tinggi)
atau batuan singkapan terlihat karena tanah yang terbentuk tererosi.
Langkah untuk mengatasi hal tersebut dengan cara mengambil batuan
tersebut untuk dijadikan bibir teras.

Komposisi fraksi dengan kandungan koloid (klei) yang rendah


disebabkan karena proses terbentuknya tanah belum lanjut sehingga
banyak didominasi oleh mineral primer. Peningkatan koloid (klei) tanah
perlu waktu yang sangat lama karena terbentuknya klei akibat dari proses
pelapukan secara fisik, kimia dan biologi. Umumnya pada tanah tersebut
bersifat kurang subur, mempunyai daya mengikat air rendah yang
disebabkan dominasi mineral primer, untuk meningkatkan tingkat

Laporan Akhir 62
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
kesuburan tanah tersebut dapat dilakukan dengan penambahan bahan
organik.

Parameter permeabilitas tanah atau derajad pelulusan air


dipengaruhi oleh tingkat ruang pori tanah dan kemampatan tanah. Derajad
pelulusan air yang di luar ambang baku kerusakan adalah tanah yang
mempunyai nilai di bawah ambang baku. Hal ini menunjukkan bahwa
derajad pelulusan airnya rendah sehingga air limpasan permukaan (run
off) akan meningkat yang akan meningkatkan erosi. Jika erosi berlangsung
besar maka akan berakibat pada kerusakan tanah. Langkah untuk
memperbaiki permeabilitas tanah atau infiltrasi tanah dapat dilakukan
dengan cara pengolahan tanah dan pemberian bahan organik.

Parameter potensial redoks (reduksi-oksidasi) tergolong rusak


karena mempunyai nilai kurang dari 200 mV. Hal ini disebabkan karena
sebagian lahan merupakan lahan sawah yang sering mengalami proses
penggenangan serta curah hujan yang tinggi, khususnya pada musim
penghujan selain itu juga jenis tanah vertisol yang bersifat sulit
meloloskan air. Akibat dari tanah yang tergenang dan permeabilitas
lambat maka akan didominasi suasana reaksi reduksi dibanding oksidasi
sehingga di lahan tersebut mempunyai nilai redoks yang rendah.

Proses anaerob atau rendahnya nilai redoks berakibat pada proses


dekomposisi bahan organik yang lambat, sehingga produksi biomassa di
dalam tanah menjadi rendah. Namun jika ditinjau dari aspek penggunaan
lahan, rendahnya nilai redoks merupakan hal yang wajar, karena tanah
sawah serta tanah yang mempunyai kelembaban tanah tinggi mempunyai
nilai redoks yang rendah. Di sisi lain lahan tersebut merupakan lahan yang
justru mampu menghasilkan produksi pertanian yang tinggi, sehingga
apabila dilihat dari sisi parameter redoks saja menjadi kurang tepat,
namun secara umum hal tersebut masih tergolong wajar.

Usaha untuk meningkatkan status dari rusak ringan menjadi tidak


rusak bisa ditempuh dengan pemberian bahan organik sebagai usaha

Laporan Akhir 63
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
pengembalian biomassa ke dalam tanah sekaligus menambah unsur hara
di dalam tanah. Usaha ini bisa diartikan juga dengan pemupukan lahan
secara organik, baik dari seresah hasil limbah budidaya pertanian seperti
jerami ataupun dengan pemberian pupuk kandang dari kotoran ternak.

Hasil pengukuran dengan sample masing-masing kecamatan dapat


dilihat pada tabel 5.2.

Laporan Akhir 64
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
Tabel 5.2 Data hasil analisa sampel melalui pengamatan dan laboratorium di Kabupaten Bantul
BV n HC
Keba Redo
Lokasi Koordinat Jeluk (Berat (Poros (permea pH DHL JM
tuan ks Keteran
No Volume) itas) bilitas)
gan
cm.jam Cfux1
Kecamatan Desa Zona E S (cm) (%) g.cm (%) mS. cm-1 mV
-1
06.g-1
1 Banguntapan Banguntapan 49 M 434446.00 m E 9138149.00 m S 100 30 1,24 42,56 0,59 6,61 0,05 200 21,3 Sawah
2 Dlingo Muntuk 49 M 439239.44 m E 9125860.91 m S 100 50 1,01 51,56 0,92 6,5 0,000076 269 2,19 Tegalan
3 Sedayu Argomulyo 49 M 420804.00 m E 9138781.00 m S 100 40 1,42 37,17 4,72 7,23 5,44 359 42 Sawah
4 Jetis Patalan 49 M 428005.00 m E 9125726.00 m S 100 10 1,36 39,01 0,98 5,55 0,046 319 81,7 Sawah
5 Sewon Timbulharjo 49 M 429504.00 m E 9129692.00 m S 100 10 1,31 55,59 1,25 6,16 0,063 318 10,8 Sawah
6 Kretek Parangtritis 49 M 422434.00 m E 9116487.00 m S 15 30 1,3 50 0,12 7,25 0,165 289 38,4 Sawah
7 Pandak Gilangharjo 49 M 423893.00 m E 9126073.00 m S 12 10 1,3 50 0,97 8,36 0,394 101 10,8 Sawah
8 Pajangan Guwosari 49 M 423307.00 m E 9128124.00 m S 14 20 1,3 50 11,33 8,01 0,236 102 13,8 Tegalan
9 Piyungan Sitimulyo 49 M 437399.00 m E 9131896.00 m S 25 16 1,3 50 1,23 7,62 0,1 97 10,5 Tegalan
10 Imogiri Trimulyo 49 M 432516.00 m E 9128315.00 m S 25 17 1,3 50 0,26 8,16 0,312 98 6,49 Tegalan
11 Pundong Seloharjo 49 M 427728.00 m E 9120589.00 m S 100 15 1,23 48,22 1,34 6,91 0,076 307 16,3 Sawah
12 Pleret Wonokromo 49 M 432171.60 m E 9129793.61 m S 25 10 1,26 44,6 1,26 6,82 0,21 163 16,9 Sawah
13 Bambanglipuro Sumbermulyo 49 M 426344.00 m E 9122269.75 m S 25 10 1,36 40,12 0,98 5,55 0,046 319 81,7 Sawah
14 Sanden Srigading 49 M 420385.07 m E 9117435.04 m S 30 10 1,8 37 0,14 6,55 0,01 278 45,2 Sawah
15 Srandakan Poncosari 49 M 414691.81 m E 9116859.62 m S 30 10 1,6 39 0,16 6,7 0,2 280 44,6 Tegalan
16 Kasihan Bangunjiwo 49 M 425002.58 m E 9131883.12 m S 30 15 1,51 52 10,23 7,81 0,185 121 14,6 Tegalan
17 Bantul Trirenggo 49 M 427940.90 m E 9127010.95 m S 30 10 1,43 57,51 1,28 6,34 0,087 320 12,8 Sawah
Rata-rata 50,65 18,41 1,35 46,73 2,22 6,95 0,45 231,76 27,65

Sumber: Data primer, 2020

Laporan Akhir 65
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
5.2. PEMBAHASAN
5.2.1. Kondisi Rata-Rata Biomassa Di Kabupaten Bantul

Berdasarkan data pada tabel 5.2, dari 17 lokasi pengambilan sampel di


Kabupaten Bantul; rata-rata analisis sampel dan evaluasi derajat kerusakan
tanah yang dihasilkan untuk wilayah kabupaten Bantul dapat dilihat pada tabel
5.3.

Tabel 5.3. Evaluasi Kerusakan Tanah di Kabupaten Bantul

Hasil Pengukuran/ Melebihi/


No Parameter Ambang Batas Keterangan
Analisis Tidak

1 Ketebalan solum 50,65 Cm <20 Cm Tidak Melebihi


2 kebatuan permukaan 18,41 % >40% Tidak Melebihi
<18% Koloid, >80% Tidak di
3 komposisi fraksi 0 %
pasir kuarsitik Ukur
4 berat isi 1,35 g.Cm >1,4 g.Cm Tidak Melebihi
5 porositas total 46,73 % <30->70 % Tidak Melebihi
derajat pelulusan air
6 2,22 cm.jam-1 <0,7 >8 cm.jam-1
(Permeabilitas) Tidak Melebihi
7 pH (H2O) 1:2,5 6,95 <4,5 >8,5 Tidak Melebihi
8 Daya Hantar Listrik 0,45 mS. cm-1 >4,0 mS. cm-1 Tidak Melebihi
9 Redoks 231,76 mV <200 mV Tidak Melebihi
Cfux106.g-
10 Jumlah Mikroba 27,65 <102 Cfux10.g-1
1 Tidak Melebihi

Dari 10 parameter pengukuran tanah hanya dilaksanakan 9 parameter,


dimana untuk komposisi fraksi tidak dilakukan pengukuran. Dari 9 pengukuran
tersebut terlihat bahwa semua paramater tidak melebihi ambang batas.
Dengan demikian secara umum kondisi Biomassa tanah di Kabupaten Bantul
dapat dikatakan baik/ tidak rusak untuk produksi biomassa.

66
Laporan Akhir
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
67
Laporan Akhir Gambar 5.1. Peta Status Kerusakan Lahan di Kabupaten Bantul
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
5.2.2. Ketebalan Solum Tanah Di Kabupaten Bantul
Solum tanah merupakan bagian dari profil tanah dengan jeluk tertentu
yang berkembang akibat proses pembentukan tanah yang dapat meliputi
horizon A dan horizon B. Horizon A merupakan horizon mineral dipermukaan
tanah dan horizon B adalah horizon yang terbentuk dibawah horizon A.
Kedalaman solum tanah sangat tergantung dari keadaan lingkungan dimana
tanah itu terbentuk dan sebagai akibat saling tindak antara faktor dan
proses pembentukan tanah yang bersangkutan.

Ketebalan solum tanah di Kabupaten Bantul rata-rata 50,56 cm, sehingga


telah melebihi Indikator Kesesuaian lahan untuk pertanian. Adapun kondisi
ketebalan solum tanah lokasi survey di Kabupaten Bantul antara lain :

Tabel 5.4. Kondisi Ketebalan Solum Tanah di Kabupaten Bantul


Lokasi Jeluk Ambang Batas Kondisi
NO
Kecamatan Desa (cm) (cm)
1 Banguntapan Banguntapan 100 < 20 Tebal
2 Dlingo Muntuk 100 < 20 Tebal
3 Sedayu Argomulyo 100 < 20 Tebal
4 Jetis Patalan 100 < 20 Tebal
5 Sewon Timbulharjo 100 < 20 Tebal
6 Kretek Parangtritis 15 < 20 Sangat Tipis
7 Pandak Gilangharjo 12 < 20 Sangat Tipis
8 Pajangan Guwosari 14 < 20 Sangat Tipis
9 Piyungan Sitimulyo 25 < 20 Sangat Tipis
10 Imogiri Trimulyo 25 < 20 Sangat Tipis
11 Pundong Seloharjo 100 < 20 Tebal
12 Pleret Wonokromo 25 < 20 Sangat Tipis
13 Bambanglipuro Sumbermulyo 25 < 20 Sangat Tipis
14 Sanden Srigading 30 < 20 Tipis
15 Srandakan Poncosari 30 < 20 Tipis
16 Kasihan Bangunjiwo 30 < 20 Tipis
17 Bantul Trirenggo 30 < 20 Tipis
Rata-rata 50,6471 Tipis

Untuk hasil survey di Kabupaten Bantul terdapat beberapa kondisi


ketebalan solum tanah yang masih dibawah ambang batas kerusakan tanah
dimana < 20 cm (termasuk rusak). Adapaun lokasi tersebut antara lain

68
Laporan Akhir
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
Kecamatan Kretek, Pandak dan Pajangan. Untuk klasifikasi ketebalan solum
yang memerlukan perhatian adalah di Kecamatan Kretek, Pandak, Pajangan,
Piyungan, Imogiri, Pleret dan Bambanglipuro. Dimana lokasi tersebut masuk
kategori sangat tipis (Lampiran Gambar 5.2.).
Solum tanah adalah kedalaman lapisan tanah dari permukaan hingga
bahan induk tanah. Kegunaan mengetahui solum tanah adalah bahwa
ketebalan solum tanah sangat menentukan perkembangan akar, bila solum
tanah tipis makan perkembangan akar akan terhambat dan sebaliknya.
Secara umum bahwa organ tanaman yang berfungsi untuk menyerap air
dan unsur hara dari dalam tanah adalah akar sedangkan air dan hara tersebut
baru dapat diserap oleh akar jika hara tersebut dalam bentuk tersedia dan
berada di daerah perakaran tanaman yang disebut dengan rhizosfer. Unsur
hara diserap oleh akar yang paling cepat menuju tajuk tanaman terletak
beberapa centimeter dibelakang ujung akar.
Proses pergerakan hara dari akar kedalam tanaman dapat dipengaruhi
oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal terdiri
dari 1) daya tekan akar 2) daya kapilaritas dan 3) daya hisap daun, sedangkan
faktor eksternal terdiri atas 1) faktor klimatik (suhu udara, kelembaban,
cahaya, kecepatan angin) 2) faktor edafik (kadar air tanah dan suhu tanah).
Penyerapan unsur hara oleh akar juga dipengaruhi adalah jasad renik
atau dikenal dengan mikroorganisme contohnya Mikoriza, dimana dibagi
kedalam dua bentuk utama yaitu ektomikoriza dan endomikoriza. Pada
ektomikoriza , hifa cendawan membentuk selimut di luar dan di dalam akar di
ruang antar sel epidermis dan korteks, pemasukan kedalam sel epidermis
atau korteks tidak terjadi namun jala-jala yang melus yang disebut dengan
jala hartig. Ektomikoriza sering ditemui pada Pinaceae (pinus dan cemara),
dan Calicacea. Sedangkan Endomikoriza membuat jala-jala hifa dalam diantara
sel korteks yang kemudian keluar menuju tanah untuk menyerap air dan
garam mineral, sejauh ini endomikoriza yang sering disebut adalah Mikoriza
Vaskular Arbuskular (VAM).

69
Laporan Akhir
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
Gambar 5.2. Peta kondisi Ketebalan Solum Tanah Kabupaten Bantul 70
Laporan Akhir
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
5.2.3. Kebatuan permukaan

Kebatuan permukaan adalah persentase tutupan batu di permukaan


tanah. Kebatuan permukaan digambarkan sebagai banyaknya batu yang
terlihat pada permukaan tanah pada luasan tertentu. Permukaan tanah yang
didominasi oleh bebatuan menunjukkan bahwa daerah tersebut dimungkinkan
telah mengalami erosi yang tinggi atau tingkat pembentukan tanah lebih
rendah dibandingkan dengan tingkat kehilangan tanah. Akibatnya volume tanah
di daerah tersebut menjadi sedikit sehingga tanah sebagai media produksi
biomassa menjadi kecil.
Dari hasil evaluasi pada status kerusakan tanah menunjukkan
permukaan kebatuan rata-rata di Kabupaten Bantul yaitu 18,41 %, sehingga
kondisi tersebut masih dibawah 40%. Sedang kondisi dari 17 Kecamatan
terdapat satu lokasi penelitian yang masih berada diatas ambang batas
indikator kebatuan yaitu di Kecamatan Dlingo (Tabel 5.5).
Tabel 5.5. Kondisi Kebatuan Permukaan Tanah di Kabupaten Bantul
Batas
Lokasi Kebatuan Kondisi
NO Maksimal
Kecamatan Desa (%) (%) Rusak Baik
1 Banguntapan Banguntapan 30 >40 

2 Dlingo Muntuk 50 >40 

3 Sedayu Argomulyo 40 >40 
4 Jetis Patalan 10 >40  
5 Sewon Timbulharjo 10 >40  
6 Kretek Parangtritis 30 >40  
7 Pandak Gilangharjo 10 >40  
8 Pajangan Guwosari 20 >40  
9 Piyungan Sitimulyo 16 >40  
10 Imogiri Trimulyo 17 >40  
11 Pundong Seloharjo 15 >40  
12 Pleret Wonokromo 10 >40  
13 Bambanglipuro Sumbermulyo 10 >40  
14 Sanden Srigading 10 >40  
15 Srandakan Poncosari 10 >40  
16 Kasihan Bangunjiwo 15 >40  
17 Bantul Trirenggo 10 >40  
Rata-rata (%) 18,41

71
Laporan Akhir
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
Permukaan kebatuan diatas ambang kritis, kondisi ini perlu mendapat
perhatian karena lahan harus dalam kondisi tertutup agar lapisan tanah top
soil tidak hilang terbawa limpasan permukaan yang dapat mengakibatkan
lahan semakin kritis.
Olah tanah merupakan kegiatan memperbaiki kondisi tanah dengan
proses pembalikan, penghancuran serta perataan tanah (Utomo, 2012). Olah
tanah dapat memperbaiki infiltrasi air dan aerasi, dan mengendalikan hama
serta sisa-sisa tanaman. Pengolahan tanah dapat meningkatan ketahanan
tanah terhadap penetrasi gerakan vertikal air tanah atau yang lebih sering
disebut daya infiltrasi tanah. Menurut Putte, dkk. (2012) aliran permukaan
adalah air hujan atau bagian dari air hujan yang jatuh dan mengalir di atas
permukaan tanah yang mengalir menuju daerah pengendapan seperti sungai,
waduk atau laut. Aliran permukaan yang terjadi menjadi pemicu terjadinya
erosi yang mengakibatkan degradasi lahan. Sistem olah tanah konservasi
sangat diperlukan untuk menekan besarnya aliran permukaan dan erosi
(Banuwa, 2013). Menurut Meijer, dkk. (2013) pengolahan tanah secara signifikan
dapat mempengaruhi kerentanan tanah terhadap erosi yang dapat
mempercepat dan memperbesar laju erosi.

72
Laporan Akhir
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
Gambar 5.3. Peta kondisi Kebatuan Permukaan Tanah Kabupaten Bantul 73
Laporan Akhir
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
5.2.4. Berat Isi (Berat Jenis)

Berat isi (volume) adalah perbandingan antara berat bongkah tanah


dengan isi total tanah. Nilai berat/bobot isi tanah (soil bulk density) bervariasi
antara satu titik dengan titik lainnya karena perbedaan kandungan
organik, tekstur tanah, kedalaman solum tanah, jenis fauna tanah, dan kadar
air tanah. Nilai berat isi tanah berbanding lurus dengan tingkat kekasaran
partikel-partikel tanah, makin kasar akan makin berat (Kurnia et al., 2006; Lal
dan Shukla, 2004). Berat isi tanah juga erat kaitannya dengan tingkat
kepadatan tanah dan kemampuan akar tanaman menembus tanah.

Menurut Sutanto (2005), nilai berat isi tanah sangat tergantung kadar
air dalam tanah. Berdasarkan Tabel 5.6, data hasil penelitian menunjukan
variasi berat isi tanah di Kabupaten Bantul. Hal ini terlihat pada titik sampel
Kecamatan Sedayu, Sanden, Srandakan, Kasihan dan Bantul yang memiliki
nilai sebesar >1,42 - >1,8 g cm-3, sementara pada titik sampel lainnya <1,42
g cm-3. Pada kondisi tanah >1,42 g cm-3, ini dapat mengakibatkan terjadinya
kepadatan tanah sehingga tanah sulit untuk gembur. Implikasinya berdampak
pada kemampuan akar tanaman untuk mencapai air dalam tanah. Hal ini
terjadi akibat aktivitas penggunaan lahan secara intensif tanpa adanya
pengolahan pada lapisan olah, sehingga meningkatkan kepadatan tanah dan
bobot isi tanah menjadi tinggi.

Menurut Ariska et al. (2016), perlakuan penggunaan lahan tanpa olah


tanah sulit menciptakan kondisi penetrasi tanah untuk pertumbuhan perakaran
yang optimal.

74
Laporan Akhir
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
Tabel 5.6. Kondisi Berat Isi Tanah di Kabupaten Bantul
BV (Berat Batas
Lokasi Kondisi
NO Volume) Maksimal
Kecamatan Desa g.cm g.cm Rusak Baik
1 Banguntapan Banguntapan 1,24   
2 Dlingo Muntuk 1,01   
3 Sedayu Argomulyo 1,42   
4 Jetis Patalan 1,36  
5 Sewon Timbulharjo 1,31  
6 Kretek Parangtritis 1,3  
7 Pandak Gilangharjo 1,3  
8 Pajangan Guwosari 1,3  
9 Piyungan Sitimulyo 1,3  
10 Imogiri Trimulyo 1,3  
11 Pundong Seloharjo 1,23  
12 Pleret Wonokromo 1,26  
13 Bambanglipuro Sumbermulyo 1,36  
14 Sanden Srigading 1,8  
15 Srandakan Poncosari 1,6  
16 Kasihan Bangunjiwo 1,51  
17 Bantul Trirenggo 1,43  
Rata-rata 1,35

Peningkatan kepadatan tanah akibat aktivitas pertanian yang dilakukan


sehingga berpengaruh juga terhadap peningkatan kerapatan isi tanah. Secara
keseluruhan hasil survei menunjukkan nilai kerapatan isi tanah semakin
meningkat dengan bertambahnya kedalaman tanah, baik pada lokasi yang
menghasilkan produksi tinggi maupun pada lokasi produksi rendah. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Hardjowigeno (2003) bahwa semakin tinggi bulk
density menyebabkan kepadatan tanah meningkat, aerasi dan drainase
terganggu.

75
Laporan Akhir
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
5.2.5. Porositas Tanah

Porositas total tanah adalah persentase ruang pori yang ada dalam
tanah terhadap volume tanah. Porositas tanah (soil porosity) menggambarkan
nisbah volume ruang pori dengan padatan atau disebut nisbah ruang pori (pore
space ratio). Pori-pori tanah adalah bagian yang tidak terisi bahan padat
tanah (terisi oleh udara dan air). Peran dari pori-pori atau porositas tanah
sangat penting bagi sifat-sifat tanah lainnya, yaitu gerakan air/lengas tanah,
gerakan udara tanah, temperatur atau suhu tanah, hara tanaman, ruang
perakaran, dan pengolahan tanah.

Tanah yang ideal mempunyai porositas total sebesar 50% (padat : pori =
1:1) (Sutanto, 2005). Porositas sangat dipengaruhi oleh ukuran butiran tanah,
bahan organik, dan ukuran struktur tanah. Hasil nilai porositas total tanah
pada tiap titik sampel disajikan pada Tabel 5.8. Berdasarkan Tabel 5.7 dan
Gambar 5.5, data hasil pengukuran menunjukan nilai porositas di titik
pengukuran 17 Kecamatan di Kabupaten Bantul tidak ada yang melewati
ambang kritis antara porositas total <30% dan porositas total >70%. Menurut
Permen LH (2006) bahwa faktor pembatas porositas untuk mendukung
pertanaman sebesar <30% dan >70%. Sehingga untuk prosititas total di
Kabupaten Bantul dinyatakan tidak rusak. Dengan kondisi prositas total
seperti ini, tanah di Kabupaten Bantul terhitung kurang baik, hal ini
dikarenakan tanahnya masih bisa menahan dan menyerap air.

Tabel 5.7. Klasifikasi Porositas Tanah

No n (Porositas) Kelas
1 100 Sangat Poros
2 80-60 Poros
3 60-50 Baik
4 50-40 Kurang Baik
5 40-30 Jelek
6 <30 Sangat Jelek

76
Laporan Akhir
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
Tabel 5.8. Kondisi Porositas Tanah di Kabupaten Bantul

Tingkat
n
Lokasi Porositas Kondisi
NO (Porositas)
Tanah
Kecamatan Desa (%) (%) Baik Kurang Jelek
1 Banguntapan Banguntapan 42,56 50-40 
2 Dlingo Muntuk 51,56 60-50 
3 Sedayu Argomulyo 37,17 40-30 
4 Jetis Patalan 39,01 40-30 
5 Sewon Timbulharjo 55,59 60-50 
6 Kretek Parangtritis 50 60-50 
7 Pandak Gilangharjo 50 60-50 
8 Pajangan Guwosari 50 60-50 
9 Piyungan Sitimulyo 50 60-50 
10 Imogiri Trimulyo 50 60-50 
11 Pundong Seloharjo 48,22 50-40 
12 Pleret Wonokromo 44,6 50-40 
13 Bambanglipuro Sumbermulyo 40,12 50-40 
14 Sanden Srigading 37 40-30 
15 Srandakan Poncosari 39 40-30 
16 Kasihan Bangunjiwo 52 60-50 
17 Bantul Trirenggo 57,51 60-50 
Rata-rata 46,73

Hasil pengukuran porositas yang memiliki nilai prosentase 37-39 %


dengan kategori jelek terdapat di Kecamatan Sedayu, Jetis, Sanden dan
Srandakan. Sedangkan nilai porositas dengan 40-48,22 dengan kategori
kurang baik terdapat di Kecamatan Banguntapan, Pundong, Pleret,
Bambanglipuro.
Beberapa hal yang mempengaruhi porositas tanah adalah :
a. Kandungan bahan organik, bahan organik dalam tanah akan terjadi proses
granulasi sehingga terjadi pori-pori tanah. Semakin tinggi kandungan
bahan organik maka porositas tanah semakin baik. Salah satu tujuan
penambahan pupuk organik atau kompos saat pengolahan lahan adalah
meningkatkan porositas tanah.

77
Laporan Akhir
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
b. Struktur tanah
Struktur tanah yang granuler (berbentuk butiran) atau remah memiliki
porositas yang tinggi dibandingkan dengan tanah yang padat. Tujuan
pengolahan dan penggemburan lahan sebelum ditanami adalah memecah
struktur tanah yang padat menjadi pecahan-pecahan kecil sehingga
porositas tanah meningkat.
c. Tekstur tanah
Terdapat 3 jenis tekstur tanah yaitu debu, liat dan pasir. Ketiganya
memiliki proporsi pori mikro dan makro yang berbeda Tanah dengan
tekstur pasir akan didominasi oleh pori makro sehingga udara menjadi
dominan sebaliknya hanya sedikit air yang bisa tertahan. Karenanya, dalam
praktek budidaya, penyiraman/pengairan terhadap tanaman pada tanah
berpasir dilakukan lebih sering.
Dapat disimpulkan bahwa Porositas tanah tinggi kalau bahan organik
tanah tinggi. Tanah-tanah dengan struktur granular atau remah, mempunyai
porositas yang tinggi dari pada tanah-tanah dengan struktur massive. Tanah
dengan tekstur pasir banyak mempunyai pori-pori sehingga sulit untuk
menahan air.
Semakin porous suatu tanah maka sirkulasi udara (aerasi) dan air
(drainase) semakin lancar serta penetrasi perakaran kedalam tanah semakin
mudah pula. Namun tanah seperti ini sangat mudah kehilangan air dan
terjadinya pencucian unsur hara.
Tanah yang tidak porous akan sulit ditembus akar, sirkulasi udara dan
air jadi terhambat. Namun air tidak mudah hilang karena diikat dengan kuat
oleh tanah.

78
Laporan Akhir
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
Gambar 5.4. Peta kondisi Porositas Tanah Kabupaten Bantul 79
Laporan Akhir
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
5.2.6. Derajat pelulusan air.

Permeabilitas atau derajat pelolosan air (soil drainage) adalah kualitas


tanah untuk meloloskan air atau udara, yang diukur berdasarkan besarnya
aliran melalui tanah. Permeabilitas sangat dipengaruhi oleh tekstur, struktur,
dan porositas tanah (Sutanto, 2005). Di dalam tanah terdapat dua jenis partikel
yaitu partikel kasar dan halus. Untuk partikel kasar biasanya akan mempunyai
tingkat permeabilitas yang sangat cepat, sedangkan untuk partikel halus
tingkat permeabilitas sangat lambat, hal ini dikarenakan pori-porinya kecil
yang dapat mengikat air sehingga air di dalam tanah cenderung lebih lambat
dalam meluluskan air.

80
Laporan Akhir
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
Tabel 5.9. Kondisi Permeabilitas Tanah di Kabupaten Bantul

Lokasi HC (Permeabilitas) Ambang Batas (cm.jam-1)


NO Sangat Lambat Lambat Sedang Cepat
Kecamatan Desa cm.jam-1
<0,5 >0,5-2,0 >2,0-6,25 >6,25-12,5
1 Banguntapan Banguntapan 0,59 
2 Dlingo Muntuk 0,92 
3 Sedayu Argomulyo 4,72 
4 Jetis Patalan 0,98 
5 Sewon Timbulharjo 1,25 
6 Kretek Parangtritis 0,12 
7 Pandak Gilangharjo 0,97 
8 Pajangan Guwosari 11,33 
9 Piyungan Sitimulyo 1,23 
10 Imogiri Trimulyo 0,26 
11 Pundong Seloharjo 1,34 
12 Pleret Wonokromo 1,26 
13 Bambanglipuro Sumbermulyo 0,98 
14 Sanden Srigading 0,14 
15 Srandakan Poncosari 0,16 
16 Kasihan Bangunjiwo 10,23 
17 Bantul Trirenggo 1,28 
Rata-rata 2,22

81
Laporan Akhir
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
Derajat pelulusan air atau permeabilitas tanah adalah kecepatan air
melewati tubuh tanah secara vertikal. Hasil analisis nilai permeabilitas di tiap
titik sampel di Kabupaten Bantul rata-rata 2,57 dengan kategori sedang
dimana dapat dilihat pada Tabel 5.9. Berdasarkan Tabel 5.9 dan Gambar 5.5,
data hasil penelitian menunjukan permeabilitas di keempat titik yaitu titik
Kecamatan Pajangan dan Kasihan, dan untuk Kecamatan lain tidak melebihi
ambang batas. Namun pada titik Pajangan dan Kasihan melebihi ambang batas
dengan nilai permeabilitas sebesar 11,33 cm jam-1 dan 7,00 cm jam-1. Hal ini
dikarenakan pada lokasi tersebut terdapat kawasan yang tanahnya tergolong
ke dalam jenis partikel kasar atau tanah yang bercampur pasir. Sehingga
mengakibatkan kawasan tersebut menjadi pelolosan air cepat dan tidak
mempunyai tempat penyimpanan air yang baik untuk tanaman. Pada kondisi
tersebut, berdampak pada simpanan air dan hara untuk pertumbuhan tanaman
menjadi rendah. Sebagian besar titik sampel menunjukkan hasil permeabilitas
masih memenuhi standar baku mutu yang dipersyaratkan yaitu kecuali
Kecamatan Pajangan.

Permeabilitas tanah meningkat seiring dengan laju infiltrasi, sehingga


peningkatan laju infiltrasi akan meningkatkan permeabilitas tanah. Upaya yang
harus dilakukan dengan model tanaman yang diharapkan mampu
meningkatkan laju infiltrasi sekaligus permeabilitas tanah dengan
memperbaiki sifat-sifat tanah terutama karena penambahan bahan organik.
Dimana tanaman akan memperbaiki sifat-sifat tanah, sehingga diharapkan
mampu mengurangi aliran permukaan tanah (run off) yang menyebabkan
erosi.

82
Laporan Akhir
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
Gambar 5.5. Peta kondisi Permeabilitas Tanah Kabupaten Bantul 83
Laporan Akhir
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
5.2.7. Kadar keasaman (pH).

pH (potential of hydorgen) tanah adalah tingkat kemasaman tanah yang


dicerminkan oleh konsentrasi H+ dalam tanah. Level optimum pH tanah untuk
aplikasi penggunaan lahan berkisar antara 4,5 – 8,5. Tanah dengan pH rendah
(acid) dan pH tinggi (alkali) membatasi pertumbuhan tanaman. Di dalam tanah,
pH sangat penting dalam menentukan aktivitas dan dominasi mikroorganisme
dalam hubungan siklus hara. pH tanah mempengaruhi proses di dalam tanah
seperti laju dekomposisi bahan organik, mineral, pembentukan mineral
lempung dan secara tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan tanaman
yang berupa unsur ketersediaan hara.

Hasil analisis pH pada ke 17 titik sampel disajikan pada Tabel 5.10.


Berdasarkan Gambar 5.6 dan Tabel 5.10, data menunjukkan bahwa pH tanah di
tiga titik sampel yaitu tidak melebihi ambang batas dengan nilai rata-rata pH
sebesar 7,10. Tingkat keasam-basaan ini merupakan pH ideal dengan
kandungan senyawa organik, mikroorganisme, unsur hara dan mineral-
mineral dalam kondisi yang optimal. Dimana kondisi pH netral berada pada
angka 6,5 hingga 7,8.

84
Laporan Akhir
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
Tabel 5.10. Kondisi PH Tanah di Kabupaten Bantul

Lokasi Kondisi pH Tanah


NO pH Alkalis Agak Alkalis Netral Agak Masam Masam Sangat Masam
Kecamatan Desa
>8,5 7,6-8,5 6,6-7,5 5,6-6,5 4,5-5,5 <4,5
1 Banguntapan Banguntapan 6,61 
2 Dlingo Muntuk 6,5 
3 Sedayu Argomulyo 7,23 
4 Jetis Patalan 5,55 
5 Sewon Timbulharjo 6,16 
6 Kretek Parangtritis 7,25 
7 Pandak Gilangharjo 8,36 
8 Pajangan Guwosari 8,01 
9 Piyungan Sitimulyo 7,62 
10 Imogiri Trimulyo 8,16 
11 Pundong Seloharjo 6,91 
12 Pleret Wonokromo 6,82 
13 Bambanglipuro Sumbermulyo 5,55 
14 Sanden Srigading 6,55 
15 Srandakan Poncosari 6,7 
16 Kasihan Bangunjiwo 7,81 
17 Bantul Trirenggo 6,34 
Rata-Rata 6,95

85
Laporan Akhir
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
Aktivitas konversi lahan pertanian menjadi lahan terbangun memicu
kerusakan tanah yang berakibat menurunnya unsur hara dalam tanah.
Berdasarkan pH yang ada di lokasi sampel, tanaman yang bisa
direkomendasikan untuk kelas pH 4,5-5,5 antara lain: kentang dan semangka
sedangkan untuk kelas pH 5,5 – 6,5 antara lain: kacang, wortel, bunga krisan,
jagung, terong, bawang, tomat, lada. pH tanah semakin tinggi maka unsur hara
semakin sulit diserap tanaman, sebaliknya, jika terlalu rendah akar kesulitan
menyerap makanannya.

Akar tanaman dapat mudah menyerap unsur hara atau pupuk yang kita
berikan jika pH dalam tanah netral. Tanah yang terlalu masam dapat dinaikkan
pH nya dengan menambahkan zat kapur ke dalam tanah. Tanah yang terlalu
alkasis (basa) dapat diturunkan pH nya dengan penambahan belerang
(Hanafiah, 2018; Hardjowigeno, 2003).

86
Laporan Akhir
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
Gambar 5.6. Peta kondisi kadar pH dalam tanah di Kabupaten Bantul 87
Laporan Akhir
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
Kategori tanah yang dilakukan pengukuran di titik sampel 17 Kecamatan
menunjukkan bahwa untuk kecamatan Banguntapan, Dlingo, Jetis, Sewon,
Bambnaglipuro, Bantul masuk kategori agak masam, kategori pH netral
terdapat di Kecamatan Sedayu, Kretek, Pundong, Pleret, Sanden, Sandakan dan
untuk Kecamatan Pandak, Pajangan, Piyungan, Imogiri, dan Kasihan masuk
kategori agak katalis. Adapun karakteristik masing-masing kategori antara
lain :

a. Tanah Masam

Karakteristik tanah masam yang ekstrim menyebabkan pertumbuhan


tanaman tidak normal dan merana. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor,
seperti keracunan unsur tertentu dan tidak tersedianya beberapa unsur hara.
Secara umum karakteristik dan sifat-sifat tanah masam dapat dicirikan
sebagai berikut ;
o tanah ber-pH kurang dari 6,5
o kapasitas penyangga basa sangat besar
o daya simpan air sangat tinggi
o daya isap air tinggi
o ada keracunan unsur Al, Mn dan Fe pada tanaman
o kandungan N, P, K, Ca, Mo dan Mg sangat rendah
o pengikatan unsur N dan kegiatan mikroba menurun
o mg dan kapur dapat bertukar rendah
o dapat disertai kekurangan unsur Cu dan S
Pada prinsipnya ada tiga kelompok cara penanganan masalah tanah
masam yang berhubungan dengan pengelolaan kesuburan tanah dan
pengendalian gulma di tingkat masyarakat, yaitu fisik-mekanik dan cara
biologi.
o Pengapuran
Pengapuran merupakan upaya pemberian bahan kapur ke dalam tanah
masam dengan tujuan untuk:

88
Laporan Akhir
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
a) Menaikkan pH tanah
Nilai pH tanah dinaikkan sampai pada tingkat mana Al tidak
bersifat racun lagi bagi tanaman dan unsur hara tersedia dalam
kondisi yang seimbang di dalam tanah. Peningkatan pH tanah yang
terjadi sebagai akibat dari pemberian kapur, tidak dapat bertahan
lama, karena tanah mempunyai sistem penyangga, yang menyebabkan
pH akan kembali ke nilai semula setelah beberapa waktu berselang.
b) Meningkatkan KTK (Kapasitas Tukar Kation)
KTK meningkat sebagai akibat dari peningkatan pH tanah. Namun
peningkatan KTK ini juga bersifat tidak tetap, karena sistem penyangga
pH tanah tersebut di atas.
c) Menetralkan Al yang meracuni tanaman
Karena unsur Ca bersifat tidak mudah bergerak, maka kapur
harus dibenamkan sampai mencapai kedalaman lapisan tanah yang
mempunyai konsentrasi Al tinggi. Hal ini agak sulit dilakukan di
lapangan, karena dibutuhkan tenaga dalam jumlah banyak dan
menimbulkan masalah baru yaitu pemadatan tanah. Alternatif lain
adalah menambahkan dolomit (Ca, Mg(CO3)2) yang lebih mudah
bergerak, sehingga mampu mencapai lapisan tanah bawah dan
menetralkan Al. Pemberian kapur seperti ini memerlukan
pertimbangan yang seksama mengingat pemberian Ca dan Mg akan
mengganggu keseimbangan unsur hara yang lain.
Tanaman dapat tumbuh baik, jika terdapat nisbah Ca/Mg/K yang tepat
di dalam tanah. Penambahan Ca atau Mg seringkali malah
mengakibatkan tanaman menunjukkan gejala kekurangan K, walaupun
jumlah K sebenarnya sudah cukup di dalam tanah. Masalah ini menjadi
semakin sulit dipecahkan, jika pada awalnya sudah terjadi kahat unsur
K pada tanah tersebut.

89
Laporan Akhir
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
b. Tanah Netral

Tanah yang baik haruslah memiliki tingkat keasaman yang seimbang, perlu
diketahui PH normal tanah berada pada kisaran 6 hingga 8 atau pada
kondisi terbaik memiliki PH 6.5 hingga 7.5. Tanah dengan tingkat PH yang
netral memungkinkan untuk tersedianya berbagai unsur kimiawi tanah
yang seimbang.
Untuk kondisi tanah yang terlalu asam perlu dilakukan proses pengapuran
yang tujuannya yaitu untuk mengembalikan PH tanah ke kondisi netral.
Begitu juga ketika tanah bersifat terlalu basa (>PH 8) perlu diberikan
Sulfur atau belerang yang terkandung pada pupuk ZA (Amonium Sulfat).
Dengan PH yang netral, tumbuhan akan lebih mudah menyerap ion-ion
unsur hara dan menjaga perkembangan mikroorganisme tanah.

c. Agak Alkalis

Unsur – unsur alkali tanah dalam sistem periodik menempati golongan IIA.
Unsur – unsur alkali tanah meliputi Berilium (Be), Magnesium (Mg),
Kalsium (Ca), Stronsium (Sr), Barium (Ba), dan Radium (Ra). Berikut
adalah sifat fisik unsur alkali tanah dan senyawa dari alkali tanah:
o Bersifat keras dan memiliki titik leleh yang lebih tinggi dibandingkan
unsur alkali
o Logam alkali tanah relatif lunak dan dapat menghantarkan panas dan
listrik dengan baik, kecuali Berilium
o Kelarutan hidroksida bertambah dari Be ke Ba:
o Kelarutan fluorida bertambah dari Mg ke Ba:
o Kelarutan sulfat berkurang dari Mg ke Ba:
o Kestabilan karbonat terhadap pemanasan bertambah dari Be ke Ba:
o Memberikan warna spectrum yang khas: Kalsium (merah karmin),
Stronsium (kuning), dan Barium (ungu)
Sifat kimia unsur dan senyawa dari alkali tanah:

90
Laporan Akhir
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
o Logam alkali tanah memiliki jari-jari atom yang besar dan harga
ionisasi yang kecil
o Semua logam alkali tanah juga mempunyai kecenderungan teratur daya
reduksi yang semakin kuat dari Berilium ke Barium
o Mudah membentuk ion – ion positif
o Semua logam alkali tanah merupakan logam yang tergolong reaktif,
meskipun kurang reaktif dibandingkan dengan unsur alkali
o Senyawa Be(OH)_2Be(OH)2 bersifat amfoter. Artinya bisa bersifat asam
ataupun basa
o Be tidak bereaksi dengan air, Mg bereaksi dengan air panas, Ca, Sr, dan
Ba bereaksi dengan air dingin
o Saat bereaksi dengan asam encer, hanya Be yang bereaksi lambat.
o Logam alkali tanah dibuat melalui proses elektrolisis klorida dan florida
cair dan juga reduksi dengan karbon atau aluminium.
5.2.8. Daya hantar listrik (DHL);

Daya hantar listrik (DHL) atau electrical conductivity (EC) disebut


sebagai nilai salinitas tanah karena menggambarkan tingkat kegaraman
(salinity) yang ada di dalam tanah. Daya hantar listrik juga sebagai parameter
yang menggambarkan kemampuan tanah untuk menghantarkan atau
meneruskan listrik dari satu titik ke titik lainnya. Hal ini dikarenakan di dalam
tanah terdapat unsur-unsur garam yang berfungsi sebagai penghantar listrik.
Kelarutan garam yang tinggi dalam tanah dapat menghambat penyerapan air
dan hara oleh tanaman akibat tekanan osmosik. DHL dapat meningkat jika
terjadi penguapan yang lebih tinggi dari hujan sehingga akan terjadi
pengendapan natrium. Nilai DHL jika >4,0 mS cm-1 akan mengakibatkan akar
membusuk karena terjadi plasmolysis (Permen LH, 2006).

Hasil analisis dari nilai DHL tanah di tiap titik sampel. Berdasarkan
Tabel 5.11, data hasil penelitian menunjukan daya hantar listrik tanah di titik
lokasi survei tidak melebihi ambang kritis DHL yaitu >4,0 mS cm-1. Menurut
Muliawan et al. (2016), jika tanah terindikasi salin, hal ini dapat diakibatkan

91
Laporan Akhir
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
oleh faktor sisa pemupukan yang masuk ke dalam pori-pori tanah sehingga
menyebabkan air tidak dapat terserap dengan baik oleh akar tanaman. Dengan
kondisi daya hantar listrik tanah seperti ini menunjukkan struktur tanah yang
masih baik dan permeabilitas tanah juga masih baik.

Tabel 5.11. Kondisi DHL Tanah di Kabupaten Bantul

Lokasi DHL
NO Keterangan
Kecamatan Desa mS. cm-1
1 Banguntapan Banguntapan 0,05 Sawah
2 Dlingo Muntuk 0,00 Tegalan
3 Sedayu Argomulyo 5,44 Sawah
4 Jetis Patalan 0,05 Sawah
5 Sewon Timbulharjo 0,06 Sawah
6 Kretek Parangtritis 0,17 Sawah
7 Pandak Gilangharjo 0,39 Sawah
8 Pajangan Guwosari 0,24 Tegalan
9 Piyungan Sitimulyo 0,10 Tegalan
10 Imogiri Trimulyo 0,31 Tegalan
11 Pundong Seloharjo 0,94 Sawah
12 Pleret Wonokromo 1,45 Sawah
13 Bambanglipuro Sumbermulyo 0,54 Sawah
14 Sanden Srigading 0,56 Sawah
15 Srandakan Poncosari 0,82 Tegalan
16 Kasihan Bangunjiwo 0,24 Tegalan
17 Bantul Trirenggo 1,51 Sawah
Rata-rata 0,76

Konsentrasi ion dalam media yang lebih dikenal dengan daya hantar
listrik merupakan nilai banyak atau sedikitnya ion-ion tersedia dalam media.
Daya hantar listrik sering dijadikan indikator kesuburan tanah. Sebagai
pedoman, menurut Handreck & Black (1994), nilai daya hantar listrik media (1:
1,5 volume ekstrak) < 0,35 dS/m memerlukan pemupukan; daya hantar listrik
0,35-0,7 dS/m dapat diberi pupuk slow release; daya hantar listrik 0,7- 1,3
dS/m: masih dapat digunakan tapi tanpa pupuk; daya hantar listrik 1,3-
1,8 dS/m tidak boleh dipupuk dan daya hantar listrik > 1,8 dS/m terlalu tinggi
dan perlu pencucian media.

92
Laporan Akhir
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
5.2.9. Reaksi Redoks;

Oksidasi adalah reaksi pengikatan oksigen. Reduksi adalah reaksi


kehilangan elektron. Reduksi-oksidasi (redoks) merupakan sifat tanah yang
mempunyai reaksi atau sistem reduksi ataupun oksidasi dan bersifat dapat
balik (reversible) dalam waktu relatif singkat. Hasil nilai redoks pada tiap titik
sampel di Kabupaten Bantul disajikan pada Tabel 5.12. Nilai potensial redoks
(redox potential) yang tinggi biasanya terjadi pada tanah-tanah yang
mempunyai penghawaan atau aerasi baik dan lebih banyak oksigen dalam
larutan tanah sehingga makin banyak senyawa yang teroksidasi (keadaan
aerob).

Sebaliknya, potensial redoks rendah terjadi pada tanah yang kahat atau
kekurangan oksigen, sehingga banyak senyawa yang tereduksi (keadaan
anaerob) (Fiedler et al., 2007). Alat penilaian degradasi tanah untuk parameter
potensial redok menggunakan standar PerMen LH No. 07 Tahun 2006 tentang
Tata Cara Pengukuran Kriteria Baku Kerusakan Tanah untuk Produksi
Biomassa yaitu, jika nilai Eh<200 mV menunjukkan suasana tanah reduktif
(tanah di lahan kering), nilai Eh>- 100 mV menunjukkan pirit teroksidasi pada
tanah berpirit di lahan basah, dan nilai Eh>200 mV menunjukkan gambut dapat
teroksidasi pada lahan gambut.

Table 5.12. Klasifikasi Status Redoks

Kisaran Pertumbuhan
Status Redoks Reaksi
Eh (mV) Tanaman
O2 berlebih, material Baik bagi tanaman darat;
Oksidasi >400
dalam bentuk oksidasi tidak baik bagi padi
O2 ,NO3– dan Pertumbuhan padi normal;
Reduksi rendah 400-200
Mn4+ direduksi tanaman darat terganggu
Fe3+ direduksi; senyawa
Reduksi sedang 200-(-100) Tanaman darat terganggu
organik direduksi
Tanaman padi terganggu
Reduksi <(-100) CO2 dan H+ direduksi
oleh senyawa reduksi

93
Laporan Akhir
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
Berdasarkan Tabel 5.13 , data hasil pengamatan menunjukan bahwa
redoks tanah di memiliki nilai di luar batas garis nilai ambang kritis yaitu
<200 mV. Sehingga redoks tanah di dinyatakan tidak rusak. Hal ini
dikarenakan, kondisi tanahnya masih tergolong ke dalam redoks potensial
rendah terdapat di 11 kecamatan yang dampaknya yaitu tanah menjadi subur.
Adapun redoks dengan potensial sedang berada di 6 kecamatan dimana nilai
kisaran antara 200-(-100) mV, menurut Tokarz dan Urban (2015) menunjukkan
bahwa dalam kondisi ini oksigen masih ada di lingkungan meskipun kuatnya
hidrasi tanah.

Tabel 5.13. Kondisi Redoks Tanah di Kabupaten Bantul


Lokasi Redoks Status Redoks
Oksidasi Reduksi Reduksi Reduksi
NO
Kecamatan Desa mV Rendah Sedang
>400 400-200 200-(-100) <(-100)
1 Banguntapan Banguntapan 200 
2 Dlingo Muntuk 269 
3 Sedayu Argomulyo 359 
4 Jetis Patalan 319 
5 Sewon Timbulharjo 318 
6 Kretek Parangtritis 289 
7 Pandak Gilangharjo 101 
8 Pajangan Guwosari 102 
9 Piyungan Sitimulyo 97 
10 Imogiri Trimulyo 98 
11 Pundong Seloharjo 307 
12 Pleret Wonokromo 163 
13 Bambanglipuro Sumbermulyo 319 
14 Sanden Srigading 278 
15 Srandakan Poncosari 280 
16 Kasihan Bangunjiwo 121 
17 Bantul Trirenggo 320 
Rata-rata 231,765

Logam alkali tanah adalah nama lain dari logam-logam yang terdapat
pada golongan IIA, kecuali radium (Ra). Logam-logam ini umumnya memiliki

94
Laporan Akhir
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
reaktifitas yang tinggi dikarenakan kulit s merupakan kulit terluar dari logam
ini. Pemberian label “tanah” bukan tanpa makna, seluruh unsur-unsur ini dapat
ditemukan di tanah, baik dalam bentuk batuan atau dalam kerak bumi.
Logam alkali tanah sendiri terdiri atas berilium (Be), magnesium (Mg),
kalsium (Ca), stronsium (Sr), barium (Ba) dan radium (Ra) yang memiliki
elektron valensi dua, sehingga ia lebih mudah untuk melepaskan elektron.
Khusus radium, senyawa ini merupakan satu-satunya unsur yang tidak dapat
ditemukan di tanah karena sifatnya yang radio aktif. Alasan mengapa unsur ini
terdapat dalam unsur golongan II A dikarenakan jumlah elektron valensi dari
unsur ini berjumlah dua. Unsur-unsur yang terdapat pada golongan ini
tergolong sukar larut dalam air namun tetap stabil pada temperatur yang
sangat tinggi. Unsur-unsur ini umumnya akan ditemukan dalam bentuk
karbonat, fosfat, sufat dan silikat dalam tanah.

95
Laporan Akhir
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
Gambar 5.7. Peta kondisi Redoks dalam tanah di Kabupaten Bantul 96
Laporan Akhir
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
5.2.10. Jumlah mikrobia dalam tanah

Jumlah mikroba tanah adalah total populasi mikroba di dalam tanah yang
diukur dengan colony counter (Ernebjerg dan Kishony, 2012). Tanah yang sehat
menunjukkan keanekaragaman mikroba yang lebih tinggi. Keberadaan total
mikroba menggambarkan kualitas dari tanah. Semakin tinggi jumlah total
mikroba mengindikasikan kondisi baik kimia maupun fisika di dalam tanah
tersebut (Aislabie dan Deslippe, 2013).

Tabel 5.14. Kondisi Jumlah Mikroba Tanah di Kabupaten Bantul

Lokasi JM (mikroba) Ambang Batas


No Status
Kecamatan Desa Cfux106.g-1 Cfux106.g-1
1 Banguntapan Banguntapan 21,3 <102 Tidak Melebihi
2 Dlingo Muntuk 2,19 <102 Tidak Melebihi
3 Sedayu Argomulyo 42 <102 Tidak Melebihi
4 Jetis Patalan 81,7 <102 Tidak Melebihi
5 Sewon Timbulharjo 10,8 <102 Tidak Melebihi
6 Kretek Parangtritis 38,4 <102 Tidak Melebihi
7 Pandak Gilangharjo 10,8 <102 Tidak Melebihi
8 Pajangan Guwosari 13,8 <102 Tidak Melebihi
9 Piyungan Sitimulyo 10,5 <102 Tidak Melebihi
10 Imogiri Trimulyo 6,49 <102 Tidak Melebihi
11 Pundong Seloharjo 16,3 <102 Tidak Melebihi
12 Pleret Wonokromo 16,9 <102 Tidak Melebihi
13 Bambanglipuro Sumbermulyo 81,7 <102 Tidak Melebihi
14 Sanden Srigading 45,2 <102 Tidak Melebihi
15 Srandakan Poncosari 44,6 <102 Tidak Melebihi
16 Kasihan Bangunjiwo 14,6 <102 Tidak Melebihi
17 Bantul Trirenggo 12,8 <102 Tidak Melebihi
Rata-rata 27,65 Tidak Melebihi

Data hasil penelitian menunjukan jumlah mikroba di Kabupaten Bantul tidak


melebihi nilai ambang kritis yaitu <102 cfu/g tanah, sehingga jumlah mikroba
keseluruhan di titik sampel dinyatakan tidak rusak. Hal ini dikarenakan tanah
cukup baik dengan kondisi tanah yang sifat fisika, kimia dan biologinya

97
Laporan Akhir
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
mendukung dalam perkembangan mikroba. Jacoby et al. (2017) telah
membuktikan adanya interaksi positif dari tanah dan mikroba terkait
peningkatan nutrisi mineral tanaman. Mikroba di dalam tanah sangat
membantu dalam proses dekomposisi atau memecah bahan-bahan organik.
Jumlah dan macam mikroba tergantung pada jumlah dan susunan bahan
yang dirombak, pH, kelembaban, aerasi, dan kondisi lingkungan lainnya.
Menurut Wang et al. (2017) tanah yang berkelimpahan mikroba dapat
menguntungkan secara positif terkait dengan kualitas tanah termasuk
pertumbuhan tanaman, insiden penyakit yang lebih rendah, kandungan
nutrisi yang lebih tinggi, dan aktivitas enzim tanah dan pH tanah.

98
Laporan Akhir
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
BAB VI
ROADMAP PENANGANAN DAN PENGENDALIAN
PRODUKSI BIOMASSA TANAH

6.1. PENDAHULUAN
6.1.1. Latar Belakang

Isu-isu lingkungan, khususnya yang menyangkut kerusakan sumberdaya


lahan dan pencemaran lingkungan umumnya merupakan dampak dari
kegiatan pembangunan, baik kegiatan pembangunan di bidang non
pertanian maupun kegiatan pertanian itu sendiri. Dampak tersebut berupa
berkurang/ menurunnya produktivitas lahan dapat mengurangi atau
menurunkan kualitas produk yang dihasilkan.
Kegiatan pertanian yang potensial menyebabkan kerusakan lahan dan
pencemaran lingkungan adalah budidaya pertanian yang tidak
mengindahkan aspek-aspek pelestarian sumberdaya lahannya, dan
penggunaan bahan agrokimia yang melebihi anjuran.
Beberapa sumber dan penyebab kerusakan sumberdaya lahan dan
pencemaran lingkungan adalah penggunaan bahan-bahan agrokimia dalam
kegiatan pertanian, limbah industri dan pertambangan, dan emisi gas
rumah kaca.

Disisi lain pemanfaatan lahan tidak dapat dipisahkan dari kegiatan yang
dilakukan oleh orang pada lahan yang ditempatinya dan lingkungan hidup
sekitarnya. Dengan demikian, pemanfaatan tersebut berkaitan dengan
pemanfaatan ruang kawasan dan pengelolaan lingkungan hidup yang
pokok-pokok pengaturannya ditetapkan sebagaimana tercantum dalam
Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang dan
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Kerusakan tanah untuk produksi biomassa dapat terjadi karena

Laporan Akhir 99
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
tindakan orang, baik di areal produksi biomassa maupun karena adanya
kegiatan lain di luar areal produksi biomassa yang dapat berdampak
terhadap terjadinya kerusakan tanah untuk produksi biomassa. Bagi
pengendalian kerusakan tanah di luar areal produksi biomassa diatur
dalam peraturan perundang-undangan lain. Selain dari pada itu, kerusakan
tanah dapat pula terjadi akibat proses alam. Ruang lingkup Peraturan
Pemerintah ini hanya mengatur kerusakan akibat tindakan manusia.
Meskipun demikian, kerusakan yang terjadi karena proses alam tidak
berarti tidak ditanggulangi. Namun, tanggung jawab penanggulangannya
merupakan kewajiban Pemerintah.

6.1.2. Tujuan dan Sasaran Roadmap


Tujuan dari roadmap penanganan dan pengendalian produksi biomassa
tanah:
1. Mengembangkan ekonomi dengan maksud meningkatkan keluaran
komoditi dan layanan jasa, serta mendukung upaya rehabilitasi lahan
terdegradasi untuk menjadi lahan produktif, bernilai ekonomi tinggi dan
berkontribusi untuk perbaikan kualitas lingkungan.
2. Mewujudkan penyelenggaraan kegiatan mengendalikan kerusakan tanah
untuk produksi biomassa. yang efektif, efisien, berjangka panjang dan
menghasilkan manfaat yang optimal.
3. Peningkatan peran serta masyarakat terhadap pemanfaatan lahan yang
berkelanjutan dengan wawasan lingkungan.
4. Meningkatkan pemahaman seluruh stakeholders terkait dan masyarakat
dalam peran sertanya untuk penanganan produksi biomassa tanah.
5. Mendukung upaya optimalisasi pemanfaatan lahan dalam kerangka
pelestarian dan perbaikan lahan eksisting secara terpadu untuk
diimplementasikan dalam upaya membangun sinergi, integrasi dan
koordinasi yang baik mulai dari perencanaan, implementasi dan evaluasi
atas pelaksanaan bidang tugas masing-masing dalam rangka mencapai

Laporan Akhir 100


Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
tujuan optimalisasi pemanfaatan dan pengendalian lahan yang
berkelanjutan.
6. Penguatan dan peningkatan partisipasi pemerintah daerah dalam
pengembangan dan pelaksanaan program dalam upaya meningkatkan
produktifitas lahan khususnya optimalisasi biomassa tanah dalam
menggerakkan mitra kerja setempat dalam mobilisasi sosial maupun
penggerakan sumberdaya lainnya.
Sasaran dari roadmap Penanganan dan Pengendalian Produksi Biomassa
Tanah :
1. Tersusunnya kebijakan penanganan dan pengendalian produksi biomassa
tanah di Kabupaten Bantul.
2. Adanya acuan bagi penyusunan program penanganan dan pengendalian
produksi biomassa tanah secara berkelanjutan.
3. Sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam perencanaan dan
pelaksanaan dan pengembangan produksi biomassa tanah dalam
mendukung pembangunan lingkungan pembangunan keberlanjutan

6.2. KONDISI, PELUANG DAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN


6.2.1. Kondisi

Permasalahan-permasalahan lingkungan hidup yang ada di Kabupaten


Bantul hasil inventarisasi dan berdampak besar terhadap pelestarian
lingkungan hidup dan sumberdaya alam, merupakan isu prioritas daerah.
Untuk menyelesaikan isu-isu tersebut diperlukan perhatian semua pihak
dengan didukung anggaran yang memadai. Berdasarkan pengaduan
masyarakat akibat adanya dugaan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup yang masuk, iventarisasi permasalahan lingkungan dari
Kecamatan dan dinas/instansi terkait serta hasil pemantauan yang
dilaksanakan, ada beberapa isu prioritas yang terjadi saat ini antara lain
pencemaran air, permasalahan sampah akibat dari kegiatan, kerusakan

Laporan Akhir 101


Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
kawasan pantai (abrasi), bencana alam seperti banjir dan tanah longsor, dan
efek gas rumah kaca.

Penggunaan lahan di Kabupaten Bantul dibagi menjadi non pertanian, sawah,


lahan kering, perkebunan, hutan dan badan air. Penggunaan lahan di
Kabupaten Bantul berdasarkan klasifikasi tersebut, penggunaan lahan
terluas adalah untuk persawahan dengan luasan 16.049,43 Ha. Sedangkan
penggunaan terendah untuk lahan badan air sebesar 31 Ha.

Penggunaan lahan untuk persawahan mengalami penurunan dari 16.401,111


Ha pada tahun 2012 menjadi 16.049,43 Ha pada tahun 2013 Ha atau terjadi alih
fungsi lahan sebesar 351,681 Ha. Lahan sawah dimanfaatkan oleh sebagian
besar penduduk Kabupaten Bantul sebagai lahan pertanian tanaman pangan
yang merupakan salah satu sektor sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Penggunaan lahan untuk persawahan tertinggi di Kecamatan Sewon yang


mencapai 1.420,20 Ha. Terjadi penurunan luasan peruntukkan sawah sebesar
4, 57 Ha dari 1.424,766 Ha di tahun 2012. Sedangkan penggunaan lahan
sawah terkecil di kecamatan Dlingo sebesar 261 Ha. Kecilnya luas lahan
sawah di Kecamatan Dlingo disebabkan karena wilayah tersebut sebagian
besar berupa perbukitan, tanah tandus sehingga tidak cocok sebagai lahan
pertanian khususnya tanaman padi.

Luasan lahan kering di Kabupaten Bantul sebesar 23.237,06 Ha terdiri dari


tegalan seluas 6.634,7534 Ha dan kebun campur seluas 16.602,3042 Ha.
Dimana tegalan terluas terdapat di Kecamatan Dlingo dengan luasan
1.705,4252 Ha. Sedangkan terkecil di Kecamatan Bantul dan Sewon dengan
luasan masing-masing 2 Ha dan Kecamatan Bambanglipuro tidak
mempunyai lahan tegalan. Untuk kebun campur, luasan terbesar terdapat di
Kecamatan Pajangan sebesar 2.295 Ha sedangkan terkecil di Kecamatan
Pleret 356 Ha.

Laporan Akhir 102


Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
Lahan hutan terdapat di Kecamatan Dlingo dan Imogiri dengan luasan
masing-masing 1.198 Ha dan 187 Ha. Lahan sebagai badan air mempunyai
luasan 30 Ha terdapat di Kecamatan Srandakan.

6.2.2. Masalah dan Peluang

Permasalahan dalam produksi biomassa tanah dapat diidentifikasi sebagai


berikut :

1. Jumlah penduduk yang cukup besar membutuhkan konsumsi yang cukup


besar.
Dengan penduduk yang terus bertambah, meningkatkan permintaan
terhadap pangan meningkat sehingga akan mempengaruhi sumberdaya
alam (lahan) sebagai basis produksi.
2. Kondisi lahan yang terdegradasi
Mengembangkan wilayah dengan tujuan meningkatkan pendapatan dan
kesempatan kerja, memperbaiki landasan ekonomi dan kesempatan
memperoleh pendidikan, budaya serta rekreasi, dan meningkatkan
lingkungan.
Namun Belum maksimalnya peningkatan mutu lingkungan dengan jalan
perlindungan, pengelolaan, pengawetan, pelestarian (preservation),
penciptaan, pemugaran, atau perbaikan mutu sumberdaya alamiah atau
budaya tertentu, dan ekosistem.
3. Kemampuan lahan untuk produksi
Kemampuan lahan adalah mutu lahan yang dinilai secara menyeluruh,
merupakan suatu pengenal majemuk (complex attribute) lahan, yang
dalam mempengaruhi kesesuaian lahan untuk suatu macam penggunaan
tertentu bertindak berbeda secara nyata dengan tindakannya dalam
mempengaruhi kesesuaian lahan untuk macam penggunaan yang lain.
Nilai kemampuan lahan berbeda untuk penggunaan yang berbeda.

Laporan Akhir 103


Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
Peluang dalam peningkatan dan pengembangan produksi biomassa tanah
sebagai tumpuan bagi upaya peningkatan pengelolaan lahan berkelanjutan
antara lain :

1. Evaluasi dan identifikasi produksi biomasa lahan;


Evaluasi dan identifikasi lebih di prioritaskan pada : (i) Informasi terkait
dengan kecamatan prioritas perluasan lahan daya dukung biomassa
tanah, (ii) update data sumberdaya lahan berkaitan dengan data
biomassa dan data degradasi lahan (iii) pengembangan sistem informasi
biomassa tanah.
2. Penerapan inovasi teknologi dan model pemanfaatan lahan
berkelanjutan.
Dalam upaya meningkatkan produksi biomassa tanah maka perlu inovasi
yang bertujuan untuk mengidentifikasi state of the art technologi
pengelolaan lahan, merumuskan kebutuhan teknologi, dan
menghasilkan (generate) teknologi serta membangun dan memvalidasi
model dalam rangka mewujudkan pengelolaan lahan berkelanjutan.
Beberapa kegiatan pengembangan diarahkan untuk: (i) Inventarisasi dan
evaluasi teknologi pengelolaan lahan dan faktor pendukung produksi
biomassa tanah; (ii) Penelitian aplikatif dan inovasi teknologi
pengelolaan sumberdaya lahan dan daya dukung lahan; (iii)
Pengembangan model pemanfaatan lahan yang terintegrasi; dan (iv)
Kajian sosial ekonomi, kebijakan dan rekayasan kelembagaan terkait
pengelolaan lahan.
3. Diseminasi pemanfaatan lahan berkelanjutan
Kegiatan diseminasi inovasi teknologi pemanfaatan lahan difokuskan
pada kegiatan pengkajian teknologi dan percepatan diseminasi dalam
mewujudkan sistem pengelolaan lahan berkelanjutan. Percepatan
diseminasi teknologi pengelolaan lahan yang inovatif dilaksanakan
melalui : (i) Sintesis kebijakan pengembangan pengelolaan lahan, (ii)
Pengembagan model diseminasi dan networking pengelolaan lahan, (iii)

Laporan Akhir 104


Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
Pengembangan laboratorium inovasi biomassa tanah, model inovatif
pemanfaatan lahan berkelanjutan, (iv) Kajian adopsi dan dampak inovasi
tekologi pengelolaan lahan, dan (v) Seminar, temu lapang, dan publikasi
inovasi teknologi pengelolaan lahan berkelanjutan.
4. Sintesis Kebijakan dan Rekayasa Kelembagaan
Sintesis kebijakan dan rekayasa kelembagaan ditujukan untuk
mensintesis pengetahuan, data dan informasi yang dapat mendukung
pemanfaatan lahan berkelanjutan. Aspek utama sintesis kebijakan antara
lain adalah: (i) Analisis kebijakan tata kelola lahan produksi biomassa
tanah dan (ii) Formulasi usulan kebijakan dan regulasi tata-guna lahan
dan upaya peningkatan daya dukung lahan produksi biomassa.

6.3. PENINGKATAN DAN PENGEMBANGAN PRODUKSI BIOMASSA TANAH

Beberapa hal yang perlu dilakukan dalam penyusunan rencana pengambangan


dan rencana aksi adalah sbb. :
 Melakukan pengembangan melalui kebijakan peraturan daerah
 Melakukan pengembangan inovasi teknologi
 Melakukan penguatan kelembagaan yang sudah ada
 Meningkatkan koordinasi dengan para pihak
 Meningkatkan penguatan penyuluhan pengelolaan lahan dengan
peningkatan produksi biomassa tanah.

6.4. STRATEGI PENGEMBANGAN PRODUKSI BIOMASSA

Dalam rangka mewujudkan peningkatan dan pengembangan pengelolaan


lingkungan dalam upaya produksi biomassa tanah, maka strategi yang
digunakan dalam peningkatan dan pengembangan produktivitas lahan yang
berkelanjutan dengan mengedepankan pendekatan wilayah (kawasan) untuk
mencapai pengelolaan lahan yang bermartabat, mandiri, maju, adil dan
makmur.

Laporan Akhir 105


Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
Tabel 6.1. Strategi Peningkatan dan Pengembangan pengelolaan lingkungan dalam upaya produksi biomassa tanah

PERIODE WAKTU JENIS PENGEMBANGAN TUJUAN

untuk memberikan Informasi secara detail pada masing-masing kawasan atau


kecamatan prioritas perluasan lahan daya dukung biomassa tanah
Evaluasi dan Identifikasi Produksi
Biomassa Lahan Meningkatkan layanan perkembangan status lahan terkait dengan data sumberdaya
lahan berkaitan dengan data biomassa dan data degradasi lahan
Meningkatkan sistem informasi biomassa tanah dan upaya perbaikan
Inventarisasi dan evaluasi teknologi pengelolaan lahan dan faktor pendukung produksi
biomassa tanah
Penelitian aplikatif dan inovasi teknologi pengelolaan sumberdaya lahan dan daya
Penerapan inovasi teknologi dan model dukung lahan
pemanfaatan lahan berkelanjutan
Pengembangan model pemanfaatan lahan yang terintegrasi, sebagai upaya
3 (tiga) Tahun mempertahankan kualitas lahan
Kajian sosial ekonomi, kebijakan dan rekayasan kelembagaan terkait pengelolaan lahan
Pengembangan laboratorium inovasi biomassa tanah, model inovatif pemanfaatan
lahan berkelanjutan
Diseminasi pemanfaatan lahan
Kajian adopsi dan dampak inovasi tekologi pengelolaan lahan
berkelanjutan
Seminar, temu lapang, dan publikasi inovasi teknologi pengelolaan lahan
berkelanjutan
Menganalisis kebijakan tata kelola lahan khususnya mempertahankan produksi
Sintesis Kebijakan dan Rekayasa biomassa tanah
Kelembagaan Formulasi usulan kebijakan dan regulasi tata-guna lahan dan upaya peningkatan daya
dukung lahan produksi biomassa

Laporan Akhir 106


Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
Tabel 6.2. Program Peningkatan dan Pengembangan Produksi Biomassa Tanah
Tahun Pelaksanaan
(Tahun)
No Program Alternatif Kegiatan Lokasi Instansi Terkait Sumber Dana
1 2 3

Informasi kualitas lahan di


kawasan atau kecamatan
Evaluasi dan Identifikasi Dinas Lingkungan Hidup
1 prioritas dalam rangka Semua Kecamatan Pemkab Bantul
Produksi Biomassa Lahan (DLH) Kabupaten Bantul
peningkatan produksi biomassa
tanah
Penerapan inovasi Inventarisasi dan evaluasi
teknologi dan model teknologi pengelolaan lahan dan Dinas Lingkungan Hidup
2 Kabupaten Bantul Pemkab Bantul
pemanfaatan lahan faktor pendukung produksi (DLH) Kabupaten Bantul
berkelanjutan biomassa tanah
Penelitian aplikatif dan inovasi
teknologi pengelolaan Dinas Lingkungan Hidup
Kabupaten Bantul Pemkab Bantul
sumberdaya lahan dan daya (DLH) Kabupaten Bantul
dukung lahan
Penyusunan Perencanaan Model Kecamatan Dinas Lingkungan Hidup
Pemkab Bantul
Peningkatan Biomassa Lahan Prioritas (DLH) Kabupaten Bantul
Pengembangan laboratorium
inovasi biomassa tanah dan
Diseminasi pemanfaatan Dinas Lingkungan Hidup
3 biomassa pendukung lainnya Kabupaten Bantul Pemkab Bantul
lahan berkelanjutan (DLH) Kabupaten Bantul
dengan penerapan teknologi
inovatif

Kajian adopsi dan dampak Kecamatan Dinas Lingkungan Hidup


inovasi tekologi pengelolaan Pemkab Bantul
Prioritas (DLH) Kabupaten Bantul
lahan di Kabupaten Bantul

Laporan Akhir 107


Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
Seminar, temu lapang, dan Dinas Lingkungan Hidup
publikasi inovasi teknologi Kabupaten Bantul Pemkab Bantul
(DLH) Kabupaten Bantul
pengelolaan lahan berkelanjutan
Penyusunan Pedoman
pengendalian kerusakan lahan
Sintesis Kebijakan dan Dinas Lingkungan Hidup
4 dan upaya peran masyarakat Kabupaten Bantul Pemkab Bantul
Rekayasa Kelembagaan (DLH) Kabupaten Bantul
dalam peningkatan kualitas
tanah

Laporan Akhir 108


Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
BAB VII
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

6.1. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan daan analisis laboratorium
maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Secara umum lahan lokasi titik survei di Kabupaten Bantul pemanfaatan
lahan dipergunakan untuk budidaya tanaman pangan
2. Hasil rata-rata pengukuran sample di 17 Kecamatan kondisi Biomassa
tanah di Kabupaten Bantul dapat dikatakan baik/ tidak rusak untuk
produksi biomassa.
3. Untuk kondisi solum tanah di Kabupaten Bantul masih terdapat beberapa
kecamatan dengan solum tanah yang masih dibawah ambang batas
kerusakan tanah dimana < 20 cm yaitu Kecamatan Kretek, Pandak dan
Pajangan. Untuk klasifikasi ketebalan solum yang memerlukan perhatian
adalah di Kecamatan Kretek, Pandak, Pajangan, Piyungan, Imogiri, Pleret
dan Bambanglipuro. Dimana lokasi tersebut masuk kategori sangat tipis
4. Untuk kondisi kebatuan permukaan masih terdapat satu Kecamatan
dengan hasil diatas ambang batas indikator kebatuan yaitu di Kecamatan
Dlingo, sehingga perlu pengolahan tanah yang baik dan penambahan
pupuk organik agar dapat meningkatan ketahanan tanah terhadap
penetrasi gerakan vertikal air tanah..
5. Berat isi tanah Kecamatan Sedayu, Sanden, Srandakan, Kasihan dan
Bantul yang memiliki nilai sebesar >1,42 - >1,8 g cm-3, sementara pada
titik sampel lainnya <1,42 g cm-3, sehingga masih berada diatas ambang

109
Laporan Akhir
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
batas,.dimana kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya kepadatan tanah
sehingga tanah sulit untuk gembur. Implikasinya berdampak pada
kemampuan akar tanaman untuk mencapai air dalam tanah.
6. Nilai porositas di titik pengukuran 17 Kecamatan di Kabupaten Bantul tidak
ada yang melewati ambang kritis antara porositas total <30% dan
porositas total >70%, sehingga untuk prosititas total di Kabupaten Bantul
dinyatakan tidak rusak. Namun berdasarkan spesifikasi tingkat poros
tanah masih terdapat nilai prosentase 37-39 % dengan kategori jelek
terdapat di Kecamatan Sedayu, Jetis, Sanden dan Srandakan. Dan nilai
porositas dengan 40-48,22 dengan kategori kurang baik terdapat di
Kecamatan Banguntapan, Pundong, Pleret, Bambanglipuro.
7. Permeabilitas di Kecamatan Pajangan dan Kasihan melebihi ambang
batas dengan nilai permeabilitas sebesar 11,33 cm jam-1 dan 7,00 cm jam-
1. Hal ini dikarenakan pada lokasi tersebut terdapat kawasan yang
tanahnya tergolong ke dalam jenis partikel kasar atau tanah yang
bercampur pasir.
8. Pengukuran di titik sampel 17 Kecamatan menunjukkan bahwa 4
Kecamatan kategori agak masam, 7 Kecamatan kategori netral dan 6
Kecamatan kategori agak katalis
9. Berdasarkan Tabel 5.11, data hasil penelitian menunjukan daya hantar
listrik tanah di titik lokasi survei tidak melebihi ambang kritis DHL yaitu
>4,0 mS cm-1.
10. Pengamatan menunjukan bahwa redoks tanah dinyatakan tidak rusak.
Hal ini dikarenakan, kondisi tanahnya masih tergolong ke dalam
redoks potensial rendah terdapat di 11 kecamatan yang dampaknya yaitu
tanah menjadi subur

110
Laporan Akhir
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
11. Data hasil penelitian menunjukan jumlah mikroba di Kabupaten Bantul
tidak melebihi nilai ambang kritis yaitu <102 cfu/g tanah, sehingga jumlah
mikroba keseluruhan di titik sampel dinyatakan tidak rusak.
12. Pengelolaan lahan pertanian berwawasan lingkungan dengan konsep
pertanian organik.
13. Penerapan kaidah konservasi tanah dan air, seperti : terasering, tanaman
lorong, pembuatan rorak dan pemanfaatan jerami.

6.2. SARAN
Beberapa usulan perbaikan tanah yang rusak untuk produksi biomassa
tanah di Kabupaten Bantul adalah sebagai berikut:
1. Kerusakan tanah karena derajat pelulusan air pada tanah sawah
dapat diperbaiki dengan cara dilakukan rotasi tanaman atau pergiliran
tanaman dan disertai pemberian bahan organik. Pada tanah tegalan
atau lahan kering dapat diperbaiki dengan cara dilakukan pengolahan
tanah disertai pemberian bahan organik. Tindakan tersebut lambat
laun akan menggemburkan tanah dan meningkatkan derajat pelulusan
air.
2. Kerusakan tanah karena redoks yang biasa terjadi pada tanah
sawah, dapat diatasi dengan cara mengubah suasana reduksi dalam
tanah menjadi suasana oksidasi, mengubah suasana tergenang
menjadi tidak tergenang. Cara yang mudah untuk dilakukan yaitu
dengan cara pengatusan lahan sawah. Cara lainnya yaitu dengan
pergiliran tanaman atau rotasi tanaman.
3. Perlu adanya upaya pengelolaan dan pengembangan produksi biomassa
tanah, sehingga ketersediaan lahan produksi khususnya menjamin
kualitas lahan yang berkelanjutan.

111
Laporan Akhir
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul
4. Dalam upaya peningkatan kualitas lahan perlu adanya inovasi dan
teknologi ramah lingkungan yang dapat dimanfaatkan dalam mendukung
produksi biomassa tanah
5. Pola penyadaran masyarakat maka perlu kajian terkait dengan
pemanfaatan lahan dan upaya pengendalian lahan untuk produksi
biomassa.
6. Efektifitas lahan yang menimbulkan banyak manfaat perlu dikaji adanya
biomassa pendukung yang bisa dimanfaatkan bagi masayarakat melalui
teknologi tepat guna.

112
Laporan Akhir
Kajian Pemetaan Biomassa Tanah
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bantul

Anda mungkin juga menyukai